KOMODIFIKASI SOSOK PEREMPUAN YANG MENJAD

KOMODIFIKASI SOSOK PEREMPUAN YANG MENJADI KORBAN
KRIMINALITAS DALAM PEMBERITAAN MEDIA MASSA
Artikel Ilmiah Mengenai Studi Jurnalisme dan Gender dalam Perspektif
Ekonomi Politik Komunikasi dan Jurnalisme Sensitif Gender

Disusun Oleh:
Ririn Herlinawaty
210110110432

KAPITA SELEKTA

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI ILMU JURNALISTIK
2014

BAB I
PENDAHULUAN

Gender merupakan sebuah isu yang sensitif. Di Indonesia sendiri, trend atas
perkembangan isu gender kian lama kian meningkat. Banyaknya pihak yang

menganggap penting isu gender di Indonesia membuat gender kemudian naik daun
sehingga isu ini ramai diperbincangkan dalam forum media massa.
Sebelum itu, kita harus terlebih dahulu membedakan konsep “gender” dengan
“seks”. Karena masih banyak pihak yang menganggap gender hanya sebatas
perbedaan jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Namun sebenarnya, arti
gender lebih luas dari pada itu. Gender merupakan seperangkat sikap, peran, tanggung
jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan
akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan
dibesarkan. Hal-hal tersebut, artinya, merupakan hasil dari sifat belajar seseorang
melalui seperangkat prosese sosialisasi panjang di lingkungan masyarakat tempat ia
tumbuh dan dibesarkan. Perbedaan sifat, sikap, dan perilaku yang dianggap khas
itulah yang popular disebut maskulinitas dan feminitas.
Hal tersebut – maskulin dan feminitas – bukan sesuatu bawaan dari lahir,
artinya tidak berpengaruh pada gen seseorang. Maskulinitas dan feminitas adalah hal
yang bisa berubah dari waktu ke waktu.
Dari keterangan tersebut, kita mampu menyimpulkan bahwa sebenarnya
gender merupakan sebuah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat
diubah seseuai dengan perubahan zaman.
Di sinilah terdapat peran media yang berkaitan dengan sifat media yang

mampu mempengaruhi opini publik. Media, dengan segala beritanya, mampu
mengkonstruksi opini masyarakat mengenai konsep gender. Perempuan dianggap
feminine, dan begitu juga sebaliknya, laki-laki dianggap maskulin.
Sementara itu, sayangnya, media seakan menjual gender yang ada pada sosok
perempuan. Perempuan yang dianggap memiliki sososk yang feminin, ternyata

dijadikan sebuah komoditas dalam pemberitaan yang dilakukan. Akhirnya, sosok
perempuan yang feminin dibuat komodifikasi untuk menguntungkan media massa
tersebut. Kecantikan fisik dan kerapuhan diri perempuan dijual untuk menarik
perhatian khalayak sehingga rating atau oplah pemasaran media tersebut meningkat.
Hal ini terlihat dari beragam pemberitaan yang dilakukan media massa. Dalam
kasus kriminalitas misalnya, di mana perempuan menjadi korban, sisi feminitas
perempuan sangat ditonjolkan – misalnya cantik, seksi, lembut, dan sebagainya. Hal
tersebut kemudian membuat terbentuknya opini bahwa ia pantas atau wajar menjadi
korban karena ia cantik, seksi, dan lembut.
Tidak jarang, pemberitaan seperti itu akhirnya malah menyudutkan sosok
perempuan. Si perempuan yang menjadi korban kekerasan atau kriminalitas, tidak
mendapat kedudukan dan perlindungan yang layak. Alih-alih mendapatkah hal
tersebut, perempuan justru merasa terintimidasi.
Misalnya pada kasus pembunuhan Sisca Yofie di Bandung, beberapa waktu

silam. Berbagai media massa menampilkan sisi Sisca sebagai seorang model. Bahkan
ada media massa yang menonjolkan sisi keindahan wajah dan tubuh Sisca sehingga
digambarkan bak boneka Barbie. Di media massa lain bahkan secara kontinu
mengumbar foto-foto Sisca yang diambil dari akun Facebook pribadi korban.
Pembunuhan kejam yang menjadi inti utama pemberitaan seakan tergeser menjadi
model cantik yang dibunuh.
Ada lagi kasus pelecehan seksual di halte Busway TransJakarta Harmoni
beberapa bulan lalu, di mana YF (29) menjadi korban. YF mengaku diperkosa oleh
salah satu pertugas TransJakarta halte Harmoni, sementara rekan-rekan tersangka
diam mengetahui hal tersebut. Namun, tersangka menyanggah hal tersebut.
Pembelaan tersangka adalah bahwa mereka berdua merupakan seorang kekasih dan
perbuatan tersebut didasari suka sama suka.
Media massa tampaknya lebih tertarik pada fakta bahwa tersangka dan korban
adalah sepasang kekasih. Korban digambarkan sebagai seorang penggoda –
kenyataannya, di beberapa media, korban memang secara harfiah ditulis demikian,
korban sengaja menggoda tersangka untuk mencari perhatian tersangka. Tidak ada
tindakan perlindungan bagi korban dari berita-berita yang diturunkan berbagai media

massa. YF dikonstruksikan sebagai seorang wanita penggoda di mana tuduhannya
terhadap tersangka hanya fitnah yang didasari hubungan pribadi.

