METODE MENDIDIK ANAK DALAM PERSPEKTIF TA

METODE MENDIDIK ANAK DALAM PERSPEKTIF TAFSIR HADIST DAN AL-QURAN
SEBAGAI ALTERNATIF ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Oleh: Muhammad Faizal Dzulqarnain
Abstract
The age of the children is divided into two stages until it reaches its baligh period. The first stage
is before tamyiz and the second stage is after tamyiz. The tamyiz is a time where children have
been able to distinguish something well, which is good for him and what is bad or dangerous for
him. And the achievement of the age of tamyiz will be greatly influenced by the parents' lessons,
warnings and directives that can be understood by the child well and in accordance with the
child's sense of growth.
The best method of education for children aged before tamyiz and after tamyiz is by listening and
listening. Because at that age, a child has a very strong memory of everything he sees and hears.
That is why children of ancient times were known to have a remarkable memory, call it like
Imam Ash-Shafi'i, Imam Bukhari, and others.
Keyword:Education, Islam, Hadist, interpretation of the Qur'an, early age

A. Pendahuluan.
Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari
Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya
bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia,
‫ال نيمـادل يوال نيبدنوين ةزي نن يدة انلـيحيياةة الـ دد ن نييـا‬.

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46)
Mendidik anak dengan baik adalah salah satu cara untuk menjaga harta yang paling
berharga. Dibekali dengan pengetahuan agama, orang tua dituntut mampu membimbing putraputrinya ke jalan yang telah diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW. Setiap rumah
tangga haruslah memiliki keinginan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah. Dan untuk menjalankan amanah tersebut maka setiap anggota keluarga mesti memiliki
peranan dan tanggung jawab yang dijalankan sebaik-baiknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
‫عيلى يبين ة‬
‫ يوال نيمنرأ يدة يرا ة‬،‫ل يبينةتةه‬
‫عنن ير ة‬
،‫ت يزنوةجيها يويول يةدةه‬
‫عيلى أ ينه ة‬
‫عييةة ي‬
‫ يوال ديردجدل يراعع ي‬،‫ يوال نأ يةميندر يراعع‬،‫عيد يةتةه‬
‫ يودكل دك دنم يمنسدؤوةل ي‬،‫دكل دك دنم يراعع‬
‫عنن ير ة‬
‫عيد يةتةه‬
‫ يودكل دك دنم يمنسدؤوةل ي‬،‫ يفك دل دك دنم يراعع‬.
Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang
dipimpinnya. Seorang ‘Amir (penguasa) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas


keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian
adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang
dipimpinnya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 893, 5188, 5200), Muslim (no. 1829), dan Ahmad
(II/5, 54-55, 111), dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma]
Suami dan istri haruslah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memelihara
keluarganya, dalam hal ini adalah anak-anaknya yang akan menjadi generasi penerus mereka
kelak. Sebab anak merupakan usaha orang tuanya, yang dapat menjadi “simpanan” di akhirat,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
‫ي‬
‫ يو إة دين يول ييدده ةمنن يكنسةبةه‬،‫ب يما أ ييكيل ال ديردجدل ةمنن يكنسةبةه‬
‫ إة دين أط نيي ي‬.
Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang
dihasilkan dari usahanya sendiri. Dan sesungguhnya anak itu termasuk dari usahanya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/108), An-Nasa’i (II/211), At-Tirmidzi (II/287),
Ad-Darimi (II/247), Ibnu Majah (II/2-430), Ath-Thayalisiy (no. 1580), dan Ahmad (VI/41, 126,
162, 173, 193, 201, 202, dan 220), dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha]
B. Cara Nabi Muhammad SAW Mendidik Anak dengan Implementasi Al-Quran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan uswah bagi orang-orang beriman.

Untuk itulah, kita diperintahkan untuk mencontoh beliau dalam berbagai perkara syari’at, salah
satunya adalah tarbiyatul aulad (mendidik anak). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
setiap orang tua, berkaitan dengan pendidikan anak, antara lain:
1.
Memberikan pendidikan agama kepada anak, terutama ‘aqidah yang akan menjadi
pondasi ke-Islamannya. Perhatikan bagaimana perkataan Luqman kepada anaknya,

