GROUNDNORM DI NEGARA HUKUM INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Dalam sejumlah tulisannya, Hans Kelsen yang merupakan seorang ahli asal
Jerman menggagas tentang konsep hukum dan negara. Ide mengenai hal itu dituangkan
dalam buku berjudul General Theory of Law and State yang ditulis pada tahun 1945 tetapi
baru diterbitkan secara luas pada tahun 1961. Buku itu menjelaskan teori hukum dan
negara menurut pendapat Kelsen. Dalam teori umum tentang hukum, kelsen menyatakan
ada dua aspek penting yang dikembangkan oleh hukum, yakni aspek statis (nomostatics)
yang melihat perbuatan diatur oleh hukum serta aspek dinamis (nomodinamic) yang
melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu 1. Kelsen, sebagai positivis filsosofis
sejati, menolak segala entitas metafisik, seperti Negara atau hak atau kewajiban.
Menurutnya, imputasi sebuah tindakan terhadap Negara adalah sesuatu yang figuratif,
yang, dalam konteks hukumnya semata-mata mengacu pada norma-norma tata hukum.
Namun istilah “tatanan hukum” bermakna lebih luas daripada Negara 2. Mengenai hukum
dan tatanannya, Kelses menyampaikan bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan
norma yang non empiris, dimana norma ini memiliki struktur dan membatasi interpretasi

1


Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, SH, M. Ali Safa’at, SH,MH, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta :
Konstitusi Pers, 2006, hal. 8-9.
2
Teori Hukum Murni Hans Kelsen, http://www.blog.jtc-indonesia.com/2013/04, diakses pada Minggu
5 April 2015 .

hukum3. Kehadiran norma bersama dengan hirarkinya, kerap dikenal sebagai “teori
Stufenbau”.
Indonesia sebagai negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum, tentu
tidak akan lepas dengan “teori Stufenbau” yang disampaikan oleh Hans Kelsen termasuk
mengenai Grundnorm. Tetapi bagaimana Indonesia menerapkan teori ini, dan apa norma
dasar yang menjadi acuan dari semua aturan yang ada di negara ini? Makalah ini akan
membahas penerapan teori Hans Kelsen di Indonesia yang merupakan negara hukum.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, maka penulis
merumuskan sejumlah masalah yang akan dibahas pada penelitian ini sebagai berikut :
a. Bagaimana Indonesia sebagai negara hukum menerapkan teori hirarki norma yang
dikenal sebagai teori Stufenbau Hans Kelsen?
b. Apa yang menjadi Norma Dasar (grundnorm) di negara hukum Indonesia?
1.3 TUJUAN PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas, yakni:
a. Mengetahui penerapan teori Hans Kelsen di negara hukum Indonesia, khususnya
mengenai hirarki norma yang dirumuskan menjadi teori Stufenbau.
b. Mengetahui apa yang menjadi norma dasar (grundnorm) di negara hukum
Indonesia.
3

Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, SH, M. Ali Safa’at, SH,MH, Op Cit, hal 9.

1.4 METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau yang biasa dikenal
dengan istilah penelitian hukum doktrinal4. Hasil yang diinginkan dalam penelitian ini
lebih yang bersifat deskriptif analitis sehingga menitikberatkan pada penggunaan data
sekunder melalui kepustakaan agar dapat diperoleh penjelasan yang menyeluruh dan
sistematis tentang pokok permasalahan yang sudah disusun sebelumnya. Data sekunder
yang digunakan merupakan bahan yang relevan dengan permasalahan yang hendak
diteliti, yaitu bahan sekunder seperti karya ilmiah, dan jurnal hukum. Sementara bahan
hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder seperti kamus dan ensiklopedi5.


