Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaa

Korupsi Elite Politik dari Zaman
Kerajaan ke Era Reformasi
Oleh Satrio Arismunandar

Perilaku korusi elite politik sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Praktik korupsi itu semakin memuncak dari segi skala,
kecanggihan, dan dampak kerusakannya di bawah rezim Orde Baru.
Kemudian, korupsi semakin terdesentralisasi di era reformasi.
Saat ini terdapat kesepakatan meluas bahwa korupsi telah menjadi salah
satu problem global dan etis yang paling mendesak. Berbagai kerugian ekonomi,
politik, budaya yang nyata, ditambah dengan rusaknya mentalitas anak bangsa,
tak bisa dipisahkan dari fenomena korupsi yang sudah membudaya.
Perilaku korupsi di kalangan elite politik sendiri bukanlah fenomena baru
di Indonesia. Bahkan jika dirunut, perilaku korupsi sebagai suatu fenomena sosial
dan

budaya

sudah

ada


pada

zaman

pra-kolonial,

saat

keberadaan

kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan zaman kolonial Hindia Belanda di
Nusantara.
Sebelum berdirinya Republik Indonesia, budaya atau tradisi korupsi sudah
mewarnai kehidupan elite politik kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang berkonflik
di antara sesama mereka karena motif perebutan kekuasaan, kekayaan, dan wanita.
Perebutan kekuasaan di Kerajaan Singosari berlangsung sampai tujuh keturunan,
mulai dari Anusopati, Tohjoyo, Ranggawuni, Mahesa Wongateleng, dan
seterusnya. Kerajaan Majapahit, Demak, Banten, juga mengalami sejumlah
pemberontakan. Dalam kasus Banten, Sultan Haji bahkan merebut tahta dari

ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa.
Perilaku korupsi merupakan gejala yang berakar pada watak dan perilaku
para pembesar pada zaman kerajaan di Nusantara. Perpecahan dalam tubuh
kerajaan atau pemberontakan memperebutkan tahta kerajaan, yang melibatkan

1

kerabat kerajaan sepanjang sejarah kerajaan atau kesultanan di seluruh Nusantara,
adalah periode awal budaya korupsi. Para elite politik saat itu lebih
mementingkan upaya memperkaya diri atau golongan daripada menjaga
keutuhan dan kepentingan bangsa dan negara.
Perilaku korupsi menurut ukuran modern saat ini dianggap sebagai
pelanggaran hukum atau kejahatan. Namun, pada waktu dulu itu adalah bagian
dari budaya feodal yang ada, sehingga oleh rakyat maupun penguasa dianggap
sebagai hal yang wajar. Perilaku korupsi itu, misalnya, terlihat dari
dipekerjakannya dan dieksploitasinya rakyat untuk hal-hal yang menjadi
kepentingan para bangsawan, seringkali tanpa upah sama sekali.
***
Sistem feodalisme sebagaimana berkembang di Eropa dan bagian dunia
lain adalah sistem di mana rakyat tunduk dan berperang untuk para bangsawan

pemilik tanah, di mana sebagai imbalan rakyat mendapat proteksi dan dibolehkan
bercocok tanam di tanah para bangsawan. Para bangsawan sendiri pada
gilirannya mengabdi dan menyatakan kesetiaan pada raja, dengan imbalan
direstui status kebangsawanan dan penguasaannya atas tanah tersebut.
Pada zaman kerajaan Mataram di Jawa sekitar tahun 1600, selain terdapat
desa-desa

yang memenuhi kebutuhan sendiri, terdapat kebudayaan keraton

yang tersendiri, yang –berbeda dari zaman Majapahit— relatif terpisah dari
segala hubungan internasional. Dalam proses keterisolasian itu dimulailah
pemfeodalan yang ekstrem, yang berdampak besar pada peradaban di Jawa.
Pemfeodalan ini menjadi latar belakang kejahatan korupsi, yang mengeksploitasi
kebodohan dan perhambaan penduduk.
Selain adanya golongan bangsawan yang gemar menumpuk harta, mereka
juga memelihara sanak (abdi dalem) yang lebih suka mencari muka pada tuannya
dan berperilaku oportunistik. Budaya kekuasaan di Nusantara, khususnya Jawa,
cenderung otoriter. Kritik atau penolakan terhadap praktik kekuasaan yang korup
dan menindas akan dianggap sebagai tantangan atau perlawanan terhadap
penguasa.

Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi
sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Sedangkan rakyat umumnya dalam

2

kondisi miskin, tertindas, tunduk, dan harus menuruti kemauan atau kehendak
penguasa. Kondisi seperti ini ikut menyuburkan budaya korupsi.
Tak jarang para abdi dalem juga melakukan korupsi ketika menarik ―upeti‖
(pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada demang (lurah), yang selanjutnya
oleh

demang

akan

diserahkan

kepada

tumenggung.


