TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH KEANEK

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH
KEANEKARAGAMAN KONSEP TENTANG HAKIKAT MANUSIA
(Latar Historis dan Relevansinya dengan Pemecahan Masalah Umat dan
Kemanusiaan)

MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
Dr. M. Abdul Fattah Santoso, M.Ag

Oleh:
SOFYAN EFENDI
NIM : O100140038

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015 M/1437H

0


TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH
KEANEKARAGAMAN KONSEP TENTANG HAKIKAT MANUSIA
(Latar Historis dan Relevansinya dengan Pemecahan Masalah Umat dan
Kemanusiaan)
Sofyan Efendi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Email : sofyan.efendi37@yahoo.com

Pendahuluan
Pengertian pendidikan secara umum merupakan sebuah proses untuk
memanusiakan manusia. Sebuah pemahaman yang baik tentang hakikat manusia
akan mempengaruhi pemahaman yang baik tentang hakikat dan tujuan pendidikan
Islam. Para filsuf Muslim memberikan beragam pengertian mereka tentang
apakah hakikat manusia. Para filsuf Muslim klasik cenderung melihat hakikat
manusia pada dimensi internalnya yaitu al-nafs al-natiqah (jiwa rasional).
Berbeda dengan para filsuf Muslim klasik, para filsuf Muslim kontemporer
melihat hakikat manusia dengan mempertimbangkan faktor-faktor eksternal dari
konteks historis yang melatarbelakanginya. Keanekaragaman pemahaman tentang
hakikat manusia akan berdampak pada keanekaragaman rumusan hakikat dan

tujuan pendidikan.
Pada bahasan makalah ini kami akan mengemukakan beberapa pemahaman
tentang hakikat manusia menurut beberapa filsuf Muslim kontemporer. Di antara
filsuf yang akan kami kemukakan pada bahasan ini antara lain adalah Mohammad
Iqbal, S.M. Naquib Al-Attas, Suhailah Hussien dan Syed Hussein Nasr.
Keempat filsuf tersebut memiliki pemikiran yang berbeda tentang hakikat
manusia. Muhammad Iqbal memandang hakikat manusia terletak pada
karakternya yang individual, yaitu beliau memandang hakikat manusia pada
kehendaknya. Konsep hakikat manusia menurut S.M. Naquib Al-Attas adalah
menjadi manusia yang beradab dalam kehidupan spiritual dan material manusia.
Suhailah Husein juga memaparkan pendapatnya tentang hakikat manusia. Beliau
memandang konsep hakikat manusia adalah wakil Tuhan yang bersifat historis,
rasional, sosial, dan pembuat makna yang aktif. Sedangkan konsep manusia
menurut Sayyid Hossein Nasr bahwa manusia adalah pertengahan diantara dunia

1

materi-fisik dan dunia spiritual, dan salah satu tugas manusia adalah menegakkan
tatanan kosmos.
Hakikat Manusia menurut Filsuf Muslim Kontemporer

Muhammad Iqbal memandang hakikat manusia pada karakternya yang
individual yaitu melihat hakikat manusia pada kehendaknya. Baginya, kehendak
adalah sebuah dorongan sangat besar yang mendorong manusia untuk melakukan
aktivitasnya. Dari keanekaragaman kehendak manusia sesuai dengan berbagai
macam kebutuhannya, kehendak yang menjadikan kepribadian manusia sempurna
adalah kehendak transendental dari Allah. Kehendak transendental yang dimaksud
adalah kehendak mencintai Tuhan. Ketika kehendak transendental itu menjadi
kehendak tertinggi yang mengatur dan mendisiplinkan kehendak-kehendak lain
manusia, maka ia mengalami kelahiran baru. Bagi Iqbal, kepribadian, ego atau
diri, yaitu kesadaran diri manusia yang dibangun dan diaktifkan oleh kesadaran
Tuhan.1
Menurut Iqbal juga, hakekat manusia adalah individu yang memiliki
kesatuan dan keunikan ego yang dipilih Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya di
bumi. Kesatuan ego lebih bersifat internal (kesatuan jiwa-raga, kesatuan indra,
nalar, dan hati), dan keunikan lebih bersifat eksternal (tidak ada individu yang
sama, masing-masing memiliki keunikan melalui pengalaman yang diterimanya).
Ego sangatlah penting untuk persoalan moral, baik untuk individu ataupun
masyarakat. Individu dan masyarakatnya sebenarnya saling mencerminkan satu
dengan lainnya. Individu harus menjadi jiwa yang kuat sebelum bersatu dengan
masyarakatnya. Dan, dengan berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, ego

