Pengaruh Iklim Organisasi Dan Gaya Kepemimpinan Situasional Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pada PDAM Tirtauli Pematangsiantar

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kepuasan kerja
1. Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Jewell dan Siegall (1998) menyatakan kepuasan kerja adalah sikap yang
timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja, secara sederhana kita dapat
mengatakan bahwa karyawan yang puas lebih menyenangi situasi kerjanya daripada yang
tidak menyenangi. Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2001) mengatakan kepuasan kerja
adalah suatu efektifitas atau respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan.
Berbeda dengan pendapat Anogara (2001) yang menegaskan bahwa kepuasan kerja
adalah kepuasan yang berhubungan dengan sikap karyawan terhadap pekerjaan itu
sendiri, situasi kerja, hubungan antara atasan dengan bawahan dan hubungan sesama
karyawan.
Menurut Robbins (2003), Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap
pekerjaan seseorang,

yang menunjukkan perbedaan antara banyaknya

jumlah


penghargaan yang diterima dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Sedangkan Luthans (2005) memberikan definisi yang lebih komprehensif dari kepuasan
kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, evaluatif dan menyatakan kepuasan
kerja merupakan keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari

penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Sejalan dengan pernyataannya ini,
Wexley dan Yukl (2009) mengemukakan pendapat bahwa kepuasan kerja merupakan
perasaan-perasaan karyawan mengenai pekerjaannya, secara umum sikap para karyawan
yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek yang berbeda pada pekerjaannya.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah
perasaan senang atau tidak senang yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaannya,
sesuai dengan terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam
diri individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan
kebutuhan individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan demikian pula
sebaliknya.
2.

Teori Kepuasan Kerja
Teori kepuasan kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah two factor theory
( teori dua faktor) yang dikemukakan oleh seorang psikolog yang bernama Frederick

Herzberg seusai ia melakukan penelitan terhadap 200 orang insinyur dan akuntan di
Pittsburg pada tahun 1959. Dari hasil penelitian tersebut Herzberg menyimpulkan bahwa
faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor yang
menimbulkan ketidakpuasan kerja. Herzberg membagi dua faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas, yaitu dissatisfiers (hygiene factors)
dan satisfiers (motivator factors). Terpenuhinya motivator factors akan menimbulkan
kepuasan, dan jika tidak terpenuhi tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Saat
hygiene factors tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakpuasan, dan jika tidak
terpenuhi karyawan tidak akan kecewa walaupun belum terpuaskan.

Teori dua fator Herzberg, dikutip oleh Luthans (2005) yang termasuk dalam
hygiene factor adalah sebagai berikut :
a. Kebijakan perusahaan dan administrasi (company polocies). Adapun yang termasuk
dalam kebijakan perusahaan dan administrasi adalah semua yang berkaitan dengan
prosedur yang dilakukan perusahaan dalam mengatur jalannya pekerjaan diperusahaan.
b. Pengawasan (supervision technical). Bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan
atasan kepada pegawai diantaranya bimbingan, dorongan, semangat, bantuan teknis,
komunikasi informasi.
c. Gaji (salary). Imbalan yang sesuai dengan hasil kerja pegawai, pegawai menginginkan
sistem upah yang dipersepsikan dengan adil, penghasilan yang tidak meragukan,

segaris dengan pengharapan pegawai. Upah dipandang adil apabila didasarkan pada
tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, standar pengupahan komunitas
kemungkinan besar akan menghasilkan kepuasan.
d. Hubungan interpersonal dengan atasan (Supervision relation). Perilaku atasan juga
merupakan unsur utama dari kepuasan kerja pada umumnya. Kepuasan kerja pegawai
akan meningkat apabila pemimpin bersifat ramah, dapat memahami, memberikan
pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat pegawai, menunjukkan suatu
pribadi pada pegawai memberikan kebebasan pegawai untuk berpendapat, mengkritik
atau memberi saran, kerjasama, dan cara komunikasi.
e. Kondisi kerja (working conditions). Lingkungan organisasi yang baik dan nyaman akan
memudahkan pegawai untuk mengerjakan tugas dengan baik. Lingkungan organisasi
yang nyaman dapat dinilai dari fasilitas yang bersih dan modern, peralatan atau
perlengkapan kantor yang memadai, lingkungan kerja yang tenang dan aman.
Sedangkan untuk faktor motivator, Herzberg menjelaskannya sebagai berikut:

