MANAJEMEN PEMBAHARUAN DALAM PENGEMBANGAN. pdf

MANAJEMEN PEMBAHARUAN
DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
Bahrur Rosyidi Duraisy

Pembaharuan atau inovasi, seringkali diartikan penemuan dan pula ada yang
mengaitkan dengan modernisasi. Inovasi memang berkait erat dengan penemuan dan
modernisasi. Penggunaan kata perubahan dan inovasi seringkali juga tumpang tindih
(Nicholls,1983:2). Pada dasarnya inovasi adalah ide, produk, kejadian atau metode yang
dianggap baru bagi seseorang atau sekelompok orang atau unit adopsi yang lain, baik itu hasil
invensi maupun hasil diskoveri (Ibrahim, 1998:1 ; Hanafi:1986:26; Rogers, 1983:11).
Bertolak dari definisi tersebut, maka inovasi pendidikan dan atau pembelajaran adalah
ide, produk, metode, praktek yang dipandang baru oleh seseorang atau sekelompok orang yang
diadakan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan dan atau pembelajaran. Pengertian
baru dalam kaitan ini diukur berdasarkan individu atau unit adopsi pengguna inovasi. Oleh
karena itu, sesuatu ide atau barang atau metode dipandang baru bagi sekelompok orang, tetapi
tidak bagi sekelompok yang lain. Penggunaan modul pembelajaran misalnya, merupakan
sebuah inovasi dalam pendidikan di Indonesia, namun bukan bagi pendidikan di negeri asalnya.
Manajemen pembaharuan secara implisit mengacu pada komponen perencanaan,
pengawasan, pengarahan dan perintah. Urwick dalam Nicholls, (1983:1), mengidentifikasi,
manajemen atau pengelolaan dimaksudkan sebagai aktivitas yang berkenaan dengan
perencanaan, pengaturan, pemberian perintah, kordinasi, pengawasan dan penilaian . Berkait

dengan hal tersebut, dalam kajian ini, manajemen atau pengelolaan dikaitkan dengan aktivitas
yang berkenaan dengan upaya pendayagunaan segala sumber material dan non material untuk
pencapaian tujuan pembaharuan. Dari sudut proses, manajemen pembaharuan berhubungan
dengan kegiatan perencanaan, implementasi, evaluasi dan institusionalisasi pembaharuan
pembelajaran. Uraian berikut berkenaan dengan keempat komponen dasar pengelolaan
pembaharuan dari segi proses tersebut.

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

1

1. PERENCANAAN PEMBAHARUAN
Perencanaan pembaharuan menunutut kepala sekolah untuk melakukan assesmen
situasi dan mengidentifikasi tujuan perubahan. Tanpa perencanaan yang efektif,
kemungkinan keberhasilan pembaharuan diragukan (Rossow, 1990:304).
a. Asesmen Situasi
Kepala sekolah harus mendapatkan informasi secara luas tentang kesiapan guruguru untuk melaksanakan pembaharuan. Berkenaan dengan hal itu, ada sejumlah
pertanyaan pemandu yang dapat digunakan, yakni: (1) adakah ketidakpuasan karena
pembaharuan? (2) siapa guru-guru yang tidak puas? (3) Siapkah untuk pembaharuann?
(4) Apakah guru-guru memiliki kesiapan? (5) apakah guru-guru memiliki penghargaan

kepada yang lain yang siap untuk melaksanakan pembaharuan? (6) Dapatkah mereka
dipersiapkan. Kepala sekolah perlu waktu yang memadai untuk mengidentifikasi
masalah, karena kasalahan pemecahannya memiliki resiko terhadap pembaharuan.
b. Identifikasi Tujuan
Neagley dan Evan (1980: 164) mengajukan tujuh proposisi yang perlu dipikirkan
kepala sekolah dalam menyusun perencanaan pembaharuan. Proposisi tersebut ialah:
(1) perencanaan dan inisiasi pembaharuan lebih efektif, apabila tujuan dan kebijakan
organisasi adalah jelas, realistik dan dimengerti, (2) pembaharuan lebih efektif apabila
direncanakan secara hati-hati, memiliki tujuan yang pasti, dan menggunakan metode
pemecahan masalah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, (3) keefektifan pembaharuan apabila guru-guru yang terterik dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan, (4) pembaharuan akan berhasil apabila ada dukungan yang sesuai,
sistematis, dan strategi yang menyeluruh, (5) pembahruan akan efektif apabila strategi
yang dipilih sesuai dengan fokus usaha pemabaharuan yang dilakukan, (6) pembaharuan
efektif apabila adanya keserasian dalam proses pembaharuan, usaha-usaha agen
pembaharuan, (7) pembaharuan efektif apabila kelompok yang ada tidak saling
kompetisi.
Mc Coy dalam Rossow, 1990:305,.mengembangkan model PIM (Purpose
Identification Model) dalam mengidentifikasi tujuan. Model PIM tersebut meliputi enam
langkah berikut ini: (1) memiliki steering committe untuk membimbing kegiatan identifikasi
dan membuat rekomendasi, (2) survey semua kelompok populasi untuk melakukan

assesmen terhadap perasaan mereka tentang apa yang akhir-akhir ini dikerjakan dan
apa kebutuhan untuk mengerjakan dimasa depan, (3) menganalisis kerja mereka dan
mengapa mengerjakan dengan cara tersebut, (4) mengkaji saran pengembangan dari
populasi, (5) mengasimilasikan semua masukan dan merevisi proses pelaksanaan
organisasi sekolah, (6) menilai secara periodik keefektifan proses pencapaian tujuan
2. IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN
a. Model Pembaharuan
Proses pembaharuan memiliki beberapa model. Rossow (1990:306-309)
mengidentifikasi empat model, yaitu: (1) model interaksi sosial, (2) model pertalian
(linkage), (3) model OD (Organizational Development), (4) RDD (Research Development
and Diffusion)
1) Model Interaksi sosial
Model interaksi sosial berfokus pada penggunaan informasi tentang
kecanggihan pembaharuan agar supaya mempengaruhi perubahan perilaku klein. Ada
empat langkah dalam model ini, (1) pembentukan kesadaran tentang adanya perilaku

