Respon Mahasiswa FISIP USU Terhadap Konflik KPK-Polri pada Tahun 2015

(1)

Draf Wawancara

1. Nama :

2. Umur :

3. Jurusan/Fakultas :

4. Stambuk :

5. Agama :

6. Apakah Anda mengetahui serta mengikuti Konflik yang terjadi antara KPK-Polri? 7. Dari media mana saja Anda mengikuti Konflik tersebut ?

8. Konflik KPK vs Polri meresahkan masyarakat. Dua institusi penegak hukum dan pemberantasan korupsi terlibat konflik hebat. Bagaimana pandangan Anda?

9. Konflik KPK VS Polri bermula dari pencalonan tunggal Komjen Budi Gunawan oleh Presiden Jokowi untuk di fit and propper test DPR. Padahal sehari sebelum fit and propper test, KPK mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Namun DPR meloloskan Budi Gunawan. Tapi Presiden menunda pelantikan Kapolri baru Budi Gunawan. Bagaimana pandangan Anda?

10. Selanjutnya, tiba-tiba Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto (BW) ditangkap Bareskrim Polri, yang menyulut masyarakat memberi dukungan kepada KPK. Akhirnya meletus konflik hebat dua intitusi resmi penegak hukum dan pemberantasan korupsi. Bagaimana pandangan Anda?

11. Agar fokus menghadapi kasus hukumnya, BW menyatakan mundur (untuk sementara) dari jabatannya di KPK, sementara Budi Gunawan tidak mundur. Bagaimana pendapat Anda?

12. Selanjutnya, pada saat itu Polri memperkarakan Ketua KPK Abraham Samad dan pejabat KPK lainnya. Masyarakat menilai Polri tengah melakukan upaya pelemahan terhadap KPK. Bagaimana pandangan Anda ?

13. Presiden membentuk Tim Independen (Tim-9) untuk memberikan saran kepada Presiden. Saran tim ini : Jangan Lantik Budi Gunawan. Bagaimana pandangan Anda?


(2)

15. Selanjutnya setelah adanya Konflik tersebut, muncul pro dan kontra dalam masyarakat yang dimana ada yang berpihak kepada KPK maupun Polri, Bagaimana dengan pandangan Anda sendiri? Pada pihak mana dukungan Anda?


(3)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Bambang Prasetyo, dkk. Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2005

Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filsof Terkemuka, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2003.

Brannen, Julia, Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1997

Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana. 2006

Bunyamin Maftuh & Fisher. Penyelesaian Konflik.Jakarta:Erlangga.2005

Bunyamin Maftuh, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun generasi muda yang mampu menyelesaikan konflik secara damai Bandung: Program pendidikan kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005

Dahrendorf, Ralf, Essays in the Theory of Society. Stanford, Calif.: Stanford University Press. 1968

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008

Faisal, Sanapiah, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, Malang. 1990

Fisher, Simon, dkk., cetakan pertama, ahli bahasa S.N. Kartikasari, dkk, Jakarta: The Mengelola konflik: keterampilan dan strategi untuk bertindak British Counsil, Indonesia 2001.

George Ritzer,Teori Sosiologi Modren.Penerbit: Kreasi Wacana.2010

George Ritzer , Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Press. 2004

Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1983

Husein Umar, Metode Riset Komunikasi Organisasi: Sebuah Pendekatan Kuantitatif Dilengkapi dengan Contoh Proposal dan Hasil Riset Komunikasi Organisasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.


(4)

Marali, Amri, “Metode Kuantitatif dan Kualitatif: Saling Melengkapi”. Jakarta. 1990 Moleong, Rexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda. 2006

Paloma, Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press. 2004

Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Press. 2004

Soekanto, Suryono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press. 2002 Syukur Kholil, Metodologi penelitian, Bandung: Citapusaka Media, 2006

Tanusubroto, S, Peranan Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni. 1983 Vredenbregt J, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia. 1978

Jurnal

Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, PusatStudi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004.

Dahrendorf, Ralf, “Out of Utopia: Toward a Reorientation of Sociological Analysis,” American Journal of Sociology, 1958

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.


(5)

Sumber lain dari internet :

http://www.dw.de/kronologi-cicak-versus-buaya-jilid-tiga/a-18211420 diakses tanggal 13 April 2015 pukul 21.00 WIB

Cokroaminoto, diposkan pada tanggal 04 Januari 2011, http:// analisis-isi-content-analysis-dalam.html diakses tanggal 15 April 2015 pukul 20.45 WIB

diakses tanggal 9 September 2016


(6)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu proses yang panjang, penelitian berawal dari minat yang ada dalam diri seseorang dalam memahami fenomena tertentu yang kemudian berkembang menjadi ide, teori, konsep. Untuk bisa mewujudkan penelitian maka haruslah disesuaikan dengan metode yang hendak digunakan untuk bisa mencapai tujuan suatu penelitian.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini maka jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini menandakan bahwa peneliti akan melibatkan diri secara langsung dengan objek kajian dan berinteraksi secara langsung dengan responden penelitian. Tujuannya adalah agar mendapatkan informasi yang lengkap dan mendalam tentang respon mahasiswa terhadap konflik yang terjadi antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Adapun alas an pemilihan lokasi ini adalah dikarenakan mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dipandang memiliki kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi baik dalam konteks lokal maupun dalam konteks nasional.


(7)

3.3 Unit Analisis dan Informan

3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian atau unsur yang menjadi fokus dalam penelitian (Bungin:2007). Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah mahasiswa fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Adapun alasan peneliti menjadikan mahasiswa sebagai unit analisis dalam skripsi ini adalah karena mahasiswa dipandang mampu untuk memberikan tanggapan maupun respon terhadap permasalahan yang terjadi antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia.

3.3.2 Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian. Untuk menentukan informan peneliti menggunakan tehnik purposive sampling dengan menggunakan pertimbangan tertentu.

Sehubungan dengan itu dalam penelitian ini yang menjadi informan penelitian adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang mengikuti perkembangan baik melalui media televisi, media cetak maupun radio tentang konflik yang terjadi antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar fokus penelitian ini dapat lebih terarah dan pada akhirnya kajiannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.


(8)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan teknik pengumpulan data primer dan teknik pengumpulan data sekunder.

3.5.1 Data Primer

Teknik pengumpulan data primer adalah peneliti melakukan kegiatan langsung kelokasi penelitian untuk mencari data-data yang lengkap yang dapat digunakan dalam menyusun laporan penelitian sesuai dengan judul skripsi ini. Oleh karena itu maka pengumpulan data dilakukan melalui wawancara yang mendalam.

Wawancara mendalam adalah merupakan salah satu metode yang digunakan dalam memperoleh data dilapangan. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka dengan mahasiswa yang diwawancarai Hal ini dimaksudkan agar data yang diperoleh lebih akurat dan sesuai dengan judul penelitian khususnya respon mahasiswa terhadap konflik antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini melalui studi kepustakaan yang dilakukan untuk mencari data-data yang diperlukan dalam penelitian. Hal ini diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, dokumen, jurnal, skripsi, majallah dan Koran yang dianggap relevan dengan judul penelitian.


(9)

3.6 Interpretasi Data

Interpretasi data atau penafsiran data merupakan suatu kegiatan menggabungkan antara hasil analisis dengan perasalahan penelitian untuk menemukan makna yang ada dalam permasalahan. Interpretasi data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia yang di dapat melalui wawancara dan studi kepustakaan. Setelah itu kemudian data akan dipelajari dan ditelaah kembali menggunakan teori yang digunakan dan diinterpretasikan secara kualitatif untuk menganalisis Respon Mahsiswa terhadap konflik antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia.

3.7 Bagan Penelitian

Konflik KPK-Polri

Respon Mahasiswa

Respon (+) KPK

Respon (-) KPK

Respon (-) Polri Respon (+)


(10)

BAB IV

TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA

4.1 Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) merupakan fakultas yang ke sembilan di Universitas Sumatera Utara. Kelahiran fakultas ini tidak jauh berbeda dengan fakultas lainnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara didirikan pada tahun 1980. Pada awalnya fakultas ini merupakan Jurusan Pengetahuan Masyarakat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Setahun kemudian Jurusan Pengetahuan Masyarakat berubah menjadi Jurusan Ilmu_ilmu Sosial (IIS).Pada tahun 1982, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial resmi menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dengan menggunakan gedung perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Sumatera Utara.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU secara resmi menjadi Fakultas berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 1982.Surat Keputusan Presiden RI tersebut menetapkan FISIP merupakan fakultas ke 9 (Sembilan) pada Universitas Sumatera Utara.Walaupun FISIP USU baru resmi terbentuk pada tahun 1982, tetapi cikal bakal FISIP USU itu sudah muncul pada tahun 1980 berdasarkan Surat Keputusan Rektor USU Nomor. 1181/PT.05/C.80, pada tanggal 1 Juli 1980. Perkuliahan pertama kali dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1980 dengan jumlah mahasiswa hasil ujian SIPENMARU bulan Juli 1980 sebanyak 75 orang.

Lebih kurang dalam waktu satu tahun, keluar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Nomor 0535/0/83 tentang jenis dan jumlah jurusan pada fakultas-fakultas di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan SK Mendikbut R.I itu, disebutkan FISIP


(11)

1. Jurusan Sosiologi

2. Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial 3. Jurusan Antropologi

4. Jurusan MKDU

5. Jurusan Ilmu Administrasi 6. Jurusan Ilmu Komunikasi

Pembentukan jurusan di FISIP USU tidak berjalan sesuai dengan urutan berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud R.I. Nomor : 0535 / 0 / 83 itu, karena pembukaan Jurusan pada tahap awal dilakukan pada Semester tujuh yang didasarkan pada pilihan mahasiswa. Selain itu juga bergantung pada ketersediaan staf pengajar.

