Analisis Tataniaga Kelinci pada Kampoeng Kelinci Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor

(1)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian, dimana sektor pertanian memiliki peran strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat atas bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Keberhasilan pembangunan tersebut ternyata berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat yang semula lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat kearah konsumsi seperti daging, telur dan susu.

Perubahan pola konsumsi yang menyertai peningkatan jumlah penduduk Indonesia ini, merupakan penyebab utama terjadinya peningkatan produk peternakan dalam negeri. Menurut Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, nilai PDB subsektor peternakan meningkat sebesar 1,2 triliun dimana pada tahun 2008 PDB subsektor peternakan yaitu sebesar 35,4 triliun dari tahun 2007 yaitu 34,2 triliun (angka tetap). Peningkatan nilai PDB juga meningkatkan konsumsi produk yang dihasilkan oleh subsektor pertanian diantaranya daging, susu dan telur.

Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Protein Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Makanan Tahun 2005-2009 (gram/kapita/hari)

No Kelompok Bahan Makanan

2005 2006 2007 2008 2009

1 Beras 23.42 23.33 22.43 22.75 22.06

2 Makanan Jadi 6.24 5.83 7.33 8.36 8.10

3 Ikan 7.92 7.49 7.77 7.94 7.28

4 Kacang-kacangan 5.78 5.88 6.51 5.49 5.19

5 Telur dan Susu 2.56 2.51 3.23 3.05 2.96

6 Sayuran 2.64 2.66 3.02 3.01 2.58

7 Daging 2.47 1.95 2.62 2.40 2.22

Jumlah 55.29 53.66 57.66 57.49 54.34

Sumber : Statistik Peternakan 2011, Direktorat Jendral Peternakan

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata konsumsi protein dari daging penduduk Indonesia dalam periode tahun 2005-2009 berada pada posisi ketujuh atau terakhir dibawah dari kacang-kacangan, telur dan susu, dan sayuran. Tingkat konsumsi protein daging penduduk Indonesia rata-rata dari tahun 2005-2009 yaitu berkisar antara 2,3 – 2,4 gram per kapita per hari yang berarti masih dibawah


(2)

norma gizi yang dianjurkan yaitu sekitar 6 gram per kapita per hari untuk konsumsi protein hewani (Ditjennak, 2012).

Daging adalah salah satu bahan pangan asal ternak sumber protein hewani yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia, karena bahan pangan ini secara biokhemis serupa dengan manusia, terutama asam amino essensialnya, sehingga daging dapat digunakan sebagai makanan tunggal, disamping itu kaya akan vitamin B kompleks dan mineral besi yang sangat diperlukan oleh tubuh.

Meskipun masyarakat mengetahui nilai gizi yang dikandung daging, tetapi hanya mereka yang mampu saja dapat mengkonsumsi daging, karena dibandingkan dengan bahan pangan sumber protein hewani lainnya yaitu ikan, susu dan telur maka daging menduduki peringkat teratas dalam nilai jualnya. Harga daging sapi per kilogram Rp 65.000, harga ikan per kilogram Rp 25.000 dan harga telur Rp 18.000 per kilogram1).

Daging dari ternak unggas dapat diandalkan sebagai penyedia daging, karena mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi dengan tingkat pertumbuhan yang cepat, tetapi membutuhkan pakan yang berkompetisi dengan manusia sehingga perlu dicari jenis ternak lain yang mempunyai potensi biologis tinggi sebagai penghasil daging dengan pemeliharaan yang mudah dan murah. Ternak yang masuk ke dalam kategori ini antara lain Kelinci.

Menurut Ryan Masanto dan Ali Agus, kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi yaitu kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran yang pendek, prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak membutuhkan lahan yang luas. Keuntungan lainnya yaitu pertumbuhan yang cepat, sehingga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersial.

Selain sebagai penghasil daging, kelinci juga merupakan hewan hias yang sangat potensial seperti penghasil bulu, fur (kulit dan bulu) atau sebagai ternak hias. Menurut informasi dari Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP) Ciawi, Bogor, pasar komoditas kelinci semakin meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena kritik yang dikatakan oleh para pencinta alam dan lingkungan seperti Greenpeace, terhadap perburuan dan pembantaian satwa liar.

1)


(3)

Menurut Ryan Masanto dan Ali Agus (2010) tujuan pemeliharaan kelinci di Indonesia cukup beragam, mulai dari sebagai kelinci hias, kelinci penghasil bulu dan kelinci penghasil daging. Kelinci hias adalah jenis kelinci yang dipelihara sebagai hewan kesayangan (pet) yang didasarkan pada bentuk dan ukuran tubuh kecil, lucu serta berbulu indah, tebal dan lembut. Bangsa kelinci hias antara lain angora, lops, yersey woolies, lions, fuzzy dan mini rex.

Tujuan pemeliharaan kelinci kedua adalah penghasil kulit dan bulu. Kriteria kelinci ini adalah memiliki bulu-bulu yang eksotis dan indah, menarik serta bernilai tinggi sehingga potensial untuk diekspor dengan mutu kualitas fisik kulit yang tinggi. Kulit dan bulu ini umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan interior mobil, boneka, tas dan jaket. Contoh kelinci penghasil kulit bulu adalah Rex dan Satin. Sementara kelinci pedaging memiliki kriteria persentase karkas 50-60 persen, bobot badan mencapai 2 kilogram pada umur 8 minggu dan memiliki laju pertumbuhan tinggi, sekitar 40 gram per ekor per hari.

Jawa Barat merupakan provinsi ketiga populasi kelinci terbesar di Indonesia dengan jumlah populasi yaitu pada tahun 2011 mencapai 121.909 ekor. Populasi kelinci terbesar terdapat pada provinsi Jawa Tengah yaitu 346.348 ekor kemudian provinsi Lampung yaitu 301.932 ekor kelinci. Hal ini terlihat bahwa populasi kelinci di Jawa Barat cukup banyak (Ditjennak, 2011).

Kelinci merupakan salah satu komoditas hias dan pangan penghasil daging yang mulai dikembangkan di wilayah Bogor. Di wilayah Bogor tingkat pertumbuhan kelinci dari tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat sebesar 97,4 persen, kemudian dari tahun 2008 ke tahun 2009 tingkat pertumbuhan kelinci sebesar 24,7 persen, pada tahun 2009 ke tahun 2010 tingkat pertumbuhan kelinci sebesar 78,8 persen, kemudian pada tahun 2010 ke tahun 2011 tingkat pertumbuhan kelinci sebesar 49,6 persen hal ini terlihat pada Tabel 2.


(4)

Tabel 2. Tingkat Pertumbuhan Kelinci Di Kabupaten Bogor

No Tahun Jumlah (Ekor)

1 2007 5.756

2 2008 11.362

3 2009 14.165

4 2010 25.324

5 2011 37.892

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Tingginya tingkat pertumbuhan kelinci dikarenakan pemerintah Bogor mulai gencar menggalakan pengembangan ternak kelinci, salah satunya adalah pembentukan Kampoeng Kelinci yang bertempat di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa populasi kelinci tertinggi pada Kabupaten Bogor terdapat pada Kecamatan Tenjo Laya, hal ini karena kecamatan Tenjo Laya di programkan oleh pemerintah sebagai sentra penghasil kelinci di Bogor.

Tabel 3. Populasi Kelinci Di Kabupaten Bogor per Kecamatan

No Kecamatan Populasi (Ekor)

1 Tenjolaya 9.551

2 Pamijahan 8.026

3 Cibungbulang 3.241

4 Megamendung 2.980

5 Cisarua 2.845

6 Tamansari 1.476

7 Ciawi 1.241

8 Dramaga 1.196

9 Leuwiliang 1.190

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Desa Gunung Mulya adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor. Pada tanggal 24 bulan Sepetember Tahun 2011, Desa Gunung Mulya ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Direktur Budidaya Ternak dan Kesehatan Hewan Departemen Pertanian Republik Indonesia sebagai Kampoeng Kelinci. Penetapan Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya sebagai Kampoeng Kelinci oleh Ditjennak RI karena desa ini telah memenuhi beberapa persyaratan yang sudah ditetapkan oleh diantaranya memiliki jumlah peternak kelinci 40 persen (jika budidaya dalam musim normal), memiliki potensi untuk dikembangkan, bukan daerah endemik penyakit serta Desa Gunung Mulya


(5)

sudah membudidayakan dan memasarkan kelinci sejak Tahun 1990-an sampai sekarang (Ditjennak, 2012). Masyarakat Desa Gunung Mulya sudah membudidayakan kelinci secara turun-temurun mulai dari kelinci jenis hias dan kelinci pedaging. Jenis kelinci hias yaitu kelinci hias jenis lokal dan luar serta kelinci jenis pedaging.

Selain alasan diatas, penetapan Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya sebagai Kampung Kelinci adalah karena desa ini merupakan desa penghasil kelinci tertinggi dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang ada di Kecamatan Tenjo Laya. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah kelinci yang dibudidayakan di Desa Gunung Mulya lebih banyak dibandingkan dengan desa lainnya hal ini terlihat pada Tabel 4. Oleh karena itu sangat penting untuk menganalisis tataniaga kelinci di desa ini agar dapat memberikan alternatif saluran yang efisien bagi peternak tentang tataniaga kelinci baik itu kelinci jenis hias, lokal dan pedaging, karena kegiatan budidaya sangat terkait dengan kegiatan tataniaga (pemasaran).

Tabel 4. Populasi Ternak Kelinci Di Desa Gunung Mulya dibandingkan desa lainnya dalam Kecamatan Tenjolaya (Ekor)

No Desa Kambing Domba Kelinci

1 Tapos 1 308 444 46

2 Gunung Mulya 300 469 3.199

3 Tapos 2 216 477 123

4 Situ Daun 254 522 360

5 Cibitung tengah 236 349

-6 Cimanggu 195 360

-Jumlah 1.509 2.621 3.728

Sumber: Badan Pusat Statistik Bogor (2010)

1.2 Perumusan Masalah

Menurut Ditjennak (2012) usaha budidaya ternak kelinci sebagai penghasil daging lebih menguntungkan dibandingkan dengan ternak lain, terutama ruminansia karena kelinci merupakan ternak prolifik, dapat bunting dan menyusui pada waktu yang bersamaan, interval beranak cepat dan dapat tumbuh cepat. Keuntungan ekonomi yang diperoleh pada usaha kecil dan menengah anatara lain : kebutuhan modal tetap dan modal kerja yang relatif kecil, pakan tidak tergantung pada bahan baku impor dan mampu mengkonsumsi hijauan dan tidak bersaing


(6)

dengan pangan, mudah beradaptasi terhadap lingkungan dan mudah dibudidayakan, tidak membutuhkan lahan luas, menghasilkan beragam produk seperti daging, kulit, kulit-bulu, pupuk organik, kelinci hias, kualitas daging mengandung protein tinggi dan rendah kolesterol. Potensi besar tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga konstribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat secara nasional maupun regional belum nyata.

