Penerapan Kebijakan Kepala Kantor BPN Aceh Besar Dalam Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris Berdasarkan Penetapan Mahkamah Syar’iyah Chapter III V

61

BAB III
HAMBATAN YANG DIHADAPI AHLI WARIS DALAM
SURAT KETERANGAN AHLI WARIS

PEMBUATAN

A. Problematika dan Akibat Hukum Terhadap Surat Keterangan Ahli Waris
Dalam Pendaftaran Tanah.
Secara khusus tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang keterangan hak waris dan siapa saja pejabat yang berwenang dalam
menerbitkan surat keterangan hak waris.94
Adapun

pejabat

yang

berwenang


mengeluarkan

surat

keterangan

mengeluarkan surat keterangan hak waris bagi golongan penduduk indonesia asli
(Bumiputera), surat keterangan ahli waris dibuat oleh para ahli waris yang kemudian
dibenarkan dan dikuatkan oleh Lurah dan Camat penduduk indonesia asli, terutama
yang tinggal di pedalaman daerah terpencil jauh dari kota, pada awalnya banyak
mengalami masalah dalam bidang pembuktian kewarisan tersebut, pembuatan Surat
Keterangan Hak Mewaris berdasarkan Ketentuan pada ayat 1 pasal 14 dari Instruksi
Voor de Gouvernements Landmeters dalam STBL. 1916 No.517, jo. Surat Menteri
Dalam Negeri Cq. Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah, Direktorat Jenderal Agraria
Departemen Dalam Negeri tanggal 20 Desember 1969 No. DPT/12/63/12/69, jo.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 111. 1.c.4. berbunyi ;
94


Tan Thong Kie, hal. 290

61

Universitas Sumatera Utara

62

1.

Bagi Warga Negara Indonesia Penduduk Asli : Surat Keterangan Ahli Waris
yang dibuat oleh para ahliwaris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi
dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris
pada waktu meninggal dunia ;

2.

Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa : Akta Keterangan Hak
Mewaris dari Notaris;


3.

Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing Lainnya : Surat
Keterangan Waris dari Balai Harta Peninggalan.95
Dalam surat Edaran tersebut diatur mengenai kewenangan pejabat

Lurah/Kepala Desa dan Camat untuk menyaksikan, membenarkan dan menguatkan
surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh ahli waris. Surat keterangan ahli waris
tersebut demi hukum diakui sebagai alat bukti otentik oleh instansi pejabat kantor
pertanahan (agraria) untuk mengurus barang warisan berupa tanah dalam melakukan
pendaftaran hak (balik nama) atau permohonan hak baru (sertifikat).
Dapat juga penetapan Surat Keterangan Ahli waris karena terjadi sengketa
dan dapat berupa Surat Keterangan waris yang dibuat dibawah tangan oleh para ahli
waris dan dilegalisasi oleh Pengadilan Negeri.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 20 tahun 1999 tentang ketentuan
pokok Kehakiman, banyak ditemui putusan-putusan Pengadilan Negeri tetang
Ketetapan Waris. Ketetapan waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri adalah

95


Lihat Surat Menteri Dalam Negeri Cq. Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah, Direktorat
Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri tanggal 20 Desember 1969 No. DPT/12/63/12/69.

Universitas Sumatera Utara

63

untuk semua golongan penduduk Indonesia yang menundukkan diri pada ketentuanketentuan Hukum Perdata (BW), dengan kata lain asalkan ada yang memohon untuk
dibuatkan penetapan/ fatwa waris kepada Pengadilan Negeri, maka Pengadilan
Negeri akan mengeluarkannya tanpa melihat perbedaan atau penggolongan penduduk
seperti yang termuat dalam Pasal 131 IS dan 163 IS (Indische Staatsregeling).96
Adapun permasalahan yang dihadapi dalam pembuatan surat keterangan ahli
waris bagi orang islam berdasarkan hasil penelitian dilapangan adalah kurangnya
pengetahuan para ahli waris ataupun Lurah yang menanganinya tentang hukum, serta
jumlah uang yang tidak sedikit dalam pengurusan surat keterangan ahli waris,
khusunya hukum kewarisan Islam adanya salah satu pihak yang tidak mau
menandatangani surat keterangan ahli waris, ketidakhadiran salah seorang atau
beberapa ahli waris, adanya anak dibawah umur dan keterbatasan biaya dari pada ahli
waris. Terhadap akibat hukum tidak lengkapnya persyaratan dalam membuat ahli
keterangan ahli waris tersebut tidak akan selesainya karena persyaratan formal tidak

terpenuhi.
B. Waktu Dan Biaya Yang di Butuhkan Dalam Pembuatan Surat Keterangan
Ahli Waris.
Untuk memperoleh surat keterangan ahli waris dari kelurahan harus
dilengkapi dengan persyaratan administrasi yaitu surat keterangan kematian dari
kelurahan, surat nikah orang tua ahli waris, kartu keluarga, foto copy KTP semua ahli
waris, untuk selanjutnya pihak kelurahan memeriksa berkas-berkas tesebut. Apabila
96

J. Satrio, Op Cit, Hal. 6

Universitas Sumatera Utara

64

persyaratan administrasi belum terpenuhi maka berkas dikembalikan untuk
dilengkapi. Apabila persyaratan administrasi sudah lengkap maka dilakukan
pemprosesan pada seksi Pemerintahan dan di proses serta ditandatangani oleh Lurah
dan Camat.
Menurut Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4, Peraturan Menteri Agraria Kepala

Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 menyebutkan bagi warga negara
Indonesia penduduk asli, surat keterangan ahli waris yang dibuat dengan disaksikan
oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan dan Camat
tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia.
Adapun bentuk dan proses pembuatan surat keterangan ahli waris tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pertama
Para ahli waris membuat surat keterangan warisan dalam bentuk surat
dibawah tangan. Surat keterangan warisan tersebut kemudian ditanda tangani
oleh orang tua yang hidup terlama dan seluruh ahli waris.
2. Tahap Kedua
Kemudian surat keterangan ahli waris tersebut dibawa ke kantor kelurahan/
kepala desa setempat untuk memohon ditandatangani oleh Pejabat Lurah/
Kepala Desa. Surat keterangan ini diberi nomor, tanggal dan cap, dengan kata
kata yang berbunyi “ disaksikan dan dibenarkan oleh, Lurah/ Kepala Desa.
3. Tahap Ketiga

Universitas Sumatera Utara

65


Selanjutnya surat keterangan ahli waris tersebut dibawa ke kantor Kecamatan
setempat untuk memohon tanda tangan Camat kemudian surat keterangan
warisan diberi nomor, tanggal, dan cap dengan kata-kata yang berbunyi “
dikuatkan oleh Camat”
Berdasarkan uraian diatas untuk memperoleh surat keterangan ahli waris dari
kelurahan hanya memerlukan waktu 2 (hari )saja.
Untuk memperoleh Surat Keterangan Ahli Waris di Mahkamah Syar’iyah
dengan ini Pemohon memohon kepada Bapak Ketua Mahkamah Syar’iyah untuk
memanggil pemohon agar hadir dimuka persidangan dan memberikan penetapan
sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan pemohon ;
2. Menetapakan bahwa para ahli waris ;
3. Menetapakan bahwa pemohon telah mengajukan bukti-bukti berupa :
a. Photo copy KTP atas nama semua ahli waris,
b. Photo copy Surat Kematian,
c. Photocopy Surat Nikah,
d. Photo copy

Surat Keterangan Ahli Waris dari Kelurahan dan


Kecamatan,
e. Photo copy Surat Kelahiran para Ahli Waris,
4. Menetapkana bahwa permohonan pemohon dibacakan pada hari
persidangan ,

Universitas Sumatera Utara

66

5. Menetapkan biaya menurut hukum
6. Bukti-bukti tersebut telah dibubuhi materai cukup dan telah dicocokkan
dengan aslinya,
7. selain itu saksi yang diajukan pemohon agar dihadirkan didalam
persidangan,
8. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara penetapan ahli
waris ;
-

Para Pemohon agar ditetapkan penetapan Ahli Waris


-

Sesuai dengan ketentuan Penjelasan Pasal 49 angka 37 huruf

b

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah yaitu Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah
bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan
perkara di TK I antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
waris;
-

Penetuan ahli waris bagi orang beragama Islam, merupakan Yurusdiksi
Peradilan Agama;

-

Pokok permasalahan tersebut, maka yang perlu dibuktikan oleh para

pemohon ;

-

Untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya, para pemohon telah
mengajukan bukti-bukti surat terdiri dari P1 sampai dengan P 15 dan 2
(dua) orang saksi ;

Universitas Sumatera Utara

67

Berdasarkan pada bukti-bukti diatas, maka Mahkamah Syar’iyah menetapkan :
1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon ;
2. Menetapkan Para Ahli Waris ;97
Berdasarkan uraian diatas, maka penetapan ahli waris di Mahkamah Syar’iyah
membutuhkan waktu 2 sampai 3 bulan dan setiap penetapan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Syar’iyah.
Sedangkan biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan Surat Keterangan Ahli
Waris pada Mahkamah Syar’iyah lebih mahal dibandingkan dengan pembuatan Surat

Keterangan Ahli Waris di Kelurahan/Kepada Desa dan Camat.98
Pembuatan surat keterangan ahli waris bagi di Mahkamah syar’iyah
berdasarkan hasil penelitian dilapangan adalah keterbatasan biaya dari pada ahli
waris.
C. Minimnya Pengetahuan Masyarakat Dalam Pembuatan Surat Keterangan
Ahli Waris.
Masalah harta warisan merupakan permasalahan yang sangat pelik, bagi
sebagian kalangan, persoalan harta warisan ini bahkan bisa menimbulkan
peperangan, perpecahan hingga saling fitnah dalam keluarga, untuk itu perlunya
pengaturan masalah harta warisan, agar mendapat kepastian hukum bagi orang yang
akan membagi harta warisan kepada anak, isteri, suami maupun pewaris yang berhak.

97

Wawancara dengan Sufyan Ahmad (Hakim Aceh Besar – Jantho) tanggal 2 April 2015
Berkisar dua juta rupiah Berdasarkan wawancara dengan Munir ( Kasi HTPT Aceh Besar)
pada tanggal 16 Maret 2015
98

Universitas Sumatera Utara

68

Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam pembuatan surat keterangan
ahli waris bagi orang Islam berdasarkan hasil penelitian dilapangan adalah kurangnya
pengetahuan para ahli waris ataupun Lurah yang menanganinya tentang hukum,
khusunya hukum kewarisan Islam. adanya salah satu pihak yang tidak mau
menandatangani surat keterangan ahli waris, ketidakhadiran salah seorang atau
beberapa ahli waris, adanya anak dibawah umur dan keterbatasan biaya dari pada ahli
waris.
Berdasarkan Wawancara terhadap Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar99
mengatakan sebelum menentukan ahli waris melalui rekomendasi dari camat,
sedangkan sekarang dilakukan oleh ahli warisnya lansung serta ahli waris
menentukan keluarga yang berhak mendapat warisan , setelah mendapatlkan data ahli
warisnya, selanjutnya dengan memberitahukan kepada dua orang saksi, RT, RW,
Kelurahan, Kecamatan, dan Notaris.
Berdasarkan wawancara diatas Dalam hal ini agar pihak yang ikut terlibat
dalam pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris untuk bersosialisasi kepada
masyarakat agar proses dalam memperoleh surat keterangan ahli waris dapat
berlangsung dan tidak mudah diurus oleh masyarakat. Khususnya masyarakat Aceh
Besar.
Menurut Soejono Soekanto100, dalam bukunya kesadaran hukum dan
kepatuhan hukum adanya indicator-indikator dari kesadaran hukum yakni :
1. Pengetahuan hukum
99

Waawancara terhadap Ketua Mahkamah Syar’iyah Drs. H. Jufri Ghalib., SH., MH Pada
Tanggal 16-12-2015, Pukul 10.00 WIB.
100
Soejono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta 1989
Hlm 102.

