Respon Mahasiswa FISIP USU Terhadap Konflik KPK-Polri pada Tahun 2015

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1

Respon Mahasiswa

2.1.1

Pengertian
Mahasiswa merupakan individu yang mengikuti perkuliahan di Perguruan Tinggi.

Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan
kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas
masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan,
ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme.
Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.
Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak
sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa
memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang
tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat

tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat.
Oleh karena itu perlu dirumuskan perihal peran, fungsi, dan posisi mahasiswa untuk menentukan
arah perjuangan dan kontribusi mahasiswa tersebut. Adapun peran mahasiswa tersebut adalah:

8
Universitas Sumatera Utara

2.1.2

Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”
Mahasiswa dapat menjadi Iron Stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia-

manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat
menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Intinya mahasiswa itu merupakan aset, cadangan,
harapan bangsa untuk masa depan. Tak dapat dipungkiri bahwa seluruh organisasi yang ada akan
bersifat mengalir, yaitu ditandai dengan pergantian kekuasaan dari golongan tua ke golongan
muda, oleh karena itu kaderisasi harus dilakukan terus-menerus. Dunia kampus dan
kemahasiswaannya merupakan momentum kaderisasi yang sangat mahasiswang bila tidak
dimanfaatkan bagi mereka yang memiliki kesempatan.
Sejarah telah membuktikan bahwa di tangan generasi mudalah perubahan-perubahan besar

terjadi, dari zaman kolonialisme, hingga reformasi, pemudalah yang menjadi garda depan
perubah kondisi bangsa.

2.1.3 Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value”
Mahasiswa sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa berperan sebagai penjaga nilainilai di masyarakat. Nilai yang harus dijaga adalah sesuatu yang bersifat benar mutlak, dan tidak
ada keraguan lagi di dalamnya. Selain nilai yang di atas, masih ada satu nilai lagi yang
memenuhi kriteria sebagai nilai yang wajib dijaga oleh mahasiswa, nilai tersebut adalah nilainilai dari kebenaran ilmiah.
Pemikiran Guardian of Value yang berkembang selama ini hanyalah sebagai penjaga
nilai-nilai yang sudah ada sebelumya, atau menjaga nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran,
kesigapan, dan lain sebagainya. Penjelasan Guardian of Value hanya sebagai penjaga nilai-nilai
yang sudah ada juga memiliki kelemahan yaitu bilamana terjadi sebuah pergeseran nilai, dan

9
Universitas Sumatera Utara

nilai yang telah bergeser tersebut sudah terlanjur menjadi sebuah perimeter kebaikan di
masyarakat, maka akan kesulitan dalam memandang arti kebenaran nilai itu sendiri.

2.1.4 Mahasiswa Sebagai “Agent of Change”
Mahasiswa sebagai Agent of Change maksudnya adalah bahwa mahasiswa sebagai agen

dari suatu perubahan. Fakta menunjukkan bahwa kondisi bangsa saat ini jauh sekali dari kondisi
ideal, dimana banyak sekali penyakit-penyakit masyarakat yang menghinggapi hati bangsa ini,
mulai dari pejabat-pejabat atas hingga bawah, dan tentunya tertular pula kepada banyak
rakyatnya. Sudah seharusnyalah melakukan terhadap hal ini. Lalu alasan selanjutnya mengapa
harus melakukan perubahan adalah karena perubahan itu sendiri merupakan harga mutlak dan
pasti akan terjadi walaupun diam. Bila diam secara tidak sadar telah berkontribusi dalam
melakukan perubahan, namun tentunya perubahan yang terjadi akan berbeda dengan ideologi
yang anut dan anggap benar.
Mahasiswa adalah golongan yang harus menjadi garda terdepan dalam melakukan
perubahan dikarenakan mahasiswa merupakan kaum yang “eksklusif”, hanya 5% dari pemuda
yang bisa menyandang status mahasiswa, dan dari jumlah itu bisa dihitung pula berapa persen
lagi yang mau mengkaji tentang peran-peran mahasiswa di bangsa dan negaranya ini.
Mahasiswa-mahasiswa yang telah sadar tersebut sudah seharusnya tidak lepas tangan begitu saja.
Mereka tidak boleh membiarkan bangsa ini melakukan perubahan ke arah yang salah. Merekalah
yang seharusnya melakukan perubahan-perubahan tersebut.
Perubahan itu sendiri sebenarnya dapat dilihat dari dua pandangan. Pandangan pertama
menyatakan bahwa tatanan kehidupan bermasyarakat sangat dipengaruhi oleh hal-hal bersifat
materialistik seperti teknologi, misalnya kincir angin akan menciptakan masyarakat feodal,

10

Universitas Sumatera Utara

mesin industri akan menciptakan mayarakat kapitalis, internet akan menciptakan menciptakan
masyarakat yang informatif, dan lain sebagainya. Pandangan selanjutnya menyatakan
bahwaideologi atau nilai sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Sebagai mahasiswa
nampaknya harus bisa mengakomodasi kedua pandangan tersebut demi terjadinya perubahan
yang diharapkan. Itu semua karena berpotensi lebih untuk mewujudkan hal-hal tersebut.
Sudah jelas kenapa perubahan itu perlu dilakukan dan kenapa pula mahasiswa harus
menjadi garda terdepan dalam perubahan tersebut, lantas dalam melakukan perubahan tersebut
haruslah dibuat metode yang tidak tergesa-gesa, dimulai dari ruang lingkup terkecil yaitu diri
sendiri, lalu menyebar terus hingga akhirnya sampai ke ruang lingkup yang harapkan, yaitu
bangsa ini.

2.1.5 Fungsi Sosial Kemasyarakatan Mahasiswa
Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang diungkapkan M.Hatta yaitu membentuk
manusia susila dan demokrat yang:
1.

Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat


2.

Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan

3.

Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat

Berdasarkan pemikiran M.Hatta tersebut, dapat sederhanakan bahwa tugas perguruan
tinggi adalah membentuk insan akademis, yang selanjutnya hal tersebut akan menjadi sebuah
fungsi bagi mahasiswa itu sendiri. Insan akademis itu sendiri memiliki dua ciri yaitu :
memiliki sense of crisis, dan selalu mengembangkan dirinya.

