FALSAFAH ETIKA BISNIS DALAM AL QUR AN

FALSAFAH ETIKA BISNIS DALAM AL-QUR’AN
Abdul Haris
Program Pascasarjana IAIN STS Jambi
Abstract: This study departs from a business background that ignores the values of morality,
while it is still in business ethics methodological issues. The issue to be studied is the First,
how the principles of business ethics of the Qur'an. Secondly, the principles underlying
whether mall business practices. Third, how also relevasi these principles in building a
business that is natural. The purpose of this study on the one hand, rejects the notion that
business is just a mundane activity that is separate from the issue of ethics and on the other
hand will develop the principles of business ethics of the Koran which is expected to
contribute ideas and the development of Islamic business ethics. This research includes
cultural research using hermeneutic approach. There are three conclusions: First, the
principles of business ethics in the Qur'an first give the view that between business and
ethics are not two separate parts, but as a whole structure. Second, the exploitation of the
theme of al-falsehood, al-facade and az-oppression in al-Qur'am in relation to business ethics
is very important. Third, logically and practically etoka business Qur'an is the ideological
foundation and practical to build a business that is Islamic.
Key words: business, ethics, Islamic business ethics,

A. PENDAHULUAN
Munculnya wacana pemikiran etika bisnis, didorong oleh realitas bisnis yang mengabaikan nilainilai moralitas. Bagi sementara pihak, bisnis adalah aktivitas ekonomi manusia yang bertujuan

mencari laba semata-mata. Karena itu, cara apapun boleh dilakukan demi meraih tujuan tesebut.
Konsekuensinya bagi pihak ini, aspek moralitas dalam persaingan bisnis, dianggap akan
menghalangi kesuksesannya. Pada satu sisi, aktivitas bisnis dimaksudkan untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya, sementara prinsip-prinsip moralitas mengatur atau “membatasi”
aktivitas bisnis.
Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua berpendapat bhawa bisnis bisa
disatukan dengan etika. Kalangan ini beralasan bahwa etika merupakan alasan-alasan rasional
tentang semua tindakan manusia dalam semua aspek kehidupannya, tak terkecuali aktivitas
bisnis. Secara umum, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk
menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan kuntungan dalam memenuhi

1

kebutuhan masyarakat.

1

atau juga sebagai suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa

yang yang dibutuhkan oleh masyarakat.2

Dengan adanya pandangan demikian, ide mengetika etika bisnis bagi banyak pihak
termasuk ahli ekonomi, merupakan hal yang problematic.

Problematika ini terletak pada

keasingan apakah moralitas mempunyai tempat dalam kegiatan bisnis dan ekonomi pada
umumnya. Dari kalangan yang menyangsikan kemudian dikenal dengan istilah “mitos bisnis
moral”.3 Menutur Richard De George dalam Business Etics, mitos bisnis amoral berkeyakinan
bahwa setiap erilaku bisnis tidak bisa dibarengkan dengan aspek moralitas. Antara bisnis dan
moralitas tidak ada kaitan apa-apa dank arena merupakan kekeliruan jika aktivitas bisnis dimilai
dengan menggunakan tolak ukur moralitas.4 Aktivitasnya. Dari realitas inilah yang melahirkan
anggapan bahwa bisnis adalah “dunia hitam”.
Sementara itu pemikiran etika bisnis Islam muncul ke permukaan, dengan landasan
bahwa islam adalah agama yang sempurna. Ia perukana kumpulan aturan-aturan ajaran (doktrin)
dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia dalam kehidupannya menuju tujuan
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Islam merupakan agama yang memberikan
cara terpadu mengetani aturan-aturan aspek social, budaya, ekonomi, sipil dan politik. Ia juga
merupakan suatu system untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk system spiritual maupun
system perilaku ekonomi dan politik.5
Namun demikian dalam perkembagnannya etika bisnis islam tidak sedikit dipahami

sebagai representasi dan pengawajantahan dari aspke hokum. Misalnya keharaman jual beli
gharar, menimbun, mengurangi timbangan dan lain-lain. Pada aturan ini, etika bisnis islam tidak
jauh berbeda dengan pengejawantahan hokum dalam fiqh muamalah. Dengan kondisi demikian,
maka pengembangan etika bisnis islam yang mengedepankan etika sebagai landasan filosofisnya
merupakan agenda yang signifikan untuk dikembangkan.
Secara normative meurut Quraish Shihab, al-Qur’an relative banyak memberikan prinsipprinsip mengenai bisnis yang tertumpu pada kerangka penanganan bisnis sebagai pelaku

1

Dalam 11. Buchori Alma, Pengantar Bisnis. (Bandung: CV. Alfabeta. 1977), hlm. 16
Definisi isi diberikan oleh Brown dan Petrello, seperti dikutip Bukhari, lihat, ibid
3
Lihat, Richart T de George. Business Ethics (New Jersey:Prendce Hall, Englewood Chiffs,1986), hlm.5
4
A. “o i Ke af, Bisakah Bis is Be jala Ta pa Mo alitas . Basis No. -05 Mei-juni, 1997, hlm l.49.
5
Nidal R “a i da M. Hisya Ja
Etika Bis is da Aku ta si” dalam Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam
(Jakarta: Bumi aksara, 1997) hlm. 230
2