Kecamatan Tenjo Laya oleh pemerintah Kabupaten Bogor dicanangkan sebagai sentra penghasil kelinci di Bogor dan Desa Gunung Mulya di tetapkan sebagi Kampoeng Kelinci yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan daging. Kelinci yang dibudidayakan di Desa Gunung Mulya terbagi menjadi tiga jenis yaitu kelinci hias jenis lokal, kelinci hias jenis luar dan kelinci pedaging. Permasalahan tataniaga kelinci yang terdapat pada Desa Gunung Mulya adalah harga yang diterima peternak lebih rendah dibandingkan yang dijual kepada konsumen.

Berdasarkan hasil pengamatan, dalam seminggu terdapat pembeli yang mendatangi desa ini untuk membeli kelinci hias dan pedaging. Pembeli biasanya adalah para tengkulak, koperasi dan pengecer yang berasal dari dalam dan luar Kota Bogor atau para konsumen. Harga jual per ekor kelinci hias jenis lokal adalah Rp 10.000 per ekor, namun harga yang diterima konsumen mencapai Rp 25.000 per ekor. Begitu pula dengan harga daging kelinci yang dijual oleh peternak Rp 18.500 per kilogram, harga yang diterima konsumen mencapai Rp 70-88.000 per kilogram olahan daging kelinci yaitu nugget kelinci. Hal ini mengindikasikan bahwa margin tataniaga yang tinggi dan bagian yang diterima peternak rendah.

Bagian harga yang diterima peternak (farmer’s share) yang rendah yaitu misalnya pada kelinci pedaging, bagian yang diterima peternak hanya 21 persen (Rp 18.500 kilogram daging) dari harga yang dibayarkan konsumen (Rp 88.000 kilogram nugget). Hal ini menunjukkan bahwa posisi tawar peternak yang lemah sehingga margin tataniaga semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa belum tercapainya efisiensi dalam tataniaga kelinci. Menurut Limbong dan Sitorus (1985) Pemasaran yang tidak efisien akan mengakibatkan kecilnya bagian yang diterima produsen, dilain pihak konsumen akan membayar dengan harga tinggi.


(7)

Oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan agar dapat memberikan alternatif saluran tataniaga(pemasaran) yang paling baik bagi peternak kelinci baik peternak kelinci hias jenis lokal dan luar serta pedaging dalam menyalurkan produknya sehingga dapat meningkatkan pendapatan yang diterima peternak dan memperkecil margin tataniaga.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalahnya adalah :

1. Bagaiman saluran dan fungsi tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulia Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana margin tataniaga, Farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya pada

tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor serta bagaimana efisiensi tataniaga dilihat dari ratio keuntungan terhadap biaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah tertuang dan diuraikan dalam perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis saluran dan fungsi tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulia Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis stuktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga yang terlibat pada tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulia Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis margin tataniaga, Farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya pada tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging di Desa Gunung Mulya Kecamatan Bogor serta menganalisis efisiensi tataniaga diantara ketiga jenis kelinci berdasarkan ratio keuntungan terhadap biaya.


(8)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak dalam mengambil

keputusan untuk melakukan budidaya Kelinci.

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang ingin mengetahui sistem tataniaga Kelinci Pada Desa Gunung Mulia Kecamatan Tenjolaya kabupaten Bogor. 3. Sebagai bahan informasi bagi pelaku pasar dalam memilih saluran pemasaran

serta menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menetukan kebijakan yang berkenaan dengan tataniaga Kelinci.

4. Sedangkan bagi peneliti sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menembah wawasan tentang saluran pemasaran kelinci dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian tentang tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya terbagi menjadi tiga yaitu tataniaga kelinci hias lokal yaitu kelinci hias lokal yang berumur 3-4 minggu, kelinci hias luar yang berumur 3-4 minggu dengan jenis seperti Angora, Rex dan bulu karpet, dan kelinci jenis pedaging dengan usia diatas 3 bulan.


(9)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Kelinci

Menurut Ryan Masanto dan Ali Agus (2010) di dunia sebenarnya ada 72 jenis kelinci jenis hias dan potong. Sekitar 50 jenis diantaranya terdapat di Indonesia. Konon kelinci sudah dipelihara sejak beberapa abad yang lalu di Afrika, kemudian diternakkan oleh penduduk di Kawasan Mediterania (Laut Tengah) sekitar 1.000 tahun lalu. Dari hasil ternak tersebut kelinci menyebar ke Eropa, terutama di Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, Polandia dan Rusia. Mengikuti migrasi masyarakat Eropa, ternak kelinci menyebar ke Amerika, Asia dan Australia. Kelinci dibawa ke Amerika dari Eropa pada awal tahun 1800.

Di Indonesia, khususnya Pulau Jawa terdapat ras kelinci lokal yang pertumbuhannya lambat dan ukurannya kecil. Diduga kelinci lokal tersebut merupakan keturunan ras kelinci Nederland Dwarf, yang dibawa oleh orang-orang Belanda sebagai ternak hias pada tahun 1835 dan mengalami perkembangan puncak pada tahun 1912. Selanjutnya pada tahun 1980-an pemerintah menggalakkan pemeliharaan kelinci sebagai sumber daging. Namun pola pengembangan tersebut tidak berjalan mulus. Hambatannya adalah 55 persen peternak semata-mata bertujuan berdagang, 22 persen berusaha memperbaiki gizi dan sisanya untuk kesenangan saja.

2.2 Budidaya Kelinci

Menurut Kementrian Riset dan Teknologi dalam Proyek pengembangan Ekonomi Masyarakan Pedesaan, hal-hal yang menyangkut dalam budidaya kelinci adalah Persyaratan lokasi, penyiapan sarana dan perlengkapan, pembibitan, hama dan penyakit dan panen dan pasca penen.

2.2.1 Persyaratan Lokasi

Persyaratan lokasi dalam budidaya kelinci adalah dekat sumber air, jauh dari tempat kediaman, bebas gangguan asap, bau-bauan, suara bising dan terlindung dari predator. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha ternak


(10)

kelinci adalah persiapan lokasi yang sesuai, pembuatan kandang, penyediaan bibit dan penyediaan pakan.

2.2.2 Penyiapan Sarana dan Perlengkapan

Fungsi kandang sebagai tempat berkembangbiak dengan suhu ideal 21° C, sirkulasi udara lancar, lama pencahayaan ideal 12 jam dan melindungi ternak dari predator. Menurut kegunaan, kandang kelinci dibedakan menjadi kandang induk betina, jantan dan anakan. Untuk menghindari perkawinan awal kelompok dilakukan pemisahan antara jantan dan betina. Kandang berukuran 200x70x70 centimeter tinggi alas 50 centimeter cukup untuk 12 ekor betina/10 ekor jantan. Kandang anak (kotak beranak) ukuran 50x30x45 centimeter. Menurut bentuknya kandang kelinci dibagi menjadi:

1. Kandang sistem postal, tanpa halaman pengumbaran, ditempatkan dalam ruangan dan cocok untuk kelinci muda.

2. Kandang sistem ranch: dilengkapi dengan halaman pengumbaran.

3. Kandang battery: mirip sangkar berderet dimana satu sangkar untuk satu ekor dengan konstruksi Flatdech Battery (berjajar), Tier Battery (bertingkat), Pyramidal Battery (susun piramid). Perlengkapan kandang yang diperlukan adalah tempat pakan dan minum yang tahan pecah dan mudah dibersihkan.

2.2.3 Pembibitan

Syarat ternak kelinci yang ingin dibudidayakan tergantung dari tujuan utama pemeliharaan kelinci tersebut. Untuk tujuan jenis bulu maka jenis Angora, American Chinchilladan Rexmerupakan ternak yang cocok. Sedang untuk tujuan daging maka jenis Belgian, Californian, Flemish Giant, Havana, Himalayan dan New Zealandmerupakan ternak yang cocok dipelihara.

1. Pemilihan bibit dan calon induk

Bila peternakan bertujuan untuk daging, dipilih jenis kelinci yang berbobot badan dan tinggi dengan perdagingan yang baik, sedangkan untuk tujuan bulu jelas memilih bibit-bibit yang punya potensi genetik pertumbuhan bulu yang baik. Secara spesifik untuk keduanya harus punya sifat fertilitas tinggi, tidak mudah


(11)

nervous, tidak cacat, mata bersih dan terawat, bulu tidak kusam dan lincah atau aktif bergerak.

2. Perawatan Bibit dan calon induk

Perawatan bibit menentukan kualitas induk yang baik pula, oleh karena itu perawatan utama yang perlu perhatian adalah pemberian pakan yang cukup, pengaturan dan sanitasi kandang yang baik serta mencegah kandang dari gangguan luar.

3. Sistem Pemuliabiakan

Untuk mendapat keturunan yang lebih baik dan mempertahankan sifat yang spesifik maka pembiakan dibedakan dalam tiga kategori yaitu: a) In Breeding (silang dalam), untuk mempertahankan dan menonjolkan sifat spesifik misalnya bulu, proporsi daging. b) Cross Breeding (silang luar), untuk mendapatkan keturunan lebih baik atau menambah sifat-sifat unggul dan c) Pure Line Breeding (silang antara bibit murai), untuk mendapat bangsa atau jenis baru yang diharapkan memiliki penampilan yang merupakan perpaduan 2 keunggulan bibit.

