DILEMA DIMENSI POLITIK DAN RASIONALITAS

DILEMA DIMENSI POLITIK DAN RASIONALITAS DALAM PERUMUSAN
PROGRAM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pengantar Kebijakan Publik
Pengampu

: Drs. Wahyu Nurharjadmo
Oleh:
KELOMPOK 3

Citra Nugraheny P. W.

D0113021

Dwi Ayu Setiyoningsih

D0113029

Dana Laras Rega

D0113023


Erwin Salamah

D0113031

Desvita Anggraini W.

D0113025

Faizal Luqman Sangaji

D0113033

Dimas Yoga Arta D

D0113027

Fikry Hanif

D0113035


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan secara
tuntas oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya angka
kematian pada ibu dan bayi serta rendahnya angka harapan hidup. Tingginya
resiko masyarakat terserang penyakit seperti kanker, tumor, HIV/AIDS dan lainlain juga membuat rendahnya tingkat kesehatan di Indonesia. Namun karena
mahalnya biaya kesehatan membuat untuk masyarakat enggan pergi ke rumah
sakit atau puskesmas untuk berobat, mereka lebih memilih membeli obat yang
dijual di toko-toko.
Tabel 1. Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita di Indonesia

(sumber: Departemen Kesehatan)
Berdasarkan tabel diatas memperlihatkan tren Angka Kematian Neonatal

(AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA) di
Indonesia menurut data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012. Angka Kematian Neonatal sebesar 19 kematian/1.000 kelahiran
hidup, Angka Kematian Bayi sebesar 32 ke-matian/1.000 kelahiran hidup dan
Angka Kematian Balita sebesar 40 kematian/1.000 kelahiran hidup. Dengan
demikian AKB dan AKABA menunjukkan tren adanya penurunan namun
penurunannya melandai sedangkan AKN tidak ada perbaikan dibandingkan hasil
SDKI 2007.
Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang
bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu : dalam pasal 28 h ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan pasal 34 ayat (1) ayat
(2) dan melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001,
dimana presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional
dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih
menyeluruh dan terpadu.
Jaminan sosial ini merupakan satu bentuk sistem perlindungan sosial. Rys
(2011) menyatakan perlindungan sosial lazimnya dipahami sebagai intervensi
terpadu oleh berbagai pihak untuk melindungi individu, keluarga, atau komunitas
dari berbagai resiko kehidupan sehari-hari yang mungkin terjadi, atau untuk

mengatasi berbagai dampak guncangan ekonomi, atau untuk memberikan
dukungan bagi kelompok-kelompok rentan di masyarakat. Sistem perlindungan
sosial yang bersifat formal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk yaitu (i)
bantuan sosial (social assistance), (ii) tabungan hari tua (provident fund), (iii)
asuransi sosial (social assurance), (iv) tanggung jawab pemberi kerja (employer’s
liability) (Kertonegoro, 1982).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka telah ditetapkan Undang-Undang
Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai
wujud komitmen pemerintahan dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional,
selanjutnya ditindaklanjuti dengan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini juga berkait dengan keputusan Mahkamah
Konstitusi terhadap Perkara Nomor 007/PUU-III/2005.
Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga akan
melahirkan transformasi kelembagaan dari beberapa perusahaan Persero yang
selama ini ada, yaitu: PT. Jamsostek (Persero) dan PT. Askes (Persero), menjadi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang berubah status menjadi badan
hukum publik. Selain itu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selanjutnya akan
dilaksanakan oleh 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yaitu

Badan

Penyelenggara

Jaminan

Sosial

(BPJS)

Kesehatan

dan

Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Transformasi badanbadan penyelenggara jaminan sosial tersebut akan dilanjutkan dengan pengalihan
peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, berikut beberapa rumusan masalah yang
hendak dibahas:
1. Dimensi politik apa saja yang mendasari perumusan program BPJS
Kesehatan?
2. Dimensi rasional apa saja yang mendasari perumusan program BPJS
Kesehatan?
3. Bagaimana policy maker memadukan antara dimensi politik dan dimensi
rasionalitas dalam perumusan program BPJS Kesehatan?
C. Tujuan Penelitian
Dari tujuan diatas, penulis mempunyai tujuan, antara lain:
1.