a. Keberhasilan (achievement). Keberhasilan menyelesaikan tugas, besar kecilnya
pegawai mencapai prestasi kerja yang tinggi, melakukan pekerjaan yang terbaik,
berprestasi, penilaian prestasi kerja dilakukan secara konsisten, adil, objektif, komitmen
terhadap prestasi yang dicapai selama bekerja.
b. Pengakuan (recognition). Besar kecilnya penghargaan atau penghormatan, pujian,

pengakuan dari atasan yang diberikan kepada pegawai atas kinerjanya.
c. Pekerjaan itu sendiri (work it self). Besar kecilnya tantangan bagi tenaga kerja dari
pekerjaannya. Pegawai cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan
kesempatan untuk menggunakan keterampilan, menawarkan beragam tugas, kebebasan,
umpan balik mengenai seberapa baik pegawai bekerja. Pada kondisi tantangan yang
sedang, kebanyakan pegawai akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
d. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab yang diemban atau dimiliki
seseorang terhadap tugas yang harus diselesaikan, diberi kekuasaan, kewenangan untuk
melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaannya sebagai tanggung jawab, sanksi yang
tegas atas sikap dari pelaksanaan tugas.
e. Pengembangan (advancement). Kesempatan untuk maju yang dicapai selama bekerja.
Adapun yang termasuk dalam kenaikan pangkat ialah kebijakan promosi yang adil.
Pegawai berusaha mendapatkan kebijakan praktek promosi yang adil. Promosi
memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih
banyak, status sosial yang meningkat dan kesempatan untuk maju.
3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan kerja
Menurut Luthans (2005), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
karyawan yaitu :

1. The work itself (pekerjaan itu sendiri).

Unsur ini menjelaskan pandangan karyawan mengenai pekerjaannya sebagai
pekerjaan yang menarik, melalui pekerjaan tersebut karyawan mempunyai
kesempatan untuk belajar, dan memperoleh peluang untuk menerima tanggung
jawab. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberikan
mereka kesempatan menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan
menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baiknya
mereka bekerja. Ada kesesuaian pekerjaan dengan keterampilan dan kemampuan
karyawan diharapkan mampu mendorong karyawan untuk menghasilkan kinerja
yang baik.
2. Pay (Gaji)
Karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka
persepsikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka.
Bila upah dilihat adil berdasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan
individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan
kepuasan. Semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan, maka semakin tinggi pula
tingkat kemungkinan karyawan tersebut melakukan perbandingan sosial dengan
karyawan bandingan yang sama di luar perusahaan. Jika gaji yang diberikan
perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan gaji yang berlaku di perusahaan yang

sejenis dan memiliki tipe yang sama, maka akan timbul ketidakpuasan kerja
karyawan terhadap gaji. Oleh karena itu gaji harus ditentukan sedemikian rupa agar
kedua belah pihak (karyawan dan perusahaan) merasa sama-sama diuntungkan.
Karena karyawan yang merasa puas dengan gaji yang diterimanya, maka dapat
menciptakan kepuasan kerja yang diharapkan berpengaruh pada kinerja karyawan.
Ketidakpuasan sebagai besar karyawan terhadap besarnya kompensasi sering
diakibatkan adanya perasaan tidak diperlakukan dengan adil dan layak dalam

pembayaran mereka. Dengan gaji yang diberikan, karyawan akan dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan fisik dan status sosial sehingga memperoleh kepuasan kerja
dari besarnya gaji yang diterima.
3. Promotion Opportunities (Kesempatan promosi)
Kesempatan promosi mengakibatkan pengaruh yang berbeda terhadap kepuasan
kerja karena adanya perbedaan balas jasa yang diberikan. Proses pemindahan
karyawan dari jabatan ke jabatan lain yag lebih tinggi (promosi) selalu diikuti oleh
tugas, tanggung jawab, dan wewenang lebih tinggi daripada jabatan yang diduduki
sebelumnya. Dengan promosi akan memberian kesempatan untuk pertumbuhan
pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, dan status sosial yang meningkat.
Apabila promosi dibuat dengan cara yang adil diharapkan mampu memberikan
kepuasan kepada karyawan.

