Kajian Sistem Agroforestri di Hutan Kemasyarakatan, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Unit XIV Toba Samosir

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Kemasyarakatan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No.
677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan
atau ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di
dalam dan di sekitar hutan dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai
dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan mensejahterakan masyarakat.
Kepala pusat informasi Kehutanan, untuk tahun 2003 menetetapkan 22
lokasi yang tersebar di 17 provinsi dengan luas masing-masing 2.500 hektar.
Lokasi yang menjadi pengembangan hutan kemasyarakatan merupakan bekas
HPH/HTI, taman nasional, areal HPH/HTI aktif, hutan lindung, serta lokasi
pemberdayaan masyarakat yang telah dikembangkan sebelumnya (Fathoni, 2003).
Pemahaman

masyarakat

tentang

program


Hutan

Kemasyarakatan

dimaknai sebagai kesempatan untuk mendapatkan hak penguasaan lahan di dalam
kawasan hutan sebagai sumber ekonomi keluarga. Akibatnya masyarakat
cenderung berprilaku eksploitatif untuk memaksimalkan manfaat ekonomi lahan.
Pemahaman tersebut diwujudkan melalui pola tanam dengan memilih jenis-jenis
tanaman yang dapat berproduksi jangka pendek dan kontinyu (jenis tanaman
musiman) dan tanaman yang berproduksi secara kontinyu dan bernilai ekonomi
tinggi (jenis tanaman tahunan) ( Mukhtar, 2010).

4
Universitas Sumatera Utara

B. Agroforestri
Salah satu solusi untuk mengurangi tekanan terhadap hutan dan mengatasi
masalah kebutuhan lahan pertanian adalah dengan menerapkan sistem
agroforestri. Agroforestri merupakan sistem pemanfaatan lahan secara optimal

berasaskan kelestarian lingkungan dengan mengusahakan atau mengkombinasikan
tanaman kehutanan dan pertanian (perkebunan, ternak) sehingga dapat
meningkatkan perekonomian petani di pedesaan ( Iswara Gautama, 2007).
Agroforestri

adalah

suatu

sistem

penggunaan

lahan

yang

mengkonbinasikan tanaman kayu (pohon) dengan tanaman pangan/ternak secara
bersamaan maupun bergantian dalam suatu managemen yang sama dan
didalamnya terjadi terjadi interaksi ekologi, sosial dan ekonomi. Namun masih

banyak lagi defenisi agroforestri yang beragam antara lain ; Lundgren dan
Raintree (1982) dalam Alim dkk ( 2003) mengajukan defenisi agroforestry dengan
rumusan sebagai berikut : Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sitem sistem
dan teknologi teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan
pada satu unit lahan dengan mengkonbinasikan tumbuhan berkayu/pohon dengan
tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan diwaktu
yang bersamaan atau bergiliran sehingga

terbentuk interaksi ekologis dan

ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
Sub-sistem agroforestri menunjukkan hirarki yang lebih rendah daripada
sistem agroforestri, meskipun tetap merupakan bagian dari sistem itu sendiri.
Meskipun demikian, sub-sistem agroforestri memiliki ciri-ciri yang lebih rinci
dan lingkup yang lebih mendalam. Sebagai contoh sistem agrisilvikultur
masihterdiri dari beberapa sub-sistem agroforestri yang berbeda seperti tanaman

5
Universitas Sumatera Utara


lorong (alley cropping), tumpangsari (taungya system) dan lain-lain. Penggunaan
istilah-istilah dalam sub-sistem agroforestri yang dimaksud, tergantung bukan saja
dari tipe maupun pengaturan komponen, akan tetapi juga produknya, misalnya
kayu bakar, bahan pangan dan lain – lain
C. Fungsi Agroforestri
Fungsi agroforestri terhadap aspek sosial, budaya dan ekonomi antara lain:
a. Kaitannya dengan aspek tenurial, agroforestri memiliki potensi di masa kini
dan masa yang akan datang sebagai solusi dalam memecahkan konflik
menyangkut lahan negara yang dikuasai oleh para petani penggarap.
b. Upaya melestarikan identitas kultural masyarakat, pemahaman akan nilai-nilai
kultural dari suatu aktivitas produksi hingga peran berbagai jenis pohon atau
tanaman lainnya di lingkungan masyarakat lokal dalam rangka keberhasilan
pemilihan desain

