PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MANAJEMEN SEKOL

KOMPETENSI
MANAJERIAL



KEPALA
SEKOLAH
PENDIDIKAN

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

MANAJEMEN SEKOLAH DASAR

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN
DIREKTORAT JENDERAL
PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

TAHUN 2007

KATA PENGANTAR


Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang
Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi
kompetensi yaitu: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi dan
Sosial. Dalam rangka pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala
sekolah untuk menguasai lima dimensi kompetensi tersebut, Direktorat Tenaga
Kependidikan telah berupaya menyusun naskah materi diklat pembinaan
kompetensi untuk calon kepala sekolah/kepala sekolah.
Naskah materi diklat pembinaan kompetensi ini disusun bertujuan untuk
memberikan acuan bagi stakeholder di daerah dalam melaksanakan pendidikan
dan pelatihan calon kepala sekolah/kepala sekolah agar dapat dihasilkan
standar lulusan diklat yang sama di setiap daerah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun materi diklat
pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah ini atas dedikasi
dan kerja kerasnya sehingga naskah ini dapat diselesaikan.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi upaya-upaya kita dalam
meningkatkan mutu tenaga kependidikan.

Jakarta,
Direktur Tenaga Kependidikan


Surya Dharma, MPA, Ph.D
NIP. 130 783 511
i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I

BAB II

PENDAHULUAN..................................................................................1
A.

Latar Belakang.............................................................................1

B.


Kompetensi..................................................................................1

C.

Indikator Ketercapaian Kompetensi.............................................1

D.

Alokasi Waktu..............................................................................2

E.

Skenario.......................................................................................2

KONSEP DASAR MANAJEMEN SEKOLAH DASAR.......................3
A.

Pentingnya Manajemen Sekolah Dasar......................................3

B.


Pengertian Manajemen Sekolah Dasar.......................................4

C.

Karakteristik Sekolah Dasar Yang Baik.......................................6

D.

Manajemen Sebagai Sebuah Proses........................................16

E.

Kegiatan Manajemen Di Sekolah Dasar...................................29

DAFTAR RUJUKAN...........................................................................................56

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
Depdiknas merupakan Direktorat Jenderal yang dibentuk melalui PP No. 8
Tahun 2005. Salah satu direktorat di bawahnya adalah Direktorat Tenaga
Kependidikan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi di
bidang pembinaan tenaga kependidikan pada pendidikan formal.
Tenaga kependidikan yang menjadi perhatian UU Sisdiknas dan PP No. 19
Tahun 2005 adalah: Kepala Sekolah, Tenaga Perpustakaan, Tenaga Pengawas
Sekolah, Tenaga Laboratorium, dan Tenaga Administrasi Sekolah (TAS). Salah
satu upaya meningkatkan kompetensi manajerial kepala sekolah sesuai
Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
antara lain adalah melalui bimbingan teknis. Salah satu kompetensi manajerial
kepala sekolah adalah

manajerial dalam konteks pendidikan persekolahan,

khususnya sekolah dasar.


B. Kompetensi
Memiliki kompetensi manajerial dalam konteks pendidikan persekolahan,
khususnya sekolah dasar.

C. Indikator Ketercapaian Kompetensi
Pada akhir pendidikan dan pelatihan (Diklat) ini diharapkan peserta:

1

Mampu

1.

mendeskripsikan

konsep

dasar


manajemen

sekolah dasar
Mendeskripsikan kegiatan-kegiatan manajemen sekolah

2.
dasar

Mendeskripsikan pola-pola baku atau standar aspek-

3.

aspek manajemen sekolah dasar

D. Alokasi Waktu
Alokasi waktu Diklat ini adalah 10 jam pelajaran @ 45 menit

E. Skenario
Diklat ini diselenggarakan dengan pendekatan andragogi. Keaktifan,
kreatif,


keefektifan,

kebermaknaan,

ditumbuhkembangkan

selama

dan

proses

suasana

Diklat

yang

menyenangkan


berlangsung.

Pendekatan

andragogi yang akomodatif terhadap pemberian fasilitasi kepada peserta untuk
mengungkapkan
menggeneralisasi

pengalamannya,
(menyimpulkan),

mengolah
dan

penerapan

dan

menganalisis,


pengalamannya

dari

merancang program Diklat ini. Dengan demikian, Diklat ini akan terasa manfaat
langsung (transfer of learning) bagi peserta setelah kembali ke sekolahnya
masing-masing.

2

3

BAB II
KONSEP DASAR
MANAJEMEN SEKOLAH DASAR

A.

Pentingnya Manajemen Sekolah Dasar

Sekolah dasar tidak ubahnya sebagai sebuah institusi atau lembaga.

Sebagai sebuah institusi atau lembaga, sekolah mengemban misi tertentu yaitu
melakukan proses edukasi, proses sosialisasi, dan proses transformasi anak
didik, dalam rangka mengantarkan mereka siap mengikuti pendidikan pada
jenjang berikutnya. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Oleh karena demikian
misinya, maka sekolah dasar dapat dikategorikan sebagai institusi atau
lembaga pendidikan. Sebagai institusi atau lembaga pendidikan, sekolah dasar
menyelenggarakan berbagai aktivitas pendidikan bagi anak didik dan
melibatkan

banyak

komponen,

sehingga

aktivitas

maupun

komponen

pendidikan di sekolah dasar menuntut adanya manajemen yang baik dalam
rangka mencapai tujuan institusional sekolah dasar.
Secara garis besar aktivitas pendidikan di sekolah dasar, baik negeri
maupun swasta dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, aktivitas
pembelajaran kurikuler, seperti pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PKN), pembelajaran Pendidikan Agama (PA), pembelajaran
Bahasa Indonesia (BI), pembelajaran Matematika (Mat), pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS);
pembelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes), pembelajaran
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), pembelajaran Muatan Lokal
(Mulok). Kedua, aktivitas pembelajaran ekstrakurikuler, seperti kegiatan
pramuka, usaha kesehatan sekolah (UKS), olah raga, kesenian, dan patroli
keamanan sekolah (PKS). Ketiga aktivitas pembelajaran lainnya dalam bentuk
upacara bendera yang diselenggarakan pada setiap hari senin dan senam pagi.
Masing-masing jenis aktivitas pembelajaran tersebut memiliki tujuan kurikuler.
4

