Perbandingan Panjang Sumbu Bola Mata Pada Anak Miopia Dan Emmetropia Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2014

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI ANAK

Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak, yang dimaksud anak menurut Undang-undang tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

II.2 STATUS REFRAKSI PADA ANAK

Status refraksi pada anak berubah seiring dengan perubahan panjang sumbu bola mata, kornea dan lensa semakin rata. Secara umum, bayi baru lahir Hiperopia, kemudian menjadi lebih hiperopik sampai usia 7 tahun, lalu mengalami Myopic shift menjadi plano, saat bola mata sudah cukup matang yang biasanya terjadi pada usia 16 tahun. Perubahan dalam kesalahan refraksi sangat luas, namun jika Miopia terjadi sebelum usia 10 tahun, resiko Miopia dengan koreksi spheris 6D atau lebih akan mungkin terjadi. Astigmatisma biasa terjadi pada bayi, sering mengalami regresi. (Fouraker, Hered, Isbey et all, AAO, 2014)

Emmetropization adalah suatu proses perkembangan pada mata dimana kekuatan refraksi dari segmen anterior dengan sumbu bolamata berkesinambungan untuk mencapai Emmetropia. Contoh dari hal ini ialah hilangnya astigmatisma pada bayi dan hilangnya Hiperopia pada anak umur 6-8 tahun. Penelitian pada binatang menunjukkan jika pemaksaan


(2)

Hiperopia atau Miopia dengan lensa kacamata pada bayi, hal ini akan mengakibatkan sumbu bolamata menjadi lebih panjang sehingga menghilangkan pemaksaan kesalahan refraksi. (Fouraker, Hered, Isbey et all, AAO, 2014)

II.3 DEFINISI KELAINAN REFRAKSI

Kelainan refraksi atau ametropia adalah suatu keadaan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak tepat di retina. (American Academy of Ophthalmology,2011)

Kelainan refraksi dikelompokkan atas; (khurana AK,2007)

 Miopia

 Hipermetropia

 Astigmatisma

Kelainan refraksi merupakan penyakit mata nomor 1 (22,1%) dari 10 penyakit mata di Indonesia, dengan prevalensi 0,14% sebagai penyebab kebutaan setelah katarak dan glaukoma. Sedangkan miopia merupakan kelainan refraksi yang hampir selalu menduduki urutan teratas dibanding hipemetropia dan astigmatisma. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih sangat rendah, yaitu 12,5% dari prevalensi. (GB Hamurwono,1884,Depkes,1983)


(3)

II.3.1 Miopia

Miopia atau rabun jauh merupakan jenis kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar sumbu penglihatan yang datang dari jarak tak terhingga difokuskan didepan retina saat tidak berakomodasi. Untuk dapat melihat dengan jelas sinar yang datang pada mata akan dibiaskan oleh kornea dan lensa sedemikian sehingga sinar-sinar tersebut terfokus tepat di retina. Agar hal ini dapat tercapai, diperlukan keseimbangan antara daya bias kornea dan lensa dengan panjang sumbu bola mata. panjang sumbu bola mata normal antara 23-25 mm, sedangkan daya bias kornea dan lensa masing-masing 43,05 D dan 19,11 D.(AAO,2014)

Miopia dibedakan menurut derajatnya menjadi miopia rendah, sedang dan tinggi. Sedangkan berdasarkan keadaan klinisnya dibedakan menjadi miopia simplek, intermediate dan patologis. (Parera, CA,1957; Pruett, 1994)

Menurut American Optometric Association (2006), miopia secara klinis dapat terbagi lima yaitu:

1. Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang terlalu tinggi.

2. Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di sekelilingkurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata seseorang bervariasi terhadaptahap pencahayaan yang ada. Miopia ini dipercaya penyebabnya adalah pupilyang membuka terlalu lebar untuk


(4)

memasukkan lebih banyak ,cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia.

3. Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot–otot siliar yang memegang lensa kristalina. Di Indonesia, disebut dengan miopia palsu, karena memang sifat miopia ini hanya sementara sampai kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan. Untuk kasus ini, tidak boleh buru – buru memberikanlensa koreksi. 4. Miopia Degeneretif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia

malignaatau miopia progresif. Biasanya merupakan miopia derajat tinggi dan tajam penglihatannya juga di bawah normal meskipun telah mendapat koreksi. Miopia jenis ini bertambah buruk dari waktu ke waktu.

