bab v belajar kooperatif
BELAJAR KOOPERATIF
SEBAGAI ALTERNATIF MEMBELAJARKAN MATEMATIKA ANAK
Oleh Dwi Purnomo
1. Pendahuluan
Meningkatkan mutu pendidikan anak-anak adalah menjadi tugas bersama antara orang tua dan lembaga pendidikan dimana anak tersebut belajar. Seiring dengan hal tersebut maka sangatlah wajar jika kurikulum yang ada selalu mengalami perbaikan dan perubahan. Perbaikan dan perubahan tersebut dimulai sejak berlakunya kurikulum 1975, 1984, 1994 dan yang paling baru adalah kurikulum 2004 yang segera akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2004. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya maka kurikulum 2004 yang juga disebut sebagai kurikulum berbasis kompetensi yang dalam pelaksa-naannya menggunakan pendekatan pengajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Khusus pada bidang studi Matematika kurikulum 2004, dalam proses pembelajarannya lebih menekankan pada kemampuan memecahkan masalah, pengembangan cara berpikir dan bernalar dan mengkomunikasikan gagasan konsep pada berbagai konteks ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena tuntutan yang diharapkan lebih luas dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya maka guru dalam pembelajaran di kelas tidak hanya mengandalkan “talk and chalk” saja, sehingga proses pembelajaran yang lebih mementingkan hasil akhir daripada proses adalah tidak cukup memadai bila dikatakan telah mengimplementasikan kompetensi dasar anak.
Kurikulum 2004 (KBK) yang ditekankan dalam kurikulum terbaru tersebut menuntut kita para guru untuk mengubah pandangan mengenai mengajar dengan paradigma tradisional ke paradigma kontruktivis. Menurut Soewolo (2004) paradigma tradisional bercirikan pada 1) proses belajar mengajar berpusat poda guru, 2) guru mentransfer pengetahuannya kepada siswa, 3) cara belajar bersifat individualistik-kompetitif, 4) penilaian kemampuan siswa sangat didominasi oleh tes yang berupa alat tulis, 5) pengetahuan yang diperoleh siswa berupa berupa hafalan dan keterampilan yang
(2)
terpisah-pisah. Sedangkan paradigma kontruktivis mempunyai ciri-ciri: 1) proses belajar mengajar berpusat pada siswa, 2) siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui pengalaman, 3) cara belajar bersifat kooperatif-inkuiri, 4) penilaian dengan cara siswa mendemonstrasikan pemahamannya, 5) pengetahuan yang diperoleh siswa bersifat menciptakan, membentuk, dan menyesuaikan. Sebetulnya kurikulum yang berlaku sebelumnya secara formal sudah menekankan pada pendekatan pembelajarannya disamping proses yang terjadi, disamping produk sebagi hasil dari proses belajar anak. Namun demikian dalam kurikulum 2004 dengan salah satu cirinya adalah pengajaran berpusat pada siswa, maka perlu dicari pendekatan yang cocok untuk membelajarkan konsep kepada anak. Sejauh ini Depertemen Pendidikan Nasional yang berkaitan dengan KBK baru menerbitkan pedoman yang sifatnya umum. Buku petunjuk yang bersifat teknis, misalnya contoh buku siswa dan buku petunjuk guru belum diterbitkan oleh Depdiknas. Sehingga hal itu dapat menimbulkan salah penafsiran pada guru dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi di kelas. Menurut Yuwono (2004) guru Matematika SLTP pada umumnya masih belum memahami implementasi kurikulum yang akan diterakan di kelas. Guru belum mempunyai bayangan tentang buku siswa, buku guru, dan metode penilaian yang dilakukan. Demikian juga dengan buku yang telah beredar di pasaran walaupun banyak yang berlabel KBK namun isinya ternyata masih konvensional dan mengacu pada kurikulum sebelumnya.
