Analisis Tataniaga Kelinci Di Kabupaten Karo

(1)

Lampiran 1. Karakteristik Peternak

No. Umur (Tahun) Tingkat

Pendidikan

Pengalaman (tahun)

Jumlah Tanggungan

Jumlah Kandang (buah)

Domisili

1. 47 Sarjana 8 - 416 Berastagi

Lampiran 2. Karakteristik Pedagang Pengumpul Daerah

No. Umur (Tahun) Tingkat

Pendidikan

Pengalaman (tahun)

Jumlah Tanggungan

Jumlah Kandang (buah)

Domisili

1. 23 SMA 5 - 40 Berastagi

2. 21 SMA 3 - 35 Berastagi

3. 39 SMA 27 3 50 Berastagi

4. 30 SMA 5 3 30 Berastagi

Lampiran 3. Karakteristik Pedagang Pengumpul Luar Daerah

No. Umur (Tahun) Tingkat

Pendidikan

Pengalaman (tahun)

Jumlah Tanggungan (orang) Domisili

1. 38 SMA 5 2 Pematangsiantar

2. 40 SMA 10 3 Medan

3. 40 SMA 5 4 Binjai


(2)

Lampiran 4. Karakteristik Pedagang Pengecer Luar Daerah

No. Umur (Tahun) Tingkat Pendidikan Pengalaman (Tahun) Jumlah Tanggungan (orang)

Domisili

1. 35 SMA 0.5 2 Berastagi

Lampiran 5. Biaya Usahaternak Peternak No.

Bibit Pakan Konsentrat Obat-obatan

Jumlah (ekor)

Harga (Rp) Jenis Harga

(Rp)

Jenis Harga

(Rp)

Jenis Harga (Rp/100mL)

1. 17 - a. Daun wortel

b. Rerumputan

- -

a. Konsentrat kelinci - a. Ipomed b. Antibiotik

10.000 8.000

Lampiran 6. Biaya Usahaternak Pedagang Pengumpul Daerah

No. Pakan Obat-obatan

Jenis Harga (Rp) Jenis Harga (Rp/100mL)

1. Daun wortel 1.200 Ipomed 10.000

2. a. Jagung b. Rumput

1.000 1.000

Ipomed 10.000

3. a. Daun wortel b. Jagung

- 1.000

Ipomed 10.000

4. a. Daun wortel b. Jagung

- 1.000


(3)

Lampiran 7. Curahan & Biaya Tenaga Kerja Peternak No. Pencarian Pakan Biaya

(Rp)

Pembersihan

Kandang Biaya (Rp)

Pemberian Pakan

& Obat-Obatan Biaya (Rp) Total Biaya (Rp)

TKDK TKLK TKDK TKLK TKDK TKLK

1. - 2 400.000 - 2 400.000 - 2 400.000 1.200.000

Lampiran 8. Biaya Penyusutan Peternak No.

Kandang Ember

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

1 416 100.000 2 4.166 3 35.000 3 972,3

No.

Sapu Pendek Beko

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

1 2 5.000 3 138,9 1 150.000 5 2.500

No.

Cangkul Mesin Pengering Kotoran

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

1 1 40.000 4 833,3 1 Bantuan BI

(6.000.000)


(4)

Lampiran 9. Biaya Penyusutan Pedagang Pengumpul Sekaligus Peternak No.

Kandang Ember

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

1 100 100.000 2 4.166 2 35.000 3 972,3

No.

Sapu Pendek Beko

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

1 2 5.000 3 138,9 1 150.000 5 2.500

No.

Cangkul

Unit Harga

Satuan (Rp)

Usia Pakai (Tahun)

Penyusutan (Rp)

1 1 40.000 4 833,3

Lampiran 10. Volume Penjualan Kelinci di Tingkat Peternak

No. Volume Penjualan (ekor/minggu) Jenis Kelinci Harga Jual (Rp/ekor)

1. 40 a. Biasa

b. Rex c. Lion d. Flame e. Love f. Anggora 20.000 25.000 25.000 25.000 35.000 25.000


(5)

Lampiran 11. Fungsi-Fungsi Tataniaga Setiap Lembaga Pemasaran Kelinci Peternak

No. Sampel Pembelian Penjualan Transportasi Perawatan Penanggungan Risiko Informasi Pasar

1 V V X V X V

Peternak Sekaligus Pedagang Pengumpul Daerah

No. Sampel Pembelian Penjualan Transportasi Perawatan Penanggungan Risiko Informasi Pasar 1

2 3 4

V V V V V V

Pedagang Pengumpul

No. Sampel Pembelian Penjualan Transportasi Perawatan Penanggungan Risiko Informasi Pasar 1

2 3 4

V V V V V V

Pedagang Pengecer

No. Sampel Pembelian Penjualan Transportasi Perawatan Penanggungan Risiko Informasi Pasar


(6)

Lampiran 12. Volume Penjualan Kelinci di Tingkat Pedagang Pengumpul Daerah No. Rata-Rata Harga

Beli (Rp/ekor)

Volume Penjualan (ekor/minggu) Jenis Kelinci Harga Jual (Rp/ekor)

1. 25.000 35 a. Biasa

b. Anggora c. Lion

35.000 50.000 150.000

2. 25.000 32 a. Rex

b. Anggora c. Lion d. Biasa

80.000 45.000 100.000

35.000

3. 25.000 30 a. Anggora

b. Rex c. Lion d. Love e. Flame f. Biasa

75.000 85.000 100.000 120.000 50.000 35.000

4. 25.000 30 a. Lion

b. Rex c. Love d. Biasa

100.000 70.000 120.000


(7)

Lampiran 13. Volume Penjualan Kelinci di Tingkat Pedagang Pengumpul Luar Daerah No. Rata-Rata Harga

Beli (Rp/ekor)

Volume Penjualan (ekor/minggu) Jenis Kelinci Harga Jual (Rp/ekor)

1. 35.000 30 a. Biasa

b. Anggora c. Rex

45.000 80.000 100.000

2. 25.000 40 a. Anggora

b. Rex c. Biasa

85.000 100.000

45.000

3. 35.000 40 a. Rex

b. Lion c. Anggora d. Flame e. Biasa 150.000 150.000 100.00 100.000 45.000

4. 25.000 35 a. Lion

b. Rex c. Love d. Biasa 100.000 100.000 150.000 45.000 Lampiran 14. Volume Penjualan Kelinci di Tingkat Pedagang Pengecer Luar Daerah

No. Harga Beli (Rp/ekor)

Volume Penjualan (ekor/minggu) Jenis Kelinci Harga Jual (Rp/ekor)

1. 50.000 5 a. Biasa

b. Rex c. Anggora

45.000 80.000 95.000


(8)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten Karo Dalam Angka 2011. Medan. _________________. 2011. Sumatera Utara Dalam Angka 2011. Medan.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2007. Budidaya Ternak Kelinci di Perkotaan. Prima Tani Kota Yogyakarta.

Brahmantiyo, B. dan Y.C. Raharjo. 2011. Peningkatan Produktivitas Kelinci Rex, Satin dan Persilangannya Melalui Seleksi. Balai Penenlitian Ternak Bogor. Dahl D.C. dan Hammond JW. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural

Industries. McGraw-Hill Inc. New York.

Diwyanto, K., et al. 1995. Suatu Studi Kasus Mengenai Budidaya Ternak Kelinci di Desa Pandansari, Jawa Tengah. Ilmu dan Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Elieser, S. 2005. Analisis Kelembagaan Pemasaran Dan Margin Tataniaga Ternak Domba: Study Kasus Pada Pengembangan Ternak Domba Model Sutpa Di Kabupaten Langkat Dan Pir-Nak Domba Transmigrasi Di Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 273.

Gultom, H. 1996. Tataniaga Pertanian. USU Press. Medan.

Hanafiah dan Saefuddin. 1986. Tataniaga Hasil Perikanan. UI Press. Jakarta. Hasanah, M. 2000. Analisis Sistem Tataniaga Sapi Potong di Kecamatan Jrengik,

Kabupaten Sampang, Madura. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hutasuhut, M. 2010. Strategi Pengembangan Usaha Ternak Kelinci Mendukung Agribsnis Peternakan : Dukungan Kebijakan. Direktorat Pengembangan Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Ikhsan, S. dan Rifiana, 2010. Tataniaga jagung di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Agroscientiae. 17. Hal 1-8.

Kartasapoetra, G., et al. 1986. Marketing Produk Pertanian dan Industri Yang Diterapkan di Indonesia. PT Bina Aksara. Jakarta.

Kohls, R.L. dan Uhl J.N. 1985. Marketing of Agriculture Products. Sixth Edition. McMillan Publishing Company. New York.


(9)

Manik, O. M., 2007. Tataniaga Gula Pasir di Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara.

Massicot, P. 2005. Animal Info-Sumatran Rabbit.

Mubyarto, 1980. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Nazir, M. 1998. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Ode, F. S. 2012. Analisis Tataniaga Kelinci pada Kampoeng Kelinci Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya, Kabupaten Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Priyanti, A dan Ayu S. 2011. Analisis Ekonomi dan Tataniaga Usahaternak Kerbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor

Raharjo, Y.C., et al. 1984. Pengaruh Jarak Kawin Setelah Beranak Terhadap Performans Reproduksi Kelinci Rex. Ilmu Peternakan. 6:27-31.

___________. et al. 2004. Plasma Nutfah Kelinci Sebagai Sumber Pangan Hewani dan Produk Lain Bermutu Tinggi. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

___________. 2005. Prospek, Peluang dan Budidaya Ternak Kelinci. Seminar Nasional Prospek Ternak Kelinci Dalam Peningkatan Gizi Masyarakat Mendukung Ketahanan Pangan. Bandung.

Sartika, T., et al. 1998. Peluang Ternak Kelinci Sebagai Sumber Daging Yang Potensial Di Indonesia. Wartazoa 7:2

Sihombing, L. 2010. Tataniaga Hasil Pertanian. USU Press. Medan.

Sitorus, P., et al. 1982. Laporan Budidaya Peternakan Kelinci di Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

Soekartawi. 1991. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

_________. 1999. Agribisnis : Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Kementerian Pertanian RI. Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian. UMM Press. Malang.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & B. Alfabeta. Bandung.


(10)

Wibowo, B., et al.. 2011. Lokakarya Nasional Potensi dan PeluangPengembangan Usaha Kelinci:Pemanfaatan dan Analisis Ekonomi Usaha Ternak Kelinci di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak. Yulianto, A. 2012. Budidaya Kelinci. Javalitera. Jogjakarta.


(11)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penentuan daerah penelitian ditentukan secara purposive atau secara sengaja yaitu di Kabupaten Karo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Karo merupakan sentra peternakan kelinci di Sumatera Utara.

Kabupaten Karo terdiri dari tujuh belas kecamatan namun, tidak di seluruh kecamatan terdapat populasi kelinci. Jumlah populasi kelinci terbesar berada di Kecamatan Berastagi yaitu sebesar 1.798 ekor (Karo Dalam Angka, 2012).

