WAHHABI DALAM SUMBER SEJARAH maritim
WAHHABI DALAM SUMBER SEJARAH
Oleh Rimbun Natamarga
Tanpa disadari banyak pihak, istilah Wahhabi atau Wahabi ternyata digunakan
secara luas. Wahhabi bukan Arab Saudi. Atau, Wahhabi bukan sekedar
ditujukan pada kelompok Salafi. Bukan pula terbatas hanya kepada AlQaeda
dan Osama bin Laden.
Di Indonesia saja, kelompokkelompok peledak bom, dari mulai kelompok
Imam Samudra, Nurdin M. Top dan Dr. Azahari sampai kelompok Saifuddin
Zuhri dikatakan sebagai orangorang Wahhabi. Bahkan, Hizbut Tahrir
Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera terkadang dikatakan publik sebagai
kelompok Wahabi. Ini bagi yang jeli mengamati sejarah Islam kontemporer di
Indonesia.
Sejatinya, istilah Wahhabi berasal dari pihak yang tidak menyukai Muhammad
bin Abdil Wahhab, dakwah dan para pengikutnya. Pemilihan kata Wahhabi
berdiri di atas dalih penghormatan mereka—orangorang dari pihak yang tidak
suka itu—terhadap Nabi Muhammad; mereka tidak mau menyandarkan
julukan negatif untuk orang dan dakwah yang tidak mereka sukai kepada
nama sosok yang justru mereka hormati (Nabi Muhammad). Sebab,
seharusnya, kalau disandarkan gerakan Wahhabi kepada Muhammad bin
Abdilwahhab, maka sebutannya adalah Muhammadi. Bukan Wahhabi.
Karena itu, adalah lumrah dalam tulisantulisan mereka, Muhammad bin Abdil
Wahhab ditulis dengan kata ganti "Ibnu Abdil Wahhab," "alWahhab," "Abdul
Wahhab" atau bahkan "Nejed." Sepintas, bisa saja dikatakan bahwa
penggunaan kata ganti yang seperti ini menuruti tradisi penulisan orangorang
Barat. Akan tetapi, kenyataan yang ada tidak seperti itu.
Dua Rujukan Umum
Secara umum, penelusuran tentang sejarah gerakan Muhammad bin
Abdilwahab akan dimulai dari dua rujukan utama: Raudhatul Afkar wal Afham li
Murtadi Hal AlImam wa Ghazawat Dzawil Islam yang juga dikenal dengan
sebutan Tarikh Najd karya Husain bin Ghannam AlAhsai dan 'Unwan AlMajd
fi Tarikh Najd karya Utsman bin Bisyr AnNajdi.
Husain bin Ghannam AlAhsai adalah murid Muhammad bin Abdil Wahhab
dan ia menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Muhammad bin
Abdil Wahhab hidup. Karya Husain bin Ghannam berisi biografi dan surat
surat yang pernah ditulis oleh Muhammad bin Abdil Wahhab. Karya tersebut
juga berisi keterangan tentang perangperang yang terjadi pada waktu itu.
Dapat dikatakan, bagi kebanyakan peneliti dan penulis, karya tersebut dinilai
sebagai karya penting, semacam memoar yang menceritakan kejadiankejadian
yang terjadi di sekitarnya. Terlepas dari unsurunsur subjektifitas yang dimiliki
penulis yang bersangkutan, karya tersebut tergolong sebagai sumber primer
dalam penulisan sejarah.
Berbeda dengannya, Utsman bin Bisyr AnNajdi hanya menjumpai masa
pemerintahan raja Su'ud bin Abdil Aziz, seorang pemimpin Dinasti Saudi
periode pertama. Ia hanya sezaman dengan anakanak Muhammad bin Abdil
Wahhab yang meneruskan dakwah ayah mereka.
Karya Utsman bin Bisyr tersebut, sebagaimana karya Husain bin Ghannam,
berisi biografi Muhammad bin Abdil Wahhab dan peristiwaperistiwa yang
terjadi pada waktu itu. Akhir peristiwa yang diangkatnya adalah peristiwa
yang terjadi pada tahun 1270 H.