‫عةظيةم ۝‬
‫ ي يدبن ي د يى ل ي دتـنشةرنك ةبالةل إة دين الةدشنريك ل يظ دل نةم ي‬,‫يوإةنذ يقايل ل دقنيمدن ةلآنبنةةه يودهيو ي يةعظ دده‬
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Hai anakku, janganlah kamu
menyekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Qs.
Luqman: 13)
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkan
kepadamu beberapa kalimat. Jagalah (hak-hak) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah
(hak-hak) Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Apabila engkau meminta, maka
mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan maka mohonlah kepada
Allah. Dan ketahuilah, sekiranya ummat ini bersatu untuk memberimu manfaat maka manfaat
tersebut tidak akan sampai kepadamu kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atasmu. Dan
apabila ummat ini bersatu untuk mencelakakanmu maka sedikit pun mereka tidak akan mampu
melakukannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena (takdir) telah terangkat dan


lembaran (takdir) telah mengering. Dan ketahuilah, sesungguhnya bersabar atas apa-apa yang
tidak engkau sukai itu memiliki kebaikan yang amat banyak. Dan sesungguhnya pertolongan itu
(ada) bersama kesabaran. Dan sesungguhnya kelapangan itu (datang) bersama kesulitan, dan
sesungguhnya kesulitan itu bersama kemudahan.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
(no. 2516), Ahmad (I/292, 303, 307) dan ini lafazhnya, Al-Hakim (III/541), Ath-Thabrani
dalam Al-Mu’jamul Kabir (XII/12988, 12989), Abu Ya’la (no. 2549), Ibnus Sunni (hal. 427),
Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 316), dan Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah (hal. 198)]
2.
Membiasakan anak-anak untuk berakhlak baik dan menasihatinya ketika melakukan
kesalahan. Karena akhlak mulia menjadi pemberat timbagan pada hari Kiamat nanti,
sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫حيسعن‬
‫ يما يشنيءة أ ينثقيدل ةفي ةمينيزاةن ال ندمؤنةمةن ي ينويم ال نةقييايمةة ةمنن د‬.
‫خل دعق ي‬
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat dalam timbangan seorang Mukmin pada hari
Kiamat nanti daripada akhlak mulia.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (IV/2002) dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahihul Jami’ (no. 5632), dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu]
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus untuk menyempurnakan akhlak

mulia, sebagaimana sabda beliau,
‫خل يةق‬
‫ت ل ةأ ي تي دةميم يصال ةيح ال نأ ي ن‬
‫ إةن د ييما دبةعثن د‬.
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang shalih.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad(no. 273), Ahmad (III/381),
dan Al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Ahmad Syakir dalam syarahnya untuk Al-Musnad (XVII/79, no. 8939), dan dishahihkan
pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Adabul Mufrad (no. 207) dan Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah (no. 45)]
Sebagian orang tua menganggap bahwa membiasakan anak untuk berakhlak baik pada
usia dini belumlah perlu, karena anak-anak akan mendapatkannya pada pendidikan formal kelak.
Padahal, orang tua memiliki andil yang sangat besar untuk mengarahkan anak, karena rumah
merupakan sekolah pertama bagi anak-anak. Dan sebelum anak beranjak menuju pendidikan
formal, dia akan terlebih dulu mendapatkan pendidikan di rumah dan ditengah-tengah
keluarganya. Seorang anak tidak hanya akan mewarisi bentuk fisik orang tuanya, tetapi juga akan
mewarisi tabiat kedua orang tuanya. Dan rumah merupakan tempat dimana anak akan
mengadaptasi ajaran dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya untuk kemudian
diaplikasikan, tidak hanya didalam rumah tetapi juga diluar rumah. [Lihat Akhlak-Akhlak Buruk,
hal. 82]. Dan ketika salah satu dari orang tua, baik itu ayah maupun ibu, sedang menasihati

anaknya, hendaknya orang tua yang lain ikut mendukungnya dan jangan menyelanya atau
bahkan menjatuhkan wibawanya. Sebagai contoh, seorang ayah tengah menasihati anaknya agar
melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Kemudian, sang ibu menyela perkataan sang
ayah, “Kayak ayahnya gak pernah telat shalat aja..” atau “Emang ayahnya suka shalat tepat
waktu gitu?” dan perkataan-perkataan senada lainnya yang menyebabkan suatu nasihat itu akan
menjadi “mentah” bagi sang anak. Karena dengan begitu, anak akan menganggap bahwa orang

tuanya tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya, sebab kesalahan yang dilakukan olehnya
ternyata dilakukan pula oleh orang tuanya.
3.
Mengajarkan adab dan etika kepada anak. Para Salaf telah menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap adab Islami. Simak saja perkataan seorang Salaf kepada anaknya ini,
“Wahai anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau
mempelajari tujuh puluh bab dari ilmu.” [Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim (hal. 2)
dan Ensiklopedi Adab Islam (I/10)]
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pun pernah berkata tentang kebiasaan para Salaf
mengirimkan anak-anaknya untuk mempelajari adab dan ibadah selama 20 tahun sebelum
mereka dapat menuntut ilmu. [Lihat Hilyatul ‘Auliya’ (VI/361), Min Hadyis Salaf fi Thalabil
‘Ilm(hal. 23), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 130)]
Hal serupa juga digambarkan oleh Imam Adz-Dzahabi rahimahullahberikut ini,