Untuk mengetahui dimensi politik yang mendasari perumusan kebijakan
program BPJS Kesehatan.

2. Untuk mengetahui dimensi rasional yang mendasari perumusan kebijakan
program BPJS Kesehatan.
3. Untuk mengetahui policy maker memadukan antara dimensi politik dan
dimensi rasionalitas dalam perumusan program BPJS Kesehatan.


BAB II
KAJIAN TEORI

A. Kebijakan Publik
Carl Friedrich seperti yang dikutip oleh Budi Winarno dalam bukunya yang
berjudul Teori dan Proses Kebijakan Publik mengemukakan pendapatnya
mengenai kebijakan sebagai berikut:
”Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang
memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam
rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau
suatu maksud tertentu”
B. Proses Perumusan Kebijakan Publik
Menurut Islamy dalam buku Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan
Negara (2000:77-101) mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat
langkah dalam proses pengambilan kebijakan publik, yaitu:
1. Perumusan Masalah (defining problem)
Dalam proses ini para policy maker mengasumsikan, mencari
informasi-informasi dan mengidentifikasi permasalahan yang ada di

masyarakat. Proses kebijakan publik di mulai dengan kegiatan
merumuskan masalah secara benar, karena keberhasilan atau kegagalan
dalam melaksanakan perumusan kebijakan ini akan sangat berpengaruh
pada proses pembuatan kegiatan ini akan sangat berpengaruh pada proses
pembuatan kebijaksanaan seterusnya. Jika pada saat perumusan masalah
identifikasi masalahnya keliru atau salah maka kebijakan yang dibuat
akan salah pula.

2. Agenda Kebijakan
Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit
yang mendapat perhatian dari pembuat kebijakan publik. Masalahmasalah yang ada di masyarakat akan bersaing dengan masalah yang lain
agar dapat masuk dalam agenda kebijakan.
3. Pemilihan Alternatif Kebijakan
Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi dengan baik dan benar
serta para perumus kebijakan sepakat memasukkan masalah tersebut ke
dalam agenda kebijakan maka langkah selanjutnya adalah merumuskan
alternatif-alternatif kebijakan. Pada tahap ini para aktor akan mengajukan
alternatif yang menurut mereka dapat memecahkan masalah. Namun,
policy maker harus memlilih kebijakan yang paling sesuai dengan
masalah yang dihadapi.

4. Tahap Penetapan Kebijakan
Jika alternatif-alternatif pemecah masalah telah dipilih, maka tahap
selanjutnya adalah menentukan atau menetapkan alternatif tersebut
sebagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
C. Dimensi Politik dalam Perumusan Kebijakan
Dalam Pendidikan Kewarganegaraan (2006:17) menjelaskan bahwa
pengertian negara secara etimologis berasal dari kata nagari/nagara yang berasal
dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti kota, desa, daerah atau wilayah. Roger
H. Soltau (dalam Pendidikan Kewarganaegaraan, 2006:17-19) menyatakan bahwa
negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan
bersama atas nama masyarakat. Negara mempunyai tujuan untuk memungkinkan
rakyatnya mengembangkan daya ciptanya secara bebas. Zoon Politicon, begitu
kata Aristoteles tentang persepsinya terhadap manusia. Politik digunakan oleh
suatu negara untuk mewujudkan tujuan bersama dengan cara mengatur,
mewenangi, suatu masalah atas nama rakyat. Negara merupakan suatu
pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok/beberapa
kelompok manusia yang hidup di dalamnya. Artinya, negara memiliki sebuah
kepentingan untuk merawat dan memelihara apa yang ada didalam wilayahnya.
Dalam mewujudkan kepentingan tersebut negara mempolitiki masyarakat dengan


mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu sehingga terbentuk suatu masyarakat
yang sesuai dengan tujuan negara.
Fungsi sebuah dimensi politik terhadap negara adalah melaksanakan setiap
kepentingan negara dengan cara mengorganisasi kebijakan-kebijakan negara
terhadap masyarakat sehingga tercapai tujuan negara yang berarti tercapai juga
tujuan masyarakat, dengan catatan kebijakan yang diambil merupakan aspirasi
masyarakat.
Menurut Mirriam Budiharjo (2002: 8) bahwa politik adalah macam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses yang menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Sehingga
dibutuhkan suatu kebijakan tertentu. Dari pengertia tersebut maka dapat diketahui
bahwa ada hubungan antara politik dan kebijakan publik. Kebijakan akan mampu
dijalankan jika dibarengi dengan adanya kekuasaan dan kewenangan dari
pembuatnya. Dari situlah akan terbentuk suatu kerjasama antar berbagai pihak
dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di masyarakat, termasuk
permasalahan publik.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
menjadi dimensi politik dalam sebuah perumusan kebijakan publik adalah dilihat
dan lebih ditekankan pada munculnya faktor-faktor politik. Dalam perumusan
kebijakan publik sendiri setidaknya ada dua macam faktor politik, yaitu (a) aktor

politik yang meliputi semua pihak yang berada di dalam pemerintahan maupun di
luar pemerintah yang turut serta dalam perumusan kebijakan; (b) proses politik
yang mencakup segala bentuk kegiatan dari aktor-aktor politik untuk mencapai
tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingannya, seperti negoisasi, kompromi,
bergaining, dan lain-lain; serta (c) kepentingan yang mencerminkan nilai-nilai dari
aktor yang terlibat.

D. Dimensi Rasionalitas dalam perumusan kebijakan
Rasional secara singkat dapat diartikan masuk akal atau dapat diterima
dengan akal sehat. Segala sesuatu yang masuk akal sudah pasti akan mudah untuk
dilaksanakan dan bertujuan baik.
Model rasionalisme (Policy Sebagai Pencapaian Tujuan yang Efisien). Suatu
policy yang rasional adalah dirancang secara tepat untuk memaksimalkan “hasil
yang bersih” (net value achievement). Model rasional-komprehensif didasarkan
atas teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi (concept of an economic man).
Para ahli filosofi utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill
berasumsi bahwa semua tingkah laku manusia bertujuan untuk “mencari
kesenangan dan menghindari kesusahan”. Nilai utilitas (kemanfaatan) sesuatu
benda atau tindakan (perbuatan) itu harus dinilai berdasarkan pada perbedaan
antara kesenangan yang akan diperolehnya dan biaya (kesulitan) yang
dikeluarkannya.
Dalam perumusan kebijakan publik sikap rasionalitas lebih dikenal dengan
istilah dimensi rasional. Dimensi ini lebih menekankan pada upaya menjelaskan
secara logika dan akal sehat yang mendasari formulasi kebijakan. Menurut konsep
manusia-ekonomi, semua individu tahu tentang berbagai macam alternatif yang
tersedia pada suatu situasi tertentu dan juga tentang konsekuensi-konsekuensi
yang ada pada setiap alternatif tersebut. Sehubungan dengan itu maka setiap orang
akan berperilaku secara rasional yaitu bahwa mereka akan membuat pilihanpilihan sedemikian rupa sehingga mencapai nilai yang paling tinggi.
Menurut Herbert A. Simon bahwa konsep manusia-ekonomi seperti itu
tidak benar, tetapi yang lebih valid adalah konsep manusia-administrasi
(administrative-man). Menurut konsep manusia-administrasi para manajer tidak
pernah memperoleh atau mempunyai informasi yang lengkap dan oleh karenanya
tidak pernah dapat mencapai pilihan-pilihan yang mempunyai nilai yang paling
tinggi (maximum rationality). Simon mengatakan: “The capacity of human mind