2

ekonomi tanpa membedakan kelas6 dalam mengajak dan mengamalkan tuntunan-tuntunannya,
al-Qur’an sering kali menggunakan istilah-istilah yang dikenal dalam dunia bisnis seperti jual
beli. Untung-rugi, piutang dan sebagainya.7
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan berupaya mencari rpinsip-prinsip
etika bisnis dalam perspektif al-Qur’an, yaitu etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai alQur’an. Penelitian ini pada satu sisi bertujuan menolak anggapan bahwa bisnis yang merupakan
aktivitas keduniaan yang terpisah dari persoalan etika dan pada sisi lain akan mengembangkan
prinsip-prinsip etika bisnis al-Qur’an, sebagai upaya konseptualitas sekaligus mencari landasan
persoalan-persoalan praktek-praktek mal bisnis.8 Pengungkapan prinsip-prinsip mal-bisnis dalam
al-Qur’an, dimaksudkan untuk mendapatkan landasan (sumber) praktek mal-bisnis yang dapat
dijadikan tolak ukur etis tidaknya suatu aktifitas bisnis.

B. PENGERTIAN ETIKA BISNIS
Pada dasarnya kegiatan bisnis dapat dirasakan oleh semua orang. Hal ini terutama ketika
berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.9 Namun demikian, dalam kenyataannya bisnis
bukanlah semata-mata sebagai upaya pemenuhan kebutuhan individu, melainkan telah
merambah kepada kebutuhan masyarakat bahkan Negara. Dengan demikian bisnis mempunyai
cakupan yang luas. Pada bahasan pertama dijelaskan terlebih dahulu pengertian-pengertian baik

bisnis sebagai aktivitas maupun sebagai entitas.10

M. Qu aish “hiha . Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qu ’a , Ju al Ulu ul Qu ’a . No.3/VII/1997/, hlm.4
lihat juga Hadi ulyo. Etika Bis is pada ju al ya g sa a hl .
7
M. Quraish Shihab, Ibid lihat Misalnya QS.57:11 dan 61:10-11
8
Dalam hal ini yang dimaksud dengan mal bisnis perilaku-perilaku bisnis yang bertentangan dengan baik
dengan nilai-nilai etika maupun berlawanan dengan hokum normative dan hokum positif.
9
Indriyo Gutosudarmo, Pengantar Bisnis (Yogyakarta : EPFE, 1999) hlm. 1. Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat Hudwig Von Miscs bahwa manusia menurut kodratnya melakukan kegiatan ekonomi, sehingga aktifitas
berdagang merupakan bagian penting untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Hal ini bertentangan dengan
pendapat Karl Max yang menyebutkan bahwa manusia menurut kodratnya adalah bekerja, sehingga pekerjaan
merupakan konsep dasar untuk memahami nilai manusiawi. Manusia harus makan supaya bekerja dan bukan
bekerja supaya bisa makan. Lihat juga, Gunardi Endro,Redefinisi Bisnis : Suatu Penggalian Etika Keutamaan
Aristoteles. (Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo, 1999), hlm. 54 catatan no.6
10
Sebagai aktivitas bisnis merupakan kegiatan ekonomi yang sederhana, menyangkut individu-individu
tertentu, sebaliknya sebagai entitas, bisnis telah menjadi sebuah system yang berkait antara satu bagian denga

bagian lainnya.
6

3

Secara bahasa, bisnis merupakan beberapa arti : usaha, perdagangan, took, perusahaan,
tugas, urusan, hak11 usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan atau bidang
usaha.12
Secara terminologis, terdapat beberapa pengertian mengenai bisnis, menurut Hughes dan
Kapoor, bisnis merupakan suatu kegiatan usasa individu yang terorganisasi untuk menghasilkan
(laba) atau menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.13
Di dalam al-Qur’an kata Khuluq ini disebutkan dua kali yaitu pada surat asy-Syu’ara
(26): 13714 dalam pengertian adat kebiasaan dan surat al-Qalam (68):4 dalam pengertian berbudi
pekerti yang luhur.