Dewasa ini FISIP USU mempunyai 6 (enam) Departemen, satu Program Diploma III, tiga Program Pasca Sarjana, dan satu Program Doktor yaitu sebagai berikut : Departemen Ilmu Administrasi yang dibagi ke dalam Program Studi Ilmu Administrasi Negara, dan Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis, Departemen Ilmu Komunikasi, Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosiologi, Departemen Antropologi, dan Departemen Ilmu politik.Program Studi Diploma III Administrasi, Perpajakan. Kemudian Pogram Studi S2 Megister Studi Pembangunan, Program Studi S2 Magister Ilmu Komunikasi, dan Program Studi Magister S2 Sosiologi, dan Doktor Studi Pembangunan.

4.2 Sejarah Pembentukan Kepolisian Republik Indonesia

Lahir, tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai opersai militer bersama-sama satuan angkatan bersenjata yang lain. Kondisi seperti ini dilakukan oleh Polri karena Polri lahir sebagai satu-satunya satuan bersenjata yang relatif lebih lengkap. Hanya empat hari setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas pasukan


(12)

Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin di Surabaya, langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang. Tanggal 29 September 1945 tentara Sekutu yang didalamnya juga terdapat ribuan tentara Belanda menyerbu Indonesia dengan dalih ingin melucuti tentara Jepang.

Pada kenyataannya pasukan sekutu tersebut justru ingin membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Oleh karena itu perang antara sekutu dengan pasukan Indonesiapun terjadi dimana-mana. Klimaksnya terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945, yang dikenal sebagai "Pertempuran Surabaya". Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai hari Pahlawan secara Nasional yang setiap tahun diperingati oleh bangsa Indonesia Pertempuran 10 Nopember 1945.di Surabaya menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena semangat heroiknya mampu menggetarkan dunia dan PBB akan eksistensi bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Andil pasukan Polisi dalam mengobarkan semangat perlawanan rakyat ketika itupun sangat besar.alam menciptakan keamanan dan ketertiban didalam negeri, Polri juga sudan banyak disibukkan oleh berbagai operasi militer, penumpasan pemberontakan dari DI & TII, PRRI, PKI RMS RAM dan G 30 S/PKI serta berbagai penumpasan GPK. Dalam perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun internasional, sebagaimana yang di tempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di Kamboja (Asia).

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia


(13)

4.3 Sejarah Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.

KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.

Adapun tugas KPK yang adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK.

KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.


(14)

Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.

Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai dengan kompetensi yang diperlukan.

4.4 Kronologi Konflik KPK-Kepolisian RI

Konflik KPK-Polri tidaklah terjadi begitu saja akan tetapi ada beberapa proses yang mengawali dimana diantaranya adalah sbb:

1. Pada tanggal 13 Januari 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan status Komjen Pol Budi Gunawan menjadi tersangka.

2. Komjen Pol Budi Gunawan diduga melakukan tindak pidana korupsi, yakni diduga menerima hadiah atau janji pada saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi SDM Mabes Kepolisian Republik Indonesia periode tahun 2003-2006 dan jabatan lainnya di Kepolisian Republik Indonesia. (Komjen Pol Budi Gunawan diduga telah melanggar Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf a atau huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 kesatu KUH Pidana).

4. Pada tanggal 19 Januari 2015, Komjen Pol Budi Gunawan melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK.


(15)

5. Pada tanggal 23 Januari 2015, Badan Reserse Kriminal Mabes Kepolisian Republik Indonesia menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dengan tudingan menjadi orang dibalik pemberian kesaksian palsu dalam sengketa pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah pada tahun 2010. Selanjutnya,

6. Pada tanggal 24 Januari 2015, pimpinan KPK yakni Adnan Pandu Praja (Wakil Ketua KPK) diadukan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Kepolisian Republik Indonesia atas dugaan pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT. Desy Timber.

7. Pada tanggal 25 Januari 2015, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Independen untuk menangani kericuhan KPK dan Kepolisian RI kemudian memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menentukan suatu sikap. Tim Independen yang beranggotakan salah satunya yakni Oegroseno (Mantan WakaKepolisian Republik Indonesia), Jimly Assidiqie, Ahmad Syafii Maarif (Mantan Ketua Umum Muhammadiyah), Hikmaanto Juwana

8. Pada tanggal 26 Januari 2015, kembali lagi pimpinan KPK, Zulkarnaen (Wakil Ketua KPK) diadukan ke kepolisian terkait dengan penghentian penyidikan kasus korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008 yang diduga melibatkan Gubernur Jawa Timur. Hal serupa juga menimpa Ketua KPK, Abraham Samad yang dianggap telah melanggar kode etik KPK karena melakukan pertemuan dengan fungsionaris PDIP terkait pencalonan cawapres dari Joko Widodo saat jelang pemilihan presiden 2014.

9. Pada tanggal 02 Februari 2015, Sidang perdana perkara praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas nama pemohon Komjen Pol Budi Gunawan dimulai dan dipimpin oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi. Perkara tersebut terdaftar dengan


(16)

Nomor.04/Pid.Prap/2015/PN.Jak Sel., namun sidang tersebut ditunda selama sepekan setelah kuasa hukum KPK tidak hadir pada persidangan.

10. Dalam sidang kedua, tanggal 09 Februari 2015, kedua pihak hadir. Pihak Budi Gunawan diminta terlebih dulu menyampaikan dalil permohonan. Pada intinya, kuasa hukum Budi menilai penetapan tersangka kliennya tidak sah. Sedangkan, KPK menilai praperadilan yang diajukan Budi Gunawan bersifat prematur karena dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur mengenai praperadilan, tak ada aturan mengenai penetapan tersangka.

11. Pada persidangan tanggal 10 Februari 2015, tim kuasa hukum Budi Gunawan menghadirkan empat saksi fakta terdiri dari tiga pejabat Kepolisian Republik Indonesia, yakni dua mantan penyidik KPK AKBP Irsan dan AKBP Hendi Kurniawan, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Bareskrim Budi Wibowo, dan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Selain itu, pihak Budi juga menyerahkan 73 alat bukti berupa surat, print out berita dari media online, hingga video.

12. Pada persidangan tanggal 11 Februari 2015, sidang praperadilan kembali dilanjutkan dengan menghadirkan saksi ahli dari pihak Budi Gunawan. Saksi yang hadir yakni Guru Besar Hukum Unpad Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Unpad I Gede Pantja Astawa, Guru Besar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda dan Guru Besar Hukum Universitas Khairun Margarito Kamis.

13. Pada persidangan tanggal 12 Februari 2015, KPK hanya menghadirkan satu saksi fakta di persidangan, yakni penyelidik KPK, Iguh Sipurba. Menurutnya, KPK cukup mempunyai dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang- Undang KPK. KPK sudah


(17)

mempunyai dua alat bukti yang cukup seperti dokumen, keterangan saksi, hingga Laporan Hasil Analisa dari Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

14. Pada persidangan tanggal 13 Februari 2015, KPK langsung menghadirkan tujuh saksi, terdiri dari empat saksi ahli dan tiga saksi fakta. Empat saksi ahli yakni pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, pakar filsafat hukum Arief Sidharta, Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Indonesia Junaedi, dan pensiunan Jaksa Adnan Pasliadja. Adapun saksi fakta yang dihadirkan yakni mantan Kepala Satgas Koordinasi dan Supervisi KPK Anhar Darwis, pegawai administrasi divisi penyidikan KPK Dimas Adiputra, dan pegawai administrasi divisi penyelidikan KPK Wahyu Dwi Raharjo.

15. Dua pegawai bidang administrasi Komisi Pemberantasan Korupsi, Wahyu Budi Raharjo sebagai pegawai administrasi di Divisi Penyelidikan, dan Dimas Adiputra sebagai pegawai administrasi di Divisi Penyidikan menjadi saksi fakta membenarkan adanya surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang terbit pada tanggal 2 Juni 2014 dan surat perintah penyidikan (sprindik) yang keluar pada tanggal 12 Januari 2015 atas kasus yang menjerat Komjen Pol Budi Gunawan.

16. Kemudian pada hari Senin, persidangan tanggal 16 Februari 2015, tepat pukul 10.25 WIB Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh kuasa hukum Komjen Pol Budi Gunawan atas status tersangka yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tema perdebatan yang paling menonjol dalam konflik KPK dan Kepolisian RI adalah soal kewenangan KPK dalam melakukan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Komjen Pol Budi Gunawan. Hal ini berkaitan dengan penetapan


(18)

Komjen Pol Budi Gunawan menjadi tersangka oleh KPK dengan sangkaan memiliki rekening gendut dan menerima gratifikasi.

Jika kita kaitkan dengan peristiwa yang terjadi antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia. Kita harus memisahkan antara penegakkan hukum (berkaitan dengan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan (Calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia), Abraham Samad (Ketua KPK), dan Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) sebagai tersangka) serta laporan atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Zulkanaen (Wakil Ketua KPK), dan Adnan Pandu Praja (Wakil Ketua KPK) dan proses politik (berkaitan dengan pengisian jabatan KaKepolisian Republik Indonesia). Jangan sampai politik itu sendiri mencampuri penegakkan hukum sehingga proses hukum yang dilakukan tidak akan berjalan dengan murni.

Mahasiswa berpandangan bahwa polemik yang terjadi antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia.Masyarakat menuntut adanya tindakan yang cepat agar tidak terlambat dalam menyelamatkan penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika terlambat maka agenda pemberantasan korupsi juga akan terhambat. Sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya yang akan menciptakan pemerintahan yang bersih dan professional. Satu hal yang patut diketahui adalah bahwa putusan pra peradilan tidak menjadi justifikasi bahwa Komjen Pol Budi Gunawan bersih dari tuduhan korupsi.