Sisca Yofie dan YF merupakan satu dari sekian banyak perempuan yang
menjadi korban kriminalitas yang dikomodifikasi media massa. Sosok perempuan
digambarkan demikian, ditonjolkan sedemikian rupa, demi menarik perhatian pembeli
dan meningkatkan rating atau oplah penjualan.
Masih banyak kasus-kasus serupa terjadi di berbagai media massa. Menurut
pantauan Komisi Nasional Perempuan, pada 2010 sendiri ada 151 kasus bentuk
eksploitasi dan pelecehan terhadap perempuan dalam pemberitaan di media massa,
baik nasional maupun lokal. Topik seperti ini merupakan isu laten – bahwa
perempuan dijadikan komoditas dalam media massa lewat penggambaran sosok
perempuan yang feminin. Isu ini memang tidak selalu muncul, atau tidak muncul
secara rutin dalam pemberitaan media massa. Namun bila ada suatu kasus kriminal di
mana perempuan menjadi korbannya, media seakan merasa perlu dan wajib
memberitakan sosok feminitas korban – apakah korban cantik, apakah korban mantan
model, berapakah pacar korban, dan sebagainya.
Karena isu laten inilah maka topik ini penting untuk diangakat dalam sebuah
artikel ilmiah. Ini agar di kemudian hari, media massa mampu menyeleksi
pemberitaan yang mereka buat, terutama mengenai bias gender ini. Sehingga
perempuan, yang menjadi korban kejahatan atau kriminalitas, tidak juga menjadi
korban media massa – korban komodifikasi.


BAB II
PEMBAHASAN

Menurut Yasraf A. Piliang dalam makalah Gender Hyper-pornography: Kekerasan
Terhadap Perempuan dalam Pemberitaan Pers (2002), di dalam media, idologi
beroperasi pada tingkat bahasa, baik bahasa tulisan maupun visual. Ideology pada
tingkat bahasa atau linguistik melibatkan pilihan kata-kata, sintaks, grammar, cara
pengungkapan, diksi; serta tingkat seleksi yakni penentuan kata atau bahasa
berdasarkan pertimbangan ideologis. Di sini, peran media adalah memilih bagaimana
menuliskan suatu perkara, apakah dengan penggunaan kata ‘dinodai’ atau ‘diperkosa’
atau ‘dilecehkan’ atau padanan kata lain yang serupa namun memiliki makna berbeda.
Sedangkan dalam konsep ideologi visual berkaitan dengan bagaimana sebuah
gambar ditampilkan dalam media massa, entah itu pengaturan angle pengambilan
gambar, pengaturan tata letak, penempatan dan penggambaran visualisasi, proses
cropping, hingga pemilihan gambar. Misalnya mengapa dalam kasus tuna susila, yang
digambarkan adalah perempuan pekerja seks, bukan laki-laki yang menjadi konsumen
pekerja seks tersebut1.
Hal-hal tersebut berkaitan dengan tujuan media massa, yakni mendapatkan
rating atau oplah penjualan sebesar-besarnya. Maka dari itu, mereka menjual
feminitas perempuan sehingga menarik perhatian khalayak. Akhirnya, makna

sebenarnya dari berita tersebut – yang tentunya jauh lebih penting dan substansial –
menjadi bias dan cenderung hilang atau paling tidak, terlupakan.
Fenomena ini bisa dijelaskan dengan pandangan Vincent Mosco mengenai
ekonomi politik komunikasi dalam The Political Economy of Communication:
Rethinking and Renewal (1996: 25). Menurut Mosco, ekonomi politim adalah ilmu
mengenai hubungan, khususnya hubungan mengenai kekuasaan, yang saling
membentuk proses produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Sumber daya
dalam konteks media merupakan isi atau pesan, khalayak, dan pekerja media. Mosco
                                                        
1 http://www.sorotnews.com/berita/view/aji‐jakarta‐ajak‐jurnalis.4916.html#.VFB__FYdu2w 

diakses pada Selasa, 28 Oktober 2014 pukul 16:27 WIB. 

menawarkan tiga konsep penting dalam ekonomi politik, yakni komodifikasi,
komersialisasi, spasialisasi, dan strukturasi. Dalam kaitannya dengan isu yang
diangkat dalam artikel ini, poin komodifikasi tampaknya bisa menjelaskan fenomena
ini.
Komodifikasi, menurut Karl Marx adalah kekayaan masyarakat dengan
menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat; kumpulan komoditas yang
banyak sekali; dan komoditi milik perseorangan yang terlihat seperti bentuk dasar.

Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi dan jasa
berserta nilai gunanya berubah menjadi suatu komoditas yang memiliki nilai tukar di
pasaran. Ada tiga hal yang bisa dikomodifikasi oleh media, yakni khalayak, isi atau
pesan, dan masyarakat. Tiga hal tersebut, dalam perspektif komodifikasi dalam
ekonomi politik media, bisa berubah nilai demi keuntungan media. Yang tadinya
memiliki nilai guna atau nilai jasa kemudian berubah menjadi nilai tukar.
Dalam kaitannya dengan artikel ilmiah ini, maka komodifikasi yang dilakukan
media terhadap pemberitaan mengenai perempuan yang menjadi korban kejahatan
atau kriminalitas ialah bentuk komodifikasi isi atau pesan, yang disebut komodifikasi
instrinsic.
Komodifikasi isi merupakan proses perubahan pesan dari kumpulan informasi
ke dalam sistem makna dalam wujud produk yang dapat dipasarkan sehingga lebih
menguntungkan. Dalam kaiatannya dengan fenomena yang diangkat pada artikel ini,
kumpulan informasi yang terdapat dalam suatu kasus kejahatan atau kriminalitas di
mana perempuan menjadi korban, diubah ke dalam sistem makna (baik verbal
maupun tulisan) dalam wujud produk (sesuai dengan jenis media: cetak, televisi, atau
bahkan radio – meski kasusnya dalam radio terbilang jarang atau sangat sedikit)
sehingga dapat dipasarkan dan menjadi lebih menguntungkan. Perubahan pesan
tersebut berkaitan dengan pergeseran substansi yang sebenarnya dari sebuah
pemberitaan seperti yang telah disinggung pada bagian sebelumnya.

Maka dari itu, untuk mengatasi hal ini, di mana perempuan yang menjadi
korban dikomodifikasi oleh media, maka media diharapkan bisa menerapkan
jurnalisme sensitif gender dalam pemberitaan yang dibuat.

Menurut Iman Subono dalam jurnal ilmiah Menuju Jurnalisme yang
Berprespektif Gender yang dimuat Jurnal Perempuan No. 28, Maret 2003, jurnalisme
berprespektif gender adalah kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu
menginformasikan atau bahkan mempermasalahkan dan menguat secara terus
menerus, baik dalam media cetak maupun media elektronik, mengenai adanya
hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam kaitannya dengan komodifikasi isi pesan terhadap sosok perempuan
yang menjadi korban kejahatan atau kriminalitas, Subono menawarkan cara-cara
aplikasi jurnalisme sensitif gender dalam hal pemberitaan atau pesan, yakni (1) hasil
liputan merefleksikan ideologi jurnalis, (2) bersifat “subjektif” karena merupakan
bagian dari kelompok-kelompok marginal yang diperjuangkan, (3) memakai bahasa
yang sensitive gender dengan pemihakan yang jelas, dan (4) hasil peliputan bersifat
kritis, transformative, emansipatif, dan pemberdayaan sosial2.
Memang, sejauh ini, belum banyak media yang menerapkan konsep
jurnalisme sensitif gender dalam pembeirtaannya. Masih banyak yang menggunakan
sosok perempuan sebagai bahan jual demi keuntungan media. Ini berkaitan juga

dengan ideologi media itu sendiri.

                                                        
2 https://bincangmedia.wordpress.com/tag/jurnalisme‐sensitif‐gender/ diakses pada Rabu, 29 

Oktober 2014 pukul 12:35 WIB 

BAB III
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Meski isu gender secara umum dan isu persamaan gender secara khusus sedang ramai
diperbincangkan, namun sayangnya media massa di Indonesia masih mengobral sisi
feminitas perempuan dalam pemberitaannya. Ini terlihat dari komodifikasi yang
dilakukan media terhadap pemberitaan mengenai kejahatan atau kriminalitas yang
menimpa perempuan. Perempuan ditampilkan dalam sosok feminine yang kemudian
dijadikan magnet untuk menarik perhatian khalayak.
Hal ini menunjukkan bahwa media masih menganggap sosok perempuan
sebagai komoditas jual – artinya perempuan dikomodifikasi media demi keuntungan
tertentu. Komodifikasi yang dilakukan, berdasarkan studi ekonomi politik komunikasi
oleh Vincent Mosco, adalah komodifikasi pesan.

Untuk mengatasi hal ini, penulis merekomendasikan media massa mulai
mengesampingkan komodifikasi perempuan dengan tujuan tertentu. Caranya adalah
dengan menerapkan jurnalisme sensitif gender dalam proses pemberitaan, baik dari
segi media, segi wartawan, maupun segi pemberitaan.

DAFTAR PUSTAKA

Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal.
1996. Lexington Books.
Piliang. A, Yasraf, Gender Hyper-pornography: Kekerasan Terhadap Perempuan
dalam Pemberitaan Pers. 2010. Jakarta
Subono, Imam. Menuju Jurnalisme yang Berprespektif Gender. Jurnal Perempuan
No. 28, Maret 2003.