Masalah Pertanahan dalam Keistimewaan DI
Masalah Pertanahan dalam Keistimewaan DIY:
Catatan Awal dari Perspektif Pengakuan Hak-hak Masyarakat (Hukum)
Adat di Indonesia1
Oleh:
R. Yando Zakaria2
1. Konteks
Pada masa-masa awal berdirinya Indonesia ada kesepahaman yang amat kuat
bahwa Negara-bangsa Indonesia yang baru itu tidak dilandaskan pada
kebesaran-kebesaran Kerajaan Nusantara yang pernah ada, karena menurut Mr.
M. Yamin, kesemuanya masih bersifat etats patrimonies (Negara berdasarkan
keturunan) ataupun etats puissances (Negara atas dasar kekuasaan semata). “…
Kita tidak mabuk dengan hiburan menyembah kerajaan-kerajaan seribu satu
malam atau bertanam pohon beringin di atas awan, melainkan melihat kepada
peradaban yang memberi tenaga yang nyata dan kekuatan yang maha dahsyat
untuk menyusun negara bagian bawah. Dari peradaban rakyat zaman sekarang,
dan dari susunan Negara Hukum Adat bagian bawahan, dari sanalah kita
mengumpulkan dan mengumpulkan sari-sari tata negara yang sebetul-betulnya
dapat menjadi dasar Negara,” ujar Mr. M. Yamin.3
Pada kesempatan lain Mr. M. Yamin mengatakan bahwa “… Kesanggupan dan
kecakapan Bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak tanah yang
semenjak beribu-ribu tahun menjadi dasar negara dan rakyat murba, dapat
diperhatikan pada susunan persekutuan hukum pada susunan persekutuan
hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 nagari di Minangkabau, susunan
Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di
1 Bahan bacaan yang disampaikan pada diskusi bertajuk “Lemahmu udu duwekmu – Mengurai
Hak Milik Atas Tanah, Perspektif Warga DIY”. Diselenggarakan oleh Jogya Darurat Agraria!
Yogyakarta, 20 September 2016.
2 Praktisi Antropologi. Pemerhati gerakan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat
adat. Fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA). Berdomisili di Yogyakarta.
Email: [email protected] ; miniblog: https://independent.academia.edu/YandoZakaria
3 Periksalah Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persipan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1995. Seluruh kutipan terkait sidang-sidang BPUPKI dan PPKI bersumber dari
dukumen ini.
1
Minahasa, dan lain-lain sebagainya. … Susunan persekutuan yang mengagumkan
pada garis-garis besar tak rusak dan begitu kuat sehingga tak dapat diruntuhkan
oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme, dan pengaruh Eropa. Desa tinggal
desa dan susunan memang dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia
berubah-ubah, dan berbeda-beda…”
Singkat kata, dalam konteks pengaturan hak-hak politik antara negara baru
dengan entitas-entitas sosial-politik yang ada sebelumnya, para pendiri negara
ini telah bersepakat sedemikian rupa, sebagaimana yang direpresentasikan ke
dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen). Pada pasal itu tertulis:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.”
Pada Bagian Penjelasan, khsususnya angka Romawi II, dikatakan pula bahwa:
“Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landchappen4 dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nageri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah
itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai
daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
Namun, bagaimana amanat Pasal 18 itu diimplementasikan sangat tergantung
pada iklim politik semasa yang pada akhirnya berdampak pada corak
berhubungan Pusat dan Daerah. Keistimewaan seperti apa yang dimaksudkan
4 Salah satunya adalah Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dengan daerah swaparja yang lain,
Kesultanan Yogyakarta tidak diatur dengan ordonnantie (undang-undang) melaikan diatur dalam
sebuah perjanjian antara Gubernur Jenderal Belanda dan Sri Sultan. Parjanjian ini dinamakan
politiek-contract. Politiek-contract yang terkahir sebelum proklamasi RI adalah politiek-contract
antara Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan Gubernur Jenderal Belanda yang ditandatangani
pada 18 Maret 1940 (stb tahun 1941 No. 47) (KPH MR. Soedarisman Poerwokoesoemo, 1984.
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Hal. 3 – 4). Lihat Juga
MR. Usep Ranawidjaja, 1955. Swapradja. Sekarang dan Dihari kKemudian. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
2
tidak jelas pula.5 Oleh karena itulah, ketika angin reformasi bergulir, salah satu
agenda politik Nasional adalah melakukan amandemen atas Pasal 18 itu. Agenda
itu terlaksana pada proses amandemen kedua pada tahun 2000. Proses
amandemen itu kemudian memilah Pasal 18 (lama) ke dalam 3 (tiga) pasal baru,
berikut beberapa ayat baru yang menyertainya. Masing-masing adalah Pasal 18
(baru), Pasal 18A, dan Pasal 18B.
Salah satu makna pemilahan ini adalah menegaskan perbedaan makna
keistimewaan antara “desa” dan “daerah” yang lebih besar (supradesa) dalam
bingkai penyelenggaraan hubungan sistem pemerintahan secara Nasional. Pada
Pasal 18B (1) dinyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan Undang-undang.” Sementara pada Pasal 18B ayat (2) dinyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”
Dengan kata lain, Pasal 18B (1) menyangkut penyelenggaraan pemerintahan
daerah secara istimewa atau yang bersifat khusus, sebagaimana yang terwujud
ke dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan juga undang-undang tentang Pemerintahan Propinsi Aceh dan
Papua. Sementara Pasal 18B (2), walaupun tercantum pada Bab VI tentang
Pemerintahan Daerah, adalah tentang pengakuan atas hak-hak masyarakat
hukum adat secara lebih menyeluruh, 6 termasuk dalam menyelenggarakan
pemerintahan Nasional, pada tingkat yang lebih rendah dari Pemerintahan
Daerah.7
Meskipun secara sekilas keduanya seolah menunjukkan adanya kesamaan
(sebagai unit pemerintahan yang harus diperlakukan secara istimewa),
5 Lihat Benyamin Hoessein, 1993. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Brsarnya Otonomi Daerah
Tingkat II. Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dar Segi Ilmu Administrasi Negara.
Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
6 Termasuk tanah, sebagaimana yang termaktub pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35
Tahun 2012.
7 Sebagaimana yang kemudian terjabarkan ke dalam nomenklatur desa adat sebagaimana yang
diatur oleh UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
3
keduanya juga mengandung sejumlah perbedaan. Di samping berbeda dalam
konteks besar-kecilnya wilayah, dalam konteks sebagai subyek hukum atas
tanah, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian-bagian
berikut, keduanya juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
2. Keistimewaan Yogyakarta
Pasca-proklamasi 17 Agustus 1945, untuk melaksanakan perintah Pasal 18
(sebelum amanemen), disusunlah UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 1 (2) disebutkan bahwa “Daerah-daerah yang
mempunyai hak-hak, asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia
mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undangundang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai
Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.” Atas dasar pasal ini,
dengan mengingat pasal 5 ajat (1), pasal 20 ajat (1), pasal IV Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar, Maklumat Wakil Presiden tanggal 10 Oktober 1945 No. X,
ditetapkanlah UU No. 3 jo 19 1950 tentang Pembentukan Daerah stimewa
Yogyakarta.
UU yang membentuk Daerah Istimewa Yogykarta ini terhitung sangat singkat.
Hanya terdiri dari 3 BAB (Peraturan Umum, Tentang Urusan Rumahtangga
Daerah Istimewa Yogyakarta; dan Peraturan Penutup); dan 7 pasal yang disertai
12 ayat). Beberapa pasal yang penting dalam diskusi kita tentang ‘masalah
pertanahan dan Keistimewaan DIY’ ini adalah sebagai berikut:
-
Pasal 1 (1): “Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan
daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta”:
o Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1958 wilayah DIY ini
diperlebar mencakup daerah-enclave Kasusunan di Kabupaten
Bantul dan daerah-enclave Mangkunegaranan di Kabupaten
Gunung Kidul (Poerwokoesoemo, 1984: 1 – 2).
-
Pasal 4 ayat (1), butir III: urusan rumahtangga yang diserahkan ke DIY
termasuk ‘Urusan Agraria’;
4
-
Pasal 4 (4) : “Urusan-urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban
lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) diatas, jang dikerdjakan oleh
Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut Undang-undang
ini, dilandjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undang-undang.”
-
Yang menarik, tidak ada satupun pasal atau ayat yang menghubungkan
Pemerintahan Daerah Propinsi DIY ini dengan kraton, kecuali pasal 1 ayat
1 di atas. Dengan begitu, penyelenggaraan pemerintahan relatif berjalan
‘menurut atau sesuai dengan tradisi’.
Dalam pada itu, pada tahun 1957, diundangkan pula Undang-Undang Nomor 1
Tahin 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UU
22/1948. Pada Intinya, daerah-daerah swapraja yang disebutkan pada Pasal 18
sebelum amandemen dibubarkan. Namun, beberapa diantaranya dikecualikan
karena sudah diatur dalam berbagai peratuan perundang-undangan yang
(masih) berlaku. Antara lain adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dibentuk
berdasarkan UU No. 3 jo 19 Tahun 1950; yang saat ini ‘diperbaharui’ melalui
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (UU 13/2012).