4. Reproduksi dan Perkawinan

Kelinci betina segera dikawinkan ketika mencapai dewasa pada umur lima bulan (betina dan jantan). Bila terlalu muda kesehatan terganggu dan mortalitas anak tinggi. Bila pejantan pertama kali mengawini, sebaiknya kawinkan dengan betina yang sudah pernah beranak. Waktu kawin pagi/sore hari di kandang pejantan dan biarkan hingga terjadi dua kali perkawinan, setelah itu pejantan dipisahkan.

5. Proses Kelahiran

Setelah perkawinan kelinci akan mengalami kebuntingan selama 30-32 hari. Kebuntingan pada kelinci dapat dideteksi dengan meraba perut kelinci betina 12-14 hari setelah perkawinan, bila terasa ada bola-bola kecil berarti terjadi kebuntingan. Lima hari menjelang kelahiran induk dipindah ke kandang beranak untuk memberi kesempatan menyiapkan penghangat dengan cara merontokkan bulunya. Kelahiran kelinci yang sering terjadi malam hari dengan kondisi anak lemah, mata tertutup dan tidak berbulu. Jumlah anak yang dilahirkan bervariasi sekitar 6-10 ekor.


(12)

2.2.4 Pemeliharaan

1. Sanitasi dan Tindakan Preventif

Tempat pemeliharaan diusahakan selalu kering agar tidak jadi sarang penyakit. Tempat yang lembab dan basah menyebabkan kelinci mudah pilek dan terserang penyakit kulit.

2. Pengontrolan Penyakit

Kelinci yang terserang penyakit umumnya punya gejala lesu, nafsu makan turun, suhu badan naik dan mata sayu. Bila kelinci menunjukkan hal ini segera dikarantinakan dan benda pencemar juga segera disingkirkan untuk mencegah wabah penyakit.

3. Perawatan Ternak

Penyapihan anak kelinci dilakukan setelah umur 7-8 minggu. Anak sapihan ditempatkan dalam kandang tersendiri dengan isi 2-3 ekor/kandang dan disediakan pakan yang cukup dan berkualitas. Pemisahan berdasar kelamin perlu untuk mencegah dewasa yang terlalu dini. Pengebirian dapat dilakukan saat menjelang dewasa. Umumnya dilakukan pada kelinci jantan dengan membuang testisnya.

4. Pemberian Pakan

Jenis pakan yang diberikan meliputi hijauan meliputi rumput lapangan, rumput gajah, sayuran meliputi kol, sawi, kangkung, daun kacang, daun turi dan daun kacang panjang, biji-bijian atau pakan penguat meliputi jagung, kacang hijau, padi, kacang tanah, sorghum, dedak dan bungkil-bungkilan. Untuk memenuhi pakan ini perlu pakan tambahan berupa konsentrat yang dapat dibeli di toko pakan ternak. Pakan dan minum diberikan dipagi hari sekitar pukul 10.00 WIB dimana kelinci diberi pakan dedak yang dicampur sedikit air, Pukul 13.00 WIB diberi rumput sedikit/secukupnya dan pukul 18.00 WIB rumput diberikan dalam jumlah yang lebih banyak. Pemberian air minum perlu disediakan di kandang untuk mencukupi kebutuhan cairan tubuhnya.

5. Pemeliharaan Kandang

Lantai/alas kandang, tempat pakan dan minum, sisa pakan dan kotoran kelinci setiap hari harus dibersihkan untuk menghindari timbulnya penyakit. Sinar matahari pagi harus masuk ke kandang untuk membunuh bibit penyakit. Dinding


(13)

kandang dicat dengan kapur atau ter. Kandang bekas kelinci sakit dibersihkan dengan kreolin atau lysol.

2.2.5 Hama dan Penyakit 1. Bisul

Penyebab: terjadinya pengumpulan darah kotor di bawah kulit. Pengendalian: pembedahan dan pengeluaran darah kotor selanjutnya diberi Jodium.

2. Kudis

Penyebab: Darcoptes scabiei. Gejala: ditandai dengan koreng di tubuh. Pengendalian: dengan antibiotik salep.

3. Eksim

Penyebab: kotoran yang menempel di kulit. Pengendalian: menggunakan salep/bedak Salicyl.

4. Penyakit telinga

Penyebab: kutu. Pengendalian: meneteskan minyak nabati. 5. Penyakit kulit kepala

Penyebab: jamur. Gejala: timbul semacam sisik pada kepala. Pengendalian: dengan bubuk belerang.

6. Penyakit mata

Penyebab: bakteri dan debu. Gejala: mata basah dan berair terus. Pengendalian: dengan salep mata.

7. Mastitis

Penyebab: susu yang keluar sedikit/tak dapat keluar. Gejala: puting mengeras dan panas bila dipegang. Pengendalian: dengan tidak menyapih anak terlalu mendadak.

8. Pilek

Penyebab: virus. Gejala: hidung berair terus. Pengendalian: penyemprotan antiseptik pada hidung.

9. Radang paru-paru

Penyebab: bakteri Pasteurella multocida. Gejala: napas sesak, mata dan telinga kebiruan. Pengendalian: diberi minum Sul-Q-nox.


(14)

10. Berak darah

Penyebab: Protozoa Eimeira. Gejala: nafsu makan hilang, tubuh kurus, perut membesar dan mencret darah. Pengendalian: diberi minum sulfaquinxalin dosis 12 ml dalam 1 liter air.

11. Hama pada kelinci umumnya merupakan predator dari kelinci seperti anjing dan tikus. Pada umumnya pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan kandang, pemberian pakan yang sesuai dan memenuhi gizi dan penyingkiran sesegera mungkin ternak yang sakit.

2.2.6 Panen dan Pasca Panen

Hasil utama kelinci adalah daging dan bulu dan hasil tambahan berupa kotoran untuk pupuk. Daging untuk konsumsi yang baik untuk pemenuhan protein tubuh, kulit dan bulu digunakan untuk sepatu dan handycraft.Penanganan kelinci dalam proses pasca panen adalah 1) Stoving yaitu kelinci dipuasakan selama 6-10 jam sebelum dipotong untuk mengosongkan usus namun pemberian minum tetap diberikan kepada kelinci. 2) Pemotongan, dapat dilakukan dengan tiga cara: Pemukulan pendahuluan, kelinci dipukul dengan benda tumpul pada kepala dan saat koma disembelih. Pematahan tulang leher, dipatahkan dengan tarikan pada tulang leher, cara ini kurang baik. Pemotongan biasa, sama seperti memotong ternak lain. 3) Pengulitan, dilaksanakan mulai dari kaki belakang ke arah kepala dengan posisi kelinci digantung. 4) Pengeluaran jeroan yaitu kulit perut disayat dari pusar ke ekor kemudian jeroan seperti usus, jantung dan paru-paru dikeluarkan. Dalam proses pengeluaran jeroan, hal yang perlu diperhatikan adalah kandung kemih jangan sampai pecah karena dapat mempengaruhi kualitas karkas. 5) Pemotongan karkas, kelinci dipotong jadi 8 bagian, 2 potong kaki depan, 2 potong kaki belakang, 2 potong bagian dada dan 2 potong bagian belakang. Presentase karkas yang baik 49-52%.

2.3 Penelitian Terdahulu

2.3.1 Penelitian Terdahulu Terkait dengan Kelinci

Penelitian terdahulu yang terkait dengan kelinci dalah penelitian yang dilakukan oleh Widagdho (2008) dan Agustian (2011). Penelitian yang dilakukan


(15)

oleh Widagdho (2008) menganalisis Kelayakan Usaha peternakan Kelinci Pada Asep Rabbitdi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis aspek-aspek dalam kelayakan usaha secara deskriptif yang meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum dan aspek sosial, menganalisis tingkat kelayakan finansial peternakan kelinci, melakukan analisis switching value untuk melihat tingkat kepekaan kelayakan usaha peternakan kelinci Asep Rabbit Project bila terjadi perubahan-perubahan dalam faktor produksi. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah anlisis kualitatif meliputi analisis aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, dan sosial. Sedangkan analisis kuantitatif menggunakan analisis finansial seperti NPV, IRR, R/C, Payback Period dan switching value.

Berdasarkan analisis kelayakan yang meliputi aspek pasar, aspek manajemen, dan aspek teknis maka pengusahaan peternakan kelinci pada perencanaan proyek ketiga pola usaha layak untuk dilaksanakan dan berdasarkan analisis kelayakan finansial pada pengusahaan peternakan kelinci pada ketiga pola usaha layak untuk dilaksanakan. Namun usaha yang paling menguntungkan untuk dilaksanakan sebagai pengembangan usaha Asep’s Rabbit Project yaitu usaha pola usaha I karena memiliki nilai NPV tertinggi dibandingkan kedua pola lainnya serta biaya yang dikeluarkan pada pola I lebih tinggi sehingga pada pola I mendapatkan keuntungan tertinggi dibandingkan kedua pola lainnya. Berdasarkan analisis switching value, penurunan harga output dan penurunan produksi merupakan faktor yang sensitif terhadap perubahan. Peningkatan pada harga indukan dan harga pakan tidak sensitif terhadap perubahan. Hal tersebut dikarenakan biaya pada pengadaan indukan jauh lebih kecil daripada penerimaan yang didapatkan dari pengusahaan peternakan kelinci, walaupun persentase biaya pengeluaran pakan terhadap tolal biaya operasional cukup tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Agustian (2011) menganalisis persepsi konsumen terhadap daging Kelinci di Kota Bogor, memiliki tujuan yaitu menganalisis karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor, mengetahui persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci, menganalisis variabel apa saja yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor, mengetahui konsumen potensial daging kelinci dan memberikan


(16)

rekomendasi bauran pemasaran produk daging kelinci di Kota Bogor. Metode analisis menggunakan metode deskriptif dan analisis regresi logistik biner.

Karakteristik konsumen daging kelinci yang ada di Kota Bogor dapat dibagi berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pengeluaran. Berdasarkan usia, mayoritas konsumen berada pada usia produktif yaitu antara 31-40 tahun. Konsumen tersebut mayoritas berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi yang didominasi oleh sarjana. Adapun pekerjaan sebagian besar dari konsumen daging kelinci adalah pegawai swasta. Untuk tingkat pengeluaran, sebagian besar konsumen berada pada kisaran antara Rp 1.620.000,00 hingga Rp 2.700.000,00.