Universitas Sumatera Utara

69

Seseorang mengetahui bahwa perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum.
Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum yang tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang
dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
2. Pemahaman hukum
Seorang masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai
aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan pemahaman yang
benar dari masyarakat tentang hakikat dan pentingnya Undang-Undang nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Sikap hukum
Seseorang mempumyai kecendrungan untuk mengadakan penilaian tertentu
terhadap hukum.
4. Perilaku hukum
Dimana dalam suatu masyarakat warganya mematuhi peraturan hukum.
Terhadap empat indikator tersebut menunjukkan tingkatan-tingkatan pada
kesadaran hukum, khususnya terhadap masyarakat Aceh Besar dalam
pengurusan Surat Keterangan Waris pada Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar,
dalam hal ini pemerintah Aceh Besar berkewajiban dalam mengadakan
seminar dan penyuluhan kepada masyarakat yang belum mengetehaui
bagaimana pelaksanaan mekanisme yang mereka tempuh dalam pengurusan
Surat Keterangan Ahli Waris dan pemerintah haruslah jujur dan tidak
meminta pungutan biaya terhadap pembuatan SKAW serta tidak mempersulit
masyarakat dan menjadi penengah apabila terjadi konflik terhadap masyarakat
karena setiap perilaku dan pekerjaan akan dipertanggungjawabkan diakhirat
kelak.

Universitas Sumatera Utara

70

BAB IV
PEMBUATAN SURAT KETERANGAN AHLI WARIS BERDASARKAN
PENETAPAN MAHKAMAH SYAR’IYAH
A. Mahkamah Syar’iyah Implementasi dari Otonomi Khusus
Mahkamah Syar’iyah adalah Peradilan Syariat Islam yang merupakan bagian
dari sistem peradilan Nasional yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Adapun
Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dari semua aspek kehidupan.
Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam serta melaksanakan
syariat Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan
pengembangan dari Peradilan Agama yang telah ada.101
1. Mahkamah Syar’iyah Implementasi Dari Otonomi Khusus Aceh.
Sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945
mengatur tentang otonomi khusus suatu daerah atau bersifat istimewa. Daerah yang
mendapat otonomi khusus tersebut adalah Provinsi Papua dan Provinsi Aceh.
Keduanya tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hal
tersebut merupakan perwujudan di dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah merupakan
pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu
sudah pasti kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki mahkamah syar’iyah lebih luas
101

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2009), hal. 30

70

Universitas Sumatera Utara

71

dari kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan Agama.102 Dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama

adalah memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam
dibidang :
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Infaq;
g. Shadaqah;
h. Ekonomi Syari’ah.
Salah satu bentuk formal otonomi khusus Aceh adalah implementasi syariat
Islam yang kemudian dibentuklah Mahkamah Syar’iyah yang menjadi salah satu
bagian dari otonomi khusus Aceh. Mahkamah ini ditetapkan dan dinyatakan berlaku
pada tanggal 1 Maret 2003 bertepatan dengan 1 Muharram 1424 H. Pada hari itu juga

102

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Pasal 128 UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, yakni :
1. Peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan Nasional dalam ruang
lingkup Peradilan Agama yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari
pihak manapun;
2. Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama islam di Aceh;
3. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara
yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalat (hukum perdata), dan
jinayat (hukum pidana) yang berdasarkan syariat islam. Dimana diatur dengan qanun.

Universitas Sumatera Utara

72

diresmikan pembentukan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di
Aceh oleh Menteri Agama RI sekaligus pelantikan Ketua Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/Kota dan Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi oleh Ketua Mahkamah
Agung RI dengan disaksikan oleh Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Dalam
Negeri, dan beberapa pejabat tinggi lainnya dengan mengambil tempat digedung
DPRD Aceh di Banda Aceh.103 Pembentukan tersebut berdasarkan UU No.18 Tahun
2001 dan Keppres No. 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah
Syar’iyah Provinsi.
Ada 2 (dua) hal yang melatar belakangi lahirnya Mahkamah Syar’iyah di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pertama, sebagai upaya merekonstruksikan
hukum yang bersendi hukum Islam. Kedua, menghidupkan kembali pepatah Aceh
Adat bak Poteu Meureuhom. Hukum bak Syiah Kuala,Qanun bak Putroe Phang, dan
Reusam bak Laksamana.104
Mahkamah Syar’iyah di dalam UU No. 11 tahun 2006 diatur pada Bab XVIII
Pasal 128 sampai dengan Pasal 137. Ia merupakan peradilan Islam di Aceh dan
merupakan bagian dari sistem peradilan Nasional dalam lingkungan peradilan agama,
sepanjang kewenangan menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan
peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum.105 Pada Mahkamah Syari’iyah dilakukan

103

Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006,
(Yogyakarta; UU Press, Cet I, 2007), hal. 112.
104
Ibid.
105
Lihat Pasal 15 ayat (2) 44 No. 4 Tahun 2004

Universitas Sumatera Utara

73

asas personalitas keislaman, yaitu Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan
tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
hukum Islam terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan
kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah Provinsi Aceh. Asas
personalitas keislaman yang melekat pada Mahkamah Syar’iyah, yaitu sebagai
berikut :
1. Pihak-pihak yang beperkara/bersengketa harus sama-sama pemeluk agama
Islam.
2. Perkara hukum yang dipersengketakan dan/atau didakwahkan perkara-perkara
dalam

bidang

hukum

ahwal

al-syakhshiah(hukum

perorangan),

muamalah(hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana).
Selain bidang yudisial, Mahkamah Syar’iyah berwenang juga dalam bidang
non yudicial meliputi pengawasan jalannya Mahkamah Syar’iyah, hisab dan rukyat,
menyaksikan pengangkatan gubernur/wakil gubernur dan bupati/wakil bupati serta
memberikan nasihat dan pertimbangan hukum bagi lembaga pemerintah yang
memerlukan, bila diminta.
Hukum materiil yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah antara lain
sebagai berikut:
1. Undang-Undang yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 41

