POLITIK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONE

POLITIK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI INDONESIA

Oleh:

Ahmad Fikri Sabiq
Tamassaka Dinul Haq

Politik Pendidikan Agama Islam di Indonesia

A. Latar Belakang
Salah satu amanat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang kemudian dimaknai bahwa
pendidikan sebagai bagian dari bidang yang harus diperhatikan oleh Negara.
Pemaknaan ini merupakan kesadaran bahwa salah satu upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa adalah dengan memberikan pendidikan yang unggul dan
bermutu. Oleh karenanya, negara atau dalam konteks implementasi ini yaitu
pemerintah wajib memperhatikan proses pendidikan.
Selanjutnya, dalam sebuah tata negara, sistem politik menjadi arus utama
berbagai kebijakan. Ketika sebuah sistem tata negara tidak bisa dilepaskan dari
dunia politik, maka yang perlu diketahui lebih lanjut adalah terkait peran politik

yang berkaitan dan memberikan pengaruh terhadap pendidikan. Perubahan
kurikulum, anggaran pendidikan, serta berbagai kebijakan dalam hal pendidikan
merupakan hasil dari proses politik.
Dunia pendidikan di Indonesia sudah pernah melewati berbagai kebijakan
politik, mulai sejak era kolonial Belanda, orde lama, orde baru, serta pasca order
baru yang kebijakan tersebut sangat berdampak pada perubahan sistem
pendidikan dan kurikulum. Dan sebagai bagian dari cermin menatap masa depan
pendidikan di Indonesia, maka mengetahui sejarah perjalanan kebijakan
pendidikan menjadi suatu hal yang penting.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah
yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan pemerintah kolonial terhadap pendidikan agama di
Hindia-Belanda?
2. Bagaimana posisi negara dan agama di Indonesia?
3. Bagaimana perkembangan kebijakan pendidikan agama pra-2003?
4. Bagaimana perkembangan kebijakan pendidikan agama pasca 2003?

1


C. Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Pendidikan Agama di HindiaBelanda
Lamanya waktu penjajahan Belanda di Indonesia tentunya memberikan
pengaruh dalam tatanan negeri ini, diantaranya yaitu tatanan sosial, politik, dan
ekonomi. Salah satu pengaruh tatanan politik adalah terkait kebijakan dalam dunia
pendidikan secara umum dan pendidikan agama. Oleh karenanya, salah satu potret
penting dalam sejarah dunia pendidikan agama di Indonesia adalah kebijakan
pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menurut Rian Hidayat Abi El-Bantany sebagaimana dikutip oleh Choirul
Mahfud disebutkan bahwa pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kebijakan
penguasa. Politik pendidikan bukan hanya bagian dari politik kolonial tetapi juga
bagian inti dari politik kolonial. Jenis pendidikan yang disediakan oleh
pemerintah kolonial saat itu banyak ditentukan oleh tujuan-tujuan politik Belanda,
terutama dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi.1 Dari penjelasan
ini dapat diketahui bahwa sejak zaman kolonial, politisasi pendidikan sudah mulai
dilakukan.
Mengutip dari Harun Nasution, oleh Choirul Mahfud disebutkan bahwa ada
6 ciri politik dan praktik pendidikan yang dilakukan oleh kolonialis Belanda,
yaitu: Pertama adanya gradualisme yang luar biasa dalam penyelenggaraan
pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Kedua, dualisme yang tajam antara

pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi. Ketiga, kontrol sentra yang kuat.
Keempat, keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah untuk

menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.
Kelima , prinsip korkondansi2 yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama

dengan di negeri Belanda. Keenam, tidak adanya perencanaan pendidikan yang

1
2

Choirul Mahfud, Politik Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016, 140.
Asas Konkordansi adalah asas yang melandasi untuk diberlakukannya hukum eropa atau
Belanda pada waktu itu untuk diberlakukan juga kepada bangsa Indonesia. Sehingga
hukum eropa yang diberlakukan kepada pihak Belanda pada waktu itu, dikenai juga oleh
bangsa Indonesia. Maka, jelas bahwa asas konkordansi adalah satu asas
pemberlakuannya hukum Belanda pada saat itu kepada bangsa pribumi yaitu
Indonesia. (Lihat https://brainly.co.id/tugas/2320055)
2


sistematis untuk pendidikan anak pribumi.3 Keenam ciri tersebut merupakan bukti
bahwa pemerintah kolonial melakukan politisasi pendidikan untuk kekuasaan.
Assegaf menyebutkan bahwa secara formal, Belanda mengklaim bahwa
pihaknya bersikap netral terhadap agama dalam arti tidak mencampuri dan tidak
memihak kepada salah satu agama. Tetapi, dalam kenyataannya, pemerintah
Belanda mengambil sikap diskriminatif terhadap pendidikan agama Islam dan
memberikan lebih banyak kelonggaran kepada kalangan misionaris Kristen. Sikap
Belanda ini juga berlaku dalam dunia pendidikan saat itu, misalnya Van Den
Bosch ketika menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta mengeluarkan kebijakan
pendidikan yang mengatur bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan
diperlakukan seperti sekolah pemerintah.4 Dalam hal ini, Belanda melakukan
pengawasan yang ketat terkait dengan pendidikan agama Islam. Belanda sadar
betul perlawanan besar terhadapnya akan terjadi ketika umat Islam yang terdidik
ini bangkit. Oleh karenanya, berbagai hal yang dilakukan di madrasah dan
pesantren harus dilaporkan kepada pihak pemerintah Belanda.
Selanjutnya, kalau kebijakan pemerintah kolonial Belanda mengandung
misi Kritenisasi, pada masa pendudukan Jepang terjadi peralihan drastis. Hal ini
dikarenakan titik tumpe perhatian Jepang bukan pada agama Kristen, melainkan
untuk kepentingan Nipponisasi5 dan kepentingan perangnya. Jepang sadar
mengenai figur kyai atau ulama‟ yang berperan penting dan memiliki posisi