4

Tim penyusun Sekjekn DPR RI, Modul Perancangan Undang-Undang, Sekretariat Jendral DPR RI,
Jakarta, 2008, hal 5
5
Ibid , hal 8

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 NEGARA HUKUM INDONESIA
Istilah “Negara” mulai timbul dari zaman renaissance di Eropa sekitar abad ke-15.
Pada masa itu, masyarakat mengenal Lo Stato (bahasa Italia) yang kemudian lebi populer
dengan sebutan L’Etat (bahasa Perancis), The State (bahasa Inggris), Der Staat (bahasa
Jerman), De Staat (bahasa Belanda). Ada banyak definisi mengenai Negara, Prof. Dr.
J.H.A. Logemann seperti dikutip oleh Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH yakni De staat is een
gezags-organizatie (negara adalah suatu organisasi kekuasaan/kewibawaan) 6. Jauh
sebelum Logemann, ada Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa negara merupakan
hasil dari kontrak sosial antara semua orang yang masing-masing individu menyerahkan
kekuasaan yang dimilikinya kepada seseorang (dalam hal ini penguasa) tanpa syarat

apapun. John Locke menyatakan bahwa kontrak sosial yang dibuat oleh individu dalam
sebuah

negara

mesti

menjamin

hak-hak

asasi

warga

negara

yang

telah


mempercayakannya pada negara. Oleh karenanya, dalam upaya menjaga hak asasi dari
kekuasaan yang absolut dari negara dan penyelenggaranya. J.J. Rousseau menyatakan
perlunya pembatas kekuasaan pemerintah yag dibentuk oleh individu penerima mandat
kontrak sosial7. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH menjelaskan negara merupakan gejala
6

Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil,SH,MH , Perbandingan Hukum Administrasi
Negara, Jakarta : PT. Rineka Cipta, hal 7.
7
Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya, Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia, 1995, hal 8-9.

kehidupan umat manusia di sepanjan sejarah umat manusia, dimana konsepnya
berkembang mulai dari bentuk yang paling sederhana hingga ke yang paling kompleks.
Ditambahkan pula bahwa sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam
masyarakat, negara selalu jadi pusat perhatian dan objek kajian seiring dengan
perkembangan ilmu pengertahuan8. Prof. R.Djokosutono, SH menyatakan negara sebagai
organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dio bawah suatu pemerintahan
yang sama9. Phillip, Jackson dan Leopold, tiga orang sarjana Inggris pernah merumuskan

konsep negara sebagai berikut 10:
“a fully developed modern stateis expected to deal with vast mass of social
problems, either by direct activity or by supervision or regulation. In order to
carry out these functions, the state must have agents or organs through which
operate. The appoinment or establishment of these agents or organs, the general
nature of their function and powers, their relations inter and between them and
the private citizen, from a large part of the constitution of a state”.

Jika diuraikan secara sederhana, ada empat unsur pokok pada suatu negara seperti
disampaikan Apparodai dalam Jimly Asshidiqie, yakni

11

: (i) a definite territory; (ii)

population; (iii) a government; (iv) sovereignty. Meskipun oleh Hans Kelsen dalam
General Theory of Law and State, diberikan penambahan sejumlah elemen pembentuk
negara, yang dirumuskan sebagai berikut12 :




8

The Territory of The State ;
Time Elements of The State (waktu pembentukan negara) ;
The People of the State ;

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, hal 9.
9
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil,SH,MH, Op Cit hal 7
10
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Op Cit hal 10.
11
Ibid
12
Ibid




The Competence of The State as The Material Sphere of Validity of The National




Legal Order ( misalnya yang berkaitan dengan pengakuan dunia internasional) ;
Conflict of Law (pertentangan antar tata hukum);
The So-called Fundamental Rights and Duties of the State (jaminan hak dan



kebebasan asasi manusia);
The Power of the State (aspek mengenai kekuasaan negara).

Dari apa yang disampaikan Hans Kelsen ini bisa disampaikan kembali bahwa negara
sebagai penjelmaan tata hukum nasional yang dapat dilihat dari hukum yang
dihasilkannya. Maka hukum yang dikeluarkan oleh negara adalah berdaulat, dimana
Hukum dijunjung tinggi masyarakat negara. Proses menjunjung tinggi hukum yang
dikeluarkan oleh negara inilah yang kemudian dikenal sebagai salah satu ciri Negara
Hukum (Rechtstaat). 13 Terkait dengan kehadiran konsep Negara Hukum ini, A.V. Dicey

dalam bukunya Law of The Constitution menyatakan kandungan dari “Rule of Law”
terdiri atas ;