“Bahwasanya majelis Imam Ahmad dihadiri oleh lima ribu orang. Lima ratus (orang) diantara
mereka mencatat, sedangkan selebihnya mengambil manfaat dari perilaku, akhlak dan adab
beliau (Imam Ahmad).” [Lihat Siyar A’lamin Nubala’ (XI/316) dan Ensiklopedi Adab
Islam (I/10)] Dan inilah kesaksian seorang Abu Bakar Al-Mithwa’i rahimahullah,
“Aku bolak-balik kepada Abu ‘Abdillah –yakni Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah– selama
sepuluh tahun. Beliau membacakan kitab Al-Musnad kepada anak-anaknya. Aku tidak menulis
satupun hadits darinya, aku hanya melihat adab dan akhlak beliau (pada anak-anaknya).”
[Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim (hal. 3) dan Ensiklopedi Adab Islam (I/10)]
Ada banyak macam adab yang mesti diajarkan kepada anak, namun secara garis besar,
pembahasan tentang masalah adab, etika, dan akhlak terbagi kepada:
a. Adab dan akhlak terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, seperti penghambaan, tidak melakukan syirik,
mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, dan bersyukur
atas semua nikmat-Nya.
b. Adab dan akhlak terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti mengimani beliau
sebagai Nabi dan Rasul terakhir bagi seluruh manusia, mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, mentaati apa yang beliau perintahkan dan menjauhi apa yang beliau larang,
mengikuti Sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi segala bentuk bid’ah.
c. Adab dan akhlak terhadap diri sendiri dan sesama manusia, seperti adab makan dan minum,
adab tidur, adab berpakaian, adab bertamu, adab meminta izin, adab berdo’a dan adab-adab
lainnya.

d. Adab dan akhlak terhadap hewan dan tumbuhan yang sesuai dengan tuntunan syari’at, seperti
tidak menyakitinya, tidak menyiksanya, memberinya makan dan minum, merawatnya, dan tidak
membunuhnya dengan cara-cara yang dilarang oleh agama. [Lihat Menuntut Ilmu Jalan Menuju
Surga (hal. 131-161) dan Menanti Buah Hati (hal. 396)]
Hendaknya semua adab-adab tersebut dijadikan sebagai suatu kebiasaan di dalam rumah,
sehingga ketika si anak pergi keluar rumah, dia akan membawa adab tersebut bersamanya.

4.
Orang tua hendaknya menyertakan anak-anak dalam beribadah, bukan hanya sekedar
memerintahkannya saja. Karena pendidikan anak akan lebih berhasil manakala setiap inderanya
diberdayakan. Jadi, orang tua tidak hanya memberdayakan indera pendengaran anak saja untuk
memerintahnya melakukan ini dan itu, tapi orang tua juga perlu memberdayakan indera
penglihatannya untuk mencontoh sikap dan perilaku baik dari orang tua. Tidak hanya itu, orang
tua juga dapat mengajak anak untuk memberdayakan perasaannya ketika beribadah, yakni
menghadirkan rasa cinta dalam menjalankan suatu ibadah, sekaligus mengajarkan kepadanya
bagaimana menghadirkan hati yang khusyu’ ketika beribadah. Sebagai contoh, ‘Abdullah bin
‘Abbas radhiyallahu’anhuma pernah shalat disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam disebelah kiri, kemudian beliau memegang telinganya dan memindahkannya ke sebelah
kanan beliau. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 6316) dan Muslim (no. 763)]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa urutan