panutan di kalangan masyarakat. Oleh karenanya, Jepang mencoba mengambil
hati dari para kyai dan ulama‟ untuk memberikan pengaruh bagi masyarakat.
Kalau Belanda mebcoba mengambil hati dari para priyayi, berbeda dengan Jepang
yang mengambil hati kelompok Islam dan kelompok sekuler nasionalis. 6

3

Choirul Mahfud, Politik Pendidikan .... 141
Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Kurnia Alam, 2005, 17.
5
Nipponisasi adalah upaya dari Jepang untuk mengindoktrinasi masyarakat dengan cara
menghapuskan nilai-nilai Barat dan Arab dan menggantikannya dengan budaya Jepang.
(Lihat Aiko Kurasawa, 1993: 344 dan Nouruzzaman Shiddiqi, 1984: 107) Gerakan
Nipponisasi ini dilakukan dengan dua cara, yaitu menebarkan slogan Tiga A, yakni:
Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia; dan dengan
pelarangan penggunaan bahasa Eropa (Inggris, Amerika dan Belanda) dan bahasa Arab
yang diganti dengan bahasa Indonesia dan bahasa Nippon. (Abd. Rahman Assegaf,
Politik Pendidikan ..... , 19-21)
6
Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 17.


4

3

D. Posisi Negara dan Agama di Indonesia
Kajian mengenai hubungan antara negara dan agama seolah tidak ada
habisnya. Ada yang berpendapat bahwa negara dan agama harus menyatu, ada
juga yang berpendapat harus terpisah. Abdul Mannan menyebutkan bahwa
hubungan antara negara dan agama ini menjadi kunci dalam sejarah peradaban
umat manusia. Dia menyebutkan bahwa hubungan antar keduanya ini telah
melahirkan kemajuan besar dan mala petaka besar. Tidak ada bedanya ketika
negara bertahta di atas agama seperti pada pra abad pertengahan, agama bertahta
di atas negara seperti pada abad pertengahan, dan juga ketika negara terpisah dari
agama seperti pada pasca abad pertengahan atau abad modern sekarang ini.7
Secara garis besar, kajian mengenai hubungan antara agama dan negara ini
melahirkan 3 golongan. Pertama, blok kontra, yaitu yang terang-terangan
menolak hubungan antara negara dan agama. Kelompok ini mengatakan bahwa
negara dan agama tidak saling berkaitan. Kalangan blok ini sering disebut sebagai
kelompok sekuler yang tidak mencampurkan masalah-masalah agama dan negara.

Kedua, blok pro, yaitu yang tegas menyebutkan bahwa negara dan agama

memiliki hubungan saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Kelompok ini
biasa disebut sebagai kelompok formalis yang menyatakan bahwa ajaran agama
tidak bisa dilaksanakan secara sempurna jika tidak didukung dengan sistem dalam
negara. Ketiga , blok tengah, yaitu kelompok yang mencari titik temu antara dua
kubu di atas. Kelompok ini berpendapat bahwa agama menjadi acuan dan
pegangan dalam menjalankan proses kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok substansialis yang mencoba
meredam perpecahan antara kelompok sekuler dan formalis.8
Munawir Sjadzali membuat tipologi pemikiran politik Islam menjadi tiga
kelompok. Pertama , kelompok yang beranggapan bahwa Islam adalah ajaran
yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan manusia sekaligus menyangkut
segala aspek kehidupannya, termasuk dalam kehidupan bernegara. Tokohnya
antara lain Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, dan Abu A‟la Al-Maududi. Kedua ,

A d. Ma a , Islam da Negara , Islamuna, Volume 1, Number 2 (Desember 2014),
186.
8
Syah Azis Pera gi A gi , Negara da Aga a dala Pa ggu g “ejarah da Ideologi , i

Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan Agama, Yogyakarta: Obsesi Pers, 2009, 40-41.
7

4

kelompok yang menyatakan bahwa Islam hanya berurusan dengan masalah agama
dan tidak bersangkut paut dengan urusan politik. Tokoh kelompok kedua ini
antara lain „Ali „Abd Al-Raziq dan Taha Husain. Ketiga , dimotori oleh
Muhammad Husayn Haykal yang meyakini bahwa Islam bukanlah sebuah sistem
yang serba lengkap dan mengatur semua masalah kehidupan, namun juga tidak
serta merta memisahkan urusan agama dengan politik secara dikotomiskonfrontatif.9
Selanjutnya, agama berperan sebagai sumber etika moral mempunyai
kedudukan yang sangat penting karena berkaitan erat dengan perilaku seseorang
dalam interaksi sosial kehidupannya, yang mana agama dijadikan sebagai alat
ukur atau pembenaran (justifikasi) dalam setiap langkah kehidupan, baik itu
interaksi terhadap sesama maupun kepada sumber agama tersebut. Sedangkan
negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh aturan mengenai tata
kemasyarakatan yang mempunyai kewenangan dalam memaksakan setiap aturan
yang dibuatnya kepada masyarakat itu. Di sini bisa saja aturan yang dibuat oleh
negara sejalan dengan apa yang menjadi sumber acuan masyarakatnya (agama)