Namun semua aktivitas pembelajaran harus dipadukan sedemikian rupa dan
diarahkan kepada pencapaian satu tujuan, tepatnya tujuan institusional sekolah
dasar. Demikian pula, agar antara aktivitas pembelajaran satu dan lainnya tidak
tumpang tindih, dan fasilitas sekolah dapat didayagunakan secara optimal
maka sekolah dasar menuntut adanya manajemen yang baik. Di sinilah letak
pentingnya manajemen yang baik di sekolah. Tampaknya, tidak ada
kesuksesan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar tanpa adanya
manajemen yang baik di dalamnya.
Sementara dalam pelaksanaan semua aktivitas pembelajaran di atas
dilibatkan banyak komponen, tidak saja komponen manusia melainkan juga
komponen bukan manusia. Komponen manusia di sekolah dasar cukup
banyak. Dalam kondisi normal komponen manusia sekolah dasar terdiri dari
seorang kepala sekolah, enam orang guru kelas, seorang guru mata pelajaran
Pendidikan Agama, seorang guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan, dan seorang pesuruh sekolah. Jadi secara keseluruhan terdapat
sepuluh personil sekolah dasar. Sedangkan komponen bukan manusia di
sekolah dasar terdiri dari enam ruang kelas, satu ruang kepala sekolah yang
juga difungsikan sebagai ruang administrasi, buku teks, buku penunjang, buku
bacaan, berbagai alat peraga, dan uang. Agar dapat didayagunakan secara
optimal dalam mencapai tujuan institusional sekolah dasar, semua komponen
tersebut dikelola dengan sebaik-baiknya. Semakin banyak personil dan fasilitas
yang didayagunakan semakin menuntut adanya manajemen sekolah dasar
yang baik.

B. Pengertian Manajemen Sekolah Dasar
Banyak

pakar

administrasi

pendidikan

yang

berpendapat

bahwa

manajemen itu merupakan kajian administrasi ditinjau dari sudut prosesnya.
Para pakar administrasi pendidikan, seperti Sergiovanni, Burlingame, Coombs,
dan Thurston (1987) mendefinisikan manajemen sebagai process of working
5

with and through others to accomplish organizational goals efficienctly, yaitu
proses kerja dengan dan melalui (mendayagunakan) orang lain untuk mencapai
tujuan organisasi secara efisien. Manajemen itu merupakan proses, terdiri atas
kegiatan-kegiatan dalam upaya mencapai tujuan kerjasama (administrasi)
secara efisien. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Gorton (1976)
yang menegaskan bahwa manajemen merupakan metode yang digunakan
administrator untuk melakukan tugas-tugas tertentu atau mencapai tujuan
tertentu.
Manajemen sekolah dasar pada dasarnya merupakan penerapan
manajemen sekolah di sekolah dasar. Berdasarkan kedua definisi tersebut di
atas manajemen sekolah dasar merupakan proses di mana kepala sekolah
dasar selaku administrator bersama atau melalui

orang lain berupaya

mencapai tujuan institusional sekolah dasar secara efisien. Apabila definisi
tersebut dikaji secara saksama, ada beberapa makna tersirat berkenaan
dengan konsep manajemen sekolah dasar.
1.

Manajemen

sekolah

dasar

merupakan

proses,

dalam

arti

serangkaian kegiatan yang diupayakan kepala sekolah bagi
kepentingan sekolahnya.
2.

Rangkaian kegiatan yang diupayakan oleh kepala sekolah bersama
orang lain dan atau melalui orang lain misalnya guru, dan
mendayagunakan semua fasilitas yang ada. Jadi kepala sekolah
tidak bekerja sendiri. Bahkan, yang baik adalah kepala sekolah
selalu berusaha untuk menugaskan orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas di sekolahnya. Bukan

kepala sekolah yang

baik apabila segala sesuatu di sekolahnya dikerjakan sendiri.
Dengan kata lain, pada hakikatnya manajemen sekolah dasar
merupakan segala proses pendayagunaan semua komponen, baik
komponen manusia maupun komponen bukan manusia yang dimiliki
sekolah dalam rangka mencapai tujuan secara efisien.

6

3.

Tujuan

manajemen

sekolah

dasar

adalah

mencapai

tujuan

institusional sekolah dasar, yaitu memberikan bekal kemampuan
dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai
pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota ummat
manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan
menengah. Dengan manajemen sekolah dasar yang baik diharapkan
sekolah dasar menjadi lembaga pendidikan yang baik dalam segala
aspek.

C. Karakteristik Sekolah Dasar Yang Baik
Secara umum, tujuan manajemen sekolah dasar adalah mewujudkan
sekolah dasar sebagai lembaga pendidikan yang baik, yaitu efektif dan efisien.
Efektif berarti mencapai tujuan, sedangkan efisien dalam arti umum bermakna
hemat. Jadi ada dua tujuan pokok dengan diterapkannya manajemen dalam
suatu penyelesaian pekerjaan, organisasi, instansi, atau lembaga. Pertama,
tujuan manajemen itu diupayakan dalam rangka mencapai efektivitas. Suatu
program kerja dikatakan efektif apabila program kerja tersebut dapat mencapai
tujuan. Dengan kata lain, tujuan diterapkannya manajemen pada sebuah
program adalah agar program tersebut dapat mencapai tujuan. Kedua,
manajemen itu dilakukan dalam rangka mencapai efisiensi dalam pelaksanaan
setiap program. Efisiensi merupakan suatu konsepsi perbandingan antara
pelaksanaan satu program dengan hasil akhir yang diraih atau dicapai.
Menurut The Liang Gie (1983), perbandingan tersebut dapat dilihat dari
dua segi, yaitu segi pelaksanaan program dan segi hasil. Apabila ditinjau dari
segi pelaksanaannya,

sebuah program

dapat dikatakan efisien apabila

hasilnya dapat dicapai melalui upaya yang sekecil-kecilnya dan sehemathematnya. Upaya yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan komponen,
seperti tenaga, waktu pelaksanaan, sarana prasarana, dan keuangan. Ditinjau
dari segi hasil, penyelenggaraan sebuah program dapat dikatakan efisien
7

apabila dengan usaha tertentu memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya.
Sekali lagi dijelaskan bahwa yang dimaksudkan

upaya di sini adalah

penggunaan

pelaksanaan,

komponen,

seperti:

tenaga,

waktu

sarana

prasarana, dan keuangan. Jadi apabila dengan tenaga, waktu, sarana, uang
yang cukup dapat menghasilkan suatu produk yang banyak, maka itulah yang
disebut dengan efisien. Jika sebaliknya, dengan tenaga, waktu, sarana, dan
uang yang cukup menghasilkan produk yang sedikit, maka itulah yang disebut
dengan tidak efisien atau inefisiensi.
Perihal sekolah yang baik, ada juga pakar yang mengatakan bahwa
manajemen sekolah dilakukan dalam rangka mewujudkan sekolah dasar yang
bermutu. Sekolah dasar dapat dikatakan bermutu baik apabila mampu
mengemban misinya dalam rangka mencapai tujuan kelembagaannya.
Sepanjang perkembangan teori manajemen pendidikan ada dua model
teoritik sebagai pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah
yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Hoy dan Ferguson (1985), yaitu
model tujuan dan model sistem. Pertama adalah model tujuan, atau disebut juga
dengan pendekatan pencapaian-tujuan. Model tersebut berdasarkan pada
pandangan tradisional tentang keefektifan organisasi. Dalam pandangan
tradisional organisasi dikatakan efektif apabila ia mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Sergiovanni, 1987), sehingga pengukurannya melalui cara melihat
tujuan-tujuan operasional yang telah dicapai dari organisasi (Daft & Steers,
1986).
Sekolah pada dasarnya juga merupakan sebuah organisasi. Dengan
demikian, sekolah dapat dikatakan baik apabila mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Biasanya tingkat pencapaian ditandai dengan prestasi lulusan
sekolah dalam bidang ketrampilan dasar yang diukur melalui tes prestasi
terstandar (Frymier, dkk., 1984; Sergiovanni, 1984). Dengan demikian, apabila
digunakan pendekatan tujuan, maka prestasi siswa memainkan peranan penting
dalam menetapkan baik tidaknya sebuah sekolah. Banyak sekali penelitian
tentang keefektifan sekolah dengan menggunakan pendekatan atau model
8

