PENJAMINAN MUTU DALAM PENERIMAAN PASIEN

Tugas Kelompok
PENJAMINAN MUTU DALAM PENERIMAAN PASIEN BARU
DI UNIT GAWAT DARURAT
Disusun untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Mutu dan pelayanan Kesehatan
Dosen Pengampu: M. Rofi’i, S. Kp., M. Kep

Oleh:
Kusnadi Jaya

22020114410044

Wiwin Nur Aeni

22020114410050

Candra Dewi Rahayu

22020114410051

Sri Siska Mardiana


22020114410052

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

A. Pendahuluan
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan
merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung

penyelenggaraan

upaya

kesehatan.

Penyelenggaran


pelayanan

kesehatan di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat
kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang
beragam, berinteraksi satu sama lain.
Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang beragam,
berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang
berkembang sangat pesat yang perlu diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka
pemberian pelayanan yang bermutu standar, membuat semakin kompleksnya
permasalahan di rumah sakit. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi dimaksud memiliki makna
tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan taraf keejahteraan mesyarakat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal BAB I ayat 6
menyatakan : Standar pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah
ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib
daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Ayat 7. Indikator
SPM adalah tolak ukur untuk prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan

untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi didalarn pencapaian
suatu SPM tertentu berupa masukan, proses, hasil dan atau manfaat pelayanan.
Sebagai bagian integral pelayanan keperawatan, pelayanan kegawat daruratan
harus sesuai dengan SPM. Pelayanan keperawatan gawat darurat mengutamakan
akses pelayanan kesehatan bagi korban dengan tujuan untuk mencegah dan
mengurangi angka kesakitan, kematian dan kecacatan [22].
Unit Gawat Darurat (UGD) sebagai salah satu pintu masuk pelayanan, secara
tidak langsung memberikan gambaran bagimana kualitas pelayanan secara
Page 1 of 24

keseluruhan. Untuk lebih mendalami bagaimana penjaminan mutu diselenggarakan
di rumah sakit, maka Penulis melakukan studi observasi tentang pelayanan pasien
baru di UGD yang dilakukan di RSUD dr. Soenarto Gemolong. Alasan pemilihan
RS tersebut karena merupakan salah satu rumah sakit yang dikonversi dari
Puskesmas Perawatan dengan type D. rumah sakit yag sedang berbenah tentu
membutuhkan terobosan-terobosan dan perubahan-perubahan ke arah yang lebih
baik. Hasil dari kajian yang Penulis lakukan diharapkan dapat memberikan masukan
bagi RS dalam upaya penjaminan mutu kedepan.
B. Telaah literatur
Tidak semua pasien dengan kondisi akut merasa perlu dibawa ke Unit Gawat

Darurat (UGD). Beberapa bahkan merasa sangat puas jika memungkinkan untuk
dirawat di rumah tanpa harus berlama-lama di UGD [1]. Bahkan lebih dari separuh
pasien yang mengalami kegawatan di rumah di Kanada merasa sangat puas jika
dikunjungi oleh terapis keluarga atau sekedar konsultasi per telepon [2]. Karena itu
screening kegawatan pada fase akut harus dilakukan dengan baik untuk
memutuskan

pertolongan

yang

dibutuhkan.

Screening

yang

meragukan

menyebabkan banyak waktu dihabiskan oleh pasien di UGD, dan jika petugas tidak

mengetahui harapan pasien terhadap kunjungan ke UGD tersebut tentu akan
menyebabkan ketidakpuasan. Selain itu, penanganan oleh berbagai tenaga
profesional di UGD juga dapat menambah ketidakpuasan pasien. Misalnya pada saat
melakukan assesment awal, masing-masing bertindak dengan cara mereka masingmasing bahkan mengulang-ulang beberapa prosedur yang sama.
Model penerimaan pasien baru yang saat ini dilaksanakan secara umum adalah
menjadikan UGD sebagai pintu masuk rawat inap alternatif setelah pelayanan
poliklinik berakhir. Sehingga UGD berperan sebagai unit perawatan primer yang
bertugas mengatasi masalah fase akut dan mengatur distribusi pasien untuk
memperoleh perawatan sekunder. Mudahnya akses terhadap UGD menyebabkan
terjadinya peningkatan kunjungan kasus-kasus non-akut, menambah antrian untuk
dilayani di UGD dan kesulitan yang tidak perlu dalam memberikan pertolongan
Page 2 of 24