tetapi bisa juga apa yang ditetapkan negara itu berlawanan atau tidak sejalan
dengan agama tergantung bagaimana sistem yang dianut oleh sebuah negara
tersebut, yang kemudian menimbulkan benturan-benturan antara agama dan
negara. Persinggungan antara agama dan negara menimbulkan suatu hubungan
yang kadang-kadang saling menguntungkan dan bisa jadi saling mencurigai dan
bahkan bisa juga saling menindas.10
Agama yang sering ditampilkan adalah agama atas nama kelompok,
lembaga atau apa pun namanya dengan kecenderungan kaum elite agama tersebut
cenderung menjadi corong penguasa, maka jadilah agama pada akhirnya yang
tidak memiliki kekuatan apa pun. Seharusnya, agama menarik garis pisah yang
jelas dari politik agar tidak terkooptasi dan disubordinasi. Ketika dikooptasi
politik negara, agama hanya akan menjadi alat legitimasi penguasa. Agama pun
akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran merajalela. Namun, di sisi

Nor Hasa , Aga a da Kekuasaa
(Desember 2014), 268.
10
A d. Ma a , Islam dan ......., 187.
9


Politik Negara , Karsa, Volume 22, Number 2

5

lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat harus pula mengoreksi
politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara.11
Paradigma yang diterapkan oleh Rasulullah Saw dalam hubungan antara
agama dan negara adalah paradigma simbolik yang saling berhubungan dan
membutuhkan. Paradigma ini tidak ingin menjadikan agama secara formal
menjadi dasar negara (nation-state) karena negara terbentuk atas dasar pluralitas.
Rasulullah Saw juga tidak menerapkan paradigma sekuleristik yang memisahkan
agama dan negara. Justru yang terpenting adalah bagaimana menjalankan sistem
politik kenegaraan untuk kemasalahan umat.12
Agama dan negara sesungguhnya memiliki fungsi yang sama bagi
kehidupan manusia. Jika negara tugas pokoknya adalah mengatur dan memenuhi
kesejahteraan manusia pada dimensi kekiniannya, agama berfungsi bagi manusia
untuk bahagia dalam kehidupan kekinian dan masa depan bahkan sampai hidup
lagi. Semestinya antara keduanya sejalan seiring. Meminjam istilah dari AlGhazali sebagaimana dikutip oleh Syah Azis Perangin Angin yang menyebutkan
bahwa agama dan kekuasaan (negara) adalah saudara kembar. Lebih lanjut, AlGhazali menyebutkan bahwa agama ibarat sebuah pondasi (asas) dan kekuasaan
atau negara sebagai penjaganya.13 Ibarat sebuah bangunan, jika tidak ada pondasi

maka akan roboh, dan juga sesuatu yang tidak ada penjaganya maka akan lenyap
dan hilang.
Lahirnya pancasila sebagai falsafah hidup bernegara di Indonesia menjadi
titik tengah pertemuan antara pendapat dari kaum formalis dan kaum sekuler.
Pancasila yang lebih cenderung sama dengan pemikiran kaum substansialis ini
merupakan suatu anugerah dalam falsafah bangsa kaitannya dengan latar belakang
keanekaragaman bangsa Indonesia ini.14
Sebagai implikasi dari hal ini, Ali Riyadi menyampaikan bahwa Indonesia
pada zaman Orde Baru pernah mengalami pergeseran hubungan antara Islam dan
pemerintah yang semula adalah hubungan antagonistik menjadi hubungan saling
Nor Hasa , Aga a da ....., 269-270
Gugun El-Guya ie, Khilafah vs De okrasi: Relasi a tara Aga a da Kekuasaa , i
Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan Agama, Yogyakarta: Obsesi Pers, 2009, 11.
13
“yah Azis Pera gi A gi , Negara da ......, 46-47.
14
“ayfa Auliya A hidsti, Pa asila, Kekuasaa , da Politisasi Aga a dala Negara Budaya
Patron-Klie , i Gugu El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan ....., 109.
11
12

6

akomodatif. Dia menyebutkan beberapa alasan terjadinya pergeseran ini, yaitu
pertama,dari kacamata pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat

diabaikan. Jila Islam diletakkan di pinggiran, maka akan menimbulkan masalah
politik yang cukup rumit. Kedua , adanya perubahan persepsi dari para pemimpin
umat Islam yang semula bersiap reaktif. Perubahan persepsi ini terjadi ketika
pemimpin umat Islam ini sadar bahwa sikap reaktifnya tidak memberikan hasil
sesuai dengan yang diharapkan. Ketiga , di kalangan pemerintah terdapat sejumlah
figur yang phobi terhadap Islam, sekalipun memiliki latar belakang agama yang
cukup baik.15
Pengelompokan tiga tipologi pandangan mengenai politik Islam dan tiga
golongan yang mengkaji mengenai hubungan antara negara dan agama
sebagaimana disebutkan di atas ini lahir dikarenakan dalam Islam (dan juga
agama lain) tidak menyebutkan secara jelas dan konkrit mengenai konsep negara
menurut agama. Negara Madinah yang dibuat oleh Rasulullah Saw di tengahtengah pluralitas masyarakat Madinah juga memiliki tafsiran berbeda dalam
tataran kajian, dimana kaum formalis dan substansialis memberikan konsep suatu
negara dengan landasan negara Madinah ini. Satu tatanan yang penting saat ini
menurut pemakalah adalah tidak lagi mengeluarkan tenaga penuh untuk
memikirkan konsep negara, tapi lebih cenderung untuk mengisi kehidupan
berbangsa dan bernegara ini dengan memajukan kehidupan bangsa dari segala
aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, kedaulatan politik, kesehatan, dan
lain-lain.

E. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Agama Pra-2003
Kurikulum pendidikan itu selalu dinamis, senantiasa dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Abd. Rahman
Assegaf memberikan contoh seperti perubahan kurikulum di Indonesia. Ketika
dalam masa penjajahan, kurikulum di Indonesia diorientasikan untuk kepentingan
kolonial. Kemudian setelah merdeka, kurikulum tersebut diubah dan diselaraskan
dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang merdeka.16 Begitupun setelah merdeka,
15

Ali Riyadi, Politik Pendidikan: Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Yogyakarta: ArRuzz, 2006, 26.
16
Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 135.
7

kurikulum pendidikan di Indonesia selalu berubah mengikuti kebutuhan dan arah
masa depan bangsa Indonesia ini. Perubahan kurikulum di Indonesia pasca
kemerdekaan terjadi dalam beberapa waktu, yaitu Rencana Pelajaran 1947,
Rencana Pendidikan 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984,
kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2007, dan terakhir kurikulum 2013 ini.

1968:
1964:

sebelum 1964:
sangat longgar;
PAI adalah mapel
pilihan

masuk dalam
mapel
perkembangan
moral; ada
dualisme
pendidikan yaitu
adanya Depag

PAI menjadi
mapel Wajib
dari Sekolah
Dasar
sampai
Perguruan
Tinggi

1994:
1984:
PAI masuk
kelompok
mapel inti
1975:
ada SKB 3
menteri;
pengakuan
untuk MI, MTs,
dan MA

1. Sebelum Tahun 1964

8

PAI
masuk
kelompok
mapel
inti

Sebelum dirumuskannya kurikulum 1964, kurikulum Pendidikan Agama
Islam diselenggarakan oleh masyarakat secara bervariasi. Sedangkan di
Sekolah Negeri, sesuai dengan UUPP No. 4 Tahun 1950, pelaksanaannya
sangat longgar. Pada era ini, jam pelajaran relatif minim dan tidak menentukan
kenaikan kelas. 17
2. Tahun 1964
Pada tahun 1964 ini, digulirkan regulasi tentang Rencana Pendidikan
1964 (Rentjana Pendidikan 1964) dimana pendidikan agama/budi pekerti
dimasukkan dalam bidang studi perkembangan moral dan diintegrasikan antara
pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan kewarganegaraan. Bagi Sekolah Dasar (SD),
kurikulum PAI pada tahun ini disusun oleh Departemen Agama setelah
disetujui oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, atas usul
instansi agama yang bersangkutan. Porsi pendidikan agama/budi pekerti
sebanyak 5,9 % dari total pelajaran umum yang berjumlah 36 jam pelajaran per
minggu untuk tiap kelas. Dari porsi 5,9 % tersebut, pelajaran agama/budi
pekerti dialokasikan sebanyak 2 jam pelajaran per minggunya, kecuali kelas 1
yang hanya 1 jam pelajaran. 18
Untuk jenjang SMP, pendidikan agama juga diselenggarakan oleh
Departemen Agama dengan beberapa ketentuan, yaitu guru agama ditempatkan
dan diangkat oleh Departemen Agama, rencana pelajaran agama dibuat oleh
Departemen

Agama

dan

disampaikan

kepada

sekolah-sekolah

yang

bersangkutan, dan jam pelajaran agama termasuk dalam daftar jam pelajaran
pada tiap-tiap sekolah. Sedangkan pada jenjang SMA, pendidikan agama/budi
pekerti mendapatkan alokasi 2 jam pelajaran. Dalam Rencana Pelajaran 1964,
pelajaran agama merupakan pelajaran alternatif, yaitu ketika siswa tidak
mengikuti pelajaran agama, maka dia wajib ikut pelajaran budi pekerti. 19
C.E. Beeby menuturkan sebagaimana yang dikutip oleh Abd. Rahman
Assegaf bahwa kurikulum 1964 ini sangat bercorak politis-ideologis yang
didasarkan atas doktrin Demokrasi Terpimpin Soekarno. Hal ini nampak dari
pengaruh ide Manipol USDEK yang sangat kuat dalam kurikulum ini. Selain
17

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 137
Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 137-138.
19
Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 137-139.
18

9

itu, di jenjang SD, mata pelajaran yang disusun mengikuti konsep Sapta Usaha
Tama dan Pancawardhana, sedangkan di jenjang SMP mengarahkan anak
tentang Rasa/Karya yang bertujuan untuk membiasakan siswa memenuhi
tuntutan sosialisme Indonesia. Selain itu, sistem penjurusan di SMA cenderung
memprioritaskan pembagian jurusan Sos-Bud dan Pas-Pal, serta kurang
konsentrasi pada bidang agama.20
Assegaf juga menuturkan bahwa sejak tahun 1964 ini sudah terjadi
dualisme dalam kebijakan pendidikan nasional. Dualisme kebijakan ini adalah
kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan dengan Departemen Agama. Hal ini nampak dari tidak adanya
aturan eksplisit mengenai pendidikan agama serta ketetapan yang mengaturnya
dalam Rencana Pendidikan 1964. Pada waktu ini, pendidikan agama diatur
tersendiri oleh Departemen Agama. 21
3. Tahun 1968
Pada tahun 1968 ini, terbentuklah kurikulum 1968 yang menjadikan
pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa dari jenjang SD
sampai Perguruan Tinggi (PT). Pada tahun ini terjadi perubahan kurikulum
yang sangat drastis, terutama disebabkan oleh dibubarkannya PKI pada tahun
1965. Dampak dari pembubaran ini adalah mata pelajaran yang mengandung
ide Manipol diganti dengan pemurnian Pancasila. Hal ini, menurut Assegaf,
mengakibatkan kelompok pelajaran yang menjabarkan ide Manipol dan
Rasa/Karya diganti dengan tiga kelompok mata pelajaran, yaitu kelompok
pembinaan jiwa pancasila, pembinaan pengetahuan dasar, dan pembinaan
kecakapan khusus. Selain itu, pada kurikulum ini sudah mulai disebutkan
rincian bahan, tujuan, didaktik/metodik serta petunjuk bagi guru yang mengajar
agama.22
4. Tahun 1975
Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru memberikan
perubahan