Tabel 3. Populasi Ternak Menurut Kecamatan di Kabupaten Karo 2011 No. Kecamatan Populasi Ternak Menurut Kecamatan (Ekor)

1. Mardingding 0

2. Laubaleng 2

3. Tigabinanga 2

4. Juhar 0

5. Munte 0

6. Kutabuluh 22

7. Payung 0

8. Tiganderket 5

9. Simpang Empat 137

10. Naman Teran 103

11. Merdeka 479

12. Kabanjahe 212

13. Berastagi 1.798

14. Tigapanah 193

15. Dolat Rayat 343

16. Merek 138

17. Barusjahe 57

Jumlah 2011 3.491 2010 11.769 2009 30.565 Sumber: Karo Dalam Angka (2012)


(12)

3.2 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dimulai dengan cara menelusuri saluran tataniaga mulai dari pangkal rantai tataniaga yaitu peternak di Kecamatan Berastagi sampai pada konsumen akhir.

1. Peternak

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel peternak adalah tracer study. Dalam metode ini, penentuan sampel peternak dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari pedagang yang diwawancarai. Hal ini dikarenakan tidak diketahuinya secara pasti jumlah peternak yang menernakkan kelinci.

2. Pedagang

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel pedagang adalah penelitian penelusuran (tracer study). Arikunto (2002) mengatakan to trace artinya mengikuti jejak atau menelusuri. Menelusuri mengandung arti bahwa kegiatan yang ada dalam penelitian ini adalah mengikuti jejak seseorang yang sudah pergi atau sesuatu yang sudah lewat waktu. Di Kecamatan Berastagi, pedagang kelinci terdapat di Pasar Buah Berastagi. Dari hasil pra-survei ke Pasar Buah Berastagi ditemukan bahwa ada 4 orang pedagang kelinci. Oleh karena itu, jumlah pedagang yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 4 orang.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang terdapat di penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 4.


(13)

Tabel 4. Metode Pengumpulan Data

Jenis Data Sumber

Primer Wawancara dengan responden

Sekunder Dinas Peternakan Kabupaten Karo Badan Pusat Statistik

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

3.4 Metode Analisis Data

Untuk identifikasi masalah 1 akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan menganalisis saluran tataniaga kelinci yang terdapat di daerah penelitian.

Untuk identifikasi masalah 2 akan diuji dengan menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan menganalisis hubungan antara harga yang diterima peternak atau pedagang dengan harga yang dibayar oleh konsumen yang disebut share margin.

Dalam Sudiyono (2001) formula untuk menghitung margin tataniaga dan distribusinya pada masing-masing lembaga tataniaga adalah sebagai berikut:

MP = Pr – Pf atau MP =

Keterangan:

MP = Margin Pemasaran

Pr = Harga di Tingkat Pengecer

Pf = Harga di tingkat Peternak/Produsen = Jumlah biaya tiap lembaga perantara ke –i


(14)

Share biaya (Sbi) masing-masing lembaga perantara menggunakan model: Sbi =

Share keuntungan (SKi) masing-masing lembaga perantara menggunakan model:

Ski =

Share petani produsen (Sf) masing-masing lembaga perantara menggunakan model:

Sf =

Nisbah margin keuntungan secara matematis dapat dicari dengan model:

Keterangan:

Bti = Biaya tataniaga masing-masing lembaga pemasaran tingkat ke-i I = Keuntungan masing-masing lembaga pemasaran tingkat ke-i

Untuk identifikasi masalah 3 akan diuji dengan metode analisis deskriptif yaitu dengan menganalisis efisiensi tataniaga kelinci di Kabupaten Karo. Menurut Mubyarto (1980) syarat-syarat pemasaran yang efisien adalah (1) mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan (2) mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut.

Herman dalam Gultom (1996) menuliskan cara untuk menghitung efisiensi tataniaga adalah dari share margin produsen dengan rumus sebagai berikut:


(15)

Keterangan:

S = Share Margin Produsen Pf = Harga Jual Petani Pr = Harga Beli Konsumen M = Marketing Margin

Apabila S > 50% maka dikatakan efisien dan S < 50% tidak efisien.

3.5 Definisi dan Batasan Operasional

- Definisi

Untuk menghindari kesalapahaman dan kekeliruan dalam penelitian ini, maka dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut:

1. Peternak adalah orang yang memelihara kelinci dengan tujuan untuk diperjualbelikan.

2. Pedagang pengumpul di daerah adalah pedagang yang memperoeh kelinci dari peternak kemudian menjualnya di daerah Berastagi .

3. Pedagang pengumpul luar daerah adalah pedagang yang memperoleh kelinci dari peternak kemudian menjualnya di luar daerah Berastagi seperti Pancur Batu, Medan, Binjai, dan Pematang Siantar.

4. Pedagang pengecer adalah pedagang yang memperoleh kelinci dari pedagang di daerah Berastagi kemudian menjualnya di luar Berastagi yaitu di Pasar Pancur Batu dan tidak melakukan aktivitas pemeliharaan kelinci.

5. Konsumen adalah orang yang membeli kelinci di pasar buah Berastagi atau di pasar lainnya untuk keperluan hobi ataupun konsumsi.

6. Lembaga tataniaga adalah perorangan atau badan usaha yang terlibat dalam proses tataniaga kelinci.


(16)

7. Saluran tataniaga (marketing channel) adalah serangkaian lembaga tataniaga atau perantara yang akan memperlancar kegiatan tataniaga kelinci dari tingkat peternak sampai ke tingkat konsumen.

8. Margin tataniaga adalah perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima peternak yang dinyatakan dalam Rp/ekor atau persentase dalam satu bulan kalender.

9. Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam menyalurkan produk dari peternak ke konsumen yang dinyatakan dalam Rp/ekor dalam satu bulan kalender.

10.Biaya produksi adalah keseluruhan biaya yang diperlukan dalam proses pengembangan kelinci dalam satu bulan kalender.

11.Share margin adalah rasio antara harga jual akhir pada tingkat produsen dengan harga yang diterima konsumen akhir yang dinyatakan dalam persentase.

12.Price Spread adalah sebaran harga atau totalitas harga pada setiap komponen biaya tataniaga dan lembaga tataniaga.

13.Efisiensi Pemasaran adalah ukuran keberhasilan penyampaian barang dan jasa dari produsen ke konsumen dengan perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya degan biaya semurah-murahnya.

- Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

2. Sampel penelitian adalah peternak dan pedagang yang ada di Kabupaten Karo.


(17)

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK SAMPEL

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian

Daerah penelitian yaitu Kecamatan Berastagi, berada di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 3.050 Ha. Kecamatan Berastagi memiliki 6 (enam) desa dan 4 (empat) kelurahan yang dimukimi oleh 42.939 jiwa. Jarak kecamatan ini dari ibukota kabupaten adalah 11 km dan 65 km ke kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari jaraknya yang tidak terlalu jauh dari ibukota kabupaten maupun provinsi maka dapat diasumsikan bahwa kecamatan Berastagi dapat dengan mudah menyalurkan hasil produksinya.

Kecamatan Berastagi memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Seli Serdang

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah/Dolat Rayat - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat/Kecamatan Merdeka

4.2 Keadaan Penduduk

Penduduk Kecamatan Berastagi berjumlah 42.939 jiwa dengan jumlah 10.887 KK. Untuk lebih jelasnya, keadaan penduduk menurut kelompok umur di Kecamatan Berastagi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan Berastagi Tahun 2011

Kelompok Umur (tahun) Jumlah (jiwa) Jumlah (%)

0-14 13.883 32,33

14-54 24.184 56,32

>55 4.872 11,35

Jumlah 42.939 100%


(18)

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah peternak sampel terbesar berada di kelompok usia produktif (14-54 tahun) dengan jumlah 24.184 jiwa atau 56,32%. Sementara itu, kelompok usia nonproduktif (balita, anak-anak, dan remaja) yaitu usia 0-14 tahun sebanyak 13.883 jiwa atau 32,33% dan usia manula pada kelompok umur >55 tahun dengan jumlah 4.872 jiwa atau 11,25%.

Selain itu, mata pencaharian penduduk di Kecamatan Berastagi beraneka ragam dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011

No Uraian Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase (%)

1. Petani 16.189 69,39

2. Industri Rumah Tangga 3.139 13,45

3. PNS/TNI 2.032 8,71

4. Lainnya 1.972 8,45

Jumlah 23.332 100%

Sumber : Kecamatan Berastagi dalam Angka, 2012

Tabel 7 menunjukkan bahwa penduduk di daerah penelitian memiliki pekerjaan yang beragam. Penduduk kecamatan Berastagi mayoritas bekerja sebagai petani dengan jumlah 16.189 jiwa atau 69,39%. Selanjutnya penduduk yang bekerja di industri rumah tangga sebanyak 3.139 jiwa atau 13,45%. Penduduk yang bekerja sebagai PNS/TNI sebanyak 2.032 jiwa atau 8,71% dan yang bekerja di pekerjaan lainnya sebesar 1.972 jiwa atau 8,45%. Peternak kelinci dimasukkan ke dalam kelompok penduduk dengan pekerjaan sebagai petani. Pada dasarnya, beternak bukanlah menjadi pekerjaan utama penduduk Berastagi. Pekerjaan beternak hanya dilakukan sebagai selingan dalam memperoleh pendapatan lain karena pendapatan utamanya berasal dari sektor bertani.

4.3 Sarana dan Prasarana


(19)

Tabel 8. Sarana dan Prasarana di Kecamatan Berastagi Tahun 2011

No. Sarana dan Prasarana Jumlah (Unit)

1 Transportasi

a. Mobil penumpang b. Truk

c. Pick-up d. Sepeda motor

677 195 930 2.332 2. Jalan

a. Aspal b. Diperkeras c. Tanah d. Setapak

35,9 km 93 km 106 km 2 km Sumber : Kecamatan Berastagi dalam Angka 2011

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana transportasi di Kecamatan Berastagi sudah tergolong lengkap dimana sudah terdapat mobil penumpang, truk, pick-up, dan sepeda motor. Sementara itu, kondisi jalan di Kecamatan Berastagi tergolong belum mendukung kegiatan ekonomi masyarakatnya. Jalan masih didominasi oleh permukaan tanah sepanjang 106 km. Kemudian diikuti oleh jalan dengan permukaan diperkeras sepanjang 93 km, jalan aspal 35,9 km serta jalan setapak 2 km. Jalan yang belum mendukung kegiatan ekonomi akan berpengaruh terhadap penyaluran barang hasil produksi kecamatan ini ke daearah lainnya.

4.3 Karakteristik Sampel

- Peternak sampel

Peternakan kelinci di daerah penelitian merupakan peternakan yang termasuk ke dalam usaha sampingan. Peternakan ini bukan merupakan usaha utama perekonomian masyarakat. Hal ini dikarenakan peternakan kelinci bisa dilaksanakan berdampingan dengan pertanian tanaman hortikultura seperti sayuran dan buah-buahan. Peternak sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu peternak yang tidak bertindak sebagai pedagang pengumpul (murni) dan peternak yang bertindak sekaligus sebagai pedagang pengumpul.