langsung untuk kondisi yang mendesak [3]. Perpaduan dari komunikasi inefektif
antar profesional dan banyaknya kasus-kasus non-akut di UGD yang sebenarnya
tidak harus dirawat di UGD meningkatkan stress kerja dan kebosanan di antara
pegawai dan sangat tidak produktif [4].
Sebuah model yang disebut Interprofessionalisme mencoba menggambarkan
model perawatan dari penyedia layanan kesehatan menggunakan keterampilan yang
saling melengkapi, pengetahuan dan kompetensi untuk memberikan layanan

berkualitas kepada pasien. Interaksi masing-masing profesional ini ditandai oleh
kepercayaan, rasa hormat dan pemahaman tentang keterampilan dan pengetahuan
masing-masing [5], [6]. Namun demikian, meskipun model interprofesional
dikembangkan untuk mempersingkat waktu triase dan penanganan fase akut dengan
tujuan pasien menjadi puas, tetapi adakalanya pasien memiliki harapan dan
keinginannya sendiri yang berbeda dengan harapan petugas. Penelitian Masso dkk
(2007) di Australia mengungkapkan bahwa ternyata ada perbedaan bermakna antara
petugas dan pasien dalam menentukan hal-hal yang penting untuk mereka peroleh
selama di UGD yang membuktikan bahwa memang terdapat perbedaan perspektif
dan kebutuhan antara petugas (dokter dan perawat) maupun pasien [7], [8].
Ketika petugas membuat prioritas penanganan berdasarkan tingkat kegawatan
(mendahulukan pasien yang lebih gawat dan meninggalkan pasien yang kurang
gawat untuk menunggu), pasien justru menginginkan penanganan secara setara dan
bersamaan karena mereka menganggap diri mereka sama pentingnya dengan pasien
gawat. Atau sebaliknya, petugas menyimpulkan bahwa keluhan yang dialami pasien
tidak mengindikasikan rawat inap tetapi pasien menginginkan hospitalisasi dengan
alasan mereka sendiri. Beberapa pasien kadang tidak mau menunggu terlalu lama
dan meninggalkan UGD untuk mencari penanganan di tempat lain [9]. Pada
sebagian besar pasien, informasi tentang rasionalisasi waktu tunggu tersebut masih
menjadi kebutuhan utama mereka [10], [11]. Karena itulah pentingnya suatu sistem

yang dapat membantu pasien untuk mengenali dan merefleksikan apa sebenarnya

Page 3 of 24

yang mereka harapkan saat dibawa ke UGD sehingga mereka dapat turut
berpartisipasi mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.
Beberapa Rumah Sakit kemudian mengembangkan unit khusus seperti
emergency short-stay unit (ESSU). Penelitian Arendts dkk (2006) di Australia
melaporkan bahwa sebagian besar pasien ESSU yang memperoleh discharge
planing dengan baik merasa puas dengan metode ini. Hanya sebagian kecil yang
melakukan kunjungan ke RS lain sesudah pulang atau kembali lagi untuk keluhan
yang sama [12]. Dengan demikian, pelayanan singkat di UGD dapat meningkatkan
kualitas pelayanan. Bahkan di Irlandia disepakati bahwa dalam waktu kurang dari 6
jam pasien harus sudah memperoleh keputusan apakah mereka akan dirawat atau
dipulangkan [13]. Di Swiss, pasien-pasien yang dipulangkan oleh petugas UGD,
akan di follow-up oleh petugas on-call yang bekerja di luar jam dinasnya [14]. Di
Australia, pasien dengan penyakit kronis yang sering bolak-balik ke rumah sakit
ditangani secara berbeda dengan pasien dengan kondisi akut (gawat-darurat).
Mereka dipandu oleh petugas khusus (care navigation) yang mengelola mulai dari
kedatangan di RS, monitoring selama perawatan hingga koordinasi dengan perawat