5. Miopia Induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat – obatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa dan sebagainya.

Pengelompokan miopia berdasarkan penyebabnya : (Khurana, 2007)

a. Miopia aksial, miopia yang disebabkan oleh peningkatan panjang antero-posterior bola mata. Merupakan bentuk miopia yang paling sering dijumpai.

b. Miopia refraktif, miopia yang disebabkan oleh peningkatan kekuatan refraksi mata. Miopia ini dibedakan atas:

Curvatural myopia, miopia yang disebabkan oleh peningkatan kelengkungan kornea, lensa, atau keduanya, sehingga kekuatan


(5)

refraksi meningkat. Misalnya pada keratokonus, atau pada hiperglikemia sedang ataupun berat, yang menyebabkan lensa membesar.

Index myopia, disebabkan peningkatan indeks refraksi lensa mata. Positional myopia, miopia yang disebabkan pergerakan lensa

mata ke anterior.

Pengelompokan miopia secara klinis : (Khurana,2007;Lang,2000) a. Simple Myopia, disebut juga miopia fisiologis atau developmental

myopia atau school myopia, yang berhubungan dengan variasi proses pertumbuhan normal dari bola mata atau media refraksinya dan menimbulkan miopia ringan atau sedang.

b. Pathologic Myopia, disebut juga Malignant, progressive atau degenerative myopia. Merupakan miopia derajat tinggi akibat pertumbuhan panjang aksis bola mata yang berlebihan.

Berdasarkan waktu terjadinya, miopia dibedakan atas: ( AAO,2011; khurana, 2007)

a. Congenital myopia, miopia yang timbul sejak lahir, biasanya didiagnosa pada umur 2-3 tahun. Miopia ini biasanya berhubungan dengan kelainan kongenital seperti katarak, mikrophthalmia, aniridia atau megalokornea.

b. Juvenile onset myopia, yaitu miopia yang timbul pada saat usia anak-anak dan remaja antara usia 7-16 tahun. Faktor primer timbulnya miopia ini adalah pertumbuhan panjang aksial bola mata dengan faktor


(6)

resiko antara lain lahir prematur, riwayat keluarga dan banyak membaca dekat.

Semakin dini usia timbulnya miopia maka semakin besar proses pertambahan miopianya.

c. Adult onset myopia, yaitu miopia mulai timbul pada umur berkisar 20

tahunan. Terlalu banyak mambaca dekat merupakan faktor resiko

untuk miopia ini.

Pengelompokan miopia berdasarkan kekuatan lensa koreksi yang diberikan derajat : (khurana, 2007, Lang, 2000)

1. Ringan : lensa koreksinya sferis - 0,25 s/d -3,00 Dioptri 2. Sedang : lensa koreksinya sferis - 3,25 s/d -6,00 Dioptri. 3. Berat :lensa koreksinya sferis > - 6,00 Dioptri.

II.3.2 PEMERIKSAAN

Teknik pemeriksaan refraksi terdiri dari pemeriksaan secara subjektif dan objektif.

a.

Pemeriksaan refraksi subjektif adalah teknik/metode pemeriksaan refraksi yang bergantung pada respon penderita dalam menentukan hasil koreksi refraksi. Pada gangguan refraksi sferis, pemeriksaan refraksi subjektif cenderung lebih mudah dilakukan (teknik trial and error) dibanding pada astigmatisma yang cenderung lebih kompleks (teknik kipas astigmatisma dan cross cylinder).1-3


(7)

Trial and error

Pemeriksaan refraksi subjektif dengan teknik trial and error dilakukan dengan cara mencoba menempatkan lensa sferis negatif atau positif sehingga didapatkan visus 6/6. Lensa sferis negatif yang dipilih adalah lensa sferis negatif terkecil dan untuk lensa sferis positif, dipilih lensa sferis positif terbesar.(Azar D. T., Azar N. F., Brodie S. E. Et all, AAO,2014;KHURANA, 2007)

Kipas astigmatisma (astigmatic dial technique)

Langkah-langkah yang dilakukan pada pemeriksaan astigmatisma dengan teknik kipas astigmatisma:

1. Dapatkan visus terbaik dengan menggunakan lensa sferis positif atau negatif.

2. Dilakukan fogging (pengaburan) dengan menggunakan lensa sferis positif sehingga visus menjadi 20/50 (6/15).

3. Dengan menggunakan kipas astigmatisma, penderita diminta memperhatikan dimana garis yang tampak lebih hitam.

4. Ditambahkan lensa silinder negatif pada aksis yang tegak lurus garis yang lebih hitam (pada aksis yang kabur) sehingga seluruh kipas astigmatisma tampak sama hitam.