dan kombinasi jenis pada bentuk-bentuk agroforestri

modern yang akan diperkenalkan atau dikembangkan di suatu tempat.
c. Kaitannya dengan kelembagaan lokal, dengan praktik agroforestri lokal tidak
hanya melestarikan fungsi dari kepala adat, tetapi juga norma, sanksi, nilai,
dan kepercayaan (unsur-unsur dari kelembagaan) tradisional yang berlaku di

lingkungan suatu komunitas.
d. Kaitannya dalam pelestarian pengetahuan tradisional, salah satu ciri dari
agroforestri tradisional adalah diversitas komponen terutama hayati yang
tinggi (polyculture).
Fungsi agroforestri ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan pada skala
bentang lahan adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian

6
Universitas Sumatera Utara

lahan antara lain: (a) Memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah; (b)
Mempertahankan fungsi hidrologi kawasan; (c) Mempertahankan cadangan
karbon; (d) Mengurangi emisi gas rumah kaca; dan (e) mempertahankan
keanekaragaman hayati (Lahjie, 2004).
D. Klasifikasi Agroforestri
Komponen penyusun utama agroforestri menurut Chundawat dan
Gautaman, 1993 dalam Rauf (2011) adalah komponen kehutanan,pertanian
dan/atau


peternakan.

Ditinjau

dari

komponennya,

agroforestri

dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems)
Agrisilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan
komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen
pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur
panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual
crops).


2. Silvopastura (Silvopastural systems)
Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman
berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut
sebagai sistem silvopastura.
Sedangkan menurut Indriyanto (2008) silvopastura adalah bentuk
agroforestri yang menggabungkan kegiatan kehutanan dan peternakan dalam satu
sistem pengelolaan lahan. Wujud dalam sistem silvopastura dalam praktek di
lapangan, yaitu dalam suatu kawasan hutan ditanami rumput atau jenis hijauan
pakan ternak tanpa merusak tegakan hutan. Bentuk silvopastura tersebut dapat

7
Universitas Sumatera Utara

diterapkan dalam kawasan hutan yang penduduk disekitarnya mengembangkan
usaha perternakan, tetapi tidak memiliki tempat pengembalaan, sehingga lahan di
bawah tegakan hutan dapat ditanami rumput yang dimanfaatkan untuk pakan
ternak. Para petani juga dapat tetap dikandangkan ternak, tetapi pakan ternaknya
diambil dari dalam kawasan hutan yang terdapat di bawah tegakan hutan yang
telah ditanami rumput dan hijauan pakan ternak.
3. Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems)

Agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan)
dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit
manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem
agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai
dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan
secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya
komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people)
( Wijayanto dkk, 2003 ).
Tipe agroforestri lainnya yang diidentifikasi berdasarkan struktur adalah :
4. Tipe Apicultural
Tipe Apicultural merupakan kombinasi budidaya tanaman pohon dengan
pemeliharan lebah madu
5. Tipe Aquaforestry
Agroaquaforestry atau Agroaquasilvicultural yaitu sistem agroforestri
yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman pohon (hutan) dan
tanaman pertanian. Interaksi antara sistem hutan, pertanian dan kolam ikan
merupakan bentuk yang lazim ditemui, selain penanaman pohon bernilai

8
Universitas Sumatera Utara


ekonomis yang mampu tumbuh dalam kondisi tergenang (dalam rawa atau
gambut) termasuk kedalam tipe aquaforestri
6. Tipe pohon pagar, pemata angin dan atau penguat benteran sungai, danau,
pantai, bantaran jalan
E. Nilai Ekonomi Agroforestri