Karena itu, menyangkut biografi Muhammad bin Abdil Wahhab dan dakwah
yang dijalankannya, karya Utsman bin Bisyr tersebut tergolong sebagai sumber
sekunder. Akan tetapi, menyangkut berbagai peristiwa yang terjadi pada masa
penaklukan Hijaz oleh Dinasti Saudi sampai penaklukan Dir'iyyah oleh Turki
Usmani dan periode kedua pemerintahan Dinasti Saudi, karya tersebut
tergolong sumber primer.
Untuk kepentingan penulisan sejarah masa itu, karya Husain bin Ghannam
dapat dijadikan rujukan utama penulisan biografi Muhammad bin Abdil
Wahhab. Adapun untuk kepentingan penulisan peristiwaperistiwa akhir
periode pertama dan awal periode kedua pemerintahan Dinasti Saudi, karya
Utsman bin Bisyr adalah rujukan penting yang tidak bisa diabaikan.
Memoar MataMata Inggris
Belakangan ini, telah diterbitkan sebuah memoar yang diaku sebagai memoar
seorang matamata Kerajaan Inggris di Irak pada masa Muhammad bin Abdil
Wahhab hidup. Hempher, nama matamata itu, sebagaimana yang dituliskan
dalam memoar, ditugaskan oleh pihak kerajaan pada tahun 1122 H (1710 M) ke
wilayah Mesir, Irak, Hijaz dan Istanbul.
Catatancatatan yang dibuatnya pada waktu penugasan itu dijuduli dengan
"Memoirs of Hempher: The British Spy to The Middle East." Setelah
dipublikasikan, catatancatatan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan
bahasabahasa yang lain. Ikhlas Waqfi mempublikasikan catatancatatan itu ke
dalam bahasa Inggris dengan judul Confessions of a British Spy and British
Enmity.
Dalam bahasa Indonesia, memoar Hempher itu telah diterjemahkan dan
diterbitkan dengan judul Catatan Harian Seorang MataMata: Kisah Penyusupan
MataMata Inggris untuk Menghancurkan Islam oleh penerbit Galan pada tahun
2009. Dalam memoar tersebut, Hempher si penulis memoar, memakai kata
ganti "Nejed" untuk seseorang yang diceritakan sebagai Muhammad bin Abdil
Wahhab.
Selama penugasan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, menyamar
dengan nama Muhammad. Di Basrah inilah, sebagaimana yang diceritakan, ia
bertemu dan bersahabat dengan Muhammad bin Abdil Wahhab. Konon,
pertemuan itu terjadi pada tahun 1125 H. Sejak saat itu, mereka berdua
diceritakan pula menjalin pertemanan yang dekat.
Kritik atas Sumber Sejarah
Terkait dengan kepentingan penulisan sejarah, memoar tersebut dapat
digolongkan sebagai sumber primer. Akan tetapi, suatu sumber, temasuk juga
Tarikh Najd dan Unwan AlMajd fi Tarikh Najd, baru dapat diterima sebagai
sumber penulisan sejarah bila memenuhi dua syarat.
Pertama, keaslian (otentisitas) sumber tersebut harus dibuktikan terlebih
dahulu. Masuk ke dalam pembuktian jenis ini adalah pembuktian materi fisik
sumber bila itu dokumen masa lampau (jenis kertas, tinta gaya tulisan—bila
dengan tulisan tangan—atau bahkan jenis tinta yang dipakai). Selain itu, juga
gaya bahasa, ungkapanungkapan yang dipakai, jenis huruf yang ditulis dan
diksi yang ada harus dibuktikan. Pembuktian seperti ini, dalam metode
penulisan sejarah, biasa dikenal dengan istilah kritik ekstern.
Kedua, setelah terbukti otentisitas sumber tersebut, maka kedapatdipercayaan
(kredibilitas) sumber tersebut harus dibuktikan juga. Pembuktian seperti ini
dikenal juga dengan sebutan kritik intern.
Masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah penilaian intrinsik sumber yang
bersangkutan, dengan cara menilai sifat sumber dan penulis sumber. Sifat
sumber menentukan penerimaan sumber tersebut. Misal saja, laporan seorang
matamata akan berbeda sifat dengan keterangan juru bicara sang ratu kepada
publik. Demikian pula dengan penulis sumber, bagaimana pun, ia harus
dinilai, baik kualitasnya ataupun kapabilitasnya terhadap sumber yang
bersangkutan.
Juga masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah kebenaran keterangan yang
ada di dalam sumber tersebut. Pembuktian ini dilakukan dengan cara
pembandingan keterangan yang ada dengan keterangan yang ada pada
sumbersumber sejarah terpercaya lainnya. Bila banyak dukungan terhadap
keterangan yang dikandung itu, maka sudah didapat satu fakta sejarah yang
kuat. Bila tidak, maka cukup bisa untuk diragukan keterangan tersebut.
Beberapa Pertentangan Hempher
Barangkali akan menjumpai kesulitan untuk mendapatkan dokumen asli mata
mata Inggris itu sebelum dipublikasikan. Akan tetapi, bila melihat keterangan
yang dikandung memoar tersebut setelah diterjemahkan dan diterbitkan, maka
salah satu bentuk pembuktian dapat dilakukan, meskipun masih tetap
dianggap kurang lengkap tanpa bentuk pembuktian yang lain.
Sebagai misal di sini adalah keterangan bahwa Hempher bertemu pertama kali
dengan Muhammad bin Abdil Wahhab pada tahun 1125 H. Keterangan ini, bila
dibandingkan dengan keterangan yang lain jelas bertentangan.
Muhammad bin Abdil Wahhab ternyata baru memulai rangkaian perjalanan
menuntut ilmunya pada tahun 1135 H, ketika ia berumur 20 tahun, ke tanah
Hijaz. Baru beberapa tahun setelah itu, ia melakukan perjalanan untuk pertama
kalinya ke Basrah, Irak, menemui gurunya yang bernama Syaikh Muhammad
AlMajmu'i.
Meskipun banyak yang menganggap bahwa Syaikh Muhammad AlMajmu'i
adalah Hempher, tetap saja perbedaan keterangan pada memoar Hempher itu
tentang tahun pertemuan mereka dengan keterangan pada sumbersumber
yang lain dapat memberatkan untuk bisa dipercaya.
Contoh yang lain, diceritakan dalam memoar Hempher bahwa Muhammad bin
Abdil Wahhab sempat datang ke Persia pada waktu itu dan mempelajari
bahasa Persia. Keterangan ini, setelah dibandingkan dengan keterangan
keterangan dari sumbersumber yang lain, bertentangan.
Ternyata, Muhammad bin Abdil Wahhab, di luar kampung halamannya di
Nejed hanya pernah mengunjungi Hijaz, Basrah, Zubair dan Ahsa' selama
melakukan rihlahnya. Bahkan, Syam yang menjadi salah satu tujuan
pertamanya belum sempat dikunjungi karena kehabisan bekal di tengah
perjalanannya.
Kesimpulan
Beberapa contoh yang telah disebutkan sudah cukup menjadi alasan untuk
menolak keterangan yang diberikan Hempher. Yang menjadi masalah adalah
banyak penulis menjadikan memoar Hempher itu sebagai dasar argumen
bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab adalah seorang lakilaki yang
disusupkan Inggris guna merusak Islam dari dalam. Demikian pula dengan
dakwahnya, Wahhabi terkadang diklaim oleh sebagian pihak sebagai salah satu
sekte dalam Islam yang dibentuk Inggris.
Nur Khalik Ridwan, dalam tulisantulisannya tentang Wahabi, memakai
memoar Hempher itu untuk membangun argumen di dalam karyanya. Selain
itu, amat disayangkan pula bahwa harian Republika yang menjadi salah satu
surat kabar dengan sirkulasi dan publikasi luas di Indonesia pernah
mengangkat artikel tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dalam lembar
"Islam Digest." Salah satu referensi tulisan tentang Muhammad bin Abdil
Wahhab di sana ternyata memoar Hempher itu.