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

2


baru, (2) pembangkitan minat terhadap perilaku baru, (3) penilaian, dimana mengarah
untuk memutuskan tentang perilaku baru, dan (4) konfirmasi dari sejawat untuk
mengadopsi atau menolak atas perilaku baru yang dimaksud.
Model ini menyarankan, dalam penyampaian informasi perilaku baru tersebut
dapat dikenalkan melalui kontak pribadi, dan juga selebaran. Kepala sekolah bertindak
sebagai fasilitator melakukan persuasi dengan mengenalkan ide-ide baru. Lipham
(1985), menyarankan, agar model ini dapat berhasil, memerlukan kondisi berikut ini,
(1) adanya dukungan finansial untuk menetapkan sumber-sumber informasi dari luar,
(2) sikap kosmopolitan dari staf, (3) adanya kesempatan untuk mengikuti pertemuan
dan membaca jurnal, (4) adanya kesempatan untuk berdikusi diantara guru, (5)
adanya keinginan guru untuk memperoleh status, pengenalan, pengaruh, (6) adanya
dana untuk pembelian produk, (7) adanya kedekatan dengan sumber-sumber idea
baru.
Berdasarkan uraian di atas, model interaksi sosial memerlukan kemampuan
sosial yang tinggi bagi kepala sekolah. Di samping itu, ketersediaan waktu kepala
sekolah untuk bertemu dan bertatap muka dengan guru sangat diperlukan untuk
mengoperasikan model ini (Rossow, 1990:306-307).
2) Model Pertalian (Linkage Model)
Model pertalian menekankan pada komunikasi antara klien dengan sumber
informasi. Model ini pengoperasiannya melalui perantaraan agen penghubung yang

dalam hal ini dapat dikerjakan oleh kepala sekolah, supervisor, ataupun birokrat di
atasnya yang memiliki kewenangan profesional maupun birokrasi dengan lembagalembaga pendidikan.
Kepala sekolah ataupun agen pembaharuan yang lain, dalam aplikasinya
berperan agar mampu memahami sepenuhnya perubahan perilaku atau inovasi yang
diharapkan. Fungsi utama kepala sekolah ataupun agen pembaharuan yang lain
adalah melayani dan memudahkan keterlibatan guru dalam perubahan dengan
menyediakan ide dan material yang relevan.
Crandall dalam
Rossow (1990:307) menyarankan sepuluh peran agen
penghubung yakni (1) penjual produk, (2) penghubung informasi, (3) fasilitator
program, (4) pemermudah proses, (5) provokator pembaharuan, (6) penyusun sumber
pembaharuan, (7) pembantu teknis, (8) peneliti tindakan, (9) pengumpan balik data,
(10) pendidik.
Lipham dalam Rossow (1990:307) mempercayai bahwa model pertalian ini
secara khusus berguna bagi kepala sekolah yang menghubungkan masyarakat
pendidikan dan kunci
agen pembaharuan internal untuk sekolah.
3) Model OD (Organizational Development)
Model OD bermula untuk pengembangan pembaharuan di bidang bisnis.
Adopsi model ini di dunia sekolah secara luas dilakukan dalam tahun tahun 1960-an

oleh Schmuck dan asosiasinya (Rossow, 1990: 308).
Konsep OD model bertolak dari konsepsi bahwa sekolah secara kelembagaan
atau kelompok, merupakan sumber perubahan, dan bukanya individual. Dalam pada
itu, Schmuck dalam Rossow, (1990: 308). berpendapat bahwa dinamika kelompok
dan bukannya keterampilan individual yang merupakan sumber masalah dan
penentu kualitas pemecahan.
Strategi model OD yang diusulkan French dan Bell (Rossow, 1990: 308),
menyebutkan ada dua belas jenis pendekatan, (1) diagnosis, (2) team building, (3)
intergroup, (4) survey-feed back, (5) education and training, (6) techn structural or
structural, (7) process consultation, (8) grid organization development, (9) third party

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

3

peacemaking, (10) coaching dan counceling, (11) life and career planning, (12) planing
and goal setting
4) Model RDD (Research Development and Diffusion Model)
Model ini berkenaan dengan proses perubahan melalui tahap-tahap yang
rasional suatu aktivitas dimana inovasi ditemukan kemudian dikembangkan, dihasilkan

dan didesiminasikan ke pengguna. Havelock and Havelock dalam Rossow (1990:308)
mengidentifikasi karakteristik RDD sebagai berikut ini: (1) tahapan rasional suatu
aktivitas dari peneliti untuk mengembangkan dan kemudian mendesiminasikan, (2)
perencanaan dengan skala luas, (3) melibatkan pembagian kerja, peranan dan fungsi
yang jelas, (4) menganggap pengguna bersedia menerima pembaharuan, (5)
melibatkan beaya pengembangan awal yang tinggi.
Owens (1991:214), mengklasifikasikan model RDD ke dalam empat fase
kegiatan. Keempat fase tersebut meliputi fase penelitian, pengembangan, difusi dan
adopsi. Pertama, fase penelitian, kualitas dan validitas penelitian adalah sangat
penting. Pada fase ini merupakan fase dimana ditemukanya pengetahuan baru yang
berupa invensi ataupun diskoveri. Kedua, fase pengembangan esensinya adalah
menerjemahkan hasil penelitian dalam praktek di lapangan. Fase pengembangan
RDD membutuhkan pemikiran yang mencakup disain pemecahan masalah, dan
mempertimbangkan kelayakannya dengan kondisi nyata dalam implementasinya
dilapangan maupun beaya. Fase pengembangan meliputi kegiatan : (1) temuan
pemecahan masalah , (2) pengembangan dan evaluasi, (3) produksi hasil penelitian.
Ketiga, fase difusi yang meliputi kegiatan (1) diseminasi hasil, dan (2) demonstrasi
hasil. Keempat adalah fase adopsi yang meliputi kegiatan (1) uji coba terhadap produk
baru dalam skala terbatas, (2) penginstalasian , proses perbaikan dan penyesuaian
terhadap keadaan kondisi yang ada, (3) institusionalisasi, proses pengintegrasian

