LARANGAN LARANGAN DALAM JUAL BELI PERSPE

LARANGAN-LARANGAN DALAM JUAL BELI
PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH

Oleh:
Heris Suhendar
Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri lagi manusia hidup di dunia ini dengan beragam
kemampuan dan kebiasaan yang berbeda-beda, saling ingin memiliki satu
sama lain, mereka saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, dari

mulai pemahaman, ilmu, pendidikan, bisnis, dan jual beli, hanya untuk
mempertahankan kehidupannya. Segala cara mereka lakukan apapun
rintangannya untuk mencari harta (uang) dan salah satunya adalah jual beli.
Kata jual beli mungkin sudah tidak asing lagi didengar, namun perlu
diperhatikan bahwa dalam jual beli ternyata tidak semudah dengan apa yang
kita bayangkan. Di dalam hukum jual beli ada yang di bolehkan dan ada juga
yang dilarang. Oleh karena itu kami akan membahas sedikit tentang laranganlarangan dalam jual beli.

1.2. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan pembahasan makalah ini, agar mahasiswa
mengerti dan memahami kemudian bisa mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Karena mahasiswa merupakan pembawa perubahan khususnya di
dalam masyarakat, maka dari itu mahasiswa harus mampu memahami
persoalan-persoalan yang ada di dalam masyarakat diantaranya dalam jual
beli.

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

2


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Larangan Memperdagangkan Benda Najis, Maksiat, dan Tidak
Bermanfaat
Atha’ ibn Abi Rabbah menerangkan:
“Bahwasannya Jabir r.a. mendengar Nabi SAW, bersabda: Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi dan patung-patung
(berhala). Seorang berkata: Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau
tentang lemak bangkai? Lemak itu biasanya digunakan untuk mencat perahu,
untuk menggosok kulit dan dijadikan penerang oleh manusia? Maka beliau
menjawab: Tidak boleh, itu haram. Kemudian beliau bersabda: Semoga
orang-orang

Yahudi

itu

dikutuk Allah,


sesungguhnya

ketika

Allah

mengharamkan lemaknya, mereka sama menghancurkannya, kemudian
mereka menjualnya dan memakan uangnya.” (HR. Jama’ah)1
Yang dimaksud dengan kalimat “bangkai” dalam hadits tersebut ialah
binatang yang sudah kehilangan nyawanya, namun tidak lewat penyembelihan
yang diakui oleh agama, kecuali bangkai ikan dan belalang.
Kalimat “babi” ini merupakan dalil atas diharamkannya menjual
binatang tersebut dengan semua bagaian-bagiannya. Hal itu adalah
berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama. Menurut madzhab Maliki
yang mengatakan, bahwa ada kemurahan terhadap rambut binatang tersebut
yang tidak seberapa. Motiv diharamkannya menjual babi dan juga menjual
bangkai ialah adanya unsur najis, demikian menurut pendapat jumhur ulama
dan itu berlaku bagi setiap yang najis. Tetapi pendapat Imam Malik yang
masyhur mengatakan, bahwa babi itu suci.
Adapun mengenai diharamkannya menjual patung-patung berhala ialah,

karena benda tersebut tidak adanya manfaat yang diperbolehkan. Jadi apabila
benda tersebut bisa dimanfaatkan sesudah dipecah atau dihancurkan, maka
1

Musthafa Diibul Bigha, Ikhtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994),
hlm. 471.

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

3

menurut sebagian ulama hal itu boleh dijual. Namun mayoritas ulama tetap
melarang atau mengharamkannya.2

2.2. Larangan Menjual Air yang Lebih Dari Keperluan Sendiri
Iyas Ibn ‘Abad menerangkan:
“Bahwasannya Nabi SAW, melarang kita menjual air yang lebih dari
keperluan kita”. (HR. Ahmad dan Abu Daud, An-Nasa’I, Ibnu Majah, AtTurmudzy)3
Menurut Al Qusyairi, hadits iyas tersebut atas syarat Imam Al Bukhari
dan Imam Muslim. Hadits ini memberikan petunjuk diharamkannya menjual

kelebihan air, yakni kelebihan dari keperluan yang bersangkutan. Menurut
lahiriahnya hadits, dalam hal ini tidak ada bedanya apakah air yang berada di
tanah hak milik, atau air untuk minum maupun untuk keperluan lainny.
Menurut Al Khithabi, secara lahiriyah yang terkandung dalam larangan
hadits tersebut ialah kelebihan air minum, itu yang lekas dipahami oleh orang.
An Nawawi menceritakan pendapat beberapa orang sahabat Imam
Syafi’i yang mengatakan, bahwa wajib menyumbangkan air yang berada di
tanah lapang dengan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Tidak ditemukannya sumber air yang lain buat memenuhi kebutuhan
2. Sumbangan air tersebut diperuntukkan buat hewan ternak
3. Pemiliknya sudah tidak memerlukan air.
Yang diperbolehkan menjual air, apabila air yang sudah ditempatkan
dalam bejana tertentu, kemudian air semacam aqua dan lain-lain yang sudah di
kemas. Air seperti itu boleh dijual.4