Perkara pembuktian sumber ini memang terkesan berteletele. Akan tetapi,
permasalahan keterangan sumber bukan sekedar permasalahan percaya atau
tidak percaya. Sumbersumber sejarah yang tidak dapat dibuktikan secara
ilmiah dengan menggunakan kritik ekstern dan intern tidak dapat dijadikan
sandaran pendapat. Keterangan yang dikandung pun belum dapat dikatakan
sebagai fakta sejarah.[]
(Referensireferensi yang digunakan dalam tulisan adalah A.M.
Hendropriyono. Terorisme:Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas. 2009; Huseyn Hilmi Isik. Catatan Harian Seorang MataMata:
Kisah Penyusupan MataMata Inggris untuk Menghancurkan Islam. Ttp: Galan.
2009; Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah (Cetakan II). Yogyakarta: Bentang
Budaya. 1997; Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah (Cetakan V). Jakarta: Penerbit
UI. 1986; Nur Khalik Ridwan. Doktrin Wahhabi dan BenihBenih Radikalisme Islam:
Buku Satu. Jogjakarta: Tanah Air. 2009; dan Perselingkuhan Wahhabi dalam
Agama, Bisnis, dan Kekuasaan: Buku Dua. Jogjakarta: Tanah Air. 2009; dan
Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi: Buku Tiga. Yogyakarta: Tanah Air. 2009;
Mas'ud AnNadwi. Muhammad bin Abdil Wahhab: Mushlih Mazhlum wa Muftaro
'alaih. Riyadh: Maktabah Malik Fahd AlWathoniyah. 1420 H; Republika, 27
Desember 2009. Untuk artikel khusus tentang biografi Muhammad bin
Abdilwahhab, dapat melihat:
http://sejarah.kompasiana.com/2010/11/08/biografimuhammadbin
abdilwahhab/).
Oleh Rimbun Natamarga
Tanpa disadari banyak pihak, istilah Wahhabi atau Wahabi ternyata digunakan
secara luas. Wahhabi bukan Arab Saudi. Atau, Wahhabi bukan sekedar
ditujukan pada kelompok Salafi. Bukan pula terbatas hanya kepada AlQaeda
dan Osama bin Laden.
Di Indonesia saja, kelompokkelompok peledak bom, dari mulai kelompok
Imam Samudra, Nurdin M. Top dan Dr. Azahari sampai kelompok Saifuddin
Zuhri dikatakan sebagai orangorang Wahhabi. Bahkan, Hizbut Tahrir
Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera terkadang dikatakan publik sebagai
kelompok Wahabi. Ini bagi yang jeli mengamati sejarah Islam kontemporer di
Indonesia.
Sejatinya, istilah Wahhabi berasal dari pihak yang tidak menyukai Muhammad
bin Abdil Wahhab, dakwah dan para pengikutnya. Pemilihan kata Wahhabi
berdiri di atas dalih penghormatan mereka—orangorang dari pihak yang tidak
suka itu—terhadap Nabi Muhammad; mereka tidak mau menyandarkan
julukan negatif untuk orang dan dakwah yang tidak mereka sukai kepada
nama sosok yang justru mereka hormati (Nabi Muhammad). Sebab,
seharusnya, kalau disandarkan gerakan Wahhabi kepada Muhammad bin
Abdilwahhab, maka sebutannya adalah Muhammadi. Bukan Wahhabi.
Karena itu, adalah lumrah dalam tulisantulisan mereka, Muhammad bin Abdil
Wahhab ditulis dengan kata ganti "Ibnu Abdil Wahhab," "alWahhab," "Abdul
Wahhab" atau bahkan "Nejed." Sepintas, bisa saja dikatakan bahwa
penggunaan kata ganti yang seperti ini menuruti tradisi penulisan orangorang
Barat. Akan tetapi, kenyataan yang ada tidak seperti itu.