Persepsi konsumen dari aspek budaya adalah sangat baik ditinjau dari adat istiadat dan agama konsumen. Dari aspek sosial, konsumen memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Untuk aspek psikologis konsumen juga memberikan persepsi yang baik bila ditinjau dari aspek psikologis, artinya bahwa hambatan prikologs tidak menjadi pengaruh yang signifikan bagi konsumen daging kelinci untuk melakukan konsumsi. Untuk persepsi keseluruhan, konsumen memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci baik itu ditinjau dari aspek budaya, sosial, psikologis dan aspek bauran pemasaran. Variabel yang memiliki pengaruh nyata dalam pembentukan persepsi konsumen terhadap daging kelinci ini adalah variabel jenis kelamin. Konsumen yang berjenis kelamin perempuan cenderung memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci 8,3 kali dibandingkan konsumen pria.

2.3.2 Penelitian Terdahulu Terkait dengan Tataniaga Komoditi Peternakan Penelitian terdahulu terkait dengan tataniaga seperti yang dilakukan oleh Ratniati (2007) dengan judul Analisis Sistem Pemasaran Ternak Sapi Potong PT Great Giant Livestock Company (GGLC) yang berlokasi di Lampung Tengah yang menganalisis saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur biaya, besar biaya, struktur perilaku dan pelaksanaan pasar, margin pemasaran, R/C ratio dan farmer’s share. Metode pengambilan data untuk analisis lembaga dan saluran pemasaran dilakukan dengan cara penarikan sampel dimana wilayah yang diteliti adalah Jakarta, Bogor dan Lampung. Untuk sampel individu berjumlah 16 responden yang mewakili setiap lembaga yang terlibat yang terdiri dari pedagang


(17)

penerima, pedagang pemotong/pengecer, agen dan pedagang pengumpul. Berdasarkan pengamatan, pada wilayah lampung terdapat 8 saluran pemasaran, Bogor terdapat 6 saluran pemasaran dan Jakarta 5 saluran pemasaran. Nilai farmer’s share pada pemasaran sapi potong untuk semua saluran diatas 90 persen. Sistem penentuan harga yang dilakukan oleh PT GGLC berdasarkan pada klasifikasi ternak sapi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Dimana harga sapi pejantan lebih tinggi dibandingkan sapi betina.

Penelitian Permadi (2008) mengenai Analisis Tataniaga Kambing Peranakan Ettawa (PE) di Purwarejo Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis struktur, perilaku dan keragaan pasar, margin tataniaga dan nilai farmer’s share. Hasil penelitian ini adalah struktur pasar yang dihadapi penjual dan pembeli adalah pasar persaingan tidak sempurna sedangkan pasar yang dihadapi pedagang adalah persaingan monopolistik. Terdapat 4 saluran dalam pemasaran kambing PE dengan sistem penjualan yang dilakukan adalah dengan sistem grading. Grading terbagi menjadi Grade A,B, C dan D. Nilai farmer’s sharepada penelitian ini cukup tinggi dengan nilai minimal 80,65 persen.

Penelitian Afrianto (2007) dengan judul analisis Margin Tataniaga dan Keterpaduan Pasar daging Domba yang berlokasi di kabupaten Majalengka Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah sama dengan yang dilakukan oleh Ratiniati (2007) dan Permadi (2008) yaitu mengidentifikasi pola saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar sera menganalisis marjin tataniaga. Tetapi yang membedakan adalah peneliti juga melakukan analisis keterpaduan pasar antara pemasok dan pasar pengecer daging domba dengan menggunaka data sekunder berupa perkembangan harga rata-rata mingguan daging domba. Pemilihan responden dilakukan dengan metode sensus. Lambaga pemasaran yang terlibat pada penelitian ini adalah 9 orang pedagang pemasok, 18 orang pedagang besar dan 24 pedagang pengecer. Hasil perhitungan pada penelitian ini diketahui bahwa sebaran margin untuk tiap salutan tidak merata.

Penelitian Faisal (2010) dengan judul Analisis Tataniaga Sapi Potong PT Kariyana Gita Utama, Cicurug, Sukabumi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi saluran, lembaga dan fungsi tataniaga sapi potong PT KGU serta menghitung margin tataniaga, farmer’s share, biaya pemasaran, keuntungan dan


(18)

struktur pasar tataniaga sapi potong PT KGU. Penelitian ini menggunakan metode Snawball sampling. Berdasarkan penelusuran, didapatkan hasil bahwa saluran pemasaran yang terbentuk berjumlah 6 saluran dengan empat lembaga yang terlibat yaitu pedagang pengumpul, pedagang pemotong, pedagang pengecer dan Rumah Potong Hewan (RPH). Saluran yang paling efisien adalah saluran pemasaran 3 berdasarkan margin terendah yaitu 23,55 persen dengan nilai farmer’s share tertinggi yaitu 76,45 persen. Struktur pasar yang dihadapi hampir seluruh lembaga tataniaga sapi potong PT KGU cenderung bersifat oligopoli. Hal ini dilihat dari kemampuan tataniaga dalam menetuan harga, produk yang diperdagangkan bersifat homogen dan hambatan keluar masuk pasar yang cukup tinggi.

2.3.3 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah mengenai objek penelitian yaitu kelinci Widagdho (2008) dan Agustian (2011). Selain persamaan dalam objek penelitian, persamaan dengan penelitian terdahulu juga terdapat pada topik yang diteliti yaitu tentang analisis tataniaga produk peternakan (Ratniati (2007), Permadi (2008), Afrianto (2007) dan Faisal (2010)).

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat analisis kualitatif (saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur dan perilaku pasar) dan analisis kuantitatif yaitu analisis margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Metode penarikan responden yang digunakan untuk peternak yaitu dengan cara sensus(Afrianto, 2007) dan untuk lembaga pemasaran menggunakan metode snawball(Ratniati (2007), Permadi (2008), Afrianto (2007) dan Faisal (2010)).

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terdapat pada perbedaan topik penelitian dimana Widagdho (2008) meneliti tentang kelayakan usaha peternakan kelinci, sedangkan Agustian (2011) meneliti tentang presepsi konsumen terhadap daging kelinci di Bogor. Selain perbedaan pada topik penelitian, perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terdapat pada alat analisis kuantitatif yang dilakukan oleh Afrianto (2010) yang


(19)

menganalisis keterpaduan pasar daging domba di Majalengka sedangkan pada penelitian ini tidak menganalisis keterpaduan pasar.

Tabel 5. Penelitian Terdahulu

Penulis Judul Metode Analisis Tujuan

Widaghdo (2008)

Analisis Kelayakan Usaha peternakan Kelinci Pada Asep Rabbitdi Kecamatan Lembang Bandung Jawa Barat.

Metode Kualitatif (Aspek teknis, pasar, manajemen, hukum dan lingkungan), metode kuantitatif (NPV,IRR,PP dan Switching Value)

Menganalisis aspek dalam kelayakan usaha meliputi aspek pasar, teknis, manajemen, hukum dan aspek sosial, menganalisis kelayakan finansial dan melakukan analisis switching value

Agustian (2011)

Menganalisis presepsi konsumen terhadap daging Kelinci di Kota Bogor

Metode Kualitatif dan Metode Regresi Logistik Biner.

Menganalisis karakteristik konsumen daging kelinci, mengetahui persepsi konsumen terhadap daging kelinci, menganalisis variabel apa saja yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci. Afrianto

(2007)

Analisis Margin Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Daging Domba di Majalengka jawa Barat

Analisis kualitatif (analisis saluran, struktur, dan perilaku pasar). Analisis kuantitatif ( analisis margin tataniaga dan keterpaduan pasar)

Mengidentifikasi pola saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar, margin tataniaga dan analisis ketrpaduan pasar daging domba.

Ratniati (2007)

Analisis Sistem Pemasaran Ternak Sapi Potong PT. Great Giant Livestock Company (GGLC) di Lampung Tengah

Analisis kualitatif yaitu saluran dan fungsi tataniaga. Analisis kuantitatif yaitu struktur dan besar biaya, margin pemasaran, R/C ratio dan farmer’s share.

Mengidentifikasi dan menganalisis saluran, fungsi, struktur dan perilaku pasar , margin tataniaga, farmer’s sharedan ratio R/C.

Permadi (2008)

Analisis Tataniaga Kambing PE di Jawa Tengah Analisis kualitatif yaitu struktur,perilaku dan keragaan pasar. Analisis kuantitatif yaitu margin tataniaga dan farmer’s share.

Mengidentifikasi struktur, perilaku dan keragaan pasar serta margin dan farmer’s share.

Faisal (2010)

Analisis Tataniaga Sapi Potong PT. Kariyana Gita Utama, Cicurug Sukabumi

Analisis Kualiatatif meliputi : analisis saluran, lembaga, fungsi dan struktur pasar. Analisis kuantitatif meliputi Analisis margin, farmer’s sharedan ratio /c.

mengidentifikasi saluran, lembaga dan fungsi tataniaga sapi potong PT.KGU menghitung margin tataniaga, farmer’s share,biaya pemasaran, keuntungan dan struktur pasar tataniaga sapi potong PT. KGU


(20)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Tataniaga

Menurut Dahl dan Hammond (1977) Tataniaga merupakan serangkaian tahapan fungsi yang diperlukan dalam penangan dan pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai konsumen akhir. Menurut Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga adalah serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen. Menurut Kohls dan Uhl (2002) tataniaga merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran dari produk-produk dan jasa-jasa dimulai dari tingkat produksi pertanian sampai tingkat konsumen akhir.

3.1.2 Konsep Lembaga dan Fungsi Tataniaga

Dalam menyampaikan suatu barang atau jasa terlibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen. Karena jarak antara produsen yang menghasilkan barang atau jasa sering berjauhan dengan konsumen, maka fungsi badan perantara sangat diharapkan kehadirannya untuk menggerakan barang-barang dan jasa-jasa tersebut dari titik produsen ke titik konsumsi. Lembaga-lembaga ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan maupun perseroan yang akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga, baik fungsi pertukaran, fungsi fisik maupun fungsi fasilitas. Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1985) didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta berdasarkan bentuk usahanya, yaitu:

1. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan, yaitu:  Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer,

grosir, dan lembaga perantara lainnya.

 Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik, seperti badan pengangkutan/transportasi, pengolahan dan penyimpanan.