(20)

- Peternak murni

Peternak dengan karakteristik ini hanya terdiri dari satu orang saja. Karakteristik peternak sampel meliputi umur, pendidikan, jumlah tanggungan, pengalaman berusaha, dan jumlah ternak. Peternak murni dalam penelitian ini berusia 47 tahun dan sudah delapan tahun menekuni usaha ternak kelinci. Pendidikan terakhir adalah Perguruan Tinggi. Menurut keterangan dari peternak ini, ia merupakan peternak yang memasok kelinci ke berbagai peternak lainnya yang ada di daerah penelitian dan sekitarnya. Jumah kelinici yang dimilikinya adalah sebanyak 300 ekor. Jumlah tanggungan peternak sampel tidak ada.

Dalam menjalankan usahanya, ia melakukan pemeliharaan dan perawatan kelinci dalam lahan yang dimilikinya dengan dibantu oleh dua orang tenaga kerja luar keluarga. Selain itu, biaya pakan ternak juga relatif tidak terlalu besar. Peternak hanya memanfaatkan sisa-sisa hasil panen pertanian hortikultura sebagai bahan pakan. Artinya, biaya yang dikeluarkan hanya untuk upah membayar tenaga kerja yang mengambil pakan tersebut.

Dalam saluran pemasarannya, peternak sampel menjual kelincinya ke pedagang atau peternak lain di berbagai daerah seperti Berastagi, Medan, Pancur Batu, dan Pematangsiantar. Pedagang atau peternak pembeli langsung mendatangi peternak sampel untuk melakukan transaksi perdagangan. Transaksi perdagangan bersifat fluktuatif, yaitu tidak ada waktu pasti kapan transaksi dilakukan. Sifat transaksi yang berlaku adalah tergantung kesiapan dari peternak sampel untuk memenuhi permintaan pembelinya. Rata-rata jumlah kelinci yang dijual dalam sekali transaksi adalah 60 ekor dalam waktu rata-rata 2 kali seminggu.


(21)

- Peternak sekaligus pedagang pengumpul

Peternak dengan karakteristik ini terdiri dari empat orang. Dalam melaksanakan kegiatannya, peternak ini membeli ternak dari peternak murni kemudian menjualnya. Namun, ada juga ternak yang dipelihara dan dikembangbiakkan. Karakteristik peternak ini meliputi umur, pendidikan, pengalam beternak, pengalaman berdagang serta volume penjualan.

Tabel 9. Karakteristik Peternak Sekaligus Pedagang Pengumpul

No. Uraian Satuan Rentang Rataan

1. Umur Tahun 21-39 27

2. Pendidikan Tahun 6-12 12

3. Pengalaman Beternak Tahun 5-20 11

3. Pengalaman Berdagang Tahun 5-20 11

4. Volume Penjualan ekor/minggu 30-35 32

Sumber : Lampiran 2

Dalam Tabel 9 dapat dilihat bahwa rata-rata umur peternak adalah 27 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa peternak ini masih berada di dalam usia produktif. Apalagi dilihat dari sisi pengalaman dalam berusaha baik beternak maupun berdagang, maka mereka dapat digolongkan sebagai peternak dan pedagang yang berpengalaman. Namun, pendidikan yang ditempuh hanya sampai tingkat SMA. Volume penjualan peternak ini adalah 32 ekor per mingu.

Pedagang Sampel

- Pedagang pengumpul

Pedagang pengumpul adalah para pedagang dari berbagai daerah yang datang ke peternak sampel untuk melakukan transaksi. Pedagang pengumpul dalam penelitian ini dibagi menjadi pedagang pengumpul daerah dan pedagang pengumpul luar daerah. Biasanya pedagang pengumpul menjualnya kembali ke pedagang pengecer di daerah lain atau di pasar umum tanpa memelihara dan mengembangbiakkan. Selain itu ada juga pedagang pengumpul yang bertindak


(22)

langsung sebagai pedagang pengecer dan menjualnya langsung ke konsumen di pasar-pasar umum.

Karakteristik pedagang pengumpul, baik daerah maupun luar daerah dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan, pengalaman, dan volume penjualan.

Tabel 10. Karakteristik Pedagang Pengumpul di Daerah

No. Uraian Satuan Rentang Rataan

1. Umur Tahun 21-39 27

2. Pendidikan Tahun 6-12 12

3. Pengalaman Tahun 5-20 11

4. Volume Penjualan ekor/minggu 30-35 32

Sumber : Lampiran 2

Dalam Tabel 10 dapat dilihat bahwa rata-rata umur pedagang pengumpul daerah adalah 27 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang pengumpul di daerah masih berada di dalam usia produktif. Pengalaman rata-rata mereka adalah 11 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki pengalaman yang cukup lama dalam berdagang kelinci. Pendidikan yang ditempuh hanya sampai tingkat SMA. Sementara itu, volume penjualan pedagang ini adalah 32 ekor per mingu. Tabel 11. Karakteristik Pedagang Pengumpul di Luar Daerah

No. Uraian Satuan Rentang Rataan

1. Umur Tahun 35-40 38

2. Pendidikan Tahun 6-12 12

3. Pengalaman Tahun 5-10 8

4. Volume Penjualan ekor/minggu 30-45 36

Sumber : Lampiran 3

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata umur pedagang pengumpul luar daerah adalah 38 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia pedagang pengumpul masih digolongkan produktif. Selain itu, pendidikan yang ditempuh rata-rata adalah SMA dengan pengalaman berdagang 8 tahun. Rata-rata volume penjualan kelinci adalah 36 ekor per minggu.


(23)

- Pedagang pengecer luar daerah

Pedagang pengecer luar daerah dalam penelitian ini adalah pedagang yang memperoleh kelinci dari pedagang pengumpul, baik di dalam maupun luar daerah. Pedagang pengecer, dalam hal ini bertindak hanya untuk menyalurkan kelinci. Jadi tidak ada pemeliharaan kelinci apabila kelinci tidak laku dijual. Pedagang pengecer akan mengembalikan kelinci ke pedagang pengumpul apabila kelinci yang dijualnya tidak laku di pasaran. Artinya, risiko dalam pemasaran ditanggung oleh pedagang pengumpul.

Pedagang pengecer dalam penelitian ini hanya satu orang yang berada di Pasar Pancur Batu. Karakteristik pedagang pengecer meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman, dan volume penjualan. Usia pedagang ini adalah 35 tahun dengan tingkat pendidikan SMA. Ternak yang dijual bukan hanya terfokus pada kelinci. Selain itu pengalamannya sebagai peternak hanya 6 bulan atau setengah tahun. Hal ini berarti pengalaman pedagang kurang mencukupi. Hal ini dapat dilihat dari sistem perdagangan yang dilakukan. Pedagang membawa kelinci ketika ada pesanan dari konsumen atau ketika pasar sedang ramai di waktu-waktu tertentu. Akibatnya penjualan bersifat fluktuatif dengan jumlah terbanyak hanya 5 ekor per minggu.


(24)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga kelinci di daerah penelitian terdiri dari empat pola saluran. Tujuan utama dari saluran ini adalah mendistribusikan ternak kelinci dari produsen sampai ke tangan konsumen. Ada beberapa lembaga tataniaga yang dilibatkan dalam saluran ini, antara lain peternak, pedagang pengumpul di daerah maupun luar daerah dan pedagang pengecer luar daerah.

Saluran pertama yaitu peternak menjual kelincinya ke tangan pedagang pengumpul di daerahnya. Kemudian, pedagang pengumpul di daerah ini menjual kelinci langsung ke tangan konsumen di Pasar Buah Berastagi. Saluran kedua yaitu pedagang pengumpul di daerah menjual kelinci ke pedagang pengecer luar daerah yaitu di Pasar Pancur batu. Dalam hal ini, pedagang pengumpul di daerah juga sekaligus bertindak sebagai peternak.

Saluran pemasaran ketiga yaitu peternak yang menjual kelincinya ke pedagang pengumpul luar daerah. Pedagang pengumpul ini berasal dari Medan, Binjai dan Pematang Siantar. Pedagang ini kemudian langsung menjual kelincinya ke tangan konsumen akhir di luar daerah. Saluran keempat yaitu pedagang pengumpul daerah yang bertindak sebagai peternak menjual kelincinya ke pedagang pengumpul luar daerah yaitu Medan, Binjai, dan Pematang Siantar. Perbedaan antara saluran ketiga dengan keempat berada pada lembaga tataniaga yang menjadi penyedia kelinci bagi pedagang pengumpul luar daerah. Saluran ketiga memperoleh pasokan kelinci dari peternak langsung. Sedangkan saluran keempat memperoleh pasokan kelinci dari pedagang pengumpul daerah yang bertindak sebagai peternak.


(25)

Berdasarkan hasil penelitian, maka saluran tataniaga kelinci di Kecamatan Berastagi dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan :

Tanda panah tanpa garis putus : menyatakan proses

Tanda panah dengan garis putus : bertindak sebagai peternak dan menjualnya ke- Gambar 5. Skema Saluran Tataniaga Kelinci di Daerah Penelitian

Sal

ur

an

I

II

Sal

ur

an

I

Pedagang Pegecer Luar Daerah

Konsumen Luar Daerah Saluran II

Saluran IV Peternak

Pedagang Pengumpul Luar

Daerah Pedagang Pengumpul

Daerah

Konsumen Daerah


(26)

Saluran I

Gambar 6. Skema Saluran I Tataniaga Kelinci

Pada saluran I, peternak menjual kelinci langsung kepada pedagang pengumpul di daerah. Pedagang ini berada di Pasar Buah Berastagi. Kemudian, pedagang pengumpul menjual kelinci kepada konsumen. Biasanya, pedagang pengumpul membeli kelinci dalam jumlah 20-40 ekor dalam seminggu. Pedagang pengumpul membeli dan membawanya di dalam kandang berukuran kecil yang terbuat dari besi. Kemudian, pedagang ini membawa dengan menggunakan becak karena jarak antara pedagang pengumpul dan peternak relatif tidak terlalu jauh. Apabila kelinci tidak habis terjual, maka pedagang pengumpul juga bertindak sebagai peternak. Namun, hal ini tidak berlangsung lama serta tidak difokuskan untuk diteliti pada saluran I.

Saluran II

Keterangan : bertindak sebagai peternak dan menjual ke- Gambar 7. Skema Saluran II Tataniaga Kelinci

Pada saluran II, peternak menjual kelinci ke pedagang pengumpul di daerah yang berada di Pasar Buah Berastagi. Kemudian, pedagang pengumpul di daerah ini sekaligus bertindak sebagai peternak dan kemudian menjual kembali ke pedagang pengecer luar daerah, seperti Pancur Batu. Melalui pedagang pengecer kemudian kelinci sampai ke tangan konsumen akhir di luar daerah. Dalam

Peternak Konsumen

Daerah Pedagang Pengumpul

Daerah

Peternak Pedagang

Pengumpul Daerah

Konsumen Luar Daerah Pedagang

Pengecer Luar Daerah


(27)

melaksanakan kegiatannya, pedagang pengecer membawa kelinci bersamaan dengan barang-barang lain yang dijual di pasar Pancur Batu, seperti sayuran. Alat transportasi yang digunakan adalah kereta. Jadi biaya yang dikeluarkan relatif tidak terlalu besar.