komunitas saat pasien keluar RS. Kebijakan ini diterapkan untuk memfokuskan area
kerja petugas gawat-darurat di UGD [15]. Kebijakan ini juga efektif apabila
diterapkan terhadap pasien lansia maupun gangguan jiwa [16].
Systematic review yang dilakukan Carter dkk (2013) mendapatkan bahwa 3
dari 11 publikasi melaporkan bahwa terdapat hubungan antara crowding (banyaknya
pasien/kerumunan) di UGD dengan angka kematian pasien baik yang dirawat di
UGD maupun yang dipulangkan. Sebanyak 5 dari 11 publikasi melaporkan
crowding berhubungan dengan banyaknya aktivitas pasien yang tidak teramati oleh
petugas [17]. Karena itu perlu diciptakan sebuah sistem yang dapat mengurangi
banyaknya kerumunan pasien di UGD terutama di era JKN dimana banyak pasien
miskin yang dibawa ke UGD meskipun tidak memiliki kondisi akut yang gawat dan
darurat serta kebijakan politis pemerintah daerah yang tidak membolehkan Rumah
Sakit menolak pasien yang datang ke UGD.
Page 4 of 24

Sebuah model yang dikembangkan di Finlandia mencoba mengatasi masalahmasalah tersebut dengan cara membagi peran penanganan menjadi penanganan
primer dan sekunder. Penanganan primer bertanggung jawab untuk penilaian awal
dan pengobatan. Mereka juga mengatur rujukan dan akses ke perawatan sekunder.
Mereka menerapkan Sistem Triase ABCDE yang terbukti mengurangi crowdeed di
UGD.


Triage

dilakukan

secara

face-to-face

kemudian

diberikan

inisial

menggunakan huruf, misalnya huruf A (pasien dikirim langsung ke perawatan
sekunder), B (untuk diperiksa dalam waktu 10 menit), C (Untuk diperiksa dalam
waktu 1 jam), D (untuk diperiksa dalam waktu 2 jam) dan E (tidak perlu pengobatan
segera) untuk menilai urgensi kebutuhan perawatan pasien [3].
C. Identifikasi tema penting

Berdasarkan paparan dan telaah literatur di atas maka dapat diidentifikasi
tema-tema penting sebagai dasar dalam menyusun aplikasi, sebagai berikut :
1. Tidak semua pasien yang datang ke UGD harus ditangani di UGD. Ada yang
boleh pulang atau langsung ke unit rawat inap.
2. Assesment awal pasien gawat darurat harus dilaksanakan terpadu, tidak tumpang
tindih.
3. Pemulangan pasien dari UGD harus disertai dengan discharge planning yang
memadai dan ditindaklanjuti dengan mengaktifkan petugas on-call dan home
care.
4. Kasus-kasus penyakit kronis, lansia atau gangguan jiwa yang tidak mengandung
unsur kegawat-daruratan harus dieliminasi dan ditangani di luar konteks gawat
darurat.
5. Perspektif perawat, dokter dan pasien terhadap penatalaksanaan gawat darurat
harus disetarakan dalam waktu relatif singkat. Hal ini dapat diatasi dengan
pemberian informasi standar yang dapat diakses pasien dan keluarga secara
mandiri.
6. Dibutuhkan sistem seleksi kondisi kegawatdaruratan yang memiliki lebih
banyak gradasi untuk menurunkan kejadian crowdeed di UGD.
Page 5 of 24


D. Hasil Observasi di RS dr. Soenarto Gemolong
Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
merupakan pondasi utama dalam konteks penjaminan mutu. Dalam melakukan
pengamatan ini maka kerangka utama yang digunakan adalah SPM Pelayanan
Gawat Darurat sesuai dengan Kepmenkes di atas. Untuk memperluas pemahaman,
maka Penulis juga melakukan pengamatan terhadap hal-hal lain yang berhubungan
dengan penjaminan mutu serta standar-standar yang dimiliki oleh RS dalam konteks
menjaga mutu sebagaimana hasil telaah jurnal yang telah dilakukan.
Tabel 1.
Hasil Pengamatan SPM Pelayanan Gawat Darurat UGD RS dr. Soenarto Gemolong
No
1

Indikator
Kemampuan menangani
life saving anak dan
dewasa

Standar
100%

2

Jam buka Pelayanan
Gawat Darurat

24 jam

3

Pemberi pelayanan gawat
darurat yang bersertifikat
yang masih berlaku
BLS/PPGD/GELS/ALS