Konflik Kepolisian Republik Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih jauh menimbulkan potensi konflik horisontal di masyarakat. Perseteruan tersebut diduga kuat digalang sejumlah oknum petinggi di Mabes Kepolisian Republik Indonesia dan KPK dengan memanfaatkan lembaga hukum milik Negara. Kegaduhan tersebut disinyalir adanya peran elit politik yang menambah polemik diantara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia.


(19)

Urutan kronologis sejak Budi Gunawan di tetapkan menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang kemudian disusul penetapan tersangka oleh KPK, dan berlanjut dengan penetapan tersangka Komisioner KPK Bambang Widjojanto, dirasa agak janggal dan mengganggu rasionalitas.

Konflik antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia yang bisa dikatakan menimbulkan keresahan di masyarakat. Keresahan itu menimbulkan reaksi masyarakat salah satunya muncul 2 (dua) golongan yakni golongan pendukung KPK dan golongan pendukung Kepolisian Republik Indonesia. Hal ini menimbulkan konflik horisontal yang memanas antara kedua pendukung tersebut. Disisi lain penegakkan pemberantasan korupsi harus ditegakkan dan disisi lain penegakkan hukum juga harus ditegakkan. Jika dibiarkan akan menjadi rakyat tidak akan percaya kepada Pemerintah karena Pemerintah tidak menyelesaikan permasalahan ini dan tidak berlarut-larut.

Keputusan Presiden Joko Widodo perihal penunjukkan Badrodin Haiti gantikan Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia merupakan sikap yang patut diapresiasi dari Joko Widodo. Menurut Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa “pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan SH MSi sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia telah menimbulkan pebedaan pendapat di masyarakat, maka untuk menciptakan ketenangan serta memperhatikan kebutuhan Kepolisian negara Republik Indonesia, untuk segera dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang definitif maka hari ini kami mengusulkan calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia.


(20)

Selain masalah calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jokowi juga memutuskan untuk menerbitkan Keppres pemberhentian sementara pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Wijoyanto) yang menghadapi masalah hukum maka sesuai dengan UU yang berlaku maka akan mengeluarkan Keppres untuk memberhentikan sementara dua pimpinan KPK” Hal ini sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU No 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi, “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”.

Perihal pengisian kekosongan kursi pimpinan KPK, Jokowi mengatakan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk mengangkat tiga anggota sementara pimpinan KPK yaitu mantan Ketua KPK Taufikurahman Ruki, Pakar hukum Prof dr. Indriyanto Senoadji, dan Johan Budi yang saat ini menjabat Deputi Penindakan KPK. Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri konflik antara dua lembaga mengintsruksikan kepada Kepolisian RI dan meminta kepada KPK untuk mentaati rambu-rambu aturan hukum dan kode etik yang berlaku.

Keputusan Jokowi senada dengan rekomendasi Tim 9 yang telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo pada Selasa, 17 Februari 2015, yakni:

1. Tim Konsultatif Independen tetap pada rekomendasi awal agar presiden tidak melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia meski beliau telah dihapuskan status tersangka dalam Putusan Pra Peradilan mengingat putusan Pra Peradilan tidak terkait dengan substansi sangkaan. Tim mengharapkan presiden berupaya agar Budi bersedia mundur dalam pencalonan KaKepolisian Republik Indonesia demi kepentingan bangsa dan negara.


(21)

2. Presiden segera memulai proses pemilihan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar institusi Kepolisian Republik Indonesia terjaga soliditas dan independensinya serta Kepala Kepolisian Republik Indonesia terpilih dapat memastikan sinergi dengan lembaga penegak hukum lain.

3. Presiden segera turun tangan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan keberadaan KPK yang sejumlah pimpinannya ditetapkan tersangka dan sejumlah penyidik serta pegawainya ditersangkakan atau terancam ditersangkakan. Tim merasa perlu memberikan masukan kepada Presiden atas adanya kekhawatiran tumbuhnya persepsi negatif publik terhadap Kepolisian Republik Indonesia dengan penetapan tersangka kepada pimpinan, penyidik dan pegawai KPK yang didasarkan kasus-kasus lama dan terkesan tidak substansial. Tim merasa khawatir dengan merosotnya kewibawaan presiden dengan adanya proses kriminalisasi yang terus berlangsung padahal Presiden sudah memerintahkan untuk menghentikannya pada 25 Januari 2015.

4. Presiden perlu memastikan KPK menjalankan fungsi dan tugasnya secara efektif sebagaimana diatur dalam UU KPK sehingga tidak terjadi pelemahan KPK sebagaimana ditegaskan dalam Nawa Cita.

4.5 Profil Informan

Informan 1

Nama : Erwin Pasaribu Usia : 24 tahun Departemen : Ilmu Politik


(22)

Stambuk : 2011

Agama : Kristen Protestan

Jika diposisikan diri saya sebagai Budi Gunawan, siapa yang tidak bangga dan bahagia dirinya dijadikan calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia, apalagi mendapat restu dari DPR dan kemudian dunia terbalik 180 derajat bagi Budi Gunawan. Beliau yang semula dicalonkan menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia langsung terhempas karena penetapan tersangka pihak KPK. Budi Gunawan sendiri sudah menjelaskan bahwa semua transaksi di rekeningnya legal.

Sifat dasar mahluk hidup adalah mempertahankan diri. Permasalahannya bukan masalah Budi Gunawan mau mundur atau tidak, masalahnya jika Budi Gunawan tidak diangkat jadi kaKepolisian Republik Indonesia dan gagal lolos dari Fit and propertes itu dia masih Bintang tiga. Sekarang berbeda kondisinya, bukan hanya karirnya yang amblas, tapi juga dirinya bisa dijebloskan kedalam penjara selama bertahun tahun. “Semut aja di injak Gigit, apalagi seorang jendral calon kaKepolisian Republik Indonesia”. Budi Gunawan di dukung oleh Elite PDIP-Nasdem yang punya andil besar ke Jokowi, artinya walaupun istana meminta beliau mundur, dia tidak bakal mau, karena masalahnya bukan lagi gagal jadi kaKepolisian Republik Indonesia, masalahnya ini urusan karir dan Penjara.

Namun jika dibalikkan saya sebagai pihak KPK, maka saya beranggapan bahwa KPK sudah memperingatkan Jokowi bahwa Budi Gunawan punya raport merah, bahkan KPK sudah mengincar Budi gunawan jauh jauh hari. Dan ternyata pihak Istana tetap tidak mau tahu dan


(23)

menetapkan budi gunawan sebagai calon tunggal. Mau ga mau Abraham Samad langsung menetapkan status tersangka kepada Budi gunawan. Pihak PDIP berang, otomatis pimpinan KPK di serang oleh PDIP secara membabi buta. KPK tidak gentar dan akhirnya para pimpinan KPK di korek satu persatu masa lalunya. Jadilah 4 dari 5 pimpinan di jadikan tersangka oleh Polisi dan saat BW di tangkap.

Informan 2

Nama : Chairunnisa Putri Siregar Usia : 24 tahun

Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2011 Agama : Islam

Jika waktu diputar ulang, konflik antara Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah meletup sejak 2009, dan kembali panas dengan ditangkapnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Saya setuju dengan pendapatnya Bibit Samad Rianto yang secara obyektif dan masuk akal. Dia adalah mantan petinggi KPK yang pernah ditangkap dan ditahan Kepolisian Republik Indonesia, plus latar belakang dia sebagai polisi karir yang pernah menjabat Kapolres dan Kapolda. Menurut Bibit, memang ada indikasi sebagian besar masyarakat lebih berpihak kepada KPK bilamana perseteruan kembali memanas.

Pertama, saya selaku mahasiswa sudah muak dari korupsi dan ingin pemerintah bersih dari korupsi. Kedua, saya sangat percaya pada KPK, dan tak mau KPK diganggu. Ketiga, saya juga


(24)

mencintai polisi, mereka tidak rela polisi dipimpin oleh orang-orang yang bodong. Penegakan hukum itu harus jalan, dengan yang sebenarnya. “Selama ini kan berarti tidak sebenarnya, bisa diatur-atur, nah sekarang ini jangan diatur”. Hubungan antara polisi dengan KPK sebagai sesama penegak hukum kurang harmonis atau tidak hamonis, itu kelihatan jelas

Informan 3

Nama : Theonardo Tamba Usia : 23 tahun

Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2011

Agama : Kristen Protestan

Konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terulang menunjukkan agenda pemberantasan korupsi sering terhalang kepentingan politik. Saya melihat kepentingan politik menyandera kedua lembaga itu. Meski terkesan lambat, pemerintah cermat mencari jalan keluar demi penyelamatan kedua lembaga.

Menurut saya, konflik antara KPK-Kepolisian Republik Indonesia tidak terlepas dari rivalitas parpol ataupun kepentingan politik lainnya. Itu terindikasi dari keteguhan dukungan dari partai pendukung pemerintah terhadap pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Kuatnya gurita politik di balik kasus ini juga akibat dari kebuntuan proses hukum di kedua belah pihak. Saat ini, baik KPK maupun Kepolisian Republik Indonesia saling menjerat dengan laporan perkara pada masa lalu. Meski demikian dalam


(25)

persepsi saya, tekanan politik cenderung lebih besar pada lembaga kepolisian ketimbang KPK. Persepsi saya ini turut memengaruhi sikap saya yang cenderung memihak lembaga KPK daripada kepolisian dalam rivalitas ini.