4. Supervision (Pengawasan)
Tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan dengan fungsi kepemimpinan, yaitu
usaha mempengaruhi kegiatan bawahan melalui proses komunikasi untuk mencapai
tujuan tertentu yang ditetapkan organisasi. Gaya kepemimpinan yang ditetapkan oleh
seorang manajer dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan
mendorong gairah kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal. Oleh
sebab itu aktivitas karyawan di perusahaan sangat tergantung dari gaya
kepemimpinan yang diterapkan serta situasi lingkungan di dalam perusahaan tempat
mereka bekerja. Perlunya pengarahan, perhatian serta motivasi dari pemimpin
diharapkan mampu memacu karyawan untuk mengerjakan pekerjaannya secara baik.
Gaya kepemimpinan pada hakikatnya bertujuan untuk mendorong gairah kerja,
kepuasan kerja, dan produktivitas kerja karyawan yang tinggi, agar dapat mencapai
tujuan organisasi yang maksimal.

5. Co-worker (Rekan Kerja)
Rekan kerja yang bersahabat, kerjasama antar rekan sekerja atau kelompok kerja
adalah sumber kepuasan kerja bagi pekerja secara individual. Sementara kelompok
kerja dapat memberikan dukungan, nasehat atau saran serta bantuan kepada sesama
rekan kerja. Kelompok kerja yang baik membuat pekerjaan lebih menyenangkan.
Baiknya hubungan antara rekan kerja sangat besar artinya bila rangkaian pekerjaan

tersebut memerlukan kerja sama tim yang tinggi. Tingkat keeratan hubungan
mempunyai pengaruh terhadap mutu dan intensitas interaksi yang terjadi dalam suatu
kelompok. Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung
menyebabkan para pekerja lebih puas berada dalam kelompok. Kepuasan timbul
terutama berkat kurangnya ketegangan, kurangnya kecemasan dalam kelompok dan
karena lebih mampu menyesuaikan diri dengan tekanan pekerjaan.
6. Working condition (Kondisi kerja)
Kondisi kerja meliputi iklim organisasi dan lingkungan organisasi, apabila
kondisi kerja bagus (lingkungan yang bersih dan menarik), akan membuat pekerjaan
dengan mudah dapat ditangani. Sebaliknya, jika kondisi kerja tidak menyenangkan
akan berdampak sebaliknya pula. Apabila kondisi bagus maka tidak akan ada
masalah dengan kepuasan kerja, sebaliknya jika kondisi yang ada buruk maka akan
buruk juga dampaknya terhadap kepuasan kerja.

Namun dalam penelitian ini akan lebih berfokus pada faktor kondisi kerja (iklim
organisasi) dan pengawasan (gaya kepemimpinan).

B. Iklim Organisasi
1.


Pengertian Iklim Organisasi

Iklim atau Climate berasal dari bahasa Yunani yaitu incline, kata ini tidak hanya
memberikan arti yang terbatas pada hal-hal fisik saja seperti temperatur atau tekanan,
tetapi juga memiliki arti psikologis bahwa orang-orang yang berada di dalam organisasi
menggambarkan tentang lingkungan internal organisasi tersebut (Furnham & Ginter,
1993).
Istilah iklim organisasi (organizational climate) pertama kali dipakau oleh Kurt
Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim psikologi (pcychological
climate). Stringer (2002) mengatakan definisi dari iklim organisasi adalah sebagai
“..collection and pattern of envirotnmental determinan of aoused motivation”, bila
diartikan iklim organisasi adalah sebagai suatu koleksi dan pola lingkungan yang
menentukan adanya motivasi. Sedangkan Wirawan, (2007) mengutip pernyataan dari
Taguiri dan Litwin yang menegaskan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas
lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung dialami oleh
anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam
pengetian satu set karakteristik atau sifat organisasi.
Wirawan (2007) juga mendefinisikan iklim secara lebih luas, ia menjelaskan
bahwa iklim organisasi adalah persepsi anggota organisasi mengenai apa yang ada atau
terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap dan

perilaku serta kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan kepuasan kerja
dari setiap anggota organisasi.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan diatas, maka dapat
disimpulkan iklim organisasi merupakan karakteristik organisasi yang dipersepsikan
berdasarkan kondisi internal suatu organisasi, yang kemudian dirasakan oleh anggota
organisasi dan dapat membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