11
Universitas Sumatera Utara

Insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalahmasalah yang terjadi di sernya saat ini. Hal ini akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa
itu mengikuti watak ilmu, yaitu selalu mencari pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan
mengikuti watak ilmu tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah
yang terjadi dan terlebih lagi menemukan solusi-solusi yang tepat untuk menyelesaikannya.

Insan akademis harus selalu mengembangkan dirinya sehingga mereka bisa menjadi generasi
yang tanggap dan mampu menghadapi tantangan masa depan.
Dalam hal insan akademis sebagai orang yang selalu mengikuti watak ilmu, ini juga
berhubungan dengan peran mahasiswa sebagai penjaga nilai, dimana mahasiswa harus mencari
nilai-nilai kebenaran itu sendiri, kemudian meneruskannya kepada masyarakat, dan yang
terpenting adalah menjaga nilai kebenaran tersebut.

2.1.6

Posisi Mahasiswa Dalam Pembangunan
Mahasiswa dengan segala kelebihan dan potensinya tentu saja tidak bisa disamakan

dengan rakyat dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa. Mahasiswa pun masih
tergolong kaum idealis, dimana keyakinan dan pemikiran mereka belum dipengaruhi oleh parpol,
ormas, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa menurut mahasiswa tepat bila dikatakan
memiliki posisi diantara masyarakat dan pemerintah.
Mahasiswa dalam hal hubungan masyarakat ke pemerintah dapat berperan sebagai
kontrol politik, yaitu mengawasi dan membahas segala pengambilan keputusan beserta
keputusan-keputusan yang telah dihasilkan sebelumnya. Mahasiswa pun dapat berperan sebagai
penyampai aspirasi rakyat, dengan melakukan interaksi sosial dengan masyarakat dilanjutkan

dengan analisis masalah yang tepat maka diharapkan mahasiswa mampu menyampaikan realita

12
Universitas Sumatera Utara

yang terjadi di masyarakat beserta solusi ilmiah dan bertanggung jawab dalam menjawab
berbagai masalah yang terjadi di masyarakat.
Mahasiswa dalam hal hubungan pemerintah ke masyarakat dapat berperan sebagai
penyambung lidah pemerintah. Mahasiswa diharapkan mampu membantu menyosialisasikan
berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tak jarang kebijakan-kebijakan pemerintah
mengandung banyak salah pengertian dari masyarakat, oleh karena itu tugas mahasiswalah yang
marus “menerjemahkan” maksud dan tujuan berbagai kebijakan kontroversial tersebut agar
mudah dimengerti masyarakat.
Posisi mahasiswa cukuplah rentan, sebab mahasiswa berdiri di antara idealisme dan
realita. Tak jarang berat sebelah, saat membela idealisme ternyata melihat realita masyarakat
yang semakin buruk. Saat berpihak pada realita, ternyata secara tak sadar sudah meninggalkan
idealisme dan juga kadang sudah meninggalkan watak ilmu yang seharusnya miliki.
Mengenai posisi mahasiswa saat ini mahasiswa berpendapat bahwa mahasiswa terlalu
menganggap dirinya “elit” sehingga terciptalah jurang lebar dengan masyarakat. Perjuanganperjuangan yang dilakukan mahasiswa kini sudah kehilangan esensinya, sehingga masyarakat
sudah tidak menganggapnya suatu harapan pembaruan lagi. Sedangkan golongan-golongan atas

seperti pengusaha, dokter, dsb. Merasa sudah tidak ada lagi kesamaan gerakan. Perjuangan
mahasiswa kini sudah berdiri sendiri dan tidak lagi “satu nafas” bersama rakyat.

13
Universitas Sumatera Utara

2.2

Konflik

2.2.1

Pengertian
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang

memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedaan merupakan kenyataan
hidup yang tidak dapat dihindari yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hal
ini, konflik memiliki dua sisi mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai
positif.
Suatu konflik dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan

secara produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui
mekanisme transformasi—pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian masalah atau
dikenal dengan istilah resolusi konflik.
Menurut Lawang (1994), konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal
yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu
tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat
diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok
lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan
budaya) yang relatif terbatas.
Robbins (2002) mendefinisikan konflik sebagai situasi yang mana individu (seseorang)
dihadapkan dengan harapan-harapan peran yang berlainan. Jadi konflik timbul bila individu
dalam peran tertentu dibingungkan oleh tuntutan kerja atau keharusan melakukan sesuatu yang
berbeda dari yang diinginkannya atau yang tidak merupakan dari bagian kerjanya

14
Universitas Sumatera Utara

Konflik dapat terjadi pada setiap individu dan kelompok dalam masyarakat, yang
menuntut adanya penyelesaian. Konflik pribadi dapat terjadi antar individu atau dalam diri
sendiri. Perbedaan pandangan atau kepentingan atau pendapat dapat menjadi pemicu bagi

munculnya konflik pribadi. Konflik yang terjadi dalam diri individu dapat muncul manakala
terdapat perbedaan antara idealisme yang dimilikinya dengan kenyataan.
Konflik yang terjadi antara individu dengan individu, misalnya konflik di antara sesama
teman di sekolah. Konflik antara individu dengan kelompok, misalnya konflik antara seorang
majikan dengan buruhnya. Sedangkan konflik antara kelompok dengan kelompok, misalnya para
pedagang kaki lima dengan para petugas ketertiban. Konflik kelompok dapat terjadi manakala
dua kelompok mengalami perbedaan kepentingan atau perbedaan pendapat. Konflik yang tidak
teratasi menjadi potensi laten bagi terjadinya disintegrasi sosial. Dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, konflik merupakan proses sosial. Konflik merupakan salah satu fakta sosial yang
berbeda dengan fakta individual.
Penyebab konflik sangatlah kompleks yang dilatarbelakangi oleh berbagai dimensi dan
peristiwa sosial. Konflik yang terjadi dalam masyarakat bisa berlatar belakang ekonomi, politik,
kekuasaan, budaya, agama, dan kepentingan lainnya. Menurut DuBois dan Miley, sumber utama
terjadinya konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap
hak-hak individu dan kelompok, dan tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Salah
satu sebab terjadinya konflik ialah karena reaksi yang diberikan oleh dua orang/ kelompok atau
lebih dalam situasi yang sama berbeda-beda. Selain itu, konflik mudah terjadi apabila prasangka
telah berlangsung lama.
Menurut Gerungan (1966) prasangka social (social prejudice) terjadi karena:
1. Kurangnya pengetahuan dan pengertian tentang hidup pihak lain