tatanan

dalam

dunia

pendidikan.

Salah

satunya

adalah

diterbitkannya kurikulum 1975. Dalam kurikulum 1975 yang menjadi pijakan
20

21

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 139.
Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 140.
22
Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 140-141.
10

bagi kurikulum pada masa-masa berikutnya ini menggunakan beberapa prinsip,
yaitu prinsip fleksibilitas program, efisiensi dan efektifitas, berorientasi pada
tujuan, kontinuitas, dan prinsip pendidikan seumur hidup.
Dalam kurikulum 1975 ini, ada beberapa kebijakan yang berkaitan
dengan pendidikan agama, yaitu adanya upaya peningkatan mutu pendidikan di
madrasah, pondok pesantren, IAIN, kurikulum PAI dari SD, SMP, SMA, serta
peningkatan mutu berkaitan dengan tenaga kependidikan yang dilakukan oleh
Departemen Agama. Pada tahun ini juga terbentuk Surat Keputusan Bersama
(SKB) Tiga Menteri tentang peningkatan mutu pendidikan di madrasah terkait
pendidikan agama yang dijabarkan ke dalam beberapa mata pelajaran, yaitu
Al-Qur‟an Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, Bahasa Arab, dan Sejarah
Kebudayaan Islam.23
SKB Tiga Menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri
Agama, dan Menteri Dalam Negeri ini memberikan angin segar terhadap
pendidikan agam di Indonesia. Salah satu implikasinya adalah pendidikan
madrasah mendapat pengakuan termasuk bagian dari sistem pendidikan
nasional dan alumni madrasah setara dengan alumni sekolah umum dalam
kaitannya dengan pekerjaan. Selain itu juga distandarkannya kurikulum
madrasah dengan lembaga pendidikan umum dengan alokasi 70 % pelajaran
umum dan 30 % pelajaran agama dan adanya kesetaraan ijazah madrasah dan
sekolah umum. Implikasi lainnya dari SKB Tiga Menteri ini adalah siswa
madrasah bisa pindah ke sekolah umum dan siswa lulusan madrasah bisa
melanjutkan ke sekolah umum pada jenjang atasnya.24
5. Tahun 1984
Pada tahun 1984, kurikulum 1975 disempurnakan menjadi kurikulum
1984. Pada kurikulum ini, mulai dikembangan keaktifan siswa melalui Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau mengutamakan kesertaan siswa dalam
memperoleh hasil belajar (student-centered). Pada kurikulum ini, ada dua

23
24

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 144-145.
Irham, Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia , Ta’lim,
Volume 13, Number 1 (2015), 111.
11

pengelompokan bidang studi, yaitu program inti dan program pilihan.
Pendidikan Agama Islam (PAI) masuk dalam kelompok program inti. 25
6. Tahun 1994
Pengembangan kurikulum 1984 ke 1994 ini meliputi beberapa aspek
fundamental, yaitu mulai diterapkannya mata pelajaran muatan lokal dan
menerapkan konsep link and match (keterkaitan dan keterpaduan antara bidang
pendidikan dengan bidang pembangunan seperti dunia kerja, dll). Selain itu,
pada kurikulum ini juga ada peningkatan wajib belajar sembilan tahun sejak 2
Mei 1994 dari yang sebelumnya wajib belajar anak usia 7-12 tahun untuk
masuk ke SD.26
Demikian penjelasan mengenai perubahan berbagai kurikulum pendidikan
sebelum tahun 2003 serta berbagai kebijakannya yang selain sesuai dengan
tuntutan zaman, kebijakan ini juga sarat akan makna politik dan kepentingan.
Dalam perjalanannya, kurikulum di Indonesia ada kalanya mengalam perubahan,
ada kalanya juga hanya mangalami penyempurnaan.

F. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Agama Pasca 2003
Munculnya Undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 memberikan perubahan tersendiri dalam sistem dan kurikulum
pendidikan di Indonesia. Analisis kebijakan pendidikan Islam melihat berbagai
sisi dari kebijakan. Sistem pendidikan nasional atau sirdiknas merupakan acuan
dalam pembuatan analisis kebijakan dan menejemen pendidikan baik tingkat
nasional, regional, maupun lokal di level sekolah. Tujuannya untuk menyiapkan
sumber daya manusia (SDM) yang mampu berperan sebagai subjek dalam
pembangunan nasional. Melalui kebijakan pendidikan yang baik dan tepat sasaran
diharapkan dapat lahir sumberdaya manusia yang berkualitas, berkarakter
berkompetensi, dan berdaya saing tinggi baik di tingkat lokal, nasional, maupun
global.