5. Diturunkan perlahan ukuran lensa sferis positif sehingga didapatkan visus terbaik pada Snellen chart. (Khurana,2007)


(8)

b.

Pemeriksaan refraksi objektif adalah teknik/metode pemeriksaan refraksi dimana pasien pasif, dan hasil pengukuran diperoleh dari hasil observasi alat yang dipergunakan.(AAO,2011; Khurana,2007; Lang,2000)

Pemeriksaan refraksi objektif

Autorefraktometer

Autorefraktometer adalah mesin dikontrol NGA`komputer yang digunakan pada pemeriksaan refraksi objektif dengan prinsip pengukuran perubahan sinar ketika masuk ke mata pasien. Autorefraktometer menentukan secara otomatis hasil koreksi kelainan refraksi. Pemeriksaan yang dilakukan bersifat cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit.

Dalam penelitian ini pemeriksaan refraksi akan dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan refraksi subjektif. Namun kelemahan dari metode ini adalah bahwa hasil refraksi bergantung sepenuhnya pada respons pasien, sehingga diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien, termasuk dalam menggunakan istilah tertentu, misalnya lebih jelas atau lebih kabur.

Pemeriksaan objektif adalah pemeriksaan refraksi dimana hasil refraksi dapat ditentukan tanpa mengandalkan masukan atau respons dari pasien. Kelebihan pemeriksaan ini adalah pemeriksaan dapat dilakukan tanpa informasi subjektif dari pasien mengenai kualitas visus yang diperoleh selama prosedur berlangsung. Kerja sama dari pasien yang diperlukan hanya pada saat, misalnya, meletakkan kepala, atau memfiksasi pandangan pada target tertentu. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan retinoskopi, otorefraksi, atau fotorefraksi.


(9)

II.4 SUMBU BOLA MATA

Kebanyakan pertumbuhan sumbu bola mata terjadi pada tahun pertama kehidupan,panjang axial length terjadi 3 fase, fase pertama terjadi sangat cepat pada 6 bulan pertama, peningkatan panjang sumbu bolamata ±4mm. Selama fase kedua (2-5 tahun) dan fase ketiga (5-13 tahun) pertumbuhan melambat sekitar 1 mm pertambahan panjang bola mata pada setiap fase. (Fouraker, Hered, Isbey et all, American Academy of Ophthalmology 2014).

Panjang sumbu bola mata adalah jarak antara kutub anterior dan posterior bola mata, yaitu mulai dari tear film hingga retinal pigment epithelium (RPE). Pada neonatus rata-rata panjang sumbu bola mata 17mm dan mencapai terus berkembang sampai usia 13 tahun. Hal ini yang mendasari pengambilan sampel penelitian dimulai pada usia 13 tahun. Pada miopia panjang sumbu bola mata> 24mm dan < 24mm pada hiperopia. Setiap perubahan panjang 1mm sumbu bola mata merubah sekitar 2,5D. (Lubis R.R., 2006; Fouraker, Hered, Isbey et all, American Academy of Ophthalmology 2014).

Terdapat dua teori utama tentang terjadinya pemanjangan sumbu bola mata pada myopia. Teori biologik menganggap pemanjangan sumbu bola mata sebagai akibat kelainan pertumbuhan retina(overgrowth) sedangkan teori mekanik mengemukakan penekanan (stress) sklera sebagai penyebab pemanjangan tersebut. Berikut ini akan diuraikan pendapat-pendapat para ahli tentang mekanisme dari kedua teori tersebut


(10)

dan kemudian akan dibahas pula tentang kemungkinan adanya hubungan diantara keduanya. (sativa O.,2002).