inovasi ke dalam sistem.
Lipham dalam Rossow (1990:309) menyarankan delapan syarat dalam
menggunakan model RDD untuk latar sekolah, (1) perlu adanya kerjasama
institusional antara pengembang, distributor dan pemakai, (2) kepemimpinan yang
mendorong dan menstimulasi pemakaiannya, (3) penerimaan hasil penelitian yang
tepat untuk pemecahan masalah yang aktual, (4) adanya kejelasan komunikasi antara
peneliti dengan pemakai, (5) audien yang penuh perhatian atas pesan dan material
dari pengembang, (6) adanya waktu untuk penemuan dan penerapan hasil penelitian,
(7) adanya dana untuk belajar dan pembelian hasil penelitian, (8) dukungan untuk
mengadakan perubahan dari birokrasi.
b. Langkah-Langkah Pembaharuan
Pembaharuan merupakan suatu proses. Proses pembaharuan tersebut
sebenarnya telah menjadi topik diskusi sejak awal tahun 1970-an. Hage dan Aiken
(Rossow, 1990:309), meyebutkan, bahwa proses perubahan terdiri atas empat langkah,
yaitu: (1) evaluasi, (2) inisiasi, (3) implementasi, dan (4) rutinitas. Sedangkan Lipham
dalam sintesisnya, mengembangkan tujuh langkah proses pembaharuan yakni: (1)
kesadaran, (2) inisiasi, (3) implementasi, (4) rutinisasi, (5) perbaikan, (6) pembaharuan,
(7) evaluasi (Rossow, 1990:310).
Sedangkan Rogers (1983: 165), dengan
menyebutkannya sebagai keputusan inovasi, mengidentifikasi tahap-tahap pembaharuan

tersebut meliputi (1) tahap pengenalan di mana seseorang mengetahui adanya inovasi,
(2) tahap persuasi, dimana seseorang membentuk sikap sehubungan adanya inovasi
tersebut, (3) tahap keputusan yang menyebabkan seseorang menolak atau menerima

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

4

inovasi, dan (4) tahap konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat atas keputusan
inovasi yang dibuatnya
Akhirnya Gorton, (1983:294-295) mengembangkan sintesis teori proses perubahan
dengan tujuh langkah berikut ini.
Pertama, tahap asesmen kebutuhan terdiri atas kegiatan: (1) identifikasi kebutuhan
untuk perubahan, (2) mengembangkan atau mengevaluasi dan memilih pendekatan baru.
Kedua, tahap orientasi bagi guru-guru, terdiri atas kegiatan: (1) membangkitkan
kesadaran dan minat guru terhadap pembaharuan, (2) pengkajian terhadap kebaikan dan
keburukan satuan pembaharuan, Menguji dan memperbaiki satuan inovasi, (3) membuat
kesepakatan dengan guru-guru untuk mencari sumber-sumber, mengadakan program
pelatihan dan mengadakan perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan untuk
pembaharuan.

Ketiga, tahap keputusan pengenalan perubahan yang diusulkan, terdiri atas
kegiatan, (1) identifikasi partisipan pengambilan keputusan, (2) memutuskan tentang
proses pengambilan keputusan, (3) memutuskan apakah mengimplementasikan
pembaharuan yang telah diusulkan. Keempat, tahap perencanaan program
implementasi, terdiri atas kegiatan: (1) perencanaan dan pelaksanaan program pelatihan,
(2) penyediaan sumber dan fasilitas yang diperlukan dalam pengenalan pembaharuan,
(3) mengantisipasi dan mencoba memecahkan masalah yang mengganggu pelaksanaan
program pembaharuan. Kelima, tahap implementasi program pembaharuan.
Keenam, tahap penilaian terdiri atas kegiatan, (1) disain dan sistem lembaga yang
menyediakan umpan balik dimana pembaharuan mencapai tujuan, (2) diagnosis
terhadap aspek-aspek implementasi yang masih memerlukan pengembangan.
Ketujuh, tahap modifikasi, perbaikan dan pelembagaan, terdiri atas kegiatan (1)
revisi pembaharuan, jika diperlukan diselenggarakan pula orientasi tambahan, pelatihan,
sumber-sumber, fasilitas, (2) pelembagaan inovasi sehingga inovasi menjadi bagian
perilaku yang permanen dalam pembelajaran yang dilaksanakan guru.
c. Faktor-Faktor Penentu Pembaharuan
Aktualisasi pembaharuan keberhasilannya mempersyaratkan kondisi tertentu.
Nicholls dalam studinya di United Kingdom terhadap sekolah komprehensive,
berkesimpulan bahwa kondisi untuk mencapai keberhasilan implementasi pembaharuan
meliputi: (1) guru dan staf memahami pembaharuan secara jelas, (2) guru-guru perlu