Supremacy of Law (kekuasaan tertinggi dari hukum baik rakyat maupun raja mesti



tunduk pada hukum, adapaun yang berkuasa adalah hukum );
Equality before the Law (mengandunga arti gelijkheid voor het recht, yaitu



bersamaan kedudukan terhadap hukum, tak ada hukum yang istimewa) ;
Konstitusi yang bersandarkan hak asasi

Mengenai Negara Hukum, sejumlah pakar lainnya di Eropa juga pernah merumuskannya.
Diantara para pakar itu adalah Friedrich Julius Stahl yang memperbaiki pandangan
Immanuel Kant mengenai negara hukum formal yang unsurnya antara lain14 :
a. Pengakuan terhadap hak asasi;

b. Pemisahan kekuasaan negara;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van het bestur);
13
14

Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil,SH,MH, Op Cit hal 20
Azhary, Op Cit hal. 9.

d. Peradilan administrasi.
Indonesia sebagai Negara Hukum menurut UUD 1945 adalah berdasarkan pada
Kedaulatan Hukum, hal inilah yang disampaikan Prof. R. Djokosutono SH. Beliau
menambahkan bahwa negara adalah subjek hukum, dalam arti Rechstaat ( badan hukum
publik) sehingga jika ia bersalah bisa dituntut didepan pengadilan karena perbuatan
melanggar hukum15. Mengutip pernyataan beliau yang disadur dari Padmo Wahjono oleh
Azhary, disampaikan bahwa 16:
“negara hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab
kalau kita bilangkan Democratissche Rechstaat yang pentig dan primair adalah
Rechtstaat......sekarang perkembangan daripada negara hukum yang dalam
lapangan politik dan ilmu pengetahuan Indonesia selalu diabaikan, tidak diketahui
bahwa ada beberapa macam negara hukum. Ini adalah perkembangan daripada

babgnunan Staat type Rechstaat dalam tipe tingkatan : formele rechstaat, liberale
rechtstaat, dan materiele rechtstaat”.

Oleh karenanya negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya karena kekuasaan
belaka tetapi harus berdasar pada hukum17. Tak hanya Djokosoetono yang menyatakan
mengenai Indonesia sebagai negara hukum. Muhammad Yamin yang merupakan salah
satu tokoh pendiri bangsa juga menyampaikan perihal negara hukum ini. Dalam bukunya
berjudul Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia

yang dikutip oleh Azhary

disampaikan bahwa18 :

15

Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil,SH,MH, Op Cit hal 25
Azhary, Op Cit hal. 9.
17
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil,SH,MH, kemudian menjelaskan di d
alam UUD 1945 dijelaskan pula bahwa “Pemerintahan berdasar atas sistem Konstitusional (hukum
dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), karena kekuasaan Eksekutif dan Administrasi
di Indonesia berada dalam satu tangan yaitu ada pada Presiden, sheingga Administrasi semestinya berdasar pada
sistem Konsitusional non absolut. Yang artinya Administrasi dalam menjalankan tugasnya dibatasi peaturan
perundang-undangan.
18
Azhary, Op Cit hal. 9.
16

“Republik Indonesia adalah suatu negara hukum (rechtstaat, government of laws)
tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau militer, tempat
polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara
kekuasaan (machtstaat) tempat tenaga senjata dan kekuasaan badan melakukan
sewenang-wenang”

Pada awalnya, pernyataan Indonesia sebagai negara Hukum tidak termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 maupun Batang Tubuh UUD 1945. Ia ditemukan dalam
Penjelasan UUD 1945 yang berbunyi19 : “Indonesia ialah negara yangberdasar atas
hukum (rechtstaat)”. Tetapi seiring dengan perubahan rezim pemerintahan, penyataan ini
bisa didapati dalam Batang Tubuh, tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan
ketiga. Dimana dalam pasal tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum. Landasan negara hukum Indonesia dapat kita temukan dalam
bagian penjelasan Umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, yaitu sebagai
berikut:
1. Indonesia adalah negara yang berdasar atas negara hukum ( Rechtsstaat). Negara
Indonesia berdasar atas hukum ( Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka ( Machtsstaat).
2. Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar),
tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)
Beberapa prinsip yang terkandung dalam konsep Negara Hukum Indonesia, antara lain20:
a. Segala norma hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar
nasional dan norma hukum menurut hirarki;
b. Penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan konstitusi;
19
20