100%

4

Ketersediaan tim
penanggulangan bencana

1 tim

5

Waktu tanggap pelayanan
Dokter di Gawat Darurat

6

Kepuasan Pelanggan

≤ lima
menit
terlayani,
setelah
pasien
datang
≥ 70 %

Hasil
Dilaporkan oleh Ka. Ru. bahwa
perawat terampil dalam
memasang infus bayi, anak,
dewasa, menguasai teknik
pembebasan jalan napas dan
terapi oksigen dasar.
Hasil observasi : perawat
terampil memasang infus
Dilaporkan oleh Ka. Ru. bahwa
UGD buka 24 jam dan menjadi
pintu masuk sesudah pelayanan
Poliklinik berakhir
Dilaporkan oleh Ka. Ru. bahwa
11 orang perawat UGD
memiliki sertifikat BTCLS.
Tetapi tidak dapat dikonfirmasi
masa berlaku sertifikat sebab
dokumen ada di bagian
Kepegawaian
Dilaporkan oleh Ka. Ru. bahwa
RS belum memiliki tim
penanggulangan bencana
Hasil pengamatan terhadap 6
pasien yang diterima semuanya
langsung diperiksa dan
diberikan pertolongan pertama
dalam waktu 3 menit.
5 pasien yang diwawancarai
mengungkapkan bahwa

Kesan
Standar dapat
dipenuhi

Standar dapat
dipenuhi
Kemungkinan
besar standar
terpenuhi

Kemungkinan
besar saat ini
belum
dibutuhkan
Standar dapat
dipenuhi

Standar dapat
dipenuhi

Page 6 of 24

7

Kematian pasien < 24 Jam

8

Tidak adanya pasien yang
diharuskan membayar
uang muka

≤ dua per
seribu
(pindah
ke rawat
inap
setelah 8
jam)
100%

pelayanan RS sudah
memuaskan dan sesuai dengan
harapan. 1 orang tidak sempat
diwawancara karena sedang
jahit luka.
Menurut Ka. Ru. pasien yang
ditangani jarang meninggal di
UGD.
Hasil observasi : pasien banyak
menunggu antrian masuk ruang
rawat inap
Hasil observasi : tidak ada
pasien yang diminta uang muka

Belum dapat
disimpulkan

Standar dapat
dipenuhi

Berdasarkan tabel 1 di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara umum
indikator pelayanan minimal sudah terpenuhi. Selanjutnya Penulis melakukan
pengamatan menggunakan perspektif berbeda sebagai pengembangan. Hasil
pengamatan yang Penulis lakukan selama 3 jam pengamatan dengan jumlah total 6
orang pasien di ruang UGD RS dr. Soenarto Gemolong mendapat hasil bahwa
menurut pasien dan keluarga yang diamati, dalam pemberian pelayan sudah cukup
bagus perawat cepat menangani kondisi pasien akan tetapi ada 3 pasien yang belum
mengatahui diagnosa penyakitnya. Hal lain dijelaskan oleh pasien dan keluarga
mereka sudah dilakukan perawatan di UGD selama 1 hari. Pasien menyampaikan,
“Saya dirawat sudah dari kemarin mbak, tapi belum dipindah ke ruangan, kata
Perawat ruangannya penuh”.
Pada saat yang sama observer melihat ada pasien masuk UGD karena KLL
dengan trauma kepala dan kemungkinan ada fraktur di ektrimitas bawah. Pada saat
masuk UGD, penerima pasien adalah driver ambulan yang kemudian dimasukan ke
ruang tindakan yang merangkap Ruang VK di UGD. Sebenarnya di RS dr. Soenarto
Gemolong sudah ada pembagian ruang sesuai dengan triase akan tetapi hal ini tidak
berfungsi dengan optimal. Kemungkinan penyebabnya adalah karena rumah sakit
tersebut belum mepunya SPO tentang penerimaan pasien baru di UGD dan belum
adanya SPO tentang pemindahan pasien dari UGD ke unit perawatan (unit rawat

Page 7 of 24

inap) sehingga hal tersebut menjadi suatu kendala dalam pemberian pelayanan di
UGD. Berdasarkan perluasan konteks dan topik observasi, maka Penulis mencoba
membandingkan beberapa aspek untuk memperoleh gambaran masalah dengan lebih
baik.
Berikut adalah alur penerimaan pasien baru di RS dr. Soenarto Gemolong
berdasarkan hasil pengamatan.
Gambar 1
Alur Paien Masuk UGD Rumah Sakir dr. Soenarto Gemolong
Pasien Masuk
(belum ada SPO
penerimaan pasien baru)