Dua Rujukan Umum
Secara umum, penelusuran tentang sejarah gerakan Muhammad bin
Abdilwahab akan dimulai dari dua rujukan utama: Raudhatul Afkar wal Afham li
Murtadi Hal AlImam wa Ghazawat Dzawil Islam yang juga dikenal dengan
sebutan Tarikh Najd karya Husain bin Ghannam AlAhsai dan 'Unwan AlMajd
fi Tarikh Najd karya Utsman bin Bisyr AnNajdi.
Husain bin Ghannam AlAhsai adalah murid Muhammad bin Abdil Wahhab
dan ia menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Muhammad bin
Abdil Wahhab hidup. Karya Husain bin Ghannam berisi biografi dan surat
surat yang pernah ditulis oleh Muhammad bin Abdil Wahhab. Karya tersebut
juga berisi keterangan tentang perangperang yang terjadi pada waktu itu.
Dapat dikatakan, bagi kebanyakan peneliti dan penulis, karya tersebut dinilai
sebagai karya penting, semacam memoar yang menceritakan kejadiankejadian
yang terjadi di sekitarnya. Terlepas dari unsurunsur subjektifitas yang dimiliki
penulis yang bersangkutan, karya tersebut tergolong sebagai sumber primer
dalam penulisan sejarah.
Berbeda dengannya, Utsman bin Bisyr AnNajdi hanya menjumpai masa
pemerintahan raja Su'ud bin Abdil Aziz, seorang pemimpin Dinasti Saudi
periode pertama. Ia hanya sezaman dengan anakanak Muhammad bin Abdil
Wahhab yang meneruskan dakwah ayah mereka.
Karya Utsman bin Bisyr tersebut, sebagaimana karya Husain bin Ghannam,
berisi biografi Muhammad bin Abdil Wahhab dan peristiwaperistiwa yang
terjadi pada waktu itu. Akhir peristiwa yang diangkatnya adalah peristiwa
yang terjadi pada tahun 1270 H.
Karena itu, menyangkut biografi Muhammad bin Abdil Wahhab dan dakwah
yang dijalankannya, karya Utsman bin Bisyr tersebut tergolong sebagai sumber
sekunder. Akan tetapi, menyangkut berbagai peristiwa yang terjadi pada masa
penaklukan Hijaz oleh Dinasti Saudi sampai penaklukan Dir'iyyah oleh Turki
Usmani dan periode kedua pemerintahan Dinasti Saudi, karya tersebut
tergolong sumber primer.
Untuk kepentingan penulisan sejarah masa itu, karya Husain bin Ghannam
dapat dijadikan rujukan utama penulisan biografi Muhammad bin Abdil
Wahhab. Adapun untuk kepentingan penulisan peristiwaperistiwa akhir
periode pertama dan awal periode kedua pemerintahan Dinasti Saudi, karya
Utsman bin Bisyr adalah rujukan penting yang tidak bisa diabaikan.
Memoar MataMata Inggris
Belakangan ini, telah diterbitkan sebuah memoar yang diaku sebagai memoar
seorang matamata Kerajaan Inggris di Irak pada masa Muhammad bin Abdil
Wahhab hidup. Hempher, nama matamata itu, sebagaimana yang dituliskan
dalam memoar, ditugaskan oleh pihak kerajaan pada tahun 1122 H (1710 M) ke
wilayah Mesir, Irak, Hijaz dan Istanbul.
Catatancatatan yang dibuatnya pada waktu penugasan itu dijuduli dengan
"Memoirs of Hempher: The British Spy to The Middle East." Setelah
dipublikasikan, catatancatatan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan
bahasabahasa yang lain. Ikhlas Waqfi mempublikasikan catatancatatan itu ke
dalam bahasa Inggris dengan judul Confessions of a British Spy and British
Enmity.