15
Universitas Sumatera Utara

2. Adanya kepentingan perseorangan atau golongan
3. Ketidakinsyafan akan kerugian dari akibat prasangka

Dalam sosiologi, konflik merupakan gambaran tentang terjadinya percekcokan,
perselisihan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang
muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun perbedaan
kelompok. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan pendapat, pandangan, penafsiran,
pemahaman, kepentingan atau perbedaan yang lebih luas dan umum, seperti perbedaan agama,
ras, suku bangsa, bahasa, profesi, golongan politik dan kepercayaan.
Sumber terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat dapat dikategorikan ke dalam
lima faktor yaitu:
1.

Faktor perbedaan individu dalam masyarakat.
Perbedaan invididu ini terjadi berdasarkan pada perbedaan antar anggota masyarakat
secara orang perorangan, baik secara fisik dan mental maupun perbedaan material dan nonmaterial. Perbedaan fisik lebih menekankan pada keadaan jasmaniah, misalnya rupa atau
kecantikan, kesempurnaan indera dan bentuk tubuh. Perbedaan mental, misalnya
kecakapan, kemampuan dan keterampilan, pendirian atau perasaa. Sedangkan perbedaan
material lebih dicirikan dengan kepemilikan harta benda, misalnya orang kaya atau orang
miskin, dan perbedaan non-material berkenaan dengan status sosial seseorang. Sehingga
dari perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan pertikaian atau bentrokan di antara
anggota masyarakat.

16
Universitas Sumatera Utara

2.

Perbedaan pola kebudayaan
Perbedaan yang terdapat antar daerah atau suku bangsa yang memiliki budaya yang
berbeda, atau terdapat dalam satu daerah yang sama karena perbedaan paham, agama dan
pandangan hidup. Sehingga dari perbedaan pola kebudayaan tersebut dapat melahirkan dan
memperkuat entiment primordial yang dapat mengarah kepada terjadinya konflik antar
golongan atau kelompok. Misalnya di daerah transmigrasi terjadi konflik antara kaum
pendatang dengan penduduk asli.

3.

Perbedaan status sosial
Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam kelompok atau masyarakat, yang untuk
mendapatkannya ada yang bisa diusahakan (achieved status) dan ada pula status yang
diperoleh dengan tanpa diusahakan (ascribed status). Status yang dapat diusahakan
misalnya melalui pendidikan, orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan berada
pada status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah,
sedangkan status yang tanpa diusahakan dapat diperoleh melalui keturunan, seperti kasta
dalam Agama Hindu atau kebangsawanan. Terdapatnya beragam kedudukan dalam
masyarakat dapat menimbulkan perselisihan untuk mendapatkan kedudukan yang baik,
terutama ascribed status.

4.

Perbedaan kepentingan
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia memiliki kepentingan dan usaha yang
berbeda, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan sosial, yang dapat menimbulkan
pertentangan antar individu atau kelompok. Pada masyarakat nomaden sering terjadi
pertikaian antar kelompok untuk mendapatkan daerah yang subur, sedangkan pada
masyarakat industri sering terjadi perselisihan untuk mendapatkan bahan baku atau

17
Universitas Sumatera Utara

konsumen dan dalam aspek kehidupan politik terjadi perselisihan antar kelompok untuk
mendapatkan partisipan. Jadi konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan dapat
terjadi pada setiap masyarakat dengan berbagai tingkatannya.
5.

Terjadinya perubahan sosial
Perubahan sosial dengan konflik terdapat hubungan karena perubahan sosial dapat terjadi
akibat konflik sosial dan sebaliknya perubahan sosial dapat menimbulkan konflik.
Masuknya unsur-unsur baru ke dalam suatu sistem sosial dapat menimbulkan perubahan
sosial yang dapat dapat memicu terjadinya konflik apabila anggota masyarakat tidak
seluruhnya menerima. Misalnya, penggunaan traktor pada bidang pertanian telah merubah
struktur mata pencaharian dan melahirkan konflik antara petani dengan buruh tani (tenaga
kerja).

Ralf Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai
dua wajah ( konflik dan konsensus ) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua
bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teori konsensus harus menguji nilai integrasi dalam
masyarakat dan teoritisis konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan
yang mengingat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa
masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain.
Menurut teoritisi konflik masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan
demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap
posisi yang lain.
Beberapa tahun yang lalu, fungsionalisme struktural adalah teori dominan dalam
sosiologi. Teori konflik adalah teori yang sangat menetang, dan yang paling utama, menjadi

18
Universitas Sumatera Utara

alternatif menggantinya terhadap posisi dominan itu. Teori konflik ini berasal dari berbagai
sumber yang lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap
fungsionalisme struktural.

Namun kemudian konflik ini tidak bisa menggantikan masalah

mendasar dalam teori konflik karena teori ini tidak akan pernah berhasil memisahkan dirinya
dari akar struktural fungsionalisme. Teori ini bisa dibilang merupakan sejenis fungsionalisme
struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap
masyarakatnya.
Teori konflik bertujuan mengatasi watak yang secara dominan bersifat arbitrer. Dari
sebuah peristiwa yang tidak dapat dijelaskan, dengan menurunkan peristiwa-peristiwa itu dari
elemen struktur sosial. Dengan lain kata, menjelaskan proses-proses tertentu dengan bersifat
ramalan. Konflik antara buruh dan majikan memang memerlukan penjelasan. Tetapi yang lebih
penting adalah menunjukkan bukti bahwa konflik yang demikian didasari oleh susunan struktural
tertentu, yang oleh karenanya dimanapun cenderung melahirkan susunan struktur yang telah ada.
Dalam hal ini Dahrendorf menekankan pentingnya kekuasaaan dan akibat konflik yang sampai
kapan pun tidak dapat dihindari.
Seperti halnya Marx, perhatian yang kedua terhadap diterminan “konflik aktif”. Seperti
fungsionalis, ahli teori konflik berorientasi terhadap studi struktur dan institusi sosial.
Sebenarnya sangat sedikit teori ini yang berlawanan dengan secara langsung dengan pendirian
fungsionalis. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam
keadaan berubah secara seimbang.
Akan tetapi menurut Dahrendorf, dan teori konflik yang lain, setiap masyarakat setiap
saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal

19
Universitas Sumatera Utara

yang maksudnya diikat oleh norma, nilai dan moral. Sedangkan dalam pandangan teoritisi
konflik apa pun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap
anggotanya oleh mereka yang berada diatas.