Ibid hal 143.
Negara Hukum Indonesia, http://statushukum.com, diakses pada Minggu 5 April 2015

c. Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrat;
d. Adanya kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
e. Adanya organisasi yang memiliki kekuasaan legislatif (pembentuk Undang-Undang),
yakni Presiden dan DPR RI;
f. Sistem pemerintahan merupakan sistem presidensil;
g. Kekuasaan kehakiman terbebas dari pengaruh kekuasaan lainnya;
h. Bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi
dan keadilan sosial;
i. Adanya pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia dan kewajiban dasar
manusia.
2.2 GRUNDNORM
Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan (rules) tentang
perilaku manusia. Sehingga hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule) tetapi
seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai
sistem. Konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya
memperhatikan satu aturan saja21. Aturan hukum menunjuk hanya pada perilaku manusia,
menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak, dan tidak menyatakan tentang
tindakan aktual dan mengapa melakukannya. Untuk itulah agar lebih mudah dipahami,
digunakanlah istilah norma (norm). Selain itu, aturan membawa konotasi sesuatu yang
21

Hans Kelsen, General Theory of Law and State , translated by : Anders Wedberg, New York ; Russell
& Russell, 1961, hal.3 dan Pure Theory of Law, translation from the second (revised nad enlarged ) German
Edition, translated by: Max Knight, berkeley, Los Angeles, London : University of California, Press, 1967 hal
30-31.

umum (general) dan suatu aturan (rule) tidak menunjuk pada suatu peristiwa tertentu
tetapi pada keseluruhan peristiwa yang sama22. Dalam bukunya, Kelsen menyatakan
bahwa jika paksaan (coercion) adalah elemen terpenting dalam hukum, maka norma yang
membentuk tata hukum haruslah norma yang menentukan suatu coercive act, yaitu
sanksi23. Sebagai bagiannya, norma umum harus norma dimana sanksi tertentu dibuat
tergantung pada kondisi tertentu yang diekspresikan dengan konsep (ought). Norma yang
ada dibuat oleh para pembuat hukum yang memiliki peluang untuk menentukan bentuk
kalimat akan datang (future tense) seperti penggunaan kata “will” dalam aturan yang
dibuat. Contoh konkret yang disampaikan Kelsen adalah mengenai “a thief will be
punished”. Inilah yang merupakan imperatif atau perintah dalam makna figuratif dalam
norma24.
Norma hukum yang dibuat oleh otoritas pembuat hukum sifatnya preskriptif,
sedangkan aturan hukum yang diformulasikan oleh ilmu hukum memiliki sifat deskriptif.
Norma hukum dapat diaplikasikan tidak hanya dalam pelaksanaan oleh organ atau
dipatuhi subjeknya, tetapi juga membentuk dasar suatu penilaian spesifik untuk
mengkualifikasikan perbuatan organ, atau subyek sebagau lawful atau unlawful.
Dengan kata lain, Norma adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengatur
bagaimana seseorang berperilaku. Dalam hukum positif, norma merupakan tata tertib
22

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Op Cit hal 37-38.
Sanksi yang dibuat oleh tatanan sosial dapat bersifatterorganisasi secara sosial dan transedental.
Sanksi transedental dijelaskan sebagai sanksi yang religius atau bersifat sosialimaen. Ia berasal dari otoritas di
atas manusia. Kemudian fungsi tatanan religius ini berubah menjadi tindakan eksklusif manusia yang diatur oleh
tata aturan sosial itu sendiri. tindakan yang dlakukan terhadap pelanggar aturan sebagai sanksi yang
diorganisasikan secara sosial dapat berupa sesuatu yang mengganggu kondisi orang tersebut seperti kehidupan,
kebebasan, kesehatan atau kepemilikan. Pada awalnya hanya ada satu macam sanksi kriminal yang disebutkan
sebelumnya. Namun kemudian berkembang dengan munculnya sanksi perdata akibat dari munculnya perkara
perdata di masyarakat.
24
Hans Kelsen, Op cit hal 45.
23

