Teknik Penerjemahan Dan Tingkat Keakuratan Terjemahan Pada Subtitle Film “Sang Penari”

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dengan adanya festival film yang memberikan penghargaan untuk kategori film bahasa

asing terbaik dapat menambah manfaat pemakaian lebih dari satu bahasa dalam sebuah film.
Hal ini menarik minat pemerhati bahasa khususnya di bidang penerjemahan untuk
mencermati kesepadanan pemakaian bentuk-bentuk bahasa pada film Indonesia yang akan
ditampilkan pada festival film internasional selain untuk pemasarannya kepada masyarakat
internasional. Salah satu film terbaik Indonesia yang sudah dipromosikan ke masyarakat
internasional dan diikutsertakan pada festival film internasional adalah film “Sang Penari”
(internasional: The Dancer). Film ini mamakai subtitle bahasa Inggris pada screen atau layar
penayangannya. Berikut beberapa contoh ujaran pada film “Sang Penari” dan padanannya
pada subtitle:
Ujaran

Subtitle

1. Ronggeng kuwi ora wong A ronggeng is not just about dancing, it’s

perkara urusan sinden, leng about the bed, about the home, the
juga urusan kasur, urusan kitchen, and all thing that go with them.
dapur, dan urusan sumur.
(Ronggeng itu bukan perkara
urusan nyanyi, tapi juga urusan
kasur, urusan dapur, dan
urusan sumur).
2. Pokok e nyong ora bisa. Well, I don’t like it. You’ll be no different
Ronggeng iku kaya pohon from a coconut tree. Anybody at all can
kelapa, sapa bae bisa sluman climb up it.
slumun manjat.
(Pokoknya saya tidak bisa.
Ronggeng itu seperti pohon
kelapa, siapa saja bisa naik dan
turun memanjat).

3. Aku gak punya uang.
(Saya tidak punya uang).

And now I’m broke.


4. Hidup ronggeng rakyat
(Hidup ronggeng !).

Long live the people.

Film “Sang Penari” memenangi 4 penghargaan piala citra di festival film Indonesia
2011 untuk film terbaik, sutradara terbaik (Ifa Istansyah), aktris terbaik (Prisia Nasution), dan
aktris pendukung terbaik (Dewi Irawan). Film ini adalah film yang diajukan Indonesia untuk
penghargaan Academy Awards ke-85 untuk kategori film bahasa asing terbaik tetapi tidak
masuk ke daftar finalis. Film ini mengangkat tema budaya, sejarah, dan politik yaitu
menceritakan kehidupan seorang penari ronggeng yang hidup dimasa gejolak politik bangsa
Indonesia pada tahun 1965 dimana terjadi gerakan 30 September 1965 dan peristiwa
pembantaian anti komunis yang mengikutinya. Penari ronggeng dan budaya ronggeng
merupakan produk budaya yang populer menghibur masyarakat ketika itu khususnya di
daerah Banyumas, Jawa Tengah.
Penggunaan subtitle bertujuan untuk memudahkan penonton memahami bahasa dan
membantu penonton penderita tuna rungu untuk dapat mengikuti dialog interaksi yang ada
didalam film tersebut. Subtitle adalah teks bahasa (versi teks) tertentu yang tertera pada layar
film atau screen video. Teks-teks bahasa itu merupakan padanan bentuk bahasa yang

digunakan dalam ujaran pada film. Ujaran-ujaran (dialog) dalam film “Sang Penari” memakai
bahasa Jawa daerah Banyumas dan beberapa berkombinasi dengan bahasa Indonesia. Subtitle
adalah salah satu hasil proses penerjemahan bahasa yang dipakai pada film dan program
televisi kedalam bahasa tertentu, misalnya, dialog interaksi memakai bahasa Indonesia maka
subtitle nya berbentuk teks bahasa lain seperti bahasa Inggris, Mandarin, Arab, dan bahasa
lainnya.