memiliki pengetahuan untuk merencanakan, keterampilan dan kemampuan untuk
mengembangkan dan melaksanakan pembaharuan, (3) memiliki kriteria untuk menilai
pembaharuan, (4) antisipasi terhadap resistensi, (5) pengetahuan dan atau perhatian
terhadap proses implementasi pembaharuan, (6) saluran komunikasi yang efektif untuk
semua anggota yang terlibat dalam proses implementasi pembaharuan. Penyediaan
kondisi-kondisi tersebut, merupakan tanggung jawab kepala sekolah (Nicholls, 1983: 48).
Gross dalam Nicholls, (1983: 48) menguraikan, bahwa kondisi untuk memudahkan
implementasi pembaharuan adalah: (1) memperjelas pemahaman tentang pembaharuan
yang dimaksud, (2) guru-guru memiliki kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan
pembaharuan tersebut, (3) Material dan sumber-sumber yang diperlukan tersedia, (4)
susunan organisasi cocok dengan pembaharuan, (5) personal sekolah bersedia untuk
mencurahkan waktu dan tenaganya untuk keperluan tersebut di atas. Lebih lanjut
dikatakan, persiapan kondisi tersebut di atas, merupakan fungsi manajemen dan hal itu
menjadi tanggung jawab manajemen untuk menciptakan dan memeliharanya
Sergiovanni (1991:258), dengan pandangan sistemnya, menyebutkan bahwa
faktor-faktor penentu keberhasilan pembaharuan adalah interaksi antar unit
pembaharuan. Unit-unit tersebut meliputi: (1) individu (kebutuhan, minat, dan hubungan

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

5

kerja), (2) sekolah (iklim, dan budaya sekolah), (3) alur kerja (workflow) (target
pembaharuan, protokol pembaharuan, material kurikulum dan unit pengajaran), dan (4)
sistem politik kerja (tindakan administrasi, sistem penghargaan, kesesuaian anggaran,
penerimaan oleh kelompok guru, penerimaan oleh sponsor sekolah, komitmen
administrasi, dan penerimaan oleh masyarakat). Rogers (1983: 210-232) menambahkan
pula, bahwa karakteristik program pembaharuan menjadi faktor pula yang menentukan
keberhasilan implementasi pembaharuan. Selanjutnya Rogers
(1983: 210-232),
mengidentifikasi lima karakteristik program pembaharuan, meliputi (1) kompatibilitas, (2)
keuntungan relatif, (3) kompleksitas, (4) triabilitas, dan (5) observabilitas program.
Sejalan dengan itu, Barnett dalam Hanafi (1985), menyatakan penerimaan ide baru
tidaklah secara kebetulan dan tidak dapat diprediksi, hal itu kadang-kadang terjadi.
Karakter ide baru itu sendiri, merupakan faktor penentu yang penting.
Berdasarkan perian kondisi tersebut, pada dasarnya keberhasilan pembaharuan
ditentukan oleh : (1) perubahan struktural sekolah, (2) perubahan perilaku, modifikasi
sikap dan peranan guru, dan (3) karakteristik program pembaharuan itu sendiri
(Sergiovanni,1991: 256; Gorton, 1976:245; Bafadal,1995:50-56). Bertolak dari ketiga
faktor tersebut, berikut dipaparkan syarat-syarat keberhasilan pembaharuan.
1) Perubahan Latar Pembaharuan
Faktor kedua, yang ikut menentukan keberhasilan implementasi pembaharuan,
adalah kondisi latar pembaharuan. Dalam kaitan tersebut, Nicholls (1983: 62-75)
menyebutkan ada empat latar pembaharuan yakni, (1) latar struktural organisasi sekolah,
(2) iklim sekolah, (3) kesehatan organisasi sekolah, dan (4) komunikasi.
a) Perubahan Latar Struktural Sekolah
Pembaharuan mempersyaratkan perubahan latar struktural sekolah. Termasuk
latar struktural sekolah meliputi, perancangan kembali pola kegiatan-kegiatan yang
harus dilakukan guru dalam pembelajaran, pemodifikasian srtruktur formal sekolah,
perubahan norma, perubahan personal sekolah, pemodifikasian norma sekolah,
pengadaan sumber belajar, dan alat-bantu belajar. Dalam kaitannya untuk
pengimplementasian pola pembelajaran yang berorientasi pada CBSA, perubahan
struktural sekolah yang dimaksud adalah perubahan pola pengorganisasian
pembelajaran siswa, perubahan rincian tugas guru, tersediannya buku panduan guru
untuk pembelajaran, pengadaan sumber belajar dan alat bantu belajar yang baru
seperti tersediannya kit IPA, kit IPS, matematika dll. (Bafadal, 1995:51).
Nicholls (1983:63) menyebutkan bahwa kondisi struktural untuk implementasi
pembaharuan meliputi pula susunan waktu untuk pembelajaran, kondisi ruang
pembelajaran, pola ujian yang diterapkan, pendelegasian tanggungjawab dan
saluran komunikasi. Pembaharuan pembelajaran menuntut perubahan peran guru
dalam pembelajaran (Nicholls, 1983: 65). Implisit didalamnya termasuk perubahan
peran siswa, perubahan pada dimensi program.
Studi yang dilakukan oleh Gross dkk dalam (Nicholls, 1983:63),
merekomendasikan bahwa suatu pembaharuan memerlukan susunan organisasi
yang kompatibel dengan pembaharuan yang dimaksud. Susunan organisasi yang
tidak kompatibel dengan inovasi merupakan penghambat dari implementasi
pembaharuan. Sementara Hamilton
dalam Nicholls, 1983:63)
menekankan
lingkungan belajar, pengelompokan siswa, struktur organisasi sekolah, pengambilan
keputusan merupakan latar struktural yang berpengaruh dalam implementasi
pembaharuan