Informan 4

Nama : Sanri Kevin Usia : 23 tahun Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2011

Agama : Kristen Protestan

Dua lembaga yang seharusnya bekerjasama menjadi pilar penegakan hukum di Indonesia justru berseteru dan saling menjegal. Proses hukum pemberantasan korupsi dimanfaatkan sebagai alat kepentingan politik. Selain itu, perseteruan ini juga merugikan reputasi kedua lembaga, baik melemahkan KPK maupun merusak wibawa Kepolisian Republik Indonesia.

Jika melihat ke belakang, KPK selama ini cenderung memiliki citra yang jauh lebih positif daripada kepolisian. Upaya pelemahan terhadap KPK hampir selalu berujung pada penguatan citra KPK. Hal ini terlihat dari rekam jejak citra positif KPK yang menanjak dalam dua tahun terakhir, yakni selalu di atas level 75 persen. Sementara dukungan positif terhadap Kepolisian Republik Indonesia berada di angka 30,2 persen.


(26)

Berulangnya rivalitas merupakan gejala kusutnya persoalan kelembagaan dalam struktur penegakan hukum selain mengindikasikan besarnya tekanan politik dalam setiap persoalan. Hal ini tak lain karena besarnya kekuasaan, kemampuan, dan keberhasilan KPK dalam menyeret sejumlah koruptor kakap yang kerap berujung pada dampak politis bagi partai pengusung sang koruptor. Di sisi lain, lembaga penegak hukum formal, polisi dan jaksa, sejauh ini tidak memiliki rekam jejak yang setara dalam pemberantasan korupsi.

Tambahan dari saya, perseteruan KPK-Kepolisian Republik Indonesia kali ini juga memaksa presiden turun tangan. Dalam persepsi saya, pemerintah bersikap proporsional dalam mengatasi persoalan. Saya menilai berbagai langkah Presiden Joko Widodo mencerminkan sikap kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Menurut saya, pembatalan pencalonan Budi Gunawan dan pengajuan calon lain sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia merupakan langkah paling efektif untuk menghentikan konflik.

Informan 5

Nama : Franky Chrisdian Simarmata Usia : 23 tahun

Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2011

Agama : Kristen Protestan

Jika ditanya pro atau kontra, saya cenderung membela KPK, karena sejauh ini KPK sudah berulang kali menunjukan prestasinya. Selain itu KPK juga berani menyeret orang orang


(27)

dilingkaran Istana, pejabat selevel menteri, ketua parpol, pengusaha sampai Jenderal Kepolisian Republik Indonesia berhasil di jebloskan kepenjara.

Dari konflik ini saya melihat makin tidak dihargai. Polisi itu ibaratnya dibenci tapi dibutuhkan. “Mau ngurus sim? menangkap maling? mengatur lalu lintas? menjaga ketertiban masyarakat? semua polisi loh”. Namun sekali lagi citra polisi hancur dari konflik ini, apalagi media juga tanpa sensor menelenjangi kejelekan Kepolisian Republik Indonesia. Apakah berarti Polisi jelek? Tidak juga, perlu di ingat polisi yang sering kita temui di jalan atau dikantor polisi mereka bahkan tidak tahu menahu urusan konflik ini. Jadi kasihan lah kalau semua polisi disalahkan.

Jika saya ringkas pandangan pribadi saya sebagai warga indonesia, untuk masalah kriminalisasi pimpinan KPK, tetap berjalan kalau itu memang tindak kriminal, namun harus ditunda terlebih dahulu sampai kasus Budi Gunawan selesai.

Informan 6

Nama : Thariq Shaqieb Usia : 24 tahun Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2011 Agama : Islam


(28)

Menurut pemberitaan yang saya baca di surat kabar Kompas dan yang saya tonton di berita televisi, penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK berbuah beredarnya foto mesra Abraham Samad dan isu kongkalikong dengan PDIP hingga penangkapan Bambang Widjojanto serta pelaporan Adnan Pandu Praja.

Menurut saya, berbagai isu yang beredar menyusul penetapan BG sebagai tersangka KPK merupakan politik balas dendam dari para pendukung BG. Dia sangat menyayangkan hal tersebut, sebab sebagai lembaga penegak hukum, seharusnya KPK tidak dijadikan sasaran politik balas dendam. "Ujian terberat bangsa Indonesia adalah korupsi. Maka dari itu, KPK tidak seharusnya dijadikan objek balas dendam politik yang bermotif kepentingan jangka pendek”. Saya berharap Presiden Joko Widodo memberikan dukungannya terhadap KPK. "Dengan kapasitas yang dimilikinya, seharusnya Jokowi mampu memetakan mana yang hanya mementingkan kepentingan politik jangka pendek dan politik yang mementingkan kemajuan bangsa Indonesia".

Informan 7

Nama : Maulana Ramadhany Usia : 23 tahun

Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2011 Agama : Islam


(29)

Saya dengan pernyataan Elman Saragih, Pemred Media Indonesia, di MetroTV, ketika itu dia bilang, "KPK berhenti bekerja sehari Indonesia tidak akan runtuh, Polisi sehari berleha-leha itu.

Sepertinya dia menganggap konflik KPK vs Kepolisian Republik Indonesia sekarang benar-benar konflik antar lembaga dan rakyat menghujat Kepolisian Republik Indonesia. Pasti Elman sebagai wartawan senior tahu persis akar masalah konflik ini bila ditelusuri sampai ke akarnya. Konflik mengemuka sejak Presiden Joko Widodo mengajukan Komjen Pol. Budi Gunawan sebagai calon tunggal kaKepolisian Republik Indonesia ke DPR, lalu sehari sebelum DPR melakukan fit and proper test terhadap Budi Gunawan, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Kegaduhan meledak ketika petugas Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, yang ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010.

Dua kejadian itulah yang menurut saya menyebabkan munculnya dukungan para pegiat antikorupsi yang terlihat di kantor KPK. Para pendukung KPK inilah sebenarnya yang disebut Menkopolhukam Tedjo Edi Purdijatno sebagai 'rakyat tak jelas', padahal banyak di antara mereka waktu Pilpres 2014 pendukung fanatik Jokowi. Kasus KPK vs Kepolisian Republik Indonesia sekarang lebih tepat disebut KPK vs Budi Gunawan cs. KPK pimpinannya solid, sedangkan di Kepolisian Republik Indonesia para perwira tingginya diakui atau tidak berfaksi-faksi, ada yang berafiliasi ke parpol penguasa.


(30)

Saya sependapat, akar persoalannya salah pilih orang, baik calon kaKepolisian Republik Indonesia maupun kabareskrim. Bila kesalahan ini diperbaiki oleh Presiden Joko Widodo, saya yakin pro-kontra akan mereda. Mengenai kasus Bambang Widjojanto dan Budi Gunawan, dua kasus ini tetap diteruskan, diproses secara transparan sesuai arahan Presiden Jokowi.

Jika pro-kontra reda setelah akar masalah di Kepolisian Republik Indonesia diatasi, kemungkinan besar hujatan kepada Kepolisian Republik Indonesia akan mereda. Artinya saya tidak benci Kepolisian Republik Indonesia secara institusi, malah butuh, bukankah banyak prestasi Kepolisian Republik Indonesia yang sangat layak saya acungi jempol, misalnya kasus pengungkapan teror Bom Bali, kasus penangkapan bandar narkoba dan penangkapan ratusan preman pengganggu masyarakat.

Informan 8

Nama : Teddy Firmansyah Usia : 24 tahun

Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2011 Agama : Islam

Jika boleh berprasangka buruk, KPK bukanlah dewa yang selalu benar. Anggotanya ada banyak, dan tiap-tiap anggota punya niat, pikiran, dan hati sendiri-sendiri. Mungkin awalnya memang semua anggota KPK berpegang teguh pada kode etik, apabila ikutan korupsi hukumannya akan tiga kali lebih berat. Sehingga KPK solid, dan ini memenangkan hati saya yang sebelumnya telah


(31)

krisis kepercayaan terhadap lembaga hukum. Namun tidak adanya pengawasan yang ketat menjadi kelemahan yang bisa dimanfaatkan oleh anggota yang nakal. Dan jika boleh berprasangka baik terhadap Kepolisian Republik Indonesia, tidak semua anggotanya buruk, atau mungkin saat ini ada niat untuk membenahi diri. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan juga bahwa anggotanya yang sedang dibicarakan memang salah.

Seberapa benar atau seberapa salah KPK dan Kepolisian Republik Indonesia, semua ada faktanya. Sebenarnya itulah yang bahaya, meskipun ada bukti bahwa KPK salah, tetap saja dibela karena sudah terlanjur cinta. Sebaliknya meskipun ada tanda-tanda Kepolisian Republik Indonesia tidak bersalah, tetap saja diragukan karena sudah terlanjur tidak percaya. Begitu juga yang terjadi di media, lihat saja TV A dan TV B yang mungkin berbeda, mengemas berita suka-suka, tergantung kubu mana yang disukainya, bukan lagi murni fakta. Seperti kabar mantan ketua KPK yang dulu senantiasa dibela pasti sudah lupa, karena media sudah tidak menyorot lagi. Mungkin karena ratingnya sudah tidak bagus, sudah tidak populer atau bahasa kasarnya udah basi. Sedih memang, padahal mungkin beliau salah satu orang paling jujur di negeri ini.