Jumlah kelinci yang diperdagangkan juga bersifat fluktuatif, kadang ada dan kadang tidak ada, tergantung pemesanan dengan konsumen. Jumlah terbanyak yang pernah dibawa hanya 5 ekor. Selain itu, pedagang pengecer juga bersifat tidak bertanggung jawab atas kelinci yang dijualnya. Artinya tidak ada risiko yang ditanggungnya. Risiko atas kerugiannya ditanggung oleh pedagang pengumpul daerah di pasar buah Berastagi. Harga pembelian dikenakan jika hanya kelinci laku terjual. Jika kelinci tidak terjual maka kelinci akan dikembalikan lagi ke pedagang pengumpul yang bertindak sekaligus peternak.

Saluran III

Gambar 8. Skema Saluran III Tataniaga Kelinci

Dalam saluran III terlihat bahwa peternak murni menjual kelincinya ke pedagang pengumpul luar daerah, seperti Medan, Binjai serta Pematangsiantar. Saluran transportasi yang digunakan seluruhnya difasilitasi oleh pedagang pengumpul, demikian juga risikonya. Mengingat jarak yang cukup jauh maka pedagang pengumpul menggunakan fasilitas mobil pengangkut barang. Dari sini, kelinci kemudian dijual langsung ke tangan konsumen yang berada di luar daerah.

Peternak Konsumen

Luar Daerah Pedagang

Pengumpul Luar Daerah


(28)

Saluran IV

Keterangan : bertindak sebagai peternak dan menjual ke- Gambar 9. Skema Saluran IV Tataniaga Kelinci

Dalam saluran IV dapat dilihat bahwa peternak menyalurkan kelincinya ke pedagang pengumpul yang bertindak sebagai peternak. Kemudian, ia menjual ternaknya ke pedagang pengumpul luar daerah seperti Medan, Binjai, dan Pematangsiantar. Kemudian ternak disalurkan ke tangan konsumen. Semua risiko yang terjadi dalam proses perdagangan ditanggung oleh pedagang pengumpul luar daerah.

5.2 Fungsi-Fungsi Tataniaga Lembaga Pemasaran

Dalam melaksanakan kegiatan tataniaga, lembaga tataniaga melakukan fungsinya masing-masing. Fungsi-fungsi ini dilakukan untuk memperlancar penyampaian kelinci ke tangan konsumen akhir. Dalam tataniaga kelinci, fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan setiap lembaga bervariasi. Konsekuensi dari bervariasinya fungsi ini adalah bervariasinya biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga. Semakin banyak fungsi yang dilakukan, maka semakin besar biaya yang dikeluarkan, demikian juga sebaliknya. Apabila semakin besar biaya yang dikeluarkan maka akibatnya adalah harga yang diterima oleh konsumen akhir akan semakin tinggi.

Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga kelinci dapat dilihat pada Tabel 12berikut ini.

Peternak Pedagang

Pengumpul Daerah

Konsumen Luar Daerah Pedagang

Pengumpul Luar Daerah


(29)

Tabel 12. Fungsi-Fungsi Tataniaga yang Dilakukan Setiap Lembaga Tataniaga

Fungsi Tataniaga Peternak

Peternak Sekaligus Pedagang Pengumpul Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer Pembelian Penjualan Transportasi Perawatan Penanggungan Risiko Informasi Pasar V V X V X V V V V V V V V V V V V V V V V X X V Sumber : Lampiran 11

Keterangan :

V : Melaksanakan fungsi tersebut X : Tidak melaksanakan fungsi tersebut

Fungsi-fungsi yang dilakukan peternak adalah sebagai berikut : pembelian bibit kelinci, penjualan, perawatan dan informasi pasar. Pembelian kelinci dilakukan dengan cara langsung. Pada awalnya kelinci yang dibeli berjumlah 17 ekor dari kota Lembang. Peternak langsung mendatangi ke lokasi pembibitan kelinci. Perawatan dilakukan dengan bantuan 2 orang pekerja yang berasal dari luar keluarga. Kegiatan perawatan meliputi pecarian dan pemberian pakan, pembersihan kandang, perkawinan, serta tindakan merawat kelinci yang sakit. Dalam melakukan penjualan, peternak tidak memberlakukan sistem antar ke pembeli. Oleh karena itu peternak tidak melaksanakan fungsi transportasi serta penanggungan risiko dalam penjualan. Peternak memperoleh informasi pasar dari pihak pemerintah dan juga pedagang yang membeli ternaknya.

Fungsi-fungsi yang dilakukan peternak sekaligus pedagang pengumpul adalah sebagai berikut : pembelian, penjualan, transportasi, perawatan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Dalam melaksanakan pembelian, peternak ini menggunakan transportasi kendaraan bermotor dan dibantu oleh


(30)

tenaga kerja dalam keluarga. Kemudian, ternak yang sudah dibeli dijual ke pasar dan ada juga yang dijadikan indukan bagi ternaknya sendiri. Perawatan yang dilakukan adalah dalam bentuk pencarian dan pemberian pakan, pembersihan kandang, perkawinan, serta perawatan kelinci yang sakit. Karena peternak ini langsung mendatangi lokasi pembelian maka semua risiko yang terjadi menjadi tanggungjawabnya. Selain itu, informasi pasar yang diperoleh berasal dari peternak lain maupun pedagang lain yang berhubungan dengannya.

Fungsi-fungsi yang dilakukan pedagang pengumpul adalah sebagai berikut: pembelian, penjualan, transportasi, perawaran, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Baik pedagang pengumpul daerah maupun luar daerah sama-sama melakukan fungsi ini. Pembelian dilakukan ke peternak dengan mendatangi secara langsung. Pembelian ini menggunakan bantuk dari kendaraan bermesin serta beberapa orang yang berasal dari dalam keluarga. Oleh karenanya semua risiko yang terjadi selama proses tataniaga menjadi tanggung jawab pedagang ini. Dalam melaksanakan perawatan, pedagang pengumpul biasanya tidak melakukan banyak perawatan seperti pelaku sebelumnya. Artinya, perawatan hanya bersifat singkat seperti memeberi pakan dan perawatan kelinci yang sakit dan tidak dimaksudkan untuk mengembangbiakkan kelinci. Fungsi informasi pasar diperoleh dari peternak dan juga pihak konsumen.

Fungsi-fungsi yang dilakukan pedagang pengecer adalah sebagai berikut : pembelian, penjualan, transportasi, serta informasi pasar. Pedagang ini membeli kelinci kemudian menjualnya langsung ke tangan konsumen. Proses pembelian dilakukan dengan bantuan kendaraan bermotor. Pembelian tidak dilakukan dalam jumlah besar dikarenakan jarangnya konsumen untuk pedagang ini. Proses transportasi kelinci ke pasar dilakukan bersamaan dengan angkutan sayuran yang


(31)

akan dijual sehingga tidak terlalu memerlukan biaya besar. Pedagang ini sama sekali tidak melakukan proses perawatan karena kelinci yang tidak habis dijual akan dikembalikan ke pedagang tempat ia membeli kelinci tersebut. Oleh karena itu, risiko pasar yang dihadapi relatif tidak ada. Sistem informasi pasar diperoleh dari para pedagang dan konsumen.

5.3 Share Margin Lembaga Tataniaga

Share margin adalah rasio antara harga jual akhir pada tingkat peternak dengan harga yang diterima konsumen akhir yang dinyatakan dalam persentase. Share margin juga merupakan persentase price spread terhadap harga beli konsumen di pasaran. Sementara itu, price spread adalah sebaran harga pada setiap komponen biaya tataniaga dan lembaga tataniaga.

Untuk menganalisis share margin dan price spread di setiap lembaga tataniaga maka perlu dihitung biaya tataniaga yang dilakukan oleh masing-masing peternak dan lembaga tataniaganya dalam satuan waktu satu bulan kalender. Berikut rata-rata share margin dan price spread tataniaga kelinci pada setiap saluran.


(32)

Tabel 13. Rata-Rata Share Margin dan Price Spread Tataniaga Kelinci Pada Saluran I

No Uraian Price Spread

(Rp/ekor) Share (%) 1. Peternak

a. Harga jual peternak b. Total Biaya

- Perawatan - Tenaga kerja - Penyusutan - Marketing loss c. Margin keuntungan

d. Nisbah margin keuntungan

25.000 3.637,43 1.000 2.000 137,43 500 21.362,57 30,76 1,7 3,5 0,24 0,89 37,98 5,88 2. Pedagang Pengumpul Daerah

a. Harga beli b. Harga jual c. Total biaya :

- Penyusutan - Transportasi - Marketing loss d. Margin keuntungan

e. Nisbah margin keuntungan

25.000 81.250 538,88 138,8 250 150 55.711,12 0,24 0,44 0,26 99,04 103,38

3. Harga beli konsumen 81.250 100

Sumber : Diolah dari Lampiran 5, 6, 7, 8, 10, dan 12

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa nilai tunai yang diperoleh peternak adalah sebesar Rp25.000,00 (30,76%) sedangkan biaya produksi rata-rata yang dikeluarkan adalah Rp3.637,43. Dengan demikian, share peternak adalah sebesar Rp21.362,57 per ekor kelinci. Peternak menjual kelincinya dengan harga Rp25.000,00 per ekor ke pedagang pengumpul. Margin yang terjadi antara peternak dengan pedagang pengumpul adalah sebesar Rp56.250,00. Angka ini tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga jual peternak itu sendiri.

Di lain sisi, pedagang menjual kelincinya dengan harga Rp81.250,00 per ekor. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul daerah adalah sebesar Rp538,88 dengan rincian penyusutan sebesar Rp138,8 (0,24%), transportasi sebesar Rp250,00 (0,44%), serta marketing loss sebesar Rp150,00 (0,26%).


(33)

Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul adalah Rp55.711,12 (99,04%).

Nisbah margin keuntungan bagi peternak dan pedagang pengumpul daerah masing-masing adalah 5,88 dan 103,38. Artinya, tambahan pendapatan yang diperoleh peternak adalah sebesar 5,88 output untuk setiap tambahan satu unit input. Demikian juga untuk pedagang pengumpul. Tambahan pendapatan yang diperolehnya adalah 103,38 output untuk setiap tambahan satu unit input.

Pada saluran II, ada tiga lembaga yang terlibat dalam tataniaga kelinci. Hal ini menyebabkan jalur yang dilalui juga semakin panjang dan biaya yang dikeluarkan juga semakin besar. Dari hasil penelitian untuk saluran II diperoleh bahwa bahwa harga yang diterima peternak adalah sebesar Rp25.000,00 (33,33%). Biaya produksi rata-rata yang dikeluarkan adalah Rp3.637,43 dengan rincian biaya perawatan sebesar Rp1.000,00 (2%), biaya tenaga kerja sebesar Rp2.000,00 (4%), penyusutan sebesar Rp137,43 (0,27%), serta biaya marketing loss sebesar Rp500,00 (1%) .Dengan demikian, keuntungan yang diterima peternak adalah Rp21.362,57 per ekor kelinci.

Nilai price spread dan share margin untuk masing-masing lembaga tataniaga dalam saluran II dapat dilihat dalam Tabel 14.