Abdi

dalem

di

katumenggungan --setingkat kabupaten atau provinsi-- pada gilirannya juga ikut

mengorupsi harta yang akan diserahkan kepada raja atau sultan. Para pengumpul
pajak ini cenderung berperilaku ―memaksa‖ rakyat kecil, dan dengan demikian
menambah beban kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi pertanian,
yang harus diserahkan sebagai pajak.
Pakar Indonesianis, Wertheim, menyatakan, korupsi di Indonesia antara
lain bersumber pada warisan pandangan feodal, yang sekarang menimbulkan
―pertentangan kesetiaan‖ antara kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban
terhadap negara. Perilaku korupsi menunjukkan kurangnya keterikatan positif
pada Pemerintah dan cita-citanya. Wertheim intinya menghubungkan korupsi
dengan sejarah, dengan sikap hidup, yang erat hubungannya dengan masa lampau,
dan dengan struktur sosial.

Pola budaya feodal yang mengatur hubungan atas dengan bawahan telah
terbentuk sempurna, dan luluh dalam kepribadian orang-orang waktu itu. Pola
budaya itu telah memungkinkan diterimanya beberapa bentuk kejahatan sebagai
bukan kejahatan. Maka perilaku korupsi elite politik pun dianggap sebagai hal
biasa oleh penduduk, bukan dipandang sebagai ketidakadilan dan bukan pula
sebagai kejahatan.
Baik raja-raja Jawa, maupun pemerintah Belanda kemudian, berkuasa
atas dasar petani. Raja-raja menerima hasil bumi dari petani sebagai upeti, dan
memakai tenaga petani guna pembangunan dan pemeliharaan istana, jalan raya,
irigasi, dan lain-lain. Kerajaan Jawa tradisional tidak terlalu besar membebani
petani jika dibandingkan dengan kekuasaan kolonial moderen kemudian, karena
memang keperluan raja dan golongan priyayi tidak seluas keperluan pemerintah
kolonial. Namun, yang sangat membebani para petani, adalah kerja bakti setiap
tahun di keraton dengan membawa upeti, yang dapat menggagalkan panen sawah
di daerahnya karena harus tinggal terlalu lama di keraton.

3

Pemerintah kolonial Belanda mempertahankan budaya feodal di
kerajaan-kerajaan yang sudah ada, untuk mempertahankan kekuasaannya.

Hubungan berat sebelah dan tidak adil antara penguasa feodal kerajaan dan
rakyat pribumi dibiarkan saja dan malah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda
untuk memajukan kepentingan politik dan ekonominya.
Sementara itu, pemerintah kolonial Belanda sendiri juga tidak kebal dari
perilaku

korupsi.

Penyebab

hancur

dan

runtuhnya

maskapai

dagang


Hindia-Belanda (VOC) bisa dibilang juga akibat perilaku korupsi. Lebih dari 200
orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia pernah ketahuan
melakukan korupsi dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan, bahkan
kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda, hampir
mencapai ribuan orang Belanda di Hindia Belanda saat itu juga terlibat korupsi.
***
Perilaku korupsi elite politik sebagai produk budaya ini terus berlanjut,
diwariskan ke generasi-generasi berikutnya, dalam berbagai bentuk yang berbeda.
Maka tidak luar biasa, jika dikatakan bahwa perilaku korupsi elite politik juga
sudah ada di pemerintahan sejak awal kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Pada periode demokrasi liberal parlementer (1950-59) dan selama
Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno (1959-65), perilaku korupsi
elite politik dan penyalahgunaan kekuasaan biasa dilakukan lewat aliansi di
antara patron-patron politis dan klien-klien bisnis, yang secara reguler diberi
perlakuan khusus dalam bentuk perizinan dan peluang-peluang bisnis yang tidak
transparan.
Perilaku korupsi elite politik ini dipandang telah memuncak

--baik dari


segi skala, kecanggihan, dan dampak kerusakannya-- ketika di bawah
pemerintahan Orde Baru, yang bermula pada 1965. Pola-pola korupsi era
sebelumnya telah ditiru oleh Orde Baru, bahkan dengan lebih sistematis.
Selama era Orde Baru, perilaku korupsi elite politik berlangsung dalam
bentuk negara patrimonial yang diorganisasikan dalam konteks masyarakat Jawa.
Banyak literatur menyatakan, Jawa telah menjadi faktor sosio-politik penting
dalam memahami politik di Indonesia.
Budaya Jawa adalah unsur yang paling berpengaruh dalam membentuk

4

pola-pola kebijakan di Indonesia era Orde Baru. Faktanya, sebagian besar
pemimpin Indonesia adalah orang Jawa, yang cenderung mempraktikkan
hubungan patron-klien, yang muncul dari tradisi negara patrimonial, di mana
para pemimpin adalah pusat kekuasaan.
Hubungan patron-klien atau patronase awalnya ditemukan dalam
masyarakat non-birokratis, di mana ia merupakan hubungan informal antara
orang yang berbeda status sosial-ekonominya. "Patron" adalah pihak yang
makmur dan berkuasa, sedangkan klien adalah pengikut atau orang bimbingan
yang tergantung pada patron. Jenis hubungan ini biasanya dicirikan dengan posisi