2.2.2

Arena dan Isu-isu yang membingkai konflik
Konflik sosial bisa berlangsung pada asas antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga ruang

kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu “ruang kekuasaan
negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor swasta” (Bebbington, 1997; dan
Luckham, 1998). Konflik sosial bisa berlangsung di dalam setiap ruangan ataupun melibatkan
agensi atau struktur antar-ruangan kekuasaan. Konflik sosial antar “pemangku kekuasaan” dapat
berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:
(1) Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan Negara dan
sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat
atas kebijakan publik yang diambil oleh negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan
merugikan masyarakat secara umum. Perlawanan asosiasi pedagang kaki-lima di Jakarta
melawan penggusuran oleh Pemerintah DKI Jaya adalah contoh klasik yang terus
kontemporer.
(2) Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas sosial melawan
swasta dan sebaliknya. Contoh klasik dalam hal ini adalah “perseteruan berdarah” yang terus
berlangsung (bahkan hingga kini) antara komunitas lokal melawan perusahaan
pertambangan multi-nasional di Papua. Kasus serupa juga

ditemui dalam “Tragedi

Pencemaran Teluk Buyat” yang memperhadapkan warga lokal yang menderita kesakitan

20
Universitas Sumatera Utara

akibat pencemaran air terus-menerus dari limbah tailing aktivitas penambangan emas oleh
perusahaan swasta asing di Sulawesi Utara di awal dekade 2000-an.
(3) Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadap-hadapan melawan Negara dan
sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh Pemerintah/Negara dalam mengawal
jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara
tidak terelakkan.

Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin kompleks,
manakala unsur-unsur pembentuk sebuah ruang kekuasaan tidak merepresentasikan struktur
sosial dengan atribut/identitas sosial yang homogen. Di ruang kekuasaan negara, termuat
sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat latent (terselubung terpendam) maupun
manifest (mewujud nyata).
Dalam hal ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung
dalam praktek manajemen pemerintahan akibat olah-kewenangan dalam pengendalian
pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan
pusat. Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenangan” tersebut mengemuka
sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi.
Konflik sosial horisontal, juga berlangsung antar departemen sektoral di pemerintahan
pusat, ataupun antara satu pemerintah kabupaten berhadap-hadapan melawan pemerintah
kabupaten lain dalam suatu kebijaksanaan tertentu. Di ruang kekuasaan masyarakat sipil atau
kolektivitas sosial, berlangsung konflik sosial yang tidak kalah intensifnya antara sesama
kolektivitas sosial dalam mempertentangkan suatu obyek yang sama. Hal ini dipicu oleh cara
pandang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu persoalan. Perbedaan mazhab atau ideologi

21
Universitas Sumatera Utara

yang dianut oleh masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat berubah
menjadi konflik sosial yang nyata.
Beberapa contoh atas konflik ini bisa disebutkan antara lain adalah, tawuran antar warga
yang dipicu oleh hal-hal yang dalam “kehidupan normal” dianggap sederhana (sepele), seperti
masalah batas wilayah administratif (desa atau kabupaten) yang hendak dimekarkan sebagai
konsekuensi otonomi daerah.
Sementara itu, di ruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan
perbedaan identitas sosial komunal (ethno-communal conflict) seperti ras, etnisitas dan
religiositas. Konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para penganut mazhab pada sebuah
agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana terjadi antara penganut “Ahmadyah” versus “nonAhmadyah”) juga terjadi secara dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia.

Terjadinya konflik sosial umumnya melalui dua tahap, yaitu dimulai dari tahap keretakan
sosial (disorganisasi) yang terus berlanjut ke tahap perpecahan (disintegrasi). Timbulnya gejalagejala disorganisasi dan disintegrasi adalah akibat dari hal-hal berikut:
1. Ketidaksepahaman para anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang pada awalnya
menjadi pedoman bersama.
2. Norma-norma sosial tidak membantu lagi anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang
telah disepakati.
3. Kaidah-kaidah dalam kelompok yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain.
4. Sangsi menjadi lemah bahkan tidak dilaksanakan dengan konsekuen.
5. Tindakan anggota kelompok sudah bertentangan dengan norma-norma kelompok.

22
Universitas Sumatera Utara

Adapun isu-isu kritikal yang membingkai konflik adalah:
1.

Konflik antar kelas sosial (sosial class conflict) sebagaimana terjadi antara “kelas buruh”
melawan “kelas majikan” dalam konflik hubungan-industrial, atau “kelas tuan tanah”
melawan “kelas buruh-tani” dalam konflik agraria.

2.

Konflik Moda Produksi dalam Perekonomian (Modes of production conflict) yang
berlangsung antara kelompok pelaku ekonomi bermodakan (cara-produksi) ekonomi
peasantry-tradisionalisme (pertanian skala kecil subsisten-sederhana) melawan para pelaku
ekonomi bersendikan moral-ekonomi akumulasi profit dan eksploitatif.

3.

Konflik sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources conflict) adalah konflik sosial
yang berpusat pada isyu “claim dan reclaiming” penguasaan sumberdaya alam (tanah atau
air) sebagai pokok sengketa terpenting. Dalam banyak hal, konflik sumberdaya alam
berimpitan dengan konflik agraria, dimana sekelompok orang memperjuangkan hak-hak
penguasaan tanah yang diklaim sebagai property mereka melawan negara, badan swasta atau
kelompok sosial lain.

4.

Konflik ras (ethnics and racial conflict) yang mengusung perbedaan warna kulit dan atribut
sub-kultural yang melekat pada warna kulit pihak-pihak yang berselisih.