2

Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 455-456.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, (Semarang: PT.
Petraya Mitrajaya, 2001), hlm. 9.

4
Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 462.
3

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

4

2.3. Larangan Menerima Bayaran Untuk Hewan Pejantan
Ibnu Umar r.a menerangkan:
“Nabi SAW melarang kita menerima harga mani (sperma) hewan pejantan
(landuk)”. (HR. Ahmad, Al-Bukhary, An Nasa’I)
Hadits ini mengemukakan, bahwa sesungguhnya menjual air (mani)
pejantan dan juga menyewakannya itu hukumnya haram, soalnya ia tidak bisa
dinilai, tidak bisa diketahui dan tidak kuasa untuk diserahkan. Itulah pendapat
jumhur dan juga pendapat ulama-ulama dari kalangan madzha Syafi’i dan
madzhab Hambali. Sedangkan Al Hasan dan Ibnu Sirin yang mengutip
pendapat Imam Malik mengatakan, bahwa sesungguhnya boleh menyewakan
pejantan untuk bersetubuh dalam jangka waktu tertentu.


2.4. Larangan Jual Beli Secara Gharar (Mengandung Unsur Penipuan)
Bersumber dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi SAW, melarang
jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli secara gharar.” (HR.
jama’ah dan Al-Bukhari)
Terjadi perselisihan pendapat dalam memberikan tafsiran dalam kalimat:
“Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara melempar batu.” Ada yang
berpendapat, bahwa hal itu contohnya seperti seseorang mengatakan: “Aku
menjual kepadamu diantara pakaian-pakaian ini, mana yang terkena lemparan
batu ini, maka itulah yang aku jual.” Atau “Aku jual tanah ini sejauh lemparan
batu yang aku lempar.” Ada yang berpendapat, yaitu syarat hak khiyar
(memilih) sampai batu dilemparkan. Pendapat terakhir tersebut diperkuat oleh
riwayat Al Bazzari dari Hafash bin Ashim, sesungguhnya dia mengatakan:
“Yang dimaksudkan hal itu ialah, apabila batu sudah dilemparkan, maka jual
beli itu pun jadi.”
Yang termasuk jual beli secara gharar ialah seperti menjual ikan yang
masih ada di dalam air. Atau menjual burung dalam angkasa. Semuanya
adalah termasuk dalam kategori jual beli secara gharar, yang tidak
diperbolehkan berdasarkan ijma’.

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)


5

2.5. Larangan Jual Beli Dengan Mengecualikan Sebagian Dari Barang
yang Dijual
Bersumber dari Jabir: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang penjualan
muhaqalah (menjual gandum yang masih dalam tangkalnya) dan penjualan
muzabanah (menjual secara sukatan, menjual anggur yang masih putik
dengan yang sudah kering dengan sukatan) dan penjualan

yang

pengecualiannya desebut secara samar (kabur, tidak jelas), terkecuali
disebutkan degnan jelas.” (HR. An-Nasa’I dan At-Turmudzy)
Hadits ini menyatakan bahwasannya penjualan secara muhaqalah dan
muzabanah, dan menjual dengan menyebutkan pengecualian secara samar,
tidak

sah.


Contohnya:

seseorang

menjual

sepetak

kebun

dan

dia

mengecualikan sebatang pohon yang terletak di dalamnya dengan tidak secara
jelas menentukan pohon yang dikecualikannya. Begitu pula seseorang menjual
salah satu rumah dari sekian buah rumahnya (tanpa menentukan secara jelas
rumah yang akan dijualnya). Namun jika secara tegas disebutkan
pengecualiannya, penjualan tersebut sah.
Asy-Syafi’y berkata: jika pengecualiannya secara tegas disebutkan

dalam penjualan, maka penjualannya sah. Jika pengecualiannya disebutkan
secara samar, penjualan tersebut tidak sah.
Sebagian ulama berkata: jika pengecualian itu dilakukan dengan
meminta jangka waktu tertentu (untuk menentukan mana yang dikecualikan),
penjualan seperti itu sah.
Dhahir hadits ini, dengan jelas menerangkan bahwasannya setiap
pengecualian yang samar, membatalkan akan jual beli. Hikmahnya adalah
untuk menghindari adanya unsur penipuan dengan pengecualian secara samar
itu.