UU 13/2012 ini dibandingkan dengan UU sebelumnya terhitung panjang,
meliputi XVI BAB; 51 pasal; dan didukung oleh tidak kurang dari 70 ayat.
Berbeda dengan UU 3/1950 sebelumnya, pada UU 13/12 ini hubungan antara
berbagai kewenangan (pemerintahan) dengan peran kraton (sebagai ‘lembaga
warisan budaya’) seperti menjadi tujuan utamanya. Beberapa pasal (dan ayat)
penting dalam diskusi kita adalah sebagai berikut:
-
Pasal 1 (3): “Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu
yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tentang pemerintahan daerah.”
-
Pasal 1 (4): “Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut
Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara
turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing
5
Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya
disebut Sultan Hamengku Buwono.”
-
Pasal 1 (5): “Kadipaten Pakualaman, selanjutnya disebut Kadipaten,
adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun
dan dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam,
selanjutnya disebut Adipati Paku Alam.”
-
Pasal 4, huruf g.: Pengaturan Keistimewaan DIY dilaksanakan
berdasarkan asas pendayagunaan kearifan lokal.8
-
Pasal 5 (1), huruf e.: Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk
“melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten
dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta (cetak miring
ditambahkan)9 yang merupakan warisan budaya bangsa.”
-
Pasal 5 (6): “Pelembagaan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan
Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang
merupakan warisan budaya bangsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e. diwujudkan melalui pemeliharaan, pendayagunaan, serta
pengembangan dan penguatan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi
luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY (cetak miring
ditambahkan).”10
-
Pasal 7 (2), huruf d.: Kewenangan dalam urusan Keistimewaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertanahan.
-
Terkait urusan pertanahan, UU Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta mengatur bahwa:
o Pasal 32:
8 Pada bagian Penjelasan dinyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “asas pendayagunaan
kearifan lokal” adalah menjaga integritas Indonesia sebagai suatu kesatuan sosial, politik,
ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, serta pengakuan dan peneguhan peran Kasultanan
dan Kadipaten tidak dilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilai dan praktik feodalisme,
melainkan sebagai upaya menghormati, menjaga, dan mendayagunakan kearifan lokal yang telah
mengakar dalam kehidupan sosial dan politik di Yogyakarta dalam konteks kekinian dan masa
depan.”
9 Pertanyaannya adalah apakah hal ini berkorelasi langsung dengan pengaturan tanah di
Yogyakarta sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 32 dan Pasal 33? Penjelasan untuk pasal
ini, yang mengatakan ‘cukup jelas’, tidak memeberikan indikasi apapun.
10 Apakah frasa ini juga berkorelasi langsung dengan pengaturan tanah sebagaimana yang diatur
pada Pasal 32 dan Pasal 33? Penjelasan untuk pasal ini, yang mengatakan ‘cukup jelas’, tidak
memeberikan indikasi apapun.
6
(1) Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan
Kadipaten dengan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai
badan hukum (cetak miring ditambahkan).11
(2) Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang
mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan (cetak miring
ditambahkan).12
(3) Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang
mempunyai hak milik atas tanah Kadipaten (cetak miring
ditambahkan).13
(4) Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi tanah keprabon dan tanah
bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota
dalam wilayah DIY.14
(5) Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan
memanfaatkan tanah (cetak miring ditambahkan) Kasultanan
dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya
pengembangan
kebudayaan,
kepentingan
sosial,
dan
kesejahteraan masyarakat.
o Pasal 33
(1) Hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3)
11 Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah
badan hukum khusus bagi Kasultanan dan Kadipaten, yang dibentuk berdasarkan UndangUndang ini.” Tidak terlalu jelas benar apakah badan hukum ini bersifat public atau privat.
Namun, jika dikaitkan dengan pernyataan pada Pasal 31 (2), di mana kesultanan dan kadipaten
adalah subyek hukum yang memiliki hak milik, maka dapat dutafsir bahwa badan hukum yang
dimaksudkan adalah badan hukum privat, yang mengambil alih kewenangan Pemprov. DIY
sebagai badan hukum publik yang akan mengurus kewenangan keistimewaan atas tanah (Pasal 7
(2).
12 Dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “tanah Kasultanan
(Sultanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik Kasultanan.”
13 Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “tanah Kadipaten
(Pakualamanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik Kadipaten”.
14 Dalam bagian Penjelasan dinyatakan bahwa “Tanah keprabon adalah tanah yang digunakan
untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti Pagelaran, Kraton, Sripanganti, tanah untuk
makam Raja dan kerabatnya (di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari,
pesanggrahan, dan petilasan. Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah
yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus,
rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.”
7
didaftarkan pada lembaga pertanahan (cetak miring
ditambahkan).15
(2) Pendaftaran hak atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (cetak miring
ditambahkan).16
(3) Pendaftaran atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh
pihak lain wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari
Kasultanan untuk tanah Kasultanan (baca: melaksanakan
kewenangan publik?) dan persetujuan tertulis dari Kadipaten
untuk tanah Kadipaten (cetak miring ditambahkan).17
(4) Pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah
Kadipaten oleh pihak lain harus mendapatkan izin persetujuan
Kasultanan untuk tanah Kasultanan dan izin persetujuan
Kadipaten untuk tanah Kadipaten (baca: melaksanakan
kewenangan publik?) (cetak miring ditambahkan).
-
Maka, apabila Kesultanan dan Kadipaten saat ini adalah lembaga adat cq.
badan hukum yang bersifat privat, pertanyaannya adalah apakah bisa
menjalankan kewenangan sebagaimana yang diatur dalam:
o Pasal 33 ayat 3: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara (cetak miring ditambahkan) dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”; yang
kemudian diterjemahkan oleh UUPA 5/1960 melalui pengaturan:
o Pasal 2 (4): “hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya
dapat
dikuasakan
kepada
Daerah-daerah
Swantara dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
15 Dalam bagian Penjelasan dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “lembaga pertanahan”
adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang menangani bidang pertanahan”. Itu artinya
adalah ………….
16 Peraturan perundang-undangan yang mana pula yang dimaksudkan oleh pasal ini? Dalam
bagian Penjelasan disebutkan ‘Cukup jelas”.
17 Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah
perseorangan, badan hukum, badan usaha, dan badan sosial yang mengelola dan memanfaatkan
tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten”.
8
Menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah” (cetak
miring ditambahkan).
-
Jika kesultanan dan kadipaten telah menjelma sebagai badan hukum
privat, pertanyaan selanjutnya adalah lembaga dan/atau badan hukum
mana yang menjalankah hak-hak publik dari kesultanan dan kadipaten
sebelumnya?
3. Masalah pertanahan dan Keistimewaan Yogya
Sebelum membahas masalah pertanahan dalam konteks keistimewaan DIY ini
lebih lanjut, terlebih dulu dirasa perlu untuk melihat beberapa pasal/ayat
pengaturan masalah agrarin sebagaimana yang tercantum dalam UndangUndang Nomo5 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 5/1960).
Beberapa pokok pengaturan yang penting adalah sebagai berikut:
Pasal IX, KEEMPAT:
-
Huruf A: “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari
Swapraja atau bekas swa-praja yang masih ada pada waktu mulai
berlakuknya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara”;
-
Huruf B: “Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam Hurf A di
atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”;
-
Pertanyaannya:
o Apakah sudah ada PP dimaksud? à Melalui beberapa generasi
peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah
berbagai daerah swapraja itu sudah berubah status menjadi
propinsi dan/atau kabupaten/kota.
o Apakah ini juga sekaligus membatalkan amanat UU 3/1950,
khusus Pasal 4 (1) butir III, sebagaimana yang dimungkinkan oleh
Pasal 4 ayat 4 sebagaimana telah dikutipkan di atas?
o Yang jelas, pada tahun 1984 keluar Keputusan Presiden No. 33
Tahun 1984, yang disusul oleh Keputusan Menteri Dalam Neger
No. 66/1984 dan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Yogykarta No. 3 Tahun 1984 tentan Pemberlakuan UUPA secara
9
penuh di DIY (dan penghapusan Rijksblad-Rijskblad pertanahan d
Yogyakarta).
Namun harus diingat pula bahwa, dalam pasal dan ayat yang lain, UUPA 5/1960
juga mengatur hal-hal berikut:
-
Pasal 2 (1): “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Desar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat”.
-
Pasal 2 (2): Hak Menguasai Negara termasuk dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk:
o mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
o menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa;
o menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
buni, air dan ruang angkasa.
-
Pasal 2 (4): “hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swantara (sebagaimana diatur
dalam UU 1/1957, pen.) dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”.
