Analisis Tataniaga Kelinci Di Kabupaten Karo

13

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi
adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk
perkotaan, pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang perlunya makanan
yang berkualitas dan bergizi serta adanya dukungan membaiknya pendapatan dan
tingkat kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain peternakan belum mampu
menyediakan produk daging dan susu untuk memenuhi permintaan konsumen dan
industri,

sehingga

berakibat

ketergantungan

terhadap


impor

yang

semakin besar (Hutasuhut, 2010).
Selain terjadinya peningkatan jumlah penduduk, faktor meningkatnya
pendapatan perkapita serta semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi juga
menyebabkan tingginya permintaan konsumsi di semua pelosok daerah di
Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran mayarakat akan perlunya
pemenuhan gizi semakin meningkat pula. Pangan hewani (daging, telur dan susu)
mutlak diperlukan tubuh karena protein yang terkandung dalamnya memiliki
asam amino esensial dan tidak dapat digantikan sumber lain karena berfungsi
membangun struktur pertumbuhan, bio katalisator, buffer dalam cairan tubuh,
penyangga penyakit/racun, sumber hormon dan energi. Sehingga penyediaannya
dianggap sebagai agent of development bagi pembangunan bangsa baik untuk
masa sekarang maupun masa mendatang. Untuk itu pemerintah telah menetapkan
pangan hewani sebagai salah satu unsur sembilan bahan pokok (sembako) yang
berarti

produk


peternakan

menjadi

komponen

penting

bagi

kehidupan masyarakat (Hutasuhut, 2010).
1
Universitas Sumatera Utara

14
2

Dalam upaya pemenuhan kebutuhan produk penting bagi masyarakat
maka diperlukan adanya sebuah jalur pemasaran atau tataniaga yang berfungsi

secara efisien. Tataniaga merupakan salah satu cabang aspek pemasaran yang
menekankan bagaimana suatu produksi dapat sampai ke tangan konsumen
(distribusi). Tataniaga dapat dikatakan efisien apabila mampu menyampaikan
hasil produksi kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan mampu
mengadakan pembagian keuntungan yang adil dari keseluruhan harga yang
dibayar konsumen kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi
dan tataniaga (Raharjo, 2004 ).
Keberadaan dan kinerja tataniaga menjadi penting ketika masyarakat tidak
lagi berproduksi terbatas hanya untuk tujuan subsistensi, tetapi telah
mengembangkan dan meningkatkan intensifikasi serta spesialisasi kerja untuk
menghasilkan komoditas yang memberikan kegunaan yang diperlukan oleh
masyarakat lain. Keperluan dan permintaan konsumen tersebut memberikan
insentif kepada produsen dan pelaku tataniaga untuk meningkatkan kuantitas
produksi dan nilai kegunaan komoditas, serta mendorong pergerakkan komoditas
dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen pada tempat, waktu, dan dalam
bentuk yang tepat melalui transaksi jual beli (Ikhsan et al. 2009).
Di Indonesia ada banyak jenis komoditas yang memerlukan jalur tataniaga
agar secara efisien dan efektif dapat memenuhi konsumsi masyarakat Indonesia,
salah satunya adalah kelinci. Kelinci pertama kali dibawa ke Pulau Jawa oleh
orang-orang belanda pada tahun 1835. Pada waktu itu, kelinci sudah jadi binatang

ternak hias. Walaupun ada laporan bahwa kelinci sudah mulai dijinakkan pada
abad pertama sebelum masehi, kemungkinan besar peternakan kelinci dimulai di
biara-biara Prancis pada abad XVI sesudah masehi. Kelinci berasal dari Eropa,

Universitas Sumatera Utara

315

tetapi sekarang kelinci liar dapat pula ditemukan di Amerika, Australia, dan
Selandia Baru (Yulianto, 2012).
Ternak kelinci di Indonesia mempunyai kemampuan kompetitif untuk
bersaing dengan sumber daging lain dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia
(kebutuhan gizi) dan merupakan alternatif penyedia daging yang perlu
dipertimbangkan dimasa datang, daging kelinci merupakan salah satu daging yang
berkualitas baik dan laik dikonsumsi oleh berbagai kelas lapisan masyarakat.
Bahkan dibandingkan dengan kondisi daging ayam dilihat dari segi aroma, warna
daging dan dalam berbagai bentuk masakan tidak ditemukan perbedaan yang
nyata (Diwyanto et al. 1995).
Data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) menunjukkan
bahwa populasi kelinci nasional tahun 2010 mencapai 833.666 ekor. Di tahun

2011 jumlah populasi kelinci mengalami penurunan menjadi 760.106 ekor.
Sedangkan di tahun 2012, jumlah kelinci mencapai 784.016 ekor. Hal ini
menunjukkan bahwa dari tahun 2011 ke tahun 2012 pangsa pasar kelinci mulai
terbuka bagi pemenuhan kebutuhan hias maupun pangan di Indonesia. Data
populasi kelinci nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Universitas Sumatera Utara

16
4

Tabel 1. Populasi Kelinci Tahun 2010-2012
No.
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

28
29
30
31
32
33

Provinsi
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Babel
Kepri
DKI Jakarta
Jabar

Jateng
DI Yogya
Jatim
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Gorontalo
Sulbar
Maluku
Malut
Papua Barat

Papua

2010
0
35.759
39.903
0
0
0
4.041
274.484
0
0
0
107.681
330.574
0
0
224
3.934

2.856
0
569
0
0
0
839
0
0
0
0
0
0
0
725
32.068

Indonesia
833.666
Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan (2012)


Kelinci
2011
1.239
21.063
0
0
0
0
4.722
0
0
0
154
171.880
350.844
0
162.719
1.591
5.709
2.763
399
1.147
0
0
0
1.084
0
0
0
0
0
0
0
846
33.946