Universitas Sumatera Utara

74

Tahun 2004 tentang Wakaf, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Peraturan pemerintah, meliputi PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan PP No.28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik.
3. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
4. Qanun-Qanun (Perda) Aceh, seperti Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam dibidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam; Qanun
No.12 Tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras) Qanun No.13 Tahun
2003 tentang Maysir (judi); Qanun No.14 Tahun 2004 tentang Khalwat
(Mesum); Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat dan
seterusnya.
Dalam hal terjadi perbuatan pidana (jinayah) yang dilakukan oleh 2 (dua)
orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya non muslim dapat memilih
hukum mana yang akan digunakan di pengadilan (coisce of law) dan/atau
menundukkan diri secara sukarela pada hukum pidana Islam (jinayah). Bagi non
muslim yang melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) atau ketentuan pidana diluar KUHP berlaku hukum
jinayah (pidana Islam).Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan pidana ( jinayah )
di luar Aceh berlaku ketentuan yang diatur di dalam KUHP.

Universitas Sumatera Utara

75

Mahkamah Syar’iyah terdiri atas peradilan tingkat pertama (Makamah
Syar’iyah Kabupaten/Kota dan Makamah Syar’iyah Tinggi (Peradilan Tingkat
Banding) yang berada di ibu kota Propinsi.Bagi pencari keadilan yang tidak puas
dengan putusan banding dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Makamah Agung
paling lambat 30 hari sejak didaftarkan di Kepaniteraan Makamah Agung.Bahkan
terhadap putusan Makamah Syar’iyah yang telah mempunyai kekeuatan hukum tetap,
pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK (peninjauan kembali) kepada
Makamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan atau ada novum (bukti baru). Perkara PK tersebut menyangkut
nikah,talak,cerai,dan rujuk diselesaikan paling lambat 30 hari, sejak didaftarkan di
Kepaniteraan Makamah Agung.
Hukum acara yang berlaku pada Makamah Syar’iyah adalah hukum acara
yang diatur dalam Qanun Aceh peraturan perundang-undangan sejenis peraturan
daerah (perda) propinsi Aceh.
Sehubungan Qanun tentang Hukum Acara Makamah Syar’iyah belum ada
(dalam proses pembentukan) maka hukum acara yang berlaku pada Makamah
Syar’iyah sepanjang mengenai Ahwal Al-Syakhsiyah (hukum keluarga) dan
muamalah( hukum perdata) adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
peradilan agama.Adapun hukum acara yang berlaku pada Makamah Syar’iyah
sepanjang mengenai jinayah (pidana) berlaku hukum acara pada peradilan umum.

Universitas Sumatera Utara

76

Penyelidikan dan Penyidikan perkara jinayah dilakukan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Prinsip peradilan satu atap yang telah digariskan dalam UU No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman berlaku juga bagi Makamah Syar’iyah sehingga pembinaan
teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finasial Makamah Syar’iyah dilakukan
oleh Mahkamah Agung, oleh karena itu,Ketua dan Wakil Ketua Makamah Syar’iyah
diangkat oleh Mahkamah Agung, sedangkan Hakim Makamah Syar’iyah diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Apabila ada sengketa kompetisi antara Makamah Syar’iyah dengan
pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang MA untuk tingkat
pertama dan terakhir.
Agar Makamah Syar’iyah dapat berfungsi optimal bagi para pencari keadilan,
diharapkan kepada peerintahan di Aceh untuk segera melengkapi perangkat peraturan
perundang-undangan ( Qanun ), baik Qanun materiil maupun formil.
B. Kompetensi Mahkamah Syar’iyah.
Kompentensi relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau
daerah.Kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan tempat dan kedudukannya.
Pengadilan Agama Berkedudukan di kota atau di ibu kota Kabupaten dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama

Universitas Sumatera Utara

77

berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi.106
Kompetensi (wewenang) peradilan agama terdiri atas kompetensi relatif dan
kompetensi absolut. Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk
mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materi ).107Kompetensi relatif peradilan
agama merujuk pada 118 HIR atau Pasal 142 RBg jo. 66 dan pasal 73 UU No. 7
Tahun 1989 tentang peradilan agama berdasarkan pada ketentuan Pasal 54 UU No.
7 Tahun 1989, yaitu acara yang berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum.
Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas actor sequitur forum rei (bahwa yang
berwenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat). Namun, ada beberapa
pengecualian, yaitu yang tercantum dalam pasal 118 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
yaitu sebagai berikut.
a. Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan yang diajukan kepada
pengadilan di tempat tinggal penggugat.
b. Apabila tempat tergugat tidak diketahui, maka gugatan yang diajukan
kepada pengadilan di tempat tinggal penggugat.
c. Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan
kepada peradilan di wilayah hukum di mana barang itu terletak.
d. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta
tersebut.
106

Tulisan ini berasal dari tulisan penulis di Majalah Hukum dan HAM edisi ke XVII tahun
ke II September 2006, hlm.18-19.
107
Pasal 4 UU No.7 Tahun 1989 dan penjelasannya.