Salah satu mekanisme pemanjangan sumbu bola mata yang diajukan pada teori mekanik adalah penekanan bola mata oleh muskulus rektus medial dan oblik superior. Seperti diketahui, penderita Miopia selalu menggunakan konvergensi yang berlebihan. Menurut Von graefe, otot ekstraokular, terutama rektus medial bersifat miopigenik karena kompresinya terhadap bola mata pada saat konvergensi. Jakson, menganggap bahwa konvergensi merupakan faktor etiologik yang penting dalam perkembangan myopia. Dikemukakan juga bahwa muskulus oblik superior juga menekan bola mata pada waktu melihat atau bekerja dekat. (Sativa O.,2002).

Tabel panjang sumbu bola mata normal :

Available at :

http://medical-dictionary.thefreedictionary. com/axial+ length+ of+the+eye

Pemanjangan sumbu bola mata mengakibatkan peregangan disertai perubahan struktur internal dan dinding bola mata. Perubahan khorioretina mengakibatkan berkurangnya jumlah sel konus pada makula,


(11)

dan terjadi penurunan visus sentral. Sehingga sering kali visus penderita miopia tinggi setelah dikoreksi tidak bisa mencapai 6/6.(Duke Elder, 1970; Curtin,1985).

II.5 PEMERIKSAAN SUMBU BOLA MATA Biometri

Biometri dengan ultrasonografi merupakan pemeriksaan non invasif tidak menyakitkan dan tidak merusak jaringan. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi batas-batas dan karakterisktik jaringan lunak mata dan orbita. Pemeriksaan ini pertama kali dikembangkan oleh Mundt dan Hughes pada tahun 1956. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang ultrasonik dengan frekuensi tinggi yang dipancarkan oleh transduser, yang kemudian menerima gelombang pantulan jaringan mata. Pantulan ini diproses menjadi grafik atau gambar yang dapat dimengerti, baik berupa grafik 1 dimensi (A scan) atau 2 dimensi (B scan). (Duke Elder, 1970; Curtin,1985; Lubis R. R., 2009).

Biometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur panjang sumbu bola mata. Biometri yang digunakan adalah biometri A-scan, dengan ketepatan pengukuran sumbu bola mata bervariasi antara 0.1 – 0.2 mm atau sekitar 0.25 – 0.50 dioptri. Teknik yang selama ini digunakan ada dua jenis yaitu (1) aplanasi dan (2) imersi. Teknik imersi sedikit lebih akurat dibandingkan dengan teknik aplanasi, karena probe ultrasound sama sekali tidak menyentuh kornea sehingga menghindari penekanan (indentasi) yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Sayangnya


(12)

teknik imersi ini dianggap kurang praktis dibandingkan aplanasi karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan pasien. Teknik aplanasi diyakini mempunyai akurasi cukup baik jika dilakukan dengan hati-hati. Ketepatan pengukuran juga akan lebih baik jika dilakukan pada penderita dengan posisi tegak (duduk) dibandingkan hasil yang diperoleh ketika penderita posisi berbaring. (Istiantoro S., 2004; Duke Elder, 1970; Curtin,1985).

Hal lain yang perlu diperhatikan saat melakukan pemeriksaan biometri A-scan adalah mengenai hasil pemeriksaan yang baik. Hasil pemeriksaan yang baik adalah terdapat 5 buah echo, yaitu echo kornea yang tinggi; echo yang tinggi dari lensa bagian anterior dan posterior lensa; echo retina yang tinggi dengan bentuk yang langsung tegak lurus; echo yang tidak terlalu tinggi dari sclera; dan echo yang rendah yang berasal dari lemak orbita. Tinggi echo yang baik, bila ketinggian echo dari bagian anterior lensa harus lebih dari 90%; echo yang berasal dari posterior lensa tingginya antara 50-75%; dan bila echo retina mempunyai tinggi lebih dari 75%.(Duke Elder, 1970; Curtin,1985)


(1)

Trial and error

Pemeriksaan refraksi subjektif dengan teknik trial and error dilakukan dengan cara mencoba menempatkan lensa sferis negatif atau positif sehingga didapatkan visus 6/6. Lensa sferis negatif yang dipilih adalah lensa sferis negatif terkecil dan untuk lensa sferis positif, dipilih lensa sferis positif terbesar.(Azar D. T., Azar N. F., Brodie S. E. Et all, AAO,2014;KHURANA, 2007)