normatif yang mengatur tindakan manusia dalam cara tertentu. Hadirnya norma dengan
proposisi “harus’ tidak serta merta mengekspresikan apa yang, atau apa yang harus, namun
apa yang harus akan terjadi, dalam keadaan-keadaan tertentu. Keberadaan norma hanya
dapat diartikan dari keberlakuannya, dan hal ini mengacu pada hubungannya dengan
sistem dari norma-norma yang menjadi bagian-bagiannya. Norma sendiri, berkaitan erat
dengan tindakan manusia, sehingga diperlukanlah kehadiran sebuah norma mutlak yang
didalilkan sebagai dasar pijakan bagi norma-norma lainnya. Inilah yang kemudian menjadi
norma dasar (grundnorm). Dalam sistem hukum, norma dasar ini mesti bersifat sebagai
hukum agung25. Norma dasar (grundnorm ) bersifat non-positif sehingga ia tidak masuk
dalam pembahasan ilmu hukum, namun norma dasar pada hakikatnya ada untuk memberi
kesatuan sistem hukum dan hadir dalam menarik garis batas untuk norma-norma yang
menjadi subjek ilmu hukum. Pilihan akan norma dasar berimplikasi juga dalam
menentukan relasi hukum nasional Negara hingga hukum internasional.
Dalam teori hukum yang berkaitan dengan norma dan norma dasar, ada dua
macam sistem yang berkembang menurut Kelsen. Keduanya adalah sistem hukum statis
dan sistem hukum dinamis. Perbedaannya terletak pada apakah perbuatan itu diatur oleh
norma (the human behavious regulated by norms) atau norma yang mengatur perbuatan
manusia (norms regulating human behaviour). 26 Teori hukum statis menjelaskan norma
adalah suatu yang hadir dan berarti ketika kita mengasumsikan bahwa individu yang
perbuatannya diatur oleh norma harus berbuat sesuai dengan ketentuan yang ada pada
norma tersebut. Suatu norma dikatakan statis karena ditentukan oleh norma dasar baik
25

Teori Hukum Murni Hans Kelsen, http://www.blog.jtc-indonesia.com/2013/04, diakses pada Minggu
5 April 2015
26
Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, SH, M. Ali Safa’at, SH,MH, Op Cit hal 95.

validitasnya dan materinya. Sementara dalam teori hukum dinamis, obyeknya adalah
aktivitas proses pembuatan dan pelaksanaan hukum. Norma yang dinamis terdapat pada
suatu siste yang validitas normanya tidak dapat digantungkan pada isi dari norma itu
sendiri tetapi valid karena dibuat dengan cara tertentu. Karakter dinamis menjadi karakter
norma hukum yang norma dasarnya dijadikan aturan dasar yang mengatur pembuatan
norma dalam sistem tersebut. Norma dasar menetapkan otoritas tertentu yang dapat
memberikan kekuasaan pembuatan norma kepada beberapa otoritas lain. Norma dengan
sistem dinamis mesti dibuat denga tindakan individu yang diotorisasikan untuk membuat
norma oleh norma yang lebih tinggi. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum
oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan
hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid dan dipresuposisikan valid karena tanpa
presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum khususnya
norma pembuat hukum27. Norma dasar dalam suatu tata hukum nasional bukan merupaka
produk arbiter dari imajinasi hukum karena ia memiliki fungsi membuat penafsiran
normatif terhadap fakta tertentu, dan hal ini berarti bahwa penafsiran fakta merupakan
pembuatan dan pelaksanaan norma yang valid28.
Terkait dengan adanya norma dan norma dasar yang disampaikan Kelsen, muncul
respon dari Joseph Raz29. Raz memahami pemikiran Kelsen, lalu membagi norma kedalah
dua kategori, yakni norma original dan derivatif. Norma original inilah yang merupakan
norma dasar dan dibuat dengan cara dispresuposisikan valid. Sedangkan norma derivatif
27

Hans Kelsen, Op cit hal 117.
Prof . Dr. Jimly Asshidiqie, SH, M. Ali Safa’at, SH,MH, Op Cit hal 104.
29
Joseph Raz adalah ahli hukum asal Israel yang menulis sejumlah karya diantaranya The concept of a
Legal system; An Introduction to the Theory of a Legal System. Dalam tulisannya Joseph Raz memberikan kritik
terhadap tulisan Hans Kelsen khususnya mengenai konsep hukum dan sistem hukum. Ia juga berargumen
mengenai kriteria identitas dan norma dasar yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Kelsen.
28

dibuat dengan dua macam kondisi yakni adanya eksistensi suatu norma tertentu (a norm
creating norm); dan terjadinya peristiwa tertentu (norm creating events). Berhentinya
suatu norma terjadi dengan dua cara juga, yaitu karena tidak pernah berlaku atau pernah
berlaku tetapi kemudian gagal.