Universitas Sumatera Utara

78

Dalam Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 ditentukan, bahwa pengadilan agama
berwenang untuk sekaligus memutus sengketa milik atau keperdataanlain yang terkait
dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara
orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan
adanya gugatan di pengadilan agama. Sebaliknya, apabila subjek yang mengajukan
sengketa hal milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek
bersengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu ke pengadilan di
lingkungan peradilan umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak
yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah
didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama di
pengadilan agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak
terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, peradilan agama tidak
perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait
dimaksud.
Pengadilan agama juga mempunyai kewenangan memberikan keterangan atau
nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan peentuan waktu shalat serta
memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau
menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan

Universitas Sumatera Utara

79

Syawal tahun Hijriah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara
rasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.
Kompetensi relatif Mahkamah Syar’iyah adalah daerah hukum eks Pengadilan
Agama yang bersangkutan, sedangkan kompetensi Mahkamah Syar’iyah Provinsi
adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh. 108
Kompetensi absolut Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi
adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah
dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang
ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan
sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.109
Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang berikut.
a. Ahwal Asy-Syakhshiah;
b. Mu’amalah;
c. Jinayah.
Adapun yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang Ahwal AsySyakhshiah meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 29 UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali wakaf, hibah,
dan shadaqah.

108
109

Pasal 2 Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003
Pasal 3 Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003

Universitas Sumatera Utara

80

Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang Mu’amalat meliputi
hukum kebendaan dan perikatan seperti berikut.
-

Jual beli, utang-piutang;

-

Qiradh (permodalan);

-

Musaqah, muzaraah, muqabarah (bagi hasil pertanian);

-

Wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian);

-

Ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syufah (hak lenggeh),
rahnun (gadai)

-

Ihyaul mawad (pembukaan lahan), ma’din (tambang), luqathah (barang
temuan);

-

Perbankan, ijarah (sewa-menyewa), takaful;

-

Perburuhan;

-

Harta rampasan;

-

Wakaf, hibah, shadaqah, dan hadiah.
Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jinayat adalah sebagai

berikut.
1. Hudutyang meliputi:
-

Zina;

-

Menuduh (qadzaf);

-

Mencuri;

-

Merampok;

-

Minuman keras dan napza;

-

Murtad;

-

Pemberontakan (bughat).

2. Qishaz/diyat yang meliputi:
-

Pembunuhan;

-

Penganiyaan;

Universitas Sumatera Utara

81

-

Ta’zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan
pelanggaran syariat selain Hudut dan Qishaz/diyat meliputi:

-

Judi;

-

Khalwat;

-

Meninggalkan shalat fardu dan puasa Ramadhan.

C. Kekuatan Hukum Surat Keterangan Ahli Waris Sebagai Alat Bukti Dalam
Perkara Pewarisan.
Menurut Prof. Subekti110 alat bukti, adalah alat-alat yang dipergunakan untuk
membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan, misalnya bukti-bukti yang
bersifat tulisan, dan bukti-bukti yang bukan tulisan seperti, kesaksian, persangkaan,
sumpah dan lain-lain.Alat bukti yang bersifat tertulis dapat berupa surat dan dapat
berupa akta. Surat ialah segala sesuatu yang membuat tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk menuangkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang
dan dapat dipergunakan dalam pembuktian.111
Alat pembuktian tertulis yang berupa surat, merupakan salah satu alat bukti
yang sah menurut hukum. Alat bukti surat ini, memegang peranan penting dalam
semua kegiatan yang menyangkut bidang keperdataan, misalnya jual beli, utang
piutang, tukar menukar, sewa menyewa dan sebagainya.
Alat pembuktian tertulis yang berupa surat, menurut A. Pitlo adalah pembawa
tanda tangan bacaan yang

berarti menerjemahkan suatu isi pikiran.112Sudikno

Mertokusumo, juga menjelaskan bahwa alat bukti tertulis yang berupa surat adalah

110

Subekti dan Tjitrosoedibjo, Kamus Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1980), hal. 21
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam perkara pidana, (Bandung, Mandar Maju,
2003), hal. 62
112
Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, cetakan ke-I, (Jakarta, Itermasa, 1978) hal. 12
111

Universitas Sumatera Utara

82

segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca yang dimaksud untuk mencurahkan isi
hati atau untuk menyampaikan buah pemikiran seseorang dan dapat dipergunakan
sebagai pembuktian113. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat
tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pemikiran, tidaklah termasuk
dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat, misalnya gambar, foto atau peta.
Tujuan dari pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian hukum bahwa
suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapat putusan
hakim yang benar dan adil114. Hukum pembuktian dalam berperkara merupakan
bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Pembuktian berkaitan dengan
kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu sebagai suatu
kebenaran115.
Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam bentuk akta dan surat
bukan akta. Menurut A. Pitlo, akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat
untuk dipakai sebagai alat bukti dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan
siapa surat itu dibuat116.
Surat keterangan waris merupakan alat bukti yang dipergunakan oleh pejabat
untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris dan pewaris, dan surat keterangan
waris tersebut dapat diketahui siapa yang berhak atas harta yang ditinggalkan. Jadi

113

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 2002),

hal. 142
114
Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, terjemahan Tristam Moeliono,
(Jakarta, Komisi Hukum Nasional, 2003), hal. 5
115
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU no. 7 tahun
1989, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1990) hal. 496
116
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung, Alumni, 1992), hal.37

Universitas Sumatera Utara

83

tidaklah mengherankan kalau instansi pemerintah maupun swasta menghendaki
adanya pegangan yang menjamin bahwa mereka menyerahkan dan membayar kepada
orang atau orang-orang yang benar-benar berhak menerimanya. Untuk itu “tidaklah
heran suatu instansi meminta surat keterangan dari pihak yang berwenang dalam
menerbitkan surat keterangan tersebut (Surat Keterangan ahli waris).117
Berdasarkan uraian diatas perlu diketahui bahwa surat keterangan ahli waris
yang berlaku di Indonesia masih bersifat pluralistis artinya bahwa surat keterangan
ahli waris yang diterbitkan bukan hanya diterbitkan oleh Lurah/ Kepala Desa dan
Camat tapi masih ada instansi lain yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
menerbitkannya118. Hal ini diakibatkan oleh belum adanya suatu Undang-Undang
yang mengatur tentang surat keterangan ahli waris tersebut, sehingga mengakibatkan
di Indonesia sampai sekarang ini belum terdapat suatu kesatuan hukum tentang
hukum waris yang dapat diterapkan untuk seluruh warga negara Indonesia. Oleh
karena itu hukum waris yang diterapkan kepada seluruh warga negara Indonesia
masih berbeda-beda dan dapat katakan bersifat “pluralism”.119
Keanekaragaman sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia dikarenakan
oleh karena bangsa Indonesia terdiri dari beranekaragaman suku dan agama dengan
berbagai macam kebiasaan. Di samping itu juga karena adanya penggolongan