Kipas astigmatisma (astigmatic dial technique)

Langkah-langkah yang dilakukan pada pemeriksaan astigmatisma dengan teknik kipas astigmatisma:

1. Dapatkan visus terbaik dengan menggunakan lensa sferis positif atau negatif.

2. Dilakukan fogging (pengaburan) dengan menggunakan lensa sferis positif sehingga visus menjadi 20/50 (6/15).

3. Dengan menggunakan kipas astigmatisma, penderita diminta memperhatikan dimana garis yang tampak lebih hitam.

4. Ditambahkan lensa silinder negatif pada aksis yang tegak lurus garis yang lebih hitam (pada aksis yang kabur) sehingga seluruh kipas astigmatisma tampak sama hitam.

5. Diturunkan perlahan ukuran lensa sferis positif sehingga didapatkan visus terbaik pada Snellen chart. (Khurana,2007)


(2)

b.

Pemeriksaan refraksi objektif adalah teknik/metode pemeriksaan refraksi dimana pasien pasif, dan hasil pengukuran diperoleh dari hasil observasi alat yang dipergunakan.(AAO,2011; Khurana,2007; Lang,2000)

Pemeriksaan refraksi objektif

Autorefraktometer

Autorefraktometer adalah mesin dikontrol NGA`komputer yang digunakan pada pemeriksaan refraksi objektif dengan prinsip pengukuran perubahan sinar ketika masuk ke mata pasien. Autorefraktometer menentukan secara otomatis hasil koreksi kelainan refraksi. Pemeriksaan yang dilakukan bersifat cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit.

Dalam penelitian ini pemeriksaan refraksi akan dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan refraksi subjektif. Namun kelemahan dari metode ini adalah bahwa hasil refraksi bergantung sepenuhnya pada respons pasien, sehingga diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien, termasuk dalam menggunakan istilah tertentu, misalnya lebih jelas atau lebih kabur.

Pemeriksaan objektif adalah pemeriksaan refraksi dimana hasil refraksi dapat ditentukan tanpa mengandalkan masukan atau respons dari pasien. Kelebihan pemeriksaan ini adalah pemeriksaan dapat dilakukan tanpa informasi subjektif dari pasien mengenai kualitas visus yang diperoleh selama prosedur berlangsung. Kerja sama dari pasien yang diperlukan hanya pada saat, misalnya, meletakkan kepala, atau memfiksasi pandangan pada target tertentu. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan retinoskopi, otorefraksi, atau fotorefraksi.


(3)

II.4 SUMBU BOLA MATA

Kebanyakan pertumbuhan sumbu bola mata terjadi pada tahun pertama kehidupan,panjang axial length terjadi 3 fase, fase pertama terjadi sangat cepat pada 6 bulan pertama, peningkatan panjang sumbu bolamata ±4mm. Selama fase kedua (2-5 tahun) dan fase ketiga (5-13 tahun) pertumbuhan melambat sekitar 1 mm pertambahan panjang bola mata pada setiap fase. (Fouraker, Hered, Isbey et all, American Academy of Ophthalmology 2014).

Panjang sumbu bola mata adalah jarak antara kutub anterior dan posterior bola mata, yaitu mulai dari tear film hingga retinal pigment epithelium (RPE). Pada neonatus rata-rata panjang sumbu bola mata 17mm dan mencapai terus berkembang sampai usia 13 tahun. Hal ini yang mendasari pengambilan sampel penelitian dimulai pada usia 13 tahun. Pada miopia panjang sumbu bola mata> 24mm dan < 24mm pada hiperopia. Setiap perubahan panjang 1mm sumbu bola mata merubah sekitar 2,5D. (Lubis R.R., 2006; Fouraker, Hered, Isbey et all, American Academy of Ophthalmology 2014).