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

6

b) Pengembangan Iklim Sekolah
Iklim sekolah berkenaan dengan : sikap siswa terhadap yang lain, hubungan
antar staf dan hubungan antara staf dengan siswa, dan sikap kerja (Nicholls,
1983:65). Halpin dalam Nicholls,(1983:65), menglasifikasikan iklim sekolah dari
yang terbuka ke yang tertutup dalan enam kelompok, yakni (1) terbuka, (2) otonom,
(3) terkontrol, (4) kekeluargaan, (5) paternal (kebapakan), (6) tertutup.
Studi di Amerika dengan menggunakan kuesener Halpin hasilnya memperlihatkan bahwa iklim sekolah yang terbuka lebih inovatif. Studi lain yang dilakukan
Hilfiker menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara keinovatifan
dengan keterbukaan iklim organisasi (akses-bilitas, sikap kooperatif, toleran terhadap
perubahan, permisif terhadap diversitas situasi sosial, dan keyakinan terhadap
kemampuan (Nicholls, 1983:67).
c) Pengembangan kesehatan sekolah
Implementasi pembaharuan dapat berhasil manakala kesehatan organisasinya
baik. Mile menglasifikasikan kesehatan sekolah dalam sepuluh dimensi, yani (1)
fokus tujuan yang dapat diterima, dipahami anggota dan dapat dicapai secara tepat,
(2) terdapat komunikasi multi arah yang tepat, (3) terdapat kesamaan kekuasaan
yang optimal, (4) penggunaan sumber utamanya sumber daya manusia memiliki
kontribusi terhadap organisasi, (5) kekohesifan, (6) moral kerja yang tinggi, (7)
keinovatifan, (8) otonom, (9) adaptif, (10) problem solving secara tepat ( Nicholls,
1983:68-69).
Gross dalam studinya menghasilkan kesimpulan bahwa tujuan yang jelas
merupakan kondisi yang diperlukan untuk memahami pembaharuan. Demikian pula,
studi Nicholls, komunikasi yang tepat merupakan prasyaratan pembaharuan.
Problem solving, kohesif dan, kesamaan kekuasaan berkenaan dengan partisipasi
dalam
pengambilan
keputusan
(Nicholls,1983:69).
d) Komunikasi organisasi sekolah
Hasil studi Nicholls menyimpulkan bahwa komunikasi yang tepat merupakan
prasyaratan pembaharuan (Nicholls,1983:69). Dalam kaitan ini, pola komunikasi dan
juga jaringan komunikasi menjadi faktor penting dalam pelaksanaan program
pembaharuan.
Pola komunikasi dalam kajian ini, berkenaan dengan orientasi gaya komunikasi
yang dikembangkan oleh pimpinan organisasi. Pada hakekatnya tentang orientasi
komunikasi, dapat dibedakan dalam dua tipe utama. Tipe komunikasi yang
berorientasi pada tugas, dan tipe komunikasi yang berorientasi pada hubungan
manusiawi (human relationship). Tipe komunikasi yang berorientasi pada tugas, lebih
menekankan pada terselesaikannya tugas. Tipe komunikasi ini, dari segi hubungan
antara pemimpin dengan bawahan bersifat fungsional-formal. Sementara gaya
komunikasi yang berorientasi pada human relationship, lebih menekankan pada
hubungan manusiawi. Interaksi pemimpin dan bawahan lebih fleksibel, dan
kesejawatan, saling menghargai (Soetopo,1990:37).
Gaya komunikasi yang berorientasi pada hubungan manusiawi banyak diakui
signifikansinya bagi efektivitas organisasi, hal ini berarti memiliki signifikansi pula
bagi keberhasilan pembaharuan. Pierre Casse dalam menyusun instrumen untuk
mengetahui gaya komunikasi pimpinan membedakan ciri gaya komunikasi dalam
dua tipe gaya, yakni (1) komunikasi yang mementingkan isi, dan (2) gaya komunikasi
yang mementingkan proses. Selanjutnya membedakan pula kedalam empat orientasi
gaya komunikasi, yakni gaya yang berorientasi pada : tindakan, proses, orang, dan
ide (Sujak,1990:110).

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

7

Proses pembaharuan organisasi, di samping memerlukan pola komunikasi
yang efektif dalam organisasi, juga membutuhkan jaringan komunikasi yang luas.
Utama sekali adalah membuka jaringan komunikasi dengan agen-agen
pembaharuan. Dalam kaitan ini, pimpinan organisasi berperan sebagai penghubung
(Linker) yang berperan untuk membuka jalur komunikasi antara anggota organisasi
dengan agen pembaharuan (Bafadal, 1995).
Pembaharuan organisasi mempersyaratkan pimpinan organisasi yang bertipe
inovator. Pimpinan yang bertipe inovator dari segi perilaku komunikasinya menurut
Rogers (1983: 210-232) memiliki ciri : (1) partisipasi sosialnya tinggi, (2) lebih sering
mengadakan komunikasi dengan orang di luar sistem. (3) sering mengadakan
komunikasi interpersonal dengan anggota sistem, (4) sering melakukan komunikasi
dengan agen pembaharuan, (5) lebih sering bertatap muka dengan media massa, (6)
mencari informasi sebanyak-banyaknya, (7) tinggi tingkat kepemimpinannya, (8)
memiliki norma yang lebih modern.
2) Pengubahan Tingkah laku
Setiap pembaharuan berarti adanya perubahan. Akibat adanya perubahan
tersebut, berimplikasi pada perlunya perubahan pula pada pelaku pembaharuan.
Perubahan pada pelaku perubahan, menyangkut perubahan sikap, keterampilan,
pengetahuan dan peran (Sergiovanni, 1991:256).
Nicholls, (1983: 39) menyebutkan faktor-faktor perubahan perilaku yang
berpengaruh terhadap keberhasilan pembaharuan, adalah reaksi individu terhadap
pembaharuan. Dalam kaitan ini, Nicholls (1983:39) mempertimbangkan dua hal yakni (1)
inovator dan resister, (2) partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sedangkan
Rogers (1983:248-250), mengategorikan reaksi individu dengan menyebutnya
keinovatifan terhadap pembaharuan, yang dalam kaitan ini mengategorikan ke dalam
lima tipe yang meliputi tipe: (1) inovator, (2) adopter awal (pelopor), (3) pengikut dini, (4)
pengikut akhir (skeptis), dan (5) tradisional. Kategori inovator, merupakan tipe individu
yang ideal dalam penerimaan pembaharuan. Kepribadian inovator menurut Rogers
(1983) memiliki ciri-ciri: (1) memiliki emphati yang tinggi, (2) kurang dogmatis, (3)
kemampuan abstraksi yang tinggi, (4) rasional, (5) inteligen, (6) memiliki sikap terbuka
terhadap perubahan, (7) mau mengambil resiko, (8) tidak mudah menyerah, (9) sikap
terbuka terhadap pengetahuan dan pendidikan, (10) motivasinya tinggi, (11) aspirasinya
tinggi.
Guru menjadi faktor dasar pelaksanaan pembaharuan pembelajaran. Berjalan
tidaknya pembaharuan pembelajaran ada di tangan guru. Oleh karena itu, keberhasilan
pembaharuan tidak saja ditentukan oleh jaringan komunikasi yang ada, tetapi utama
sekali adalah kesediaan guru untuk memerima perubahan (Rich, 1974:79). Kepastian
tentang kesediaan guru itu penting mengingat apa bila dilakukan pembaharuan
fenomena umum yang ada di antara anggota organisasi, termasuk guru, adalah sikap
resisten dan menolak (Rich, 1974:79; Nicholls, 1983:39). Di samping kesediaan guru,
adalah pengetahuan guru, dan keterampilannya.
Kegagalan dalam pengimplementasian suatu pembaharuan, sering disebabkan
oleh karena pengetahuan guru dan keterampilannya kurang memadai (Gorton, 1976:246247; Neagley,1980:179-180). Oleh karena itu maka peran kepala sekolah sangat penting
bagi terjadinya perubahan perilaku guru ke arah penguasaan pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk pelaksanaan pembaharuan.
Dari paparan tersebut memperlihatkan bahwa guru pemegang peranan kunci bagi
aktualisasi pembaharuan pembelajaran. Di sebutkan bahwa resistensi terhadap
pembaharuan merupakan sikap umum yang terjadi manakala diadakan perubahan
organisasi. Nicholls, (1983:40), menyebutkan bahwa resistensi terhadap perubahan