5.

Konflik antar-pemeluk agama (religious conflict) yang berlangsung karena masing masing
pihak mempertajam perbedaan prinsip yang melekat pada ajaran masing masing agama yang
dipeluk mereka.

6.

Konflik sektarian (sectarian conflict), adalah konflik yang dipicu oleh perbedaan pandangan
atau ideologi yang dianut antar pihak. Konflik akan makin mempertajam perbedaan
pandangan antar mazhab (seringkali pada ideologi yang sama).

23
Universitas Sumatera Utara

7.

Konflik politik (political conflict) yang berlangsung dalam dinamika olahkekuasaan (power
exercise).

8.

Gender conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua penganut pandangan berbeda
dengan basis perbedaan adalah jenis-kelamin. Para pihak mengusung kepentingankepentingan (politik, kekuasaan, ekonomi, peran sosial) yang berbeda dan saling
berbenturan antara dua kelompok penyokong yang saling berseberangan.

9.

Konflik-konflik antar komunitas (communal conflicts), yang bisa disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti: eksistensi identitas budaya komunitas dan factor sumberdaya kehidupan
(sources of sustenance). Konflik komunal seringkali bisa berkembang menjadi konflik
teritorial jika setiap identitas kelompok melekat juga identitas kawasan.

10. Konflik teritorial (territorial conflict) adalah konflik sosial yang dilancarkan oleh komunitas
atau masyarakat lokal untuk mempertahankan kawasan tempat mereka membina kehidupan
selama ini. Konflik teritorial seringkali dijumpai di kawasankawasan Hak Pengusahaan
Hutan (HPH), dimana komunitas adat/lokal merasa terancam sumber kehidupan dan
identitas sosio-budayanya manakala penguasa HPH menghabisi pepohonan dan hutan
dimana mereka selama ini bernaung dan membina kehidupan sosial-budaya dan sosiokemasyarakatan.
11. Inter-state conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua negara dengan kepentingan,
ideologi dan sistem ekonomi yang berbeda dan berbenturan kepentingan dengan pihak lain
negara.
12. Dalam kecenderungan global, inter-state conflict bisa berkembang menjadi regional conflict
sebagaimana terjadi pada era “perang dingin” (Blok Uni Soviet vs Blok USA), atau

24
Universitas Sumatera Utara

peperangan di Balkan pada akhir dekade 1990an, dimana USA dan NATO menghabisi
Serbia.

2.2.3

Pendekatan Resolusi Konflik
Secara ilmiah terminologi resolusi konflik merujuk pada kebutuhan individu,kelompok,

tim, organisasi atau komunitas untuk melihat perdamaian sebagai suatu ‘proses’ terbuka dan
dalam kerangka aksi penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus
konflik.
Beberapa asumsi yang melandasi pentahapan proses resolusi konflik dibuat untuk 5
(lima) tujuan yakni sbb:
1. Konflik tidak hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus
dipandang sebagai sebuah fenomena sosial.
2. Konflik memiliki daur kerja atau siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup
suatu konflik secara spesifik sangat dipengaruhi dinamika dan perubahan lingkungan
tertentu.
3. Sebab atau akar masalah suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel
tunggal—suatu proposisi kausalitas bivariat tetapi lebih bersifat multidimensi.
4. Konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi
bertingkat berbagai faktor.
5. Resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal, apabila dikombinasikan dengan
beragam intervensi dan mekanisme penyelesaian konflik yang relevan.

25
Universitas Sumatera Utara

Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif, melalui
keterpaduan melibatkan berbagai pihak dan sumber daya dengan upaya komprehensif untuk
mewujudkan perdamaian secara berkelanjutan.
Sebagai bagian dari proses-proses sosial, dalam banyak kasus dijumpai bahwa konflik
sosial tidak berlangsung secara serta-merta. Meski tipe konflik sosial yang bersifat “spontaneous
conflict” tetap ada (misalnya tawuran para pendukung kesebalasan sepakbola yang sedang
bertanding), namun jenis konflik yang “serta-merta” tersebut biasanya lebih mudah dikendalikan
dan segera diredam, daripada yang bersifat konstruktif dan organized.
Dalam hal dijumpai kasus-kasus konflik sosial yang bertipe “constructive social
conflict”, ada sejumlah prasyarat yang memungkinkan konflik sosial dapat berlangsung, antara
lain:
1.

Ada isu-kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly problematized) dari para pihak
berbeda kepentingan,

2.

Ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut-paut dengan sebuah obyekperhatian para pihak bertikai,

3.

Ada gunjingan/gossip atau hasutan serta fitnah merupakan tahap inisiasi konflik sosial yang
sangat menentukan arah perkembangan konflik sosial menuju wujud riil di dunia nyata,

4.

Ada kompetisi dan ketegangan psiko-sosial yang terus dipelihara oleh kelompok-kelompok
berbeda kepentingan sehingga memicu konflik sosial lebih lanjut. Pada derajat yang paling
dalam, segala pra-syarat terjadinya konflik akan memicu,

5.

Ada masa kematangan untuk perpecahan yang diakhiri oleh clash yang bisa disertai dengan
violence (kerusakan dan kekacauan).

26
Universitas Sumatera Utara

Konflik sosial bisa berakibat sangat luas dan berlangsung dalam jangka waktu lama, bila
semua tahapan tersebut diorganisasikan dengan baik (organized social conflict) seperti yang
terjadi antara Republik Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) beberapa waktu lalu.
Sementara itu, dampak konflik dapat cepat ditekan perluasannya, jika sifatnya tidak
terorganisasikan dengan baik (unorganized social conflict).

Jikalau dilihat dari perspektif kecepatan reaksi (speed of reaction) yang diberikan para
pihak atas ketidaksepahaman yang terbentuk di kalangan berkonflik, maka konflik sosial dapat
berlangsung dalam beberapa variasi tipe/bentuk, yaitu:
1.

Gerakan sosial damai (peaceful collective action) yang berlangsung berupa aksi
penentangan, yang dapat berlangsung dalam bentuk: “aksi korektif”, “mogok kerja”,
“mogok makan”, dan “aksi-diam”. Dalam hal ini, tidak ditemukan resolusi konflik yang
memuaskan, maka aksi damai dapat dimungkinkan berkembang menjadi “aksi membuat
gangguan umum” (strikes and civil disorders) dalam bentuk demonstrasi ataupun huru-hara.