-
Pasal 3: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat (cetak miring oleh penulis), sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
10
-
Pasal 5: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat (cetak miring oleh penulis), sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
parturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
4. Beberapa kata/frasa kunci dan problema yang dikandungnya
-
DIY sebagai Daerah swatantra
o Sebagai daerah swatantra DIY berhak untuk mengatur dan
mengurus urusan agrarian. Ketentuan ini masih dalam koridor
pengaturan Pasal 33 (3) UUD 1945.
-
Kesultanan dan Kadipaten sebagai masyarakat hukum adat
o Apakah Kesultanan dan Kadipaten dapat disebut sebagai
‘masyarakat
hukum
adat’,
misalnya
sebagaimana
yang
dimaksudkan oleh UUPA Pasal 2 ayat 4?
o Beberapa ahli berpandangan bahwa kraton/kerajaan-kerajaan
nusantara adalah bagian dari apa yang disebut ‘masyarakat hukum
adat’ itu.
o Namun, umumnya para ahli -- dan juga konstitusi -- berpendapat
sebaliknya. Terma ‘masyarakat hukum adat’ hanya merujuk pada
entitas sosial yang disebut sebagai ‘desa atau disebut dengan nama
lain’. Keberadaan kerajaan-kerajaan Nusantara itu hampir tidak
pernah dirujuk sebagai bentuk dari apa yang disebut sebagai
‘kesatuan masyarakat hukum adat itu’ (Zakaria, 2012).18
o Dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan MK
No. 06/PMK/2005, ditentukan bahwa “Pemohon adalah pihak
18 Lihat R. Yando Zakaria, 2012. “Makna Amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 bagi
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada
Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan
tema “Negara Hukum ke Mana Akan Melangkah?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9-10
Oktober 2012.
11
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan
warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang; (c) badan hukum publik atau privat;
atau (d) lembaga negara.” Berdasarkan ketentuan ini maka, dari
lima kemungkinan yang ada, kemungkinan status hukum yang
paling dekat dengan rumusan-rumusan tentang keberadaan
kesultanan dan kadipaten adalah badan hukum privat.
-
Hak ulayat atau hak-hak yang serupa itu
o Apakah sultanaat grond dan Pakualamanaat grond itu dapat
disebut sebagai (hak) ulayat?
o Boleh jadi begitulah adanya. Jika sultanaat grond dan
pakualamanaat grond itu dapat ditafsir sebagai hak ulayat maka
pengaturan Pasal 32 (2) dan (3) yang mengatakan kesultanan dan
kadipaten adalah subyek hukum yang memiliki hak milik itu
tidaklah tepat. Karena, sultanaat grond dan pakualamanaat grond
sebagai hak ulayat itu mengandaikan adanya suatu otoritas publik
yang
memiliki
kewenangan
‘untuk
mengatur
dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, pemeliharaan, serta
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang per
orang, dan atau perbuatan hukum’ atas ulayat dimaksud.
o Ulayat bukanlah hak (perdata), melainkan otoritas dan/atau
kewenangan dari suatu entitas politik yang berdaulatan,
sebagaimana yang dimaksudkan dengan ‘hak menguasai negara’,
misalnya (Soesangobeng, 2012).19 Oleh karena itulah, atas tanahtanah sultanaat grond dan pakualamanaat grond sebagai hak
ulayat itu, dapat diterbitkan berbagai hak magersari, ngindung,
dan sejenisnya.
19 Lihat Heman Soesangobeng, 2012. Filosopi, Azas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria.
Yogyakarta: STPN Press.
12
-
Tentang Hak asal-usul
o Konsepsi hak asal-usul untuk pertama kali muncul dalam wacana
hukum tata negara RI adalah pada Pasal 18 (sebelum
amandemen). Meski kemudian menjadi konsep sentral dalam
mengembangkan dan/atau membagi kewenangan pemerintahan,
konsep ini tidak banyak dibahas para ahli, misalnya, jika
dibandingkan dengan konsepsi tentang ‘pembagian daerah yang
besar dan kecil’ cq ‘hak istimewa’, serta keberadaan ‘susunan asli’.
Bahkan, pasca-amandemen Pasal 18, konsepsi hak asal-usul ini
tidak digunakan lagi.
o Apa makna hak asal usul ini sebenarnya? Sejauh yang penulis tahu,
belum ada literatur yang secara khusus membahas hal ini. Penulis
sendiri, dalam konteks memaknai ‘otonomi desa’ sebagaimana
yang dimaksudkan oleh Pasal 18 (sebelum amandemen) dan
kemudian Pasal 18B (2), pertama-tama hak asal usul ini terkait
pada frasa susunan asli. Susunan asli sendiri merujuk pada ‘sistem
kelembagaan, tatanan hak dan kewajiban yang khas, yang berbeda
dengan wujud kelembagaan, tatanan hak dan kewajiban yang
berada di luar daerah atau kesatuan masyrakat hukum adat yang
dimaksud (Zakaria, 2000: 205 – 206).20
o Dalam rangka memperjelas maksud hak asal usul itu, pada
tahapan selanjutnya, Zakaria (2010: 42 – 43)21 menggunakan pula
dikotomi hak bawaan dan hak berian sebagaimana yang
20 Lihat R. Yando Zakaria, 2004. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di BAwah Orde Baru. Jakarta:
ELSAM. Seperti halnya konsepsi tentang hak asal usul, konsepsi susunan asli itu juga menghilang
dari pengaturan pasal-pasal hasil amandemen Pasal 18. Sebagai gantinya, sebagaimana diatur
pada Pasal 18 (1), langsung disebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang.” Dalam menghargai kekhususan dan keragaman antar daerah cq. desentralisasi
asimeteris, pada Pasal 18A (1) diatur pula bahwa “Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.”
21 Lihat R. Yando Zakaria, 2010. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya
Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama dan
KARSA. Khususnya pada Bab 4.
13
dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha (2000).22 Hak berian adalah
hak yang diperoleh dari pemberian dari otoritas (politik dan
hukum) yang lebih tinggi; sedangkan hak bawaan, yakni hak yang
telah tumbuh berkembang dan terpelihara oleh suatu
kelembagaan (institution) yang mengurus rumahtangganya
sendiri. Dari konsepsi yang demikian makna hak asal usul dapat
dikatakan mendekati makna hak bawaan.
o Uniknya, meski tidak disebut sama sekali dalam pasal-pasal hasil
amandemen Pasal 18, termasuk pada pada Pasal 18B (1) yang
mengatur tentang ‘pemerintahan yang bersifat istimewa’ itu,
konsepsi hak asal usul ini justru muncul (kembali) pada Pasal 4
huruf a, yang menjelaskan bahwa pengaturan keistimewaan DIY
dilaksanakan berdasarkan asas pengakuan atas hak asal-usul.
Dalam bagian Penjelasan untuk Pasal 4 hurf a itu disebutkan
bahwa “Yang dimaksud dengan “asas pengakuan atas hak asalusul” adalah bentuk penghargaan dan penghormatan negara atas
pernyataan berintegrasinya Kasultanan dan Kadipaten ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi bagian
wilayah setingkat provinsi dengan status istimewa”. Apa makna
hakiki dari hak asal usul itu sendiri justru tidak/belum dijelaskan
sama sekali.
o Namun, berbeda dengan entitas yang lain, sebagaimana yang
disebutkan pada Pasal 18B (2), muncul konsep ‘hak-hak
tradisonal’. Itupun hanya terdapat pada Pasal 18B (2), dan tidak
pada pasal-pasal hasil amandemen Pasal 18 lainnya. Perubahan ini
sebenarnya menimbulkan konsekwensi tertentu, dalam arti
melemahnya maka pengakuan atas hak-hak yang semula disebut
sebagai ‘hak asal usul’ itu. 23 Oleh sebab itu, konsepsi ini
dimunculkan kembali sebagai padanan dan/atau penjelas bagi
22 Taliziduhu Ndraha, 200o. “Desa Masa Depan, Gars Depan Demokrasi”, dalam Angger Jati
Wijaya, et.al., 2000. Reformasi Tata Pemerintahan Desa menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, bekerjasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY.
23 Lihat R. Yando Zakaria, 2010. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya
Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama dan
KARSA. Khususnya pada Bab 4.
14
hak-hak tradisional yang dimiliki oleh kesatuan masyarakat
hukum adat di dalam perumusan kewenangan desa sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(UU 6/2014).24
o Di dalam UU 6/2014 hak asal usul usul didefenisikan sebagai ‘hak
yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa
atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan
kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat
adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta
kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa (Penjelasan untuk
Pasal 19 huruf a, UU 6/2014).
o Dengan penjelasan yang demikian maka, sebagaimana akan
dibahas lebih jauh pada bagia-bagian berikut, boleh jadi, Sultanaat
Grond dan pakualamanaat grond adalah salah satu wujud hak asal
usul itu. Masalahnya, dengan telah berubahnya posisi hukum
susunan asli (baca: Kesultanan Ngayogyakarto Hadinigrat dan
Kadipaten Pakualaman) sebagai pemangku hak Sultanaat Grond
dan pakualamanaat grond itu, yang semula berupa badan hukum
yang bersifat publik menjadi badan hukum privat maka ketentuan
sebagaimana yang dimaksudkan pada Pasal 32 dan Pasal 33
menjadi problematik.