belajar menerima batasan-batasan kebebasannya dan makna cinta.
Konsep manusia yang baik menurut S.M. Naquib Al Attas adalah manusia
yang beradab.2 Adab disini merupakan sebuah pengertian menyeluruh, meliputi
kehidupan spiritual dan material seseorang, dan berusaha untuk menanamkan
kualitas kebaikan yang diterimanya. Maka, manusia yang benar-benar terpelajar
menurut perspektif Islam didefinisikan Al-Attas sebagai manusia yang beradab.

1

Muzaffar Hussain, “The Key Point in Iqbal’s Educational Philosophy”
dalam http://www. allamaiqbal.com/publications/journals/review/oct82/5.htm,
(1982), hlm. 3-4
2
Syed Muhammad Naquib al-Attas, “The Concept of Education in Islam”
dalam http://www. mef-ca.org/files/attas-text-final.pdf, (1980), hlm. 15-16

2

Dalam pengertian yang asli, adab adalah mengundang ke suatu perjamuan.
Perjamuan menyiratkan bahwa tuan rumah adalah seorang yang mulia dan

terhormat dan banyak orang yang hadir. Hal ini juga berarti bahwa orang-orang
yang hadir itu adalah mereka yang dalam penilaian tuan rumah tepat mendapat
undangan itu. Berdasarkan ini maka adab berarti juga disiplin terhadap pikiran
dan jiwa, untuk menunjukkan tindakan yang betul untuk melawan hal yang keliru,
yang benar melawan yang salah, agar terluput dari dosa dan cela.
Hal ini seperti yang terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Mas’ud:

‫قرآْن مأ أدبة اْلله فى اْل برض فبتعل لمواْ من أ‬
‫ن هه ب‬
‫ذاْ اْل أ م أ ب ب ب ب م‬
‫مأد بب بت ههه‬
‫ه‬
‫إه ل‬
‫أ ه بب م أ ه أ ب‬
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah di muka bumi, oleh karena
itu belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya.”3
Menurut Suhailah Hussein, manusia dianggap sebagai makhluk sejarah
karena refleksinya yang dapat merubah dan merumuskan konsep baru dari diri dan
masyarakatnya, mempunyai kehendak untuk mengubah praktek-praktek sosial dan

hubungan kemasyarakatannya. Hal ini juga dikarenakan bahwa manusia mampu
mengubah identitas dan masyarakatnya atas dasar refleksi mereka ke arah yang
baik.4
Selain memandang manusia adalah makhluk sejarah, Suhailah Hussein juga
memandang bahwa manusia juga makhluk sosial, makhluk rasional dan makhluk
pembuat makna yang aktif. Manusia sebagai mahkluk sosial dikarenakan mereka
mampu mengubah masyarakat melalui perubahan dalam praktek sosial dan
hubungan kemasyarakatannya.5
Manusia disebut juga manusia rasional karena kemampuan mereka untuk
merefleksikan praktek sosial dan hubungan kemasyarakatannya. Dan manusia
juga disebut makhluk pembuat makna yang aktif karena mereka dapat
merekonstruksi dan mengubah praktik sosialnya atas dasar hubungan refleksi
rasional mereka sendiri. Dengan demikian, perubahan sosial dan perubahan
individu saling terkait dan mungkin karena manusia adalah makhluk aktif yang
3

HR. Baihaqi, no. 1985
Suhailah Hussien, “Critical Pedagogy, Islamisation of Knowledge and
Muslim Education” dalam http://journals.iium.edu.my/ intdiscourse/index.php/
islam/article/ view/62/57, (2007), hlm. 3