25
26

Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 148.
Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan ......, 149-150.
12

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, dikenal beberapa jenis pendidikan.
Sesuai dengan UU no 20/2003 pada pasal 14, dinyatakan bahwa jenis pendidikan
pendidikan tersebut antara lain pendidikan umum, pendidikan khusus, pendidikan
kejuruan, pendidikan akademis, pendidikan profesi, pendidikan vokasi dan
pendidikan keagamaan. Secara garis besar, kewenangan pembinaan pendidikan
umum merupakan wewenang Kemendikbud sedangkan kewenangan pembinaan
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan (yang berciri, bernuansa agama)
merupakan kewenangan Kementrian Agama. Hal itu telah diatur dalam PP No 55
Tahun 2007. Penyelenggaraan pendidikan agama bagi semua warga negara di
Indonesia dilindungi oleh negara dalam berbagai undang-undang. Terutama
sejalan dengan UUD 1945, dan pancasila. Bahkan juga telah amanahkan oleh
pasal 12 UU Sisdiknas, pasal 4 PP No55/2007 tentang pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan, dan diperkuat lagi oleh Permen Agama No 16/2007 inti
dari semua itu adalah pendidikan agama merupakan hak mendasar dari pendidikan
Indonesia yang perludiperhatikan dan dijamin Negara.
Sebagaimana

diketahui

bahwa

kebijakan

pendidikan

di

Indonesia

berdasarkan UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, diarahkan
untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan yang
bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia
Indonesia berkualitas tinggi dengan meningkatan anggaran pendidikan secara
berarti
2. Meningkatkan kemampuan akademis dan profesional serta meningkatkan
jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu
berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan
budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga
kependidikan.
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum,
berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik,
penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan
kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan profesional.

13

4. Memberdayakan pendidikan sekolah maupunpendidikan luar sekolah sebagai
pusat pembudayaan nilai sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan
partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana prasarana
memadai
5. Melakukan pembaharuan dan pemanfaatan sistem pendidikan nasioanal
berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh
masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang
efektif dan efesien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni
7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sendidri mungkin secara
terarah, terpadu dan menyeluruh dan melalui berbagai upaya proaktif dan
reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang
secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lingkungan sesuai dengan
potensinya
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
dan teknoligi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama
usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk
yang berbasis sumber daya lokal.
Adapun detail rincian dari berbagai kebijakan pendidikan agama setelah
tahun 2003 bisa dilihat dalam restra kebijakan pasca Orde Baru, yaitu sebagai
berikut:
1. Rencana dan Strategi (Restra) Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia Pasca
Orde Baru.
Bila dicermati ada upaya dari negara untuk membenahi, meningkatkan
pendidikan Islam di Indonesia, termasuk usaha memperjelas tugas dan fungsi
lembaga negara dalam membina dan mengembangkan pendidikan Islam di
Indonesia pasca orde baru. Hal ini terlihat dari berbagai upaya, strategi, dan
kebijakan yang dibuat dari waktu ke waktu. Misalnya, terlihat dari peraturan
perundang-undangan bermunculan belakangan ini seprti Amandemen UUD
1945, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang guru dan dosen, peraturan pemerintah

14

tentang standar nasional pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dan
lainnya.
Dalam konteks ini, membicarakan kebijakan pendidikan Islam di
Indonesia

dalam

naungan

kementrian

agama

sebagai

pihak

yang

bertanggungjawab, selalu tidak lepas dengan memahami kebijakan pendidikan
nasional yang dikelola Kemendikbud. Selama kurun waktu 3 tahun terakhir,
Kemendikbud telah menyususn rencana startegis kemendiknas 2010-2014.
Rencana strategi kementrian pendidikan nasional tahun 2010-2014 yang
disusun berdasarkan undang-undang

No.17 tahun 2007 tentang rencana

pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005-2025,
Restra Kemendiknas 2010-2014 mengacu pada visi RPJMN 20102014 yaitu Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan, arahan
perisden untuk memperhatikan aspek change and continuity, de bottlenecking,
dan

enhancement

progam

pembangunan

pendidikan

serta

rencana

pembangunan pendidikan nasional jangka panjang 2005-2025 yang telah
diajabarkan kedalam empat tema pembangunan pendidikan, yaitu peningkatan
kapasitas dan modernisasi pelayanan

(2010-2015), penguatan daya saing

regional (2015-2020) dan penguatan daya saing internasional (2020-2025).
Sebagai informasi dari website pendidikan Islam Kemenag, dalam
pencapaian tujuan progam pendidikan agama Islam ini dilakukan melalui
sejumlah kegiatan stategis sebagai berikut: pertama , dukungan menejemen dan
pelaksanaan tugas tegnis lainnya direktorat jendral pendidikan Islam. Kedua ,
peningkatan akses dan mutu Madrasah Ibtidaiyah.
Ketiga, peningkatan akses dan mutu Madrasah Tsanawiyah. Keempat,

peningkatan akses dan mutu madrasah aliyah. Kelima menyediakan subsidi
pendidikan madrasah bermutu. Keenam, peningkatan mutu dan kesejahteraan
pendidikan dan tenaga kependidikan madrsah. Ketujuh, adalah berkaitan
dengan peningkatan mutu Perguruan Tinggi Agama Islam. Kedelapan,
penyediaan susidi pendidikan tinggi Islami bermutu. Kesembilan, peningkatan
mutu dan kesejahteraan pendidikan dan tenaga pendidikan pada pendidikan
tinggi Islam. Kesepuluh peningkatan akses dan mutu pendidikan keagamaan
Islam.