2012
1.275
21.296
0
0
0
0
5.092
0
0
0
169
172.909
379.416
0
162.719
2.387
6.671
3.000
439
1.268
57
0
0
1.192
0
0
0
0
0
0
30
878
35.217

760.106

784.016

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa populasi kelinci di Sumatera Utara
setiap tahun mengalami penurunan dari tahun 2010 ke 2011. Di tahun 2010
populasi kelinci mencapai 35.759 ekor sedangkan di tahun 2011 populasinya
hanya 21.063 ekor. Sementara itu

di tahun 2012, jumlah kelinci

Universitas Sumatera Utara

17
5

mengalami

kenaikan

walaupun

tidak

signifikan

sehingga

mencapai 21.296 ekor (Statistik Peternakan, 2011).
Salah satu sentra peternakan kelinci yang ada di Sumatera Utara adalah
Kabupaten Karo. Kabupaten yang berada di daerah pegunungan ini menjadi
tempat yang cocok untuk berkembangbiaknya kelinci. Data dari Badan Pusat
Statistik Kabupaten Karo Tahun 2012 menunjukkan jumlah kelinci untuk tahun
2011 adalah 3.491 ekor. Hal ini mengalami penurunan yang cukup drastis jika
dibandingkan tahun 2009 dan 2010 yang mencapai 30.565 ekor dan 11.769 ekor.
Tabel 2. Populasi Ternak Kelinci di Kabupaten Karo 2011
No.
Tahun
Populasi (ekor)
1.
2.
3.

2009
2010
2011

30.565
11.769
3.491

Sumber : Karo dalam Angka (2012)
Di sisi lain, kelinci memiliki keunikan tersendiri bagi para konsumen.
Selain dimanfaatkan sebagai hewan hias atau kesayangan, kelinci juga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan hewani. Walaupun demikian, masih
terdapat kendala dalam pemasaran kelinci yang ada di Kabupaten Karo baik untuk
tujuan hias maupun konsumsi. Menurut Brahmantiyo (2011) sampai saat ini
perkembangan ternak kelinci terkendala oleh rendahnya ketersediaan dan mutu
bibit yang berakibat pada menurunnya produktivitas dan mutu produk, mortalitas
anak saat laktasi dan saat lepas sapih yang tinggi dan harga pakan yang tinggi
untuk pemeliharaan intensif.
Pemasaran kelinci di Kabupaten Karo didominasi oleh kelinci hias,
terutama jenis anggora dan rex. Pemasaran dilakukan ke berbagai daerah seperti
Pancur Batu, Binjai, Medan, bahkan hingga Pematang Siantar. Beberapa tahun
lalu, permintaan konsumsi daging kelinci di Berastagi mengalami peningkatan.

Universitas Sumatera Utara

6 18

Secara ekonomi, hal ini merupakan peluang besar bagi peternak kelinci. Namun
dikarenakan berlebihnya pasokan dan kurang berfungsinya lembaga pemasaran
maka terjadi ketidakefisienan pemasaran sehingga kebutuhan daging tidak lagi
dapat terpenuhi. Lembaga pemasaran kelinci di Kabupaten Karo melibatkan
banyak pihak mengingat luasnya jangkauan pasar kelinci tersebut.
Di Kabupaten Karo, pemasaran kelinci berpusat di Pasar Buah Berastagi.
Lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran ini adalah peternak
dan pedagang pengumpul. Pola pemasaran kelinci melibatkan peternak yang
menjual kelincinya ke pedagang pengumpul. Selain itu, peternak juga bisa
langsung menjual kelincinya di Pasar Buah Berastagi. Harga kelinci yang
diperjualbelikan

di

tingkat

konsumen

mulai

dari

Rp30.000,00

hingga

Rp150.000,00 per ekor. Sementara di lain sisi, peternak menjual kelincinya ke
pedagang pengumpul dari kisaran harga Rp20.000,00 hingga Rp50.000,00 per
ekor.
Sementara itu, pemasaran di luar Kabupaten Karo melibatkan pedagang
pengecer dan pengumpul luar daerah. Pedagang ini berasal dari daerah Medan,
Binjai, Pematang Siantar, serta Pancur Batu. Pedagang ini menjual kelinci di
pasaran dengan kisaran harga Rp45.000,00 hingga Rp170.000,00 per ekor. Selisih
harga yang cukup besar antara peternak dengan para pedagang baik di dalam
maupun luar Kabupaten Karo menimbulkan perbedaan keuntungan yang
diperoleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat.
Dari permasalahan-permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut untuk menganalisis jalur tataniaga kelinci dan mengetahui
efisiensi jalur tataniaga kelinci di daerah penelitian.

Universitas Sumatera Utara

719

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang didapat antara lain:
1.

Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, serta struktur tataniaga kelinci di daerah
penelitian?

2.

Bagaimana share margin masing-masing lembaga tataniaga kelinci di daeah
penelitian?

3.

Bagaimana tingkat efisiensi tataniaga kelinci di daerah penelitian?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai
berikut:
1.

Untuk mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, serta struktur tataniaga
kelinci di daerah penelitian.

2.

Untuk menganalisis share margin masing-masing lembaga tataniaga kelinci
di daerah penelitian.

3.

Untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga kelinci di daerah penelitian.

1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1.

Sebagai bahan masukan dan informasi bagi para pelaku tataniaga kelinci.

2.

Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan instansi terkait dalam
menetapkan kebijakan dan perkembangan komoditas kelinci dari mulai
produksi hingga pemasaran.

3.

Sebagai bahan pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti serta salah satu
cara dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

Universitas Sumatera Utara