5
Ibid.
4

3

terletak di alam dan masyarakat, di mana keduanya baik alam dan masyarakat
merupakan dunia sosial bagi makhluk yang aktif. Manusia mencoba untuk
mengatasi dan membentuk lingkungan alam dan sosial mereka, dan ketika mereka
mencoba untuk membangun peran yang tepat di dunia, budaya mereka akan
berubah.6
Tokoh keempat yang mengemukakan pendapatnya mengenai hakikat
manusia adalah Syed Hussein Nasr. Beliau mengemukakan bahwa manusia
merupakan pertengahan diantara dunia materi-fisik dan dunia spiritual, salah satu
tugas manusia adalah menegakkan tatanan kosmos. Manusia mempunyai jiwa
yang digunakan sebagai wahana spiritual atau ketuhanan. Jiwa merupakan indera
manusia yang dapat digunakan manusia untuk mengenal Tuhan yang suci. Melalui
jiwa manusialah Tuhan dapat memasuki ke bentuk manusia, dan dapat diteruskan
ke dalam alam fisik.7
Nasr menyimpulkan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pandangan

relijius mengenai tatanan kosmos tersebut. Prinsip-prinsip ini merupakan sebuah
warisan universal bagi umat manusia dan pantas mendapatkan perhatian yang
sangat serius, diantara prinsip-prinsip Kosmologi Suci tersebut adalah :
1. Tatanan alam berhubungan dengan suatu tatanan diluar alam itu sendiri.
Realita alam mempunyai signifikansi diluar tampilannya, ada sifat suci di
dalam alam, namun istilah suci dapat dipahami, termasuk manifestasimanifestasi formalnya dalam agama-agama yang berbeda. Realita ini tidak
dapat diketahui oleh ilmu pengetahuan modern, namun dapat diketahui dalam
cara-cara ilmiah sistematis melalui studi-studi esoterik dan intuisi.
2. Tatanan alam mempunyai tujuan, makna, dan makna ini mempunyai
signifikansi moral dan spiritual untuk umat manusia.
3. Manusia dan tatanan alam adalah saling terjalin dalam dua-serangkai dengan
cara sedemikian rupa sehingga takdir-takdir mereka saling terkait.
4. Hukum moral-spiritual atau Ketuhanan pada manusia dan hukum-hukum alam
tidaklah berbeda secara total namun saling terkait dengan erat.
5. Bumi adalah guru manusia dan manusia dapat belajar dari tatanan alam, tidak

hanya secara kuantitatif namun juga secara moral, intelektual, dan spiritual.8
Latar Historis Hakikat Manusia menurut Filsuf Muslim Kontemporer
6


Ibid.
Almut Beringer, Reclaiming a Sacred Cosmology: Seyyed Hossein
Nasr, the Perennial Philosophy, and Sustainability Education, (Canadian Journal
of Environmental Education, Vol. 11: 2006), hlm. 35
8
Ibid., hlm. 36
7

4

Latar belakang historis menurut pemikiran Muhammad Iqbal adalah adanya
kemunduran umat Islam selama lima ratus tahun terakhir yang disebabkan oleh
kebekuan

dalam

pemikiran.

Solusi


terhadap

permasalahan

ini

adalah

membangkitkan kembali pemikiran dan kreativitas (umat) Islam.
Umat Islam diminta untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan
menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al-Qur’an. Nilai-nilai
dasar ajaran al-Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk
dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan
mengadakan pendekatan rasional terhadap al-Qur’an dan mendalami semangat
yang terkandung di dalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku undangundang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku. Sebagai
konsekuensi, ijtihad kolektif perlu digalakkan dengan mengacu kepada
kepentingan masyarakat dan kemajuan umum.
Secara historis dasar pemikiran tentang hakikat manusia menurut S.M.
Naquib Al Attas adalah berakar pada sebab eksternal dan internal problemproblem kebudayaan Muslim kontemporer. Faktor eksternal tersebut antara lain
adalah adanya tantangan religio-kultural dan sosio-politis kebudayaan dan