Pada subtitle film “Sang Penari” ditemukan beberapa masalah keakuratan hasil
penerjemahan sehingga hal ini menjadi salah satu alasan mengapa diadakan penelitian
tentang keakuratan pada hasil terjemahan. Masalah keakuratan dalam hasil penerjemahan
ujaran menjadi subtitle dapat dilihat pada contoh di bawah:
Pada data nomor 301, pada BSu terdapat ujaran “Berapa keluarga kau? (Berapa
keluarga Anda?), yang diterjemahkan di BSa menjadi “Do you have family?”. Data tersebut
dikategorikan kepada hasil penerjemahan tingkat ‘kurang akurat’ karena terjadi pergeseran
makna yang pada BSa yaitu kata ‘berapa’ pada BSu diterjemahkan menjadi ‘do you have?’
pada BSa. Oleh karena itu peneliti memberikan alternatif penerjemahan menjadi ‘how many
brothers and sisters do you have?’.
Pada data nomor 216, pada BSu terdapat ujaran “Ya, campur kene ya… (Campur di
sini saja ya...)”, diterjemahkan di BSa menjadi “Yeah, along with the others…”. Data
tersebut dikategorikan kepada hasil penerjemahan tingkat ‘tidak akurat’ karena makna kata

dan klausa BSu yang dialihkan secara tidak akurat ke dalam BSa atau dihilangkan. Oleh
karena itu peneliti memberikan alternatif penerjemahan menjadi ‘Put it over here’.
Dengan adanya kekurangakuratan dan ketidakakuratan hasil terjemahan pada subtitle
film “Sang Penari” tentu perlu untuk diketahui penggunaan teknik-teknik penerjemahan yang
ada. Hal ini menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian hasil penerjemahan ujaran
(dalam bahasa lisan) menjadi subtitle (dalam bahasa tulisan) pada film ini. Peneliti juga
bermaksud meneliti teknik penerjemahan yang digunakan dan pergeseran bentuk-bentuk
bahasa yang ada dalam ujaran interaksi menjadi subtitle pada film “Sang Penari”, karena
tingkat keakuratan hasil terjemahan dapat dipengaruhi penggunaan teknik penerjemahan dan
pemilihan bentuk BSa.
Disamping teknik penerjemahan terdapat ideologi dan metode penerjemahan yang
harus digunakan seorang penerjemah untuk membantunya didalam proses penerjemahan.

Seorang penerjemah harus memiliki ideologi dalam menerjemahkan suatu teks, karena
ideologi merupakan payung tertinggi dalam strata bahasa. Ideologi adalah ide dan keyakinan
yang digunakan untuk melegitimasi kepentingan. Dalam bidang kajian bahasa dan budaya,
pengertian ideologi dapat didefenisikan sebagai seperangkat ide yang mengatur kehidupan
manusia dan membantu manusia memahami hubungannya dengan lingkungan. Dalam bidang
terjemahan, ideologi merupakan kepercayaan, nilai budaya ataupun pola pikir dari seorang
penerjemah terhadap suatu hal atau keadaan yang nantinya mempengaruhi produk

terjemahannya. Ideologi juga merupakan proses tarik-menarik antara dua kutub yang
berlawanan, antara yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa (Venuti
dalam Hoed, 2006:84) yang oleh Venuti dikemukakan dengan istilah foreignizing translation
dan domesticating translation.
Sacara harfiah, teknik berarti cara yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
agar dapat dilakukan secara baik dan mendapatkan hasil yang baik. Dalam proses
penerjemahan, teknik berarti rencana dan cara yang sistematis dalam melakukan
penerjemahan. Seorang penerjemah haruslah memiliki teknik penerjemahan yang jelas dalam
melakukan penerjemahan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Sebagai contoh, ketika
akan menerjemahkan sebuah teks untuk anak-anak, penerjemah sudah merencanakan apakah
akan menghilangkan istilah-istilah sulit yang mungkin akan menimbulkan kesulitan bagi
pembaca sasaran ataupun tidak. Tentunya pemilihan suatu teknik disertai dengan
pertimbangan-pertimbangan yang matang mengenai pembaca sasaran, jenis teks, keinginan,
dan maksud pengarang teks, dan tujuan penerjemahan teks tersebut. Dengan demikian
pemakaian teknik penerjemahan juga harus menerapkan teori yang mendukung keberhasilan
penerjemahan keseluruhan teks. Hal ini sesuai dengan pendapat Newmark bahwa “While
translation methods relate to whole texts, translation procedures are used for sentences and
the smaller units of language” (Newmark, 1988: 81).