Analisis nilai ekonomi adalah analisis yang mengacu pada keunggulan
komparatif atau efisiensi dari penggunaan barang dan jasa dalam satu kegiatan
produktif. Efisien di sini diartikan bahwa alokasi sumber-sumber ekonomi
digunakan untuk kegiatan yang menghasilkan output dengan nilai ekonomi
tertinggi. Sedangkan perbedaannya dengan analisis finansial yaitu dalam evaluasi
manfaat – biaya mengacu kepada penerimaan dan pengeluaran yang
mencerminkan harga pasar aktual yang benar-benar diterima atau yang dibayar
oleh petani (Budidarsono, 2001).
Beberapa ahli ekonomi telah mengembangkan dan mengaplikasikan
beberapa metode penilaian manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam
satuan moneter. Terdapat lima metode perhitungan ekonomi untuk manfaat yang
diperoleh dari sumber daya alam dan lingkungan :
1. Penilaian berdasarkan harga pasar ditempat lain

2. Pendekatan harga pengganti, termasuk metode biaya perjalanan dan
pendekatan biaya pengganti
3. Pendekatan fungsi produksi, dengan focus pada hubungan biofisik antara
fungsi hutan dan kegiatan pasar
4. Pendekatan dengan metode penilaian
(Gigona dan Lugina, 2007).

9
Universitas Sumatera Utara

F. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang
terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software),
data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam,
menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis informasi yang
bereferensi geografis (Jaya dalam lestari, 2008).
Kebanyakan SIG menggunakan konsep “lapis” (layer ). Setiap lapisan
mewakili satu fitur geografi dalam area yang sama dan selanjutnya semua lapisan
bisa saling ditumpuk untuk mendapatkan informasi yang lengkap. Setiap lapisan
dapat dibayangkan seperti plastik transparan yang mengandung hanya Gambar

tertentu. Pemakai bisa memilih transparan-transparan yang dikehendaki dan
kemudian saling ditumpangkan sehingga akan diperoleh Gambar yang merupakan
gabungan dari sejumlah transparan (Kadir dalam Nugraha, 2012).
Aplikasi SIG dalam bidang sumber daya alam sangat beragam antara lain
untuk inventarisasi, kesesuaian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, tata
guna lahan dan analisis daerah rawan bencana. SIG sangat efektif di dalam
membantu proses – proses pembentukan, pengembangan atau pebaikan peta metal
(Prahasta, 2005).
Seiring kebutuhan manusia akan informasi yang cepat dan akurat, serta
berkembangnya teknologi, maka banyak pekerjaan manusia dilakukan jauh lebih
mudah dan lebih praktis. SIG banyak membantu kita dalam memvisualisasi dunia
nyata kedalam bentu 2 atau 3 dimensi, termasuk dalam menganilisi data lapangan
yang kompleks menjadi informasi yang mudah dipahami. Di dalam pekerjaan
survei, SIG mempermudah aktivitas pra suvei termasuk untuk

memudahkan

10
Universitas Sumatera Utara

identifikasi mengenai potensi – potensi alam yang tersebar di suatu wilayah
(Surono et all, 2013). Sehingga kita dapat mengetahui secara jelas penyebaran
potensi alam seperti agroforestri.
Penyebaran agroforestri dapat diidentifikasi dengan menggunakan
berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan aplikasi sistem informasi
geografis ( SIG ). SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai
data pada suatu titik tertentu dibumi, menggabungkannya, menganalisa dan
akhirnya memetakan hasilnya . Data yang akan diolah pada SIG merupakan data
spasial yaitu daerah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang
memiliki sistem kooerdinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi
SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti ; lokasi, kondisi, trend, pola dan
permodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi
lainnya (Bapedda, 2010).

11
Universitas Sumatera Utara