peradaban Barat. Sedangkan faktor internal adalah kesalahan dalam memahami
ilmu dan aplikasinya, hilangnya adab dan munculnya pemimpin palsu. Menurut
Iqbal hal yang pertama kali harus dibenahi dan sangat membantu pembenahan dua
faktor lainnya adalah ‘hilangnya adab’.
Makna adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwa ilmu
dan segala yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan
tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masingmasing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas serta
potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.9
Dalam konteks ilmu, adab merupakan ketertiban budi yang mengenal dan
mengakui hirarki ilmu berdasarkan kriteria keluhuran/kemuliaan, seperti
seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu lebih mulia/luhur dari mereka
yang pengetahuannya berdasarkan akal. Adab terhadap alam dilakukan dengan
meletakkan tumbuhan, batu-batuan, gunung, sungai, lembah, danau, hewan dan
habitat-habitatnya pada tempat-tempat yang benar.
Pandangan Suhailah Hussein tentang hakikat manusia bermula dari
ketidakpuasan dari ketidaksetaraan yang diabadikan oleh pedagogi tradisional
9

Muhammad Naquib al-Attas, “The Concept …., hlm. 17

5

dalam pendidikan. Pedagogi tradisional, seperti teori tradisional, membantu dalam
reproduksi sosial kelas dan mempromosikan ketidaksetaraan ras dan gender
melalui praktek sekolah terorganisir dan menipu. Hari ini, sekolah-sekolah umum
berfungsi untuk meniru nilai-nilai yang ada dan hak istimewa dari kelas dominan,
pedagogi kritis memperlihatkan bagaimana sekolah menjadi sebuah situs di mana
cara-cara tertentu pemahaman dan berperilaku di dunia, termasuk menerima
ketidaksetaraan, sebenarnya diperkenalkan dan dilegitimasi untuk melayani
kepentingan kelompok sosial tertentu. Menyadari pengetahuan yang sebenarnya
secara sosial, historis, ekonomi, politik dan kultural, pedagogi kritis menetapkan
untuk mengenali dan mengidentifikasi bagaimana ada kurikulum dan pendekatan
untuk mengajar menyediakan siswa dengan perspektif yang cenderung
meminggirkan suara tertentu dan cara hidup.10
Menurut Syed Hussein Nasr, pendidikan lingkungan khususnya dan studistudi

lingkungan

pada

umumnya,

memikul

tanggung

jawab

untuk

memperkenalkan kembali, dimensi-dimensi yang hilang pada pengetahuan
agama-spiritual mengenai alam raya dalam tingkat budaya dan skala global. Hal
ini meliputi mendapatkan kembali etika lingkungan yang tertanam dalam
pemahaman abadi mefafisik, epistemologi, dan ontologi mengenai kosmos, dan
menegaskan cara-cara pengetahuan non-ilmiah.11
Tanpa penemuan kembali ilmu pengetahuan yang suci mengenai tatanan
alam ini, eksposisi dalam media kontemporer dan perumusan hubungan antara
pengetahuan tatanan alam semacam itu dengan etika-etikanya, maka tidak
diragukan bahwa sisa-sisa tatanan dalam dunia alamiah dan dunia manusia akan
berubah menjadi kekacauan yang dapat menghancurkan semua kehidupan
manusia di bumi. Pemahaman religi mengenai alam adalah sangat dibutuhkan
dalam proyek keberlangsungan global. Selain itu, tatanan alam yang relijius
akhirnya mempunyai tempat dalam pendidikan lingkungan, dan bahwa tugas bagi
pendidikan lingkungan adalah mendapatkan kembali kosmologi suci.12
Nasr memperingatkan mengenai situasi berbahaya global yang akan terjadi
pada kita, berdasarkan pada analisisnya mengenai kondisi manusia dalam era
modern ini, yaitu hilangnya dimensi-dimensi agama-spiritual dalam kehidupan

10

Suhailah Hussien, “Critical Pedagogy…. hlm. 93
Almut Beringer, Reclaiming a Sacred Cosmology…., hlm. 27
12
Ibid.
11

