T2 092013020 BAB VII

Bab Tujuh
PLTP dan Pembangunan Berkelanjutan

Pengantar
Dalam konteks masyarakat Desa Idamdehe, isu strategis yang
menjadi kata kunci adalah partisipasi. Keikutsertaan masyarat
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh kunci sebagai penggerak dalam proses
partisipasi yang terjadi. Berkaitan dengan peran aktor sebagai
penggerak dalam proses partisipasi tersebut dapat terlihat dalam
tingkatan keikutsertaan yang terjadi di Desa Idamdehe. Awalnya
partisipasi masyarakat masih dalam tataran partisipasi pasif kemudian
berubah menjadi partisipasi dalam tataran aksi kolektif. Namun
partisipasi yang terlihat di permukaan merupakan partisipasi semu.
Seolah-olah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan
partisipasi, akan tetapi berdasarkan temuan di lapangan, kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat merupakan kegiatan mobilisasi
Sebelumnya masyarakat Desa Idamdehe sudah mengetahui
tentang adanya potensi panas bumi di desa tersebut sejak tahun 19601980an, ketika pihak ITB melakukan penelitian mengenai potensi
panas bumi di desa tersebut. Akan tetapi masyarakat desa belum
mengetahui bahwa dibalik potensi panas bumi tersebut bisa dihasilkan
energi listrik, atau sering disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga

Panas Bumi. Berdasarkan potensi panas bumi tersebut maka rencana
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi mulai masuk ke
Desa Idamdehe pada Tahun 2008-2013, proses yang dilakukan selama 5
tahun tersebut melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam kegiatankegiatan yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan juga Pemerintah
Daerah.
Pada bab ini, penulis akan membahas tentang tingkat
partisipasi dan persepsi masyarakat berdasarkan pengalaman mereka
terhadap implementasi proses pembangunan panas bumi yang di
69

lakukan oleh Pihak Perusahaan PT Star Energy Geothermal
Halmahera di Desa Idamdehe dari tahun 2008-2013 dan mendeskripsikan pembangunan berkelanjutan dalam konteks Desa Idamdehe yang
didukung oleh teori dan kajian literatur yang relevan dengan temuan
di lapangan. Alasan penulis membatasi hanya pada tataran pastisipasi
dan persepsi masyarakat karena proses pembangunan yang dilakukan
barulah pada tahap explorasi dan belum sampai pada tahapan
exploitasi/pembangunan secara fisik.

Partisipasi Dan Pembangunan Berkelanjutan
Partisipasi bukan suatu istilah yang netral. Berdasarkan

pengalaman masyarakat Desa Idamdehe dalam rencana pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, partisipasi masyarakat dalam
proses pembangunan sangat minim. Hal tersebut disebabkan
masyarakat hanya diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan yang sudah
direncanakan sebelumnya.
Untuk melihat keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan yang
sudah dilakukan maka dapat dilihat dari tabel yang disajikan di bawah
ini yang merupakan tahapan-tahapan kegiatan yang terjadi di Desa
Idamdehe, dalam proses perencanaan pembangunan PLTP yang
dilakukan oleh pihak perusahaan, yaitu:
Tabel. 7.1. Tahapan Kegiatan di Desa Idamdehe
Kegiatan/
Tahun
Survey awal (2008)
Pengambilan
keputusan (2009)
Survey implementasi
(2009-2010)

1


PP



Tahapan Kegiatan
2
3
PD1
P
PD2










Peran Aktor
dalam
Partisipasi












4

Pemerintah Pusat Kementrian (ESDM)
Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat
3 Perusahaan

4 Pemerintah Desa
5 Masyarakat Desa
1
2

70

5

MD

Kegiatan/
Tahun
Sosialisasi
2011)
Pengeboran
2012)

(2010-










Peran Aktor
dalam
Partisipasi


(2011-












1

PP

Tahapan Kegiatan
2
3
PD1
P
PD2
4

5

MD


Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sejak tahun 2008
pihak perusahaan sudah melakukan kegiatan survey awal. Dalam
survey awal masyarakat Desa Idamdehe sudah terlibat, walaupun
keterlibatan yang terjadi masih dalam tahapan partisipasi pasif. Hal ini
terjadi karena dalam proses survey hanya ± 8 orang dari masyarakat
Desa Idamdehe yang ikut terlibat dalam kegiatan ini. Dalam kegiatan
survey awal, partisipasi masyarakat sudah dipengaruhi dan diarahkan
oleh lembaga desa yang berperan sebagai aktor penggerak. Pada tahap
survey awal ini, masyarakat yang berpartisipasi masih ditunjuk oleh
Kepala Desa. Mereka yang ikut berpartisipasi dalam tahapan survey
awal belum mengetahui kegiatan apa yang hendak dilakukan di desa
tersebut. Masyarakat yang ditunjuk saat itu merupakan masyarakat
yang sedang tidak mempunyai aktivitas seperti berkebun, berladang
atau bekerja di kantor. Mereka mengikuti instruksi dari Kepala Desa
disebabkan oleh sosok Kepala Desa yang masih sangat dihormati di
Desa Idamdehe, sehingga masyarakat tidak membantah dan terlibat
dalam kegiatan tersebut.
Pada tahun 2009 pemerintah daerah dan pemerintah pusat
mengeluarkan kebijakan untuk pengelolaan panas bumi dan