tujuan tersebut, yang menyandarkan penetapannya semata-mata kepada
prestasi siswa, sebagaimana diukur melalui tes terstandar sebagai kriteria
keefektifannya (Frymier, dkk., 1984; Hoy & Ferguson, 1985; Sergiovanni, 1987).
Penelitian terkenal yang dilakukan oleh Edmons (1979), begitu pula oleh
Brookover dan Lezotte (1979) tentang keefektifan sekolah dasar merupakan dua
contoh di antaranya. Mereka (para penganjurnya) memiliki asumsi bahwa
sekolah memang memiliki banyak tujuan. Namun berapapun banyaknya,
menurut mereka sekolah tidak akan dikatakan baik oleh siswa, orang tua, dan
masyarakat lainnya, selama sekolah tersebut tidak sukses dalam mengajarkan
ketrampilan-ketrampilan dasar. Sementara satu lagi bagi popularitas model atau
pendekatan tujuan ini adalah kemudahan peneliti dalam mendefinisikan dan
mengukur keefektifan sekolah sebagai sebuah institusi

(Sergiovanni, 1987).

Namun penyandaran penetapan keefektifan suatu sekolah pada prestasi siswa
semata, sebagaimana diukur melalui tes prestasi akademik terstandar, telah
banyak dikecam. Kelemahan pertama terletak pada pendefinisian keefektifannya
yang sangat sempit, dimana keefektifan sekolah diukur hanya dari satu dimensi,
prestasi akademik siswa. Kedua, walaupun pendekatan tersebut didasarkan
pada

asumsi-asumsi

yang

logis

dan

dianggap

penting,

namun

keberlangsungannya sangat terancam, sebab dalam rangka menerapkannya
sekolah harus dalam kondisi: memiliki tujuan, tujuan tersebut harus diidentifikasi
dan didefinisikan cukup tegas sehingga dimengerti dan disepakati oleh kepala
sekolah, supervisor, dan guru; dan mereka sendiri harus mampu mengukur
perkembangan pencapaiannya. Padahal dalam kenyataan sehari-hari kondisi
tersebut sering kali tidak ditemukan di sekolah-sekolah.
Model kedua adalah model sistem, atau disebut juga dengan pendekatan
proses atau pendekatan multi-dimensional. Model tersebut berdasarkan pada
konsep sistem terbuka, biasa digunakan khususnya oleh para analis yang
memandang organisasi sebagai sebuah sistem terbuka yang terdiri dari
masukan, transformasi, dan keluaran (Hoy dan Miskel, 1982). Dalam perspektif
model sistem keefektifan organisasi dilihat dari bukan tingkat pencapaian
tujuannya, sebagaimana dalam perspektif model tujuan di muka, melainkan
9

konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan
kesuksesan dalam mekanisme kerjanya. Ada dua asumsi yang mendasarinya.
Pertama, organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu
memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua, organisasi
merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar maka
kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya
melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna. Berorientasi pada
model sistem maka baik tidaknya sekolah dilihat bukan dari tingkat pencapaian
tujuannya, melainkan proses dan kondisinya yang disebut dengan karakteristik
sekolah. Dalam pada itu ada dua karakteristik sekolah sebagaimana
dikemukakan oleh Owens (1987). Pertama, karakteristik internal sekolah, yang
meliputi, antara lain: gaya kepemimpinan, proses komunikasi, sistem supervisi
dan evaluasi, sistem pengajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan
keputusan. Kedua, karakteristik eksternal. Karakteristik eksternal merupakan
karakteristik situasi didalam mana sekolah sebagai sebuah organisasi berada
dan terletak. Sudah barang tentu yang demikian itu mencakup karakteristik
masyarakat, seperti kekayaan, tradisi sosio-kultural, struktur kekuatan politik,
dan demografinya.
Model sistem sebagai suatu perspektif dalam menentukan baik-tidaknya
sekolah telah banyak dikenal dan diterima oleh peneliti administrasi pendidikan
(Sergiovanni & Starratt, 1983). Asumsi mereka adalah bahwa ada hubungan
antara karakteristik sekolah dengan kualitas keluaran siswa. Beberapa hasil
penelitian juga menunjukkan adanya hubungan demikian. Austin (1979)
misalnya, dalam penelitiannya menemukan bahwa sekolah-sekolah yang
kepemimpinan kepala sekolahnya terlibat dalam pemrograman pengajaran
cenderung memiliki siswa dengan prestasi lebih tinggi

dibandingkan dengan

sekolah-sekolah yang tidak atau kurang memiliki karakteristik tersebut.
Sementara Rutter (1979) pada akhir penelitiannya menyimpulkan bahwa iklim
dan kepemimpinan sekolah adalah alat yang penting bagi peningkatan kualitas
keluaran siswa. Oleh karena itu mereka (para peneliti administrasi pendidikan)
menegaskan bahwa kepala sekolah memang bisa mempengaruhi kualitas
10

keluaran siswa, tetapi harus melalui pemberian perhatian sebaik mungkin pada
pembinaan proses dan kondisi yang mempertinggi kualitas keluaran siswa.
Walaupun model sistem sebagai suatu pendekatan dalam menentukan
baik-tidaknya

sekolah

telah

diterima

oleh

banyak

peneliti

administrasi

pendidikan, namun model sistem tersebut diduga keras memiliki beberapa
kelemahan, terutama apabila diaplikasikan di dalam lembaga pendidikan (Hoy &
Miskel, 1982). Pertama, dengan terlalu menekankan pada masukan, alat, dan
proses di dalam melihat baik-tidaknya sekolah sebagaimana model sistem,
maka masalah keluarannya cenderung terabaikan.
Sejarah perkembangan teori administrasi pendidikan menunjukkan bahwa
pada tahun 1960-an begitu banyak perhatian diberikan kepada proses dan alat,
seperti iklim sekolah, gaya dan karakteristik kepemimpinan, praktek pembuatan
keputusan, dan strategi pemecahan konflik, sehingga dengan tidak disadari
topik-topik tentang belajar siswa dan keluaran siswa terabaikan (Sergiovanni,
1987). Kedua, karena memperhatikan peningkatan masukan merupakan tujuan
operatif bagi organisasi, berarti model sistem itu pada dasarnya merupakan
model tujuan.
Di atas telah dipaparkan dua model teoretik dalam menetapkan sekolah
yang baik atau efektif. Kedua model teoretik tersebut memang tampak berbeda.
Model tujuan lebih menekankan pada keberhasilan pencapaian tujuan dalam
menetapkan