6

budaya dan individual, termasuk pemahaman terhadap alam sebagai kekuatankekuatan hebat yang mengatur hubungan manusia dan alam.13
Implikasi Hakikat Manusia kepada Rumusan dan Tujuan Pendidikan
Islam
Hakikat pendidikan menurut Muhammad Iqbal dikaitkan dengan implikasi
hakikat manusia adalah membantu manusia mengembangkan dirinya dan
mengukuhkan perwujudan dirinya sendiri, baik secara ragawi maupun secara
rohani (terutama kreativitasnya). Perwujudan diri tidak merupakan “kesendirian”
atau individualisme yang mengacuhkan kontak sosial, justru sebaliknya kontak
sosial sebagai sarana perwujudan diri itu sendiri. Pendidikan haruslah dinamis dan
kreatif di mana tidak ada satu sisi mengatasi sisi yang lain, melainkan masingmasing terpaut satu sama lain.
Sedangkan tujuan pendidikan yang dapat disimpulkan adalah terbentuknya
sebuah individu yang memiliki kesatuan dan keunikan ego, tanpa kehilangan
kontak sosial, untuk mewujudkan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi. Tujuan
akhir dari pendidikan hendaknya dapat memperkokoh dan memperkuat
individualitas dari semua pribadi, sehingga mereka dapat menyadari segala
kemungkinan yang dapat saja menimpa mereka.
Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan

harus

tertuju

pada

pengembangan keseluruhan potensi manusia yang mencangkup intelektual, fisik
dan kemauan untuk maju. Serta mempunyai kehendak kreatif. Dengan kreativitas
itulah manusia telah berhasil mengubah dan menggubah yang belum tergarap dan
belum terselesaikan dan mengisinya dengan aturan dan keindahan.
Tujuan pendidikan harus mampu memecahkan masalah-masalah baru dalam
kondisi perorangan dan masyarakat atau menyesuaikan dengan kondisi
masyarakat.
Pendidikan menurut S.M. Naquib Al Attas lebih tepat disebut ‫( تأديب‬ta’dîb,
yaitu penyemaian dan penanaman adab dalam diri manusia). Contoh ideal
‘manusia beradab (universal/sempurna)’ adalah Nabi Muhammad SAW.
Berbeda dari mayoritas pakar kontemporer, dia berpandangan bahwa pendidikan
bukan integrasi antara ta`lîm (‫)تعـليم‬, tarbiyah (‫)تربـية‬, dan ta’dîb (‫)تأديب‬. Bagi AlAttas ta’dîb sudah mencakup ta`lîm dan tarbiyah.
13

Ibid., hlm. 28

7

Jadi, hakikat pendidikan adalah pengenalan dan pengakuan yang ditanam
secara progresif dalam diri manusia tentang tempat yang sebenarnya dari segala
sesuatu dalam susunan penciptaan, yang membimbing seseorang pada pengenalan
dan pengakuan terhadap keberadaan Tuhan dalam susunan being dan eksistensi.
Tujuan pendidikan yang dapat disimpulkan dari pemikiran Al-Attas adalah
mengembangkan manusia beradab. Hal ini akan sangat berbeda dengan tujuan
pendidikan Barat kontemporer yang berorientasi untuk menghasilkan warga
negara atau pekerja yang baik.
Berbeda hakikat pendidikan menurut kedua filsof di atas, hakikat
pendidikan yang dikemukakan oleh Suhailah Hussein adalah pendidikan
merupakan sebuah agen perubahan dan transformasi sosial, pendidikan Islam
perlu didasarkan pada pandangan kritis pendidikan, yang mempromosikan
pengetahuan emansipatif.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk menyelesaikan krisis Muslim dan
mencerahkan umat Islam memberikan potensi kritis dari pikiran Muslim, dan
kebutuhan untuk refleksi diri dan interpretasi berdasarkan epistemologi Islam dan
dunia. Umat Islam harus mampu mengidentifikasi bagaimana pengetahuan
beroperasi secara ideologis. Islam adalah undangan untuk pemikiran dan analisis,
tidak imitasi dan emosional.
Hakikat pendidikan Islam yang dapat disimpulkan dari pemikiran Syed
Hussein Nasr adalah pendidikan yang tidak boleh mengkesampingkan keterjagaan
tatanan alam. Tatanan alam berhubungan dengan suatu tatanan diluar itu sendiri.
Realita alam mempunyai signifikansi diluar tampilannya, ada sifat suci di dalam
alam, namun istilah suci dapat dipahami, termasuk manifestasi-manifestasi
formalnya dalam agama-agama yang berbeda.
Tujuan pendidikan yang dapat disimpulkan adalah adalah agar pendidikan
itu selaras dengan tatanan kosmos, karena menurut husein nasr tatanan kosmos
(lingkungan) yang ada sekarang telah rusak dan hal ini salah satunya disebabkan
oleh karena tujuan pendidikan yang ada tidak mengindahkan tatanan alam dan
cenderung merusaknya. Sehingga menurut beliau tujuan pendidikan tersebut harus
menyangkut tentang pelestarian alam, tidak hanya mengeksploitasinya.
Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam, Relevansinya terhadap Latar
Belakang Historis