melakukan tender. Namun pada tahapan ini partisipasi masyarakat
tidak dilibatkan. Pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh pihak
pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Sehingga rencana
pembangunan yang dilakukan di Desa Idamdehe masuk dalam
pendekatan Top-Down, sebab keputusan-keputusan yang diambil
hanya ditentukan oleh stakeholder yang terkait, yakni pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. Sejalan dengan tulisan Astuti dan
Hardiana (2009: 149-150), mereka menjelaskan bahwa dalam
pendekatan Top-down keputusan ditentukan oleh pemerintah,
71

penyandang dana dan para ahli (perencanaan) dengan pendekatan
pembangunan partisipatif. Dalam konteks ini partisipasi masyarakat
sebagai pemanfaat pembangunan didorong untuk terlibat dalam
intervensi yang akan mempengaruhi kehidupannya, sehingga
partisipasi yang terjadi bukan partisipasi yang secara sukarela.
Partisipasi model ini membuat masyarakat tidak mempunyai kendali
dan pengaruh terhadap proses pembangunan.
Berdasarkan tulisan yang dibuat oleh Astuti dan Hardiana

(2009), maka penulis mencoba merumuskan proses pembangunan yang
terjadi di Desa Idamdehe (proses pembangunan yang Top-down), yang
telah melibatkan beberapa stakeholder dalam proses pengambilan
keputusan, yaitu:
Pemerintah daerah

Pemerintah pusat

Masyarakat
Gambar 7.1. GAP Dalam Pengambilan Keputusan

Berdasarkan diagram di atas, dalam konteks Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi di Desa Idamdehe, terdapat tiga relasi yaitu
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Relasi yang
terjadi menunjukan bahwa di antara ketiga stakholders tersebut tidak
setara atau tumpul. Dari tiga relasi tersebut ada pembatas, Hal itu
karena dalam pengambilan keputusan hanya dilakukan pada aras
pemerintah dan perusahaan. Hal tersebut bisa di lihat dari
pengambilan keputusan untuk mengeluarkan kebijakan tentang
pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Desa Idamdehe,

serta menentukan pemenang tender yang di menangkan oleh PT
72

SEGH. Dalam dua kegiatan yang dilakukan tersebut, masyarakat tidak
diikutsertakan dan berpartisipasi. Masyarakat Idamdehe dalam hal ini
hanya menjadi objek dari pembangunan.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang tender, pada tahun 2010,
pihak Star Energy datang kembali ke Desa Idamdehe untuk melakukan
sosialisasi. Dalam kegiatan tersebut masyarakat yang hadir ingin
mengetahui lebih jauh tentang pembangkit panas bumi yang akan
dibangun di Desa Idamdehe, karena masyarakat merasa bahwa PLTP
merupakan sesuatu yang baru bagi mereka. Selain itu masyarakat ikut
terlibat dalam kegiatan, karena menganggap bahwa pembangunan
PLTP merupakan bagian dari program pemerintah. Mereka ikut
terlibat karena mengharapkan adanya perubahan yang akan terjadi,
baik secara ekonomi maupun insfrastruktur di Desa Idamdehe.
Berdasarkan motif yang diberikan kepada masyarakat, yaitu
mendapatkan keuntungan dari rencana pembangunan PLTP di Desa
Idamdehe inilah yang membuat masyarakat akhirnya bekerjasama
dalam proses kegiatan yang ada. Persepsi mereka secara tidak langsung
dibentuk berdasarkan informasi sepihak yang dipaparkan oleh pihak
Star Energy dalam kegiatan sosialisasi. Informasi yang diberikan oleh
perusahaan hanya berupa dampak positif dari pembangunan PLTP,
sedangkan dampak negatif dari pembangunan ini tidak dipaparkan.
Dalam kegiatan sosialisasi, peran aktor masih terlihat dominan dalam
mengarahkan masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan sosialisasi
dengan mengatasnamakan kepentingan bersama.
Tahapan partisipasi selanjutnya adalah tahapan partisipasi
kolaborasi dan aksi kolektif yang terjadi pada tahun 2011-2012, ketika
pihak perusahaan melakukan eksplorasi atau tahapan pengeboran
panas bumi di desa tersebut. Dalam tahapan partisipasi kolaborasi dan
aksi kolektif ini masyarakat sudah mulai bekerjasama dan
berkolaborasi dengan pihak perusahaan dalam melakukan kegiatan
pengeboran. Pada kegiatan pengeboran ini masyarakat yang ikut
berpartisiapsi dibayar sebesar ±100 ribu rupiah/ orang setiap hari.
Peran lembaga desa selaku aktor penggerak dalam pembangunan PLTP
di Desa Idamdehe juga terlihat dalam kegiatan pengeboran. Aktor
73