Karena kompleknya persoalan yang berkaitan dengan KBK tersebut maka diperlukan metode pendekatan yang sesuai dengan kurikulum tersebut. Salah satu metode pendekatan yang sesuai dengan paradigma kontrukstivis adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Menurut Graves (2003) pembelajaran kooperatif merupakan salah satu inovasi pendidikan yang banyak digunakan secara meluas dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Pembelajaran kooperatif menurut Johnson and Johnson (1984) dan Cooper (1995) mempunyai beberapa keuntungan, Pertama
siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya dan terlibat secara aktif serta memiliki usaha yang lebih besar untuk berprestasi. Pendidikan sering dikritik karena
(3)
kegagalannya melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar. Pembelajaran yang terlalu tergantung pada metode ceramah menyebabkan siswa mengasumsikan perannya di kelas hanya sebagai penonton. Dibandingkan dengan hanya mendengarkan ceramah, siswa yang belajar sambil bertindak dan terlibat aktif akan lebih menguasai dan memahami konsep pelajaran. Penelitian juga menunjukkan bahwa siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajarnya secara konsisten, baik bagi siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Disamping itu retensi (daya lekat) terhadap materi pelajaran lebih lama. Kedua, siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan berpikir kritis. Siswa yang secara aktif terlibat dalam pembelajaran kooperatif memiliki konsentrasi yang lebih baik dibandingkan siswa yang hanya mendengarkan ceramah. Hal ini disebabkan karena waktu anak lebih banyak digunakan untuk mensintesis dan menginterpretasikan konsep yang terdapat dalam materi pelajaran. Ketiga, hubungan yang lebih positip antar siswa kesehatan psikologis yang lebih besar. Hal ini mencakup dukungan secara akademik dan secara perorangan serta kelompok, menghormati perbedaan pandangan antar siswa. Dalam pembelajaran kooperatif siswa dilatih untuk bekerja sama dan saling mendengarkan pendapat teman untuk mencapai konsensus. Oleh karena itu dukungan akademik antar siswa memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan belajar kelompok.
Dengan banyaknya keuntungan dari pembelajaran kooperatif, bukan berarti metode tersebut satu-satunya obat yang mujarab dalam mengatasi masalah belajar anak, demikian pula metode pembelajaran kooperatif bukan merupakan satu-satunya pendekatan pembelajaran. Menurut Sri Rahayu (2004) pembelajaran kooperatif dapat diimplementasikan di kalangan yang lebih luas pada berbagai macam bidang studi, antara lain matematika, sains, ilmu-ilmu sosial baik ditingkat sekolah dasar, sekolahlanjutan maupun perguruan tinggi.
(4)
Menurut Ibrahim (2000) semua model pembelajaran dilandasi oleh adanya struktur tugas, struktur tujuan, dan truktur pengharagaan. Struktur tugas mengacu pada cara pembelajaran tersebut diorganisasikan dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh siswa di kelas. Hal ini berlaku pada pengajaran klasikal atau pengajaran dengan kelompok kecil, sehingga diharapkan siswa dapat melakukan apa selama pengajaran berlangsung baik tuntutan akademik maupun sosial terhadap siswa pada saat mereka bekerja menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Struktur tugas lebih menekankan pada berbagai macam kegiatan yang terlibat dalam pembelajaran, misalnya guru menghendaki siswa mengerjakan lembar kerja siswa atau berdiskusi antar kelompok dalam kelas. Sedangkan struktur tujuan suatu pembelajaran adalah jumlah saling ketergantungan yang dibutuhkan siswa pada saat mereka mengerjakan tugas.
Sebagai salah satu struktur tujuan, model pembelajaran kooperatif merupakan revolusi konstruktivis yang didalamnya memiliki akar yang kuat dalam sejarah pendidikan. Vigotsky dan Piaget (dalam Nur, 2000:3) menekankan bahwa perubahan koginitif baru terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Lebih lanjut menurut keduanya bahwa perlu adanya hakikat sosial dari belajar, dan dalam belajar perlu menggunakan kelompok dengan masing-masing kelompok anggotanya mempunyai kemampuan yang berbeda.