Dalam bahasa Indonesia, memoar Hempher itu telah diterjemahkan dan
diterbitkan dengan judul Catatan Harian Seorang MataMata: Kisah Penyusupan
MataMata Inggris untuk Menghancurkan Islam oleh penerbit Galan pada tahun
2009. Dalam memoar tersebut, Hempher si penulis memoar, memakai kata
ganti "Nejed" untuk seseorang yang diceritakan sebagai Muhammad bin Abdil
Wahhab.
Selama penugasan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, menyamar
dengan nama Muhammad. Di Basrah inilah, sebagaimana yang diceritakan, ia
bertemu dan bersahabat dengan Muhammad bin Abdil Wahhab. Konon,
pertemuan itu terjadi pada tahun 1125 H. Sejak saat itu, mereka berdua
diceritakan pula menjalin pertemanan yang dekat.
Kritik atas Sumber Sejarah
Terkait dengan kepentingan penulisan sejarah, memoar tersebut dapat
digolongkan sebagai sumber primer. Akan tetapi, suatu sumber, temasuk juga
Tarikh Najd dan Unwan AlMajd fi Tarikh Najd, baru dapat diterima sebagai
sumber penulisan sejarah bila memenuhi dua syarat.
Pertama, keaslian (otentisitas) sumber tersebut harus dibuktikan terlebih
dahulu. Masuk ke dalam pembuktian jenis ini adalah pembuktian materi fisik
sumber bila itu dokumen masa lampau (jenis kertas, tinta gaya tulisan—bila
dengan tulisan tangan—atau bahkan jenis tinta yang dipakai). Selain itu, juga
gaya bahasa, ungkapanungkapan yang dipakai, jenis huruf yang ditulis dan
diksi yang ada harus dibuktikan. Pembuktian seperti ini, dalam metode
penulisan sejarah, biasa dikenal dengan istilah kritik ekstern.
Kedua, setelah terbukti otentisitas sumber tersebut, maka kedapatdipercayaan
(kredibilitas) sumber tersebut harus dibuktikan juga. Pembuktian seperti ini
dikenal juga dengan sebutan kritik intern.
Masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah penilaian intrinsik sumber yang
bersangkutan, dengan cara menilai sifat sumber dan penulis sumber. Sifat
sumber menentukan penerimaan sumber tersebut. Misal saja, laporan seorang
matamata akan berbeda sifat dengan keterangan juru bicara sang ratu kepada
publik. Demikian pula dengan penulis sumber, bagaimana pun, ia harus
dinilai, baik kualitasnya ataupun kapabilitasnya terhadap sumber yang
bersangkutan.
Juga masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah kebenaran keterangan yang
ada di dalam sumber tersebut. Pembuktian ini dilakukan dengan cara
pembandingan keterangan yang ada dengan keterangan yang ada pada
sumbersumber sejarah terpercaya lainnya. Bila banyak dukungan terhadap
keterangan yang dikandung itu, maka sudah didapat satu fakta sejarah yang
kuat. Bila tidak, maka cukup bisa untuk diragukan keterangan tersebut.
Beberapa Pertentangan Hempher
Barangkali akan menjumpai kesulitan untuk mendapatkan dokumen asli mata
mata Inggris itu sebelum dipublikasikan. Akan tetapi, bila melihat keterangan
yang dikandung memoar tersebut setelah diterjemahkan dan diterbitkan, maka
salah satu bentuk pembuktian dapat dilakukan, meskipun masih tetap
dianggap kurang lengkap tanpa bentuk pembuktian yang lain.
Sebagai misal di sini adalah keterangan bahwa Hempher bertemu pertama kali
dengan Muhammad bin Abdil Wahhab pada tahun 1125 H. Keterangan ini, bila
dibandingkan dengan keterangan yang lain jelas bertentangan.
Muhammad bin Abdil Wahhab ternyata baru memulai rangkaian perjalanan
menuntut ilmunya pada tahun 1135 H, ketika ia berumur 20 tahun, ke tanah
Hijaz. Baru beberapa tahun setelah itu, ia melakukan perjalanan untuk pertama
kalinya ke Basrah, Irak, menemui gurunya yang bernama Syaikh Muhammad
AlMajmu'i.