(34)

Tabel 14. Rata-Rata Share Margin dan Price Spread Tataniaga Kelinci Pada Saluran II

No Uraian Price Spread

(Rp/ekor) Share (%) 1. Peternak

a. Harga jual peternak b. Total Biaya

- Perawatan - Tenaga kerja - Penyusutan - Marketing loss c. Margin keuntungan

d. Nisbah margin keuntungan

25.000 3.637,43 1.000 2.000 137,43 500 21.362,57 33,33 2 4 0,27 1 42,72 5,88 2. Pedagang Pengumpul Daerah

Sekaligus Peternak a. Harga beli b. Harga jual c. Total biaya :

- Perawatan - Penyusutan - Transportasi - Marketing loss d. Margin keuntungan

e. Nisbah margin keuntungan

25.000 50.000 13.907,91 1.000 157,91 250 12.500 11.092,09 2 0,31 0,5 25 22,10 0,79 2. Pedagang Pengecer Luar Daerah

a. Harga beli b. Harga jual c. Total biaya :

- Transportasi

d. Margin keuntungan

e. Nisbah margin keuntungan

50.000 75.000 60 60 24.940 0,12 49,88 415,66

3. Harga beli konsumen 75.000 100

Sumber : Diolah dari Lampiran 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, dan 14

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa selisih harga antara peternak dengan pedagang pengumpul adalah sebesar Rp25.000,00. Komponen biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul daerah sekaligus peternak adalah senilai Rp13.907,91 dengan rincian biaya perawatan sebesar Rp1.000,00 (2%), penyusutan sebesar Rp157,91 (0,31%), biaya transportasi sebesar Rp250,00 (0,5%), dan biaya marketing loss sebesar Rp12.500,00 (25%). Biaya marketing loss merupakan biaya tertinggi. Hal ini disebabkan oleh tanggung jawab yang


(35)

kemudian menjual kelincinya ke pedagang pengecer dengan harga Rp50.000,00 per ekor. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul daerah dalam saluran II yaitu hanya Rp11.092,09 (22,10%).

Sementara itu pedagang pengecer luar daerah membeli kelinci dari pedagang sebelumnya seharga Rp50.000,00 per ekor. Kemudian ia mengeluarkan biaya transportasi yang hanya sejumlah Rp60,00 (0,12%). Hal ini dikarenakan transportasi yang digunakan juga bersamaan dengan kendaraan pengangkut sayuran dan tidak terlalu memerlukan tempat khusus dalam pengangkutan. Pada saluran ini pedagang pengecer tidak menanggung biaya marketing loss. Dengan demikian, keuntungan yang diperolehnya adalah Rp24.940,00 (49,88%) per ekor kelinci.

Nisbah margin keuntungan untuk peternak adalah senilai 5,88. Sedangkan pedagang pengumpul daerah dan pedagang pengecer luar daerah masing-masing 0,79 dan 415,66. Artinya, keuntungan terbesar dari tataniaga kelinci pada saluran II terdapat pada pedagang pengecer luar daerah. Peternak menerima kenaikan output sebesar 5,88 unit setiap kenaikan satu unit input. Sedangkan untuk pedagang pengumpul daerah menerima kerugian sebesar 0,79 output untuk setiap kenaikan satu unit input dan pedagang penecer luar daerah menerima kenaikan 415,66 output untuk setiap kenaikan satu unit input.

Untuk saluran III, nilai price spread dan share margin masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat dapat dilihat dalam Tabel 15. Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa total nilai yang diperoleh peternak adalah Rp25.000,00 (31,25%). Biaya yang dikeluarkan peternak dalam saluran III adalah Rp3.637,43 yang terdiri dari komponen biaya perawatan sebesar Rp1.000,00 (1,81%), biaya tenaga kerja sebesar Rp2.000,00 (3,63%), penyusutan sebesar Rp137,43 (0,24%) serta biaya


(36)

marketing loss sebesar Rp500,00 (0,90%). Dengan demikian margin keuntungan yang diperoleh peternak adalah Rp21.362,57 per ekor kelinci.

Tabel 15. Rata-Rata Share Margin dan Price Spread Tataniaga Kelinci Pada Saluran III

No Uraian Price Spread

(Rp/ekor) Share (%) 1. Peternak

a. Harga jual peternak b. Total Biaya

- Perawatan - Tenaga kerja - Penyusutan - Marketing loss c. Margin keuntungan

d. Nisbah margin keuntungan

25.000 3.637,43 1.000 2.000 137,43 500 21.362,57 31,25 1,81 3,63 0,24 0,90 38,84 5,87 2. Pedagang Pengumpul Luar Daerah

a. Harga beli b. Harga jual c. Total biaya :

- Perawatan - Penyusutan - Transportasi - Marketing loss d. Margin keuntungan

e. Nisbah margin keuntungan

25.000 80.000 3.810,85 1.000 60,85 1.500 1250 51.189,15 1,81 0,11 2,72 2,27 93,07 13,43

3. Harga beli konsumen 80.000 100

Sumber : Diolah dari Lampiran 5, 6, 7, 8, 10, dan 13

Peternak menjual kelincinya seharga Rp25.000,00 per ekor ke pedagang pengumpul luar daerah. Sementara itu, pedagang pengumpul luar daerah menjual kelincinya seharga Rp80.000,00 per ekor. Sehingga, margin yang terdapat antara peternak dengan pedagang pengumpul luar daerah adalah sebesar Rp55.000,00 Komponen biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul luar daerah adalah Rp3.810,85 yang terdiri dari biaya perawatan sebesar Rp1.000 (1,81%), biaya penyusutan Rp60,85 (0,11%), biaya transportasi Rp1.500,00 (2,72%), serta biaya marketing loss sebesar Rp1.250,00 (2,27%). Biaya transportasi cukup besar dikarenakan jarak antara peternak dengan pedagang cukup jauh (Medan, Binjai, dan Pematangsiantar). Demikian juga dengan risiko dalam perjalanan cukup besar


(37)

yang tercerminkan oleh nilai marketing loss. Margin keuntungan yang diperoleh oleh pedagang pengumpul luar daerah adalah sebesar Rp51.189,15. Nilai ini cukup besar apabila dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh peternak yaitu hanya Rp21.362,57 per ekor.

Sementara itu, nisbah margin keuntungan untuk peternak adalah senilai 5,87. Sedangkan pedagang pengumpul luar daerah memperoleh nisbah margin keuntungan sebesar 13,43. Artinya, setiap kenaikan satu input maka peternak memperoleh kenaikan output sebesar 5,87 sedangkan pedagang pengumpul luar daerah dapat memperoleh kenaikan output sebesar 13,43.

Sementara itu untuk saluran IV terdapat peran pedagang pengumpul yang bertindak sebagai peternak. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa harga yang diterima peternak adalah sebesar Rp25.000,00 (38,46%). Total biaya yang dikeluarkan sejumlah Rp3.637,43 dengan rincian biaya perawatan sebesar Rp1.000,00 (1,53%), biaya tenaga kerja sebesar Rp2.000,00 (3,07%), biaya penyusutan Rp137,43 (0,21%), dan biaya marketing loss sebesar Rp500,00 (0,76%). Margin yang terdapat antara peternak dengan pedagang sekaligus pedagang pengumpul daerah adalah sebesar Rp10.000,00. Dalam hal ini, pedagang sekaligus peternak ini mengeluarkan biaya perawatan sebesar Rp1.000,00 (1,53%), biaya penyusutan sebesar Rp157,91 (0,24%), biaya transportasi sebesar Rp250,00 (0,38%), dan biaya marketing loss sebesar Rp150,00 (0,76%), sehingga total biaya yang dikeluarkannya adalah senilai Rp5.566,00. Share margin keuntungan bagi peternak sekaligus pedagang pengumpul adalah Rp8.092,09 (12,44%).

Nilai price spread dan share margin saluran IV dapat dilihat pada Tabel 16 berikut.


(38)

Tabel 16. Rata-Rata Share Margin dan Price Spread Tataniaga Kelinci Pada Saluran IV

No Uraian Price Spread

(Rp/ekor) Share (%) 1. Peternak

a. Harga jual peternak b. Total Biaya

- Perawatan - Tenaga kerja - Penyusutan - Marketing loss c. Margin keuntungan

d. Nisbah margin keuntungan

25.000 3.637,43 1.000 2.000 137,43 500 21.362,57 38,46 1,53 3,07 0,21 0,76 32,86 5,87 2. Pedagang Pengumpul Daerah

Sekaligus Peternak a. Harga beli b. Harga jual c. Total biaya :

- Perawatan - Penyusutan - Transportasi - Marketing loss d. Margin keuntungan

e. Nisbah margin keuntungan

25.000 35.000 1.907,91 1.000 157,91 250 500 8.092,09 1,53 0,24 0,38 0,76 12,44 4,24 3. Pedagang Pengumpul Luar Daerah

a. Harga beli b. Harga jual c. Total biaya :

- Perawatan - Penyusutan - Transportasi - Marketing loss d. Margin keuntungan

e. Nisbah margin keuntungan

35.000 90.000 3.810,85 1.000 60,85 1.500 1.250 51.189,15 1,53 0,09 2,30 1,92 78,75 13,43

3. Harga beli konsumen 90.000 100

Sumber : Diolah dari Lampiran 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, dan 13

Pedagang pengumpul luar daerah membeli kelinci dari peternak sekaligus pedagang pengumpul dengan harga Rp35.000,00 dan menjualnya kembali dengan harga Rp90.000,00. Total biaya biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp3.810,85, dengan rincian biaya perawatan sebesar Rp1.000,00 (1,53%), biaya penyusutan sebesar Rp60,85 (0,09%), transportasi sebesar Rp1.500,00 (2,30%)


(39)

dan marketing loss sebesar Rp1.250 (1,92%). Pedagang pengumpul luar daerah memperoleh keuntungan sebesar Rp51.189,15 (78,75%).

Nisbah margin keuntungan yang diperoleh peternak, peternak sekaligus pedagang pengumpul serta pedagang pengumpul luar daerah masing-masing adalah 5,87; 4,24; serta 13,43. Artinya, untuk setiap kenaikan satu unit input maka peternak memperoleh kenaikan 5,87 unit output. Sedangkan untuk peternak sekaligus pedagang pengumpul memperoleh kenaikan output sebesar 4,24 unit untuk setiap kenaikan satu unit input dan pedagang pengumpul luar daerah memperoleh kenaikan output sebesar 13,43 unit. Nisbah margin keuntungan terbesar pada saluran IV diperoleh oleh pedagang pengumpul luar daerah.

Dari perhitungan keempat saluran tataniaga di atas, rekapitulasi share margin dan margin keuntungan untuk setiap lembaga tataniaga dalam setiap saluran dapat dilihat dalam Tabel 17.

Tabel 17. Rekapitulasi Share Margin dan Margin Keuntungan Setiap Lembaga Tataniaga pada Setiap Saluran Tataniaga

Saluran Lembaga Tataniaga Share Margin (%)

Margin Keuntungan (Rp) I a.Peternak

b.Pedagang Pengumpul Daerah

37,98 99,04

21.362,57 55.711,12 II a.Peternak

b.Pedagang Pengumpul Daerah Sekaligus Peternak

c.Pedagang Pengecer Luar Daerah

42,72 22,10 49,88 21.362,57 11.092,09 24.940,00 III a.Peternak

b.Pedagang Pengumpul Luar Daerah

38,84 93,07

21.362,57 51.189,15 IV a.Peternak

b.Pedagang Pengumpul Sekaligus Peternak

c.Pedagang Pengumpul Luar Daerah

38,46 12,44 78,75 21.362,15 8.092,09 51.189,15 Sumber : Diolah dari Lampiran 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, dan 14

Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa share margin yang diperoleh peternak pada saluran I adalah 37,98% dengan keuntungan sebesar Rp21.362,57. Sementara itu, untuk saluran II, share margin yang diperoleh peternak adalah


(40)

42,72 dengan margin keuntungan sebesar Rp21.362,57. Pada saluran III, share margin yang diperoleh peternak sebesar 38,84% dan margin keuntungan sebesar Rp21.362,57. Untuk saluran IV, peternak memperoleh share margin sebesar 38,46% dengan perolehan margin keuntungan sebesar Rp21.362,57.

Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa untuk peternak, share margin terbesar yang diperoleh berada pada saluran II yaitu sebesar 42,72% dengan nilai margin keuntungan sebesar Rp21.362,57. Nilai share margin peternak yang berbeda-beda antar saluran disebabkan oleh banyak atau sedikitnya lembaga tataniaga yang terlibat. Dalam hal ini, semakin banyak lembaga tataniaga menyebabkan semakin kecil share margin bagi peternak. Hal ini disebabkan jika semakin banyak lembaga tataniaga terlibat maka harga akhir yang diterima konsumen semakin mahal dan mengakibatkan share margin yang diterima peternak semakin kecil.

Sementara itu, untuk pedagang pengumpul daerah baik yang bertindak sebagai peternak ataupun tidak memperoleh selisih keuntungan yang sangat berbeda antar saluran. Pada saluran I dapat dilihat bahwa pedagang pengumpul daerah yang bukan peternak memperoleh share margin sebesar 99,04% dengan margin keuntungan sebesar Rp55.711,12. Sementara itu pada saluran II, pedagang pengumpul daerah yang bertindak sekaligus peternak memperoleh share margin sebesar 22,10% dengan nilai margin keuntungan sebesar Rp11.092,09. Pada saluran IV, pedagang pengumpul yang bertindak sekaligus peternak memperoleh

share margin sebesar 12,44% dengan nilai margin keuntungan sebesar Rp8.092,09.

Dari perhitungan di atas dapat dilihat bahwa pedagang pengumpul daerah memperoleh keuntungan terbesar pada saluran I yaitu ketika pedagang pengumpul


(41)

hanya bertindak sebagai pedagang tanpa menjadi peternak. Begitu juga dengan nilai share marginnya. Pedagang pengumpul pada saluran I memperoleh 99,04% share margin. Hal ini dikarenakan untuk sekaligus menjadi peternak, pedagang pengumpul juga memerlukan biaya tambahan lain dibandingkan hanya dengan menjadi pedagang saja. Keuntungan yang diperoleh yaitu Rp55.711,12. Keuntungan ini sangat besar jika dibandingkan dengan keuntungan pedagang pengumpul yang bertindak sebagai peternak pada saluran II (Rp11.092,09) dan saluran IV (Rp8.092,09).

Pedagang pengecer luar daerah yang dalam hal ini hanya terdapat dalam saluran II memperoleh share keuntungan sebesar 49,88% dengan nilai margin keuntungan sebesar Rp24.940,00. Nilai margin keuntungan ini cukup besar jika dibandingkan dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran yang sama. Hal ini diakibatkan pedagang pengecer luar daerah tidak memerlukan biaya yang besar dikarenakan sifatnya hanya menjadi pengecer tanpa menanggung risiko yang terjadi.

Sementara itu untuk pedagang pengumpul luar daerah memiliki keuntungan yang sama yaitu sebesar Rp51.189,15 pada saluran III dan IV. Namun nilai share margin untuk pedagang ini berbeda. Pada saluran III nilai share margin yang diperoleh adalah sebesar 93,07% sedangkan saluran IV memperoleh 78,75%.Nilai perolehan margin keuntungan yang sama ini menunjukkan bahwa pedagang pengumpul luar daerah lebih leluasa dalam membeli kelinci baik dari peternak murni ataupun pedagang pengumpul daerah yang bertindak sebagai peternak (saluran III atau saluran IV). Kondisi ini diakibatkan baik saluran III maupun saluran IV memberikan kontribusi keuntungan yang sama bagi pedagang ini.


(42)

5.4 Efisiensi Tataniaga

Untuk menghitung nilai efisiensi tataniaga maka digunakan rumus perhitungan share margin peternak. Rumus untuk menghitung share margin peternak adalah dengan menghitung harga jual peternak dibagi dengan harga yang diterima konsumen. Nilai share margin peternak dapat dilihat dalam Tabel 18. Tabel 18. Nilai Share Margin Peternak pada Setiap Saluran Tataniaga

Kelinci di Kabupaten Karo Tahun 2013

Saluran Tataniaga Share Margin

Peternak (%) I

( Peternak - Pedagang Pengumpul Darah - Konsumen Daerah)

30,76 II

(Peternak - Pedagang Pengumpul Daerah - Pedagang Pengecer Luar Daerah - Konsumen Luar Daerah)

33,33 III

(Peternak - Pedagang Pengumpul Daerah - Pedagang Pengecer Luar Daerah - Konsumen Luar Daerah)

31,25 IV

(Peternak – Peternak Sekaligus Pedagang Pengumpul Daerah – Pedagang Pengumpul Luar Daerah – Konsumen Luar Daerah)

38,46

Sumber : Diolah dari Lampiran 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, dan 14

Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa tingkat efisiensi untuk semua saluran tataniaga kelinci di Kabupaten Karo adalah belum efisien. Hal ini ditunjukkan oleh nilai share margin yang diperoleh peternak di masing-masing saluran yang masih di bawah 50%. Ketidakefisienan ini terjadi karena perbedaan harga yang sangat besar antara konsumen dan produsen atau peternak pada setiap saluran tataniaga dimana harga yang dibeli konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan harga yang diterima peternak. Perbedaan harga ini dapat disebabkan oleh jumlah lembaga tataniaga yang terlibat. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka semakin besar perbedaan harga antara konsumen akhir dengan peternak.


(43)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Terdapat empat macam saluran tataniaga kelinci di daerah penelitian, yaitu : a. Saluran I

Peternak – Pedagang Pengumpul Daerah – Konsumen Daerah b. Saluran II

Peternak – Pedagang Pengumpul Daerah – Pedagang Pengecer Luar Daerah – Konsumen Luar Daerah

c. Saluran III

Peternak – Pedagang Pengumpul Luar Daerah – Konsumen Luar Daerah d. Saluran IV

Peternak – Peternak sekaligus Pedagang Pengumpul Daerah – Pedagang Pengumpul Luar Daerah – Konsumen Daerah

Sementara itu, lembaga yang terlibat adalah peternak, pedagang pengumpul daerah, peternak sekaligus pedagang pengumpul daerah, pedagang pengumpul luar daerah, dan pedagang pengecer luar daerah. Fungsi yang dilakukan peternak adalah pembelian, penjualan, perawatan, dan informasi pasar. Fungsi yang dilakukan oleh peternak sekaligus pedagang pengumpul daerah adalah pembelian, penjualan, transportasi, perawatan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi yang dilakukan oleh pedagang pengumpul luar daerah adalah pembelian, penjualan, transportasi, perawatan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi yang dilakukan oleh pedagang pengecer luar daerah adalah pembelian, penjualan, transportasi, dan informasi pasar.


(44)

2. Share margin peternak dalam saluran I adalah 30,77%, saluran II adalah 33,33%, saluran III adalah 31,25%, dan saluran IV adalah 22,78%. Share margin pedagang pengumpul daerah pada saluran I adalah 100%. Share margin pedagang pengumpul yang bertindak sebagai peternak pada saluran I adalah 66,7%, saluran IV adalah 38,89%. Share margin pedagang pengecer luar daerah pada saluran III adalah 100% dan saluran IV adalah 100%. Sementara itu, share margin pedagang pengecer luar daerah pada saluran II adalah 100%.

3. Tingkat efisiensi tataniaga kelinci di daerah penelitian adalah belum efisien (share margin peternak <50%).

6.2 Saran

1. Dalam melaksanakan kegiatan tataniaga, peternak murni hendaknya tidak hanya menggunakan satu saluran tataniaga saja sehingga konsumen menjadi lebih banyak dan efisiensi menjadi lebih tinggi.

2. Untuk memperkuat bargaining position peternak, hendaknya peternak membuat sebuah kerjasama yang bermitra dengan pengusaha dalam membuat kelompok peternak sehingga supply dan demand kelinci dapat terjaga.


(45)

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,

KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

- Budidaya Kelinci

Kelinci adalah hewan mamalia dari famili ditemukan di banyak bagian bumi. Dulunya, hewan ini adalah hewan liar yang hidup di pelosok benua baru, kelinci pun turut menyebar ke Amerika, Australia, dan Asia. Asal kata kelinci berasal dari bahasa kelinci". Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nusantara mulai mengenali kelinci saat masa kolonial

Awal mula perkembangan ternak kelinci tidak pernah diketahui secara pasti. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta (2007) mencatat keberadaan kelinci di Indonesia terutama di Jawa pada awalnya dibawa oleh orang-orang Belanda sekitar tahun 1835 sebagai kelinci hias. Informasi selanjutnya diketahui bahwa sejak tahun 1980 pemerintah mulai menggalakkan pemeliharaan kelinci untuk diambil dagignya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.

Kelinci asli yang ada di Indonesia adalah Nesolagus netscheri (kelinci Kerinci) yang berasal dari Sumatera (Massicot, 2005). Sementara itu, ternak kelinci yang telah cukup lama dikenal oleh peternak dan telah beradaptasi dengan lingkungan tropis Indonesia adalah kelinci-kelinci impor dari berbagai negara di Eropa dan Amerika. Senada dengan itu, Yulianto (2012) menyatakan bahwa kelinci lokal yang ada sebenarnya berasal dari Eropa yang telah bercampur


(46)

dengan jenis lain hingga sulit dikenali. Adaptasi di daerah tropis menyebabkan perubahan kinerja biologis pada ternak-ternak tersebut yang sangat berbeda dengan kinerja rumpun murni di negara asalnya (Raharjo et al., 2004).

Kelinci mempunyai potensi yang besar sebagai penghasil daging. Seekor kelinci dengan bobot hidup dua kilogram dapat menghasilkan karkas seberat 900 gram. Daging kelinci mempunyai kemiripan dengan daging ayam yaitu warna putih pucat. Daging kelinci mempunyai berbagai kelebihan dibanding jenis daging lainnya, antara lain kadar kolesterolnya terendah kedua setelah daging kalkun, kadar garam dan lemak jenuh rendah, sedangkan kadar proteinnya tinggi. Kadar kolesterol daging kelinci hanya 50 mg/kg, sedangkan domba 320 mg/kg, dan kadar proteinnya berturut-turut adalah 20,8 dan 13,7% (Rahadjo et al. 1984).