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

8

dilihat oleh sejumlah penulis merupakan fenomena yang sering tampak dan kuat diantara
anggota organisasi. Selain itu, resistensi merupakan fenomena yang kompleks. Owens
dalam Gorton, (1976: 247) menyatakan bahwa resistensi bukanlah fenomena yang
sederhana. Menanggulangi sikap resisten ini merupakan tugas yang berat bagi kepala
sekolah. Kepala sekolah perlu membuat pertimbangan dengan serius dalam
mendiagnosis sumber penyebabnya
Timbulnya sikap resistensi merupakan campuran antara ketidakpahaman terhadap
pembaharuan dan pengabaian. Di samping itu adalah adanya rasa takut, dan dilihat
sebagai beban yang berat. Gejala yang tampak pada perilaku resister menurut Lippit
dalam Nicholls, (1983: 41) menyatakan bahwa resister tampak mengabaikan perubahan,
merasa tidak cocok, dan senang dengan keadaan yang ada. Sedangkan Gorton,
(1976:245) melihat resistensi terjadi karena pembaharuan dilihat resister akan mengubah
kebiasaan yang ada.
Berkait dengan faktor resistensi tersebut, untuk tercapainya keberhasilan
pembaharuan, kepala sekolah sejak awal sudah harus mengantisipasi dan
memperhitungkannya
(Gorton, 1976:68; Nicholls, 1983:42). Gorton, (1983:245)
menjelaskan bahwa usulan pembaharuan ada kemungkinannya untuk di tolak.
Penolakan itu dapat terjadi oleh yayasan, siswa, guru, orang tua, atasan. Beberapa
alasan penolakan yang perlu diwaspadai oleh kepala sekolah adalah berikut ini : (1)
pembaharuan menyebabkan perubahan kebiasaan, (2) perubahan mempengaruhi
stabilitas lembaga, (3) ketidakmampuan sekolah memberi insentif yang diperlukan
berkenaan dengan tambahan beban kerja akibat perubahan, (4) karakteristik program
dianggap kompleks, tidak cocok, tidak aman, (5) adopsi terhadap pembaharuan oleh
guru di pandang sebagai tantangan bagi otonomi profesionalitasnya, sementara
masyarakat melihat bahwa dengan perubahan akan berimplikasi terhadap peningkatan
beaya pendidikan maupun stabilitas kekuasaan dalam hubungannya dengan masyarakat,
(6) penolakan terjadi karena ketidakpahaman terhadap pembaharuan, (7) pembaha-ruan
ditolak karena berbeda dengan opni yang berkembang, (8) pembaharuan ditolak karena
tidak adanya keterampilan untuk menjalankan pembaharuan tersebut.
Pelibatan partisipasi guru dalam pengambilan keputusan inovasi sangat diperlukan
dalam kaitannya dengan implementasi pembaharuan (Nicholls, 1983:61). Pelibatan
partisipasi guru dalam pengambilan keputusan tersebut, dapat mengurangi timbulnya
faktor resistensi (Robbins,1990: 531; Nicholls, 1983: 42). Beberapa penulis seperti
Argyle, 1967; Coch dan French, 1948; Johns, 1973 dalam Nicholls, (1983:42),
menegaskan pula pentingnya partisipasi dalam pengambilan keputusan untuk
menghindari resistensi terhadap pembaharuan
Roobins (1990:531), menyebutkan ada enam taktik yang dapat digunakan kepala
sekolah untuk menghadapi sikap resistensi guru-guru dan atau staf yang lain terhadap
pembaharuan yang diprogramkannya. Ke enam taktik tersebut adalah berikut ini: (1)
pendidikan dan komunikasi, apabila sumber resistensi adalah pengetahuan dan
keterampilan yang kurang serta misinformasi dan kurang komunikasi, (2) partisipasi,
pelibatan menimbulkan rasa ikut memiliki, karena itu merasa ikut bertanggungjawab, (3)
Fasilitasi dan dukungan, hal ini bertolak dari asumsi bahwa resistensi bersumber dari
ketakutan dan kecemasan staf terhadap pembaharuan akibatketerampilannya yang
kurang, (4) negosiasi, hal ini dapat dilakukan dengan pemberian penghargaan misalnya
bilamana berhasil dalam pelaksanaan pembaharuan, (5) manipulasi dan kooptasi, dan
(6) pemaksaan.
3) Karakteristik Program Pembaharuan
Rogers (1983: 210-232) menambahkan pula, bahwa karakteristik program
pembaharuan menjadi faktor pula yang menentukan keberhasilan implementasi