2.

Demonstrasi (demonstrations) atau protes bersama (protest gatherings) adalah kegiatan
yang mengekspresikan atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu kelompok atas
suatu isu tertentu. Derajat tekanan konflik kurang-lebih sama dengan pemogokan. Aksi
kolektif seperti ini biasanya diambil sebagai protes yang reaksioner yang dilakukan secara
berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu pihak
tertentu kepada pihak berseberangan atas suatu masalah tertentu. Biasanya skala bersifat
lokalitas, sporadik (meski tidak tertutup kemungkinan dapat meluas).

3.

Kerusuhan dan huru-hara (riots), adalah peningkatan derajat keberingasan (degree of
violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung sebagai reaksi massal atas suatu

27
Universitas Sumatera Utara

keresahan umum. Oleh karena disertai dengan histeria massa, maka huru-hara seringkali
tidak bisa dikendalikan dengan mudah tanpa memakan korban luka (bahkan kematian).
4.

Pemberontakan (rebellions) adalah konflik sosial berkepanjangan yang biasanya digagas dan
direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan dengan baik. Pemberontakan bisa
menyangkut perjuangan atas suatu kedaulatan atau mempertahankan “kawasan” termasuk
eksistensi ideologi tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest,
melainkan bisa diawali “di bawah tanah” sehingga tampak latent sifatnya.

5.

Aksi

radikalisme-revolusioner

(revolutions)

adalah

gerakan

penentangan

yang

menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu.
6.

Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki oleh masyarakat
dunia karena dampaknya yang sangat luas terhadap kemanusiaan.

Keberagaman peristiwa dari wujud konflik sosial tersebut sesungguhnya dapat
diklasifikasikan ke dalam enam kelompok bentuk konflik sosial, yaitu:
1.

Konflik pribadi
Konflik pribadi yaitu merupakan pertentangan yang terjadi secara individual yang
melibatkan dua orang yang bertikai. Misalnya pertentangan yang terjadi antar dua teman,
perselisihan suami dengan istri, pertentangan antara pimpinan dengan salah seorang stafnya.

2.

Konflik kelompok
Konflik ini terjadi karena adanya pertentangan antara dua kelompok dalam masyarakat.
Misalnya pertentangan antara dua perusahaan yang memproduksi barang sejenis dalam
memperebutkan daerah pemasaran, pertentangan antara dua kesebelasan olah raga.

3.

Konflik antar kelas sosial

28
Universitas Sumatera Utara

Konflik antar kelas dapat terjadi pada status sosial yang berbeda, yang dapat disebabkan
oleh perbedaan kepentingan atau perbedaan pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari sering
ditemukan bentuk konflik ini, seperti pertentangan antara majikan dengan buruh,
pertentangan antara yang kaya dengan yang miskin, antara petani dengan tuan tanah.
4.

Konflik rasial
Ras yaitu sekelompok manusia yang memiliki ciri-ciri badaniah yang sama dan berbeda
dengan kelompok lainnya. Ciri-ciri tersebut dapat terlihat dari bentuk tubuh, warna kulit,
corak rambut, bentuk muka dan lain-lain, yang sifatnya kasat mata, sehingga dengan mudah
dapat dibedakan dengan kelompok lain. Jadi konflik rasial ini adalah pertikaian yang terjadi
karena didasarkan perbedaan pandangan terhadap ada perbedaan ciri-ciri jasmaniah tersebut.
Misalnya, ras kaukasoid dipandang lebih tinggi derajatnya dibandingkan ras negroid,
sehingga sering terjadi pertikaian yang disebabkan oleh perbedaan ras tersebut, seperti
apartheid dan diskriminasi di Amerika.

5.

Konflik politik
Politik merupakan salah satu aspek dalam sistem sosial yang menyangkut masalah
kekuasaan, wewenang dan pemerintahan. Konflik politik yaitu pertentangan yang terjadi
dalam masyarakat karena perbedaan pendapat atau ideologi yang dianut oleh masing-masing
kelompok. Misalnya pertikaian antara kaum penjajah dengan pribumi, pertentangan antar
dua partai politi, pertentangan antara pemerintah dengan rakyat.

6.

Konflik budaya
Budaya erat kaitannya dengan kebiasaan atau adat istiadat yang dianut oleh anggota
masyarakat. Konflik budaya yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat disebabkan
oleh adanya perbedaan budaya. Biasanya bentuk konflik ini sering terjadi pada penduduk

29
Universitas Sumatera Utara

yang prularistik dengan latar belakang budaya yang berbeda, sehingga dapat menimbulkan
pertentangan antara budaya yang satu dengan lainnya. Selain itu, dapat pula terjadi
pertentangan antara budaya daerah dengan budaya yang berasal dari luar atau pertentangan
budaya barat dan timur.

Selain berdasarkan bentuknya, konflik sosial dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan tingkatannya, yaitu: konflik tingkat rendah, konflik tingkat menengah, dan konflik
tingkat tinggi.
1.

Konflik tingkat rendah
Konflik tingkat rendah ini merupakan konflik yang tidak rasional, bertujuan untuk
membinasakan lawan secara langsung dengan menggunakan kekerasan. Konflik ini bersifat
emosional yang dapat terjadi pada setiap individu atau kelompok. Misalnya perkelahiarn
antar dua gang atau perkelahian antar pelajar.

2.

Konflik tingkat menengah
Pada tingkat ini, konflik yang terjadi merupakan pertentangan yang menggunakan strategi
dengan tujuan untuk mengalahkan lawan. Strategi yang digunakan mungkin dengan cara
kekerasan yang menggunakan pihak lain, memaksakan kehendak atau memberikan
pengaruh. Misalnya, seorang calon kepala desa menggunakan money politic untuk
mengalahkan lawannya.

3.