in formulating and solving complex problems is very small compared to the size of
the problem. It is very difficult to achieve objectively rational behavior in the real
world or even a reasonable approximation to such objective rationality”
(kapasitas daya pikir manusia dalam merumuskan dan mengatasi masalahmasalah yang kompleks adalah sangat terbatas dibandingkan dengan besarnya
permasalahan yang dihadapinya. Sangat sulit sekali mencapai perilaku rasional
yang objektif di dunia nyata-atau bahkan perkiraan yang cukup beralasan terhadap
rasionalitas objektif tersebut). Menyadari akan sulitnya mencapai rasionalitas
dalam pembuatan keputusan itu, Simon kemudian menampilkan pendekatan baru
yang dinamakan “the principal of bounded rationality” atau yang lebih dikenal
dengan sebutan “satisficing model”. Menurut konsep ini pembuat-keputusan (the
satisficer) hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang mungkin tersedia
kemudian memilih satu alternatif yang “lebih cocok” untuk mengatasi masalah.
Perumusan kebijakan publik yang baik adalah rumusan kebijakan yang
bermutu dan memperoleh dukungan dalam masyarakat (Abidin, 2012).
Perumusan kebijakan publik dikatakan menggunakan dimensi rasionalitas jika
mampu mencakup aspek-aspek rasionalitas, antara lain:
 Rasionalitas tehnis
: Perumusan kebijakan didasarkan atas kemampuan


kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan publik
Rasionalitas ekonomis
: Perumusan kebijakan didasarkan atas



efisiensi kebijakan dalam memecahkan permasalahan publik
Rasionalitas legal
: Perumusan kebijakan publik telah dilandasi oleh



aturan yang formal dan legal
Rasionalitas sosial
: Perumusan kebijakan publik tetap mampu untuk



mempertahankan institusi-institusi sosial yang sudah ada
Rasionalitas substantive
: Mampu mencakup semua hal di atas.

Berdasarkan aspek-aspek rasionalitas diatas maka sebuah kebijakan publik
dapat dikatakan sesuai dimensi rasional apabila sudah mencakup aspek-aspek
tersebut. Sehingga dalam setiap proses pembatan kebijakan publik haruslah
mengutamakan dimensi rasionalitasnya. Dalam proses pembuatan kebijakan
dimensi rasional memang penting, namun dimensi politik juga berperan penting.

E. Dasar Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
a. Pasal 5 ayat (1)
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan
Undang-Undang.
b. Pasal 52
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial

BAB III
PEMBAHASAN

A. Dimensi politik dalam perumusan Program BPJS Kesehatan
Karena Program BPJS Kesehatan merupakan kebijakan publik maka
Program BPJS Kesehatan juga memiliki proses perumusan kebijakan publik.
Adapun tahapan dan mekanisme perumusan kebijakan Program BPJS
Kesehatan antara lain:
1. Perumusan Masalah (defining problem)
Hal paling awal yang dilakukan dalam perumusan kebijakan adalah
perumusan dan identifikasi masalah. Isu publik adalah suatu masalah
yang telah menjadi pembicaraan masyarakat luas, mempunyai pengaruh
dalam masyarakat, dan juga menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Masalah kebijakan itu sendiri adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau
berbagai kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai
melalui tindakan politik.
Permasalahan utama yang ada di Indonesia adalah tingginya angka
kemiskinan dan rendahnya tingkat kesehatan. Kesehatan merupakan
salah satu masalah yang sangat mendasar di Indonesia, mengingat
tingginya angka kematian ibu, tingginya angka kematian bayi,
rendahnya angka harapan hidup, tingginya resiko masyarakat terserang
penyakit seperti HIV/AIDS, tumor, kanker, dll. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan lengkap fisik,
mental dan kesejahteraan sosial dan bukan hanya ketiadaan penyakit
atau kelemahan. Para ahli kesehatan masyarakat selalu memandang
kesehatan adalah utama dan satu-satunya cara dalam mencapai
kesejahteraan, kesehatan ibu dan anak adalah prioritas, serta
ketimpangan kaya dan miskin adalah sumber masalah kesehatan. Maka

tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa benar kesehatan adalah suatu hal yang
vital dalam kehidupan.
2. Agenda kebijakan
Setelah dirasakan adanya permasalahan kesehatan yang sangat
penting dan perlu segera dibuat kebijakan maka selanjutnya adalah
membawa masalah tersebut kepada pemerintah untuk dibahas. Dalam
tahapan ini masalah kesehatan akan dibahas, apakah masuk dalam
agenda setting sistemik (masalah yang ada sudah mendapat perhatian dari
pemerintah namun belum menjadi agenda yang sangat serius untuk
ditindak lajuti dan dicarikan solusinya) atau masuk dalam agenda
institusional (masalah yang ada sudah mendapat perhatian dari
pemerintah dan menjadi agenda yang sangat serius untuk ditindak lajuti
serta dicarikan solusinya). Masalah kesehatn ini merupakan masalah
yang sangat urgent sehingga termasuk dalam agenda setting institusional.
3. Pemilihan Alternatif Kebijakan
Setelah masuk dalam agenda setting, maka selanjutnya adalah
menyusun alternatif kebijakan. Dalam tahapan ini banyak aktor yang
mengusulkan alternatif kebijakan sehingga alternatif kebijakan yang
diusulkan oleh aktor-aktor pembuat kebijakan tersebut harus diseleksi
satu persatu. Policy maker harus memperhitungkan manfaat-manfaat,
segala efek negatif, memperkirakan biaya secara finansial, biaya secara
sosial serta melihat aspek mana yang relevan, masuk akal dari pilihanpilihan solusi yang ditawarkan. Dalam tahap ini akan muncul dimensi
politik dan dimensi rasionalitas, sehingga pada akhirnya diharapkan
menyisakan sejumlah solusi atau alternatif-alternatif pemecah masalah.
4. Tahap Penetapan Kebijakan
Setelah mengerucutkan alternatif atau solusi pemecah masalah
kemudian policy maker akan menentukan salah satu alternatif yang
dinilai terbaik untuk pemerintah dan masyarakat akan dijadikan sebagai
kebijakan. Kemudian menetapkan alternatif atau solusi pemecah

masalah dengan mempertimbangkan dampak yang mungkin akan
muncul ketika kebijakan tersebut diimplementasikan.
Kebijakan pemerintah tentang Program Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan dapat dikaji melalui dua dimensi, yaitu dimensi politik dan
dimensi rasionalitas:
1. Dimensi politik
a. Aktor politik
Dalam perumusan program BPJS Kesehatan ini terdapat banyak aktor
yang terlibat, seperti:
1) Eksekutif
Eksekutif yang dimaksud yaitu presiden, namun dalam perumusan
kebijakan presiden memberikan mandat kepada menteri untuk ikut
berperan dalam perumusan kebijakan. Dalam perumusan RUU
BPJS ini presiden memandatkan menteri kesehatan dan menteri
kesekretariatan

negara

karena

BPJS

berhubungan

dengan

kesehatan masyarakat dan mensesneg sebagai “mata dan telinga
presiden”.
2) Legislatif
Legislatif yang ikut dalam perumusan RUU BPJS adalah DPR,
mereka mengumpulkan informasi dan menyelidiki masalah
kesehatan yang ada.
3) Yudikatif
Yudikatif berperan sebagai pengawas, melakukan tinjauan yudisial
maupun penafsiran kebijakan agar kebijakan tersebut tidak
melanggar aturan hukum yang berlaku.
4) Kelompok kepentingan
Kelompok kepentingan yang dimaksudkan adalah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). LSM berperan sebagai lembaga yang
mewadahi aspirasi atau pendapat dan kepentingan masyarakat.
5) Media massa
Media massa juga ikut berperan dalam perumusan BPJS karena
dengan adanya media massa maka masyarakat dapat meliahat dan
mengawasi jalannya perumusan kebijakan.
6) Stakeholder