-
Hak milik (oleh Kesultanan dan Kadipaten)
o Terkait dengan hal ini, Penjelasan untuk Pasal 32 ayat (2)
mengatakan: “Yang dimaksud dengan “tanah Kasultanan
(Sultanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah
milik Kasultanan. Sedangkan untuk Pasal 32 (3) dikatakan bahwa
“Yang dimaksud dengan “tanah Kadipaten (Pakualamanaat
Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik
Kadipaten.” Jadi, sama sekali tidak menjelaskan makna hak milik
24 Lihat, misalnya, Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria, 2012. Menggagas ‘RUU Desa atau
disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia: Pandangan dan Usulan Lingkar untuk
Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang diajukan oleh
Pemerintah Tahun 2012, yang Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum yang
diselenggarakan Panitia Khusus (Pansus) RUU Desa DPR RI, Jakarta, tanggal 20 Juni 2012.
15
itu sendiri: apakah hak milik yang dimaksud merujuk pada
pengertian ulayat sebagaimana telah dijelaskan di atas, atau hak
milik sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 16 jo Pasal 20
UUPA 5/1960?25
o Mencermati pengaturan pada Pasal 33 maka patut diduga
konsepsi hak milik yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang
diatur pada Pasal 20 (1) UUPA 5/1960 di mana hak milik
didefenisikan sebagai “hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, 26 dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 (semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, pen.)”.
o Namun, harus segera dicatatan bahwa ciri lain dari hak milik ini,
jika dibandingkan dengan (hak) ulayat adalah, sebagaimana diatur
pada Pasal 20 (2), adalah bahwa ‘hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain”. Pertanyaan lanjutannya adalah
apakah benar Sultanaat Grond dan pakualamanaat grond sebagai
hak milik (yang bersifat privat) itu akan disisihkan menjadi hakhak lain yang diberikan kepada pihak lain? Jika ini dimungkinkan
maka azas ‘pendayagunaan keraifan lokal’, sebagaimana diatur
pada Pasal 4 huruf g. tidak akan tercapai.
o Jika konsepsi UUPA 1960 yang akan digunakan maka
pertanyaanya adalah apakah Kesultanan dan Kadipaten sebagai
subyek hak atas hak milik itu memiliki kewenangan ‘untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
pemeliharaan, serta menentukan dan mengatur hubunganhubungan antara orang per orang, dan atau perbuatan hukum’ atas
hak miliknya ini? Jika hal yang demikian yang terjadi, bukankah ini
berarti ‘jeruk menanam jeruk’?
o Merujuk pada pengaturan pada Pasal 33 (1), jawabannya adalah
dapat. Pertanyaan selanjutnya, sebagaimana akan dibahas lebih
25 http://fauzie.weblog.esaunggul.ac.id/2015/05/29/hak-milik-berdasarkan-undang-undang-
nomor-5-tahun-1960-uupa/
26 Frasa ini sesuai dengan tujuan diaturnya kewenangan keistimewaan DIY sebagaimana diatur
pada Pasal 4 huruf g.
16
lanjut dalam bagian berikut, apakah Kesultanan dan Kadipaten
sebagaii badan hukum privat bisa memiliki kewenangankewenangan yang bersifat public?
-
Kesultanan dan kadipaten sebagai badan hukum
o Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud
dengan “badan hukum” adalah badan hukum khusus bagi
Kasultanan dan Kadipaten, yang dibentuk berdasarkan UndangUndang ini.”
o Tidak terlalu jelas benar apa arti ‘bdan hukum khusus’ itu.
Demikian pula, tidak terlalu jelas pula apakah bdan hukum
dimaksud badan hukum yang bersifat publik atau privat. Namun,
jika dikaitkan dengan pernyataan pada Pasal 31 (2), di mana
kesultanan dan kadipaten adalah subyek hukum yang memiliki
hak milik, maka dapat ditafsir bahwa badan hukum yang
dimaksudkan adalah badan hukum privat, yang mengambil alih
kewenangan Pemprov. DIY sebagai badan hukum publik yang akan
mengurus kewenangan keistimewaan atas tanah (Pasal 7 (2)
melalui perumusan norma pada Pasal 32 (1).
o Pertanyaan selanjutnya, apakah badan hukum privat itu dapat
menyelenggarakan kewenangan publik atas tanah-tanah sultanaat
grond dan Pakualamanaat grond, sebagaimana telah dijelaskan di
atas, tanah ulayat yang bersifat publik itu?
o Kalaupun secara hukum pembentukan badan hukum dapat
dilakukan/dibenarkan oleh sebuah UU, sebagaimana halnya UU
13/2012 ini, akan terdapat konflik norma antara pasal 7 (2)
dengan pasal 32 (1) ini. Konflik ini bisa menimbulkan kekacauan
hukum yang bermuara pada ketidakpastian hak yang potensial
berkembang menjadi sumber ketidakadilan bagi pihak-pihak
tertentu.
o Konflik norma akan terus berlanjut jika dikaitkan dengan
pengaturan pada pasal 32 (2) dan (3) di mana dikatakan bahwa
Kesultanan dan Kasipaten adalah badan hukum yang mempunyai
hak milik (yang sejatinya bersifat privat). Pengaturan yang
17
demikian itu bisa bermasalah, pertama, mirip dengan konsepsi
penguasaan tanah secara feodalistik; atau kedua, kesultanan dan
kadipaten akan melampaui kewenangannya sebagai lembaga
privat dengan menyelenggarakan sejumlah kewenangan yang
bersifat publik (sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 32 (3) yang
seharusnya – atau dimaksudkan – akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi DIY sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 7
(2).
o Dengan demikian, pengaturan Pasal 32 (2), (3), dan (4) bisa
bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
mengamanatkan
pengaturan
kewenangan
dalam
urusan
pertanahan ini kepada lembaga-lembaga yang bersifat publik,27
yang kemudian, antara lain juga diterjemahkan pula ke dalam
adanya pembatasan luasan penguasaan lahan, 28 yang potensial
dilanggar oleh pengaturan yang ada pada Pasal 32 (4) yang
mengatakan bahwa “Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi tanah
keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh
kabupaten/kota dalam wilayah DIY” itu.
5. Penutup
-
Menurut saya, dengan logika bahwa kesultanan dan kadipaten
merupakan ‘Badan Hukum Warisan Budaya’ (yang sejatinya bersifat
privat dan dapat mempunyai hak milik atas tanah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku cq. pembatasan peguasaan luas lahan), maka hak
ulayat dan hak publik yang semula berada ditangan kesultanan dan
kadipaten seharusnya telah beralih ke tangan Pemprov DIY, sebagaimana
yang diamanatkan oleh Pasal 7 (2) UUK DIY 13/2012.
-
Jika tidak demikian maka kesultanan dan kadipaten sebagai Badan
Hukum Warisan Budaya akan terjerat dalam silogisme ‘jeruk makan
27 Lihat Yance Arizona, 2014. Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press.
28 Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Lahan Pertanian.
18
jeruk’ yang potensial menimbulkan ketidakadilan di wilayah administrasi
pemerintahan DIY sendiri. Keagungan kraton sebagai simbol kebudayaan
(Jawa) bisa terancam.
-
Ingin ditegaskan di sini bahwa kesultanan dan kadipaten tidak bisa lagi
bertindak sebagai lembaga publik yang dalam konteks keagrariaan
menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 ayat
3 UUD 1945 jo UUPA 5/1960 Pasal 2 (2).
-
Dalam koteks keistimewaan DIY ini maka amanat Pasal 33 ayat 3 UUD
1945 UUPA 5/1960 dijalankan oleh Pemprov DIY dan BUKAN oleh
lembaga yang menjadi bagian dari kesultanan dan kadipaten sebagai
Badan Hukum Warisan Budaya itu. Bahwa ‘lembaga pertanahan’ itu akan
diatur menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pertanahan
DIY yang akan diselenggarakan oleh Kantor Badan Petanahan Nasional
Propinsi DIY ke depan adalah hal yang boleh-boleh saja. Justru di sanalah
letak keistimewaan urusan pertanahan DIY ke depan diletakkan.