Secara lebih terperinci menurut Slavin (1991) pembelajaran kooperatif adalah suatu proses dalam pembelajaran dimana siswa belajar dan belajar bersama dalam kelompok kecil yang masing-masing anggotanya menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab atas pencapaian hasil belajar, baik secara individu maupun kelompok. Menurut Cohen (dalam Rahayu, 2004:1) Kelompok belajar yang dibuat dalam kelompok cukup kecil, yaitu anggotanya 3-4 siswa. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat berpartisipasi secara maksimal dan efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas kolektif, selain itu siswa diharapkan dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan tanpa supervisi langsung dari guru. Dari pendapat tersebut terlihat bahwa dalam pembelajaran
(5)
kooperatif terdapat pendelegasian wewenang guru kepada siswa, sehingga dalam hal ini guru bertindak sebagai fasilitator dalam membimbing siswa dalam menyelesaikan materi tugas. Namun demikian Nurhadi dkk. (2003) menyatakan bahwa tidak semua pembelajaran yang dibagi dalam kelompok-kelompok menggambarkan sebagai pembelajaran kooperatif. Karena itu, lebih lanjut menurut Nurhadi terdapat sekurang-kurangnya 5 syarat yaitu dalam pembelajaran kooperatif. Pertama. Pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran kelompok dimana siswa saling berhubungan yang memerlukan saling kergantungan positip, artinya ada tanggung jawab bersama diatara anggota kelompok. Kedua. Dalam kelompok ada akuntabilitas individual, artinya masing-masing anggota kelompok harus memberikan sumbangan pada kelompoknya dan belajar dari kelompoknya. Ketiga. Dalam kelompok ada keterampilan antar personal, artinya ada komunikasi antar anggota, mereka saling percaya, mereka saling membagi kepemimpinan, membuat keputusan bersama dan menyelesaikan beda pendapat bersama. Keempat. Peningkatan interkasi tatap muka, artinya menuntut setiap siswa dalam kelompok dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru tetapi juga dengan sesama siswa. Kelima. Adanya pemrosesan , artinya dalam kelompok harus ada refleksi bagimana tim difungsikan dan bagaimana tim berfungsi lebih baik. Selanjutnya Nurhadi menyebutkan bahwa 4 ciri yang pertama sebagai unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif. Sehingga suatu model pembelajaran belum dianggap sebagai model pembelajaran kooperatif jika 4 unsur dasar tersebut belum ada. Hal sama juga didukung oleh pernyataan Rahayu (2004:2) bahwa dalam pembelajaran kooperatif harus memperhatikan 5 hal berikut ini:
a. Saling ketergantungan positip (positive interdependence). Yang dimaksud dalam aspek saling ketergantungan positip adalah siswa harus merasa bahwa mereka saling tergantung secara positip dan saling terikat antar sesama anggota kelompok. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain dalam kelompok juga tidak sukses. Dengan demikian materi tugas haruslah mencerminkan aspek saling ketergantungan seperti dalam hal tujuan belajar, sumber belajar, peran kelompok dan penghargaan.
(6)
b. Interaksi tatap muka (face to face interaction). Hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan cara adanya komunikasi verbal antar siswa yang didukung oleh saling ketergantungan positip. Belajar kooperatif membutuhkan siswa untuk bertatap muka satu dengan yang lain. Dengan demikian siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar, dan sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah. Selain itu siswa juga harus mengembangkan keterampilan berkomunikasi secara efektif.
c. Pertanggung-jawaban individu (individual accountability). Agar dapat menyumbang, mendukung, dan membantu sesama anggota dalam kelompok siswa harus menguasai materi dalam pembelajaran. Jadi diperlukan ketentuan bahwa setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari materi yang akan dipelajari dan juga harus bertanggung jawab terhadap hasil belajar kelompok. Dengan cara ini prestasi setiap siswa dapat dimaksimalkan.
d. Keterampilan berinteraksi antar individu dan kelompok (Interpersonality interaction skill). Keterampilan sosial sangat penting dalam belajar kooperatif dan harus diajarkan kepada siswa. Selain itu siswa juga harus dimotivasi untuk menggunakan keterampilan berinteraksi dalam kelompok yang benar sebagai bagian dari proses belajar.
e. Keefektifan proses kelompok (gruop processing). Siswa memproses keefektifan kelompok belajar mereka dengan cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak, dan membuat keputusan terhadap tindakan yang bisa dilanjutkan atau perlu diubah. Proses kelompok akan tercipta dengan baik jika dalam kelompok besar atau kecil suasananya menjadi saling mengisi sesama anggota. Dalam hal ini terdapat fase-fase yang meliputi umpan balik, refleksi, dan peningkatan kualitas kerja.