‫وإ ّنك لع ٰى خ ق عظي‬
“Dan sesungguhnya kami benar-benar berbudi pekerti yang agung”.15
Makna berbudi pekerti yang luhur inilah yang dimaksud dengan akhlak. Adapu kata
akhlak sendiri terambil secara jelas dari hadits nabi yang terkenal, “sesungguhnya aku diutus

untuk menyempurnakan akhlak.16

Dalam tradisi pemikiran Islam dari kata khuluq ini kemudian lebih dikenal dengan tema
akhlak atau alfalsafah al adabiyyah.17 Menurut Ahmad Amin akhlak adalah ilmu yang

menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka
dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus di perbuat, atau merupakan gambaran
rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan, keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang

11

Peter Salim the Cotemporary English-Indonesia, (Jakarta : Modern English Press, 1991), hlm.265
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1989) hlm.121
13
Bukhari alma dalam Pengantar Bisnis. (Bandung:Alfabeta, 1997) hlm.16
14
Aga a Ka i i i tidak lai ha yalah adat ke iasaa o a g dahulu. Lihat al-Qu ’a da te je aha ya
Depag RI, hlm.583.
15

Ibid, hlm 960.
16
Hadits Riwayat ahmad Ibnu Haubab
1717
Elias Qamaruddin Shaleh, dkk. Asbabunnuzul Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat al-Qu ’a
(Bandung:CV. Diponegoro, 1975) hlm. 525.
12

4

menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara rasional diperintahkan dan
dilarang.18

C. LANDASAN ETIKA BISNIS
Kedudukan etika dalam kajian filsafat merupakan pokok bahasan yang penting selain persoalan
metafisika, estetika, dan epistimologi. Dalam lingkup kajian filsafat, etika menjadi salah satu
bagian pembahasan dalam bidang aksiologi. Hal ini dikaitkan karena etika membahas dan
mempersoalkan tentang nilai.

Aksiologi menurut Louis Kattsoff merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki

hakikat nilai19 atau analisis tentang nilai-nilai untuk menentukan makna, karakterisitk,
asal usul, jenis, criteria dan status epistimologinya.20 Untuk memahami hakikat nilai
paling tidak terdapat tiga pendekatan, Pertama , nilai sepenuhnya bersifat subjektif,
Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontology namun
tidak terdapat dalam ruang dan waktu, dengan demikian nilai merupakan esesnsi logis
yang dapat diketahui oleh akal. Dan Ketiga, bahwa nilai merupakan unsure-unsur
onyektif yang menyusun kenyataan (obyektivitas metafisik).21
Sebagai cabang filsafat, etika dapat dibedakan menjadi dua: obyektivitas dan
subyektivisme, menurut pandangan yang pertama, nilai kebaikan suatu perbuatan obyektif itu
terletak pada substansi perbuatan itu sendiri. Faham ini melahirkan rasionalisme dalam etika.
Suatu perbedaan dianggap baik, bukan karena kita senagn melakukannya, tetapi merupakan
keputusan rasionalisme universal yang mendesak untuk agar berbuat seperto itu.22

D. PERKEMBANGAN ETIKA BISNIS
Etika bisnis mencapai status ilmiah dan akademis dengan identitas sendiri, pertama sekali timbul
di Amerika Serikat pada tahun 1970-an, untuk memahaminya, menurut Richard De George,
pertama-tama perlu membedakan antara Ethic in business dan business ethic. Sejak ada bisnis,
sejak itu pula dibuhungkan dengan etikam sebagaimana etika selalu dikaitkan dengan wilayah18

Madjid Fakhri,Etika dalam Islam, penerjemah Zakiyuddin. B (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Pusat Studi

Islam-UMS, 1996) hlmxv-xvi
19
Nilai pada dasarnya bukan semata-mata yang baik. Ia merupakan pengertian yang luas ruang lingkupnya
di a di gka pe ge tia ya g aik
20
Ibid, hlm 327
21
Tim Penulis Rosda Karya, Kamus Filsafat, (bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1995), hlm.30
22
Diantara tokoh pendukung aliran ini adalah Immanuel Kant dan dalam etika islam pada beberapa hal
Mu’tazilah. Geo ge Hou a i, Reason and tradision in Islamic Ethnict, hlm. 25, dikutip Komarudin, ibid.

5

wilayah lain dalam kehidupan manusia seperti politik, keluarga, seksualitas dan lain-lain. Inilah
etika dalam bisnis, tetapi belum meiliki identitas dan corak tersendiri, sedangkan etika bisnis
sebagai suatu bidang tersendiri masih berumur muda.23

E. PROBLEMATIKA ETIKA BISNIS
Problematika ini banyak pihak, termasuk para ahli ekonomi terletak pada adanya kesangsian

mengenai ide etika bisnis. Pihak-pihak tersebut menyangsikan apakah moralitas mempunyai
tempat dalam kegiatan bisnis.24
Dari kesangsian-kesangsian itulah kemudian melahirkan mitos-mitos dalam hubungan
bisnis dan etika. Mitos bisnis amoral, mitos bisnis immoral, mitos bisnis pengejar maksimalisasi
keuntungan dan mitos bisnis sebagai permainan. Mitos bisnis amoral mengungkapkan suatu
keyakinan bahwa bisnis adalah bisnis dan tidak bisa dicampurkan dengan moralitas. Antara
bisnis dan moralitas tidak ada kaitan apa-apa dank arena itu merupakan kekeliruan kalau
kegiatan bisnis dinilai dengan menggunakan tolak ukur moralitas.25
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai sebutan al-Bayan atau at-Tibyan,
al-Furqan, al-Huda 26adz-Dzikr 27. Sebutan-sebutan ini menjelaskan bahwa fungsi al-Qur’an