-
Hal yang demikian sesuai dengan prinsip desentralisasi asimetris yang
telah membuka ruang keistimewaan bagi DIY dan sekaligus
mengindarkan DIY dari tudingan-tudingan negarif tentang ‘ada negara
dalam negara’ dan/atau kembalinya sistem feodalisme ke dalam tatanan
republik yang menjadi cita-cita kemerdekaan RI, dan sekaligus
bertentangan dengan tujuan pengaturan keistimewaan DIY sendiri,
sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4 huruf g itu.***
19
Catatan Awal dari Perspektif Pengakuan Hak-hak Masyarakat (Hukum)
Adat di Indonesia1
Oleh:
R. Yando Zakaria2
1. Konteks
Pada masa-masa awal berdirinya Indonesia ada kesepahaman yang amat kuat
bahwa Negara-bangsa Indonesia yang baru itu tidak dilandaskan pada
kebesaran-kebesaran Kerajaan Nusantara yang pernah ada, karena menurut Mr.
M. Yamin, kesemuanya masih bersifat etats patrimonies (Negara berdasarkan
keturunan) ataupun etats puissances (Negara atas dasar kekuasaan semata). “…
Kita tidak mabuk dengan hiburan menyembah kerajaan-kerajaan seribu satu
malam atau bertanam pohon beringin di atas awan, melainkan melihat kepada
peradaban yang memberi tenaga yang nyata dan kekuatan yang maha dahsyat
untuk menyusun negara bagian bawah. Dari peradaban rakyat zaman sekarang,
dan dari susunan Negara Hukum Adat bagian bawahan, dari sanalah kita
mengumpulkan dan mengumpulkan sari-sari tata negara yang sebetul-betulnya
dapat menjadi dasar Negara,” ujar Mr. M. Yamin.3
Pada kesempatan lain Mr. M. Yamin mengatakan bahwa “… Kesanggupan dan
kecakapan Bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak tanah yang
semenjak beribu-ribu tahun menjadi dasar negara dan rakyat murba, dapat
diperhatikan pada susunan persekutuan hukum pada susunan persekutuan
hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 nagari di Minangkabau, susunan
Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di
1 Bahan bacaan yang disampaikan pada diskusi bertajuk “Lemahmu udu duwekmu – Mengurai
Hak Milik Atas Tanah, Perspektif Warga DIY”. Diselenggarakan oleh Jogya Darurat Agraria!
Yogyakarta, 20 September 2016.
2 Praktisi Antropologi. Pemerhati gerakan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat
adat. Fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA). Berdomisili di Yogyakarta.
Email: [email protected] ; miniblog: https://independent.academia.edu/YandoZakaria
3 Periksalah Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persipan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1995. Seluruh kutipan terkait sidang-sidang BPUPKI dan PPKI bersumber dari
dukumen ini.
1
Minahasa, dan lain-lain sebagainya. … Susunan persekutuan yang mengagumkan
pada garis-garis besar tak rusak dan begitu kuat sehingga tak dapat diruntuhkan
oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme, dan pengaruh Eropa. Desa tinggal
desa dan susunan memang dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia
berubah-ubah, dan berbeda-beda…”
Singkat kata, dalam konteks pengaturan hak-hak politik antara negara baru
dengan entitas-entitas sosial-politik yang ada sebelumnya, para pendiri negara
ini telah bersepakat sedemikian rupa, sebagaimana yang direpresentasikan ke
dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen). Pada pasal itu tertulis:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.”
Pada Bagian Penjelasan, khsususnya angka Romawi II, dikatakan pula bahwa:
“Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landchappen4 dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nageri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah
itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai
daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
Namun, bagaimana amanat Pasal 18 itu diimplementasikan sangat tergantung
pada iklim politik semasa yang pada akhirnya berdampak pada corak
berhubungan Pusat dan Daerah. Keistimewaan seperti apa yang dimaksudkan
4 Salah satunya adalah Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dengan daerah swaparja yang lain,
Kesultanan Yogyakarta tidak diatur dengan ordonnantie (undang-undang) melaikan diatur dalam
sebuah perjanjian antara Gubernur Jenderal Belanda dan Sri Sultan. Parjanjian ini dinamakan
politiek-contract. Politiek-contract yang terkahir sebelum proklamasi RI adalah politiek-contract
antara Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan Gubernur Jenderal Belanda yang ditandatangani
pada 18 Maret 1940 (stb tahun 1941 No. 47) (KPH MR. Soedarisman Poerwokoesoemo, 1984.
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Hal. 3 – 4). Lihat Juga
MR. Usep Ranawidjaja, 1955. Swapradja. Sekarang dan Dihari kKemudian. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
2
tidak jelas pula.5 Oleh karena itulah, ketika angin reformasi bergulir, salah satu
agenda politik Nasional adalah melakukan amandemen atas Pasal 18 itu. Agenda
itu terlaksana pada proses amandemen kedua pada tahun 2000. Proses
amandemen itu kemudian memilah Pasal 18 (lama) ke dalam 3 (tiga) pasal baru,
berikut beberapa ayat baru yang menyertainya. Masing-masing adalah Pasal 18
(baru), Pasal 18A, dan Pasal 18B.
Salah satu makna pemilahan ini adalah menegaskan perbedaan makna
keistimewaan antara “desa” dan “daerah” yang lebih besar (supradesa) dalam
bingkai penyelenggaraan hubungan sistem pemerintahan secara Nasional. Pada
Pasal 18B (1) dinyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan Undang-undang.” Sementara pada Pasal 18B ayat (2) dinyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”
Dengan kata lain, Pasal 18B (1) menyangkut penyelenggaraan pemerintahan
daerah secara istimewa atau yang bersifat khusus, sebagaimana yang terwujud
ke dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan juga undang-undang tentang Pemerintahan Propinsi Aceh dan
Papua. Sementara Pasal 18B (2), walaupun tercantum pada Bab VI tentang
Pemerintahan Daerah, adalah tentang pengakuan atas hak-hak masyarakat
hukum adat secara lebih menyeluruh, 6 termasuk dalam menyelenggarakan
pemerintahan Nasional, pada tingkat yang lebih rendah dari Pemerintahan
Daerah.7
Meskipun secara sekilas keduanya seolah menunjukkan adanya kesamaan
(sebagai unit pemerintahan yang harus diperlakukan secara istimewa),
5 Lihat Benyamin Hoessein, 1993. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Brsarnya Otonomi Daerah
Tingkat II. Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dar Segi Ilmu Administrasi Negara.
Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
6 Termasuk tanah, sebagaimana yang termaktub pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35
Tahun 2012.
7 Sebagaimana yang kemudian terjabarkan ke dalam nomenklatur desa adat sebagaimana yang
diatur oleh UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
3
keduanya juga mengandung sejumlah perbedaan. Di samping berbeda dalam
konteks besar-kecilnya wilayah, dalam konteks sebagai subyek hukum atas
tanah, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian-bagian
berikut, keduanya juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
2. Keistimewaan Yogyakarta
Pasca-proklamasi 17 Agustus 1945, untuk melaksanakan perintah Pasal 18
(sebelum amanemen), disusunlah UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 1 (2) disebutkan bahwa “Daerah-daerah yang
mempunyai hak-hak, asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia
mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undangundang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai
Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.” Atas dasar pasal ini,
dengan mengingat pasal 5 ajat (1), pasal 20 ajat (1), pasal IV Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar, Maklumat Wakil Presiden tanggal 10 Oktober 1945 No. X,
ditetapkanlah UU No. 3 jo 19 1950 tentang Pembentukan Daerah stimewa
Yogyakarta.
UU yang membentuk Daerah Istimewa Yogykarta ini terhitung sangat singkat.
Hanya terdiri dari 3 BAB (Peraturan Umum, Tentang Urusan Rumahtangga
Daerah Istimewa Yogyakarta; dan Peraturan Penutup); dan 7 pasal yang disertai
12 ayat). Beberapa pasal yang penting dalam diskusi kita tentang ‘masalah
pertanahan dan Keistimewaan DIY’ ini adalah sebagai berikut:
-
Pasal 1 (1): “Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan
daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta”:
o Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1958 wilayah DIY ini
diperlebar mencakup daerah-enclave Kasusunan di Kabupaten
Bantul dan daerah-enclave Mangkunegaranan di Kabupaten
Gunung Kidul (Poerwokoesoemo, 1984: 1 – 2).
-
Pasal 4 ayat (1), butir III: urusan rumahtangga yang diserahkan ke DIY
termasuk ‘Urusan Agraria’;
4
-
Pasal 4 (4) : “Urusan-urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban
lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) diatas, jang dikerdjakan oleh
Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut Undang-undang
ini, dilandjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undang-undang.”
-
Yang menarik, tidak ada satupun pasal atau ayat yang menghubungkan
Pemerintahan Daerah Propinsi DIY ini dengan kraton, kecuali pasal 1 ayat
1 di atas. Dengan begitu, penyelenggaraan pemerintahan relatif berjalan
‘menurut atau sesuai dengan tradisi’.
Dalam pada itu, pada tahun 1957, diundangkan pula Undang-Undang Nomor 1
Tahin 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UU
22/1948. Pada Intinya, daerah-daerah swapraja yang disebutkan pada Pasal 18
sebelum amandemen dibubarkan. Namun, beberapa diantaranya dikecualikan
karena sudah diatur dalam berbagai peratuan perundang-undangan yang
(masih) berlaku. Antara lain adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dibentuk
berdasarkan UU No. 3 jo 19 Tahun 1950; yang saat ini ‘diperbaharui’ melalui
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (UU 13/2012).