2.3 TEORI STUFENBAU
Hans Kelsen dalam tulisannya turut berbicara mengenai hirarki norma yang
dikenal dengan teori Stufenbau. Teori ini menyatakan bahwa sistem hukum merupakan
sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah
harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi
(seperti konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar
(grundnorm), menurut Kelsen norma hukum yang paling mendasar (grundnorm)
bentuknya tidak konkrit (abstrak)30.
Pada tulisannya, Kelsen menjelaskan hubungan antara norma yang mengatur
pembuatan norma lain dan norma lain tersebut dikatakan sebagai hubungan super da subordinasi dalam konteks spasial. Norma yang menentukan norma lain disebut superior,
sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata hukum negara bukan merupakan
sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirarki dari
norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh kenyataan yang
menjelaskan bahwa pembuatan nroma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang
lebih tingi. Hal inilah yang menjadi alasan utama validitas seluruh tata hukum yang
membentuk suatu kesatuan31.
30
31

Teori Stufenbau, http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau, diakses pada Minggu 5 April 2015.
Hans Kelsen, Op Cit hal 124

Salah satu ahli yang mengembangkan teori ini adalah Hans Nawiasky. Nawiasky
sendiri merupakan murid dari Hans Kelsen. Dalam teori yang disebut theorie von
stufenufbau der rechtsordnun terdapat susunan norma sebagai berikut32 :


Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm
(menurut teori Kelsen)



Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara)



Formell Gezets (UU Formal)



Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi
hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi.

2.4 GRUNDNORM DI NEGARA HUKUM INDONESIA KAITANNYA DENGAN
TEORI STUFENBAU
Teori tentang staatsfundamentalnorm menjadi perbincangan yang hangat saat
dilakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-200233. Sebagian pihak ingin
melakukan amandemen Pembukaan UUD 1945 dengan berpendapat bahwa Pembukaan
UUD 1945 bukanlah staatsfundamentalnorm (berdasarkan teori Kelsen-Nawiansky)
sedangkan sebagian lagi mengikuti pendapat Notonagoro34 bahwa Pembukaan UUD 1945
32

Norma Fundamental Negara, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada Minggu 5 April 2015.
http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=195&id=1695&option=com_content&task=view, ,
diakses pada Minggu 5 April 2015.
34
Seorang ahli hukum Indonesia yang berpendapat bahwa Grundnorm bisa juga tertulis. Pancasila
mengandung norma yang digali dari bumi Nusantara, semula tidak tertulis tetapi kemudian ditulis. Pernyataan ini
disampaikan dalam bukunya Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah
Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta:
33

adalah staatsfundamentalnorm yang dituliskan sehingga tidak boleh diubah, kecuali
dengan membubarkan negara. Roeslan Saleh sempat menyatakan bahwa dengan
memperhatikan penempatan dan fungsi Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, maka
Pancasila merupakan Grundnorm yang lebih luas daripada arti Grundnorm menurut
Kelsen. Pancasila dinilainya sebagai norma dasar yang meliputi seluruh norma kehidupan
bangsa Indonesia. Sementara Padmo Wahjono menempatkan kedudukan Pancasila sebagai
landasan dasar kehidupan bernegara bangsa Indonesia35. Pancasila digolongkannya sebagai
kaidah pokok fundamental negara.
Di awal masa Orde Baru, ketika dilakukan kembali peninjauan produk hukum
yang lahir di masa Orde Lama, dikeluarkanlah Ketetapan MPRS (saat itu merupakan
lembaga tertinggi negara). Pada TAP MPRS No. XX/ MPRS/ 1966 tentang Memorandum
DPR GR mengenai Sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peundangan Republik Indonesia disampaikan bahwa Tata urutan perundangan adalah :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden; dan
6. Peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan
lain-lainnya.

Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
35
Azhary, Op Cit hal 120.

Dengan pengaturan yang tegas atas tata urutan perundangan itu maka berlaku doktrin lex
superiore derogat lex inferiore atau lex superiore derogat legi infiriore. Hal inilah yang
membuat norma hukum yang lebih tinggi menegasikan atau menafikkan norma hukum
yang lebih rendah sehingga dapat diketahuo tingkatan hierarkis antar norma hukum secara
berurutan. Dari situ pulalah dikenal asas lex postereore derogat legi priore yakni norma
hukum yang dibentuk belakangan menegasikan norma hukum yang dibentuk terdahulu 36.
Pada tata urutan itu, UUD 1945 merupakan aturan tertinggi, dimana didalamnya
termaktub Pancasila terutama dalam Pembukaan UUD 1945. Hal inilah yang menjadikan
Pancasilan sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di negeri ini. Selain itu,
Pancasila merupakan ideologi negara karena telah menumbuhkan keinginan bangsa
Indonesia untuk mewujudkannya.37
Dalam perkembangannya, Indonesia mengalami masa reformasi yang dimulai
ketika digulingkannya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Pasca penggulingan
itulah, para wakil rakyat melakukan sejumlah perubahan dalam tata perundangan yang
ada di Indonesia. Sejumlah Ketetapan MPR dikeluarkan, diantaranta TAP MPR No. III/
MPR/ 200038. Pada pasal 1 Ketetapan MPR ini disampaikan bahwa :
1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan
perundang-undangan;
2. Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak
tertulis;
3. Sumber hukum dasar nasional adalah :
36

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Pokok – Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal 215-216.
37
Azhary, Op Cit hal 121
38
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Op Cit 217- 218.

i.

Pancasila

ii.

Batang Tubuh UUD 1945

Sementara pada pasal 2 Ketetapan MPR ini dijelaskan bahwa tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Dari Ketetapan ini dapat terlihat bahwa Pancasila dijadikan sumber hukum (norma) dasar
Nasional yang termaktub dalam Peraturan Tertinggi yakni pada Pembukaan UUD 1945.
Meskipun terjadi perubahan kembali dalam tata urutan perundang-undangan yang
tertuang dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Undang-undang tersebut, hirarki
atau tingkatannya adalah39 :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;

39

Putra Siregar, https://putrasiregar15.wordpress.com, diunggah pada 23 November 2013, diakses pada
Minggu 5 April 2015

5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hal ini tidak merubah kedudukan Pancasila sebagai grundnorm di negara hukum
Indonesia berdasar dari Teori Stufenbau Hans Kelsen. Ini karena Pancasila yang terdapat
dalam UUD 1945 tetap pada posisi tertinggi.
Meski banyak ahli di Indonesia menyatakan bahwa Pancasila merupakan norma
dasar (grundnorm), tetapi muncul argumentasi bahwa Pancasila bukanlah norma dasar 40.
Dalam pandangan mereka, jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan
satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD
1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai
staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah
dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD
1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945
(termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa
Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 diakui sebagai pokok-pokok pikiran yang abstraksinya
tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan
pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut.

40

Yuda Eka, Piramida Hukum Nasional Indonesia berdasarkan Teori Hans Kelsen,Hans Nawiaski dan
berdasar pada UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Negara
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011, http://yudaeka793.blogspot.com, diunggah pada Juni 2014, diunduh
pada Minggu 5 April 2015.