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

9

pembaharuan. Barnett dalam Rogers (1983:210-232) menyatakan penerimaan ide baru
tidaklah secara kebetulan dan tidak dapat diprediksi, hal itu kadang-kadang terjadi.
Karakter ide baru itu sendiri, merupakan faktor penentu yang penting. Selanjutnya
Rogers (1983: 210-232), mengidentifikasi lima karakteristik program pembaharuan,
meliputi (1) kompatibilitas, (2) keuntungan relatif, (3) kompleksitas, (4) triabilitas, dan (5)
observabilitas program.
3. EVALUASI PEMBAHARUAN
Evaluasi terhadap proses pembaharuan yang dilaksanakan sangat penting. Evaluasi
mempunyai peranan kontrol, oleh karena itu, evaluasi dapat dikenakan pada proses dan
juga pada hasil. Berkenaan dengan hal itu, evaluasi dikenakan pada perencanaan,
implementasi, dan institusionalisasi pembaharuan.
Nicholls (1983:80) mengidentifikasi kerangka penilaian yang mencakup: (1) penilaian
terhadap persiapan, yang meliputi keinginan untuk mengadakan pembaharuan, keberadaan
pembaharuan, latar dan personal, (2) penilaian perencanaan meliputi, penilaian terhadap
proses pengenalan, proses perencanaan, (3) penilaian terhadap implementasi, meliputi,
penilaian terhadap aplikasi program pembaharuan, penilaian terhadap program penilaian itu
sendiri.
4. INSTITUSIONALISASI PEMBAHARUAN
Kepala sekolah berperan penting agar pembaharuan tersebut berlangsung secara
permanen. Artinya pembaharuan tersebut melembaga. Pelembagaan atau institusionalisasi,
menurut Miles dalam Sergiovanni, (1991: 256) berarti bahwa pembaharuan tersebut telah
menjadi bagian dari perilaku pembelajaran yang dilaksanakan guru di sekolah. Untuk itu,
diperlukan susunan srtuktural baru yang cocok dan juga pola perilaku baru dari staf yang di
dukung melalui pemberian kompensasi yang berupa finansial, dan non finansial, termasuk
pemberian penghargaan). Semuanya itu menjadi tantangan kepala sekolah dalam proses
pembaharuan pembelajaran di sekolah.
Rubin dalam Nicholls (1983:36) menyatakan untuk melembagakan pembaharuan
secara efektif mempersyaratkan tiga tahap, (1) analisis awal, (2) pemilihan strategi, dan (3)
Implementasi. Tiap-tiap tahap terdiri atas sejumlah langkah. Tahap analisis awal terdiri atas
langkah-langkah (1) diagnosis kelemahan, (2) analisis faktor-faktor kemungkinan, (3)
membandingkan alternatif-alternatif yang baik, (4) pemilihan alternatif terbaik. Tahap
pemilihan strategi, terdiri atas langkah: (1) macam pembaharuan yang dilembagakan, (2)
siapa yang merencanakan pelembagaan, (3) karakteristik kondisi lingkungan yang
diharapkan. Tahap implementasi, terdiri atas langkah: (1) analisis persyaratan inovasi dalam
pelatihan, material dan pertalian dengan keberadaan sistem, (2) inisiasi tekanan untuk
memotivasi melalui cara yang menyebabkan rasa tidak senang dan menjelaskan
penghargaan, (3) inisiasi strategi untuk mempengaruhi, (4) inisiasi untuk persiapan aktivitas,
(5) pelembagaan inovasi, (6) dukungan transisi dari yang lama ke yang baru, (7)
mempertalikan inovasi dalam sistem yang tetap.
Pelembagaan inovasi model Trump dalam Nicholls, (1983: 37), mengajukan lima
langkah yaitu: (1) secara kopersatif menganalisis alasan untuk praktek yang disajikan, (2)
menemukan apakah menginginkan seseorang berbeda dari yang mereka kerjakan, (3)
membuat keputusan sementara tentang prioritas perubahan yang diusulkan, (4) merencanakan invasi secara hati-hati dalam persiapan guru, (5) menentukan waktu dan teknik
untuk mengevaluasi.