(21)

 Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga, seperti informasi pasar dan kredit desa. Lembaga ini dapat berupa KUD (Kantor Unit Desa), Bank Unit Desa, dan yang lainnya.

2. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang, yaitu:

 Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan tengkulak.  Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang

dipasarkan, seperti agen, makelar atau broker dan lembaga pelelangan.  Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang

dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan. 3. Penggolongan tataniaga berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar, yaitu:

 Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras dan pengecer rokok.

 Lembaga tataniaga monopolistis, seperti pedagang bibit dan pedagang benih.

 Lembaga tataniaga oligopolis, seperti importir cengkeh dan perusahaan semen.

 Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api serta perusahaan pos dan giro.

4. Penggolongan lembaga tataniaga juga dilakukan berdasarkan bentuk usahanya, yaitu:

 Berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi.

 Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer dan tengkulak.

Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa proses penyampaian barang dari produsen ke konsumen memerlukan berbagai tindakan atau kegiatan. Kegiatan tersebut dinamakan sebagai fungsi-fungsi tataniaga. Pendekatan fungsi tataniaga yang sering dilakukan oleh pelaku tataniaga mencakup:

• Fungsi pertukaran merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang atau jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri atas fungsi pembelian dan fungsi penjualan.


(22)

• Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang atau jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, waktu dan bentuk. Fungsi ini dibagi menjadi fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan dan fungsi pengolahan. • Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang berhubungan dengan tindakan yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri atas fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, fungsi standarisasi dan grading serta fungsi informasi pasar.

3.1.3 Konsep Saluran Tataniaga

Menurut Limbong dan Sitorus (1985) Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran merupakan rangkaian lembaga-lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen ke konsumen. Limbong dan Sitorus (1985) berpendapat bahwa saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjangnya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa.

3.1.4 Konsep Strukur Pasar

Menurut Dahl dan Hammond (1977) struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antara partisipan. Berdasarkan karekteristik struktur pasar, Kohls dan Uhl (2002) mengelompokkan pasar ke dalam dua struktur pasar yang berbeda, yaitu Pasar Persaingan Sempurna dan Pasar Persaingan tidak sempurna.

Pasar Persaingan Sempurna (Perfect Competition), struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana banyak pembeli dan penjual memperdagangkan komoditi yang bersifat homogen atau seragam dengan jumlah


(23)

yang banyak, sehingga setiap pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar, atau dengan kata lain bahwa pembeli dan penjual merupakan pihak yang mengikuti harga (price taker) bukan sebagai pihak yang menetapkan harga (price maker). Tidak terdapat hambatan untuk keluar atau masuk pasar sehingga pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar dan masuk pasar. Pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna dan mobilitas sumber-sumber ekonomi juga relatif sempurna.

Struktur pasar persaingan tidak sempurna terbagi menjadi tiga yaitu Pasar (1) Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony); (2) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni (Oligopoly/Oligopsony) dan (3) Pasar Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition). Struktur pasar monopoli dicirikan dengan penjual tunggal dari sebuah komoditas yang bersifat unik dan sangat dideferensiasi dan penjual tersebut memiliki pengaruh atas penawaran produk tertentu sehingga pada struktur pasar monopoli penjual merupakan pihak yang menetapkan harga. Hambatan untuk masuk dan keluar yang besar seringkali merintangi pendatang potensial dan menawarkan kesempatan untuk memperoleh laba ekonomi. Dari segi pembeli disebut pasar monopsoni, yang terdiri hanya dari seorang pembeli suatu komoditi.

Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga penjual lain dan menjual produk yang bersifat homogen serta standar. Sedikit jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan, hal ini dapat disebabkan beberapa hal, seperti: paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan, lokasi yang langka dan sebagainya. Sedangkan pasar yang terdiri dari beberapa pembeli disebut pasar oligopsoni.

Pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang menjual produk yang bersifat terdeferensiasi atau heterogen disebut pasar oligopoli terdeferensiasi. Sedangkan pasar oligopsoni terdeferensiasi merupakan pasar yang dicirikan dengan beberapa pembeli yang membeli produk yang terdeferensiasi.

Pasar persaingan monopolistik merupakan karakteristik struktur pasar antara pasar persaingan sempurna dan pasar oligopoli. Pasar persaingan


(24)

monopolistik dicirikan dengan terdapat banyak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi pada berbagai macam harga dan bukan atas satu harga pasar, dimana munculnya beberapa macam harga ini disebabkan penjual dapat melakukan penawaran yang berbeda kepada pembeli. Produk fisik dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gayanya, service dapat berbeda, sebagai akibat penglihatan pembeli yang berbeda atas barang yang ditawarkan dan kesediaan membayar harga yang berbeda.

Pada pasar persaingan monopolistik, penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling, disamping harga untuk menonjolkan penawaran. Dari segi pembeli pasar ini disebut pasar persaingan monopsoni.

Tabel 6. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat

No Karakteristik Struktur Struktur Pasar

Jumlah Penjual

Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli 1 Banyak Standarisasi Persaingan

Sempurna

Persaingan Sempurna

2 Banyak Diferensiasi Persaingan Monopolistik

Persaingan Monopsonistik 3 Beberapa Standarisasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni 4 Beberapa Diferensiasi Oligopoli

diferensiasi

Oligopoli diferensiasi

5 Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber : Dahl and Hammond (1977)

3.1.5 Konsep Perilaku Pasar

Dahl dan Hammond (1997) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar, lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga.


(25)

Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien dan terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya. Perilaku pasar menggambarkan perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar tersebut baik secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu.

3.1.6 Konsep Efisiensi Tataniaga

Menurut Khols dan Uhl (2002) persaingan yang efisien adalah pasar persaingan sempurna (perfect competition). Tetapi realitanya struktur pasar ini tidak dapat ditemukan. Ukyran efisiensi adalah “kepuasan” dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang dan jasa mulai dari petani sampai ke konsumen akhir; ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut sangant sulit dan relatif. Oleh karena itu banyak pakar menggunakan indikator efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga.

3.1.6.1 Konsep Marjin Tataniaga

Insentif ekonomi merupakan salah satu faktor yang mampu memotivasi petani dalam melakukan kegiatan produksi. Insentif ekonomi tersebut dapat diketahui melalui besarnya keragaan dan perkembangan marjin tataniaga. Kohls dan Uhl (2002) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Asmarantakan (2009) diacu dalam Tomek dan Robinson (1990) memberikan dua alternatif dari definisi margin tataniaga yaitu : 1) Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang yang diterima produsen (petani), 2) merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem tataniaga tersebut.

Definisi yang pertama menjelaskan secara sederhana bahwa margin tataniaga adalah perbedaan harga ditingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf) dengan demikian margin pemasaran adalah M = Pr –Pf . Sedangkan pengertian yang kedua lebih bersifat ekonomi dan definisi ini lebih


(26)

tepat, karena memberikan pengertian adanya nilai tambah (added value) dari adanya kegiatan tataniaga dan juga mengandung pengertian dari konsep “derived supply” dan “derived demand”. Pengertian derived demand diartikan sebagai permintaan turunan dari “primary demand” yang dalam hal ini permintaan dari konsumen akhir, sedangkan derived demand adalah permintaan dari pedagang perantara (grosir dan eceran) ataupun dari perusahaan pengolah (processor) kepada petani, sedangkan derived supply adalah penawaran ditingkat pedagang eceran yaitu merupakan penawaran turunan dari penawaran ditingkat petani (primary supply).

Perbedaan harga jual dari lembaga yang satu dengan lembaga lain sampai ke tingkat konsumen akhir disebabkan karena adanya perbedaan kegiatan dari setiap lembaga. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai ke titik konsumen, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di titik produsen dibandingkan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen.

Perbedaan harga yang terjadi antara lembaga tataniaga satu dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran tataniaga suatu komoditas yang sama disebut sebagai marjin tataniaga. Definisi marjin tataniaga juga digambarkan oleh kurva marjin tataniaga (Gambar 1).

P Nilai Marjin Tataniaga (Pf-Pr) x Qrf Sr

Sf Marjin Tataniaga Pr

(Pr – Pf) Pf Dr Df

Biaya Tataniaga

Qfr Q

Keterangan:

Pr: Harga di tingkat pengecer Pf: Harga di tingkat petani Sr: Derived Supply Sf: Primary supply Dr: Primary Demand Df: Derived Demand


(27)

Gambar 1. Penggambaran Definisi Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga, dan Biaya Tataniaga (Sumber: Tomek and Robinson (1990) Dahl dan Hammond, 1977).

Menurut Asmarantaka (2009) diacu dalam Tomek dan Robinson (1990) dan Gonarsyah, I (1996/1997) margin tataniaga ditentukan oleh 1) perubahan harga-harga input faktor tataniaga, 2) efisiensi dari pengadaan jasa-jasa tataniaga, 3) jumlah dan kualitas jasa-jasa tataniaga dan 4) perubahan stuktur pasar dan teknologi. Oleh karena itu perubahan dari komponen diatas dapat mengubah margin tataniaga. Besarnya margin tataniaga sangat bervariasi diantara berbagai komoditas.

3.1.6.2 Konsep Bagian Harga yang Diterima Peternak (Farmer’s Share)

Khols dan Uhl (2002) mendefinisikan Farmer's share merupakan perbedaan harga ditingkat pengecer dengan yang diterima petani dan dinyatakan dalam persentase harga di tingkat konsumen. Bagian harga yang diterima petani adalah perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Limbong dan Sitorus, 1985).

Farmer's share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produk mereka. Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani

Menurut Kohls dan Uhls (2002), farmer’s share dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk dan biaya transportasi. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (Pr). Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:


(28)

Fs = Pf

/

Pr x 100%

Keterangan: Fs =Farmer’s share Pf = Harga di tingkat petani

Pr = Harga di tingkat konsumen

Saluran tataniaga yang tidak efisien akan memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan kepada petani melalui harga beli, sehingga harga yang diterima petani lebih rendah. Biaya tataniaga yang tinggi menyebabkan besarnya perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen sehingga akan menurunkan nilai farmer’s share. Sebaliknya pada saluran tataniaga yang efektif dan efisien, marjin dan biaya tataniaga menjadi lebih rendah sehingga perbedaan harga petani dengan konsumen lebih kecil dan nilai farmer’s share akan meningkat.