2.6. Larangan Menjual Dua Bentuk Penjualan Dalam Satu Penjualan
Abu Hurairah r.a berkata: “Barang siapa menjual dua penjualan dalam
satu penjualan maka baginya pembayaran yang kurang atau riba.” (HR. Abu

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

6

Daud)
Imam Asy-Syfi’I mencontohkan penjualan ini sebagai berikut:

Si penjual menawarkan kepada pembeli, dengan harga Rp. 1.000,- tunai,
ataupun menjadi Rp. 2.000,- jika secara berhutang. Terserah kepada si
pembeli untuk memilih.
Kemudian ada yang menafsirkan begini, si penjual menawarkan seorang
budak dengan harga tertentu, dengan syarat si pembeli menjual rumahnya
kepadanya. Bila syarat ini diterima, maka transaksi berlangsung.

2.7. Larangan Penjualan Secara ‘Arbun
Amar ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Nabi SAW,
melarang penjualan dengan lebih dahulu memberikan uang muka dan uang
itu hilang, kalau pembelian tidak diteruskan. (HR. Ahmad, An-Nasa’I, dan
Abu Daud)
Penjualan yang menyertai ‘arbun, ialah seseorang pembeli atau penyewa
mengatakan: “Saya berikan lebih dahulu uang muka kepada anda. Jika
pembelian ini tidak jadi saya teruskan, maka uang muka itu hilang, dan
menjadi milik anda. Jika barang itu jadi dibeli maka uang muka itu
diperhitungkan dari harga yang belum dibayar.

2.8. Larangan Menjual Perasan Anggur Kepada Orang yang Akan
Membuatnya Menjadi Arak
Anas ibnu Malik r.a berkata: “Rasulullah SAW telah mengutuk sepuluh
perkara terhadap arak: yang memerasnya, yang menyuruh memerasnya, yang
meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan kepadanya, yang membeli
minumannya, yang menjualnya, yang makan harganya dan membelinya dan
yang dibelikan untuknya.” (HR. At-Turmudzy dan Ibnu Majah)
Al-Madju Ibnu Taimiyah berdalil dengan hadits ini, bahwa menjual
perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya arak dan menjual
sesuatu yang membantu perbuatan maksiat, haram.

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

7

Perbuatan-perbuatan ini diharamkan jika memang kita ketahui benar,
bahwa apa yang kita jual itu untuk dijadikan arak. Jika tidak diketahui bahwa
yang kita jual akan dijadikan arak, maka sebagian ulama membolehkan
walaupun makruh.

2.9. Larangan Menjual Barang yang Belum Dimiliki
Hakim ibn Hizam r.a berkata: “Saya berkata: Ya Rasulullah, seorang
laki-laki datang kepadaku, meminta aku menjual barang yang belum ada
padaku. Kemudian baru aku membelinya di pasar. Nabi SAW bersabda:
“Jangan engkau jual apa yang tidak ada pada engkau.” (HR. Ahmad, Abu
Daud, An-Nasa’I, At-Turmudzy, dan Ibnu Majah)
Hadits ini masuk kedalam makna: menjual benda yang belum ada pada
kita, ialah menjual burung yang terlepas dari sangkar, yang lazimnya tidak
kembali kesangkarnya. Jika dia biasa kembali pada malam hari, maka menurut
jumhur ulama tidak sah juga, terkecuali lebah yang di pandang boleh oleh AnNawawi.

2.10. Larangan Menjual Suatu Barang Kepada Seseorang Kemudian Dijual
Lagi Kepada Orang Lain
Samurah r.a berkata: “Nabi SAW bersabda: Siapa saja perempuan yang
dikawinkan oleh dua orang wali, maka perempuan itu bagi wali yang
pertama. Dan apa saja benda yang dijual kepada dua orang, maka benda itu
bagi yang pertama dari keduanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan
At-Turmudzy)
Apabila seseorang perempuan dinikahkan oleh dua wali untuk dua orang
lelaki, maka si perempuan itu menjadi isteri orang yang lebih dahulu diterima
akadnya. Dan menyatakan pula, bahwa apabila seseorang menjual sesuatu
kepada seseorang, kemudian barang itu dijual lagi kepada orang lain, maka
penjualan yang kedua batal.
Hadits ini jelas menunjukkan, bahwa penjualan yang pertamalah yang

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

8

dipandang sah, sedang penjualan yang kedua dipandang batal, karena
penjualan yang kedua berarti menjual barang yang bukan miliknya lagi.