baik-tidaknya

sekolah,

sementara

model

sistem

lebih

memperhatikan karakteristik proses dan kondisi seperti konsistensi internal,
kesuksesan mekanisme kerja, dan efisiensi dalam mendayagunakan semua
sumber yang tersedia dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah.
Walaupun begitu keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya saling
melengkapi satu sama lain, sehingga mungkin dan perlu dikombinasikan yang
dapat menghasilkan satu konsep tentang sekolah yang baik. Sergiovanni (1987)
pun menganjurkan agar para kepala sekolah, pakar, dan peneliti tidak memilih
salah satu di antaranya melainkan keduanya. Lebih lanjut menurut Sergiovanni,
11

apabila pendekatan tujuan dikombinasikan dengan pendekatan sistem, maka
siapapun orangnya akan lebih komprehensif dalam memahami kesuksesan
sekolah. Berikut ini dikedepankan dua teori yang mengkombinasikan model
tujuan dan model sistem. Pertama dikembangkan oleh Parsons (1960) dan
kedua dikembangkan oleh Postman dan Weingartner (1979).
Parsons

(1960)

telah

mengembangkan

sebuah

model

keefektifan

organisasi yang mengkombinasikan kedua model atau pendekatan tujuan dan
sistem di atas. Model Parsons menegaskan bahwa keefektifan organisasi itu
dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu: (1) adaptasi; (2) pencapaian tujuan; (3)
integrasi; dan (4) latensi. Asumsi dasarnya adalah bahwa semua sistem sosial,
apabila ingin hidup dan berkembang, harus mampu memecahkan empat
masalah, yaitu masalah-masalah pengakomodasian lingkungan, penetapan dan
pencapaian tujuan, pemeliharaan solidaritas antar komponen sistem, dan
penciptaan serta pemeliharaan sistem motivasional dan pola-pola nilai. Menurut
Parsons, apabila organisasi mampu menyelesaikan dengan sebaik-baiknya
keempat masalah tersebut, maka organisasi tersebut dapat dikatakan efektif
atau baik.
Berdasarkan kerangka berfikir Parsons di atas Hoy dan Miskel (1987)
mengajukan empat dimensi keefektifan sekolah: adaptasi, pencapaian tujuan,
integrasi, dan latensi. Dari dimensi adaptasi, baik-tidaknya sekolah dilihat dalam
hubungan dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan lingkungannya; dari
dimensi pencapaian tujuan, baik tidaknya sekolah diukur dengan dicapainya
tujuan pendidikan; dari dimensi integrasi, baik-tidaknya sekolah dikaitkan
dengan dipertahankannya solidaritas dan kekohesifan unsur-unsur sistem; dan
dari dimensi latensi, baik tidaknya sekolah dinilai pada terciptanya dan
dipertahankannya komitmen organisasional sekolah.
Dua orang pakar lainnya yang pernah mengemukakan secara lengkap
dengan mengkombinasikan model tujuan dan model sistem tentang indikator
sekolah yang baik adalah Postman dan Weingartner (1979). Menurut mereka
sekolah sebagai institusi memiliki seperangkat fungsi esensial,
12

yang

harus

dimiliki oleh setiap sekolah. Fungsi-fungsi esensial tersebut meliputi: (1)
penstrukturan waktu; (2) penstrukturan aktivitas yang harus diikuti siswa; (3)
pendefinisian kecerdasan, kemampuan intelektual, prestasi, dan perilaku yang
baik; (4) penilaian; (5) pemisahan peran dan tanggung jawab antara guru dan
siswa; (6) supervisi dan pengawasan terhadap siswa; dan (7) pertanggungjawaban. Di samping fungsi-fungsi esensial, menurut Postman & Weingartner,
ada juga

konvensi, yaitu prosedur-prosedur yang diikuti sekolah untuk

memenuhi ketujuh fungsi esensialnya. Konvensi ini pada dasarnya melayani
fungsi-fungsi esensial sehingga fungsi-fungsi esensial tersebut betul-betul
membuat sekolah mampu memberikan pengalaman belajar yang berharga bagi
siswa. Sebagai contoh adalah penstrukturan waktu yang merupakan fungsi
esensial pertama. Setiap sekolah memiliki waktu kapan sekolah mulai dan
berakhir. Sekolah juga memiliki waktu kapan aktivitas-aktivitas tertentu
dilaksanakan dan waktunya pasti berbeda antara satu aktivitas dengan aktivitas
lainnya. Tanpa pengaturan waktu kita tidak memiliki sekolah. Sedangkan
konvensi adalah cara-cara khusus di sekolah untuk mengatur waktu sepuluh
bulan dalam setahun, enam hari dalam seminggu, enam jam dalam sehari, dan
empat puluh menit dalam satu jam pelajaran.
Lebih lanjut, menurut Postman dan Weingartner,

konvensilah yang

sebenarnya merupakan obyek perubahan organisasional sekolah. Menurut
mereka sebuah sekolah dinilai baik apabila konvensinya secara aktual
meningkatkan pengalaman belajar yang berharga bagi siswa. Akhirnya
berdasarkan semua inilah Postman dan Weingartner mendeskripsikan ciri-ciri
sekolah yang baik sebagai berikut.
1.

Ditinjau dari penstrukturan waktunya sekolah dapat dikatakan baik
apabila:
a.

sekuensi waktu sehari di sekolah itu tidak sewenang-wenang
(45 menit untuk ini, 45 menit untuk itu, dan seterusnya),
melainkan didasarkan pada apa yang perlu dilakukan siswa;

13

b.

antara satu orang siswa dan siswa lainnya di sekolah tidak
diharuskan mengerjakan hal yang sama dalam jangka waktu
yang sama;

c.

siswa tidak dituntut semata-mata untuk mematuhi waktu dalam
pelajaran, melainkan menguasai keterampilan;

d.
2.

siswa diarahkan untuk mengorganisasi waktunya sendiri.

Ditinjau dari penstrukturan aktivitasnya, sekolah dapat dikatakan baik
apabila:
a.

aktivitas-aktivitasnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa
secara perorangan;

b.

antara satu orang siswa dan siswa lainnya tidak dituntut untuk
mengikuti aktivitas yang sama;

c.

sekolah mengakui bahwa proses belajar mengajar hampir tidak
bernilai bagi siswa apabila dirinya kurang dilibatkan di dalamnya;

d.

aktivitasnya merupakan aktivitas siswa;

e.

aktivitasnya tidak terbatas pada sebuah gedung, melainkan juga
mencakup semua sumber pada masyarakat;

f.

aktivitas-aktivitasnya

memenuhi

semua

perbedaan

latar

belakang dan kemampuan siswa.
3.