Stakeholder merupakan kelompok sasaran suatu kebijakan, maka
peran stakeholder sangat penting dalam perumusan kebijakan.
Mereka ikut serta karena kebijakan yang dibuat agar sesuai dengan
keinginan masyarakat dan mampu mengatasi permasalahan secara
tepat tanpa memberatkan masyarakat.
b. Proses politik
Proses politik merupakan serangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan politik. Dalam proses perumusan kebijakan tentang BPJS, menurut
amanat UU No. 40 Tahun 2004 yang menetapkan batas waktu penetapan
RUU tentang BPJS adalah tanggal 19 Oktober 2009. Namun tidak dapat
dipenuhi oleh pemerintah, karena RUU tentang BPJS tidak selesai
dirumuskan. Dengan demikian DPR RI berinisiatif untuk membuat RUU
tentang BPJS, yang pada akhirnya disahkan oleh pemerintah. Hal tersebut
dapat menggambarkan bahwa ada keharmonisan antara pemerintah dan
DPR. Yang artinya saling melengkapi, ketika pemerintah kesulitan dalam
menghadapi suatu masalah maka ada DPR yang dapat membantu.
Dengan adanya UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, maka
program jaminan sosial dapat berjalan dengan baik. Sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : dalam pasal 28 h
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan pasal 34 ayat (1) ayat (2) dan melalui
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, dimana
presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional
dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih
menyeluruh dan terpadu.
Oleh karena itu, dalam proses perumusan kebijakan terdapat proses
politik berupa negosiasi, kompromi dan bergaining antara aktor politik
agar dapat menciptakan kebijakan yang paling baik dan tepat dalam
mengatasi permasalahan kesehatan.
c. Kepentingan Politik
Rumusan-rumusan solusi masalah yang diusulkan bukan hanya
oleh pihak pemerintah tetapi dimungkinkan pihak-pihak lain yang
dilibatkan untuk berpartisipasi. Usulan-usulan solusi yang diajukan oleh
pemerintah tidak menutup kemungkinan mecerminkan nilai-nilai dari

pihak pemerintah. Ketika masyarakat juga ikut dilibatkan maka
dimungkinkan terdapat nilai-nilai yang mempresentasikan nilai-nilai
masyarakat. Tidak menutup kemungkinan bahwa kepentingan-kepentingan
dari stakeholder yang bersatu maupun bertentangan dapat berkembang
pada saat proses perumusan kebijakan.
B. Dimensi rasionalitas dalam perumusan program BPJS Kesehatan
Jika dilihat dari dimensi rasionalitas maka Program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dapat dianalisis:
1. Rasionalitas ekonomis
Selain BPJS dapat mengatasi masalah kesehatan, BPJS juga
mampu mengatasi masalah dalam dimensi rasionalitas juga dikenal
adanya rasionalitas ekonomis. Rasionalitas ekonomis yang menuntut
efisiensi terutama di bidang anggaran merupakan hal yang harus
diperhatikan. Kebijakan BPJS yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah
pasti memakan biaya yang tidak sedikit karena kebijakan ini
menanggung hidup seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi jika kita
melihat sasaran dari program ini, maka manfaat yang akan dihasilkan
juga cukup luas. Selain itu sumber pendanaan yang digunakan untuk
kebijakan BPJS ini tidak sepenuhnya berasal dari APBN, namun juga
berasal dari premi yang dibayarkan oleh peserta BPJS Kesehatan setiap
bulan.