adalah sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang benar,28 yang meliputi akidah yang benar,
akhlak yang murni yang harus diikuti manusia dalam kehidupannya, petunjuk bagi upaya meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat,29 pembawa kebenaran dan berpihak kepada keadilan.30
Mendorong kepada terjadinya perubahan positif.31
Sebagai sumber nilai dan sumber ajaran, al-Qur’an pada umumnya memiliki sifat yang
umum (tidak terperinci), karena itu diperlukan upaya-upaya dan kualifikasi tertentu agar dapat
K. Bertens (Pe ga ta …) op.cit. hlm. 36-37
Da a Raha jo. Etika bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II Prisma 2 Februari 1995, hlm. 2
25
Richard T De George, Business Ethiccs (New Jersey: Prestice Inc. A. Simon and Schuster Company, 1990)
hlm. 3-5
26
Lihat kamus besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989) hlm.1004. lihat juga Peter Salim, The
Contemporary English-Indonesia (Jakarta : Modern English Press, 1991) hlm. 2237-2238
27
Di antara pada QS Al-Ba a ah :
; Pada Bulan Ramadhan ini yang dialaminya Kami turunkan al-Qu ’a
yang berfungsi sebagai petunjuk bagimanusia, penjelas atau keterangan mengenai petunjuk dan pemisah antara
ya g hak da ya g bathil.” Penerjemahan ayat-ayat al-Qu ’a
e ujuk pada al-Qu ’a da te je aha ya.
Departemen agama RI.
28
QS. An-Nahl (16); 4 ; Kami telah turunkan kepadamu adz-dikr untuk kamu terangkan kepada manusia
apa-apa ya g ditu u ka kepada e eka supaya e eka be fiki ”.
29
HM. Quraish Shihab, Membumikan al-Qu ’a (Bandung; Mizan, 1992) hlm. 40
30
QS. An-Nisa (4): 105
31
QS. Ibrahim (14):1
23

24

6

memahaminya. Menurut Ashgar ali Engineer al-Qur’an bukan hanya bahasan bahasa Arab,
namun juga telah menjadi suatu symbol yang validitas dan vitalitas maknanya terletak pada
interpretasi dan reinterpretasi symbol-simbol tersebut sesuai dengan perubahan situasi ruang dan
waktu.32
Al-Qur;’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan tuntutantuntutannya dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-istilah yang dikenal
dalam dunia bisnis seperti jual-beli, untung rugi dan sebagainya. Dalam konteks al-Qur’an
menjanjiakan :
“Sesungguhnya allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jika mereka dan
sebagai imbalannya merela memperoleh syurga. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
Allah maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang
besar.33
Dalam ayat diatas, mereka yang tidak ingin melakukan aktivitas kehidupannya kecuali
nila memperoleh keuntungan semata, dilayani (ditantang) oleh al-Qur’an dengan menawarkan
satu bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan.34
Dengan demikian prinsip dasar hidup yang ditekankan al-Qur’an adalah kerja dan kerja
keras.35 “Dan bahwasanya seorang manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa
(hasil) yang diusahakannya sendiri.36

Sementara itu, al-Qur’an menjelaskan tentang etika al-Qur’an dengan berlandaskan pada
tiga tema kunci utama yang juga merupakan pandangan dunia al-Qur’an. Ketiga kunci utama itu
adalah iman, Islam, dan taqwa yang jika direnungkan akan memperlihatkan arti yang identik.37
Istilah iman dari akar kata a-m-n memiliki arti pokok “keamanan, bebas dari bahaya, damai”.
Islam yang akar katanya dari s-i-m, juga memiliki pengertian “aman dan integral, terlindung dari
disintegrasi, kehancuran”. Dan terma taqwa yang sangat mendasar bagi al-Qur’an di samping
kedua isitilah diatas, memiliki akar kata, w-q-y juga berarti “melindungi dari bahaya, menjaga
dari kemusnahan, kesia-siaan atau disintegrasi”.38

32

Asghar ali Angineer, Islam dan Pembebasan. Pent. Hairus Salim dan Baehaqi (Yogyakarta : LkiS, 1991) hlm.3
QS. At-Taubah (9): 111 al-Qu ’a da Te je aha Dep. Aga a RI. hlm,289
34
HM. Qu aish “hiha Etika Bis is dala Wa asa al-Qu ’a . Ulu ul Qu ’an hlm.4-5
35
HM. Quraish Shihab, op.cit hlm.5-6
36
QS. An-Najm (53):39
37
Fazlur Rahman, Metode alternative Neomodernisme Islam fazlur Rahman, Taufik Adnan Amal (penyunting)
(Bandung:Mizan,1992), hlm.66
38
Ibid,.
33