Dan akhirnya setelah ditunggu-tunggu dan didesak-desak, Presiden Jokowi mengeluarkan Kepres dan Perpu mengenai masalah ini. Menurut saya cukup adil. Adil karena kepres yang memutuskan untuk mengganti calon KaKepolisian Republik Indonesia, berarti menghormati KPK untuk memproses calon sebelumnya sesuai ketentuan yang berlaku di ranah hukum KPK. Adil karena perpu yang dibuat bertujuan menetapkan pejabat pelaksana tugas sementara KPK, yang mana diantaranya adalah mantan ketua KPK, dan perpu ini memungkinkan Kepolisian Republik Indonesia meneruskan proses hukum terhadap pejabat tinggi KPK yang lama.


(32)

Informan 9

Nama : Tengku Asril Usia : 23 tahun Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2012 Agama : Islam

Pendapat saya sama seperti masyarakat pada umumnya, mendoakan yang terbaik untuk negara ini dan rakyat. Saya membela KPK, tapi apabila KPK dikatakan benar sepenuhnya itu belum tentu karena KPK juga bisa melakukan kesalahan. Kepolisian Republik Indonesia memiliki tugas untuk melindungi rakyatnya, mengayomi, dan menjaga, sayangnya Kepolisian Republik Indonesia seringkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga perasaan masyarakat tercederai dan merasa bahwa lembaga yang seharusnya bisa menjadi pelindung malah menjadi penjerumus bagi mereka. Rasa kepercayaan masyarakat hilang terhadap Kepolisian Republik Indonesia dan mereka lebih percaya kepada KPK yang sering memihak kepada kebenaran, kebenaran itu berada pada tangan masyarakat pada umumnya. Kesimpulannya saya tidak percaya lagi pada Kepolisian Republik Indonesia dan mendukung KPK sepenuhnya

KPK dan Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga negara tidak perlu ada pertentangan, dia harus saling bekerja sama dalam memerangi kejahatan utamanya korupsi. Melihat kondisi saat ini sebenarnya masalahnya sepertinya ada pada personalnya yang saling ingin menjatuhkan kredibilitas mereka dengan cara mengorek masa lalunya. Namun berbias pada lembaga KPK dan Kepolisian Republik Indonesia seolah-olah bermusuhan.


(33)

Mungkin bagi yang merasa memiliki status tersangka sebaiknya mengundurkan diri saja dari jabatannya agar dapat lebih memudahkan presiden menyelesaikan kemelut yang tidak kunjung selesai. Dengan cara ini baik yang bersangkutan maupun lembaganya akan lebih baik dan lebih terhormat. karena dia lebih mementingkan untuk negara dan bangsa daripada kepentingan pribadi maupun golongan.

Informan 10

Nama : Daniel Hugo Usia : 23 tahun Departemen : Ilmu Politik Stambuk : 2012

Agama : Kristen Protestan

Kalau menurut saya, baik KPK maupun Kepolisian Republik Indonesia sama-sama tidak salah karena memeriksa anggota Kepolisian Republik Indonesia yang dituduh terlibat kasus korupsi itu sudah menjadi tugas KPK. Begitupun Kepolisian Republik Indonesia, menangkap dan memeriksa salah satu Pimpinan KPK itu sudah menjadi tugas Kepolisian Republik Indonesia. Jadi tidak ada yg salah. Hanya saja sangat disayangkan kasus ini diungkap ke permukaan disaat hubungan kedua lembaga ini sedang dalam kondisi tidak mesra. Dengan begitu timbul kesan seakan kedua lembaga ini ingin saling balas dendam. Ketidaktegasan Presiden pada saat itu membuat masalah antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia ini semakin keruh. Padahal


(34)

kalau Presiden langsung mengeluarkan keputusan misalnya "Adili siapa saja yang dituduh terlibat kasus hukum", maka persoalannya pasti akan cepat selesai.

KPK maupun Kepolisian Republik Indonesia semuanya benar karena bentukan negara yang syah, akan tetapi didalam pelaksanaannya kadangkala ada terselingkuh dengan kepentingan sesaat sehingga semuanya berjalan tidak sesuai kehendak negara dan masyarakat. Dengan demikian diharapkan kedua institusi hukum ini sesegera mungkin menghentikan konflik kepentingan dan moralitas lembaga sehingga dapat mengembalikan kepercayaan negara dan masyarakat terhadap keduanya.


(35)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun sebagai kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian membuktikan bahwa konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia di respon oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Hal ini sekaligus pertanda bahwa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik masih memiliki kepekaan terhadap dinamika yang terjadi dilingkungannya, baik dalam skala lokal maupun dalam skala nasional. Respon mahasiswa terhadap konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia terdiri dari sikap pro dan sikap yang kontra.

2. Bahwa berdasarkan hasil penelitian sikap pro dari mahasiswa dikarenakan secara umum mahasiswa masih berpendapat bahwa korupsi adalah persoalan terbesar bangsa Indonesia saat ini dan oleh karenanya harus ada lembaga yang bisa bertindak dengan tegas tanpa pandang bulu. Hal ini hanya bisa diharapkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dalam penilaian mahasiswa memiliki kinerja yang baik. Hasil kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tanpa pandang bulu tersebut terlihat dengan dijebloskannya beberapa menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, walikota dan bupati serta pejabat lainnya kedalam penjara.

3. Berdasarkan hasil penelitian terungkap juga bahwa ada diantara mahasiswa yang kontra kepada sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus kepemilikan rekening gendut dan gratifikasi Komjen Budi Gunawan. Hal ini bukan berarti mahasiswa


(36)

Pemberantasan Korupsi akan tetapi mahasiswa lebih menekankan kepada proses serta aturan hukum yang menjadikan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka. Mahasiswa dalam hal ini masih melihat bahwa penegakan hukum berpegang teguh pada aturan-aturan yang ada, dimana untuk menjadikan sesorang sebagai tersangka harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu.

4. Bahwa konflik antar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik mempunyai pengaruh dalam dinamika sosial kemasyarakatan di Indonesia. Setidaknya masyarakat akan terpengaruh baik secara psikologis maupun secara sosiologis. Secara psikologis masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan menjadi pesimis terhadap Kepolisian Republik Indonesia dalam menangani permasalahan korupsi. Sedangkan secara sosiologis masyarakat akan memberikan appresiasi kepada masing-masing lembaga negara yang terlibat konflik tersebut baik yang bersifat pro maupun yang bersifat kontra.

5. Bahwa walaupun konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian RI berawal dari ditetapkannya Komjen Pol. Budi Gunawan (Calon Kapolri) sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan rekening gendut dan gratifikasi akan tetapi silang pendapat soal penanganan kasus korupsi sudah terjadi jauh sebelumnya, ketika masa-masa awal pembentukan KPK. Hal ini berkaitan dengan persoalan kewenangan yang tumpang tindih antara kedua instansi tersebut dalam penanganan korupsi.

5.2 Saran

Adapun yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kepada pemerintah disarankan agar mewujudkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang memperjelas sekaligus mempertegas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi


(37)

(KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Kewenangan ini sekaligus membatasi agar tidak terjadi tumpang tindih sekaligus untuk menghindari terjadinya benturan antar kedua instansi yang menangani korupsi tersebut 2. Bahwa agar konflik tidak terulang lagi maka disarankan kepada pemerintah untuk membuat

mekanisme resolusi konflik sehingga apabila suatu ketika nanti kedua instansi tersebut terjadi benturan ataupun konflik maka aka nada cara yang dapat ditempuh untuk mengelolanya. 3. Kepada insan pers disarankan agar membuat berita-berita setelah melalui check and recheck

dan berimbang serta tidak ada keberpihakan. Hal ini dimaksudkan agar media-media pemberitaan mempunyai tanggungjawab moral terhadap perjalanan kehidupan bangsa dan negara ini dan dengan demikian potensi-potensi yang dapat memecah belah bangsa ini dapat dihindarkan.


(38)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Mahasiswa

2.1.1 Pengertian

Mahasiswa merupakan individu yang mengikuti perkuliahan di Perguruan Tinggi. Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.

Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Oleh karena itu perlu dirumuskan perihal peran, fungsi, dan posisi mahasiswa untuk menentukan arah perjuangan dan kontribusi mahasiswa tersebut. Adapun peran mahasiswa tersebut adalah:


(39)

2.1.2 Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”

Mahasiswa dapat menjadi Iron Stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Intinya mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, harapan bangsa untuk masa depan. Tak dapat dipungkiri bahwa seluruh organisasi yang ada akan bersifat mengalir, yaitu ditandai dengan pergantian kekuasaan dari golongan tua ke golongan muda, oleh karena itu kaderisasi harus dilakukan terus-menerus. Dunia kampus dan kemahasiswaannya merupakan momentum kaderisasi yang sangat mahasiswang bila tidak dimanfaatkan bagi mereka yang memiliki kesempatan.

Sejarah telah membuktikan bahwa di tangan generasi mudalah perubahan-perubahan besar terjadi, dari zaman kolonialisme, hingga reformasi, pemudalah yang menjadi garda depan perubah kondisi bangsa.

2.1.3 Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value”

Mahasiswa sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai di masyarakat. Nilai yang harus dijaga adalah sesuatu yang bersifat benar mutlak, dan tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Selain nilai yang di atas, masih ada satu nilai lagi yang memenuhi kriteria sebagai nilai yang wajib dijaga oleh mahasiswa, nilai tersebut adalah nilai-nilai dari kebenaran ilmiah.

Pemikiran Guardian of Value yang berkembang selama ini hanyalah sebagai penjaga nilai-nilai yang sudah ada sebelumya, atau menjaga nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran, kesigapan, dan lain sebagainya. Penjelasan Guardian of Value hanya sebagai penjaga nilai-nilai yang sudah ada juga memiliki kelemahan yaitu bilamana terjadi sebuah pergeseran nilai, dan


(40)

nilai yang telah bergeser tersebut sudah terlanjur menjadi sebuah perimeter kebaikan di masyarakat, maka akan kesulitan dalam memandang arti kebenaran nilai itu sendiri.