(7)
Pembelajaran kooperatif yang didasari oleh teori konstruktivis, baik secara filosofi maupun pedagogis memberikan wawasan bagaimana siswa mengkonstruksi konsep, mencari makna yang lebih dalam, menggali pemahaman baru, dan mengajukan serta menyelesaikan konsep. Oleh karena itu untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode belajar konsep terlebih dahulu harus memahami dua aspek utama yaitu teknik yang digunakan dan langkah yang harus ditempuh.
Teknik yang dapat digunakan dalam pembelajaran konsep terdiri dari Student Teams-Achievment Division (STAD), Jigsaw, Investigasi Kelompok, dan Pendekatan Struktural.
a. Student Teams-Achievment Division (STAD)
Teknik STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan koleganya di Universitas John Hopkin, dan STAD merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan teknik STAD juga mengacu kepada belajar kelompok siswa. Menyajikan informasi akademik baru kepada siswa tiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam satu kelas tertentu dipisahkan dalam kelompok dengan anggota 3-5 oarng, tiap kelompok haruslah heterogen terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan kemampuan yang berbeda. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajaran dan kemudian saling membantu satu sama lain. Kegiatan dalam kelompok dapat berupa tutorial , saling diskusi atau kuis. Secara individual setiap satu atau dua minggu siswa diberi kuis oleh guru dan kuis tersebut diskor dan masing-masing kelompok dilihat perkembangan kemampuannya. Skor perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, akan tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor tersebut melampaui rata-rata skor siswa yang lalu.
Setiap minggu pada suatu lembar penilaian singkat atau dengan cara lain diumumkan tim-tim, dengan skor tertinggi , siswa dengan skor perkembangan tertinggi, atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis yang telah dilakukan. Kadang-kadang seluruh tim yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan dalam lembar itu.
(8)
b. Jigsaw
Jigsaw telah dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan kemudian diadaptasi oleh Slavin (Ibrahim, 2000:21). Seperti halnya STAD metode Jigsaw dalam penerapannya siswa dibagi dalam kelompok-kelompok dengan masing-masing kelompok berjumlah 5-6 orang. Materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks dan setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian-bagian tertentu bahan yang ada. Menurut Rahayu (2004) dalam metode Jigsaw masing-masing anggota kelompok mempunyai tugas sebagai expert (ahli).
Metode Jigsaw selanjutnya dapat diteruskan yaitu dengan cara siswa bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam (a) belajar dan menjadi ahli dalam sub topik bagiannya, (b) merencanakan bagaimana mengajarkan sub topik bagiannya kepada anggota kelompoknya asal. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam sub topiknya dan mengajarkan informasi penting dalam sub topik tersebut pada temannya. Ahli dalam sub topik lainnya juga bertindak serupa, sehingga seluruh anggota kelompok mempunyai tugas yang sama untuk menguasai masing-masing sub topik yang telah diberikan.
c. Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan oleh Thelan, dalam perkembangan selanjutnya model ini telah diperluas oleh Sharan di Universitas Tel Aviv. Berbeda dengan STAD dan Jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari dan bagiamana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan strukutur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang berpusat pada guru, pendekatan ini juga memerlukan mengajar siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik.
(9)
Dalam penerapan model investigasi kelompok, guru membagi-bagi kelompok dengan masing kelompok beranggotakan 5-6 siswa yang heterogin. Dalam beberapa kasus, bagaimanapun juga kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban persahabatan atau minat yang sama terhadap topik tertentu. Selanjutnya siswa mempunyai topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih tersebut. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas. Supaya pelaksanaannya dapat berhasil menurut Sharan dkk. (dalam Ibrahim, 2000:23) diperlukan 6 tahapan dalam metode investigasi kelompok.