yang tidak berimbang antara kedua pihak, yang mencerminkan peran-peran
mereka yang tidak simetris.
Dalam hubungan patron-klien, sebagai sebuah hubungan pertukaran
antara peran-peran, individu yang memiliki status sosio-ekonomi lebih tinggi
(patron)

menggunakan sumberdaya dan pengaruhnya untuk memberikan

perlindungan atau manfaat, atau kedua-duanya, kepada orang yang statusnya
lebih rendah (klien). Sebaliknya, klien ini membalas dengan menawarkan
dukungan umum dan bantuan, termasuk pelayanan pribadi, buat sang patron.
Konsep negara patrimonial merujuk ke model politik di mana struktur
birokrasi pemerintah bersifat hirarkis dan berlapis-lapis, sedangkan para pejabat
tingkat tingginya memperoleh posisinya lebih atas dasar loyalitas mereka kepada
penguasa ketimbang kompetensi administratif, kinerja, atau prestasi.
Dalam sistem ini, kedekatan dengan penguasa adalah pertimbangan utama
dalam menunjuk seseorang ke posisi-posisi di pemerintahan. Para pejabat itu lalu
menjadi agen personal dan orang kepercayaan dari penguasa bersangkutan dalam
hubungan patronase.
Dalam konteks era Orde Baru, Presiden Soeharto memposisikan dirinya

sebagai patron, yang memberi perlindungan politik dan manfaat ekonomi kepada
para pengikutnya, yang pada gilirannya memberikan dukungan politik, dana,
kesetiaan, pelayanan, dan lain-lain kepada Soeharto dan keluarganya. Sebagian
dari klien ini adalah pengusaha dan konglomerat yang bisnisnya berkembang
pesat karena difasilitasi dan diproteksi oleh negara, di bawah pemerintahan
Soeharto. Mereka mendapat perlakuan pengistimewaan lewat berbagai proyek

5

bisnis yang sangat menguntungkan.
Berkat pertumbuhan ekonomi yang pesat lewat masuknya investasi asing,
pinjaman luar negeri, dan boom minyak bumi pada 1970-an, kue ekonomi di era
Orde Baru menjadi jauh lebih besar. Akibatnya, skala sumber-sumber yang bisa
dikorupsi juga membesar. Di era Soeharto, begawan ekonomi Indonesia, Prof. Dr.
Sumitro Djojohadikusumo, pernah menyatakan, diperkirakan sampai 30 persen
anggaran negara telah "menguap" karena perilaku korupsi.
Bukan sekadar memelihara hubungan loyalitas, saat itu sudah terbentuk
jejaring hubungan saling mendukung yang kuat antara elite politik dan kalangan
bisnis yang dekat dengan penguasa, membentuk apa yang secara populer disebut
sebagai KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
***
Berhentinya Presiden Soeharto lewat gerakan reformasi pada Mei 1998,
tidak otomatis melenyapkan perilaku korupsi di kalangan elite politik. Perilaku
korupsi elite politik di era reformasi malah memiliki pola baru.
Selama era Orde Baru yang panjang, adanya pemerintah yang otoriter dan
sangat tersentralisasi berarti memberikan tingkat prediktibilitas tertentu tentang
korupsi. Korupsi masuk ke sistem kekuasaan patrimonial yang sangat
terpersonalisasi, yang berpusat pada presiden.
Dengan runtuhnya rezim Orde Baru, kekuasaan pun menjadi lebih
tersebar dan terdesentralisasi. Seiring dengan itu, pola dan dinamika perilaku
korupsi elite politik juga mengalami hal yang sama. Korupsi tidak cuma terfokus
ke lingkaran pusat kekuasaan, presiden dan para kroni, tetapi menyebar ke
berbagai daerah dan tingkatan.
Terungkapnya berbagai kasus korupsi ini menunjukkan betapa parahnya
perilaku korupsi elite politik, khususnya yang terjadi di jajaran birokrasi
–eksekutif, legislatif, dan yudikatif-- dan aparat pemerintah. Perilaku korupsi
sudah begitu merajalela dan dilakukan oleh begitu banyak orang, sehingga
perilaku korupsi dipandang sudah membudaya dan dianggap sebagai hal yang
wajar dan biasa-biasa saja.
Bedanya dengan era pra-kolonial dan era kolonial adalah waktu itu rakyat
belum diperkenalkan pada sistem pemerintahan modern, yang secara jelas

6

memposisikan perilaku korupsi sebagai suatu kejahatan. Sedangkan dalam
kondisi sekarang, secara yuridis formal, peraturan, dan undang-undang, korupsi
secara tegas dinyatakan sebagai tindak kejahatan.
Jadi, mungkin bisa dibilang bahwa dalam konteks perilaku korupsi, elite
politik era Orde Baru dan era reformasi sekarang lebih tidak tahu malu dan lebih
tidak bermoral dibandingkan era kerajaan di Nusantara. (Diolah dari berbagai
sumber)

Jakarta, 7 Desember 2013

Ditulis untuk dimuat di Majalah AKTUAL dan www.aktual.co

Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994),
Sekjen AJI (1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita
(1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia
(2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan
Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2
Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

7