Keluarga mendaftarkan
pasien

Catatan keperawatan dan
catatan dokter

Amannesa oleh perawat

Lapor dokter

Rekam Medik

Penjelasan kepada
keluarga pasien

Menulis RM dan resep

Pemeriksaan Dokter

Perawatan di RS

Perawatan di RS

Pasien Pulang

Pemesanan kamar

Konfirmasi ruangan

Memindahkan pasien ke
ruang pewarawatan
(blm ada SPO)

Page 8 of 24

Hasil pengamatan tersebut kemudian dibandingkan dengan hasil ekstraksi dari
jurnal dan dituangkqan dalam tabel 2 berikut
Tabel 2
Perbandingan hasil ekstraksi literatur dan hasil observasi
Hasil ekstraksi literatur

Hasil observasi

Rekomendasi

Tidak semua pasien yang
datang ke UGD harus ditangani
di UGD. Ada yang boleh
pulang atau langsung ke unit
rawat inap.

Ada 3 pasien yang sudah
berada di UGD lebih dari 24
jam untuk antri masuk ruangan
perawatan.
Menurut Ka. Ru. hampir
seluruh pasien BPJS minta di
rawat inap dan ada kebijakan
daerah untuk tidak boleh
menolak pasien.
Hasil
observasi,
perawat
melakukan pemeriksaan fisik
pertama kali kemudian lapor
dokter jaga. Dokter kemudian
mengkonfirmasi
dengan
memeriksa ulang kemudian
menuliskan resep/memberikan
order
Dari 6 pasien yang ada selama
observasi tidak ada yang
dipulangkan. Sebanyak 3 dari 6
pasien
belum
ditegakkan
diagnosa dan menunggu di
UGD lebih dari 24 jam
Selama observasi tidak ada
kasus gangguan jiwa maupun
penyakit kronis.

Terbatasnya kapasitas rawat
inap harus diatasi dengan
mengoptimalkan triase. Pasien
harus diorientasikan kembali
tentang kebutuhan untuk
rawat
inap
berdasarkan
kondisinya.
Apabila
dibutuhkan,
RS
dapat
membuat unit rawat sehari.
Asesmen terintegrasi dalam 1
periode pemeriksaan untuk
mempersingkat waktu.

Assesment awal pasien gawat
darurat harus dilaksanakan
terpadu, tidak tumpang tindih.

Pemulangan pasien dari UGD
harus disertai dengan discharge
planning yang memadai dan
ditindaklanjuti dengan cara
mengaktifkan petugas on-call
dan home care.
Kasus-kasus penyakit kronis,
lansia atau gangguan jiwa yang
tidak
mengandung
unsur
kegawat-daruratan
harus
dieliminasi dan ditangani di
luar konteks gawat darurat.
Perspektif perawat, dokter dan
pasien
terhadap
penatalaksanaan gawat darurat
harus disetarakan dalam waktu
relatif singkat. Hal ini dapat
diatasi
dengan
pemberian
informasi standar yang dapat
diakses pasien dan keluarga
secara mandiri.
Dibutuhkan sistem seleksi
kondisi kegawatdaruratan yang
memiliki lebih banyak gradasi
untuk menurunkan kejadian
crowdeed di UGD

Pasien yang sudah stabil dan
tidak ada indikasi rawat inap
sebaiknya
dipulangkan
dengan discharge planning
yang baik.

Hasil observasi : Tidak
ditemukan leaflet atau bagan
alur yang ditempelkan di
ruangan tentang alur pelayanan.
Pasien yang sudah lama
menunggu di UGD juga tidak
pernah diberikan penyuluhan
agar dirawat di rumah.

Dibuat bagan alur dan SPO
triase maupun penanganan
pasien di rawat darurat dan
ditempelkan
di
dinding
ruangan sebagai bagian dari
pemberian informasi kepada
pasien.

Menurut Ka. Ru. beberapa kali
UGD penuh dengan pasien
karena Ruangan Perawatan
penuh, sehingga petugas UGD
kewalahan.