Tidak seperti metode penerjemahan yang berada pada tataran makro, teknik

penerjemahan berada pada tataran mikro. Dalam hal penelitian, jika teknik dapat dievaluasi
dalam satuan linguistik kata, frasa, klausa, dan kalimat, metode diteliti berdasarkan teks utuh
secara keseluruhan bukan berdasarkan contoh per contoh kasus.
Selain itu Machali (2001: 26) menyatakan bahwa melalui kegiatan penerjemahan,
seorang penerjemah menyampaikan kembali isi sebuah teks dalam bahasa lain. Penyampaian
ini bukan sekedar kegiatan penggantian, karena penerjemah dalam hal ini melakukan
kegiatan komunikasi baru melalui hasil kegiatan komunikasi yang sudah ada (yakni dalam
bentuk teks), tetapi dengan memperhatikan aspek-aspek sosial di mana teks baru itu akan
dibaca atau dikomunikasikan. Dalam kegiatan komunikasi baru tersebut, penerjemah
melakukan upaya membangun "jembatan makna" antara produsen teks sumber dan pembaca
teks sasaran.
Roller dalam Hatim (2001: 28) merumuskan "kerangka padanan" dan menyatakan
bahwa padanan terjemahan dapat dicapai melalui salah satu tataran berikut:
a. Kata-kata teks sumber (BSu) dan teks sasaran (BSa) memiliki fitur ortografis dan
fonologis yang serupa (padanan formal).
b. Kata-kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama (padanan
referensial/denotatif).
c. Kata-kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip dalam pikiran para
penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif).
d. Kata-kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau serupa pada masingmasing bahasa (padanan tekstual-normatif).

e. Kata-kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap masing-masing pembaca
dalam kedua bahasa itu (padanan pragmatik/dinamik).

Dari beberapa definisi penerjemahan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
setiap penyusunan subtitle pada film, seorang penerjemah atau tim pengalih bahasa suatu film
harus benar-benar memperhatikan aspek-aspek makna pada setiap ujaran dan mereka harus
dapat menemukan kaitan yang sama pada bahasa lain. Jadi seseorang penerjemah atau tim
pengalih bahasa pada film tidak boleh menghilangkan makna atau pesan yang ingin
disampaikan pengarang ataupun merubah pesan pada skenario film tersebut. Jika kita ingin
mendalami sedikit tentang penyusun subtitle film sebagai profesi, maka akan ditemukan kode
etik yang harus ditanamkan seorang penerjemah profesional pada diri penyusun subtitle.
Salah satu kode etik tersebut adalah seorang penerjemah harus jujur yaitu tidak boleh
mengganti, merubah atau menghilangkan suatu pesan yang ingin disampaikan narasumber
kepada masyarakat dengan alasan apapun. Dengan demikian tim penerjemah pada film “Sang
Penari” dalam menyusun subtitle nya tetap menjaga makna dan pesan yang ingin
disampaikan serta kode etik yang berlaku.
Dengan demikian peneliti menjadikan semua ujaran dan subtitle yang ada pada film
“Sang Penari” sebagai data. Seluruh ujaran film ini disusun dan disesuaikan dengan
padanannya pada subtitle, kemudian peneliti mengidentifikasi dan menganalisis data untuk
menemukan