Terdapat dua teori utama tentang terjadinya pemanjangan sumbu bola mata pada myopia. Teori biologik menganggap pemanjangan sumbu bola mata sebagai akibat kelainan pertumbuhan retina(overgrowth) sedangkan teori mekanik mengemukakan penekanan (stress) sklera sebagai penyebab pemanjangan tersebut. Berikut ini akan diuraikan pendapat-pendapat para ahli tentang mekanisme dari kedua teori tersebut


(4)

dan kemudian akan dibahas pula tentang kemungkinan adanya hubungan diantara keduanya. (sativa O.,2002).

Salah satu mekanisme pemanjangan sumbu bola mata yang diajukan pada teori mekanik adalah penekanan bola mata oleh muskulus rektus medial dan oblik superior. Seperti diketahui, penderita Miopia selalu menggunakan konvergensi yang berlebihan. Menurut Von graefe, otot ekstraokular, terutama rektus medial bersifat miopigenik karena kompresinya terhadap bola mata pada saat konvergensi. Jakson, menganggap bahwa konvergensi merupakan faktor etiologik yang penting dalam perkembangan myopia. Dikemukakan juga bahwa muskulus oblik superior juga menekan bola mata pada waktu melihat atau bekerja dekat. (Sativa O.,2002).

Tabel panjang sumbu bola mata normal :

Available at :

http://medical-dictionary.thefreedictionary. com/axial+ length+ of+the+eye

Pemanjangan sumbu bola mata mengakibatkan peregangan disertai perubahan struktur internal dan dinding bola mata. Perubahan khorioretina mengakibatkan berkurangnya jumlah sel konus pada makula,


(5)

dan terjadi penurunan visus sentral. Sehingga sering kali visus penderita miopia tinggi setelah dikoreksi tidak bisa mencapai 6/6.(Duke Elder, 1970; Curtin,1985).

II.5 PEMERIKSAAN SUMBU BOLA MATA Biometri

Biometri dengan ultrasonografi merupakan pemeriksaan non invasif tidak menyakitkan dan tidak merusak jaringan. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi batas-batas dan karakterisktik jaringan lunak mata dan orbita. Pemeriksaan ini pertama kali dikembangkan oleh Mundt dan Hughes pada tahun 1956. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang ultrasonik dengan frekuensi tinggi yang dipancarkan oleh transduser, yang kemudian menerima gelombang pantulan jaringan mata. Pantulan ini diproses menjadi grafik atau gambar yang dapat dimengerti, baik berupa grafik 1 dimensi (A scan) atau 2 dimensi (B scan). (Duke Elder, 1970; Curtin,1985; Lubis R. R., 2009).

Biometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur panjang sumbu bola mata. Biometri yang digunakan adalah biometri A-scan, dengan ketepatan pengukuran sumbu bola mata bervariasi antara 0.1 – 0.2 mm atau sekitar 0.25 – 0.50 dioptri. Teknik yang selama ini digunakan ada dua jenis yaitu (1) aplanasi dan (2) imersi. Teknik imersi sedikit lebih akurat dibandingkan dengan teknik aplanasi, karena probe ultrasound sama sekali tidak menyentuh kornea sehingga menghindari penekanan (indentasi) yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Sayangnya


(6)

teknik imersi ini dianggap kurang praktis dibandingkan aplanasi karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan pasien. Teknik aplanasi diyakini mempunyai akurasi cukup baik jika dilakukan dengan hati-hati. Ketepatan pengukuran juga akan lebih baik jika dilakukan pada penderita dengan posisi tegak (duduk) dibandingkan hasil yang diperoleh ketika penderita posisi berbaring. (Istiantoro S., 2004; Duke Elder, 1970; Curtin,1985).

Hal lain yang perlu diperhatikan saat melakukan pemeriksaan biometri A-scan adalah mengenai hasil pemeriksaan yang baik. Hasil pemeriksaan yang baik adalah terdapat 5 buah echo, yaitu echo kornea yang tinggi; echo yang tinggi dari lensa bagian anterior dan posterior lensa; echo retina yang tinggi dengan bentuk yang langsung tegak lurus; echo yang tidak terlalu tinggi dari sclera; dan echo yang rendah yang berasal dari lemak orbita. Tinggi echo yang baik, bila ketinggian echo dari bagian anterior lensa harus lebih dari 90%; echo yang berasal dari posterior lensa tingginya antara 50-75%; dan bila echo retina mempunyai tinggi lebih dari 75%.(Duke Elder, 1970; Curtin,1985)