3.1.6.3 Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya

Besarnya rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga. Semakin menyebarnya rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien. Secara matematik, rasio keuntungan dan biaya dalam setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

i = Keuntungan lembaga tataniaga Ci = Biaya tataniaga

3.2 Kerangka pemikiran Operasional

Dasar penelitian ini adalah dengan dibentuknya Kampung Kelinci di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya oleh Ditjennak Depatemen Pertanian Republik Indonesia pada hari Sabtu tanggal 24 September Tahun 2011 yang bertempat di balai Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya. Tujuan dari terbentuknya Desa Kelinci ini adalah untuk memenuhi katahanan pangan yang berbasiskan komoditi lokal yaitu kelinci. Kelinci yang dibudidayakan di Desa Gunung Mulya terdiri kelinci hias jenis lokal dan luar serta kelinci pedaging.


(29)

Pada tahun 2011 populasi kelinci di Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan terutama di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya dibandingkan dengan desa-desa lainnya diwilayah Bogor. Dalam seminggu terdapat pembeli yaitu tengkulak yang mendatangi desa ini untuk membeli kalinci dengan harga yang cukup murah. Kelinci hias jenis tertentu dan kelinci pedaging yang diambil daging dan kulitnya dijual dengan harga yang sangat tinggi kepada konsumen. Hal ini mengindikasikan bahwa bagian yang diterima peternak kelinci sedikit sehingga margin tataniaga kelinci sangat besar.

Analisis tataniaga kelinci baik itu kelinci hias jenis lokal dan jenis luar maupun kelinci pedaging penting dilakukan agar dapat mengetahui saluran yang paling efisien bagi para peternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka. Analisis tataniaga ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis struktur dan perilaku pasar, saluran dan fungsi tataniaga, margin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya.


(30)

Kerangka Pemikiran Operasional

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Opersional  Kelinci sebagai ternak hias dan penyedia daging

 Peningkatan populasi kelinci di Bogor pada tahun 2007-2011

 Tenjolaya merupakan kecamatan dengan populasi kelinci terbanyak di Kab. Bogor

Lembaga dan saluran tataniaga.

1. Identifikasi saluran tataniaga.

2. Fungsi tataniaga 3. Aktivitas lembaga

yang terlibat.

Efisiensi Tataniaga 1.Marjin tataniaga 2. Farmer’s Share 3. Rasio keuntungan

terhadap biaya Struktur pasar dan Perilaku

Pasar 1. Praktek Penjualan dan

pembelian.

2. Sistem Penentuan harga. 3. Sistem pembayaran 4. Kerjasama antara lembaga

tataniaga

Sistem tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya dan saluran yang paling efisien

Rekomendasi dan saran kepada pihak kampoeng kelinci terkait dengan saluran pemasaran yang

paling efisien

Penetapan Desa Gunung Mulya sebagai Kampoeng Kelinci  Tingginya harga kelinci yang diterima konsumen

 Rendahnya harga jual yang diterima peternak kelinci di Desa Gunung Mulya


(31)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan desa yang diberi nama sebagai Kampoeng Kelinci oleh Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Republik Indonesia. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada Bulan Oktober 2011 sampai Juni 2012, yaitu mulai dari persiapan pembuatan proposal sampai penyerahan skripsi, sedangkan pengambilan data dilapangan dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2012.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari masing-masing lembaga pemasaran dalam saluran pemasaran Kelinci di Desa Gunung Mulya kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor, yaitu produsen, pengumul, koperasi, pengecer dan agen. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data kualtitatif dan kuantitatif mengenai nilai dan volume penjualan serta pembelian masing-masing lembaga pemasaran, alur pemasaran, kondisi, struktur, serta keragaan pasar. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik Jakarta, Dinas Peternakan Kabupaten Bogor, Perpustakaan LSI, Koperasi Peternakan Kelinci (KOPNAKCI), Poktan Budi Asih, internet, serta literatur yang terkait dengan Kelinci.

4.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan wawancara langsung yang dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan jumlah responden baik itu peternak, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, koperasi dan (Freezer Point). Penentuan responden yang dilakukan berdasarkan keterlibatannya secara langsung dalam kegiatan tataniaga dan lembaga-lembaga tataniaga yang mendukung.


(32)

Data responden berasal dari peternak kelinci di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya, Koperasi Peternakan Kelinci (KOPNAKCI) dan Lembaga Tataniaga Kelinci. Jumlah responden pelaku pasar yang terdiri dari pedagang pengumpul, koperasi dan pedagang pengecer yang diambil berdasarkan penelusuran jumlah yang ada di lapangan. Dari penelusuran ini diketahui lembaga-lembaga apa saja yang terlibat dalam proses tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya.

4.4. Metode Penarikan Responden

Dalam penelitian ini sampel yang dijadikan responden adalah Peternak Kelinci (produsen), Koperasi dan Pedagang (lembaga tataniaga). Penarikan responden dari peternak pada penelitian ini dengan cara sensusdari peternak yang berjumlah 25 orang yang ada di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya. Penggunaan metode sensus karena responden diketahui berjumlah sedikit yaitu 25 orang. Sedangkan penarikan responden dari lembaga pemasaran menggunakan metode snawball.

Pemilihan penggunaan metode snawball, karena penulis kurang mendapatkan informasi secara jelas tentang jumlah responden lembaga tataniaga, sehingga masih harus dilakukan lagi penelusuran terhadap alur pemasaran dari kelinci dari peternak sampai ke konsumen. Jumlah responden dari lembaga tataniaga adalah 8 orang, dimana pedagang pengumpul desa berjumlah 1 orang, pengecer 4 orang yang terdiri dari 3 pengecer dalam Bogor dan 1 pengecer luar Bogor, 2 anggota koperasi dan 1 agen (freezer point)dalam Bogor.

4.5 Metode Pengolahan Data

Data dan informasi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan kalkulator, komputer dan disajikan dalam bentuk deskriptif, gambar dan tabulasi yang digunakan untuk mengelompokkan dan mengklasifikasikan data yang ada dalam melakukan analisis data. Perhitungan marjin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya (Benefit/Cost ratio) dilakukan dengan menggunakan kalkulator. Pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pengelompokan data, perhitungan


(33)

penyesuaian-penyesuaian dengan kalkulator tangan untuk kemudian ditabelkan menurut keperluan.

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif ditujukan untuk menganalisis saluran pemasaran, struktur pasar, dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan pada aspek-aspek efisiensi pemasaran, yakni margin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya.

4.5.1 Analisis Saluran dan Fungsi Tataniaga

Analisis ini digunakan untuk mengetahui saluran tataniaga kelinci baik itu jenis kelinci hias lokal, luar dan pedaging di Desa Gunung Mulya dan lembaga-lembaga yang melakukan fungsi- fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan juga fungsi fasilitas. Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Saluran tataniaga kelinci dapat ditelusuri dari titik produsen sampai ke konsumen akhir. Alur pemasaran tersebut dijadikan dasar dalam menggambarkan pola saluran pemasaran. Semakin panjang rantai yang dilalui, maka saluran tataniaga tersebut biasanya tidak efisien, karena dengan rantai yang semakin panjang maka margin yang tercipta antara produsen dengan konsumen akan semakin besar.

Saluran tataniaga kelinci di wilayah Bogor baik itu kelinci jenis hias lokal, luar dan pedaging dapat dianalisis dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang membentuk rantai saluran pemasaran tersebut. Para lembaga tataniaga ini akan membentuk sebuah alur, yakni berupa saluran tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut berperan sebagai perantara dalam penyampaian kelinci dari produsen kepada konsumen akhir.

Saluran tataniaga (pemasaran) yang berbeda akan menyebabkan perbedaan pendapatan yang diterima oleh lembaga tataniaga yang terlibat. Metode analisis saluran tataniaga diperlukan untuk menelusuri saluran tataniaga kelinci dari produsen yaitu petani sampai ke konsumen akhir. Dari saluran tataniaga yang terbentuk, dapat digambarkan secara keseluruhan pola saluran tataniaga.


(34)

Selain melakukan analisis tataniaga kelinci, penelitian ini juga menganalisis lembaga-lembaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Lembaga-lembaga ini juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Fungsi pertukaran meliputi pembelian dan penjualan, fungsi pembelian merupakan penyaluran barang dari produsen kepada konsumen untuk memenuhi permintaan konsumen. Fungsi penjualan dapat meliputi seluruh kegiatan penjualan. Kegiatan periklanan dan kegiatan-kegiatan promosi lainnya merupakan bagian dari fungsi penjualan yang dapat mempengaruhi permintaan. Keputusan penjulan, pengemasan, pemilihan saluran pemasaran yang terbaik, serta pemilihan waktu dan tempat dan tepat untuk memperoleh konsumen merupakan keputusan-keputusan yang termasuk dalam fungsi penjualan.

Fungsi pengangkutan dilakukan agar produk tersedia di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Fungsi ini termasuk pemilihan alternatif jalur dan jenis alat transportasi yang digunakan yang akan mempengaruhi biaya transportasi. Fungsi pengolahan tidak selalu termasuk dalam fungsi pemasaran, namun dalam pemasaran produk pertanian, fungsi pengolahan ini tidak dapat dihilangkan. Fungsi pengolahan meliputi kegiatan-kegiatan yang merubah bentuk dasar dari suatu produk.

Fungsi pembayaran merupakan kegunaan uang untuk berbagai aspek pemasaran. Fungsi penanggulangan risiko merupakan kemungkinan mengalami resiko kerugian dari pemasaran produk. Risiko ini terdiri dari dua bagian, yaitu risiko fisik dan risiko harga. Risiko fisik terjadi akibat kerusakan produk, sementara risiko harga terjadi karena perubahan nilai produk di pasar. Analisis dari fungsi pemasaran juga dapat digunakan untuk mengevaluasi biaya pemasaran. Kegunaan dari fungsi pemasaran juga dapat membandingkan biaya dari dua lembaga pemasaran. Perbandingan ini dapat dilakukan jika antar lembaga pemasaran saling berhubungan.

4.5.2 Analisis Struktur dan Perilaku Pasar

Struktur pasar dapat diketahui dengan mengetahui jumlah pembeli dan penjual yang terlibat, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi dan keadaan produk, kemudahan memasuki pasar, serta informasi perubahan harga pasar.