2.1.4 Mahasiswa Sebagai “Agent of Change”

Mahasiswa sebagai Agent of Change maksudnya adalah bahwa mahasiswa sebagai agen dari suatu perubahan. Fakta menunjukkan bahwa kondisi bangsa saat ini jauh sekali dari kondisi ideal, dimana banyak sekali penyakit-penyakit masyarakat yang menghinggapi hati bangsa ini, mulai dari pejabat-pejabat atas hingga bawah, dan tentunya tertular pula kepada banyak rakyatnya. Sudah seharusnyalah melakukan terhadap hal ini. Lalu alasan selanjutnya mengapa harus melakukan perubahan adalah karena perubahan itu sendiri merupakan harga mutlak dan pasti akan terjadi walaupun diam. Bila diam secara tidak sadar telah berkontribusi dalam melakukan perubahan, namun tentunya perubahan yang terjadi akan berbeda dengan ideologi yang anut dan anggap benar.

Mahasiswa adalah golongan yang harus menjadi garda terdepan dalam melakukan perubahan dikarenakan mahasiswa merupakan kaum yang “eksklusif”, hanya 5% dari pemuda yang bisa menyandang status mahasiswa, dan dari jumlah itu bisa dihitung pula berapa persen lagi yang mau mengkaji tentang peran-peran mahasiswa di bangsa dan negaranya ini. Mahasiswa-mahasiswa yang telah sadar tersebut sudah seharusnya tidak lepas tangan begitu saja. Mereka tidak boleh membiarkan bangsa ini melakukan perubahan ke arah yang salah. Merekalah yang seharusnya melakukan perubahan-perubahan tersebut.

Perubahan itu sendiri sebenarnya dapat dilihat dari dua pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa tatanan kehidupan bermasyarakat sangat dipengaruhi oleh hal-hal bersifat materialistik seperti teknologi, misalnya kincir angin akan menciptakan masyarakat feodal,


(41)

mesin industri akan menciptakan mayarakat kapitalis, internet akan menciptakan menciptakan masyarakat yang informatif, dan lain sebagainya. Pandangan selanjutnya menyatakan bahwaideologi atau nilai sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Sebagai mahasiswa nampaknya harus bisa mengakomodasi kedua pandangan tersebut demi terjadinya perubahan yang diharapkan. Itu semua karena berpotensi lebih untuk mewujudkan hal-hal tersebut.

Sudah jelas kenapa perubahan itu perlu dilakukan dan kenapa pula mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam perubahan tersebut, lantas dalam melakukan perubahan tersebut haruslah dibuat metode yang tidak tergesa-gesa, dimulai dari ruang lingkup terkecil yaitu diri sendiri, lalu menyebar terus hingga akhirnya sampai ke ruang lingkup yang harapkan, yaitu bangsa ini.

2.1.5 Fungsi Sosial Kemasyarakatan Mahasiswa

Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang diungkapkan M.Hatta yaitu membentuk manusia susila dan demokrat yang:

1. Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat 2. Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan 3. Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat

Berdasarkan pemikiran M.Hatta tersebut, dapat sederhanakan bahwa tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis, yang selanjutnya hal tersebut akan menjadi sebuah fungsi bagi mahasiswa itu sendiri. Insan akademis itu sendiri memiliki dua ciri yaitu : memiliki sense of crisis, dan selalu mengembangkan dirinya.


(42)

Insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sernya saat ini. Hal ini akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak ilmu, yaitu selalu mencari pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti watak ilmu tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah yang terjadi dan terlebih lagi menemukan solusi-solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Insan akademis harus selalu mengembangkan dirinya sehingga mereka bisa menjadi generasi yang tanggap dan mampu menghadapi tantangan masa depan.

Dalam hal insan akademis sebagai orang yang selalu mengikuti watak ilmu, ini juga berhubungan dengan peran mahasiswa sebagai penjaga nilai, dimana mahasiswa harus mencari nilai-nilai kebenaran itu sendiri, kemudian meneruskannya kepada masyarakat, dan yang terpenting adalah menjaga nilai kebenaran tersebut.

2.1.6 Posisi Mahasiswa Dalam Pembangunan

Mahasiswa dengan segala kelebihan dan potensinya tentu saja tidak bisa disamakan dengan rakyat dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa. Mahasiswa pun masih tergolong kaum idealis, dimana keyakinan dan pemikiran mereka belum dipengaruhi oleh parpol, ormas, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa menurut mahasiswa tepat bila dikatakan memiliki posisi diantara masyarakat dan pemerintah.

Mahasiswa dalam hal hubungan masyarakat ke pemerintah dapat berperan sebagai kontrol politik, yaitu mengawasi dan membahas segala pengambilan keputusan beserta keputusan-keputusan yang telah dihasilkan sebelumnya. Mahasiswa pun dapat berperan sebagai penyampai aspirasi rakyat, dengan melakukan interaksi sosial dengan masyarakat dilanjutkan dengan analisis masalah yang tepat maka diharapkan mahasiswa mampu menyampaikan realita


(43)

yang terjadi di masyarakat beserta solusi ilmiah dan bertanggung jawab dalam menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat.

Mahasiswa dalam hal hubungan pemerintah ke masyarakat dapat berperan sebagai penyambung lidah pemerintah. Mahasiswa diharapkan mampu membantu menyosialisasikan berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tak jarang kebijakan-kebijakan pemerintah mengandung banyak salah pengertian dari masyarakat, oleh karena itu tugas mahasiswalah yang marus “menerjemahkan” maksud dan tujuan berbagai kebijakan kontroversial tersebut agar mudah dimengerti masyarakat.

Posisi mahasiswa cukuplah rentan, sebab mahasiswa berdiri di antara idealisme dan realita. Tak jarang berat sebelah, saat membela idealisme ternyata melihat realita masyarakat yang semakin buruk. Saat berpihak pada realita, ternyata secara tak sadar sudah meninggalkan idealisme dan juga kadang sudah meninggalkan watak ilmu yang seharusnya miliki.

Mengenai posisi mahasiswa saat ini mahasiswa berpendapat bahwa mahasiswa terlalu menganggap dirinya “elit” sehingga terciptalah jurang lebar dengan masyarakat. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan mahasiswa kini sudah kehilangan esensinya, sehingga masyarakat sudah tidak menganggapnya suatu harapan pembaruan lagi. Sedangkan golongan-golongan atas seperti pengusaha, dokter, dsb. Merasa sudah tidak ada lagi kesamaan gerakan. Perjuangan mahasiswa kini sudah berdiri sendiri dan tidak lagi “satu nafas” bersama rakyat.


(44)

2.2 Konflik

2.2.1 Pengertian

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedaan merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua sisi mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif.

Suatu konflik dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui mekanisme transformasi—pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik.

Menurut Lawang (1994), konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.

Robbins (2002) mendefinisikan konflik sebagai situasi yang mana individu (seseorang) dihadapkan dengan harapan-harapan peran yang berlainan. Jadi konflik timbul bila individu dalam peran tertentu dibingungkan oleh tuntutan kerja atau keharusan melakukan sesuatu yang berbeda dari yang diinginkannya atau yang tidak merupakan dari bagian kerjanya


(45)

Konflik dapat terjadi pada setiap individu dan kelompok dalam masyarakat, yang menuntut adanya penyelesaian. Konflik pribadi dapat terjadi antar individu atau dalam diri sendiri. Perbedaan pandangan atau kepentingan atau pendapat dapat menjadi pemicu bagi munculnya konflik pribadi. Konflik yang terjadi dalam diri individu dapat muncul manakala terdapat perbedaan antara idealisme yang dimilikinya dengan kenyataan.

Konflik yang terjadi antara individu dengan individu, misalnya konflik di antara sesama teman di sekolah. Konflik antara individu dengan kelompok, misalnya konflik antara seorang majikan dengan buruhnya. Sedangkan konflik antara kelompok dengan kelompok, misalnya para pedagang kaki lima dengan para petugas ketertiban. Konflik kelompok dapat terjadi manakala dua kelompok mengalami perbedaan kepentingan atau perbedaan pendapat. Konflik yang tidak teratasi menjadi potensi laten bagi terjadinya disintegrasi sosial. Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, konflik merupakan proses sosial. Konflik merupakan salah satu fakta sosial yang berbeda dengan fakta individual.

Penyebab konflik sangatlah kompleks yang dilatarbelakangi oleh berbagai dimensi dan peristiwa sosial. Konflik yang terjadi dalam masyarakat bisa berlatar belakang ekonomi, politik, kekuasaan, budaya, agama, dan kepentingan lainnya. Menurut DuBois dan Miley, sumber utama terjadinya konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, dan tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Salah satu sebab terjadinya konflik ialah karena reaksi yang diberikan oleh dua orang/ kelompok atau lebih dalam situasi yang sama berbeda-beda. Selain itu, konflik mudah terjadi apabila prasangka telah berlangsung lama.

Menurut Gerungan (1966) prasangka social (social prejudice) terjadi karena: 1. Kurangnya pengetahuan dan pengertian tentang hidup pihak lain


(46)

2. Adanya kepentingan perseorangan atau golongan 3. Ketidakinsyafan akan kerugian dari akibat prasangka

Dalam sosiologi, konflik merupakan gambaran tentang terjadinya percekcokan, perselisihan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun perbedaan kelompok. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan pendapat, pandangan, penafsiran, pemahaman, kepentingan atau perbedaan yang lebih luas dan umum, seperti perbedaan agama, ras, suku bangsa, bahasa, profesi, golongan politik dan kepercayaan.