UU 13/2012 ini dibandingkan dengan UU sebelumnya terhitung panjang,
meliputi XVI BAB; 51 pasal; dan didukung oleh tidak kurang dari 70 ayat.
Berbeda dengan UU 3/1950 sebelumnya, pada UU 13/12 ini hubungan antara
berbagai kewenangan (pemerintahan) dengan peran kraton (sebagai ‘lembaga
warisan budaya’) seperti menjadi tujuan utamanya. Beberapa pasal (dan ayat)
penting dalam diskusi kita adalah sebagai berikut:
-
Pasal 1 (3): “Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu
yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tentang pemerintahan daerah.”
-
Pasal 1 (4): “Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut
Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara
turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing
5
Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya
disebut Sultan Hamengku Buwono.”
-
Pasal 1 (5): “Kadipaten Pakualaman, selanjutnya disebut Kadipaten,
adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun
dan dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam,
selanjutnya disebut Adipati Paku Alam.”
-
Pasal 4, huruf g.: Pengaturan Keistimewaan DIY dilaksanakan
berdasarkan asas pendayagunaan kearifan lokal.8
-
Pasal 5 (1), huruf e.: Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk
“melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten
dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta (cetak miring
ditambahkan)9 yang merupakan warisan budaya bangsa.”
-
Pasal 5 (6): “Pelembagaan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan
Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang
merupakan warisan budaya bangsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e. diwujudkan melalui pemeliharaan, pendayagunaan, serta
pengembangan dan penguatan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi
luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY (cetak miring
ditambahkan).”10
-
Pasal 7 (2), huruf d.: Kewenangan dalam urusan Keistimewaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertanahan.
-
Terkait urusan pertanahan, UU Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta mengatur bahwa:
o Pasal 32:
8 Pada bagian Penjelasan dinyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “asas pendayagunaan
kearifan lokal” adalah menjaga integritas Indonesia sebagai suatu kesatuan sosial, politik,
ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, serta pengakuan dan peneguhan peran Kasultanan
dan Kadipaten tidak dilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilai dan praktik feodalisme,
melainkan sebagai upaya menghormati, menjaga, dan mendayagunakan kearifan lokal yang telah
mengakar dalam kehidupan sosial dan politik di Yogyakarta dalam konteks kekinian dan masa
depan.”
9 Pertanyaannya adalah apakah hal ini berkorelasi langsung dengan pengaturan tanah di
Yogyakarta sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 32 dan Pasal 33? Penjelasan untuk pasal
ini, yang mengatakan ‘cukup jelas’, tidak memeberikan indikasi apapun.
10 Apakah frasa ini juga berkorelasi langsung dengan pengaturan tanah sebagaimana yang diatur
pada Pasal 32 dan Pasal 33? Penjelasan untuk pasal ini, yang mengatakan ‘cukup jelas’, tidak
memeberikan indikasi apapun.
6
(1) Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan
Kadipaten dengan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai
badan hukum (cetak miring ditambahkan).11
(2) Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang
mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan (cetak miring
ditambahkan).12
(3) Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang
mempunyai hak milik atas tanah Kadipaten (cetak miring
ditambahkan).13
(4) Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi tanah keprabon dan tanah
bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota
dalam wilayah DIY.14
(5) Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan
memanfaatkan tanah (cetak miring ditambahkan) Kasultanan
dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya
pengembangan
kebudayaan,
kepentingan
sosial,
dan
kesejahteraan masyarakat.
o Pasal 33
(1) Hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3)
11 Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah
badan hukum khusus bagi Kasultanan dan Kadipaten, yang dibentuk berdasarkan UndangUndang ini.” Tidak terlalu jelas benar apakah badan hukum ini bersifat public atau privat.
Namun, jika dikaitkan dengan pernyataan pada Pasal 31 (2), di mana kesultanan dan kadipaten
adalah subyek hukum yang memiliki hak milik, maka dapat dutafsir bahwa badan hukum yang
dimaksudkan adalah badan hukum privat, yang mengambil alih kewenangan Pemprov. DIY
sebagai badan hukum publik yang akan mengurus kewenangan keistimewaan atas tanah (Pasal 7
(2).
12 Dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “tanah Kasultanan
(Sultanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik Kasultanan.”
13 Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “tanah Kadipaten
(Pakualamanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik Kadipaten”.
14 Dalam bagian Penjelasan dinyatakan bahwa “Tanah keprabon adalah tanah yang digunakan
untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti Pagelaran, Kraton, Sripanganti, tanah untuk
makam Raja dan kerabatnya (di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari,
pesanggrahan, dan petilasan. Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah
yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus,
rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.”
7
didaftarkan pada lembaga pertanahan (cetak miring
ditambahkan).15
(2) Pendaftaran hak atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (cetak miring
ditambahkan).16
(3) Pendaftaran atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh
pihak lain wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari
Kasultanan untuk tanah Kasultanan (baca: melaksanakan
kewenangan publik?) dan persetujuan tertulis dari Kadipaten
untuk tanah Kadipaten (cetak miring ditambahkan).17
(4) Pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah
Kadipaten oleh pihak lain harus mendapatkan izin persetujuan
Kasultanan untuk tanah Kasultanan dan izin persetujuan
Kadipaten untuk tanah Kadipaten (baca: melaksanakan
kewenangan publik?) (cetak miring ditambahkan).
-
Maka, apabila Kesultanan dan Kadipaten saat ini adalah lembaga adat cq.
badan hukum yang bersifat privat, pertanyaannya adalah apakah bisa
menjalankan kewenangan sebagaimana yang diatur dalam:
o Pasal 33 ayat 3: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara (cetak miring ditambahkan) dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”; yang
kemudian diterjemahkan oleh UUPA 5/1960 melalui pengaturan:
o Pasal 2 (4): “hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya
dapat
dikuasakan
kepada
Daerah-daerah
Swantara dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
15 Dalam bagian Penjelasan dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “lembaga pertanahan”
adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang menangani bidang pertanahan”. Itu artinya
adalah ………….
16 Peraturan perundang-undangan yang mana pula yang dimaksudkan oleh pasal ini? Dalam
bagian Penjelasan disebutkan ‘Cukup jelas”.
17 Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah
perseorangan, badan hukum, badan usaha, dan badan sosial yang mengelola dan memanfaatkan
tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten”.
8
Menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah” (cetak
miring ditambahkan).
-
Jika kesultanan dan kadipaten telah menjelma sebagai badan hukum
privat, pertanyaan selanjutnya adalah lembaga dan/atau badan hukum
mana yang menjalankah hak-hak publik dari kesultanan dan kadipaten
sebelumnya?
3. Masalah pertanahan dan Keistimewaan Yogya
Sebelum membahas masalah pertanahan dalam konteks keistimewaan DIY ini
lebih lanjut, terlebih dulu dirasa perlu untuk melihat beberapa pasal/ayat
pengaturan masalah agrarin sebagaimana yang tercantum dalam UndangUndang Nomo5 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 5/1960).
Beberapa pokok pengaturan yang penting adalah sebagai berikut:
Pasal IX, KEEMPAT:
-
Huruf A: “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari
Swapraja atau bekas swa-praja yang masih ada pada waktu mulai
berlakuknya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara”;
-
Huruf B: “Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam Hurf A di
atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”;
-
Pertanyaannya:
o Apakah sudah ada PP dimaksud? à Melalui beberapa generasi
peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah
berbagai daerah swapraja itu sudah berubah status menjadi
propinsi dan/atau kabupaten/kota.
o Apakah ini juga sekaligus membatalkan amanat UU 3/1950,
khusus Pasal 4 (1) butir III, sebagaimana yang dimungkinkan oleh
Pasal 4 ayat 4 sebagaimana telah dikutipkan di atas?
o Yang jelas, pada tahun 1984 keluar Keputusan Presiden No. 33
Tahun 1984, yang disusul oleh Keputusan Menteri Dalam Neger
No. 66/1984 dan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Yogykarta No. 3 Tahun 1984 tentan Pemberlakuan UUPA secara
9
penuh di DIY (dan penghapusan Rijksblad-Rijskblad pertanahan d
Yogyakarta).
Namun harus diingat pula bahwa, dalam pasal dan ayat yang lain, UUPA 5/1960
juga mengatur hal-hal berikut:
-
Pasal 2 (1): “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Desar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat”.
-
Pasal 2 (2): Hak Menguasai Negara termasuk dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk:
o mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
o menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa;
o menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
buni, air dan ruang angkasa.
-
Pasal 2 (4): “hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swantara (sebagaimana diatur
dalam UU 1/1957, pen.) dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”.