8

Hakikat dan tujuan pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan
keterkaitannya terhadap latar belakang historis pemikiran yang menjadi
pijakannya. Tujuan pendidikan tersebut harus dapat memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi oleh keadaan yang melatarbelakanginya.
Tujuan pendidikan yang disampaikan oleh Muhammad Iqbal adalah
terbentuknya sebuah individu yang memiliki kesatuan dan keunikan ego, tanpa
kehilangan kontak sosial, untuk mewujudkan tugasnya sebagai khalifah Allah di
bumi. Tujuan pendidikan ini sangat relevan dengan latar belakang historisnya,
dimana individu telah berkurang kreativitasnya dan kurangnya kerjasama antar
muslim yang satu dengan muslim yang lain. Dalam hal lain bahkan cenderung
saling mengedepankan perbedaan, bahkan dapat menimbulkan sebuah konflik.
Umat Islam diminta untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan
menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al-Qur’an. Nilai-nilai
dasar ajaran al-Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk
dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan
mengadakan pendekatan rasional terhadap al-Qur’an dan mendalami semangat
yang terkandung di dalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku undangundang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku. Sebagai
konsekuensi, ijtihad kolektif perlu digalakkan dengan mengacu kepada
kepentingan masyarakat dan kemajuan umum.
Tujuan pendidikan yang disimpulkan dari S.M. Naquib Al Attas yaitu
membentuk masyarakat yang beradab. Hal ini sangat relevan, kaitannya dengan
kondisi masyarakat yang mengesampingkan adab dalam memecahkan masalah
kemasyarakatan. Pendidikan berhubungan antara manusia dengan sebuah ekstensi
masyarakat. Manusia harus mengetahui adab, dimana tempat yang tepat sesuai
dengan tingkatannya.

Implikasi ta’dib dalam ranah pendidikan

adalah

pembentukan kualitas manusia yang baik, pembentukan perilaku yang benar atau
yang salah, pendisiplinan jiwa, pikiran dan perilaku manusia dan sebuah
aktualisasi ilmu pengetahuan sesuai kedudukan sesuatu secara benar dan tepat.
Adab adalah pengetahuan yang melindungi manusia dari kesalahan
penilaian. Adab adalah pengakuan dan pengakuan kenyataan bahwa pengetahuan
dan makhluk yang diperintahkan hirarki menurut berbagai nilai dan derajat
pangkat, dan dari seseorang.
Tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Suhailah Hussein yaitu
membentuk sebuah masyarakat yang kritis terhadap sebuah ketidaksetaraan,
9