Sumber terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat dapat dikategorikan ke dalam lima faktor yaitu:

1. Faktor perbedaan individu dalam masyarakat.

Perbedaan invididu ini terjadi berdasarkan pada perbedaan antar anggota masyarakat secara orang perorangan, baik secara fisik dan mental maupun perbedaan material dan non-material. Perbedaan fisik lebih menekankan pada keadaan jasmaniah, misalnya rupa atau kecantikan, kesempurnaan indera dan bentuk tubuh. Perbedaan mental, misalnya kecakapan, kemampuan dan keterampilan, pendirian atau perasaa. Sedangkan perbedaan material lebih dicirikan dengan kepemilikan harta benda, misalnya orang kaya atau orang miskin, dan perbedaan non-material berkenaan dengan status sosial seseorang. Sehingga dari perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan pertikaian atau bentrokan di antara anggota masyarakat.


(47)

2. Perbedaan pola kebudayaan

Perbedaan yang terdapat antar daerah atau suku bangsa yang memiliki budaya yang berbeda, atau terdapat dalam satu daerah yang sama karena perbedaan paham, agama dan pandangan hidup. Sehingga dari perbedaan pola kebudayaan tersebut dapat melahirkan dan memperkuat entiment primordial yang dapat mengarah kepada terjadinya konflik antar golongan atau kelompok. Misalnya di daerah transmigrasi terjadi konflik antara kaum pendatang dengan penduduk asli.

3. Perbedaan status sosial

Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam kelompok atau masyarakat, yang untuk mendapatkannya ada yang bisa diusahakan (achieved status) dan ada pula status yang diperoleh dengan tanpa diusahakan (ascribed status). Status yang dapat diusahakan misalnya melalui pendidikan, orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan berada pada status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah, sedangkan status yang tanpa diusahakan dapat diperoleh melalui keturunan, seperti kasta dalam Agama Hindu atau kebangsawanan. Terdapatnya beragam kedudukan dalam masyarakat dapat menimbulkan perselisihan untuk mendapatkan kedudukan yang baik, terutama ascribed status.

4. Perbedaan kepentingan

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia memiliki kepentingan dan usaha yang berbeda, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan sosial, yang dapat menimbulkan pertentangan antar individu atau kelompok. Pada masyarakat nomaden sering terjadi pertikaian antar kelompok untuk mendapatkan daerah yang subur, sedangkan pada masyarakat industri sering terjadi perselisihan untuk mendapatkan bahan baku atau


(48)

konsumen dan dalam aspek kehidupan politik terjadi perselisihan antar kelompok untuk mendapatkan partisipan. Jadi konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan dapat terjadi pada setiap masyarakat dengan berbagai tingkatannya.

5. Terjadinya perubahan sosial

Perubahan sosial dengan konflik terdapat hubungan karena perubahan sosial dapat terjadi akibat konflik sosial dan sebaliknya perubahan sosial dapat menimbulkan konflik. Masuknya unsur-unsur baru ke dalam suatu sistem sosial dapat menimbulkan perubahan sosial yang dapat dapat memicu terjadinya konflik apabila anggota masyarakat tidak seluruhnya menerima. Misalnya, penggunaan traktor pada bidang pertanian telah merubah struktur mata pencaharian dan melahirkan konflik antara petani dengan buruh tani (tenaga kerja).

Ralf Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah ( konflik dan konsensus ) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teori konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisis konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengingat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Menurut teoritisi konflik masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.

Beberapa tahun yang lalu, fungsionalisme struktural adalah teori dominan dalam sosiologi. Teori konflik adalah teori yang sangat menetang, dan yang paling utama, menjadi


(49)

alternatif menggantinya terhadap posisi dominan itu. Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber yang lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap fungsionalisme struktural. Namun kemudian konflik ini tidak bisa menggantikan masalah mendasar dalam teori konflik karena teori ini tidak akan pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalisme. Teori ini bisa dibilang merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya.

Teori konflik bertujuan mengatasi watak yang secara dominan bersifat arbitrer. Dari sebuah peristiwa yang tidak dapat dijelaskan, dengan menurunkan peristiwa-peristiwa itu dari elemen struktur sosial. Dengan lain kata, menjelaskan proses-proses tertentu dengan bersifat ramalan. Konflik antara buruh dan majikan memang memerlukan penjelasan. Tetapi yang lebih penting adalah menunjukkan bukti bahwa konflik yang demikian didasari oleh susunan struktural tertentu, yang oleh karenanya dimanapun cenderung melahirkan susunan struktur yang telah ada. Dalam hal ini Dahrendorf menekankan pentingnya kekuasaaan dan akibat konflik yang sampai kapan pun tidak dapat dihindari.

Seperti halnya Marx, perhatian yang kedua terhadap diterminan “konflik aktif”. Seperti fungsionalis, ahli teori konflik berorientasi terhadap studi struktur dan institusi sosial. Sebenarnya sangat sedikit teori ini yang berlawanan dengan secara langsung dengan pendirian fungsionalis. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang.

Akan tetapi menurut Dahrendorf, dan teori konflik yang lain, setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal


(50)

yang maksudnya diikat oleh norma, nilai dan moral. Sedangkan dalam pandangan teoritisi konflik apa pun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas.

2.2.2 Arena dan Isu-isu yang membingkai konflik

Konflik sosial bisa berlangsung pada asas antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu “ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor swasta” (Bebbington, 1997; dan Luckham, 1998). Konflik sosial bisa berlangsung di dalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan kekuasaan. Konflik sosial antar “pemangku kekuasaan” dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:

(1) Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan Negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum. Perlawanan asosiasi pedagang kaki-lima di Jakarta melawan penggusuran oleh Pemerintah DKI Jaya adalah contoh klasik yang terus kontemporer.

(2) Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas sosial melawan swasta dan sebaliknya. Contoh klasik dalam hal ini adalah “perseteruan berdarah” yang terus berlangsung (bahkan hingga kini) antara komunitas lokal melawan perusahaan pertambangan multi-nasional di Papua. Kasus serupa juga ditemui dalam “Tragedi Pencemaran Teluk Buyat” yang memperhadapkan warga lokal yang menderita kesakitan


(51)

akibat pencemaran air terus-menerus dari limbah tailing aktivitas penambangan emas oleh perusahaan swasta asing di Sulawesi Utara di awal dekade 2000-an.

(3) Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadap-hadapan melawan Negara dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh Pemerintah/Negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara tidak terelakkan.

Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin kompleks, manakala unsur-unsur pembentuk sebuah ruang kekuasaan tidak merepresentasikan struktur sosial dengan atribut/identitas sosial yang homogen. Di ruang kekuasaan negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat latent (terselubung terpendam) maupun manifest (mewujud nyata).

Dalam hal ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung dalam praktek manajemen pemerintahan akibat olah-kewenangan dalam pengendalian pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat. Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenangan” tersebut mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi.

Konflik sosial horisontal, juga berlangsung antar departemen sektoral di pemerintahan pusat, ataupun antara satu pemerintah kabupaten berhadap-hadapan melawan pemerintah kabupaten lain dalam suatu kebijaksanaan tertentu. Di ruang kekuasaan masyarakat sipil atau kolektivitas sosial, berlangsung konflik sosial yang tidak kalah intensifnya antara sesama kolektivitas sosial dalam mempertentangkan suatu obyek yang sama. Hal ini dipicu oleh cara pandang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu persoalan. Perbedaan mazhab atau ideologi


(52)

yang dianut oleh masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat berubah menjadi konflik sosial yang nyata.

Beberapa contoh atas konflik ini bisa disebutkan antara lain adalah, tawuran antar warga yang dipicu oleh hal-hal yang dalam “kehidupan normal” dianggap sederhana (sepele), seperti masalah batas wilayah administratif (desa atau kabupaten) yang hendak dimekarkan sebagai konsekuensi otonomi daerah.

Sementara itu, di ruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan perbedaan identitas sosial komunal (ethno-communal conflict) seperti ras, etnisitas dan religiositas. Konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para penganut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana terjadi antara penganut “Ahmadyah” versus “non-Ahmadyah”) juga terjadi secara dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia.

Terjadinya konflik sosial umumnya melalui dua tahap, yaitu dimulai dari tahap keretakan sosial (disorganisasi) yang terus berlanjut ke tahap perpecahan (disintegrasi). Timbulnya gejala-gejala disorganisasi dan disintegrasi adalah akibat dari hal-hal berikut:

1. Ketidaksepahaman para anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang pada awalnya menjadi pedoman bersama.

2. Norma-norma sosial tidak membantu lagi anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah disepakati.

3. Kaidah-kaidah dalam kelompok yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain. 4. Sangsi menjadi lemah bahkan tidak dilaksanakan dengan konsekuen.


(53)

Adapun isu-isu kritikal yang membingkai konflik adalah:

1. Konflik antar kelas sosial (sosial class conflict) sebagaimana terjadi antara “kelas buruh” melawan “kelas majikan” dalam konflik hubungan-industrial, atau “kelas tuan tanah” melawan “kelas buruh-tani” dalam konflik agraria.

2. Konflik Moda Produksi dalam Perekonomian (Modes of production conflict) yang berlangsung antara kelompok pelaku ekonomi bermodakan (cara-produksi) ekonomi peasantry-tradisionalisme (pertanian skala kecil subsisten-sederhana) melawan para pelaku ekonomi bersendikan moral-ekonomi akumulasi profit dan eksploitatif.

3. Konflik sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources conflict) adalah konflik sosial yang berpusat pada isyu “claim dan reclaiming” penguasaan sumberdaya alam (tanah atau air) sebagai pokok sengketa terpenting. Dalam banyak hal, konflik sumberdaya alam berimpitan dengan konflik agraria, dimana sekelompok orang memperjuangkan hak-hak penguasaan tanah yang diklaim sebagai property mereka melawan negara, badan swasta atau kelompok sosial lain.