mengarahkan, menyampaikan dan mengulang informasi kepada
masyarakat yang belum memahami tentang PLTP, serta membuat
jadwal kerja bagi anggota masyarakat yang berhubungan dengan
pengeboran. Dalam partisipasi yang sudah dilakukan oleh masyarakat
Desa Idamdehe terdapat kesadaran semu yang dibangun oleh
pemerintah desa selaku aktor pengerak yang merupakan perpanjangan
tangan dari perusahaan. Kesadaran semu ini terlihat seolah-olah
masyarakat berpartisipasi secara sukarela dalam melakukan aksi
kolektif mereka, akan tetapi pada kenyataannya partisipasi mereka
dibentuk dan telah diprogram dengan mengatasnamakan kepentingan
bersama.
Pembangunan PLTP di desa tersebut, sejalan dengan konsep
Kerstan (dalam Nemarundwe dan Richards, 2002: 169-171) mengenai
“The Ladder Of Participation” atau biasa disebut sebagai tangga
partisipasi, aksi kolektif yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Idamdehe hanya terjadi pada tataran kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh pihak perusahaan di lapangan. Tetapi dalam tataran pengambilan
keputusan (decision making) mengenai kebijakan tentang pengelolaan
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Desa Idamdehe, serta
menentukan pemenang tender yang dimenangkan oleh PT SEGH,
masyarakat tidak dilibatkan. Jadi nampak bahwa masyarakat Desa
Idamdehe masih dianggap sebagai objek dari pembangunan khususnya
pembangunan PLTP di desa mereka.
Walaupun demikian, sebenarnya partisipasi yang terjadi di Desa
Idamdehe merupakan jenis partisipasi semu karena masyarakat seolaholah dilibatkan dalam setiap kegiatan yang sudah direncanakan oleh
pihak pemerintah. Padahal yang terjadi adalah proses mobilisasi.
Dalam konteks demokrasi, seharusnya partisipasi masyarakat sudah
terlihat sejak proses pengambilan keputusan, dan hal ini berbanding
terbalik dengan realitas sosial yang terjadi di Desa Idamdehe. Menurut
Riansyah (2012: 33), partisipasi bukan mobilisasi dan sosialisasi. Sejalan
dengan pemikiran Riansyah, maka dapat disimpulkan dalam konteks
masyarakat Desa Idamdehe terjadi minimnya partisipasi atau
nonpartisipasi.
74

Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Desa
Idamdehe seharusnya tidak terlepas dari partisipasi masyarakat.
Partisipasi yang terjadi seharusnya secara sukarela tanpa ada intervensi
dari aktor manapun atau adanya partisipasi semu yang mengandung
mobilisasi. Partisipasi sukarela terjadi karena masyarakat sadar bahwa
pembangunan yang terjadi merupakan pembangunan yang nantinya
akan membawa dampak yang positif bagi kehidupan sosial, ekonomi
dan lingkungan. Hal tersebut akan sesuai dengan konsep pembangunan
berkelanjutan yang mengedepankan tiga pilar tersebut.
Berdasarkan tiga pilar konsep dari pembangunan berkelanjutan,
dalam hal pengambilan keputusan (dicision making) perlu adanya
partisipasi dari masyarakat lokal agar keputusan yang dibuat tidak
timpang. Dengan demikian, peran dan posisi masyarakat Desa
Idamdehe tidak lagi sebagai obyek, namun sebagai subyek dari
pembangunan. Menurut Astuti dan Hardiana (2009) dan sejalan
dengan pemikiran Uphoff dan Kohen (dalam Ife, 2008: 296),
menekankan bahwa rakyat memiliki peran dalam pengambilan
keputusan. Dalam konteks pembangunan PLTP di Desa Idamdehe
keterlibatan masyarakat dalam menentukan keputusan tentang
pembangunan sangat penting karena masyarakat Desa Idamdehe akan
mendapatkan dampak secara langsung.