ketidakadilan dan pembedaan sistem pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah
agen perubahan dan transformasi sosial, pendidikan Islam perlu didasarkan pada
pandangan kritis pendidikan, yang mempromosikan pengetahuan emansipatif.
Tujuan ini akan sangat berpengaruh melihat kondisi historis yang
melatarbelakangi terciptanya konsep ini, yaitu ketidakdilan, ketidaksetaraan dan
tingkat masyarakat tertentu diposisikan sebagai pelayan untuk tingkat tertentu
yang terjadi pada pendidikan. Kita harus megkritisi hal-hal tersebut, agar tercipta
sebuah kesetaraan dan keadilan di masyarakat.
Lingkungan yang rusak yang diakibatkan oleh eksploitasi manusia akan
sangat berdampak pada kelestarian kehidupan manusia dan alam. Tatanan kosmos
yang tidak seimbang tersebut harus segera dicegah, agar kelestarian manusia dan
alam ini akan tetap terjaga. Menurut Syed Hussein Nasr pendidikan bertujuan agar
manusia berjalan selaras dengan tatanan kosmos dan sebagai penjaga tatanan
kosmos. Kosmologi suci membedakan antara tatanan alam dan tatanan
Ketuhanan, dengan alam merefleksikan tatanan Ketuhanan.
Setiap makhluk di dunia alam tidak hanya keluar dari Prinsip Ketuhanan,
namun merefleksikan kearifannya, yang membangkitkan gagasan bahwa alam
menyelubungi dan membuka pesan-pesan dan ajaran-ajaran Tuhan.
Strategi Implementasi Konsep Hakikat Manusia pada Pendidikan
Islam di Indonesia
Konsep-konsep pendidikan yang dikemukakan oleh para filsuf Muslim
kontemporer yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat
diimplementasikan pada pendidikan Islam di Indonesia.
Pemikiran Muhammad Iqbal dapat diimplementasikan pada pendidikan di
Indonesia. Peserta didik ditanamkan nilai-nilai semangat dan kehendak untuk
berusaha memperoleh tujuannya tanpa mengesampingkan kerjasama dengan
manusia lain. Menumbuhkan semangat untuk maju kepada peserta didik, bahwa
mereka mampu untuk berhasil dan menjadi bagian dari sejarah, supaya bergerak
dan jangan tinggal diam.
Dalam konsep ta’dib yang dikemukakan oleh SM. Naquib Al Attas, peserta
didik harus dibimbing untuk mengenali dan mengakui Allah sebagai Tuhannya,
penciptanya, pemilik, pengatur, pengawas, pendidik, pemberi dan lain sebagainya.
Pada saatnya nanti lahirlah manusia-manusia 'abid yang penuh kesadaran,
memiliki kemampuan intelektual maupun spiritualnya. Selanjutnya akan lahirlah
10

berbagai pandangan hidup tauhid, baik rububiyah, uluhiyah, maupun ubudiyah,
yang meyakini kesatuan ciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan
(unity of purpose of life), yang semua ini merupakan derivasi dari kesatuan
ketuhanan (unity of Godhead).
Pemikiran pendidikan Islam yang terformula dan ditawarkan al-Attas, pada
prinsipnya merupakan konsep pendidikan yang bercorak moral dan religius, yang
tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut dapat
dilihat dalam konsepsinya tentang ta'dib (adab) yang di dalamnya telah mencakup
konsep ilmu dan amal. Dalam definisinya dijelaskan bahwa, setelah manusia
dikenalkan akanposisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia
diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan
nilai-nilai moral dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan
bahwa dalam penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus
melandasi keduanya berdasarkan pada pertimbangan nilai-nilai yang bersumber
dari ajaran agama ataupun nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat. Nilai-nilai
tersebut berfungsi sebagai pengendali dalam mengamalkan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, pencarian, penguasaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan lebih bermakna dan dapat dilaksanakan dalam
kerangkaibadah guna kemaslahatan manusia.
Implikasinya dalam merumuskan kurikulum pendidikan Islam hendaknya
bentuk dan formulasi kurikulum di sini harus mengandung makna dan nuansa
nilai-nilai “ilahiyah” yang tidak mesti dipahami dalam bentuk dikotomis, yakni
mengalokasikan pada satu bidang disiplin ilmu yang khusus dalam membahas
mengenai masalah nilai. Akan tetapi proses sosialisasinya bisa didekati dengan
muatan semua disiplin ilmu yang diajarkan dengan ruh dan semangat moralitas
atau akhlak Islam. Karena Islam sebagai sumber nilai dalam kehidupan, tentu
menghendaki agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bermakna dan diterima
secara universal, sehingga setiap penelaahan disiplin ilmu selaludalam nuansa
akhlaki dalam pengertian yang luas.
Pedagogi kritis yang digagas oleh Suhailah Hussein bila diaplikasikan
dalam bidang pendidikan maka teori kritis ini memunculkan pendekatan critical
pedagogy, pendekatan ini menekankan pentingnya memberdayakan dan mendidik
siswa agar mampu memecahkan masalah dan mampu berpikir kritis. Pendidik
sering disebut critical educator yang secara kritis mempertanyakan kultur yang
11