shaf terdepan bagi anak-anak adalah dibelakang shaf laki-laki dewasa, kecuali jika keadaan
tersebut (dikhawatirkan) akan mengganggu jama’ah. Karenanya pada saat itu, perlu bagi kita
untuk menempatkan anak-anak laki-laki diantara shaf laki-laki dewasa agar jama’ah dapat
mengerjakan shalat secara khusyu’.” [Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (IV/391)
5.
Bersikap lemah lembut kepada anak dan bersikap tegas manakala diperlukan. Karena
anak bukanlah benda yang tidak memiliki rasa. Sehingga, orang tua sesekali dianjurkan untuk
mencandai anak, bermain dengannya, dan mencium mereka sebagai bentuk kasih sayang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Aqra’ yang memiliki 10 orang
anak, tetapi dia belum pernah mencium mereka sekalipun,
‫حنم‬
‫حنم ل ي ي دنر ي‬
‫ يمنن ل ل ي ينر ي‬.
Artinya: “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5997) dan Muslim (no. 2318), dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu]
Sikap tegas orang tua kepada anak juga perlu dilakukan sesekali, manakala anak melanggar
ketentuan syar’i. Namun, sikap tegas yang dimaksudkan bukanlah sikap kasar dan menganiaya
anak, karena sikap tegas disini ditujukan sebagai metode pendidikan anak yang memberikan efek
jera, bukan “efek luka”.

Contoh sikap tegas yang dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya adalah memukul
anaknya yang tidak melaksanakan shalat ketika sudah menginjak usia 10 tahun, sebagaimana
disabdakan olehNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ يويفةدردقوا يبينن يدهنم ةفي ال نيميضاةجةع‬،‫عنشةر ةسنةينين‬
‫عل يينيها يودهنم أ ينبينادء ي‬
‫ يوانضةر دبودهنم ي‬،‫ دمدروا أ دنول ييددكنم ةبال د لصل يةة يودهنم أ ينبينادء يسنبةع ةسنةينين‬.
Artinya: “Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan
pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah
tempat tidur mereka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no.
495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni

(I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin
‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)]
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul.
b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya.
c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan.
d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman.
e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.
[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati(hal. 55-56, cat. kaki no.

89)]
Adapun pukulan yang dimaksud adalah:
a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan,
b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak,
c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah.
[Lihat Menanti Buah Hati, hal. 347-348)
6.
Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua
terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan
anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang
demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan
ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya
mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk
memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti
menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi Adab Islam (I/201)]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
‫عـةددلوا ةفي أ ينول يةددكنم‬
‫ اتددقوا ا ي‬،‫عيلى يجنوعر‬
‫ يوا ن‬،‫ل‬
‫ ل ي أ ينشيهـدد ي‬.
Artinya: “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah
dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari Nu’man
bin Basyir radhiyallahu’anhu]
Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka
hendaknya orang tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya.
Allah ‘Azza wa Jallaberfirman,
‫ل ة‬
‫عةظينةم ۝‬
‫عل يدموآ أ ين د ييمآ أ ينميو ل دك دنم يوأ ينول يدددكنم فةتنن يةة يوأ ي دين ا ي‬
‫يوا ن‬
‫عن نيدده أ ينجةر ي‬
Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah
(ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang
besar.” (Qs. Al-Anfal: 28)
‫ل ة‬
‫عةظينةم ۝‬
‫إةن د ييمآ أ ينميو ل دك دنم يوأ ينول يدددكنم ةفتين يةة يوا د‬
‫عن نيدده أ ينجةر ي‬
Artinya: “Hanya saja harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu).
Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. AthTaghabun: 15)

Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka
bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik
oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api Neraka. Dan hal
ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini,
‫ يمةن انبتدل ةيي ةمنن يهـةذةه ال نيبينا ة‬.
‫ دك دين ل يده ةستنلرا ةمين ال ديناةر‬،‫حيسين إةل يينيه دين‬
‫ يفأ ي ن‬،‫ت ةبيشيعء‬
Artinya: “Barang siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik
kepada mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya dari
Neraka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998) dan Muslim (no. 2629),
dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha]
Dan wajib bagi para orang tua untuk membiasakan anak-anak perempuannya untuk
mengenakan jilbab. Jangan biasakan dia mengenakan pakaian tipis, ketat, dan pendek, meskipun
dia belum baligh. Karena kebiasaan berpakaiannya sedari kecil akan mempengaruhi “model
pakaiannya” ketika dewasa.
7.
Memperhatikan kesehatan anak, baik secara jasmani maupun rohani, karena
sesungguhnya Allah lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ل ةمين ال ندمؤنةمةن ال د يضةعين ة‬
‫ف‬
‫ب إةيلى ا ة‬
‫ي ي‬
‫… ال ندمؤنةمدن ال نقيةو د‬
‫ح د‬
‫خينةر يوأ ي ي‬
Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang
lemah…” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664), Ahmad (II/366, 370) dan Ibnu
Majah (no. 79, 4168), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Itulah beberapa hal yang harus menjadi perhatian orang tua terkait dengan pendidikan
anak. Tidak hanya menjadi bahan perhatian orang tua saja, tetapi juga menjadi kewajiban bagi
orang tua, karena apa yang telah diuraikan diatas dapat dikategorikan sebagai hak anak yang
harus dipenuhi oleh orang tuanya.
C. Penutup.
Anak manapun, tentu saja mendambakan kasih sayang kedua orang tuanya. Karena
meskipun dia telah mendapatkan kasih sayang dari kerabat dan teman-temannya, jauh di dalam
lubuk hatinya dia rindu untuk mendekap sang ayah dan dibelai oleh sang bunda. Andaikan para
orang tua mau sedikit lebih peka terhadap sikap dan perasaan sang anak, tentunya mereka dapat
mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis.
Namun, sangat disayangkan bahwa para orang tua masa kini lebih sibuk dengan dunianya
masing-masing tanpa mau menengok ke dalam dunia anak-anaknya barang sebentar saja. Karena
banyak dari mereka menggunakan alasan perekonomian sebagai alibi untuk menghindar dari
tindakan “salah asuh” yang kerap terjadi belakangan ini.