2.11. Larangan Jual Beli Dimana Barang dan Pembayarannya Adalah
Secara Tidak Tunai
Bersumber dari Ibnu Umar r.a: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang
menjual (barang yang belum ada) dengan pembayaran yang tidak tunai.”
(HR. Imam Daruquthni)
Kalimat “menjual (barang yang belum ada) dengan pembayaran yang
tidak tunai” ini, kalau dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam hakim
dari Abu Al Walid Hassan berbunyi “menjual sesuatu yang tidak kontan
dengan cara pembayaran yang tidak kontan pula”. Demikianlah yang dikutip
oleh Abu Ubaidah dan Imam Daruquthni dari ahli bahasa. Sedangkan kalimat
yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Nafi’ berbunyi: “menjual hutang
dengan hutang.”
Yang terang, hadits tersebut menunjukkan ketidak bolehan menjual
barang secara pinjaman dengan pembayaran secara pinjaman pula. Hal itu
adalah berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’), sebagaimana yang
diceritakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Sama dengan hal tersebut adalah
akad jual beli barang yang belum ada dengan pembayaran yang tidak tunai.5

2.12. Larangan Menjual Barang yang Sudah Dibeli Namun Belum Diterima
Dari Jabir ibnu Abdillah r.a “Rasulullah SAW, bersabda: Apabila
engkau membeli sesuatu barang (gandum), maka jangan engkau menjualnya
sebelum barang tersebut engkau terima dengan sempurna.” (HR. Ahmad dan
Muslim)
Jumhur ulama menetapkan bahwa menjual sesuatu barang yang belum
diterima, seperti makanan yang belum disukat (ditimbang), ataupun yang
sudah disukat, tidak boleh. Namun Utsman Al Baity, membolehkan.

5

Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 489.

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

9

Malik berpendapat bahwa yang dibolehkan hanyalah makanan yang
tidak perlu disukat (ditimbang). Demikian juga pendapat Al- Auzy dan Ishaq.
Hadits ini merupakan pedomana dalam kita menjual barang dagangan
yang belum berada dibawah penguasaan kita. Barang dagangan baru boleh
dijual, bila si pembeli langsung dapat menerima barang tersebut.

2.13. Larangan Menjual Barang Sebelum Ditimbang Kembali
Jabir ibnu Abdullah berkata: “Nabi SAW, melarang kita menjual
makanan sebelum disukat (ditimbang) dua kali. Sukatan penjual dan sukatan
pembeli.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni)
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang membeli makanan
dan telah disukat, kemudian barang tersebut akan dijual kepada orang lain,
maka hendaklah barang tersebut disukatnya kembali, tidak boleh dicukupkan
dengan sukatan pertama.
Menurut Atha’, boleh dijual dengan sukatan pertama, jika dijual dengan
harga tunai. Namun jika dijual secara hutang, harus disukat kembali.
Dhahir hadits ini menguatkan mazhab jumhur, yakni tidak ada
perbedaan antara penjualan tunai dengan penjualan hutang. Dan hal ini tidak
berlaku mengenai barang makanan yang dibeli secara bertumpuk.

2.14. Larangan Orang Kota Menjual Sesuatu Kepunyaan Orang Desa
Ibnu Umar r.a berkata: “Nabi SAW, melarang penduduk kota menjual
sesuatu barang yang dititipkan kepadanya oleh orang desa.” (HR. AlBukhary dan An-Nasai’i)
Hadits ini menunjukkan tidak dibolehkannya orang kota menjual barang
orang desa, tanpa ada perbedaan antara orang-orang yang berkerabat ataupun
bukan, baik dimasa mahal ataupun dimasa murah. Baik barang yang
diperlukan oleh penduduk kota ataupun tidak, baik dijual secara diangsur atau
tunai.
Golongan hanafiyah berpendapat, bahwasannya larangan ini khusus di

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

10

zaman mahal dan khusus pula dengan barang-barang yang dibutuhkan
penduduk kota.
Menurut Syafi’iah dan Hambalilah, bahwa yang dilarang itu, ialah
seorang penduduk desa datang ke kota membawa barang dengan maksud
penjualannya dengan harga hari itu. Seorang penduduk kota (pasar)
mengatakan: “letakanlah barang ini padaku, akan kujual berangsur-angsur
dengan harga yang lebih mahal dari harga hari ini.” Dan dikaitkan dengan
orang desa, ialah mereka yang tidak mengetahui harga pasar.