Ditinjau dari pendefinisian kecerdasan, pengetahuan, atau perilaku,
sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a.

proses belajar mengajar yang dikelolanya lebih menekankan
pada proses inkuiri, pemecahan masalah, dan penelitian
daripada memorisasi;

14

b.

siswanya dijauhkan dari kebiasaan menerima pelajaran secara
pasif;

c.

berbagai keterampilan berkomunikasi dilatihkan kepada siswa;

d.

kepada siswanya selalu ditekankan untuk menggunakan ilmu
dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar memperoleh ilmu
demi ilmu;

e.

personilnya mengakui adanya perkembangan pengetahuan di
berbagai bidang dan mencoba mempertimbangkannya dalam
mendefinisikan pengetahuan;

f.

pengetahuan diri sendiri merupakan bagian dari definisi
pengetahuannya.

4.

Ditinjau dari evaluasi, sekolah dapat dikatakan baik apabila dalam
proses evaluasinya:
a.

lebih menekankan pada upaya memberikan balikan yang
mendorong;

b.

digunakan pendekatan yang humanistik dan perorangan;

c.

mencakup aspek yang komprehensif;

d.

terlebih dahulu dibuatkan seeskplisit mungkin jenis perilaku yang
diinginkan sekolah;

e.

kurang digunakan tes terstandar;

f.

khusus dalam mengevaluasi guru dan administrator digunakan
prosedur-prosedur yang konstruktif.

5.

Ditinjau dari supervisi dan pengawasan siswa, sekolah dapat
dikatakan baik apabila:
a.

guru dan siswanya melakukan upaya-upaya yang kolaboratif;
15

b.

siswanya diberi kesempatan untuk mensupervisi dirinya sendiri;

c.

jumlah siswa yang ditangani seorang supervisor tidak banyak,
sehingga masalah personalnya bisa ditangani.

6.

Ditinjau dari perbedaan peran sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a.

semua

gurunya

selalu

mengembangkan

ide

mengenai

masyarakat belajar dimana fungsi guru lebih sebagai seorang
koordinator dan fasilitator;
b.

berbagai peran mengajar didalamnya tidak dimainkan hanya
oleh guru;

c.

berbagai

peran

mengajar

diorganisasikan

dan

kemudian

ditugaskan sesuai dengan kemampuan guru;
d.

siswanya dianggap bukan sebagai obyek pada setiap aktivitas,
melainkan didorong untuk aktif membentuk pengalamannya
sendiri;

e.

siswa tidak secara konstan ditempatkan dalam peran-peran
konpetitif, melainkan juga kolaboratif.

7.

Di tinjau dari pertanggungjawaban terhadap masyarakat, sekolah
dapat dikatakan baik apabila personelnya:
a.

lebih

menekankan

pada

partisipasi

masyarakat

daripada

paternalistik birokratik;
b.
8.

tidak takut mempertanggungjawabkan performansinya.

Ditinjau dari pertanggungjawaban terhadap masa depan, sekolah
dapat dikatakan baik apabila personelnya:
a.

memiliki konsep tentang pengetahuan, sikap, dan ketrampilan
yang diorientasikan pada masa depan;
16

b.

menginterpretasikan tanggung jawabnya pada masa depan
sebagai tanggung jawab kepada siswa, baru kemudian kepada
institusi sosial.

D. Manajemen Sebagai Sebuah Proses
Manajemen
Sergiovanni

pada

dan

dasarnya

kawan-kawannya

merupakan
(1987)

sebuah

proses

proses.

Menurut

manajemen

meliputi

perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengerahan (leading),
dan pengawasan (controlling). Menurut Gorton, manajemen itu pada hakikatnya
merupakan

proses

manajemen

tidak

pemecahan
ubahnya

masalah,

sebagaimana

masalah, yaitu:
1.

identifikasi masalah

2.

diagnosis masalah

3.

penetapan tujuan

4.

pembuatan keputusan

5.

perencanaan

6.

pengorganisasian

7.

pengkoordinasian

8.

pendelegasian

9.

penginisian

10. pengkomunikasian
11. kerja dengan kelompok-kelompok
12. penilaian
17

sehingga

langkah-langkah

langkah-langkah

pemecahan

Sekilas, secara kuantitatif apa yang dikemukakan oleh Sergiovanni dan
kawan-kawannya tentang langkah-langkah manajemen berbeda dengan apa
yang dikemukakan oleh Gorton. Namun apabila dikaji secara seksama,
terutama apabila dikaji hakikat konsepnya, ternyata keduanya sama. Jadi
walaupun Sergiovanni dan kawan-kawannya mengedepankan hanya empat
langkah manajemen, namun secara konseptual keempat langkah manajemen
perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, dan pengawasan tersebut sama
dengan kedua belas langkah manajemen yang dikemukakan oleh Gorton.
Dengan demikian, kedua belas langkah manajemen yang dikedepankan Gorton
di atas dapat disederhanakan menjadi empat langkah manajemen, yaitu
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan. Kegiatan
tersebut merupakan fungsi-fungsi organik manajemen. Artinya kegiatan
tersebut,

seperti

perencanaan,

pengorganisasian,

pengerahan

atau

kepemimpinan, dan pengawasan tidak boleh tidak harus dilakukan dalam
setiap administrasi.
1.Perencanaan
Salah satu fungsi manajemen adalah perencanaan. Program kegiatan
apa pun perlu direncanakan dengan baik, sehingga semua kegiatan
terarah bagi tercapainya tujuan. Perencanaan harus dibuat dengan sebaikbaiknya. Rencana merupakan pedoman kerja bagi para pelaksana terkait,
baik manajer maupun staf dalam melaksanakan fungsi dan tugas masingmasing.

Selain

mengendalikan

itu

rencana

kegiatan

merupakan

lembaga,

acuan

dalam

upaya

sehingga tidak menyimpang dari

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena begitu pentingnya
perencanaan tersebut, maka seorang manajer harus memiliki kemampuan
merencanakan

program.

Terkait

dengan

perencanaan,

berikut

dikemukakan: (1) definisi perencanaan; (2) ciri-ciri perencanaan yang baik;
dan (3) proses perencanaan yang baik.
Perencanaan

dapat

didefinisikan

sebagai

keseluruhan

proses

pemikiran dan penentuan semua aktivitas yang akan dilakukan pada masa
18

yang

akan

merupakan

datang

dalam rangka mencapai

tujuan. Perencanaan

langkah pertama dalam proses manajemen yang harus

dilakukan oleh orang-orang yang mengetahui semua unsur organisasi.
Keberhasilan

perencanaan sangat menunjang keberhasilan kegiatan

manajemen secara keseluruhan. Oleh karena itu, perencanaan harus
dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Menurut banyak pakar manajemen, perencanaan yang baik sebagai
berikut.
a.

Dibuat bersama-sama oleh orang-orang yang memahami
organisasi dan perencanaan.

b.

Disertai dengan rincian yang teliti;

c.