7

Hakikat Etika Bisnis
Di dalam al-Qur’an terdapat terma-terma yang mewakili apa yang dimaksud dengan etika
bisnis. Diantara terma-terma bisnis dalam al-qur’an didapat terma al-tijarah, al-bai’u, dan
isytara.39 Dalam kamus English-Arab, Modern Dictionary, business digunakan; amalun-syuglan,

shana’ahu, hirfatun, tijaratun a’malun, muslahatun sya’mun, jadwalun a’malun. Pada bahsa
Arab umum dikenal juga karminhatun.40 Adapun untuk businessman digunakan “rajulun
a’malun, tajirun, muhamin,41 selain itu kata Trade, dalam bahasa Arabnya digunakan tijaratun,
hifatun, shina’atun. Dan untuk trade digunakan tajirun, jallabun42. Dari terma-terma kamus
diatas, terma tijarah seringkali digunakan al-Qur’an.
Beberapa Landasan Praktek Mal-Bisnis dalam Al-Qur’an
Yang dimaksud denga praktek mal-bisnis di sini adalah mencakup semua perbuatan
bisnis yang tidak bai, jelek, (secara moral) terlarang, membawa akibat kerugian dari pihak lain,
maupun yang meliputi aspek hokum (pidana) yang disebut business crime atau business tort.
Business crime adalah tindak pidana dalam bisnis yaitu perbuatan-perbuatan tercela yang

dilakukan oleh businessman atau pegawai suatu bisnis baik untuk keuntungan bisnisnya maupun
yang merugikan bisnis pihak lain. Adapun business tort adalah perbuatan yang tidak terpuji yang
dilakukan oleh usahawan yang merupakan pelanggaran terhadap pengusaha lain. Di Indonesia
kedua jenis perbuatan ini dianggap sebagai kejahatan bisnis.43
1. Al-Bathil
2. Al-fasad
3. Azh-Zhulm

Jenis-jenis Praktek Mal-Bisnis
1. Riba’

3939

Selain terma ini bila ditelusuri lebih lanjut masih terdapat pula terma-terma lain yang dapat dianggap
mempunyai persesuaian dengan bisnis, seperti la ta’kulu i fa , al-ghard. Hanya sama dalam penelitian ini
membatasi pada empat terma diatas.
40
Lihat, Modern Dictionary, hlm.111
41
Ibid,.
42
Ibid, hlm 779
43
Terma ini terdapat dalam surat An-Nisa’
ayat . Pe jelasa i i le ih la jut ayat i i aka di ahas pada
bagian al-Batil oraktek mal-bisnis.

8

Riba’ merupakan “sub system” ekonomi yang berprinsip menguntungkan kelompok tertentu
tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Al-Qur’an hadir denga nilai-nilainya
untuk membangun kesejateraan umat manusia yang seimbang antara dunia dan akhirat
antara individu dan masyarakat. Dalam aspek ekonomis dan bisnis, al-Qur’an menawarkan
prinsip keadilan dan “kesucian” yaitu melarang pemilikan harga yang terlarang pada
dampak pengelolaannya jika merugikan pihak lain (ada pihak yang menganiaya atau
teraniaya).44
2. Mengurangi takaran atau timbangan
3. Gharar atau judi
4. Penipuan (al-gabn dan Tadlis)
5. Penimbunan
6. Skandal korupsi dan kolusi
7. Monopoli dan oligopoly

Kesatuan, Keseimbangan (Keadilan), Kehendak Bebas, Tanggungjawab, dan Kebenaran
sebagai Paradigma Bisnis.
Paradigm adalah cara memandang sesuaut, atau model, teori ideal yang dari sudut
pandang tertentu sebuah fenomena dijelaskan.45
Paradigm bisnis yang dibangun dan dilandasi oleh aksioma-aksioma :
1. Kesatuan (unity), adalah kesatuan sebagaimana tereflesikan dalam konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek-aspke kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi,
politik, sosial menjadi suatu “homogenius whole” atau keseluruhan homogeny, serta
mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.46
2. Keseimbangan, menggambarkan dimensi horizontal ajaran islam yang berhubungan
dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hokum dan tatanan yang kita lihat pada
alam semesta mencerminkan keseimbangan yagn harmonis.47

44

Muh, Zuhri.op.cit. hlm.55
Lihat, pendapat al-Qarawi yang dikutip oleh Chairul Fuad Yusuf, op.cip. hlm.18
46
Syed Nawab Navqi, Ethics and Economics , An Islamic Syntetis, telah diterjemahkan oleh Husin Anis Etika
dan Ilmu Ekonomi Sistematis Islam, diterbitkan oleh Mizan; Bandung, 1993, hlm 50-51
47
Rafik Issa Beekun, op.Cit. hlm 23.
45

9

3. Kehendak bebas,
4. Pertanggungjawaban,

tanggungjawab

merupakan

suatu

prinsip

dinamis

yang

berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan kekuatan dinamis individu
untuk mempertahankan kualitas kesetimbangan dalam masyarakat.48
5. Kebenaran: Kebijakan dan Kejujuran, dalam konteks ini mengandung makna kebenaran
lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsure yaitu kebajikan dan kejujuran
Kebenaran adalah nilai kebenaran yang dianjurkan dan tidak bertentangan dengan islam.
Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksud sebagai niat, sikap dan perilaku yang benar,
yang beliputi proses akad (transaksi). Proses transaksi atau memperoleh komoditas,
proses pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan margin
keuntungan (laba).