Pemanfaatan hasil olahan kelinci dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pemanfaatan Hasil Olahan Kelinci

Kendala dalam pengembangan peternakan kelinci diantaranya adalah kurang tersedianya bibit bermutu, mortalitas tinggi, pakan mahal pada skala komersial, terbatasnya teknologi, kurang sosialisasi dan promosi peranan kelinci,

Ternak

Kesayangan Kotoran

Kulit bulu

Pupuk Bahan

Bahan Daging

Nugget Sosis Burger Dendeng Baso Sate

Mantel Jaket Hiasan Souvenir


(47)

harga daging mahal, faktor kebiasaan makan (1998) juga mengatakan kendala lain yang terdeteksi adalah adanya pengaruh kejiwaan “tidak tega” apabila manusia hendak memakan daging kelinci.

2.2 Landasan Teori

Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Tataniaga Pertanian. Pada dasarnya tataniaga adalah penciptaan nilai tambah dari suatu produk yang mengalir dari produsen hingga ke konsumen akhir. Kegiatan ini bersifat dinamis karena menyangkut semua persiapan, perencanaan, dan penelitian dari segala sesuatu yang bersangkut paut dengan perpindahan, peralihan milik atas suatu barang atau jasa (Sihombing, 2011).

Menurut Radiosunu (1995) dalam Manik (2007) bahwa sistem tataniaga adalah kumpulan lembaga-lembaga yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan pemasaran barang dan jasa, yang saling mempengaruhi dengan tujuan mengalokasikan sumber daya langka secara efisien guna memenuhi kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya. Komponen-komponen sistem tataniaga tersebut antara lain adalah para produsen, penyalur, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam proses pertukaran barang dan jasa.

Menurut Hanafiah et al. (1986) dalam mempelajari sistem tataniaga, ada tiga pendekatan yang dipergunakan secara umum, yaitu :

1. Pendekatan serba barang 2. Pendekatan serba lembaga 3. Pendekatan serba fungsi

Pendekatan serba barang berawal dari penelitian akan barang-barang yang mudah dikenal. Hal ini berarti pendekatan serba barang memerlukan deskripsi


(48)

barang-barang dan kegiatan-kegiatan yang panjang lebar serta juga meliputi kegiatan yang berulang kali. Sementara itu, pendekatan serba lembaga berusaha melakukan penelaahan atas berbagai kelembagaan yang membantu atau bergerak

dalam melancarkan penyampaian barang ke pasar atau para konsumen (Kartasapoetra, 1986).

Pendekatan serba fungsi bertitik tolak dari pembahasan bahwa setiap fungsi yang diperankan oleh masing-masing lembaga tataniaga yang berperan dalam proses penyampaian barang-barang dan jasa-jasa dari sektor produsen ke sektor konsumen (Sihombing, 2011).

Keberhasilan tataniaga didukung oleh keberhasilan fungsi dari saluran tataniaga (channel of marketing). Fungsi ini berperan dalam penyaluran barang dari produsen ke konsumen. Philips dan Duncan dalam Sihombing (2011) mendeskripsikan fungsi tataniaga dalam tiga kelompok besar, yaitu fungsi pertukaran, fungsi pengadaan/penyediaan secara fisik, serta fungsi pelancar atau pemberian jasa.

Marketing pemasaran terdiri dari biaya-biaya untuk melakukan fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga-lembaga pemasaran. Setiap lembaga pemasaran biasanya melaksanakan fungsi-fungsinya yang berbeda sehingga share margin diperoleh pada masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat akan berbeda (Sudiyono, 2004). Marketing margin terdiri dari berbagai macam ongkos-ongkos dalam menyalurkan barang dari produsen ke konsumen. Marketing margin sama dengan ongkos tataniaga (marketing cost) dan sama artinya dengan price spread dan marketing charge.


(49)

- Saluran dan Lembaga Tataniaga

Penyampaian barang dari produsen hingga konsumen akhir memerlukan sebuah saluran atau rantai tataniaga. Penyampaian ini dipengaruhi oleh jarak antara konsumen dan produsen. Semakin jauh jaraknya, pada umumnya semakin banyak pelaku tataniaga yang terlibat. Pada umumnya, jarak fisik produksi dan konsumsi hasil pertanian cukup jauh karena usaha tani berada di pedesaan yang memerlukan areal yang cukup luas. Oleh karena itu, jarak harus diantisipasi oleh sektor distribusi agar barang dan jasa dapat sampai di tangan konsumen. Di sektor distribusi inilah tataniaga berperan dan bertanggung jawab memindahkan, mengalokasikan, mendayagunakan, menganekaragamkan barang yang dihasilkan di sektor produksi (Sihombing 2011).

Bentuk saluran tataniaga (marketing channel) hasil pertanian dapat bervariasi menurut komoditinya. Walters (1977) dalam Sihombing (2011) mengartikan saluran tataniaga adalah sejumlah pedagang perantara serta agen-agen badan usaha yang menggabungkan pemindahan barang dan nama dari sebuah produk untuik menciptakan nilai guna bagi pasar tertentu.

Kotler (2001) mengatakan bahwa saluran tataniaga terdiri dari serangkaian lembaga tataniaga atau perantara yang akan memperlancar kegiatan tataniaga dari tingkat produsen sampai ke tingkat konsumen. Lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran terdiri dari tengkulak, pedagang pengumpul, pedagang besar, agen penjualan, dan pengecer. Menurut Soekartawi (1991), perananan lembaga tataniaga yang terdiri dari produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, eksportir, importir menjadi amat penting. Lembaga tataniaga ini khususnya bagi negara berkembang yang dicirikan dengan lemahnya pemasaran hasil pertanian akan menentukan mekanisme pasar.


(50)

Stanton (1993) dalam Sudiyono (2004) menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah badan atau usaha atau individu yang menyelenggarakan tataniaga, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Tengkulak, lembaga pemasaran yang secara langsung berhubungan dengan petani.

2. Pedagang pengumpul, lembaga yang membeli komoditi dari tengkulak. 3. Pedagang besar, lembaga yang melakukan proses konsentrasi (pengumpulan)

komoditi dari pedagang-pedagang pengumpul, melakukan distribusi ke agen penjualan atau pengecer.

4. Agen penjualan lembaga yang membeli komoditi yang dimiliki pedagang dalam jumlah banyak dengan harga relatif murah dibanding pengecer.

5. Pengecer, lembaga yang berhadapan langsung dengan konsumen.

Lembaga tataniaga melaksanakan tugasnya dengan memanfaatkan saluran tataniaga. Panjang pendeknya saluran tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Soekartawi (1999) faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Jarak antara produsen dan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya semakin panjang saluran yang ditempuh oleh produk. 2. Cepat tidaknya produk rusak atau perishable goods. Produk yang cepat atau

mudah rusak harus segera diterima konsumen dengan demikian menghendaki saluran yang pendek dan cepat.


(51)

4. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga.

5. Barang pertanian yang umumnya bersifat seasonal products atau produk musiman.

6. Barang pertanian bersifat lokal dan spesifik, yaitu tidak dapat diproduksi di semua tempat.

Secara umum lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran ternak kelinci dan salurannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Lembaga Tataniaga yang Terlibat dalam Pemasaran Kelinci Menurut Wibowo et al. (2011) pemasaran ternak kelinci terdiri dari dua tingkat, yaitu :

1. Pemasaran di tingkat produsen; transaksi antara peternak dengan pedagang, pedagang melakukan pembelian kelinci kepada produsen (peternak), ternak yang diperjualbelikan adalah ternak bibit, siap potong maupun kelinci dewasa. Transaksi yang terjadi pada produsen selain pedagang adalah juga terdapat peternak dimana tujuannya adalah membeli ternak untuk dikembangkan lebih lanjut.

Peternak Pedagang

Konsumen Luar Daerah

Peternak Konsumen


(52)

2. Pemasaran di tingkat pedagang; transaksi antara pedagang dengan konsumen akhir (lokal maupun luar daerah), transaksi seperti ini dilakukan di tempat tertentu (pasar umum, maupun pasar hewan, dan tempat pariwisata daerah).

Produk ternak kelinci yang dapat dipasarkan adalah dalam bentuk hidup, bentuk produk segar maupun produk olahan. Transaksi jual-beli kelinci hidup antara produsen dan konsumen dapat berlangsung di lokasi produsen maupun di pasar (pasar umum, pasar hewan, bahkan tempat rekreasi). Ternak yang diperjual-belikan mulai dari status lepas sapih hingga ternak siap kawin.

- Fungsi-Fungsi Tataniaga

Tataniaga merupakan suatu proses pertukaran yang mencakup serangkaian kegiatan yang tertuju untuk memindahkan barang-barang atau jasa-jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi. Kegiatan-kegiatan ini disebut fungsi tataniaga. Fungsi

tataniaga ini bekerja melalui lembaga tataniaga atau struktur tataniaga (Hanafiah et al. 1986).

Menurut Kohls et al. (1990), fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama, yaitu :

1. Fungsi Pertukaran, meliputi :

a) Fungsi Pembelian ; Sebagian besar adalah pencarian sumber persediaan bahan baku, perakitan produk serta segala aktivitas yang berhubungan dengan pembelian.

b) Fungsi Penjualan Produk ; Segala sesuatu yang berhubungan dengan penjualan termasuk pengiklanan dan penciptaan terhadap permintaan produk .

2. Fungsi Fisik, meliputi :

a) Fungsi Penyimpanan ; Fokus utama pada membuat kondisi barang tetap baik sampai waktu yang diinginkan.


(53)

b) Fungsi Pengangkutan ; Fokus utama pada menjadikan barang berada pada tempat yang tepat.

c) Fungsi Pengolahan Produk ; Segala sesuatu yang berhubungan pada aktivitas manufaktur yang mengubah bahan mentah menjadi produk yang diinginkan. d) Fungsi Fasilitas : Berperan dalam memudahkan terjadinya fungsi pertukaran

dan fungsi fisik.

e) Fungsi Standarisasi ; Keseragaman dalam penentuan dan perawatan produk. Ukuran termasuk dalam kuantitas maupun kualitas.

3. Fungsi Pelancar, meliputi :

a) Fungsi Permodalan ; Melibatkan penggunaan uang untuk melakukan berbagai aspek dalam tataniaga.

b) Fungsi Penanggung Risiko ; Penerimaan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam pemasaran produk.

c) Fungsi Informasi Pasar ; Pekerjaan dalam mengumpulkan, menginterpretasikan, dan memilah variasi data penting dalam pelaksanaan proses pemasaran.

- Efisiensi Tataniaga

Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl et al. (1977) bahwa efisiensi operasional menunjukkan biaya minimun yang dapat dicapai dalam pelaskanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan dan pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik serta fasilitas. Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui margin tataniaga, share petani, rasio keuntungan, dan keuntungan tataniaga.


(54)

Efisiensi tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan kepada pihak-pihak yang terlibat yaitu produsen, konsumen akhir, dan lembaga-lembaga pemasaran. Menurut Mubyarto (1980) dalam Sihombing (2011) syarat-syarat tataniaga yang efisien adalah (1) mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan (2) mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut.

- Margin Tataniaga

Menurut Daly (1958) dalam Sihombing (2011) bahwa margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Sementara itu, Kohls et al. (1990) menyatakan bahwa margin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga.