2. Dimensi Iklim Organisasi
Menurut Litwin dan Stringer (2002), terdapat enam dimensi iklim organisasi, yaitu :
a. Struktur (Structure)
Struktur merupakan pandangan anggotanya terhadap aturan, prosedur
kebijaksanaan yang diberlakukan dalam organisasi yang merupakan batasan-batasan
yang diberikan oleh atasan atau organisasi terhadap anggota organisasi.
b. Standar- standar (Standard)
Standar-standar dalam

suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk

memperbaiki dan meningkatkan kinerja serta derajat kebanggan yang dimiliki oleh
anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerjanya.

Standar-standar rendah apabila anggota organisasi merefleksikan harapan yang lebih
rendah untuk kinerja. Standar-standar meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan
dalam perusahaan.
c. Tanggung jawab (Responsibility)
Mengukur besarnya tanggung jawab yang dipercayakan kepada anggota
organisasi yang timbul karena tersedianya tantangan kerja, tuntutan untuk bekerja,
serta kesempatan untuk menikmati prestasi. Faktor tantangan akan muncul dengan
kuat dan berhubungan secara positif dengan pengembangan prestasi pegawai.
d. Penghargaan (Reward)
Menekankan pada pemberian penghargaan dalam situasi kerja. Imbalan
menunjukkan penerimaan terhadap perilaku, sedangkan hukuman menunjukkan
penolakan terhadap perilaku. Lingkungan kerja yang berorientasi pada pemberian
imbalan daripada hukuman akan cenderung meningkatkan minat individu untuk
bekerjasama dan berprestasi.
e. Dukungan (Warm and Support)

Menekankan adanya hubungan baik dalam situasi kerja. Adanya dukungan
yang bersifat positif dan pertolongan kepada anggota daripada pemberian penghargaan
dan hukuman dalam situasi kerja, sehingga menumbuhkan rasa

tentram dalam

bekerja. Adanya kehangatan dan dukungan akan mengurangi kecemasan dalam
bekerja.
f. Komitmen (Commitment)
Komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota organisasi terhadap
organisasinya dan derajat keloyalan atau komitmen terhadap pencapaian tujuan
organisai. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah
komitmen ketika karyawan merasa apatis terhadp organisasi dan tujuannya. Komitmen
meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.

C. Gaya Kepemimpinan Situasional
1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Situasional
Menurut

Robbins

(2007)

kepemimpinan

merupakan

kemampuan

untuk

mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang
ditetapkan.
Rivai

(2003)

mengemukakan

teori-teori

kepemimpinan

situasional

yang

menekankan pada pengikut-pengikut dan tingkat kematangan mereka, dimana para
pemimpin harus menilai secara benar atau secara intuitif mengetahui kematangan
pengikut-pengikutnya dan kemudian menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai
dengan tingkatan tersebut, dan kesiapan didefinisikan sebagai kemampuan dan kemauan
dari pengikut untuk mengambil tanggung jawab bagi perilaku mereka sendiri. Secara
singkat Aamodth (2008) menyatakan gaya kepemimpinan situasional merupakan suatu
pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami

perilakunya, sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya
kepemimpinan tertentu.
Menurut Hersey dan Blanchard (2002) kepemimpinan situasional merupakan
kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara jumlah
petunjuk

dan

pengarahan

yang diberikan

oleh

pemimpin,

jumlah

dukungan

sosioemosional yang diberikan pemimpin, dan tingkat kesiapan atau kematangan para
pengikut yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi, atau tujuan
tertentu.
Thoha (2010) mengutip dari konsep Hersey dan Blancard tentang perilaku dan
gaya kepemimpinan bersifat situasional. Pemimpin harus menyesuaikan responnya
menurut kondisi atau tingkat perkembangan kematangan, kemampuan dan minat pegawai
dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam hal ini respon seorang pemimpin dalam
perilaku kepemimpinannya memberikan pengarahan dan dukungan yang bersifat
sosioemosional. Sementara itu pemimpin harus menyesuaikan tingkat kematangan
pegawai. Tingkat kematangan pegawai (marturity), diartikan sebagai tingkat kemampuan
pegawai untuk bertanggung jawab mengarahkan perilaku dalam bentuk kemauan.
Konsep