F. STRUKTUR FUNDAMENTAL
Perilaku dan profesi dalam masyarakat tidak jarang dipandang rendah. Hal ini disebabkan oleh
alas an, bisnis sama dengan egoism dan mata duitan.49 Pandangan ini merupakan prasangka.
Orang yang berada dalam bidang selain bisnis tidak menjamin lebih etis atau tidak kurang egois
daripada masyarakat bisniss. Terhadap anggapan pula, bahkan dalam masyarakat bisnis sendiri,
bahwa bisnis akan rugi bila menuruti tuntutan-tuntutan etika. Kedua pandangan ini tidak
menunjukkan paham bisnis yang memadai. Etika bisnis harus dipandang unsure dalam usaha

4848

Dalam hal ini Naqvi berbeda pendapat dengan Muhammad Iqbal yang mendasarkan kekuatan dinamis
dalam Islam kepada konsep ijtihad. Ijtihad menurut Iqbal merupakan prinsip gerakan dalam struktur Islam. Ijtihad
bagi Iqbal merupakan prinsip dinamis Islam bail dalam aspek teologi, politik, social, ekonomi dan hokum. Lihat
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam, pent. Ali Audah dkk. (Jakarta:Tintamas, 1992)
hlm. 158-192. Bagi Naqvi ijtihad hanya merupakan salah satu sarana untuk memuliakan kesetimbangan dalam
bidang intleektual di samping jihad. Karena itu menurut Naqvi, tanggungjawab inilah yang merupakan kekuatan
dinamis yang utama dalam Islam. Lihat, Naqvi, op.Cip. hlm.87
49
Munculnya anggapan diatas, kemungkinan merupakan pengaruh agama tradisional yang menjunjung tinggi
nilai-nilai rohani terhadap jasmani. Terhadap pengaruh mental feudal di mana masyarakat di bagi antara rakyat
(kaum tani, tukang, pedagang kecil) dan kelas priyayi yang bagi masyarakat merupakan perwujudan tentang citacita tentang manusia luhur yang tidak boleh meminati uang. Apalagi dalam budaya Indonesia awal, pra pedagang
besar di pegang oleh kalangan luar yaitu cina dan Arab. Lihat Frans Margin suseno,Berfilsafat dari Konteks,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 156-157. Dari sudut pandang perkembangan khazanah pemikiran
isla , u ul ya a ggapa ah a is is e upaka du ia hita
dise a ka oleh pe ga uh da i kekeli ua
dalam memahami tasawuf yang dianggap sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan diri dari hal-hal
yang bersifat duniawiyah.

10

bisnis itu sendiri. Etika merupakan bagian integral dalam bisnis yang dijalankan secara
professional. Bisnis tanpa etika justru tidak akan berhasil.50
Disinilah etika bisnis yang mengandung nilai-nilai dasar prinsipil, mempunyai posisi
strategis untuk memberikan cakrawala dan wawasan bagi perubahan-perubahan mendasar dalam
bisnis dan dunianya. Namun demikian, dalam memahami nilai-nilai prinsipil etika bisnis, harus
diperhatikan pola pemahamannya, agar tidak terjebak dalam langgam normativitas.51

Rekonstruksi Kesadaran Tentang Bisnis
Konsepsi seseorang atau masyarakat tentang suatu, lambat laun akan melahirkan suatu
kesadaran mengenai hal tersebut. Suatu keadaan52 lahir dari suatu pengetahuan atau wawasan
dan proses panjang perilaku yang dilakukan terus-menerus. Pandangan tentang bisnis sebagai
media usaha yang bersifat material untuk mencapai tujuan maksimaisasi laba dan tidak ada
bisnis kecuali untuk keuntungan semata, tak pelak telah melahirkan suatu kesadaran dalam
masyarakat, bahwa bisnis bersifat material dan dilakukan hanya untuk mencapai maksimalisasi
keuntungan.