-
Pasal 3: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat (cetak miring oleh penulis), sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
10
-
Pasal 5: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat (cetak miring oleh penulis), sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
parturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
4. Beberapa kata/frasa kunci dan problema yang dikandungnya
-
DIY sebagai Daerah swatantra
o Sebagai daerah swatantra DIY berhak untuk mengatur dan
mengurus urusan agrarian. Ketentuan ini masih dalam koridor
pengaturan Pasal 33 (3) UUD 1945.
-
Kesultanan dan Kadipaten sebagai masyarakat hukum adat
o Apakah Kesultanan dan Kadipaten dapat disebut sebagai
‘masyarakat
hukum
adat’,
misalnya
sebagaimana
yang
dimaksudkan oleh UUPA Pasal 2 ayat 4?
o Beberapa ahli berpandangan bahwa kraton/kerajaan-kerajaan
nusantara adalah bagian dari apa yang disebut ‘masyarakat hukum
adat’ itu.
o Namun, umumnya para ahli -- dan juga konstitusi -- berpendapat
sebaliknya. Terma ‘masyarakat hukum adat’ hanya merujuk pada
entitas sosial yang disebut sebagai ‘desa atau disebut dengan nama
lain’. Keberadaan kerajaan-kerajaan Nusantara itu hampir tidak
pernah dirujuk sebagai bentuk dari apa yang disebut sebagai
‘kesatuan masyarakat hukum adat itu’ (Zakaria, 2012).18
o Dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan MK
No. 06/PMK/2005, ditentukan bahwa “Pemohon adalah pihak
18 Lihat R. Yando Zakaria, 2012. “Makna Amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 bagi
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada
Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan
tema “Negara Hukum ke Mana Akan Melangkah?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9-10
Oktober 2012.
11
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan
warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang; (c) badan hukum publik atau privat;
atau (d) lembaga negara.” Berdasarkan ketentuan ini maka, dari
lima kemungkinan yang ada, kemungkinan status hukum yang
paling dekat dengan rumusan-rumusan tentang keberadaan
kesultanan dan kadipaten adalah badan hukum privat.
-
Hak ulayat atau hak-hak yang serupa itu
o Apakah sultanaat grond dan Pakualamanaat grond itu dapat
disebut sebagai (hak) ulayat?
o Boleh jadi begitulah adanya. Jika sultanaat grond dan
pakualamanaat grond itu dapat ditafsir sebagai hak ulayat maka
pengaturan Pasal 32 (2) dan (3) yang mengatakan kesultanan dan
kadipaten adalah subyek hukum yang memiliki hak milik itu
tidaklah tepat. Karena, sultanaat grond dan pakualamanaat grond
sebagai hak ulayat itu mengandaikan adanya suatu otoritas publik
yang
memiliki
kewenangan
‘untuk
mengatur
dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, pemeliharaan, serta
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang per
orang, dan atau perbuatan hukum’ atas ulayat dimaksud.
o Ulayat bukanlah hak (perdata), melainkan otoritas dan/atau
kewenangan dari suatu entitas politik yang berdaulatan,
sebagaimana yang dimaksudkan dengan ‘hak menguasai negara’,
misalnya (Soesangobeng, 2012).19 Oleh karena itulah, atas tanahtanah sultanaat grond dan pakualamanaat grond sebagai hak
ulayat itu, dapat diterbitkan berbagai hak magersari, ngindung,
dan sejenisnya.
19 Lihat Heman Soesangobeng, 2012. Filosopi, Azas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria.
Yogyakarta: STPN Press.
12
-
Tentang Hak asal-usul
o Konsepsi hak asal-usul untuk pertama kali muncul dalam wacana
hukum tata negara RI adalah pada Pasal 18 (sebelum
amandemen). Meski kemudian menjadi konsep sentral dalam
mengembangkan dan/atau membagi kewenangan pemerintahan,
konsep ini tidak banyak dibahas para ahli, misalnya, jika
dibandingkan dengan konsepsi tentang ‘pembagian daerah yang
besar dan kecil’ cq ‘hak istimewa’, serta keberadaan ‘susunan asli’.
Bahkan, pasca-amandemen Pasal 18, konsepsi hak asal-usul ini
tidak digunakan lagi.
o Apa makna hak asal usul ini sebenarnya? Sejauh yang penulis tahu,
belum ada literatur yang secara khusus membahas hal ini. Penulis
sendiri, dalam konteks memaknai ‘otonomi desa’ sebagaimana
yang dimaksudkan oleh Pasal 18 (sebelum amandemen) dan
kemudian Pasal 18B (2), pertama-tama hak asal usul ini terkait
pada frasa susunan asli. Susunan asli sendiri merujuk pada ‘sistem
kelembagaan, tatanan hak dan kewajiban yang khas, yang berbeda
dengan wujud kelembagaan, tatanan hak dan kewajiban yang
berada di luar daerah atau kesatuan masyrakat hukum adat yang
dimaksud (Zakaria, 2000: 205 – 206).20
o Dalam rangka memperjelas maksud hak asal usul itu, pada
tahapan selanjutnya, Zakaria (2010: 42 – 43)21 menggunakan pula
dikotomi hak bawaan dan hak berian sebagaimana yang
20 Lihat R. Yando Zakaria, 2004. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di BAwah Orde Baru. Jakarta:
ELSAM. Seperti halnya konsepsi tentang hak asal usul, konsepsi susunan asli itu juga menghilang
dari pengaturan pasal-pasal hasil amandemen Pasal 18. Sebagai gantinya, sebagaimana diatur
pada Pasal 18 (1), langsung disebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang.” Dalam menghargai kekhususan dan keragaman antar daerah cq. desentralisasi
asimeteris, pada Pasal 18A (1) diatur pula bahwa “Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.”
21 Lihat R. Yando Zakaria, 2010. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya
Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama dan
KARSA. Khususnya pada Bab 4.
13
dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha (2000).22 Hak berian adalah
hak yang diperoleh dari pemberian dari otoritas (politik dan
hukum) yang lebih tinggi; sedangkan hak bawaan, yakni hak yang
telah tumbuh berkembang dan terpelihara oleh suatu
kelembagaan (institution) yang mengurus rumahtangganya
sendiri. Dari konsepsi yang demikian makna hak asal usul dapat
dikatakan mendekati makna hak bawaan.
o Uniknya, meski tidak disebut sama sekali dalam pasal-pasal hasil
amandemen Pasal 18, termasuk pada pada Pasal 18B (1) yang
mengatur tentang ‘pemerintahan yang bersifat istimewa’ itu,
konsepsi hak asal usul ini justru muncul (kembali) pada Pasal 4
huruf a, yang menjelaskan bahwa pengaturan keistimewaan DIY
dilaksanakan berdasarkan asas pengakuan atas hak asal-usul.
Dalam bagian Penjelasan untuk Pasal 4 hurf a itu disebutkan
bahwa “Yang dimaksud dengan “asas pengakuan atas hak asalusul” adalah bentuk penghargaan dan penghormatan negara atas
pernyataan berintegrasinya Kasultanan dan Kadipaten ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi bagian
wilayah setingkat provinsi dengan status istimewa”. Apa makna
hakiki dari hak asal usul itu sendiri justru tidak/belum dijelaskan
sama sekali.
o Namun, berbeda dengan entitas yang lain, sebagaimana yang
disebutkan pada Pasal 18B (2), muncul konsep ‘hak-hak
tradisonal’. Itupun hanya terdapat pada Pasal 18B (2), dan tidak
pada pasal-pasal hasil amandemen Pasal 18 lainnya. Perubahan ini
sebenarnya menimbulkan konsekwensi tertentu, dalam arti
melemahnya maka pengakuan atas hak-hak yang semula disebut
sebagai ‘hak asal usul’ itu. 23 Oleh sebab itu, konsepsi ini
dimunculkan kembali sebagai padanan dan/atau penjelas bagi
22 Taliziduhu Ndraha, 200o. “Desa Masa Depan, Gars Depan Demokrasi”, dalam Angger Jati
Wijaya, et.al., 2000. Reformasi Tata Pemerintahan Desa menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, bekerjasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY.
23 Lihat R. Yando Zakaria, 2010. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya
Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama dan
KARSA. Khususnya pada Bab 4.
14
hak-hak tradisional yang dimiliki oleh kesatuan masyarakat
hukum adat di dalam perumusan kewenangan desa sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(UU 6/2014).24
o Di dalam UU 6/2014 hak asal usul usul didefenisikan sebagai ‘hak
yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa
atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan
kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat
adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta
kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa (Penjelasan untuk
Pasal 19 huruf a, UU 6/2014).
o Dengan penjelasan yang demikian maka, sebagaimana akan
dibahas lebih jauh pada bagia-bagian berikut, boleh jadi, Sultanaat
Grond dan pakualamanaat grond adalah salah satu wujud hak asal
usul itu. Masalahnya, dengan telah berubahnya posisi hukum
susunan asli (baca: Kesultanan Ngayogyakarto Hadinigrat dan
Kadipaten Pakualaman) sebagai pemangku hak Sultanaat Grond
dan pakualamanaat grond itu, yang semula berupa badan hukum
yang bersifat publik menjadi badan hukum privat maka ketentuan
sebagaimana yang dimaksudkan pada Pasal 32 dan Pasal 33
menjadi problematik.