ini

dikembangkan

untuk

membantu

orang

dalam

menjalankan

kepemimpinannya tanpa memperhatikan perannya, untuk lebih efektif dalam berinteraksi
dengan orang lain. Konsep ini memberikan pemimpin beberapa pemahaman tentang
hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kesiapan (kematangan)
pengikut mereka. Berdasarkan konsep kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard
(2002) ada empat jenis pegawai, yaitu pegawai yang tidak mampu dan tidak mau,
pegawai yang tidak mampu tetapi mau, pegawai yang mampu tetapi tidak mau, dan
pegawai yang mampu dan mau.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan gaya
kepemimpinan situasional adalah gaya kepemimpinan dimana pemimpin memahami
perilaku, kematangan, sifat-sifat bawahannya, dan situasi lingkungan kerjanya sebelum
memberikan pengarahan dan dukungan kepada bawahannya.
2. Dimensi Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard (2002) memiliki dua
dimensi yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan.
a. Perilaku tugas (task behavior)
Perilaku tugas didefinisikan sebagai sejauh mana pemimpin terlibat dalam
menjabarkan tugas dan tanggung jawab dari seorang individu atau kelompok. Perilaku
ini termasuk mengarahkan orang-orang apa yang harus dilakukan, bagaimana
melakukannya, kapan harus melakukannya, di mana untuk melakukannya, dan siapa
yang melakukannya.
b. Perilaku hubungan (relationship behaviour)
Perilaku hubungan didefinisikan sebagai sejauh mana pemimpin terlibat dalam
dua cara atau banyak cara komunikasi, perilaku termasuk mendengarkan,
memfasilitasi, dan perilaku mendukung.
Di dalam kepemimpinan situasional bawahan mempunyai arti sangat penting, yang
mana seorang pemimpin harus memperhatikan kesiapan bawahannya/ pengikut
(follower) memiliki kemampuan (ability) dan kemampuan (willingness) untuk
menyelesaikan tugas tertentu.

Kesiapan mempunyai dua komponen utama yaitu ability atau willingness :
a. Kemampuan (ability) adalah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang
seorang individu atau kelompok membawa tugas atau kegiatan tertentu.

b. Kemauan (willingness) adalah sejauh mana individu atau kelompok memiliki
kepercayaan diri, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas tertentu.
3. Tingkat Kesiapan/Kematangan Bawahan
Tingkat kesiapan/kematangan bawahan dibagi menjadi empat yaitu :
R1 : Readiness 1
Kesiapaan tingkat 1 menunjukkan bahwa pengikut tidak mampu dan tidak yakin
mengambil tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Pada tingkat ini, pengikut tidak
memiliki kompetensi dan tidak percaya diri.
R2 : Readiness 2
Kesiapan tingkat 2 menunjukkan pengikut tidak mampu melakukan tugas, tetapi
ia sudah memiliki keyakinan, motivasi yang kuat tidak didukung oleh pengetahuan dan
keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas.
R3 : Readiness 3
Kesiapan tingkat 3 menunjukkan situasi di mana pengikut memiliki pengetahuan
dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. Tetapi pengikut
tidak yakin melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemimpinnya.
R4: Readiness 4
Kesiapan tingkat 4 menunjukkan bahwa pengikut telah memiliki pengetahuan dan
keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas, disertai dengan
keyakinan yang kuat untuk melaksanakannya.
Hersey dan Blanchard (2002) menggambarkan tingkat kesiapan (readiness) pengikut
(follower) sebagai berikut :
High

Moderate

Low

R4

R3

R2

R1

Very

Capable

Unab

Unab

capable and

but unwilling

le but willing

confident

le and
insecure.