Dimensi Aksiologi Pertanggungjawaban Amal Manusia
Secara fisiologis, pandangan tentang siapa manusia mempunyai keragaman. Menurut
Plato manusia adalah jiwa atau pribadinya. Jiwa lebih dahulu dan utama daripada badannya.
Pendapat ini ditentang oleh Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa manusia sebagai pribadi
adalah makhluk individual yang dianugerahkan oleh kodrat rasional. Sementara John Stuart Mill
menganggap bahwa pribadi adalah manusia individu yang mempunyai kebebasan mutlak dalam
hubungannya dengan masyarakat. Sementara menurut John Dewey manusia adalah pribadi
sebagai wakil dari masyarakat. Demikian pula John McMurray manusia adalah pelaku dan bukan
pemikir.53
50

Ibid, hlm.158
Langgam normativitas adalah suatu cara pandang tentang nilai-nilai normative yang dipahami secara
langsung tanpa reserve dan langsung pula diimplementasikan dalam kehidupan nyata walaupun terjadi
pe aksaa da i ilai-nilai tersebut atau sebaliknya realitas dimaksud dihadapkan begitu saja kepada nilai.
52
Suatu kesadaran lahir dari pengetahuan yang kemudian diperkuat oleh perilaku yang dilakukan secara terus
menerus. Karena itu upaya merubah suatu kesadaran akan dapat berhasil bila diawali suatu pengetahuan atau
wawasan yang baru.
53
Lihat. P.Hardono. Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Ehitehead, (Yogyakarta : Kanisius, 1996)
hlm.32-37
51

11

Secara normative amal manusia digariskan dalam al-Qur’an dengan berbagai penjelasan.
Dari sisi bahasa dapat diketahui term perbuatan berasal dari bahasa Arab yaitu a-m-l yang berarti
: mengerjakan, berbuat, bekerja, bertindak, dan lain-lain.54

Relevansi Etika Bisnis dalam Persaingan
Menghadapi realitas tersebut, terdapat pilihan-pilihan yang dihadapkan adalah memilih di
antara empat pilihan. Keempat kondisi itu adalah; a) jika tidak etis maka akan tertinggal; b) etis
tidak tertinggal; c) etis tertinggal dan d) tidak etis tertinggal.55
Pada hakikatnya etika merupakan bagian integral dalam bisnis yang dijalankan secara
professional. Dalam jangka panjang, suatu bisnis akan tetap berkesinambungan dan secara terus
menerus benar-benar menghasilkan keuntungan, jika dilakukan atas dasar kepercayaan dan
kejujuran. Demikian pula suatu bisnis dalam perusahaan akan berlangsung bila bisnis itu
dilakukan dengan member perhatian kepada semua pihak dalam perusahaan (stake holders
approach). Inilah sebagian dari tujuan etika bisnis yaitu agar semua orang yang terlibat dalam

bisnis mempunyai kesadaran tentang adanya dimensi etis dalam bisnis itu sendiri dan agar
belajar bagaimana mengadakan pertimbangan yang baik secara etis maupun ekonomis.56
Dari pandangan demikian maka, menjadi kemestaan agar suatu bisnis atar perusahaan
yang ingin berlanjut dan berkeseimbagnan dalam proses dan meraih keuntungannya, selalu
berupaya memberlakukan pilihan jika tidak etis maka akan tertinggal dan jika etis maka tidak
akan tertinggal pula. Untuk melihat relevasi dan implementasi etika bisnis dalm dunia bisnis
secara berurutan berikut akan dipaparkan empat hal mengenai 1) hubungan produsen dan
konsumen yang meliputi kualitas produk, harga dan iklan, 2) pasar bebas, 3) tanggungjawab
social perusahaan dan Good Corporate Governance (GCG), 4) e-business.

1. Hubungan produsen konsumen, adalah suatu bisnis yang mengkhususkan diri dalam proses
membuat produksi.

54

Kata a al e pu yai de i asi da si o i sepe i sha a’ah, adda, isti’ ala, tasha afa, Ah ad Wa so
Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: PP Krapyak, 1984)
55
Ha i “uda adji, Masalah- asalah Etika Bis is Ha d Out pada se i a ujia “t ategis Pe ulihan
Ekonomi Indonesia, dalam rangka 45 tahun FE UGM, 15 September 2000.
56
Frans Magnis suseno, Berfilsafat dalam Konteks. (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm. 156162.

12

Adapun konsumen merupakan stakeholder yang hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak
akan berjalan tanpa adanya konsumen yang menggunakan produk atau jasa yagn ditawarkan
oleh produsen.57
2. Pasar Bebas, merupakan perkembagnan dari pasar local dan nasional yang tidak mengenal
keterbatasan wilayah tertentu. Pasar bebas merupakan akibat logis dari era globalisasi. Dalam
pasar bebas suatu komoditas tidak hanya terbatas berasal dari wilayah sekitar tetapi serta
merta bisa daang dari wilayah-wilayah yang jauh jangkauannya. Kata kunci pasar bebas
adalah efisiensi.58 Dalam perspektif ekonomi islam, istilah pasar bebas tidak digunakan,
tetapi menggunakan istilah pasar sempurna.59
3. Tanggungjawab Sosial Perusahaan dan GCG, merupakan tema yang terus berkembang dalam
dunia bisnis. dalam konteks perusahaan terdapat tiga pandangan mengenai tanggungjawab
sosial perusahaan. Pertama, para manajer secara jujur memfokuskan bagi kepentingan
perusahaan. Dengan demikian ia merupakan agen untuk mencapai kesejahteraan stakeholders
perusahaan. Kedua, para manager mempunyai tugas untuk menyeimbangkan kepentingan
pokok dari para pelaku perusahaan. Ketiga, para manager bertanggungjawab dalam melayani
masyarakat, yakni dengan program-program social yang menguntngkan masyarakat.60
4. E-Business, atau disebut juga e-commerce merupakan suatu perkembangan baru yang pesat
dalam dunia bisnis. Hal ini terutama disebabkan oleh pesatnya capaian teknologi informasi
yaitu internet.61

G. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip etika bisnis dalam al-Qur’an pertama-tama memberikan pandangan bahwa
antara bisnis etika bukan merupakan dua bangunan yang terpisah, melainkan sebagai satu
kesatuan struktur. Bisnis dalam pandangan al-Qur’an bukan semata-mata upaya meraih
57

Muslich, hlm.49
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 140
59
Pasar sempurna dimaksudkan sebagai kondisi pasar dimana antara permintaan dan penawaran akan suatu
kebutuhan terjadi secara sempurna sehingga melahirkan suatu keseimbangan antara keduanya, karena didasarkan
atas kerelaan dan keterbukaan. Dengan demikian pada pasar ini terjadi suatu kompetisi yang fair.
60
Rafik Issa Beekun, Business Ethic,hlm.25
61
Internet dipahami secara umum sebagai komunikasi virtual melalui media computer dan saluran telepon.
Internet sebenarnya merupakan singkatan dari inter-connecting networking.
58

13

keuntungan material, tetapi sekaligus berupaya mencapai ujian spiritual yakni pencapaian
tujuan kemanusiaan sebagai pengejawantahan amanah sebagai makhluk dan sebagai khalifah
untuk mencapai keridhaan Allah.
2. Dalam keterpaduan tersebut, Al-Qur’an memberikan bangunan paradigm bisnis, yaitu bisnsi
yang dilakukan dengan kesadaran dan dibangun di atas nilai-nilai aksiomatika; kesatuan,
kehendak bebas, pertanggungjawaban kesetimbangan (keadilan), dan kebenaran (kebajikan
dan kejujuran). Aplikasi nilai-nilai tersebut dapat dibandingkan dengan implementasi tiga
landasan praktek mal-bisnis.
3. Eksploitasi dan pengungkapan terma al-bathil, al-fasad dan adz-zhalim dalam al-Qur’an
dalam hubungannya dengan etika bisnis adalah sangat penting. Hal ini dikarenakan bahwa
bisnis yang bertentangan dengan nilai-nilai etika atau praktek-praktek mal bisnis,
mengandung salah satu dari ketiga landasan yaitu kebathilan, kerusakan dan kezhaliman.
Ketiga landasan ini juga merupakan landasan tolak ukur atau standar nilai atau menetapkan
apakah suatu bisnis, dapat dibenarkan menurut etika atau tidak. Bila suatu praktek bisnis,
maka otomatis menjadi praktek mal bisnis. Pada dasarnya bisnis dibolehkan dan dibenarkan
asal tidak mengandung salah satu dari ketiganya, dalam keseluruhan proses bisnis dan akibatakibat yang ditimbulkannya.

BIBLIOGRAFI
A. Soni Keraf. Bisakah Bisnis Berjalan Tanpa Moralitas. Basis No.05-05 Mei-juni, 1997
Asghar ali Angineer, Islam dan Pembebasan. Pent. Hairus Salim dan Baehaqi. Yogyakarta:
LkiS. 1991
Buchori Alma, Pengantar Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta. 1977
Dawan Raharjo. “Etika bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II” Prisma. 2 Februari 1995
Elias Qamaruddin Shaleh, dkk. Asbabunnuzul Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat alQur’an. Bandung:CV. Diponegoro, 1975
Fazlur Rahman, Metode alternative Neomodernisme Islam fazlur Rahman, Taufik Adnan Amal
(penyunting). Bandung: Mizan,1992
Frans Magnis suseno, Berfilsafat dalam Konteks. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. 1992
Hadimulyo. “Etika Bisnis” Jurnal Ulumul Qur’an. No.3/VII/1997
14

Harahap. Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi aksara, 1997
Hari Sudarmadji. “Masalah-masalah Etika Bisnis” Hand Out pada seminar ujian Strategis
Pemulihan Ekonomi Indonesia, dalam rangka 45 tahun FE UGM, 15 September 2000
M. Quraish Shihab. “Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qur’an, Jurnal Ulumul Qur’an.
No.3/VII/1997/, hal.4 Richart T de George. Business Ethics (New Jersey:Prendce Hall,
Englewood Chiffs,1986
Madjid Fakhri,Etika dalam Islam, penerjemah Zakiyuddin. B. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
Pusat Studi Islam-UMS, 1996) hlmxv-xvi
P.Hardono. Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Ehitehead. Yogyakarta:
Kanisius. 1996
Peter Salim. The Cotemporary English-Indonesia. Jakarta: Modern English Press. 1991
Rafik Issa Beekun. Business Ethic. Tim Penulis Rosda Karya. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
1995

15