-
Hak milik (oleh Kesultanan dan Kadipaten)
o Terkait dengan hal ini, Penjelasan untuk Pasal 32 ayat (2)
mengatakan: “Yang dimaksud dengan “tanah Kasultanan
(Sultanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah
milik Kasultanan. Sedangkan untuk Pasal 32 (3) dikatakan bahwa
“Yang dimaksud dengan “tanah Kadipaten (Pakualamanaat
Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik
Kadipaten.” Jadi, sama sekali tidak menjelaskan makna hak milik
24 Lihat, misalnya, Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria, 2012. Menggagas ‘RUU Desa atau
disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia: Pandangan dan Usulan Lingkar untuk
Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang diajukan oleh
Pemerintah Tahun 2012, yang Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum yang
diselenggarakan Panitia Khusus (Pansus) RUU Desa DPR RI, Jakarta, tanggal 20 Juni 2012.
15
itu sendiri: apakah hak milik yang dimaksud merujuk pada
pengertian ulayat sebagaimana telah dijelaskan di atas, atau hak
milik sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 16 jo Pasal 20
UUPA 5/1960?25
o Mencermati pengaturan pada Pasal 33 maka patut diduga
konsepsi hak milik yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang
diatur pada Pasal 20 (1) UUPA 5/1960 di mana hak milik
didefenisikan sebagai “hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, 26 dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 (semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, pen.)”.
o Namun, harus segera dicatatan bahwa ciri lain dari hak milik ini,
jika dibandingkan dengan (hak) ulayat adalah, sebagaimana diatur
pada Pasal 20 (2), adalah bahwa ‘hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain”. Pertanyaan lanjutannya adalah
apakah benar Sultanaat Grond dan pakualamanaat grond sebagai
hak milik (yang bersifat privat) itu akan disisihkan menjadi hakhak lain yang diberikan kepada pihak lain? Jika ini dimungkinkan
maka azas ‘pendayagunaan keraifan lokal’, sebagaimana diatur
pada Pasal 4 huruf g. tidak akan tercapai.
o Jika konsepsi UUPA 1960 yang akan digunakan maka
pertanyaanya adalah apakah Kesultanan dan Kadipaten sebagai
subyek hak atas hak milik itu memiliki kewenangan ‘untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
pemeliharaan, serta menentukan dan mengatur hubunganhubungan antara orang per orang, dan atau perbuatan hukum’ atas
hak miliknya ini? Jika hal yang demikian yang terjadi, bukankah ini
berarti ‘jeruk menanam jeruk’?
o Merujuk pada pengaturan pada Pasal 33 (1), jawabannya adalah
dapat. Pertanyaan selanjutnya, sebagaimana akan dibahas lebih
25 http://fauzie.weblog.esaunggul.ac.id/2015/05/29/hak-milik-berdasarkan-undang-undang-
nomor-5-tahun-1960-uupa/
26 Frasa ini sesuai dengan tujuan diaturnya kewenangan keistimewaan DIY sebagaimana diatur
pada Pasal 4 huruf g.
16
lanjut dalam bagian berikut, apakah Kesultanan dan Kadipaten
sebagaii badan hukum privat bisa memiliki kewenangankewenangan yang bersifat public?
-
Kesultanan dan kadipaten sebagai badan hukum
o Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa “Yang dimaksud
dengan “badan hukum” adalah badan hukum khusus bagi
Kasultanan dan Kadipaten, yang dibentuk berdasarkan UndangUndang ini.”
o Tidak terlalu jelas benar apa arti ‘bdan hukum khusus’ itu.
Demikian pula, tidak terlalu jelas pula apakah bdan hukum
dimaksud badan hukum yang bersifat publik atau privat. Namun,
jika dikaitkan dengan pernyataan pada Pasal 31 (2), di mana
kesultanan dan kadipaten adalah subyek hukum yang memiliki
hak milik, maka dapat ditafsir bahwa badan hukum yang
dimaksudkan adalah badan hukum privat, yang mengambil alih
kewenangan Pemprov. DIY sebagai badan hukum publik yang akan
mengurus kewenangan keistimewaan atas tanah (Pasal 7 (2)
melalui perumusan norma pada Pasal 32 (1).
o Pertanyaan selanjutnya, apakah badan hukum privat itu dapat
menyelenggarakan kewenangan publik atas tanah-tanah sultanaat
grond dan Pakualamanaat grond, sebagaimana telah dijelaskan di
atas, tanah ulayat yang bersifat publik itu?
o Kalaupun secara hukum pembentukan badan hukum dapat
dilakukan/dibenarkan oleh sebuah UU, sebagaimana halnya UU
13/2012 ini, akan terdapat konflik norma antara pasal 7 (2)
dengan pasal 32 (1) ini. Konflik ini bisa menimbulkan kekacauan
hukum yang bermuara pada ketidakpastian hak yang potensial
berkembang menjadi sumber ketidakadilan bagi pihak-pihak
tertentu.
o Konflik norma akan terus berlanjut jika dikaitkan dengan
pengaturan pada pasal 32 (2) dan (3) di mana dikatakan bahwa
Kesultanan dan Kasipaten adalah badan hukum yang mempunyai
hak milik (yang sejatinya bersifat privat). Pengaturan yang
17
demikian itu bisa bermasalah, pertama, mirip dengan konsepsi
penguasaan tanah secara feodalistik; atau kedua, kesultanan dan
kadipaten akan melampaui kewenangannya sebagai lembaga
privat dengan menyelenggarakan sejumlah kewenangan yang
bersifat publik (sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 32 (3) yang
seharusnya – atau dimaksudkan – akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi DIY sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 7
(2).
o Dengan demikian, pengaturan Pasal 32 (2), (3), dan (4) bisa
bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
mengamanatkan
pengaturan
kewenangan
dalam
urusan
pertanahan ini kepada lembaga-lembaga yang bersifat publik,27
yang kemudian, antara lain juga diterjemahkan pula ke dalam
adanya pembatasan luasan penguasaan lahan, 28 yang potensial
dilanggar oleh pengaturan yang ada pada Pasal 32 (4) yang
mengatakan bahwa “Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi tanah
keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh
kabupaten/kota dalam wilayah DIY” itu.
5. Penutup
-
Menurut saya, dengan logika bahwa kesultanan dan kadipaten
merupakan ‘Badan Hukum Warisan Budaya’ (yang sejatinya bersifat
privat dan dapat mempunyai hak milik atas tanah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku cq. pembatasan peguasaan luas lahan), maka hak
ulayat dan hak publik yang semula berada ditangan kesultanan dan
kadipaten seharusnya telah beralih ke tangan Pemprov DIY, sebagaimana
yang diamanatkan oleh Pasal 7 (2) UUK DIY 13/2012.
-
Jika tidak demikian maka kesultanan dan kadipaten sebagai Badan
Hukum Warisan Budaya akan terjerat dalam silogisme ‘jeruk makan
27 Lihat Yance Arizona, 2014. Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press.
28 Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Lahan Pertanian.
18
jeruk’ yang potensial menimbulkan ketidakadilan di wilayah administrasi
pemerintahan DIY sendiri. Keagungan kraton sebagai simbol kebudayaan
(Jawa) bisa terancam.
-
Ingin ditegaskan di sini bahwa kesultanan dan kadipaten tidak bisa lagi
bertindak sebagai lembaga publik yang dalam konteks keagrariaan
menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 ayat
3 UUD 1945 jo UUPA 5/1960 Pasal 2 (2).
-
Dalam koteks keistimewaan DIY ini maka amanat Pasal 33 ayat 3 UUD
1945 UUPA 5/1960 dijalankan oleh Pemprov DIY dan BUKAN oleh
lembaga yang menjadi bagian dari kesultanan dan kadipaten sebagai
Badan Hukum Warisan Budaya itu. Bahwa ‘lembaga pertanahan’ itu akan
diatur menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pertanahan
DIY yang akan diselenggarakan oleh Kantor Badan Petanahan Nasional
Propinsi DIY ke depan adalah hal yang boleh-boleh saja. Justru di sanalah
letak keistimewaan urusan pertanahan DIY ke depan diletakkan.
-
Hal yang demikian sesuai dengan prinsip desentralisasi asimetris yang
telah membuka ruang keistimewaan bagi DIY dan sekaligus
mengindarkan DIY dari tudingan-tudingan negarif tentang ‘ada negara
dalam negara’ dan/atau kembalinya sistem feodalisme ke dalam tatanan
republik yang menjadi cita-cita kemerdekaan RI, dan sekaligus
bertentangan dengan tujuan pengaturan keistimewaan DIY sendiri,
sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4 huruf g itu.***
19