SPO triase dan penanganan
pasien lebih spesifik

Page 9 of 24

Berdasarkan tabel 2 di atas maka dapat dibuat beberapa rekomendasi untuk
penjaminan mutu sebagai berikut :
1. Assesmen terintegrasi perawat dan dokkter dalam satu periode. Untuk itu
dibutuhkan format dokumentasi terintegrasi untuk UGD.
2. Dibutuhkan SPO penerimaan pasien baru dan penatalaksanaan di UGD.
3. Dibutuhkan sosialisasi tentang bagan alir penerimaan pasien baru yang dapat
diakses oleh pasien dan keluarga.
4. Dibutuhkan unit rawat sehari sebagai transit dan observasi selama fase akut yang
terpisah dari UGD
E. Desain aplikasi
Aplikasi ini merupakan kombinasi sistem penapisan yang dikembangkan
dalam penelitian Kantonen (2010) yang dipadukan dengan support system yang
dikembangkan oleh Arendts (2006) dan Huber (2011). Pada tahap awal, harus
disepakati terlebih dahulu kode-kode yang akan diterapkan berdasarkan hasil
screening, yaitu :
1. A : Langsung Masuk Ruang Rawat
2. B : Untuk diperiksa dalam waktu kurang dari 10 menit
3. C : Untuk diperiksa dalam waktu 1 jam
4. D : Untuk diperiksa dalam waktu 2 jam
5. E : Boleh dirawat di rumah
Pemilihan warna bisa saja disesuaikan dengan kebijakan, kebiasaan atau
kesepakatan di masing-masing RS agar tidak menimbulkan kerancuan terkait
dengan kode warna. Tetapi yang harus diingat adalah makna dari tiap-tiap huruf
tersebut. Dengan penerapan metode screening ini maka petugas sudah bisa
menyingkirkan kasus-kasus bukan gawat darurat. Selanjutnya pasien dengan kode A
langsung ditangani oleh petugas khusus untuk rawat inap sedangkan pasien dengan
kode E dapat langsung mengaktifkan sistem perawatan on-call dan home care.
Dengan demikian UGD hanya fokus pada pasien dengan kode B, C dan D. Secara
singkat, bagan alur penerapannya adalah sebagai berikut :
Page 10 of 24

Gambar 2
Metoda Screening Pasien Di UGD
Pasien datang ke UGD
Screening

A

B, C, D

E

Rawat Inap

UGD

Pulang

1. Aktifasi care-navigation
bagi pasien tetap dengan
kondisi kronis
2. Aktifasi rujukan bagi
kasus gangguan jiwa
3. Case-manager

1. Aktifasi SPGDT
2. Integrated Care Pathway

1. Aktifasi on-call
services
2. Aktifasi home
care services

F. Rancangan Standar Prosedur Operasional
Pusdiklat Aparatur Badan PPSDM Kesehatan Kementerian Kesehatan 2013
menjelaskan pentingnya SPO dalam pemberian pelayan keperawatan karena SPO
merupakan panduan hasil kerja yang diinginkan serta proses kerja yang harus
dilaksanakan. SPO dibuat dan di dokumentasikan secara tertulis yang memuat
prosedur (alur proses) kerja secara rinci dan sistematis. Alur kerja (prosedur)
tersebut haruslah mudah dipahami dan dapat di implementasikan dengan baik dan
konsisten oleh pelaku. Implementasi SPO yang baik akan menunjukkan konsistensi
hasil kerja, hasil produk dan proses pelayanan seluruhnya dengan mengacu kepada
kemudahan, pelayanan dan pengaturan yang seimbang [23]. Berdasarkan paparan di
atas maka penulis yang juga sebagai observer dalam kegiatan ini merasa perlu
menyusun SPO tentang penerimaan pasen baru di Unit Gawat Darurat.

Page 11 of 24

SPO Penerimaan Pasien Baru di IGD
1. Pengertian :
Sebuah prosedur kerja yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertugas di
ruang IGD dalam menerima pasien baru dan arahan tindakan berikutnya.
2. Tujuan :
Memberikan pelayanan gawat darurat yang cepat, tepat, dan akurat.
3. Ruang Lingkup :
a. Triase
b. Pendaftaran pasien
c. Evaluasi awal
d. Costumer care
4. Prosedur pelaksanaan :
a. Triase
1) Pasien yang diantar ambulance atau membutuhkan resusitasi/emergensi
dan didampingi perawat, pemeriksaan triase dilakukan dengan cara Walk
In Triase. pengantar mengaktifkan sistem alert lalu serah terima kepada
tim IGD.
2) Pasien yang diantar bukan oleh ambulance, perawat melakukan triase di
IGD.
3) Apabila hasil triase :
Pasien dengan kriteria gawat dan atau darurat, ditangani oleh tim IGD
Pasien dengan false emergency atau not urgent, dapat ditangani dalam
waktu maksimal 2 jam, khusus bagi lansia (>65 tahun) dan batita (