15

Kesebelas, penyediaan subsidi pendidikan keagamaan Islam bermutu.
Keduabelas, peningkatan akses mutu pendidikan agama Islam pada sekolah.
Ketigabelas, peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidikan dan pengawasan

pendidikan agama Islam. Ini akan dicapai antara lain melalui peningkatan
kompetensi dan kualifikasi pendidikan tenaga pendidikan dan tenaga
kependidikan agama Islam, penyediaan beasiswa dan bantuan pendidikan
lainnya bagi guru, peningkatan wawasan guru melalui progam pertukaran gru
PAI.
2. Analisis Kebijakan Kurikulum Pendidikan Islam
Hal yang paling sensitif dalam konteks kebijakan pendidikan Islam di
Indonesia pasca orde baru, diantaranya adalah perubahan kurikulum.
Kurikulum pendidikan Islam tidak bisa dilepas kan dengan kurikulum
pendidikan nasional, karena kependidikan Islam sebagai subsistem pendidikan
nasional. Bila kurikulum pendidikan nasional

berubah maka berubahlah

kurikulum pendidikan Islam di Indonesia.
Di awal tahun 2013 perubahan kurikulum pun terjadi menurut beberapa
pemerhati pendididkan yang menolak kurikulum 2013, pendidikan kita jadi
tidak maju dan terus bermasalah diantaranyakarena perubahan kurikulum yang
sering kali lebih didasari

motif kekuasaan dari pada proses pencerdasan

bangsa.
Mengingat posisi kurikulum dianggap penting penting untuk melakukan
perubahan paradikma dalam pendidikan di suatu negara, khususnya di negeri
ini, maka seringkali kurikulum dijadikan objek politik pendidikan. Kurikulum
pendidikan Islam sebagai bagian dari pendidikan nasional, secara langsung,
tentu saja harus mengikuti kurikulum nasional. Dalam konteks ini, dapat
dipahami bahwa perubahan kurikulum pendidikan Islam di Indonesia pasca
orde baru selalu tidak bisa dilepaskan oleh faktor politik. Perubahan KTSP
menjadi kurikulum 2013 juga dipengaruhi oleh elit politik. Oleh karena tidak
ada konsepsi yang jelas timbulah kecenderungan untuk memasukkan apa saja
yang dianggap penting kedalam kurikulum. Akibatnya, terjadi beban

16

berlebihan pda anak didik. Bahan yang diajarkan tersa berat tetapi tidak jelas
apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikan27.
Implementasi kebijakan kurikulum pendidikan Islam di Indonesia pasca
orde baru selalu tidak semudah yang dibayangkan oleh pembuat kebijakan.
Apalagi realitas pendidikan Islam di Indonesia tidak sama dengan apa yang
terjadi dalam lembaga pendidikan non Islam atau umum. Dalam konteks inilah,
proses adaptasi, modifikasi dan sosialisasi kurikulum pendidikan nasional
selalu

memengaruhi

keberhasilan

implementasi

kebijakan

kurikulum

pendidkan Islam di Indonesia.
Dari ketentuan kebijakan kurikulum dalam UU Sikdiknas No 20 tahun
2003 dapat dipahami bahwa perubahan kurikulum memang tidak berarti
bertentangan dengan kebijakan yang dibuat sebelumnya. Hanya saja upaya
perubahan kurikulum di Indonesia sering kali dipersoalkan karena lebih
dianggap mencerminkan kepentingan elit penguasa ketimbang kepentingan
masyarakat pendidikan secara keseluruhan.
Persepsi itu itu muncul setidaknya karena setiap ada proses perubahan
kurikulum dianggap kurang ada perencanaan yang matang, tanpa evaluasi yang
komprehensif, belum adanya kesinambungan, terlalu cepat dan bahkan
disinyalir terlalu politis. Akhirnya kurang maksimal dalam implementasi. Hal
yang lebih penting adalah bagaimana perubahan kurikulum perlu juga dinilai
dari subtansi, signifikasi, implementasi, implikasi dan evaluasi komprehensif.
3. Analisis Kebijakan Anggaran Pendidikan Islam
Kebijakan anggaran pendidikan Islam di Indonesia pasca orde baru masih
berada dalam pengelolaan kementrian agama. Secara kuantitas, jumlah
anggaran yang diperoleh masih dalam kategori rendah ketimnbang anggaran
nasional yang diterima oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan. Oleh
karena itu rendahnya anggaran pendidikan Islam di kemenag semacam itu tentu
tentu bukan tanpa alasan dan argumentasi dari pemerintah dan pera pembuat
kebijakan. Anggaran untuk pendidikan nasional pun juga diakui masih kurang
oleh Kemendikbud dan para pemerhati pendidikan di Indonesia.