117

Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris. Buku I, (Jakarta, Ichijar Baru
Van Hoevc, 2002), hal. 289
118
Adapun instansi lain yang membuatnya adalah Notaris, mengacu pada surat Mahkamah
Agung RI tanggal 8 Mei 1991 No MA/kumdil/171/V/K/1991.
119
Artinya mempunyai sifat utuh, mendalam, konsekwen dan konsisten,
dalam arti memahami, menghayati.

Universitas Sumatera Utara

84

penduduk yang mengakibatkan perbedaan hukum yang berlaku bagi setiap golongan
penduduk dan status keragaman sistim hukum ini masih berlaku hingga sekarang.
Surat Keterangan Ahli Waris baik yang ditetapkan Pengadilan Agama, atau
yang dibuat oleh ahli waris sendiri dibenarkan dan dikuatkan oleh Kepala Desa
Lurah/ Camat merupakan suatu alat bukti yang kuat tentang adanya suatu peralihan
hak atas suatu harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris. Artinya telah terjadi
peralihan kepemilikan dari pewaris kepada ahli waris sesuai dengan jumlah ahli
waris.
Sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam negeri (SE Mendagri) c.q Dirjen
Agraria Nomor. Dpt/12/63/69 tanggal 20 Desember 1969 menentukan bahwa pejabat
yang berwenang menerbitkan Surat Keterangan Ahli Waris adalah didasarkan oleh
status atau golongan hukum dari si meninggal. Surat Edaran Mendagri ini
dikeluarkan oleh Surat Keputusan Mahkamah Agung (SKMA) tanggal Mei 1991
Nomor . MA/ Kundi/171/V/K/1991 yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan
Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia dengan
melampirkan SKMA tanggal 041/IIII/1991 yang ditujukan kepada Ny Sri Redjeki
Kusnu, SH perihal “ Mohon Fatwa sehubungan dengan permohonan penetapan ahli
waris”. Keputusan Mahkamah Agung ini merujuk kembali kepada Surat Edaran
Mendagri c.q Dirjen Agraria Nomor Dpt/12/63/69 tanggal 20 Desember 1969.
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa, yang dimaksud dengan akta adalah
surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar

Universitas Sumatera Utara

85

daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan segaja untuk
pembuktian.120 Dengan demikian maka dapat dimengerti bahwa tidak setiap surat
merupakan akta.
Suatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditanda tangani, harus
dibuat dengan segaja, harus digunakan oleh orang untuk keperluan siapa akta itu
dibuat, dan harus dimaksudkan untuk alat pembuktian. Apabila suatu surat tidak
memenuhi ciri-ciri diatas, maka surat tersebut tidak dapat digolongkan sebagai akta.
Akta masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Dalam hukum pembuktian dikenal 3 (tiga) alat bukti tertulis : akta otentik,
akta dibawah tangan, dan surat (yang bukan berupa akta). Secara teoritis, yang
dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan segaja
dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal
dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian dikemudian hari apabila
terjadi sengketa.121 yang dimaksud dengan akta dibawah tangan adalah surat atau
tulisan yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu melainkan dibuat
sendiri oleh para pihak, bentuknya bebas dan dapat dibuat dimana saja. Akta dibawah
tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya dan
tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Pasal 1869 KUHPerdata merumuskan
akta dibawah tangan sebagai berikut :

120

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 2002),

hal. 142
121

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

86

Semua akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai yang
dimaksud diatas karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan
sebagai akta otentik namun demikian mempunyi kekuatan sebagai tulisan dibawah
tangan jika ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan yang dimaksud dengan surat
itu dijadikan sebagai alat ukti, maka hal itu merupakan kebetulan saja, misalnya :
surat lamaran pekerjaan, memo, catatan harian pembukuan.
Dari hasil penelitian yang diperoleh dilapangan bahwa persoalan kewarisan
bagi Warga Indonesia Asli (bumi putera) sering terjadi, hal ini karena berbicara
tentang hukum kewarisan tidak terlepas dari hukum keluarga. Hukum keluarga dalam
kenyataan di Indonesia sangat pluralitis yaitu ada yang bersifat patrilineal (menurut
garis keturunan bapak), bersifat matrilineal (menurut garis keturunan ibu), dan
bersifat parental (menurut garis keturunan ayah dan ibu).
Pluralisme hukum122 yang terdapat didalam hukum warga negara Indonesia
asli (pribumi) tidak menjadikan Surat keterangan Ahli Waris menjadi berbeda-beda,
artinya bahwa surat Keterangan Waris tersebut tetap dibuat oleh ahli waris sendiri
diketahui oleh Lurah/ Kepala Desa dan dikuatkan oleh Camat.
Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh para ahli waris yang diketahui oleh
Lurah/ Kepala Desa dan dikuatkan oleh Camat tidak selamanya membuahkan hasil
yang sempurna bagi para pihak, hal ini dapat dilihat dengan adanya Surat keterangan
yang diterbitkan oleh pengadilan negeri dan pengadilan Agama / Mahkamah

122

Pluralism hukum adalah hadirnya lebih dari satu hukum dalam sebuah lingkungan yang
kerap diartikan sebagai keragaman hukum.