(35)

Untuk analisis perilaku pasar, dilakukan pengamatan mengenai praktek penjualan dan pembelian antara produsen, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, sistem penentuan dan pembayaran harga, serta kerjasama antara lembaga pemasaran.

Metode analisis ini diperlukan untuk mengetahui apakah struktur pasar yang terbentuk cenderung mendekati persaingan sempurna atau persaingan tidak sempurna dengan melihat komponen yang mengarahkan pasar ke suatu struktur pasar tertentu. Semakin banyak penjual dan pembeli dan semakin kecilnya jumlah yang diperjualbelikan oleh setiap lembaga pemasar, maka struktur pasar tersebut semakin mendekati kesempurnaan dalam persaingan. Adanya kesepakatan antar sesama pelaku pemasar menimbulkan struktur pasar yang cenderung tidak bersaing sempurna.

Untuk mengetahui struktur pasar kelinci yang terjadi di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya dapat dilihat berdasarkan jumlah lembaga pemasar yang terlibat, mudah tidaknya memasuki pasar, differensiasi produk dan informasi pasar.

Tingkah laku pasar dapat dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pelaku pasar melalui sistem penentuan dan penyebaran harga, dan kerjasama diantara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Perilaku pasar diasumsikan bagaimana pelaku pasar yaitu peternak kelinci, konsumen dan lembaga pemasar menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi.

4.5.3 Analisis Efisiensi Pemasaran 4.5.3.1. Margin Tataniaga

Analisis ini digunakan untuk mengetahui efisiensi pemasaran produk dari produsen kepada konsumen. Margin tataniaga merupakan perbedaan harga diantara lembaga pemasaran. Dengan margin tataniaga dapat diketahui biaya pemasaran dan keuntungan pemsaran. Besarnya margin tataniaga pada dasarnya merupakan pertambahan dari biaya-biaya pemasaran dan keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga. Secara matematis, margin tataniaga lembaga ke-i dapat dinyatakan sebagai berikut:


(36)

...(1)

Keterangan: Mi = Margin Tataniaga di lembaga ke-i Psi = Harga jual pasar di tingkat ke-i Pbi = Harga beli pasar di tingkat ke-i

Margin Total adalah penjumlahan dari margin lembaga ke-i, ke-j dan seterusnya.Secara matematis margin total dapat dinyatakan sebagai berikut:

Keterangan : MT= Margin Total

Mi= Margin Lembaga ke-i Mj= Margin Lembaga ke-j

Margin tataniaga dapat juga diperoleh melalui penjumlahan biaya dan keuntungan pada masing-masing lembaga pemasaran. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

...(2) Keterangan: Ci = Biaya lembaga pemasaran di tingkat ke-i

i = Keuntungan lembaga pemasaran di tingkat ke-i

Dengan menggabungkan kedua persamaan (1) dan (2), maka dapat diperoleh: ... ... (3)

Dengan demikian, keuntungan lembaga pemasaran pada tingkat ke-i adalah: ... (4)

Keterangan :i = Keuntungan lembaga ke-i

Psi = Harga Jual di tingkat lembaga ke-i Pbi = Harga Beli di tingkat lembaga ke-i Ci = Biaya tataniaga lembaga ke-i

4.5.4.2Farmer’s Share

Indikator lain yang digunakan untuk membandingkan harga yang diterima produsen dibandingkan dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir disebut dengan farmer’s share dan dinyatakan dalam persentase. Farmer’s share memiliki hubungan negatif dengan margin tataniaga. Semakin tinggi nilai margin

Mi = Psi – Pbi

Mi = Ci + i

Psi – Pbi = Ci–ii = Psi - Pbi -Ci MT= Mi+ Mj+....


(37)

tataniaga, maka bagian yang diterima produsen akan semakin rendah. Secara matematis, farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut:

Fs = Pf / Pr x 100%

Dimana Fs= Farmer’s share

Pf = Harga di tingkat produsen

Pr = Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir

4.5.4.3 Rasio Keuntungan dan Biaya

Tingkat efisiensi sebuah sistem pemasaran juga dapat dilihat dari rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran. Dengan semakin meratanya rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran, maka secara teknis (operasional) sistem pemasaran tersebut semakin efisien. Untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga pemasaran, dapat dinyatakan sebagai berikut :

Dimana i = Keuntungan tataniaga lembaga ke-i Ci = Biaya tataniaga ke-i


(38)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Keadaan Umum Desa Gunung Mulya

Desa Gunung Mulya berada di wilayah Kecamatan Tenjo Laya, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Desa ini merupakan ekspansi dari Desa Gunung Malang dengan luas wilayah 385 hektar dan ketinggian dari permukaan laut 600 dpl. Curah hujan rata-rata didesa ini 278 mm/bulan dengan kelembaban suhu rata-rata 27-30°C. Desa Gunung Mulya memiliki batas-batas wilayah yaitu Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Situ Daun, Sebelah Selatan Berbatasan dengan Desa Gunung Malang, Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tapos 2 dan Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Suka Jadi.

Penduduk Desa Gunung Mulya berdasarkan mata pencaharian yaitu petani 503 orang, pemilik tanah 1515 orang, petani penggarap 862 orang, buruh tani 343 orang, pengrajin 350 orang, buruh bangunan 270, pedagangan 1852 orang, pengemudi 25 orang, PNS 7 orang dan pensiunan TNI/POLRI 3 orang. Penggunaan tanah pada Desa Gunung Mulya adalah sebagai berikut : Tanah Sawah yaitu untuk Irigasi tehnis 67 hektar, irigasi setengah tehnis 118 Ha, irigasi sederhana 4 hektar dan tadah hujan 17 hektar. Untuk lahan kering yaitu Pemukiman 62 hektar, pekarangan 135 hektar, tegalan/kebun 18 hektar. Untuk perkebunan, perkebunan negara seluas 55 hektar.

Jarak Desa Gunung Mulya ke Kecamatan Tenjolaya adalah 5 km, Kecamatan ke Pemerintahan Kabupaten Bogor adalah 40 km, dari Kecamatan Ke Provinsi jawa Barat adalah 150 km dan jarak ke Ibukota Negara RI adalah 75 km. Desa Gunung Mulya memiliki 2 Dusun, 6 RW dan 22 RT, dengan jumlah penduduk 6.674 orang, terdiri dari laki-laki 3.274 orang, perempuan 3.490 orang dan 1.827 Kepala Keluarga. Desa ini memiliki rata-rata kepadatan penduduk 60,7 Jiwa/Km2. Jumlah penduduk Desa Gunung Mulya berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 7.


(39)

Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur (Tahun) Jumlah Jiwa

Laki-laki (Orang) Perempuan (Orang)

0-4 467 261

5-9 287 291

10-14 290 299

15-19 305 287

20-24 305 296

25-29 264 253

30-34 267 239

35-39 95 164

40-44 183 169

45-49 188 181

50-54 175 163

55-59 243 144

60-64 133 126

65-69 258 132

70-Keatas 156 143

Sumber : Laporan Potensi Desa Gunung Mulya Tahun 2011

5.2 Karakteristik Peternak Kelinci

Pada penelitian ini jumlah responden sebanyak 25 orang peternak yang terdapat di Desa Gunung Mulya. Dari 25 responden, 24 orang sudah menikah, sedangkan 1 orang belum menikah. Kegiatan Budidaya Kelinci yang dilakukan oleh peternak meliputi pembuatan kandang, pemberian pakan, perkawinan, pemeliharaan, pembersihan dari hama dan penyakit dilakukan sendiri oleh peternak tanpa dibantu oleh tenaga kerja. Jenis kelinci yang dibudidayakan di Desa Gunung Mulya adalah Kelinci hias jenis lokal dan Kelinci hias jenis Angora, Rex, Lion, Bulu Karpet serta jenis pedaging yaitu jenis pedaging lokal dan jenis Gibbas.

Dari 25 responden peternak kelinci memiliki umur dari 19-60 tahun, dengan kelompok usia yang dominan yaitu usia 31-40 Tahun dengan persentase sebesar 64 persen. Kelompok umur peternak kelinci dilihat pada Tabel 8. Dari 25 responden, sebanyak 4 orang responden melakukan kegiatan budidaya kelinci sebagai pekerjan utama dan 21 responden lainnya sebagai pekerjaan sampingan.


(40)

Tabel 8. Kelompok Umur Peternak Kelinici Responden Desa Gunung Mulya, Kecamatan Tenjo Laya, Kabupaten Bogor, Bulan Februari-Maret 2012 No Kelompok Umur

(Tahun)

Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 11-20 1 4

2 21-30 3 12

3 31-40 16 64

4 41-50 3 12

5 51-60 2 8

Jumlah 25 100

Berdasarkan tingkat pendidikan, peternak kelinci di Desa Gunung Mulya kebanyakan lulusan Sekolah Dasar. Dari 25 peternak kelinci responden terdapat 16 orang lulusan SD dengan persentase terbanyak yaitu 64 persen. Tingkat pendidikan yang terdapat pada peternak kelinci dapat dilihat pada Tabel 9. Dari 25 peternak kelinci responden, hanya 6 orang yang pernah mengikuti pendidikan nonformal berupa pelatihan budidaya kelinci yang dilakukan oleh BP3K Cibungbulang pada Tahun 2010-2011.

Tabel 9. Tingkat Pendidikan Peternak Kelinci Responden Desa Gunung Mulya, Kecamatan Tenjo Laya, Kabupaten Bogor, Bulan Februari-Maret 2012 No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Tamat SD 16 64

2 Tamat SMP 5 20

3 Tamat SMA 3 12

4 Tamat S1 1 4

Jumlah 25 100

Peternak kelinci di Desa Gunung Mulya dari 25 responden memiliki kandang sendiri dengan luas yang relatif berbeda-beda yang disesuaikan dengan jumlah Indukan kelinci yang dimiliki. Umumnya kandang dibuat dari bahan yang sederhana yaitu bambu dan menggunakan atap genteng. Setiap kandang terdapat kamar yang memisahkan antara kelinci indukan untuk proses perkawinan dan kandang anakan untuk proses pembesaran anakan. Data mengenai luas kandang kelinci terdapat pada Tabel 10.