Sehingga

jika

kebijakan

Program

BPJS

Kesehatan

ini

diperhitungkan dengan matang maka akan mampu memecahkan masalah
secara efisien.
2. Rasionalitas sosial
Program BPJS Kesehatan merupakan kelanjutan atau transformasi
dari program PT. Jamsostek (Persero) dan PT. Askes (Persero). Pada saat
perumusan kebijakan Program BPJS Kesehatan pemerintah tidak
mengubah institusi yang sudah ada. Artinya, bagi masyarakat yang
memiliki kartu Askes dan Jamkemas masih dapat menggunakannya
untuk berobat atau mendapat pelayanan kesehatan dari lembaga

kesehatan

negeri

meskipun

Program

BPJS

Kesehatan

sudah

diberlakukan.
3. Rasionalitas tehnis
BPJS merupakan upaya yang dibuat pemerintah agar dapat
menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia. Permasalahan yang
berkaitan dengan peningkatan kesehatan masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini sebagaimana
manfaat yang dapat dilihat dari penggunaan BPJS yaitu dapat mengatasi
permasalahan kesehatan dan pendidikan yang ada di wilayah tersebut
terutama di daerah yang terpencil. Data-data yang menunjukkan
tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan dan
rendahnya angka harapan hidup diharapkan akan mampu ditekan dengan
kebijakan BPJS Kesehatan ini. Sehingga secara rasionalitas tekhnis
perumusan kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
sudahlah tepat, karena berusaha mengatasi permasalahan yang terjadi.
4. Rasionalitas legal
Kebijakan Program BPJS Kesehatan yang dicetuskan telah
memiliki dasar hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
5. Rasionalitas substantive
Berdasarkan keempat aspek rasionalitas diatas maka dapat
dikatakan bahwa dalam perumusan kebijakan Program BPJS Kesehatan
ini terdapat dimensi rasionalitas. Sehingga diharapkan kebijakan ini
mampu mengatasi permasalahan kesehatan di Indonesia.
C. Perpaduan antara dimensi politik dan dimensi rasionalitas dalam
perumusan program BPJS Kesehatan

Setelah mengetahui dimensi politik dan dimensi rasionalitas dalam
perumusan program BPJS Kesehatan yang mana telah dijelaskan sebelumnya
maka akan dapat dianalisis. Antara dimensi politik dan rasioanal merupakan
dua dimensi utama dalam perumusan kebijakan publik, sehingga sangat
penting menggunakan keduanya dalam mengkaji maupun merumuskan
sebuah kebijakan publik. Berikut ini perpaduan antara dimensi politik dan
dimensi rasionalitas dalam perumusan program BPJS Kesehatan:
1. Dimensi rasionalitas ekonomi dengan dimensi politik
Dimensi rasionalitas ekonomi merupakan perumusan kebijakan
didasarkan atas efisiensi kebijakan dalam memecahkan permasalahan
publik. Dimensi rasionalitas ekonomi dapat dipadukan dengan aspek
kepentingan karena dalam aspek kepentingan pemerintah dan
masyarakat menginginkan kebijakan dengan melihat faktor ekonomi.
Dalam program BPJS Kesehatan ini anggaran kesehatan tidak hanya
berasal dari uang negara atau APBN namun juga uang iuran peserta
BPJS yang dibayarkan setiap bulan (premi asuransi). Sehingga
pemerintah dapat mengurangi anggaran pengeluaran APBN dan
masyarakat juga mendapat keringanan dalam pembiayaan kesehatan
karena premi yang dibayarkan murah.
2. Dimensi rasionalitas legal dengan dimensi politik
Hubungan aktor politik dengan rasionalitas legal adalah aktor
politik (baik legislatif maupun eksekutif) sebagai penentu kebijakan agar
kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, salah satu alternatif yang dilakukan adalah kemampuan
pemerintah untuk membangun jaringan dengan aktor diluar pemerintah,
yaitu aktor privat dan aktor civil society. Pemerintah sudah tidak tepat
lagi memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai lawan politik, tapi
sudah saatnya pemerintah menjadikan aktor-aktor tersebut sebagai
sahabat dalam membicarakan produk-produk kebijakan publik.
Selain itu dalam perumusan program BPJS Kesehatan ini legislatif
dan eksekutif yang termasuk dalam aktor politik mengesahkan undang-

undang mengenai BPJS agar program BPJS Kesehatan memiliki dasar
dan payung hukum yang kuat untuk menjalankan tugasnya. Sehingga
dapat dilihat perpaduan antara dimensi rasionalitas legal dengan dimensi
politik.