Pemahaman dan Persepsi Masyarakat tentang PLTP
Pemahaman masyarakat Desa Idamdehe terhadap Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi hanya didapatkan melalui infomasi dalam
kegiatan sosialisasi. Hal tersebut terjadi karena akses terhadap
informasi yang berkaitan dengan pembangkit ini sangatlah minim.
Dalam konteks Desa Idamdehe, terjadi ketimpangan informasi yang
diberikan oleh pihak perusahaan dan juga pemerintah terhadap
rencana pembangunan PLTP6. Informasi yang disampaikan berisi
tentang hal-hal positif, sehingga membuat sebagian besar masyarakat

6

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

75

setuju terhadap kegiatan ini. Hasil survey yang telah dilakukan oleh
penulis di lapangan sangat berbeda dengan temuan yang survey yang
dilakukan oleh Cornish dan Romanack (2014), yaitu sebagian kecil dari
masyarakat yang berada di Australia tidak menyetujui/menolak
pembangunan Panas Bumi karena minimnya informasi mengenai
teknologi panas bumi.
Dalam konteks masyarakat Desa Idamdehe mayoritas masyarakat
menyetujui terhadap pembangunan ini disebabkan adanya faktor
kemiskinan yang terjadi di kalangan masyarakat. Berdasarkan data desa
pada tahun 2014, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat
berpenghasilan rendah/miskin. Pekerjaan mereka yang mayoritas
sebagai petani cengkeh, pala, kelapa dll membuat pendapatan yang
mereka terima dari hasil pertanian tergantung pada musim panen.
Musim panen cengkeh yang hanya terjadi setiap dua tahun sekali,
kelapa setiap tiga bulan satu kali panen dll. Mereka berharap dengan
adanya PLTP status ekonomi mereka akan meningkat.
Masyarakat Desa Idamdehe mempunyai harapan-harapan yang
besar dengan dibangunnya pembangkit ini di desa mereka. Harapan
tersebut di antaranya masyarakat akan mendapatkan pekerjaan agar
mereka akan menerima gaji bulanan, ramah lingkungan, memenuhi
kebutuhan listrik di Kabupaten Halmahera Barat, penggunaan lahan
tidak terlalu besar, infrakstruktur akan menjadi lebih baik. Dengan
adanya hal tersebut, motivasi masyarakat untuk mewujudkan harapan
ini sangatlah nyata, hal ini bisa terlihat dalam sikap mereka yang tidak
sabar menunggu eksekusi dan realisasi dari rencana pembangunan
PLTP. Berdasarkan konsep Liliweri (1997 : 138) tentang persepsi, maka
persepsi tersebut hanya sampai pada tahapan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan yang didapatkan melalui sosialisasi dan konsep
tentang sensasi dan atensi tidak terjadi pada masyarakat Desa
Idamdehe.
Di sisi lain, ada juga masyarakat yang resisten terhadap kegiatan
ini, yaitu kaum minoritas. Banyak hal yang mendasari sehingga mereka
tidak setuju (menolak) terhadap rencana pembangunan PLTP tersebut.
Akan tetapi yang terjadi, masyarakat yang tidak setuju terhadap
76

rencana pembangunan PLTP inipun, ikut terlibat dalam segala
kegiatan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Sikap resistensi
mereka terhadap kegiatan ini tidak terlihat di permukaan, akan tetapi
muncul ketika penulis melakukan proses wawancara. Tidak adanya
sikap yang menunjukkan resistensi, karena masyarakat merasa bahwa
mereka merupakan golongan minoritas dan tidak mempunyai
kekuatan dan keberanian untuk berbicara di depan publik, sehingga
sikap resistensi tersebut hanya terpendam di dalam hati.
Resistensi yang terjadi di kalangan masyarakat tidak muncul ke
permukaan namun hanya ada pada tataran masing-masing individu
yang tidak setuju terhadap pembangunan ini. Resistensi yang terjadi
pada masyarakat desa Idamdehe hampir sejalan dengan resisten yang
terjadi di daerah Sumba, oleh Nugrohowardhani (2013) di kalangan
masyarakat petani (perempuan) ketika menolak bantuan benih kapas
dari pemerintah. Perlawanan yang mereka lakukan adalah dengan
menanam benih kapas bantuan itu tidak sesuai aturan. Namun karena
benih kapas meeka terima lebih lambat dari pada waktu menanam
jagung, mereka memenuhi lahan mereka dengan jagung dan hampir
tidak menyisakan ruang untuk ditanami kapas. Ketika benih kapas
mereka terima hanya ditanam di sela-sela tanaman jagung atau
ditanam di pinggir-pinggir kebun, akibatnya produksi kapas mereka
jauh dibawa target pemerintah.

77