(1)

Biaya Tataniaga ditingkat Koperasi Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal

Harga

(Rp) Jumlah (Ekor)

Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 100.000 200 500

Biaya Pengemasan 60.000 200 300

Biaya Penyimpanan 57.250 200 286,25

Total Biaya Tataniaga 217.250 1086,25

Biaya Tataniaga kelinci Hias Luar

Harga

(Rp) Jumlah (Ekor)

Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 20.000 40 500

Biaya Pengemasan 15.000 40 375

Biaya Penyimpanan 57.250 40 1431,25

Total Biaya Tataniaga 92.250 2306,25

Biaya Tataniaga kelinci Pedaging

Harga (Rp)

Jumlah

(kilogram) Total (Rp/kilogram)

Biaya pengangkutan 40.000 40 1000

Biaya Pengemasan 10.000 40 250

Biaya Penyimpanan 25.000 40 625

Biaya pengolahan 307.500 40 7687,5

Total biaya tataniaga 382.500 9562,5

Biaya Tataniaga di tingkat Pengecer Pengecer Kelinci Hias Lokal

Tujuan : Kebun Raya dan Cibinong

Pembelian kelinci dari Tengkulak Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal Harga (Rp) Jumlah (Ekor) Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 160.000 1.351 118,430792

Biaya Pengemasan 45.000 1.351 33,30866025

Biaya Penyimpanan 100.000 1.351 74,019245

Biaya Retribusi 20.000 1.351 14,803849

Total Biaya Tataniaga 325.000 240,5625463

Pengecer Kelinci Jenis Hias Lokal

Tujuan : Pasar Leweliang dan IPB

Pembelian kelinci dari Peternak Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Luar Harga (Rp) Jumlah (Ekor) Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 20.000 80 250

Biaya Pengemasan 45.000 80 562,5

Biaya Penyimpanan 20.000 80 250

Biaya Retribusi 20.000 80 250


(2)

94 Pengecer Kelinci Hias Lokal

Tujuan : Kebun Raya dan Cibinong

Pembeli kelinci dari koperasi Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal Harga (Rp) Jumlah (Ekor) Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 80.000 200 400

Biaya Pengemasan 30.000 200 150

Biaya Penyimpanan 20.000 200 100

Biaya Retribusi 20.000 200 100

Total Biaya Tataniaga 150.000 200 750

Pengecer Kelinci Hias Lokal

Tujuan Jakarta dan Depok

Pembeli kelinci dari tengkulak Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal Harga (Rp) Jumlah (Ekor) Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 160.000 78 2051,282051

Biaya Pengemasan 45.000 78 576,9230769

Biaya Penyimpanan 10.000 78 128,2051282

Biaya Retribusi 20.000 78 256,4102564

Total Biaya Tataniaga 235.000 78 3012,820513

Pengecer Kelinci Hias Luar

Tujuan Kebun Raya dan Cibinong

Pembelian kelinci dari tengkulak Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal Harga (Rp) Jumlah (Ekor) Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 40.000 40 1000

Biaya Pengemasan 15.000 40 375

Biaya retribusi 20.000 40 500

Total Biaya Tataniaga 75.000 40 1875

Pengecer Kelinci Hias Luar

Tujuan : Kebun Raya dan Cibinong

Pembelian kelinci dari koperasi Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal Harga (Rp) Jumlah (Ekor) Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 40.000 40 1000

Biaya Pengemasan 15.000 40 375

Biaya retribusi 20.000 40 500

Total Biaya Tataniaga 75.000 40 1875

Pengecer Kelinci Hias Luar Jakarta dan Depok beli dari tengkulak Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal Harga (Rp) Jumlah (Ekor) Total (Rp/Ekor)

Biaya pengangkutan 80.000 20 4000

Biaya Pengemasan 15.000 20 750

Biaya retribusi 20.000 20 1000


(3)

Pengecer Kelinci Pedaging

Tujuan :Konsumen Bogor

Pembelian kelinci dari Koperasi Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal Harga (Rp)

Jumlah (kilogram)

Total (Rp/kilogram)

Biaya pengangkutan 30.000 15 2000

Biaya Pengemasan 15.000 15 1000

Biaya penyimpanan 15.000 15 1000

Total biaya tataniaga 60.000 15 4000

Pengecer Kelinci Pedaging

Tujuan : Konsumen Luar Bogor

Pembelian kelinci dari koperasi Biaya Tataniaga Kelinci Hias

Lokal Harga (Rp)

Jumlah (kilogram)

Total (Rp/kilogram)

Biaya pengangkutan 80.000 15 5333,333333

Biaya Pengemasan 15.000 15 1000

Biaya penyimpanan 15.000 15 1000


(4)

96 Lampiran 5.Dokumentasi di Lokasi Penelitian

Kandang Peternak kelinci Salah satu jenis kelinci hias lokal

Kelinci hias lokal umur 3 minggu sandal dari bulu dan kulit kelinci


(5)

RINGKASAN

FATMA SARI ODE. Analisis Tataniaga Kelinci Pada Kampoeng Kelinci Desa Gunung Mulya, Kecamatan Tenjo Laya kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan FEBRIANTINA DEWI).

Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari subsektor pertanian, dimana sektor pertanian memiliki peran strategis dalam pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat atas bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Keberhasilan pembangunan tersebut berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat yang semula lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat kearah konsumsi daging telur dan susu. Tingkat konsumsi daging Indonesia rata-rata dari tahun 2005-2009 berkisar antara 2,3-2,4 gram per kapita per hari yang berarti masih dibawah norma gizi yang dianjurkan yaitu sekitar 6 gram per kapita per hari untuk kebutuhan protein hewani.

Rendahnya konsumsi daging karena harga jual daging yang tinggi dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya seperti ikan, susu dan telur. Ternak unggas seperti kelinci dapat diandalkan sebagai penyedia daging karena mempunyai kapasitas produksi yang tinggi (sekali melahirkan anakan antara 6-10 ekor), dengan tingkat pertumbuhan cepat, dan membutuhkan pakan yang tidak berkompetisi dengan manusia, serta pemeliharaannya relatif mudah dan murah. Selain sebagai penghasil daging, kelinci juga merupakan hewan hias yang sangat potensial seperti penghasil bulu, fur (bulu dan kulit) atau sebagai ternak hias.

Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki populasi kelinci tertinggi ketiga di Indonesia. Salah satu Kabupaten di Jawa Barat yang mengalami peningkatan dalam jumlah populasi kelinci adalah Kabupaten Bogor. Peningkatan populasi kelinci di Kabupaten Bogor karena pemerintah Bogor gencar menggalakkan pengembangan kelinci salah satunya dengan membentuk Kampoeng Kelinci yang bertempat di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor. Peternak kelinci di Desa Gunung Mulya membudidayakan tiga jenis kelinci yaitu kelinci hias jenis lokal, kelinci hias jenis luar dan kelinci jenis pedaging.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis saluran dan fungsi tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging, mengidentifikasi dan menganalisis struktur dan perilaku pasar pada lembaga tataniaga kelinci, menganalisis margin tataniaga, farmer’s share dan ratio keuntungan dan biaya pada tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging serta menganalisis efisiensi tataniaga ketiga jenis kelinci berdasarkan ratio keuntungan dan biaya. Penelitian ini dilakukan di Kampoeng Kelinci Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor pada Bulan Februari-Maret 2012. Penentuan responden dari peternak menggunakan metode Sensus sedangkan penentuan lembaga tataniaga kelinci menggunakan Snawball sampling. Dengan berbagai data dan informasi yag dipeoleh maka dapat dianalisis saluran fungsi, perilaku dan struktur pasar pada tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya, setelah itu dihitung margin,farmer’s share dan ratio keuntungan dan biaya dari ketiga jenis kelinci di


(6)

Saluran tataniaga kelinci hias jenis lokal terdiri dari lima saluran tataniaga, kelinci hias jenis luar terdiri dari tiga saluran tataniaga dan tataniaga kelinci pedaging terdiri dari tiga saluran tataniaga. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging meliputi semua fungsi tataniaga yaitu fingsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Struktur pasar yang dihadapi oleh peternak kelinci cenderung mendekati struktur pasar persaingan sempurna sedangkan untuk lembaga tataniaga mendekati struktur pasar persaingan tidak sempurna. Perilaku pasar dalam tataniaga kelinci dapat dilihat dari pembelian dan penjualan semua jenis kelinci, sistem pembayaran dan sistem penentuan harga untuk semua jenis kelinci serta kerjasama antar lembaga tataniaga kelinci.

Diantara ketiga jenis kelinci, margin tataniaga kelinci tertinggi terdapat pada kelinci jenis pedaging yaitu pada antara Rp 65-84.000 per kilogram sedangkan margin terendah terdapat pada tataniaga kelinci jenis hias lokal yaitu antara Rp 3-16.875 per ekor kelinci. Nilai farmer’s share tertinggi diantara ketiga jenis kelinci adalah pada tataniaga kelinci hias jenis luar yaitu antara 58-73,3 persen sedangkan nilai farmer’s share terendah terdapat pada tataniaga kelinci jenis pedaging yaitu antara 21-26,4 persen. Berdasarkan analisis keuntungan terhadap biaya, diantara ketiga jenis kelinci nilai ratio keuntungan dan biaya tertinggi terdapat pada tataniaga kelinci hias jenis lokal terutama pada saluran 2 yaitu antara 26,8-36,5 sedangkan nilai ratio keuntungan terendah terdapat pada tataniaga kelinci hias jenis pedaging yaitu 1,5. Analisis efisiensi teknis dapat dilihat dari ratio keuntungan terhadap biaya sehingga pada penelitian ini, tataniaga kelinci yang paling efisien adalah pada tataniaga kelinci hias jenis lokal. Sedangkan efisiensi dari sisi petani terdapat pada tataniaga kelinci hias jenis luar karena memiliki nilai rata-rata farmer’s share yang tinggi.

Pada penelitian ini disarankan peternak lebih banyak membudidayakan kelinci hias jenis luar, selain itu peternak sebelum melakukan penjualan sebaiknya melakukan proses grading sehingga dapat meningkatkan nilai jual kelinci serta peternak sebaiknya jangan menjual kelinci dalam keadaan sakit, ada baiknya kelinci yang sakit diobati dulu setelah kelinci sembuh baru dijual agar harga jual kelinci tidak jatuh.