Secara grafis, pernyataan Kohls et al. (1990) dapat digambarkan pada Gambar 3.Perpotongan antara kurva permintaan tingkat petani (Df) dengan kurva penawaran tingkat petani (Sf) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat petani, yaitu harga pada tingkat Pf. Hal ini berarti bahwa harga tersebut (Pf) merupakan harga riil yang diterima petani. Perpotongan antara kurva permintaan tingkat pengecer (Dr) dengan kurva penawaran tingkat pengecer (Sr)


(55)

pada tingkat Pr. Sehingga harga yang terbentuk (Pr) merupakan harga riil yang harus dibayarkan konsumen akhir untuk memperoleh produk tersebut.

Gambar 3. Proses Terciptanya Margin Tataniaga

Keterangan :

Pf : Harga di tingkat produsen Pr : Harga di Tingkat konsumen Df : Kurva permintaan produsen Dr : Kurva permintaan konsumen Sf : Kurva penawaran produsen Sr : Kurva penawaran konsumen

Q : Jumlah keseimbangan di tingkat produsen dan konsumen (Pr-Pf) : Margin tataniaga

Pr Pf

Sr Sf

Dr Df Q

Rp/Unit


(56)

2.3 Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang dilakukan oleh Hasanah (2000) dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Sapi Potong di Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang, Madura” menunjukkan bahwa terdapat empat saluran pemasaran sapi potong dengan farmer’s share terbesar terdapat pada saluran peternak → pedagang pengumpul desa → pedagang besar → pasar hewan Madura. Nilai dari farmer’s share pada penelitian ini adalah sebesar 86,01%. Artinya, keuntungan yang diperoleh peternak sebesar 86,01% dari total keuntungan seluruh lembaga pemasaran yang ada dalam saluran.

Selain itu penelitian mengenai tataniaga juga telah dilakukan oleh Ode (2012) dengan judul “Analisis Tataniaga Kelinci pada Kampoeng Kelinci Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya, Kabupaten Bogor”. Penelitian ini menunjukkan bahwa saluran tataniaga kelinci di daerah penelitian terbagi menjadi tiga, yaitu (1) saluran tataniaga kelinci jenis hias lokal dengan lima saluran tataniaga, (2) saluran tataniaga kelinci hias luar dengan tiga saluran tataniaga, dan (3) saluran tataniaga kelinci pedaging dengan tiga saluran tataniaga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa farmer’s share tertinggi terdapat pada tataniaga kelinci hias luar. Sedangkan efisiensi tataniaga terdapat pada saluran kelinci hias lokal.

Penelitian selanjutnya mengenai analisis kelembagaan pemasaran dan margin tataniaga ternak domba dilakukan oleh Elieser (2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa margin tataniaga ternak domba paling tinggi diperoleh eksportir sebesar Rp168.528,00/ekor domba potong kemudian koperasi (keuntungan/ekor domba potong Rp44.000,00; domba bibit Rp25.000,00 dan domba kurban Rp50.000,00); pedagang daging keuntungan Rp27.700,00/ekor


(57)

domba yang dipotong dan paling kecil diperoleh peternak/blantik (keuntungan/ekor domba potong Rp10.900,00 ; domba bibit Rp20.500,00 dan domba kurban Rp50.000,00).

Sementara itu menurut Priyanti et. al (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Ekonomi dan Tataniaga Usahaternak Kerbau” menyebutkan bahwa tataniaga usahaternak kerbau masih sangat panjang sehingga terjadi pembagian margin yang tidak merata. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh tidak transparannya informasi pasar.

2.4 Kerangka Pemikiran

Saluran tataniaga pada dasarnya berfungsi untuk menciptakan efisiensi dalam penyaluran barang sampai ke tangan konsumen. Ketika saluran ini baik maka tingkat efisiensinya juga tinggi. Akibatnya barang juga dapat diterima konsumen dengan harga yang pantas dan tercapai pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut.

Kelinci merupakan hewan peternakan yang dapat dimanfaatkan sebagai hewan hias ataupun bahan konsumsi daging. Dalam jalur tataniaganya, kelinci dipasok dari peternak dan dikembangbiakkan oleh peternak juga. Setelah berumur cukup maka peternak menjual kelincinya ke pedagang. Selanjutnya pedagang memasarkan kelincinya ke konsumen akhir. Kegiatan tataniaga kelinci disertai dengan berbagai fungsi tataniaga seperti fungsi pembelian, pengangkutan, penjualan, penyimpanan, marketing loss, serta informasi pasar.

Dari alur tataniaga tersebut, masing-masing lembaga melakukan fungsinya yang mengakibatkan timbulnya biaya pemasaran (cost of marketing). Biaya pemasaran ini dapat mempengaruhi harga akhir konsumen dan pembagian


(58)

keuntungan (share margin) yang diterima oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Selanjutnya, dari nilai share margin tersebut dihitung seberapa besar nilai efisiensi tataniaga yang tercipta. Secara sistematis, kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan :

: proses

Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Peternak

Pedagang

Konsumen Akhir

Fungsi Tataniaga • Pembelian • Penjualan • Pengangkutan • Penyimpanan

(Perawatan) • Marketing Loss • Informasi Pasar

Share Margin

Tidak Efisien Efisiensi


(59)

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarakan latar belakang dan landasan teori yang dibuat maka diajukan hipotesis sebagai berikut yaitu efisiensi tataniaga kelinci di daerah penelitian adalah efisien dengan share margin peternak lebih besar dari 50%.


(60)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk perkotaan, pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang perlunya makanan yang berkualitas dan bergizi serta adanya dukungan membaiknya pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain peternakan belum mampu menyediakan produk daging dan susu untuk memenuhi permintaan konsumen dan

industri, sehingga berakibat ketergantungan terhadap impor yang semakin besar (Hutasuhut, 2010).

Selain terjadinya peningkatan jumlah penduduk, faktor meningkatnya pendapatan perkapita serta semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi juga menyebabkan tingginya permintaan konsumsi di semua pelosok daerah di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran mayarakat akan perlunya pemenuhan gizi semakin meningkat pula. Pangan hewani (daging, telur dan susu) mutlak diperlukan tubuh karena protein yang terkandung dalamnya memiliki asam amino esensial dan tidak dapat digantikan sumber lain karena berfungsi membangun struktur pertumbuhan, bio katalisator, buffer dalam cairan tubuh, penyangga penyakit/racun, sumber hormon dan energi. Sehingga penyediaannya dianggap sebagai agent of development bagi pembangunan bangsa baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang. Untuk itu pemerintah telah menetapkan pangan hewani sebagai salah satu unsur sembilan bahan pokok (sembako) yang

berarti produk peternakan menjadi komponen penting bagi kehidupan masyarakat (Hutasuhut, 2010).


(1)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN .. 8

2.1 Tinjauan Pustaka ... 8

Budidaya Kelinci ... 8

2.2 Landasan Teori ... 18

Saluran dan Lembaga Tataniaga ... 10

Fungsi-Fungsi Tataniaga ... 13

Efisiensi Tataniaga ... 14

Margin Tataniaga ... 15

2.3 Penelitian Sebelumnya ... 17

2.4 Kerangka Pemikiran ... 20

2.5 Hipotesis Penelitian ... 22

III. METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 23

3.2 Metode Pengambilan Sampel ... 24

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 24

3.4 Metode Analisis Data ... 25

3.5 Definisi dan Batasan Operasional ... 27

Definisi ... 27

Batasan Operasional ... 28

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL ... 29

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 29

4.2 Keadaan Penduduk ... 29

4.3 Sarana dan Prasarana ... 30

4.4 Karakteristik Sampel ... 31

Peternak Sampel ... 31

Peternak Murni ... 32 v


(2)

Peternak Sekaligus Pedagang Pengumpul ... 33

Pedagang Sampel ... 33

Pedagang Pengumpul ... 33

Pedagang Pengecer Luar Daerah ... 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

5.1 Saluran Tataniaga ... 36

5.2 Fungsi-Fungsi Tataniaga Lembaga Pemasaran ... 40

5.3 Share Margin Lembaga Tataniaga ... 43

5.4 Efisiensi Tataniaga ... 53

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

6.1 Kesimpulan ... 55

6.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(3)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Populasi Kelinci Tahun 2009-2011 ... 4

2. Populasi Ternak Kelinci di Kabupaten karo (ekor) 2011 ... 5

3. Populasi Ternak Menurut Kecamatan (ekor) di Kabupaten Karo 2011 ... 22

4. Metode Pengumpulan Data ... 25

5. Populasi Peternak dan Ternak di Kecamatan Berastagi 2011 ... 23

6. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan Berastagi Tahun 2011 ... 29

7. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011 ... 30

8. Sarana dan Prasarana di Kecamatan Berastagi Tahun 2011 ... 31

9. Karakteristik Peternak Sekaligus Pedagang Pengumpul ... 35

10. Karakteristik Pedagang Pengumpul di Daerah ... 34

11. Karakteristik Pedagang Pengumpul di Luar Daerah ... 34

12. Fungsi-Fungsi Tataniaga yang Dilakukan Setiap Lembaga Tataniaga .. 41

13. Rata-Rata Share Margin dan Price Spread Tataniaga Kelinci Pada Saluran I ... 44

14. Rata-Rata Share Margin dan Price Spread Tataniaga Kelinci Pada Saluran II ... 46

15. Rata-Rata Share Margin dan Price Spread Tataniaga Kelinci Pada Saluran III ... 48

16. Rata-Rata Share Margin dan Price Spread Tataniaga Kelinci Pada Saluran IV ... 50

17. Rekapitulasi Share Margin dan Margin Keuntungan Setiap Lembaga Tataniaga pada Setiap Saluran Tataniaga ... 51

vii


(4)

18. Nilai Share Margin Peternak pada Setiap Saluran Tataniaga


(5)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Pemanfaatan Hasil Olahan ... 9

2. Lembaga Tataniaga yang Terlibat dalam Pemasaran Kelinci ... 12

3. Proses Terjadinya Margin dan Nilai Margin Tataniaga ... 16

4. Skema Kerangka Pemikiran ... 21

5. Skema Saluran Tataniaga Kelinci di Daerah Penelitian ... 37

6. Skema Saluran I Tataniaga Kelinci ... 38

7. Skema Saluran II Tataniaga Kelinci ... 38

8. Skema Saluran III Tataniaga Kelinci ... 39

9. Skema Saluran IV Tataniaga Kelinci ... 40


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Karakteristik Peternak ... 60

2. Karakteristik Pedagang Pengumpul Daerah ... 60

3. Karakteristik Pedagang Pengumpul Luar Daerah ... 60

4. Karakteristik Pedagang Pengecer Luar Daerah ... 61

5. Biaya Usataternak Peternak ... 61

6. Biaya Usahaternak Pedagang Pengumpul Daerah ... 61

7. Curahan dan Biaya Tenaga Kerja Peternak ... 62

8. Biaya Penyusutan Peternak ... 62

9. Biaya Penyusutan Pedagang Pengumpul Sekaligu Peternak ... 63

10. Volume Penjualan Kelinci di Tingkat Peternak ... 63

11. Fungsi-Fungsi Tataniaga Lembaga Pemasaran ... 64

12. Volume Penjualan Kelinci di Tingkat Pedagang Pengumpul Daerah . 65 13. Volume Penjualan Kelinci di Tingkat Pedagang Pengumpul Luar Daerah... 66

14. Volume Penjualan Kelinci di Tingkat Pedagang Pengecer Luar Daerah... 66