Universitas Sumatera Utara

87

Syar’iyah bagi warga negara yang beragama Islam. Penerbitan surat keterangan waris
yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah disebut Penetapan. Namun perlu diketahui bahwa penetapan ini bisa terbit
setalah adanya permohonan dari para pihak yang berkepentingan.akan tetapi dengan
surat keterangan ahli waris yang dibuat para ahli waris tersebut belum tentu
menjadikan pewarisan itu berjalan dengan baik.
D. Legalitas Kepala BPN Aceh Besar dalam Menerapkan Kebijakan
Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris Berdasarkan Penetapan
Mahkamah Syar’iyah.
Kegiatan pendaftaran tanah yang menformalkan pemilikan tanah baik
berdasarkan bukti-bukti pemilikan maupun penguasaan atas tanah selain menyangkut
aspek yuridis dan aspek teknis.123 Menyangkut pada balik nama sertipikat hak milik
terhadap ahli waris. Badan pertanahan Nasional (BPN) sangat berperan penting
dalam mendaftarkan balik nama terhadap sertipikat didaerahnya masing-masing
karena setiap adanya permasalahan dalam sertipikat tanah yang disampaikan kepada
Badan Pertanahan Nasional maka dilakukan pengolahan pengkajian dan penanganan
kasus pertanahan tersebut karena merupakan salah satu fungsi Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia dalam menanggulangi sengketa, konflik dan perkara
pertanahan bagi keadilan masyarakat.
Terhadap proses balik nama yang dilakukan oleh istri almarhum kepada
Badan Pertanahan Nasional Aceh Besar, Kepala Badan Pertanahan Nasional Aceh

123

Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi,
Bandung, Mandar Maju. 2012. Hlm 209.

Universitas Sumatera Utara

88

Besar mengharuskan membuat surat keterangan waris kepada Mahkamah Syar’iyah
agar tidak terjadi perkara warisan dikemudian hari. Karena secara formil, hukum
Islam dibidang kewarisan telah diberlakukan di Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah dengan menetapkan hukum-hukum yang disepakati oleh umat Islam di
Indonesia.124
Peradilan Syariat Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Syariat
Islam di Aceh (Mahkamah Syar’iyah) merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan Agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan umum sepanjang wewenangnya menyangkut wewenang peradilan umu.
Wewenang Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan khusus seperti yang dijelaskan
dalam Pasal 3A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak lagi terbatas dalam
bidang perdata, tetapi juga mencakup bidang muamalah dan jinayah. Sebagai bagian
dari sistem peradilan Indonesia. Mahkamah Syar’iyah memiliki dua kompetensi
dasar, yaitu wewenang Peradilan Agama dan sebahagian wewenang Peradilan
Umum. Penyempurnaan yang menyangkut dengan kewenangan tambahan dari
Mahkamah Syar’iyah tersebut harus dibuat dalam bentuk undang-undang yang

124

Hukum Materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan
Hukum Perwakafan. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958
Nomor B/I/735. Hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut diatas
adalah bersumber pada 12 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i yaitu Al-Nadjuri, Fathu al Muin,
Syarqwi ala al Thahrir, Qulyubi/ Mahali, Tuhfah, Targibu Al Mustaq, Qawaniinu Al Syar’iyyah Said
Usman Ibn Yahya, Qawaniinu Al Syar’iyyah said Sadaqah Dahlan, Syamsuri li Al faraaid, Bagyatu Al
Mursidin, Mugni Al Muhtadz. Lih. Dalam Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari
1958 Nomor B/I/735.

Universitas Sumatera Utara

89

khusus mengatur tentang Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan khusus
sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 ayat 3 UUD 1945.125
Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar yang

merupakan kategori

Pengadilan Agama kelas II-A. Mahkamah ini terletak di Jalan T. Bachtiar P.Polim
Kabupaten Aceh Besar. Wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh
Besar meliputi 23 (dua puluh tiga) Kecamatan, 68 mukim dan 604 gampong,dengan
luas wilayah2.974,12 Km2, sebagian besar wilayahnya berada daratan dan sebagian
kecil berada dikepulauan. Sekitar 10 % desa di Kabupaten Aceh Besar merupakan
pesisir.126
Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar merupakan suatu lembaga
penyelesaian sengketa perdata diantara umat Islam, dan termasuk peradilan yang aktif
dalam menyelesaikan kasus yang masuk setiap bulannya, dimana masyarakat pada
umumnya menyelesaikan kasus-kasus mereka. ini menandakan bahwa masyarakat
Kabupaten Aceh Besar sudah menghayati betapa pentingnya menyelesaikan perkara
di Pengadilan.
Seperti pada perkara di Mahkamah Syar’iyah yang dalam nomor perkara
0012/Pdt.P/2002/MS-CAG yang mana dalam penetapan bahwa pemohon dengan
suratnya tertanggal 11 April 2012,selanjutnya terdaftar sebagai perkara permohonan
penetapan ahli waris di kepaniteraan Mahkamah Syar’iyah Calang.127 Hal ini dapat
diketahui nahwa memang sesungguhnya untuk mendapatkan kepastian hukum dalam

125
Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Jurnal Ilmu Hukum : Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
di Aceh dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, hal. 1
126
Badan Pusat Statistik, Aceh Besar in Figures, Aceh Besar dalam angka 2014, (Jantho ;
BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar dengan BPS Kabupaten Aceh Besar, 2014), hal.3
127
Lihat Penetapan Mahkamah Syar’iyah nomor 0012/Pdt.P/2002/MS-CAG.