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

10

5. PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM PROSES PEMBAHARUAN
a. Rasional pentingnya Peran Kepala Sekolah
Keberhasilan dan kegagalan pembaharuan pembelajaran tidak dapat dilepaskan
dari peranan kepala sekolah. Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang, kepala
sekolah bertanggung jawab terhadap pencapaian tujuan sekolah (Gorton, 1976:4). Maka
dari itu, keberhasilan dan kegagalan implementasi suatu program pembaharuan
pembelajaran di sekolah, juga menjadi tanggung jawab kepala sekolah (Gorton,
1976:244).
Peranan penting kepala sekolah dalam tercapainya keberhasilan pembaharuan
dikemukakan oleh beberapa penulis. DeRoche, (1985:24), bertolak dari beberapa hasil
penelitian menyimpulkan bahwa (1) kepemimpinan sekolah yang efektif berasal dari
kepala sekolah yang mampu menciptakan perubahan, (2) tanpa keterlibatan guru dan
kepala sekolah secara langsung dan berkesinambungan dalam pembaharuan,
perubahan-perubahan yang signifikan tidak pernah terjadi, (3) kepala sekolah dan guruguru, harus mengubah keterampilan, kebiasaan dan sikapnya apabila organisasi sekolah
ingin berubah.
Hoyle dalam Nicholls, (1983: 47), dalam pandangannya juga menyatakan bahwa
kepala sekolah memiliki otoritas untuk mengenalkan pembaharuan di sekolah. Kepala
sekolah mampu melihat sekolah secara keseluruhan, mampu-mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan akan pembaharuan, dan dapat mengontrol sumber daya yang
dimiliki untuk mengimplementasikan pembaharuan. Kepala sekolah tidak saja mampu
memprakarsai pembaharuan, tetapi juga mampu memberikan dukungan yang diperlukan
guru secara individual atau kelompok dalam implementasi pembaharuan. Demikian pula,
Mac Donald dan Rudduck dalam Nicholls, (1983: 47) menyatakan, kepala sekolah
merupakan figur kunci untuk memahami pembaharuan agar supaya dapat membuat
keputusan yang tepat dalam implementasi pembaharuan dan dapat menyiapkan
kemampuan guru untuk implementasi pembaharuan. Beberapa penulis seperti: Hoyles;
Richardson, dalam Nicholls, (1983: 47) mengakui pentingnya dukungan kepala sekolah
tersebut dalam implementasi pembaharuan.
b. Peran kepala sekolah sebagai Pemimpin Pembelajaran
Kepala sekolah adalah pemimpin instruksional , dalam hal ini, peranan kepala
sekolah adalah (1) menstimulasi dan memotivasi staf secara maksimum, (2) bersama
staf mengembangkan sistem obyektif dan realistik tentang pertanggungjawaban untuk
belajar, (3) mengembangkan secara bersama-sama prosedur assesmen yang dapat
dioperasionalkan untuk melaksanakan program belajar guna mengidentifikasi alternatif
perbaikan bidang yang lemah, (4) bekerja sama dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan evaluasi staf, (5) bekerja sama untuk memformulasikan dan
mengimplementasikan rencana untuk mengevaluasi dan melaporkan kemajuan belajar
murid, (6) menyediakan saluran komunikasi sekolah dengan masyarakat, (7) mendorong
studi kurikuler dan inovasi pembelajaran, (8) melengkapi kepemimpinan siswa, (9)
menyediakan pusat sumber belajar profesional dan kelancaran penggunaannya
(Arifin,1999:63).
c. Peran Kepala sekolah sebagai Agen Pembaharuan
Kepala sekolah adalah agen pembaharuan (Gorton,1976: 65). Kepala sekolah
sebagai agen pembaharuan, berperan penting dalam pengembangan pembelajaran.
Tugas pokok dalam pengembangan pembelajaran adalah menilai efektivitas program,
mengkaji,
mengembangkan
dan
mengimplementasikan
program-program
pengembangan (Gorton, 1976:215). Sebagai agen pembaharuan, tugas kepala sekolah
dalam pembaharuan adalah (1) mendiagnosis kebutuhan pembaharuan, (2)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

11

mengembangkan dan menyeleksi pembaharuan, (3) memberikan orientasi kepada guruguru, (4) mengantisipasi masalah dan resistensi terhadap perubahan, (5) implementasi
pembaharuan, dan (6) mengevaluasi implementasi pembaharuan dan perbaikan jika
diperlukan, (Gorton, 1976: 68).
d. Peranan Kepala sekolah sebagai Fasilitator Pembaharuan
Kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan bagi perencanaan pembaharuan
(Rossow, 1990: 313). Gaya kepala sekolah sebagai agen pembaharuan dikaji oleh Hall
dan Hord. Kepala sekolah perlu menyadari variasi gaya sebagai fasilitator. Gaya sebagai
fasilitator menurut Hall dan Hord dalam Rossow, 1990:313), meliputi : (1) inisiator, (2)
responder, (3) manager

Gambar : Model Paradigma Manajemen Proses Pembaharuan

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

12

Gambar : Model Manajemen Pembaharuan Pembelajaran

.

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

13

DAFTAR PUSTAKA
DeRoche, E.F., 1985.How School Administrators Solve Problems, Practical Solution to Common
Problems Based on a nationalwidwe Survey of 2000 School Executives, Englewood
Cliffs,New Jersey: Printice-Hall, Inc.
Evans, Jack M. and Brueckner, Martha M., 1992.Teaching and You, Committing, preparing
and succeeding, Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon A Division of
Simon and Schuster, Inc.
Gorton, R.A.,1976. School Administration, Challenge and Opportunity for Leadership. Dubuque,
Iowa: Wm. C. Brown Company Publishers.
Gorton, R.A., 1983.Scholl Administration And Supervision. 2nd ed, Bubuque,Iowa: Wm, C.
Brown Company Publisher
Lipham, Rankin, Hoeh,1985. The Principalship Concept, competencies, and Case. New-York :
Longman
Neagley, R.L., and Evans, N.D., 1980. Handbook For Effective Supervision of Instructioal, Third
edition, Englewood Cliffs, New Jersey: Printice-Hall,Inc
Nicholls A., 1983. Managing Educational Innovations, London: George Allen & Uwin Ltd.
Rich, J. Martin, 1974. New Direction in Educational Policy, Lincoln, Nebraska: Profesional
Educators Publications, Inc.
Robbins, S.P.,1990. Organizational Behavior, concept, controversies, and application, fourth
edition, New Delhi: Printice-hall of India Private limited.
Rogers, E.M.,1983. Diffusion of Innovations , Third Edition, New York The Free Press, A
Division of Macmillan Publishing Co, Inc.
Rossow, L.F.,1990. The Principalship, Dimensions in Instructional Leadership,Englewood Cliffs,
New Jersey : Printice-Hall, Inc.
Sergiovanni,T.J., 1991. The Principalship a reflective practice perspective, Needham Height,
Massachusetts: Allyn and Bacon.

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN

14