Konflik tingkat tinggi.
Konflik ini merupakan konflik yang positif karena pertentangan yang terjadi berlangsung
secara lebih rasional, berdasarkan pandangan yang berbeda tetapi memiliki dasar pemikiran
atau argumen yang jelas. Konflik ini biasanya terjadi pada debat pendapat atau dalam rangka

30
Universitas Sumatera Utara

mencari solusi untuk suatu masalah, sehingga tujuan utamanya adalah ditemukannya
kesamaan pendapat atau terpecahkannya masalah.

Menurut Durkheim, fakta sosial memiliki tiga karakteristik yakni: bersifat eksternal
terhadap individu, bersifat memaksa individu yang berada dalam lingkungan sosialnya, dan
bersifat umum yakni tersebar di masyarakat. Fakta sosial meliputi: norma, moral, kepercayaan,
kebiasaan, pola berfikir, dan pendapat umum, yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat.
Fakta sosial tersebut disebut representatif kolektif.
Apabila diamati dan diperhatikan berbagai gejala dan fenomena kehidupan sehari-hari,
baik yang

alami sendiri maupun melalui berbagai sumber informasi (seperti surat kabar,

majalah, radio, TV, dll) tentang konflik, diperkirakan ada sejumlah pola konflik, yakni sebagai
berikut:
1. Konflik internal di terjadi dalam suatu masyarakat lokal,
2. Konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah daerah sendiri,
3. Konflik masyarakat antar daerah, suku, agama, dan ras (SARA),
4. Konflik antar dua atau lebih pemerintah daerah,
5. Konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah pusat sebagai penyelenggara negara
6. Konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
7. Konflik antar elit di pemerintah pusat yang berimbas pada atau diikuti oleh konflik
masyarakat di tingkat lokal

Konflik sosial yang berlangsung antar kelompok (inter-group social conflict) di ruang
masyarakat sipil dapat menyangkut krisis pluralitas-sosio-budaya dan bernuansa identitas sosial.

31
Universitas Sumatera Utara

Konflik tersebut merupakan konflik yang paling sering terjadi di Indonesia seiring dengan krisis
ekonomi dan jatuhnya rejim ORBA di tahun 1997. Dalam konflik bernuansa etno-komunal,
sangat tampak nyata adanya para pihak yang membawa atribut identitas ideologi, identitas antarkeagamaan, identitas kelompok atau juga perbedaan mazhab pada agama yang sama (konflik
sektarian), serta perbedaan asal-usul atau keturunan sebagai pembeda utama kelompok yang
saling menggugat, pelancaran klaim, atas persoalan yang disengketakan.

Meskipun akar konflik yang bertanggung jawab atas terjadinya konflik sosial komunal di
Indonesia sangatlah berbeda-beda, namun ada beberapa hal yang membuatnya sama yaitu adanya
radikalisasi perbedaan identitas, radikalisasi komunalisme serta dianutnya bounded rationality
yang memicu “kesadaran kelas” (class consciousness ala Marx) dalam kelompok-kelompok yang
bertikai. Hal-hal tersebut tidak bisa dielakkan ikut bertanggung jawab dan memperkuat dorongan
kepada setiap warga untuk saling bersengketa dengan warga dari kelompok lainnya dan jika
mungkin saling meniadakan (eliminating strategy).

Pemahaman konflik sosial seperti ini dianut oleh para ahli sosiologi yang mendasarkan
analisisnya pada perbedaan basis sosio-kultural (perspektif kulturalisme) yang dianut
masyarakat. Disadari ataukah tidak disadari, konflik sosial komunal di ruang sipil, seringkali
ditemukan benang-merah akar penyebabnya tersimpan mendalam (deeply rooted) pada persoalan
livelihood distress. Persoalan kemiskinan dan keterdesakan ekonomi bercampur-baur dengan
perasaan ketidakpastian kehidupan (survival insecurity) akibat datangnya kompetitor dari
sekelompok warga atau masyarakat (biasanya dengan identitas tertentu), menyebabkan eskalasi
dan intensitas konflik sangat mudah memuncak.

32
Universitas Sumatera Utara

Dalam tataran konflik antar kelompok ini, kepentingan individual dalam kelompok
seringkali juga diabaikan, karena telah diwakili oleh kepentingan kelompok (individu mengalami
gejala sosial yang dikenal sebagai oversocialized processes dimana tujuan dan kepentingan
kolektif menjadi segala-galanya). Artinya, persaingan antar individu pada suatu kelompok
melawan kepentingan individu pada kelompok yang berbeda menjadi bagian integral konflik
sosial antar kelompok. Dengan kata lain konflik sosial selalu melibatkan perselisihan antar
kelompok (partai/pihak) dimana individu di dalamnya menjadi konstituen pendukung perjuangan
kelompoknya masing-masing.
Demikianlah sehingga pada banyak kasus, konflik kelompok (group conflict) dipakai
untuk menunjuk pengertian konflik sosial (social conflict). Konflik sosial semacam ini memang
dapat dipahami melalui perspektif materalisme, dimana basis material (sustenance needs security
atau masalah livelihood/nafkah) bagi kehidupan sekelompok warga sebagai akar konflik sosial
yang harus diselesaikan.

Komunalisme adalah etika yang ditandai oleh semangat kolektivitas berwawasan
identitas sempit (narrow mindedness) yang dianut oleh individu-individu yang terikat dalam
suatu kelompok atau ikatan sosial-kemasyarakatan tertentu dimana basis ikatan sosial biasanya
dibangun melalui pengembangan ciri identitas ideologi atau keyakinan tertentu. Setiap warga
atau anggota yang berada dalam ikatan-sosial tersebut akan selalu memandang bahwa
kelompoknyalah yang terpenting dan paling-berhak untuk eksis dalam kehidupan, dibanding
warga dari kelompok lain. Salah satu ciri etikakomunalisme adalah ditemukannya ciri in-group
feeling yang sangat kuat (bahkan cenderung berlebih lebihan) dan menafikan eksistensi

33
Universitas Sumatera Utara

kelompok lain dalam jejaring hubungan sosial masyarakat yang dibangunnya. Jika menyimak
pelajaran yang dipetik dari Eropa Barat, etika ini utamanya dikembangkan oleh sekelompok
orang yang mengagungkan ciri nasionalisme berlebih lebihan dan pada taraf lanjut etika ini
berkembang menjadi ideologi-rasisme yang saat ini dianut oleh partai-partai kanan-radikal yang
sangat keras dan berpandangan sangat sempit tentang paham kebangsaan. Komunal konflik
ditengarai terus menguat di banyak kawasan sejak era perang dingin berakhir tahun 1990-an
(Anonymous, 1996).