UUD 1945 secara keseluruhan termasuk Pembukaannya ditetapkan sebagai konstitusi
(staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI
tanggal 18 Agustus 1945. Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari
Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan
sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga
dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi
Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang
terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam
pembangunan tata hukum Indonesia. Dari sinilah disampaikan bahwa Pancasila bukan
merupakan staatsfundamental-norms, karena yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945
sebagai konstitusi dan yang mempresuposisikan validitas UUD 1945 adalah Proklamasi
17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan
merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai
dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara
Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order).
Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis
(juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara
Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata
hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai
sebuah sistem41.
Dalam kaitannya dengan pendapat bahwa Pancasila bukan merupakan
grundnorms, peneliti menilai argumen ini boleh-boleh saja disampaikan. Tetapi peneliti
41

Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, SH, M. Ali Safa’at, SH,MH, Op Cit hal 176- 179

berpendapat bahwa Pancasila merupakan grundnorms karena ia merupakan ideologi
bangsa Indonesia. Sebelum Pancasila dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, ia sudah
menjadi nafas di negara ini42.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dalam hirarkinya, UUD 1945 menempati posisi tertinggi, dimana di dalamnya
terdapat Pancasilan yang kemudian oleh banyak ahli hukum ditetapkan sebagai
staatsfundamentalnorms atau grundnorm (norma dasar). Pernyataan Pancasila sebagai
staatsfundamentalnorms dinyatakan oleh Notonegoro yang kemudian diamini oleh banyak
pakar hukum di negara ini. Ketetapan MPR mengenai hirarki perundang-undangan
menguatkan pendapat tersebut. Tetapi dalam perkembangannya muncul pendapat baru
yang menilai bahwa Pancasila bukan merupakan grundnorm. Alasan yang dikemukakan
adalah karena Pancasila terdapat dalam UUD 1945 yang merupakan staatsverfassung.
Pendapat ini sah-sah saja disampaikan tetapi karena oleh Undang-Undang jelas
disampaikan bahwa sumber hukum dasar nasional yang pertama adalah Pancasila maka
peneliti sependapat dengan pernyataan para ahli bahwa Pancasila merupakan grundnorm.
42

Hal ini disampaikan Padmo Wahjono, dalam bukunya Negara Republik Indonesia, Jakarta : Rajawali
Press, 1982, hal 11

Hal ini ditegaskan dalam TAP MPR No. III/ MPR/ 2000 yang menyatakan sumber hukum
dasar nasional adalah Pancasila.
3.2 SARAN
Perlu pembahasan lebih lanjut mengenai Pancasila yang bukan Grundnorm
ataupun staatsfundamentalnorm. Temuan grundnorm berdasarkan sanggahan yang ada
bisa menjadi masukan tersendiri demi kemajuan sistem hukum yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya,
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1995.
Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, SH, M. Ali Safa’at, SH,MH, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Jakarta : Konstitusi Pers, 2006.
-------- , Pokok – Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT.
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
--------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan
kelima tahun 2013.
Tim penyusun Sekjekn DPR RI, Modul Perancangan Undang-Undang, Sekretariat Jendral
DPR RI, Jakarta, 2008.
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil,SH,MH , Perbandingan Hukum
Administrasi Negara, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil
Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat,
(Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State , translated by : Anders Wedberg, New
York ; Russell & Russell, 1961.
-------, Pure Theory of Law, translation from the second (revised nad enlarged ) German
Edition, translated by: Max Knight, berkeley, Los Angeles, London : University of
California, Press, 1967.
Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, 1982.

Sumber Lain :
Teori Hukum Murni Hans Kelsen, http://www.blog.jtc-indonesia.com/2013/04,
diakses pada Minggu 5 April 2015 .
Negara Hukum Indonesia, http://statushukum.com, diakses pada Minggu 5 April 2015.
Putra Siregar, https://putrasiregar15.wordpress.com, diunggah pada 23
November 2013, diakses pada Minggu 5 April 2015.
Yuda Eka, Piramida Hukum Nasional Indonesia berdasarkan Teori Hans Kelsen,
http://yudaeka793.blogspot.com, diunggah pada Juni 2014, diunduh pada Minggu
5 April 2015.

http://www.setneg.go.id/index.php?
Itemid=195&id=1695&option=com_content&task=view, , diakses
pada Minggu 5 April 2015.
Teori Stufenbau, http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau, diakses pada
Minggu 5 April 2015.
Norma Fundamental Negara, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada Minggu 5
April 2015.

GROUNDNORM DI NEGARA HUKUM
INDONESIA

NAMA

: Brigita P. Manohara

NIM

: 1406509901

MATA KULIAH

: Politik Hukum

No. Kehadiran

: 4 (empat)

PENGAJAR

: Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
TAHUN 2015