Universitas Sumatera Utara

90

menetapkan ahli waris haruslah mendapatkan penetapan Mahkamah Syar’iyah agar
tidak terjadi kedepannya sengketa antar ahli waris.
Sebagaimana diketahui bunyi Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa Pengadilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang diatur dalam undang-undang
ini.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama seperti yang di
sebutkan dalam pasal 5 undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi Hakim dan Hakim Konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya meliputi perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan sadakah.
penyelesaian Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.128
Ditinjau dari sudut pembuatannya, Surat Keterangan Waris dapat dibuat oleh
Lembaga Peradilan, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama/ Mahkamah

128

Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata, Wewenang Peradilan Agama,
( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 219

Universitas Sumatera Utara

91

Syar’iyah, Instansi Pemerintah dalam hal ini Balai Harta Peninggalan, Notaris serta
yang dibuat oleh para ahli waris yang disaksikan dan dibenarkan oleh Kepala
Kelurahan dan diketahui oleh Camat setempat.
Walaupun Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia dibedakan berdasarkan
golongan warga negara, tetapi bagi bangsa Indonesia dan Timur Asing (Jepang, Arab,
India), dibolehkan menundukkan diri kepada Hukum Perdata Eropa (BW) jika
memang dibutuhkan dan dikehendaki oleh mereka.129 Baik secara keseluruhan
ataupun sebagian. Mengenai penundukan diri pada hukum Eropa diatur dalam
Staatsblad 1917 nomor. 12, terdiri dari empat macam penundukan diri, yaitu :
a. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;
b. Penundukan pada sebagian Hukum Perdata Eropa, dimaksudkan hanya pada
hukum kekayaan harta benda saja (vermongensrecht);
c. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d. Pendundukan secara diam-diam, menurut pasa 29 tentang penundukan diri
pada hukum eropa yang berbunyi “ jika seorang bangsa Indonesia asli
melakukan suatu perbuatan hukum yang tak dikenal didalam bukunya sendiri,
ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum eropa.
Dapat juga penetapan ahli waris karena terjadi sengketa dan dapat berupa
Surat Keterangan ahli waris yang dibuat dibawah tangan oleh para ahli waris dan
dilegalisasi oleh Pengadilan Negeri.

129

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XXVIII, ( Jakarta : PT. Intermasa, 1996),

hal. 12

Universitas Sumatera Utara

92

Dengan berlakunya undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang ketentuanketentuan pokok Kehakiman, banyak ditemui putusan-putusan Pengadilan Negeri
tentang ketetapan waris, ketetapan waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri
adalah untuk semua golongan penduduk Indonesia yang menundukkan diri pada
ketentuan-ketentuan Hukum Perdata (BW), dengan kata lain asalkan ada yang
memohon untuk dibuatkan penetapan/ fatwa waris kepada Pengadilan Negeri, maka
pengadilan akan mengeluarkannya tanpa melihat perbedaan atau golongan seperti
yang termuat dalam Pasal 131 IS dan 163 IS (Indische Straatsregeling).130
Tentunya dengan memenuhi persyaratan atau dokumen-dokumen yang
diperlukan. Penetapan waris di Pengadilan Negeri ini sejalan dengan surat Edaran
dari Direktorat Jenderal Agraria Nomor Dpt. 12/63/12/69, tertanggal 20 Desember
1969, yang menyatakan tentang kewenangan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,
Notaris dan Lurah Camat dalam mengeluarkan Keterangan Hak Mewaris. Untuk
orang Indonesia yang menundukkan dirinya pada hukum perdata (BW), maka surat
keterangan hak mewarisnya dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri. Namun dalam
perkembangannya, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Muda tetanggal 8
Juli 1993 Nomor : 26/TUADAG/III-UM/VII/1993, menegaskan bahwa Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama tidak berwenang untuk memberikan penetapan/ fatwa
waris. Larangan tersebut didasarkan pada :
1. Bahwa pada dasarnya kewenangan Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 1999 tentang ketentuan130

J. Satrio, Op.Cit, hal. 6

Universitas Sumatera Utara

93

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman untuk menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara, dalam perkara perdata hanya terbatas
dalam perkara yang bersifat sengketa (kontensius).
2. Bahwa hal tersebut bersesuai dengan azas “tidak ada sengketa tidak ada
perkara” atau geen belang geen actie atau poin d’interet poin d’action, yang
berarti bahwa sebagai tuntutan perdata (burgelijk vordering) berdasarkan
Pasal 118 ayat 1 HIR, pasal 142 Rbg adalah merupakan tuntutan hak yang
bersifat sengketa (kontensius).
3. Bahwa dengan demikian maka semua perkara voluntair (antara lain
penetapan/fatwa waris) merupakan wewenang pengadilan, kecuali apabila
terdapat ketentuan perundang-undangan yang menentukan lain, bahwa untuk
keperluan tersebut diperlukan putusan atau penetapan pengadilan.
4. Bahwa demikian pula halnya, wewenang Pengadilan tentang perkara waris,
juga harus bersifat kontensius.131
5. Bahwa dengan demikian, maka putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri (penetapan/fatwa waris) tidak mempunyai kekuatan hukum.
6. Sebagai tambahan, dinyatakan bahwa masalah pilihan hukum atau titik
singgung sebagai tersebut dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1990132, tidak dapat
dikaitkan dalam putusan voluntair tersebut, sebab masalah tersebut baru
timbul dalam hal adanya sengketa dari pihak-pihak yang berperkara.
131

Maksudnya Perkara yang mengandung sengketa antara kedua belah pihak dalam perkara
sengketa hak waris, perkara percerian dan lain-lain.
132
Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1990.

Universitas Sumatera Utara

94

Oleh sebab itu saat ini tidak lagi dijumpai putusan-putusan Pengadilan yang
bersifat voluntair atau karena permohonan penetapan yang diajukan oleh para ahli
waris. Yang banyak dijumpai adalah putusan-putusan Pengadilan Negeri atas
penetapan/fatwa waris sebagai rangkain penetapan karena adanya sengketa dari para
ahli waris.133
Dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi pengadilan buku II
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung 2004,134 disebutkan tentang Akta dibawah
tangan mengenai kewarisan, yaitu akta yang dibuat oleh para ahli waris, dimana
mereka membuat surat pernyataan bahwa diri mereka adalah ahli waris dan dengan
menyebutkan kedudukan masing-masing dalam hubungan keluarga dengan yang
telah meninggal. Pernyataan tersebut dapat dimintakan untuk disahkan oleh Notaris
atau Ketua Pengadilan Negeri. Setelah dibacakan dan dijelaskan