sudah mapan atau dominan dan menjadikannya sebagai objek analisis politik.
Teori kritis memiliki kepedulian tinggi terhadap ketidakadilan sosial sebagaimana
terscermin dalam sistem pendidikan atau pesekolahan. Dibalik ilmu pengetahuan
yang dipelajari di sekolah dan kebudayaan yang dominan dalam system
persekolahan sesungguhnya ada minat dan vested interest dari kelompok tertentu.
Dibalik sistem persekolahan ada ideologi yang mendominasi yang harus dicermati
dengan kritis dengan mengkaji sejumlah ideologi alternatif.
Pembelajaran pendidikan lingkungan hidup Syed Hussein Nasr kini telah
dan semakin marak diterapkan di sekolah adalah bukan mempekerjakan siswa
sebagai pekerja di lingkungan sekolah, tetapi membangun jiwa cinta lingkungan,
dengan harapan bahwa generasi berikut menjadi generasi yang berbudaya
lingkungan dan menjadi sebuah habit bagi semua civitas sekolah.Untuk maksud
tersebut, sekolah dan semua stakeholder serta pemerhati lingkungan hidup
melakukan konsistentisasi yang holistik kepada konsumen pendidikan tentang
peran lingkungan terhadap keberlangsungan kehidupan di bumi, ancaman
terhadap kehidupan dan solusi penyelamatan kehidupan di bumi, serta
menjelaskan tentang porsi perhatian sekolah dalam hal ini siswa terhadap
ekosistim lingkungan hidup sekitarnya.
Tujuan lainnya adalah dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan
dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup secara
umum, juga untuk dapat mengajak warga sekolah melaksanakan proses belajar
mengajar materi lingkungan hidup dan turut berpartisipasi melestarikan serta
menjaga lingkungan hidup di sekolah dan sekitarnya.
Untuk merealisasikan kegiatan dimaksud, maka diperlukan sebuah program
kegiatan berkelanjutan melalui kegiatan pembinaan pendidikan kesadaran
lingkungan hidup bagi seluruh warga sekolah, sehingga tercipta sekolah yang
berbudaya lingkungan.
Kesimpulan
Dari uraian tentang pemikiran para filsuf Muslim kontemporer dapat
diambil suatu sintesis tujuan pendidikan Islam. Pendidikan Islam bertujuan untuk
(1) terbentuknya sebuah individu yang memiliki kesatuan dan keunikan ego, tanpa
kehilangan kontak sosial, untuk mewujudkan tugasnya sebagai khalifah Allah di
bumi, (2) membentuk masyarakat yang beradab, (3) membentuk sebuah
12

masyarakat yang kritis terhadap sebuah ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan (4)
membentuk manusia berjalan selaras dengan tatanan kosmos dan sebagai penjaga
tatanan kosmos.
Daftar Pustaka
Hussain, Muzaffar. 1982. The Key Point in Iqbal’s Educational Philosophy.
http://www.allamaiqbal.com/publications/journals/review/oct82/5.htm.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1980. The Concept of Education in Islam.
http://www. mef-ca.org/files/attas-text-final.pdf
Hussien, Suhailah. 2007. Critical Pedagogy, Islamisation of Knowledge and
Muslim Education. http://journals.iium.edu.my/ intdiscourse/index.php/
islam/article/ view/62/57
Beringer, Almut. 2006. Reclaiming a Sacred Cosmology: Seyyed Hossein Nasr,
the Perennial Philosophy, and Sustainability Education. Canadian Journal
of Environmental Education, Vol. 11

13