2.15. Larangan Menjual Barang Dengan Cara Najasyi
Bersumber dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi SAW, melarang
penduduk kota menjual barang yang dititipkan padanya oleh penduduk desa,
dan menjual dengan cara najasyi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut istilah syara’, najasyi ialah tidakan seorang pedagang yang
sengaja menyuruh orang lain agar memuji barang dagangannya atau
menawarnya dengan harga tawaran yang cukup tinggi, dengan maksud agar
orang lain tertarik ikut-ikutan membelinya karena dia merasa harganya tidak
mahal.
Imam Syafi’i mengatakan: “Najasyi ialah seseorang menawar suatu
barang padahal tidak bermaksud membelinya. Melainkan dia hanya
bermaksud agar orang lain ikut menawarnya, kemudian orang lain itu
membelinya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang semestinya.”

2.16. Larangan Menunggu Barang Dagangan Dipinggir Kota
Ibnu Mas’ud r.a menerangkan: “Nabi SAW, melarang kita menunggu
barang dagangan diluar pasar.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Jumhur ulama mengatakan bahwa menunggu barang dagangan diluar
pasar (dipinggir kota) tidak boleh. Mereka ada yang mengharamkan perbuatan
itu dan ada pula yang memakruhkan.
Abu hanifah membolehkan. Namun didalam kitab-kitab Hanafiah,

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

11

perbuatan tersebut dimakruhkan. Pendapat Abu Hanifah ini adalah menurut
Ibnul Munzir. Tentang kemakruhannya jika hal itu menimbulkan kemudaratan
bagi penduduk kota serta mengaburkan harga pasar kepada para pembeli.
Sebagian ulama Malikiah dan Hanbaliah, tidak mensahkan transaksi ini.
Setiap larangan memerlukan alasan tentang dasar hukumnya (bahwa yang
dilarang adalah setiap perbuatan yang tidak sah).
Para ulama berselisih pula tentang hak membatalkan transaksi (hak
khiyar). Menurut paham hanbaliah, si penjual punya hak penuh untuk
membatalkan, walaupun tidak ada unsur penipuan dalam transaksi tersebut.
Inilah yang dipandang lebih shahih oleh golongan Syafi’iah. Menurut Malik,
tidak sah jika menimbulkan kerugian bagi pihak penjual, dan menguntungkan
si pembeli. Ulama Kufah dan Al Auza’y, condong kepada pendapat ini.
Sebagian ulama mengatakan, bahwa yang haram adalah jika si penunggu
barang sengaja melakukannya. Jika dia hanya kebetulan lewat, dan berjumpa
dengan pembawa barang yang kemudian terjadi transaksi jual beli, tidak
diharamkan.
Al Juwaini mengharamkan, jika pembelian itu jauh lebih rendah dari
harga pasar.
Menurut Al-Muntawalli diharamkan, jika si pembeli memperoleh harga
murah dengan jalan penipu, misalnya menakut-nakuti dengan mengatakan
bahwa dia akan memerlukan ongkos besar jika menjualnya sendiri di pasar,
ataupun mengatakan bahwa preman pasar akan memungut retribusi di luar
peraturan resmi.

2.17. Larangan Menjual Atas Penjualan Orang Lain, Menawar Atas
Tawaran Orang Lain, Terkecuali Penjualan Secara Lelang
Ibnu Umar r.a menerangkan: “Janganlah kamu menjual atas penjualan
saudaranya, dan jangan meminang atas pinangan saudaranya, terkecuali
kalau sudah ada izin.” (HR. Ahmad)
Menawarkan barang atas penawaran orang lain, adalah bila seseorang

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

12

mengatakan kepada si pembeli: Kembalikan barang tersebut, anda dapat
membeli dari saya dengan harga yang lebih murah, atau akan mendapatkan
barang dengan kualitas yang lebih baik. Atau bisa juga: Minta kembali barang
tersebut, saya akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Kedua
macam jenis transaksi di atas haram, jika antara para pihak sebelumnya telah
terjadi kesepakatan harga.