Tabel 2.1. Kesiapan (readiness) Pengikut (follower)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui tingkat kesiapan individu dan kelompok
yang berbeda menurut gaya kepemimpinan yang berbeda, gaya kepemimpinan yang
sesuai mencakup kombinasi perilaku tugas (task behaviour) dan perilaku hubungan
(relationship behaviour) yang mana perilaku tugas dan perilaku hubungan ini perlu
dikombinasikan secara tepat agar dapat meraih kesuksesan atau mencapai tujuan.
4. Model Gaya Kepemimpinan Situasional
Adapun model gaya dasar kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard yang
dihasilkan atas dasar kombinasi perilaku tugas dan hubungan dibedakan menjadi empat
(2002) :

a.

Mengarahkan (telling)
Gaya ini tepat untuk kesiapan pengikut rendah (R1). Gaya kepemimpinan
yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh
pemimpin pada kondisi pegawai lemah dalam kemampuan, minat dan
komitmennya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas
yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey dan Blancard menyarankan agar
pemimpin memainkan peran directive yang tinggi, memberi saran bagaimana
menyelesaikan tugas-tugas itu tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan
komunikasi antara pemimpin dan bawahan. Adapun ciri-ciri mengarahkan (telling)
adalah tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan tugas khusus,
pengawasan dilakukan secara ketat, dan pemimpin

menerangkan

kepada

bawahan

apa

yang

harus

dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan, kapan

harus dilaksanakan pekerjaan itu, dan di mana pekerjaan itu harus di lakukan.
b.

Menjual (selling)
Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut moderat (R2). Pada saat kondisi
pegawai menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba
melakukannya, pemimpin juga memproporsikan struktur tugas dengan tanggung
jawab pegawai. Selain itu, pemimpin harus menemukan hal-hal yang
menyebabkan pegawai tidak termotivasi serta masalah-masalah yang dihadapi
pegawai. Pada kondisi ini, pegawai sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas
dengan lebih baik, akan memicu perasaan timbulnya over confident. Kondisi ini,
memungkinkan pegawai menghadapai permasalahan baru yang muncul. Oleh
karena itu, setelah memberikan pengarahan, pemimpin harus memerankan gaya
menjual dengan mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah. Ciri-ciri
menjual (selling) adalah tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menerangkan
keputusan, pemimpin memberikan kesempatan untuk penjelasan, pemimpin masih
banyak melakukan pengarahan, dan pemimpin mulai melakukan komunikasi dua
arah.

c. Menggalang Partisipasi (participation)
Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi dengan motivasi moderat
(R3). Perilaku kepemimpinan partisipasi, adalah respon pemimpin yang harus
diperankan ketika pegawai memiliki tingkat kemampuan akan tetapi tidak
memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab, karena ketidakmauan atau
ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tanggung jawab seringkali
disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu

membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendengarkan mendukung
usaha–usaha yang dilakukan para bawahan. Adapun ciri-ciri participation adalah
tinggi hubungan dan rendah tugas, pemimpin dan bawahan saling memberikan
gagasan, dan pemimpin dan bawahan bersama-sama membuat keputusan
d. Mendelegasikan (delegating)
Gaya ini paling tepat untuk pegawai dengan tingkat kemampuan dan kemauan
yang tinggi (R4). Dengan gaya delegasi ini pemimpin sedikit memberi pengarahan
maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan
tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan
memutuskan tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus
diselesaikan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.
Adapun ciri-ciri mendelegasikan (delegating) adalah rendah hubungan dan rendah
tugas, dan pemimpin

melimpahkan

pembuatan

keputusan

dan pelaksanaan

kepada bawahan.
D. Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Kepuasan kerja karyawan dapat disebabkan dengan adanya suasana kerja yang
menyenangkan, imbalan yang sesuai, hubungan yang baik dengan atasan dan rekan
kerja, adanya kepercayaan yang diberikan pihak atasan, kejelasan tugas yang merupakan
bagian dari iklim organisasinya. Pengaruh iklim organisasi dan kepuasan kerja telah
banyak diteliti oleh para psikolog industri organisasi. Meski hasil yang ditampilkan para
peneliti tersebut bervariasi dan terlepas dari pro dan kontra akan hasilnya, namun
terdapat satu kesepakatan diantara mereka adalah makna iklim organisasi itu sendiri
lebih menjurus pada persepsi pegawai tentang kondisi organisasinya. Penghayatan
pegawai terhadap iklim organisai dirasakan dapat menghasilkan kesan yang

menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap perusahaan. Kesan dan penghayatan
pegawai terhadap perusahaannya akan mempengaruhi kepuasan kerja mereka (Idrus,
2006).
Iklim organisasi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kepuasan kerja
pegawai. Struktur yang merupakan dimensi dari iklim organisasi yang berpengaruh
terhadap kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Rosnaniar, Rewa, dan Noer
(2013) menunjukkan semakin baik struktur organisasi maka akan meningkatkan
kepuasan kerja karyawan. Dengan struktur organisasi yang jelas pekerjaan dapat dibagi,
dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal.
Perusahaan harus mempertahankan standar-standar perusahaan dan kondisi kerja
yang efektif untuk dapat mempertahankan kepuasan kerja karyawannya (Capricornia,
2013). Hal ini juga sejalan dengan dimensi tanggung jawab.

Besar atau kecilnya

tanggung jawab yang diemban oleh karyawan mempengaruhi tingkat kepuasan
kerjanya, saat karyawan dapat mempertanggung jawabkan penyelesaian pekerjaan
dengan tepat waktu dan hasil yang memuaskan (Siswanto & Yuniawan, 2012)
Dimensi penghargaan berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Dengan
penghargaan atau imbalan yang sesuai, karyawan akan merasa puas dengan gaji yang
diterimanya yang akan berdampak pada kinerjanya. Hal ini juga didukung dengan
hubungan yang baik serta dukungan rekan kerja saat mengalami kesulitan bekerja serta
besarnya komitmen dalam perusahaan menjadikan karyawan menjadi bangga dan
memahami tujuan perusahaan sehingga memiliki pengaruh yang positif terhadap
kepuasan kerja karyawan (Susanti, 2012). Wirawan (2007) mengatakan bahwa buktibukti yang ada menunjukkan terdapat pengaruh yang positif antara iklim organisasi
dengan kepuasan kerja, ketika iklim organisasi tampak memusatkan perhatiannya pada

pegawai, lebih terbuka dan lebih konsultatif, pada umumya berpengaruh dengan sikap
kerja yang lebih positif.

E. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Situasional Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Munandar (2001) menyatakan gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor
penting yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Kepemimpinan situasional berusaha
meramalkan efektifitas kepemimpinan dalam segala situasi. Menurut model ini
pemimpin yang efektif memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai, dan
juga peningkatan motivasi kerja pegawai yang positif. Demikian sebaliknya apabila
terjadi indikasi ketidakpuasan kerja pegawai, turunnya motivasi dan kegairahan kerja
disertai dengan tingginya tingkat absensi dan menurunnya produktifitas kerja, hal ini
terjadi akibat dari kepemimpinan yang tidak disenangi (Rivai, 2003).
Berdasarkan kajian teori yang telah disampaikan

menunjukkan bahwa gaya

kepemimpinan situasional mempunyai hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja
para pegawai. Semakin efektif gaya kepemimpinan situasional yang digunakan
pimpinan, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan (Saritia & Agustia,
2010). Pemimpin yang bijak dalam menentukan hubungan dengan bawahan,
memberikan dukungan emosional kepada bawahannya, pimpinan yang memiliki
komunikasi yang baik, pimpinan yang dapat menguraikan rinci pekerjaan bawahan,
pimpinan yang mempercayai bawahannya berpengaruh terhadap kepuasan kerja
karyawan (Plangiten, 2013). Gaya kepemimpinan situasional memiliki pengaruh yang
positif terhadap tinggi rendahnya kepuasan kerja karyawan artinya semakin efektif gaya
kepemimpinan situasional, maka tingkat kepuasan kerja karyawan akan semakin
meningkat (Wirda, 2012).

Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja ketika pemimpin yang
tidak mau mendengar keluhan dan pandangan pekerja dan tidak mau membantu apabila
diperlukan (Ekawati & Wardono, 2014). Demikian juga dengan karyawan yang
menerima penghargan dari pemimpinnya sendiri akan lebih puas, namun jika
pemimpinnya terlalu ketat pada karyawan akan menyebabkan ketidakpuasan (Maria,
2012). Peran atasan terhadap kepuasan kerja karyawan terutama dalam hal pengawasan
dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan (Noe, 2000).