4. Konflik ras (ethnics and racial conflict) yang mengusung perbedaan warna kulit dan atribut sub-kultural yang melekat pada warna kulit pihak-pihak yang berselisih.

5. Konflik antar-pemeluk agama (religious conflict) yang berlangsung karena masing masing pihak mempertajam perbedaan prinsip yang melekat pada ajaran masing masing agama yang dipeluk mereka.

6. Konflik sektarian (sectarian conflict), adalah konflik yang dipicu oleh perbedaan pandangan atau ideologi yang dianut antar pihak. Konflik akan makin mempertajam perbedaan pandangan antar mazhab (seringkali pada ideologi yang sama).


(54)

7. Konflik politik (political conflict) yang berlangsung dalam dinamika olahkekuasaan (power exercise).

8. Gender conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua penganut pandangan berbeda dengan basis perbedaan adalah jenis-kelamin. Para pihak mengusung kepentingan-kepentingan (politik, kekuasaan, ekonomi, peran sosial) yang berbeda dan saling berbenturan antara dua kelompok penyokong yang saling berseberangan.

9. Konflik-konflik antar komunitas (communal conflicts), yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: eksistensi identitas budaya komunitas dan factor sumberdaya kehidupan (sources of sustenance). Konflik komunal seringkali bisa berkembang menjadi konflik teritorial jika setiap identitas kelompok melekat juga identitas kawasan.

10. Konflik teritorial (territorial conflict) adalah konflik sosial yang dilancarkan oleh komunitas atau masyarakat lokal untuk mempertahankan kawasan tempat mereka membina kehidupan selama ini. Konflik teritorial seringkali dijumpai di kawasankawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dimana komunitas adat/lokal merasa terancam sumber kehidupan dan identitas sosio-budayanya manakala penguasa HPH menghabisi pepohonan dan hutan dimana mereka selama ini bernaung dan membina kehidupan sosial-budaya dan sosio-kemasyarakatan.

11. Inter-state conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua negara dengan kepentingan, ideologi dan sistem ekonomi yang berbeda dan berbenturan kepentingan dengan pihak lain negara.

12. Dalam kecenderungan global, inter-state conflict bisa berkembang menjadi regional conflict sebagaimana terjadi pada era “perang dingin” (Blok Uni Soviet vs Blok USA), atau


(1)

ABSTRAKSI

Fenomena konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia menarik perhatian tidak hanya masyarakat tetapi juga mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. Konflik serupa telah beberapa kali terjadi dan memberikan pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan serta membuat malu bangsa Indonesia di dunia internasional. Kenyataan ini menarik untuk diangkat dalam suatu penelitian dalam rangka penulisan skripsi. Adapun masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mahasiswa merespon konflik yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia. Penelitian yang bersifat kualitatif dan dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara ini menghimpun data melalui wawancara mendalam dengan 10 orang mahasiswa. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa konflik kedua instansi tersebut terjadi dikarenakan masing-masing pihak bersikukuh dan memegang dasar argumentasinya sendiri dalam menangani kasus-kasus korupsi terlebih keduanya mempunyai tugas pokok dan fungsi yang hampir sama atau tumpang tindih dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Mahasiswa dalam merespon konflik ini menjadi pro dan kontra. Hal ini sekaligus pertanda bahwa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik masih memiliki kepekaan terhadap dinamika yang terjadi dilingkungannya, baik dalam skala lokal maupun dalam skala nasional. Sikap pro dari mahasiswa dikarenakan secara umum mahasiswa masih berpendapat bahwa korupsi adalah persoalan terbesar bangsa Indonesia saat ini dan oleh karenanya harus ada institusi yang bisa bertindak dengan tegas tanpa pandang bulu, dimana hal ini hanya bisa diharapkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian RI berawal dari ditetapkannya Komjen Pol. Budi Gunawan (Calon Kapolri) sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan rekening gendut dan gratifikasi. Sehubungan dengan itu disarankan kepada pemerintah agar mewujudkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang memperjelas sekaligus mempertegas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Kewenangan ini sekaligus membatasi agar tidak terjadi tumpang tindih sekaligus untuk menghindari terjadinya benturan antar kedua instansi yang menangani korupsi tersebut Selanjutnya pemerintah harus membuat mekanisme resolusi konflik sehingga apabila suatu ketika nanti kedua instansi tersebut terjadi benturan ataupun konflik maka akan nada cara yang dapat ditempuh untuk mengelolanya.


(2)

SKRIPSI

RESPON MAHASISWA FISIP USU TERHADAP KONFLIK KPK-POLRI

PADA TAHUN 2015

Disusun oleh :

EVAN EWALDO LUMBAN TOBING (110901037)

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(3)

ABSTRAKSI

Fenomena konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia menarik perhatian tidak hanya masyarakat tetapi juga mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. Konflik serupa telah beberapa kali terjadi dan memberikan pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan serta membuat malu bangsa Indonesia di dunia internasional. Kenyataan ini menarik untuk diangkat dalam suatu penelitian dalam rangka penulisan skripsi. Adapun masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mahasiswa merespon konflik yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia. Penelitian yang bersifat kualitatif dan dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara ini menghimpun data melalui wawancara mendalam dengan 10 orang mahasiswa. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa konflik kedua instansi tersebut terjadi dikarenakan masing-masing pihak bersikukuh dan memegang dasar argumentasinya sendiri dalam menangani kasus-kasus korupsi terlebih keduanya mempunyai tugas pokok dan fungsi yang hampir sama atau tumpang tindih dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Mahasiswa dalam merespon konflik ini menjadi pro dan kontra. Hal ini sekaligus pertanda bahwa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik masih memiliki kepekaan terhadap dinamika yang terjadi dilingkungannya, baik dalam skala lokal maupun dalam skala nasional. Sikap pro dari mahasiswa dikarenakan secara umum mahasiswa masih berpendapat bahwa korupsi adalah persoalan terbesar bangsa Indonesia saat ini dan oleh karenanya harus ada institusi yang bisa bertindak dengan tegas tanpa pandang bulu, dimana hal ini hanya bisa diharapkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian RI berawal dari ditetapkannya Komjen Pol. Budi Gunawan (Calon Kapolri) sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan rekening gendut dan gratifikasi. Sehubungan dengan itu disarankan kepada pemerintah agar mewujudkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang memperjelas sekaligus mempertegas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Kewenangan ini sekaligus membatasi agar tidak terjadi tumpang tindih sekaligus untuk menghindari terjadinya benturan antar kedua instansi yang menangani korupsi tersebut Selanjutnya pemerintah harus membuat mekanisme resolusi konflik sehingga apabila suatu ketika nanti kedua instansi tersebut terjadi benturan ataupun konflik maka akan nada cara yang dapat ditempuh untuk mengelolanya.


(4)

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang berjudul "Respon Mahasiswa FISIP USU Terhadap Konflik KPK-Polri pada Tahun 2015” sesuai dengan yang direncanakan. Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua penulis, Tumbur Lumban Tobing, S.H dan Anthea Hutauruk, S.Sos atas dorongan dan doanya.

2. Kedua Kakak penulis, Olga Clara Patricia Lumban Tobing dan Novia Gracia Lumban Tobing atas dorongan dan doanya

3. Bapak Drs. Junjungan SBP Simanjuntak, M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing penulis selama mengerjakan Tugas Akhir ini.

4. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang turut membimbing dalam penyelesaian penulisan ini.

5. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua jurusan Ilmu Sosiologi Universitas Sumatera Utara.

6. Teman-teman seperjuangan penulis, Erwin Pasaribu, Theonardo Tamba, Chairunnisa Putri Siregar, Prana Prahara Rajagukguk, Aidil Sufie, Doddy Imam Martua Hutabarat, dan Hendika Putra Satria.

7. Berbagai pihak yang memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis, terlebih terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga kecil band saya, WINA dan Rizky Pratama Sembiring

Skripsi ini dibuat guna melengkapi persyaratan untuk memperoleh Sarjana pada Jurusan Sosiologi di Universitas Sumatera Utara. Semoga penulisan tugas akhir ini bemanfaat bagi pihak yang berkepentingan.

September, 2016


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 5

1.4 Manfaat Penelitian... 5

1.5 Definisi Konsep... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Mahasiswa...8

2.1.1 Pengertian... 8

2.1.2 Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”... 9

2.1.3 Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value”... 9

2.1.4 Mahasiswa Sebagai “Agent of Change”... 10

2.1.5 Fungsi Sosial Kemasyarakatan Mahasiswa... 11

2.1.6 Posisi Mahasiswa Dalam Pembangunan... 12

2.2 Konflik... 14

2.2.1 Pengertian... 14

2.2.2 Arena dan Isu-Isu yang Membingkai Konflik... 20

2.2.3 Pendekatan Resolusi Konflik... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 47

3.2 Lokasi Penelitian... 47


(6)

3.3.1 Unit Analisis... 48

3.3.2 Informan... 48

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 49

3.4.1 Data Primer... 49

3.4.2 Data Sekunder... 49

3.5 Interpretasi Data... 50

3.6 Bagan Penelitian... 50

BAB IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA 4.1 Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara... 51

4.2 Sejarah Pembentukan Kepolisian Republik Indonesia... 52

4.3 Sejarah Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)... 54

4.4 Kronologi Konflik KPK-Kepolisian RI... 55

4.5 Profil Informan... 62

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan... 76

5.2 Saran... 77

DRAF WAWANCARA... 79