Sehingga, para orang tua menjerumuskan anak-anak mereka ke dalam lembah kenistaan tanpa
sadar, dengan sebab sikap acuh tak acuh dengan pendidikan anak.

Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
‫لق ن د ينحدن ن ينردزدقـدهـنم يوإة دييا د ن ل‬
‫كم‬
‫خنشييية إةنم ي ع ل‬
‫… يول يتينقـتددلوآ أ ينول ييددكنم ي‬
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang
akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu…” (Qs. Al-Isra’: 31)
Meskipun ayat diatas menyebutkan tentang larangan membunuh anak karena takut
miskin, akan tetapi Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menegaskan dalam ayat yang sama bahwa
Allah-lah yang memberikan rizki kepada orang tua dan anak tersebut maka tidak ada alasan bagi
setiap orang tua untuk mengabaikan hak anak dan hanya memberikan wewenang pada instansi
formal untuk memberikan pendidikan kepada anak, tanpa orang tua turut terlibat di dalamnya,
hanya karena alasan perekonomian.
Jadi, sesibuk apa pun aktifitas kedua orang tua, hendaknya orang tua dapat meluangkan
waktu bersama anak untuk mengetahui sejauh mana pendidikan yang telah diterimanya dan
mengamati hal-hal apa saja yang harus diperbaiki, ditambah, atau mungkin dikurangi dari
“porsi” pendidikan si anak. Dengan demikian, hubungan antara orang tua dan anak tidak lagi
berada dalam dua dunia yang berbeda dan terpisahkan oleh jurang yang sangat jauh dan dalam.
Dan dalam hal ini diperlukan pendekatan yang komunikatif antara keduanya. Sepatutnya anak
mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari kedua orang tua dan kerabatnya. Dan yang
terpenting dari semuanya adalah pendidikan yang menjadi hak anak dan prioritas bagi setiap
orang tua, karena
Allah Ta’ala telah berfirman,
‫ييآي ديهاال د يةذي نين يءايمدنوا دقوا أ ين نفديسك دنم يوأ ينهل ةينك دنم ينالرا يودقودديها ال دينادس يوال نةحيجايردة … ۝‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (Qs. At-Tahrim: 6)
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu menegaskan bahwa maksud dari ayat diatas adalah
mendidik dan mengajari keluarga. [Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim(IV/408) dan Bekal Menanti
Si Buah Hati (hal. 52)]

Daftar Pustaka:
1. Akhlak-Akhlak Buruk, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
2. Al-Masaail Jilid 6, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah, Jakarta
3. Bekal Menanti Si Buah Hati, Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi, cetakan Media Tarbiyah, Bogor
4. Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Ummu Salamah As-Salafiyyah, cetakan Pustaka Ibnu
Katsir, Bogor
5. Ensiklopedi Adab Islam Jilid 1, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, cetakan Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, Jakarta
6. Jangan Salah Mendidik Buah Hati, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, cetakan Darus
Sunnah, Jakarta
7. Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk yang Dinanti, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan
Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
8. Menggapai Surga Tertinggi dengan Akhlak Mulia, Ummu Anas Sumayyah bintu Muhammad
Al-Ansyariyyah, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
9. Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa,
Bogor
10. Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa, Bogor
11. Tarbiyatul Abna (Edisi Terjemah), Syaikh Musthafa Al-Adawi, cetakan Media Hidayah,
Yogyakarta