Sejalan dengan yang telah diutarakan, gaya kepemimpinan yang lebih
memperhatikan

kemampuan

karyawannya

akan

meningkatkan

kepuasan

kerja

karyawannya. Sedangkan ketidakpuasan karyawan dipengaruhi oleh ketidakmampuan
pimpinan dalam memonitor dan mengelola sifat atau sikap karyawannya. Oleh karena
itu sebelum memberikan pengarahan dan dukungan para pimpinan harus mampu
mengetahui baik atau buruknya kondisi perusahaan serta dapat menyesuaikannya
dengan kemampuan dan kemauan karyawan saat melakukan tugasnya (Thoha, 2010).
F. Pengaruh Iklim Organisasi dan Gaya Kepemimpinan Situasional Terhadap
Kepuasan Kerja Karyawan.
Iklim Organisasi dapat mempengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja para
karyawan. Iklim organisasi dalam perusahaan bergerak dari yang menyenangkan
(positif) ke netral, sampai dengan tidak menyenangkan (negatif). Pada dasarnya
karyawan menginginkan iklim organisasi yang menyenangkan, hal ini berhubungan
dengan keuntungan yang didapatkan seperti prestasi yang baik, kepuasan kerja yang
tinggi dan meningkatnya kinerja para karyawan (Falahy, 2005). Pemeliharaan iklim
organisasi sangat penting diperhatikan dalam pencapaian kepuasan kerja karyawan
(Rismayani & Hartuti, 2008).

Gaya kepemimpinan juga memiliki peran yang besar dalam pencapaian kepuasan
kerja karyawan. Dengan gaya kepemimpinan yang diterapkan secara tepat akan
memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan saat bekerja (Kusmaningtyas,
2013). Kepemimpinan yang dikaji berdasarkan teori situasional beranggapan bahwa
jenis tindakan atau kebijakan yang perlu dilakukan atau diambil dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi dengan tetap mempertimbangkan keadaan dari
bawahannya (Thoha, 2010).
Gaya kepemimpinan situasional yang efektif dianggap penting dalam pencapaian
kepuasan kerja karyawan. Seorang pemimpin yang dapat memberikan pengaruh
langsung terhadap pemberian motivasi, bimbingan, pengarahan kepada bawahan dan
memberikan bantuan kepada karyawan yang mengalami kesulitan saat bekerja
cenderung akan berdampak langsung kepada para karyawan. Karyawan lebih
cenderung berusaha mengerahkan usaha lebih dalam pengerjaan dan penyelesaian
pekerjaan mereka demi pencapaian tujuan perusahaan (Voon, et al, 2011).
Kepuasan kerja merupakan perasaan senang atau tidak senang yang dirasakan leh
karyawan terhadap pekerjaannya seperti suasana kerja yang meliputi iklim organisasi,
hubungan antara atasan dan bawahn, hubungan dengan sesama karyawan, gaya
kepemimpinan yang ada dalam perusahaan (Luthans, 2005). Iklim organisasi dan gaya
kepemimpinan memiliki arti yang penting untuk pencapaian kepuasan kerja karyawan.
Dengan menciptakan iklim organosasi yang positif dapat membawa para karyawan
merasakan kepuasan kerja yang tinggi begitu juga dengan gaya kepemimpinan
situasional yang efektif dengan tetap mempertimbangkan keadaaan para karyawan juga
berdampak langsung pada kepuasan kerja karyawan. Dengan adanya kepuasan kerja
yang dirasakan oleh karyawan akan memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan

sehingga mendukung keberhasilan tercapainya tujuan secara efektif dan efisien
(Kusmaningtyas, 2013).
G. Hipotesis

Berdasarkan konsep dan kerangka teori tersebut yang ada diatas maka hipotesis
penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh yang positif antara Iklim organisasi terhadap kepuasan kerja
karyawan.
2. Ada pengaruh yang positif antara gaya kepemimpinan situasional terhadap kepuasan
kerja karyawan.
3. Ada pengaruh yang positif antara iklim organisasi dan gaya kepemimpinan
situasional terhadap kepuasan kerja karyawan.