Rasionalitas ini diturunkan dari kerangka “teori tindakan rasional individual” dari Weber.
Dalam hal ini, setiap individu selalu mengambil sikap untuk mengedepankan kepentingan
kelompok daripada kepentingan individu, sekalipun pemikiran itu sebenarnya “membelenggu”
kepentingan individual. Pengedepanan kepentingan kelompok tersebut seringkali menjadi
“jebakan struktural” bagi seseorang, karena individu tidak mampu membebaskan dirinya untuk
mengekspresikan kepentingannya sendiri.
Dalam banyak kejadian konflik sosial di Indonesia, individu-individu warga masyarakat
yang terjebak dalam “rasionalitas-terikat” secara sempit sehingga seseorang tidak mampu
melepaskan diri dari ideologi dan rasionalitas kelompoknya, karena individu warga dihinggapi
perasaan takut dianggap bertentangan atau menyimpang dari kelompoknya dan berakibat
diasingkan. terlebih dahulu. Ketidaksiapan sekelompok orang untuk hidup dalam suasana
kehidupan yang saling berkoeksistensi di suatu kawasan, juga merupakan penjelasan tersendiri
munculnya konflik horisontal-komunal ini. Dengan asumsi “social-economic stress”,maka
konflik sosial menuntut penyelesaian di wilayah materialisme secara konstruktif.

34
Universitas Sumatera Utara

Untuk melaksanakan resolusi konflik maka kita harus memahami , gejala, intensitas dan
sumber penyebab konflik yang ada dalam masyarakat. Terdapat lima sumber penyebab konflik,
yaitu:
1.

Konflik Struktural
Konflik terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap
sumberdaya, seperti; tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Pihak yang berkuasa dan
memiliki kewenangan formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki
peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak yang lain. Di
sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah seringkali dijadikan alasan untuk
memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan salah satu
pihak tertentu atau pihak dominan—Pemerintah pusat.

2.

Konflik Kepentingan
Konflik yang terjadi akibat persaingan kepentingan yang dirasakan menjadi kebutuhan yang
harus dipenuhi atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan
terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak
lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban masyarakat. Hal lain yang
mengindikasikan konflik kepentingan yaitu terjadinya persaingan manipulatif atau tidak
sehat antar kedua belah pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena
masalah yang mendasar (ekonomi,politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah
psikologis.

3.

Konflik Nilai
Konflik terjadi akibat perbedaan sistem nilai atau keyakinan yang dianut oleh pihak-pihak
terkait. Sistem nilai merupakan seperangkat keyakinan atau kepercayan yang diakui oleh

35
Universitas Sumatera Utara

suatu komunitas yang memberi makna dalam kehidupan. Nilai menjelaskan mana yang
dianggap baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus
menyebabkan konflik. Individu, kelompok atau komunitas dapat hidup berdampingan secara
harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai muncul ketika salah satu pihak
berusaha memaksakan suatu sistem nilai kepada pihaklain, atau mengklaim suatu sistem
nilai yang eksklusif (di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan).
4.

Konflik Hubungan Sosial
Dalam bermasyarakat terjadi jalinan atau interaksi sosial antar pribadi, antar kelompok,antar
komunitas, dan antar organisasi. Dalam berinteraksi terdapat kecenderungan terjadi bias
persepsi, streotipe diantara pihak-pihak yang terlibat. Terkadang salah satu pihak
mempersepsikan dengan caranya sendiri sehingga menjadi bias. Stereotip merupakan salah
satu faktor timbulnya prasangka yang akan berlanjut pada ketidakpercayaan, kecurigaan,
kecemburuan, dan diskriminasi. Pada akhirnya terjadi tindakan kekerasan. Prasangka
menimbulkan gejolak sosial dan memungkinkan terjadinya pertentangan dan rusaknya
hubungan sosial yang telah terbangun. Prasangka merupakan sifat negatif terhadap
kelompok atau individu tertentu semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok
tertentu. Prasangka muncul karena adanya bias persepsi (stereotip) yang memunculkan
generalisasi lebih awal tanpa di dasarkan fakta atau bukti akurat. Hal ini mengakibatkan
dampak negatif terhadap pihak lainnya. Jika sasaran prasangka mencakup kelompok
minoritas dalam arti jumlah maupun status. Prasangka kemudian direalisasikan dalam
perilaku atau tindakan diskriminasi kepada kelompok lain.

5.

Konflik Data

36
Universitas Sumatera Utara

Konflik data menyangkut keabsahan dan penggunaaan metode analisis data yang
dipergunakan untuk pengambilan keputusan. Konflik ini muncul ke permukaan ketika salah
satu pihak kekurangan informasi dan data yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan,
mendapat informasi yang salah, kekurangan data yang valid dan dapat dipercaya, tidak
sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang
berbeda, atau memakai metode analisis yang berbeda.Terjadinya konflik data mungkin tidak
perlu terjadi karena hal itu disebabkan kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang
berkonflik. Konflik data lainnya bisa jadi karena ketidakjelasan tujuan dan masalah yang
akan di kaji oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Konflik dalam masyarakat merupakan fenomena sosial yang memiliki karakteristik dan
pola penyelesaian yang unik. Berbagai dimensi dan kerangka penyelesaian dilakukan melalui
proses yang sistematis untuk menemukan alternatif solusi berdasarkan hasil analisis yang benar.
Dimensi konflik perlu dipahami sebagai sebuah kerangka kerja dan analisis dalam menemukan
pola dasar resolusi konflik dalam membangun perdamaian. Secara umum ada tiga pendekatan
dalam melihat resolusi konflik sebagai suatu pendekatan;
1.

Pendekatan yang berfokus pada dinamika konflik(Galtung, 1960). Dalam pendekatan ini,
konflik dipandang sebagai fenomena dinamis dimana reaksi salah satu pelaku konflik
ditentukan dari aksi lawannya. Konflik digambarkan dalam ABC segiti