2.18. Larangan Jual Beli Tanpa Menghadirkan Saksi
Syihab Az-Zuhry mengatakan: “Bahwa pamannya menceritakan kepada
Amrah (pamannya tersebut adalah sahabat Nabi), bahwa Nabi telah membeli
seekor kuda dari Arab Badui (penghuni gurun), Nabi menemuinya untuk
membayar harga kuda. Nabi berjalan cepat sedang sang Badui berjalan
lambat. Beberapa orang mencegat orang Badui dan menawar kudanya.
Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah membelinya. Karena itu sang
badui memanggil Nabi dan berkata: Jika anda jadi membeli kuda ini,
bayarlah, jika tidak aku akan menjualnya kepada orang lain. Kala mendengar
ucapan badui tersebut, Nabi mengatakan: Bukankah kuda ini sudah saya
beli? Badui menjawab: tidak. Demi Allah saya tidak menjualnya kepada anda.
Nabi berkata: aku benar-benar telah membelinya. Sang Badui menjawab:
Ajukanlah saksi. Khuzaimah berkata: Sayalah sakinya, bahwa engkau telah
menjualnya kepada Rasulullah. Mendengar itu Nabi mengatakan kepada
Khuzaimah: dengan cara apa engkau menjadi saksi? Khuzaimah menjawab:
karena aku membenarkan anda, ya Rasulullah. Nabi menjadikan kesaksian
Khuzaimah sebagai saksi yang dilakukan oleh dua orang.” (HR. Ahmad, AnNasa’I, dan Abu Daud)
Yang dimaksud saksi ialah seperti yang difirmankan oleh Allah dalam
Al-Qur’an: “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” Namun perintah
tersebut tidak berkonotasi wajib, melainkan sunnah.
Ada yang berpendapat, bahwa atay tersebut sudah dinaskh (dibatalkan)
oleh firman Allah ta’ala: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

13

sebagia yang lain.” Ada pula yang berpendapat, bahwa ayat tersebut tetap
berlaku dan tidak dinaskh.
Asy-Syafi’y berkata: jika kehadiran saksi diperlukan pada saat transaksi
jual beli tentulah Rasulullah tidak akan membeli sesuatu dari seseorang tanpa
ada saksi. Karenanya, perintah Allah agar setiap perbuatan harus disaksikan
oleh orang ketiga, merupakan perintah sunat. Dengan perbuatan Nabi diatas,
maka hukum wajib sudah dipalingkan menjadi hukum sunat.
Kata Ath-Thabarany, tidak halal bagi seseorang Muslim mengadakan
transaksi jual beli, tanpa ada saksi, karena menyalahi kitabullah.
Namun menurut Ibnu Araby, seluruh ulama sepakat bahwa kehadiran
saksi bersifat sunat.6

6

Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 521.

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

14

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Penjelasan diatas sangatlah jelas mengenai larangan-larangan dalam jual
beli, banyak hadits-hadits yang memuat penjelasan tentang larangan dalam
jual beli. Setiap apa yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya tentunya
membawa kemaslahatan bagi kehidupan di dunia dan kelak nanti di akhirat,
karena di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 7 sudah jelas di sebutkan,
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah,
sungguh Allah sangat keras hukumannya.”
Oleh karena itu, sebagai umat Islam tentunya harus paham terhadap
Fiqih Muamalah. Hal ini disebabkan Fiqih Muamalah merupakan aturan yang
menjadi pengarah dan penggerak kehidupan manusia. Fiqih Muamalah
menjadi salah satu unsur perekayasaan aturan mengenai hubungan antar
manusia khususnya dalam jual beli.

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

15

DAFTAR PUSTAKA

Musthafa, Adib Bisri. 1994. Terjemahan Nailul Authar Jilid V. Semarang: CV.
Asy Syifa.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 2001. Koleksi Hadits-Hadits Hukum.
Semarang: PT. Petraya Mitrajaya.
Diibul Bigha, Musthafa. 1994. Al-Tahdzib fi Addilatimatni Al-Gaayati wa AlTaqrib (Ikhtisar Hukum-hukum Islam Praktis). Semarang: CV. Asy Syifa.
Al Jaziry, Abdurrahman. 1994. Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahibul al-‘Arba’ah
(Fiqh Empat Madzhab). Semarang: CV. Asy Syifa.

Larangan-Larangan Dalam Jual Beli (Muamalah)

16