27

Choirul mahfud, politik pendidikan Islam ... 268

17

Masalah yang sering muncul terkait anggaran pendidikan Islam adalah
bantuan operasional sekolah. Dana bos merupakan kebijakan bantuan institusi
ditingkat sekolah di Indonesia pasca ordebaru. Tahun 2012 dana BOS
mengalami perubahan mekanisme penyuluhan dana. Tahun 2011 penyaluran
BOS dilakukan melalui transfer kedaerah kabupaten atau kota, namun mulai
tahun 2012 dana BOS disalurkan dengan mekanisme yang sama, tetapi melalui
pemerintah provinsi. Namun masalahnya dari kebijakan ini seringkali pada
waktu yang sering terlambat dan prosedur cara pengirimannya.
Secara umum, implementasi kebijakan anggaran pendidikan Islam
cenderung diskriminatif, karena anggaran yang diterima masih saja berbeda
dan belum sesuai dengan amanat konstitusi. Sebagaimana diketahui anggaran
pendidikan Islam adalah bagian dari anggaran yang dikelola oleh kementerian
agama. Setelah rezim politik orde baru digantikan dengan era reformasi,
kebijakan anggaran pendidikan Islam terus mengalami perkembangan dan
perubahan yang lebih baik. Namun, bukan berarti sudah tidak ada lagi masalh
anggaran dalam pendidikan Islam di negeri ini.
Dalam konteks inilah, kompleksitas masalah anggaran pendidikan,
pemerintah dan semua pihak perlu memikirkan lagi dalam mendesai ulang
kebijakan anggaran pendidikan Islam. Selain itu juga soal bagaimana
mengelola dana dan anggaran pendidikan Islam di Indonesia.
4. Analisis Kebijakan Kelembagaan Pendidikan Islam
Salah satu problem kebijakan kelembagaan pendidikan Islam di
Indonesia yang terus dipersoalkan hingga saat ini yaitu dikotomi pendidikan
umum. Dikotomi sering kali diartikan secara harafiah sebagai usaha
pemisahan. Dalam peraktiknya, dikotomi pendidikan Islam mewujudkan
pemisahan kebijakan pendidkkan Islam dengan pendidikan umum dan
semacamnya. Dalam banyak hal, kebijakan pemisahan tersebut, cenderung
merugikan daripada mengntungkan, dengan berbagai

argumentasi yang

dipakai dalam kaitannya dengan pembuatan sebuah kebijakan.
Kelemahan lainnya adalah sekolah kurang bisa mencegah adanya
tawuran antarpelajar. Sementara di madrasah kemampuan meminimalisasi
tawuran antar pelajar lebih bagus kelemahan madrasah dengan sekolah adalah
madrasah dibawah naungan kementrian agama sedangkan sekolah dibawah
18

naungan kementrian pendidikan dan kebudayaan. Dalam konteks ini posisi
madrasah kurang beruntung dan relatif lemah.
Dalam aspek luas, perlu juga dipahami bahwa ruang lingkup pendidikan
Islam sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional dan peraturan pemerintah Nomor 55 Tahun
2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, pendidikan Islam
dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis.
a. Pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam
di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan
b. Pendidikan umum berciri pada Islam pada satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur
formal dan non formal
c. Pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan
pondok pesantren yang diseleggarakan pada jalur formal dan non formal.

19

G. Simpulan
1. Kebijakan pemerintah kolonial terhadap pendidikan agama sangat sarat akan
kepentingan politik. Kolonial sadar bahwa pendidikan agama menanamkan sikapsikap yang mengancam kekuasaan pemerintah kolonial. Oleh karenanya, berbagai
kebijakan dari kolonial ini dibuat agar pendidikan agama tidak berkembang.
2. Agama (khususnya Islam) tidak memberikan konsep negara secara detail. Oleh
karenanya, berbagai kajian mengenai hubungan antara negara dan agama masih
berlangsung sampai abad modern. Berbagai kajian ini membentuk berbagai 3
golongan, yaitu golongan yang berpendapat bahwa negara dan agama adalah dua
hal yang terpisah, golongan yang berpendapat sebaliknya yaitu negara dan agama
adalah dua hal yang saling berkaitan erat, serta golongan ketika yang mencoba
berada di titik tengah antar keduanya.
3. Kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan agama sebelum tahun 2003
ditandai dengan berubah dan berkembangnya kurikulum pendidikan nasional.
Dari adanya pengaruh demokrasi terpimpinnya Soekarno dalam pendidikan,
pengaruh dibubarkannya PKI terhadap dunia pendidikan, serta mulai adanya
dualisme kebijakan pendidikan nasional, yaitu adanya kebijakan yang dikeluarkan
oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dengan Departemen
Agama.
4. Kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan setelah tahun 2003 sangat
dipengaruhi oleh Undang-undang yang mengatur Sistem Pendidikan Nasional
(sisdiknas) tahun 2003. Berbagai kebijakan pendidikan Islam setelah tahun 2003
adalah mencakup kurikulum, anggaran, dan kelembagaan.

20

H. Daftar Pustaka
Angin, Syah Azis Perangin, “Negara dan Agama dalam Panggung Sejarah dan
Ideologi”, in Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan Agama, Yogyakarta:
Obsesi Pers, 2009: 39-49.
Assegaf, Abd. Rahman, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Kurnia Alam,
2005.
Gugun El-Guyanie, “Khilafah vs Demokrasi: Relasi antara Agama dan
Kekuasaan”, in Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan Agama ,
Yogyakarta: Obsesi Pers, 2009: 3-12
Hasan, Nor, “Agama dan Kekuasaan Politik Negara”, Karsa 22 (2014): 261-271.
Irham, “Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia”,
Ta’lim 13 (2015): 93-118
Mahfud, Choirul, Politik Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.
Mannan, Abd, “Islam dan Negara”, Islamuna 1 (2014): 185-193.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Keagamaan.
Riyadi, Ali, Politik Pendidikan: Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional,
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.
Sayfa Auliya Achidsti, “Pancasila, Kekuasaan, dan Politisasi Agama dalam
Negara Budaya Patron-Klien”, in Gugun El-Guyanie (ed.), Kekuasaan dan
Agama , Yogyakarta: Obsesi Pers, 2009: 109-117.

Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

21