BAB IV
KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dirumuskan
kesimpulan seperti dibawah ini:
1. Program BPJS Kesehatan merupakan kelanjutan dari program kesehatan
ASKES dalam rangka meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia yang termasuk dalam kategori kurang mampu.
Program ini juga merupakan sebuah kebijakan publik karena merupakan
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang juga diputuskan oleh
pemerintah serta merupakan barang atau jasa yang mampu mengatasi
masalah publik. Karena merupakan sebuah kebijakan publik maka pasti
melalui proses perumusan kebijakan seperti perumusahan agenda
kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, tahap penetapan kebijakan.
Setelah pengimplementasian kebijakan langkah selanjutnya adalah
memperkuat kebijakan dengan landasan hukum.
2. Seperti halnya kebijakan lain, kebijakan BPJS Kesehatan ini juga
mengandung 2 dimensi yaiu dimensi politik dan dimensi rasional. Dalam
kebijakan BPJS Kesehatan ini mencakup 2 dimensi tersebut. Dalam
dimensi politik, adanya aktor-aktor politik dalam proses perumusan
kebijakan. Aktor-aktor politik ini meliputi eksekutif, legislatif, yudikatif,
kelompok kepentingan, media massa, dan stakeholder. Serta adanya proses
politik dan kepentingan politik yang menyelimuti kebijakan ini menjadi
tanda bahwa BPJS Kesehatan mempunyai dimensi politik. Secara
rasionalitas, kebijakan BPJS Kesehatan ini juga mencakup unsur
rasionalitas seperti rasionalitas sosial, rasionalitas ekonomis, rasionalitas
teknis, rasionalitas legal dan rasionalitas substantive.
3. Dimensi politik dan dimensi rasionalitas yang merupakan 2 dimensi yang
utama dalam perumusan kebijakan publik dapat dipadukan. Perpaduan itu
meliputi perpaduan antara dimensi rasionalitas ekonomi dengan dimensi

politik dan dimensi rasionalitas legal dengan dimensi politik. Jika
perpaduan antara dimensi rasionalitas ekonomi dengan dimensi politik
membahas tentang aspek ekonomi didalam perumusan kebijakan BPJS
Kesehatan ini sedangkan perpaduan antara dimensi rasionalitas legal
dengan dimensi politik membahas tentang aktor-aktor politik dibalik
perumusan BPJS Kesehatan dan aspek legalnya, seperti dasar hukum
kebijakan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said. 2012. Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika
Fakih, Mandour. Et al. 2000. Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Juliansyah, Elvi. 2013. Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi. Bandung: CV.
Mandar Maju
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep,
Teori dan Isu. Yogyakarta: Gaya Media
Santosa, Deddy Panji. Proses kebijakan: merupakan proses politik dan teknik
pelaksanaannya. http://digilib.unpas.ac.id/files/disk1/58/jbptunpaspp-gdldeddypandj-2890-1-8.prose-.pdf diakes pada 10 April 2015
Thoha, Miftah. 1984. Dimensi-dimensi prima ilmu administrasi negara. Jakarta:
CV Rajawali
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.

http://www.jkn.kemkes.go.id/attachment/unduhan/UU%20No

%2024%20Tahun%202011%20tentang%20BPJS.pdf Diakses pada 11
April 2015
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS)
http://www.itjen.depkes.go.id/public/upload/unit/pusat/files/Undangundang/UU_No__40_Th_2004_ttg_Sistem_Jaminan_Sosial_Nasional.pdf
Diakses pada 11 April 2015

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo
http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatininfo-datin.html diakses pada 11 April 2015