Pertama, Pemilihan topik. Siswa memilih sub topik khusus dalam suatu masalah umum yang biasanya ditetapkan oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan menjadi dua sampai enam anggota tiap kelompok menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi tugas. Komposisi kelompok hendaknya heterogen secara akademis maupun etnis.Kedua, Perencanaan Kooperatif. Siswa dan guru merencakan prosedur pembelajaran, tugas, dan tujuan khusus yang konsisten dengan sub topik yang telah dipilih pada tahap pertama.
Ketiga, Implementasi. Siswa menerapkan rencana yang telah mereka kembangkan dalam tahap kedua. Kegiatan pembelajaran hendaknya melibatkan ragam aktivitas dan keterampilan yang luas dan hendaknya mengarahkan siswa kepada jenis-jenis sumber belajar yang berbeda, baik di dalam atau di luar kelas. Guru dalam hal ini secara ketat mengikuti kemajuan tiap kelompok dan menawarkan bantuan bila diperlukan. Keempat, Analisis dan sintesis. Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh pada tahap ketiga dan merencanakan bagiamana infromasi tersebut diringkas dan disajikan dengan cara yang menarik sebagai bahan untuk dipresentasikan kepada seluruh kelas. Kelima, Presentasi hasil final. Beberapa atau semua kelompok menyajikan hasil penyelidikan dengan cara menarik kepada seluruh kelas, hal ini bertujuan agar siswa yang lain saling terlibat dalam pekerjaan mereka untuk memperoleh prespektif luas pada topik yang diberikan. Guru dalam presentasi hanya mengkoordinasikan. Keenam, Evaluasi. Dalam hal kelompok-kelompok menangani aspek yang berbeda dari topik yang sama, siswa dan guru mengevaluasi tiap kontribusi kelompok terhadap kerja kelas
(10)
sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi yang dilakukan dapat berupa penilaian perseorangan atau kelompok.
d. Pendekatan Struktural
Pendekatan terakhir dalam pembelajarn kooperatif yaitu pendekatan struktural yang telah dikembangkan oleh Spencer Kagen dkk (Ibrahim, 2000:25). Meskipun mempunyai banyak persamaan dengan pendekatan sebelumnya, namun pendekatan ini memberikan penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interkasi siswa. Struktur yang dimaksudkan oleh Kagen dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional, seperti resistasi , dimana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota kelas dan siswa memberikan jawaban setelah mengangkat tangan atau ditunjuk. Struktur yang dikembangkan Kagen menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh pnghargaan kooperatif daripada penghargaan individual.
Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi akademik, dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok. Dua macam struktur yang terkenal adalah think-pair-share dan numbered-head-together yang dapat digunakan guru untuk mengajarkan isi kademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu. Sedangkan active listening dan time token merupakan dua contoh struktur yang dikembangkan untuk mengajarkan keterampilan sosial.
Think-pair-share
Strategi ini tumbuh dari penelitian pembelajaran kooperatif dan waktu tunggu. Pendekatan yang digunakan mengacu pada Frank Lyman. Strategi Think-pair-share merupakan cara yang efektif untuk mengubah pola diskurus di dalam kelas. Strategi ini menantang asumsi bahwa seluruh resitasi dan diskusi perlu dilakukan di dalam seting seluruh kelompok. Think-pair-share juga memiliki prosedur yang ditetapkan secara
(11)
eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Andaikan guru baru saja menyelesaikan suatu penyajian singkat, atau setelah siswa membaca tugas, atau suatu siatuasi penuh teka-teki telah dikemukakan. Sekarang guru menginginkan siswa memikirkan secara lebih mendalam tantang apa yang telah dijalaskan atau dialami, sehingga guru memilih untuk menggunakan strategi think-pair-share sebagai gantinya tanya jawab seluruh kelas. Dalam hal ini langkah yang harus ditempuh adalah:
Tahap-1: Thinking (berpikir). Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran, selanjutnya siswa diminta untuk memikirkan per-tanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap-2 : Pairing (berpasangan). Guru meminta siswa untuk berpasangan dengan siswa lain guna mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi ide jika persoalan khusus telah diidentiifikasi. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit kepada siswa untuk berpasangan.
Tahap-3 : Sharing (berbagi pendapat). Guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Hal ini akan efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan telah mendapat giliran untuk melaporkan.
Numbered-head-together.