Tidak terlepas dari pemikiran pelaksanaan;

d.

Terdapat tempat pengambilan resiko;

e.

Sederhana, luwes, dan praktis;

f.

Didasarkan pada keadaan nyata masa kini dan masa depan;

g.

Direkomendasi oleh penguasa tertinggi.

Telah ditegaskan bahwa perencanaan merupakan sebuah proses
yang memikirkan dan menetapkan kegiatan untuk masa yang akan datang.
Oleh karena perencanaan merupakan sebuah proses, maka ada beberapa
langkah yang harus ditempuh dalam membuat perencanaan, yaitu:
a.

meramalkan masa depan;

b.

menganalisis kondisi lembaga;

c.

merumuskan tujuan secara operasional;

d.

mengumpulkan data atau informasi;

19

e.

menganalisis data atau informasi;

f.

merumuskan dan menetapkan alternatif program;

g.

menetapkan perkiraan pelaksanaan program;

h.

menyusun jadwal pelaksanaan program.

2.Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses pengelompokan
semua tugas, tanggung jawab, wewenang,

dan

komponen dalam

proses kerjasama sehingga tercipta suatu sistem kerja yang baik dalam
rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengorganisasian
dilakukan berdasarkan tujuan dan program kerja sebagaimana dihasilkan
dalam perencanaan. Menurut Siagian (1981) pengorganisasian suatu
program dapat dilakukan melalui prosedur sebagai berikut.
a.

Mengidentifikasi pekerjaan atau tugas yang perlu dilakukan
untuk mencapai tujuan.

b.

Mengelompokkan pekerjaan atau tugas yang sama dan memiliki fungsi yang sama.

c.

Memberikan nama tertentu bagi setiap kelompok pekerjaan
atau tugas dengan nama yang kurang lebih menggambarkan
fungsinya masing-masing.

d.

Menentukan orang-orang yang akan ditunjuk menyelesaikan
setiap kelompok kerja atau tugas. Apabila ada kelompok kerja
atau tugas tertentu harus dikerjakan oleh lebih dari satu orang,
maka salah satu di antara mereka perlu ditunjuk sebagai
penanggung jawabnya (pendistribusian tugas dan tanggung
jawab).

20

e.

Mendistribusikan fasilitas atau peralatan yang diperlukan untuk
menyelesaikan pekerjaan

f.

Menetapkan aturan kerja

g.

Menetapkan hubungan kerja

3.Komponen-komponen organisasi kepala sekolah
Berdasarkan hakikat dan tugas-tugas pengorganisasian di atas,
maka seorang kepala sekolah dasar perlu memiliki kompetensikompetensi sebagai berikut.
a.Menguasai konsep dasar dan teori organisasi.
1)

Memahami

konsep

dasar organisasi,

yang

menjadi

landasan dalam penyusunan organisasi sekolah.
2)

Mengidentifikasi unsur-unsur organisasi sekolah.

3)

Menguasai kebijakan dan teori-teori dasar organisasi.

4)

Memahami prinsip-prinsip dasar, fungsi, dan keuntungan
organisasi.

5)

Memahami teori hubungan kerja dan batas kemampuan
pengawasan dalam organisasi.

b.

Menguasai teknik pengorganisasian.

1)

Memahami teknik pengorganisasian sebagai proses.

2)

Memahami dasar penyusunan struktur organisasi.

3)

Menerapkan langkah-langkah pengorganisasian kegiatan
sekolah baik melalui ragam organisasi formal maupun
informal.

21

4)

Memahami

dan

menerapkan

bentuk-bentuk

pengorganisasian secara proporsional.
5)

Mengembangkan struktur organisasi formal kelembagaan
sekolah berdasarkan model struktur organisasi yang
relevan.

6)

Mengembangkan deskripsi tugas pokok dan fungsi setiap
unit kerja yang ada di sekolah sesuai dengan pendekatan,
strategi, dan proses pengorganisasian yang baik.

7)

Mengembangkan
pelaksanaan

standar

tugas

operasional

berdasarkan

prosedur

langkah-langkah

operasional pengorganisasian yang baik.
8)

Mengenal dan memahami bentuk struktur organisasi di
lingkungan Depdiknas dan sekolah.

c.Menguasai kemampuan sebagai organisator.
1)

Memahami kecenderungan dan kebijakan pendidikan
nasional dalam pengorganisasian sekolah.

2)

Memahami fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin
organisasi.

3)

Memahami perilaku anggota dalam organisasi sekolah.

4)

Menguasai kemampuan penempatan tenaga pendidik dan
tenaga

kependidikan

sesuai

dengan

prinsip-prinsip

pembentukan kelompok kerja dan tim yang efektif dan
tepat persebaran.
5)

Menerapkan strategi peningkatan efektivitas kelompok.

6)

Melaksanakan proses pengambilan keputusan secara
efektif.
22

7)

Menerapkan model-model pengambilan keputusan dalam
proses pemecahan masalah.

8)

Menerapkan

ketrampilan-ketrampilan

dasart

berkomunikasi sebagai pemimpin organisasi di sekolah.
4.Kepemimpinan
Keberhasilan suatu institusi dalam menjalankan program yang telah
direncanakan atau diorganisasikan perlu didukung dengan sebuah
kepemimpinan yang efektif. Segenap sumber daya yang ada harus
dikerahkan sedemikian rupa. Semua sumber daya manusia perlu
dikerahkan

secara efektif. Kehadiran kepemimpinan sangat esensial,

mengingat kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber daya
yang dimiliki lembaga. Karena itu, kepemimpinan disebut sebagai fungsi
organik dalam proses manajemen. Terkait dengan kepemimpinan tersebut
berikut dikemukakan: (1) definisi kepemimpinan; (2) jenis kepemimpinan;
dan (3) syarat-syarat untuk menjadi pemimpin yang efektif.
Secara sederhana kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai
keseluruhan

proses

mempengaruhi,

mendorong, mengajak,

menggerakkan, dan menuntun orang lain dalam proses kerja agar berfikir,
bersikap, dan bertindak sesuai

dengan aturan yang berlaku dalam

rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hakikat kepemimpinan
adalah kegiatan seseorang menggerakkan orang lain, agar orang lain itu
berkenan melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam rangka memperoleh
gambaran yang sederhana tentang kepemimpinan, perlu didistribusikan
berikut ini dengan pengalaman praktis, yang pernah dirasakan di dalam
proses kehidupan kelompok. Proses kepemimpinan seseorang dapat
muncul dalam bentuk usaha mempengaruhi orang lain agar bertindak
sesuai dengan apa yang diinginkannya. Marilah kita amati di lingkungan
sekolah dasar, kepala sekolah berusaha mempengaruhi para guru kelas,
guru mata Pendidikan Agama atau guru mata pelajaran Pendidikan
23

Jasmani dan Kesehatan, pesuruh sekolah. Agar mereka mau melakukan
tugasnya masing-masing demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan

definisi

dan

ilustrasi

kepemimpinan

tersebut,

proses

kepemimpinan pada hakikatnya dapat muncul kapan dan dimanapun,
apabila ada unsur-unsur :
a)

orang yang memimpin.

b)

orang-orang yang dipimpin.

c)

kegiatan atau tindakan penggerakkan untuk mencapai tujuan.

d)

tujuan yang ingin dicapai bersama.