Meskipun banyak yang menganggap bahwa Syaikh Muhammad AlMajmu'i
adalah Hempher, tetap saja perbedaan keterangan pada memoar Hempher itu
tentang tahun pertemuan mereka dengan keterangan pada sumbersumber
yang lain dapat memberatkan untuk bisa dipercaya.
Contoh yang lain, diceritakan dalam memoar Hempher bahwa Muhammad bin
Abdil Wahhab sempat datang ke Persia pada waktu itu dan mempelajari
bahasa Persia. Keterangan ini, setelah dibandingkan dengan keterangan
keterangan dari sumbersumber yang lain, bertentangan.
Ternyata, Muhammad bin Abdil Wahhab, di luar kampung halamannya di
Nejed hanya pernah mengunjungi Hijaz, Basrah, Zubair dan Ahsa' selama
melakukan rihlahnya. Bahkan, Syam yang menjadi salah satu tujuan
pertamanya belum sempat dikunjungi karena kehabisan bekal di tengah
perjalanannya.
Kesimpulan
Beberapa contoh yang telah disebutkan sudah cukup menjadi alasan untuk
menolak keterangan yang diberikan Hempher. Yang menjadi masalah adalah
banyak penulis menjadikan memoar Hempher itu sebagai dasar argumen
bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab adalah seorang lakilaki yang
disusupkan Inggris guna merusak Islam dari dalam. Demikian pula dengan
dakwahnya, Wahhabi terkadang diklaim oleh sebagian pihak sebagai salah satu
sekte dalam Islam yang dibentuk Inggris.
Nur Khalik Ridwan, dalam tulisantulisannya tentang Wahabi, memakai
memoar Hempher itu untuk membangun argumen di dalam karyanya. Selain
itu, amat disayangkan pula bahwa harian Republika yang menjadi salah satu
surat kabar dengan sirkulasi dan publikasi luas di Indonesia pernah
mengangkat artikel tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dalam lembar
"Islam Digest." Salah satu referensi tulisan tentang Muhammad bin Abdil
Wahhab di sana ternyata memoar Hempher itu.
Perkara pembuktian sumber ini memang terkesan berteletele. Akan tetapi,
permasalahan keterangan sumber bukan sekedar permasalahan percaya atau
tidak percaya. Sumbersumber sejarah yang tidak dapat dibuktikan secara
ilmiah dengan menggunakan kritik ekstern dan intern tidak dapat dijadikan
sandaran pendapat. Keterangan yang dikandung pun belum dapat dikatakan
sebagai fakta sejarah.[]
(Referensireferensi yang digunakan dalam tulisan adalah A.M.
Hendropriyono. Terorisme:Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas. 2009; Huseyn Hilmi Isik. Catatan Harian Seorang MataMata:
Kisah Penyusupan MataMata Inggris untuk Menghancurkan Islam. Ttp: Galan.
2009; Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah (Cetakan II). Yogyakarta: Bentang
Budaya. 1997; Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah (Cetakan V). Jakarta: Penerbit
UI. 1986; Nur Khalik Ridwan. Doktrin Wahhabi dan BenihBenih Radikalisme Islam:
Buku Satu. Jogjakarta: Tanah Air. 2009; dan Perselingkuhan Wahhabi dalam
Agama, Bisnis, dan Kekuasaan: Buku Dua. Jogjakarta: Tanah Air. 2009; dan
Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi: Buku Tiga. Yogyakarta: Tanah Air. 2009;
Mas'ud AnNadwi. Muhammad bin Abdil Wahhab: Mushlih Mazhlum wa Muftaro
'alaih. Riyadh: Maktabah Malik Fahd AlWathoniyah. 1420 H; Republika, 27
Desember 2009. Untuk artikel khusus tentang biografi Muhammad bin
Abdilwahhab, dapat melihat:
http://sejarah.kompasiana.com/2010/11/08/biografimuhammadbin
abdilwahhab/).