teknik

penerjemahan

yang

digunakan

dan

tingkat keakuratan

hasil

penerjemahannya.
Kesimpulan dari latar belakang penelitian ini adalah bahwa ditemukan film dengan teks
budaya dan ber subtitle bahasa Inggris. Selanjutnya ditemukan adanya ketidakakuratan pada
hasil penerjemahan pada beberapa ujaran. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menganalisis
teknik penerjemahan yang digunakan oleh si penerjemah dalam menerjemahkan ujaran

menjadi subtitle pada film ini serta tingkat keakuratan pada hasil terjemahannya.

1.2

Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada pokok permasalahan mengenai teknik penerjemahan dan

tingkat keakuratan hasil penerjemahan yang terdapat pada 133 ujaran dan subtitle film “Sang
Penari” karya Ifa Isfansyah yaitu sebuah film adaptasi kedua dari novel “Sang Penari” setelah
film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983).

1.3

Rumusan Masalah
Adapun beberapa masalah yang ingin diangkat penulis dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:
1. Teknik penerjemahan apa yang digunakan pada penerjemahan 133 ujaran menjadi subtitle
film “Sang Penari”?
2. Bagaimana tingkat keakuratan hasil penerjemahan pada 133 ujaran menjadi subtitle pada

film “Sang Penari”?

1.4

Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut:
1. Mendeskripsikan teknik penerjemahan yang digunakan pada penerjemahan 133 ujaran
menjadi subtitle film “Sang Penari”.
2. Mendeskripsikan tingkat keakuratan hasil penerjemahan pada 133 ujaran menjadi subtitle
pada film “Sang Penari”.

1.5

Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan yang dicapai, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat baik pada tataran teoretis maupun praktis, terutama di bidang pengkajian dan praktik


penerjemahan yang mengandung unsur-unsur budaya. Serta penerjemahan untuk tujuan
promosi produk film atau objek tertentu di dunia internasional. Manfaat teoretis yang dapat
diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman bagi seorang penerjemah
mengenai teknik penerjemahan yang digunakan pada ujaran dan subtitle film yang digunakan
pada teks budaya, selain itu juga dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian terjemahan
selanjutnya, menambah khasanah kepustakaan dalam bidang terjemahan, dan meluruskan
penggunaan kata-kata tak lazim (bersifat ambigu) dalam penerjemahan bahasa Jawa ke
bahasa Inggris.
Adapun manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah untuk
menambah referensi bagi siapa saja yang tertarik melakukan proses penerjemahan untuk
pembuatan subtitle pada sebuah film, membuka cakrawala untuk melihat perkembangan ilmu
pengetahuan tentang penerjemahan dan pentingnya hasil penerjemahan untuk dibaca, ikut
serta dalam membangun promosi film Indonesia ke luar negeri dan ikut serta dalam
pelestarian kebudayaan nasional.

1.6

Klarifikasi Istilah
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk memperjelas dan

memudahkan para pembaca dalam memahami maksud istilah tersebut. Berikut ini beberapa
istilah beserta penjelasan yang digunakan dalam pembahasan penelitian ini:
(1) Subtitle adalah teks bahasa (versi teks) tertentu yang tertera pada layar film atau
screen video (Linteksi: 2012).
(2) Teknik Penerjemahan merupakan prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasi
bagaimana kesepadanan terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada berbagai
satuan lingual (Molina & Albir: 2002).

(3) Bsu merujuk pada bahasa yang diterjemahkan sedangkan BSa adalah bahasa yang
menjadi tujuan penerjemahan. Jika seseorang menerjemahkan teks dari bahasa Inggris
ke dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris tersebut menempati posisi sebagai BSu
dan bahasa Indonesia diposisikan sebagai BSa (Silalahi: 2012).