Sepanjang sejarah perkembangan teori kepemimpinan, ditemukan
banyak jenis kepemimpinan, tergantung dari mana memandangnya.
Pertama, bilamana ditinjau dari status hukum, maka dua jenis kemimpinan,
yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Seseorang yang
secara resmi diberi tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin disebut
pemimpin formal atau pemimpin resmi (formal leader atau structural
leader). Seseorang yang secara resmi tidak ditunjuk sebagai pemimpin,
namun dalam kesehariannya ia selalu mampu mendorong, memotivasi,
atau menggerakkan

orang

lain, maka

orang tersebut dinamakan

pemimpin tidak resmi atau pemimpin informal

(informal leader atau

functional leader). Orang-orang yang digerakkan atau didorong berarti
orang-orang yang dipimpin.
Ditinjau dari karakteristik pemimpin, lahir tiga jenis kepemimpinan,
yaitu kepemimpinan simbolik, kepemimpinan formal, dan kepemimpinan
fungsional. Pemimpin simbolik adalah pemimpin yang ramah, jujur,
bersemangat, kreatif, tabah, bijaksana, cerdas, humoris, lemah-lembut.
Pemimpin formal adalah pemimpin yang memiliki posisi, gelar, jabatan,
puncak hierarki, kuasa. Sedangkan pemimpin fungsional adalah pemimpin
yang lahir dari peranan, fungsi dan kemanfaatannya bagi kelompok.
24

Sedangkan ditinjau dari tipenya, kepemimpinan dapat dibagi menjadi
empat

tipe,

kepemimpinan

yaitu

kepemimpinan

demokratis;

dan

otoriter,

kepemimpinan

Kepemimpinan otoriter diwarnai dengan
pemimpin. Kepemimpinan

kepemimpin

laizess-fire,

pseudo-demokratis.

serba tergantungan kepada

leizess-faire adalah kepemimpinan yang

semuanya bergantung bawahan; kepemimpinan demokratis diwarnai
dengan

tindakan

kerjasama

pemimpin

dan

bawahan.

Sedangkan

kepemimpinan pseudodemokratis merupakan kepemimpinan yang secara
supervisial tampak, namun sebenarnya otoriter atau demi kepentingan
kelompok kecil/klik; semu, manipulatif.
Telah ditegaskan di muka bahwa kepemimpinan merupakan fungsi
organik dalam proses manajemen. Konsekuensinya, siapapun yang
menjadi pemimpin harus memenuhi syarat-syarat kepemimpinan, baik
kepribadian, pengetahuan, dan ketrampilan, sebagaimana diuraikan berikut
ini.
a)

Seorang pemimpin harus dapat memiliki sifat-sifat pribadi yang
terpuji, antara lain ramah, periang, antusias, berani, murah hati,
spontan, percaya diri, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi,
menerima pendapat orang lain.

b)

Seorang pemimpin harus dapat memikirkan, merumuskan
tujuan visi, misi, kondisi, dan aksi yang ingin dicapai, dan
menginformasikannya kepada staf agar mereka sepenuhnya
memahami yang ingin dicapai bersama.

c)

Seorang pemimpin harus memiliki keterampilan dalam bidang
yang dipimpinnya. Pemimpin pendidikan harus terampil dalam
bidang pendidikan. Dengan keterampilan tersebut diharapkan
pemimpin dapat membantu stafnya dalam mengatasi masalahmasalah yang sedang dihadapi.

25

5.Pengawasan
Pengawasan merupakan istilah yang cukup populer. Pengawasan
merupakan salah satu fungsi manajemen. Fungsi tersebut mutlak harus
dilakukan dalam setiap organisasi atau lembaga. Ketidakmampuan atau
kelalaian melakukan fungsi tersebut sangat mempengaruhi pencapaian
tujuan lembaga. Dalam hubungannya dengan pengawasan dalam
manajemen, berikut dikemukakan: (1) definisi pengawasan; (2) perspektif
pengawasan; (3) pentingnya pengawasan; (4) prinsip-prinsip pengawasan
yang baik; dan (5) proses pengawasan yang baik.
Kimbrough dan Nunnery (1983) mengartikan pengawasan sebagai
proses memonitor kegiatan-kegiatan. Tujuannya untuk menentukan
harapan-harapan yang secara nyata dicapai dan melakukan perbaikanperbaikan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Harapanharapan yang dimaksud tersebut adalah tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan untuk dicapai dan program-program yang telah direncanakan
untuk dilakukan dalam periode tertentu. Dengan demikian, pengawasan
dalam konteks pendidikan itu merupakan proses memonitor kegiatankegiatan untuk mengetahui program-program lembaga pendidikan yang
telah diselesaikan dan tujuan-tujuannya yang telah dicapai.
Pengertian di atas menyisyaratkan, bahwa sebelum dilakukan
pengawasan pada sebuah lembaga tertentu perlu terlebih dahulu
ditetapkan tujuan-tujuan lembaga yang ingin dicapai dan program-program
lembaga yang akan dilakukan. Tiada seorang pimpinan lembaga tertentu
dapat mengadakan pengawasan dengan sebaik-baiknya tanpa adanya
tujuan-tujuan lembaga yang ditetapkan dan program-program lembaga
yang direncanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, tidak ada
seorangpun di antara kepala sekolah dasar yang bisa melakukan
pengawasan terhadap sekolahnya tanpa terlebih dahulu memahami
tujuan-tujuan dan program-program kerja sekolahnya. Kimbrough dan
Nunnery

(1983)

menegaskan,

bahwa
26

perencanaan

program

dan

pengawasan organisasi merupakan dua kegiatan manajemen yang saling
berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Adanya perencanaan
yang baik memungkinkan ditetapkannya standar keberhasilan yang baik.
Semakin baik perencanaan yang dibuat maka kemungkinannya semakin
baik pula standar keberhasilan yang dapat ditetapkan. Adanya standar
yang

baik

memungkinkan

dilakukannya

pengawasan

yang

baik.

Pengawasan yang baik mampu memonitor pelaksanaan program-program
organisasi, sehingga apabila terjadi beberapa penyimpangan yang berarti,
dapat segera dilakukan perbaikan seperlunya dan sekaligus masukan bagi
perencanaan berikutnya (Robbins, 1984).
Pengertian pengawasan sebagaimana diajukan oleh Kombrough dan
Nunnery tersebut di atas sesuai dengan pengertian pengawasan yang
dikemukakan oleh Mockler (1972). Pengertian yang dikemukakan oleh
Mockler

lebih

operasional

yang

menunjukkan

langkah-langkah

pengawasan sebagai suatu proses yang sistematis. Menurut Mockler,
pengawasan merupakan usaha sistematis untuk menetapkan standar
berdasarkan tujuan dan perencanaan, merancang sistem umpan balik,
membandingkan performansi nyata dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya,

menetapkan

ada

atau

tidaknya

perbedaan

antara

performansi nyata dan standar, dan melakukan perbaikan-perbaikan
tertentu untuk menjamin bahwa semua sumber daya digunakan secara
efisien dalam mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian, berdasarkan konsepsi yang dikemukakan oleh
para ahli tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa pengawasan itu pada
dasarnya merupakan pengendalian performansi sebuah lembaga. Tujuan
agar performansi lembaga tersebut tidak menyimpang dari tujuan,
program,

prosedur-prosedur,

aturan-aturan,

dan

prinsip-prinsip

kelembagaan. Namun tidak berarti bahwa dalam pengawasan itu pimpinan
dan

atau

stafnya

tidak

memperhatikan

kepentingan-kepentingan

perorangan anggota lembaganya. Sebab perlu disadari bahwa sebuah
27

lembaga sebagai suatu sistem sosial itu tidak hanya menyangkut aturanaturan dan harapan lembaga sebagai unsur institusional, melainkan juga
terdiri dari personalitas dan kepentingan perorangan staf lembaga sebagai
unsur individu untuk dikembangkan dan dicapai melalui kerjanya.
Pengawasan
mengendalikan

yang

baik

performansi

itu

adalah

organisasi

pengawasan
menuju

yang

pencapaian

mampu
tujuan

organisasi, dengan tidak mengenyampingkan kepentingan-kepentingan
individual anggota organisasi (Pidarta, 1988).
Sementara ini ada dua perspektif teoretik mengenai pengawasan
sebagai upaya pemodifikasian performansi seseorang (Wren & Voich,
1984), tetapi dari teori-teori tersebut banyak memberikan dukungan yang
tidak ajek mengenai pengawasan. Pertama adalah perspektif "teori" X.
Menurut "teori" X, kebanyakan manusia itu kurang memiliki motivasi dan
pasif. Mereka kurang memiliki tanggung jawab. Tanpa intervensi dari
pimpinan, mereka akan pasif, sehingga mereka harus dipimpin, diarahkan
dan diawasi. Kedua adalah perspektif "teori" Y. Menurut "teori" Y, pada
umumnya manusia itu memiliki motivasi dan tidak pasif. Mereka menyukai
tanggungjawab, produktif dan kurang suka diawasi. Tanpa melalui
intervensi dari atasannya, mereka tetap masih bisa melakukan dan
menghasilkan sesuatu yang produktif. Dalam perkataan lain, "teori" X lebih
mendukung dan mempercayai pengawasan eksternal sebagai upaya
memodifikasi performasi seseorang, sedangkan "teori" Y lebih mendukung
pengawasan internal dalam memodifikasi performansi seseorang (Carver
& Sergiovanni, 1969).
Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan pengawasan dalam
sebuah lembaga itu penting dan merupakan fungsi esensial dalam
pengelolaan pada lembaga yang bersangkutan. Faktor pertama, terletak
pada accountability. Agar semua tenaga atau karyawan pada sebuah
lembaga mengemban tugas dan tanggung-jawabnya masing-masing,
mereka perlu mengetahui secara pasti apa tugas dan tanggung-jawabnya,
28

bagaimana performansi mereka akan diukur, dan standar keberhasilan
performansi yang digunakan sebagai kriteria di dalam pengukurannya.
Pertanggung-jawaban tersebut tidak mungkin terlaksana dengan sungguhsungguh tanpa adanya suatu sistem pengawasan yang baik.
Faktor kedua, terletak pada rapidity of change. Setiap lembaga
merupakan institusi sosial yang tidak bisa terlepas dari lingkungannya.
Seringkali lingkungan tersebut mengalami perubahan-perubahan dengan
cepat sekali. Perubahan-perubahan tersebut menghendaki penyesuaian
taktik dan strategi dari lembaga. Agar perubahan-perubahan lingkungan
bisa dipantau dan penyesuaian taktik dan strategi terhadap perubahanperubahan itu bisa dilakukan maka perlu adanya sistem pengawasan.
Sebagai faktor ketiga terletak pada complexity today's organization.
Setiap lembaga yang besar dan maju mempunyai program-program yang
bermacam-macam untuk mencapai tujuan yang juga besar dan kompleks.
Bahkan banyak lembaga yang membuka cabang-cabangnya di beberapa
tempat yang secara geografis terpencar dari pusatnya. Lembaga yang
demikian itu menghendaki adanya sebuah sistem pengawasan yang tepat
dan mantap.
Pengawasan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga
pengawasan

yang

pada

dasarnya

dilakukan

untuk

memantau,

mengarahkan, dan membina kinerja, serta tidak dipandang sebagai satu
kegiatan yang menakutkan. Karena itu ada prinsip-prinsip yang sebaiknya
dipegang teguh, yaitu sebagai berikut: (1) prinsip manajerial; (2) prinsip
organisasional;

(3)

prinsip

obyektif

dan

keterbukaan;

(4)

prinsip

pencegahan dan perbaikan; dan (5) prinsip efisiensi dan fleksibilitas
Walaupun

antara

ahli-ahli

di

atas

berbeda-beda

di

dalam

mendeskripsikan langkah-langkah pengawasan, namun kesemuanya
memiliki kesamaan makna, bahwa ada empat langkah di dalam melakukan
pengawasan, yaitu : (1) menetapkan standar performansi, (2) mengukur
29

performansi aktual, (3) membandingkan performansi aktual dengan standar
performansi yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan perbaikan
performansi apabila ternyata performansi aktual tidak sesuai dengan
standar.

E. Kegiatan Manajemen Di Sekolah Dasar
Semakin besar sebuah sekolah dasar juga semakin banyak pula
komponen orang yang dilibatkan atau fasilitas yang digunakan. Agar dapat
mencapai tujuan secara efektif dan efisien, tentunya semua orang yang yang
dilibatkan dan fasilitas perlu didayagunakan sedemikian rupa bagi keberhasilan
pendidikan di sekolah dasar. Proses pendayaguaan semua komponen sekolah
dasar itulah yang disebut dengan kegiatan manajemen sekolah dasar.
Lebih lanjut apabila diidentifikasi terus akan didapatkan sekian banyak,
ratusan atau bahkan menjadi ribuan permasalahan di sekolah dasar. DeRoche
(985), sebelum menyusun bukunya yang berjudul How School Administrator
Solve the Problem melakukan survey kepada dua ribu kepala sekolah. Dalam
survey itu meminta setiap kepala sekolah menuliskan pada kartu pos masalahmasalah yang dihadapi disekolahnya masing-masing. Berdasarkan kartu pos
yang dikirim kepala sekolah kepadanya, DeRoche berhasil mengidentifikasi dua
ribu kegiatan manajemen sekolah. Namun para pakar administrasi pendidi