Strategi numbered-head-together dikembangkan oleh Spancer Kagen (Ibrahim, 2000:28., Soewolo, 2004:5). Tujuan utamanya adalah untuk lebih banyak melibatkan siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran. Sebagai gantinya mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota kelas dan guru menggunakan struktur empat langkah sebagai berikut:
(12)
Langkah-1 : Penomoran. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok dengan anggota 3-5 orang setiap kelompok dan setiap anggota kelompok diberi nomor berurutan 1 sampai 5.
Langkah-2 : Mengajukan pertanyaan. Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya, misalnya: Berapa kecepatan yang harus ditempauh oleh mobil, jika dalam 5 jam menempuh jarak 425 km. Pertanyaan yang dilakukan juga dapat dalam bentuk arahan. Misalnya: Pastikan bahwa banyak bilangan genap antara 3 dan 21 adalah 8 bilangan.
Langkah-3 : Berpikir bersama. Siswa menyatukan pendapat terhadap jawaban perta-nyaan pada langkah 2 dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tersebut.
Langkah-4 : Menjawab. Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangan dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
Berdasarkan uraian di atas, secara lebih singkat dapat dilihat perbandingan keempat pendekatan dalam pembelajaran kooperatif dalam tabel berikut ini:
Tabel 1. Perbandingan Empat Pendekatan dalam Pembelajaran Kooperatif
Aspek STAD Jigsaw Investigasi
Kelompok Pendekatan Struktural Tujuan Kognitif Informasi akade-mik sederhana
Informasi aka-demik sederha-na Informasi aka-demik tinggi dan keteram-pilan inkuiri Informasi akademik sederhana Tujuan Sosial
Kerja kelompok dan kerjasama
Kerja kelom-pok dan kerja-sama
Kerja dalam kelompok komplek
Keterampilan Kelompok dan Keterampilan sosial.
(13)
Tim Heterogen 4-5 orang
belajar hetero-gen 5-6 orang menggunakan pola kelompok
asal dan ahli
belajar dengan 5-6 orang ang-gota homogen
dua, bertiga, kelompok dengan 4-6 orang Pemilihan Topik Pelajaran Biasanya dilakukan guru Biasanya dilakukan guru Biasanya dilakukan guru Biasanya dilakukan guru Tugas Utama
Siswa dapat meng-gunakan lembar kegiatan dan saling mem-bantu untuk menuntaskan materi belajarnya
Siswa mempelajari materi dalam kelompok “ahli” kemudian membantu anggota
kelompok asal mempelajari materi tersebut.
Siswa
menyelesaikan tugas inkuiri kompleks.
Siswa
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan sosial dan ke-lompok.
Penilaian Tes Mingguan Bervariasi dan
dapat berupa tes mingguan
Menyelesaikan prosyek dan menulis
laporan, dapat menggunakan esay test.
Bervariasi
Pengakuan Lembar pengeta-huan dan publikasi lain
Publikasi lain Lembar
pengakuan dan publikasi lain.
(14)
Untuk menghasilkan pembelajaran yang maksimal dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif, maka menurut Sri Rahayu (2004:4) ada tiga langkah yang harus diterapkan oleh guru yaitu:
Persiapan : Sebelum siswa bekerja dalam kelompok, guru harus melakukan persipan yaitu menentukan tujuan belajar dengan cara menentukan materi yang akan dipelajari atau tugas-tugas yang harus diselesaikan dan keterampilan kolaborasi yang digunakan dalam kelompok. Selanjutnya membagi siswa dalam kelompok-kelompok, dalam pembagian kelompok harus diperhatikan variasi dalam kelompok berdasarkan kemampuan akademik, jenis kelamin dan latar belakang kesukuan. Oleh karena itu guru perlu berupaya untuk memaksimalkan heterogenitas dalam kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru menjelaskan tugas yang diberikan yaitu tugas aspek akademik dan tugas aspek sosial. Aspek akademik mengacu pada hal-hal yang harus dimiliki siswa untuk menyelesaikan materi tugas, sedangkan aspek sosial meliputi penentuan peran siswa dan aturan-aturan yang harus diikuti kelompok. Setalah tugas diberikan perlu disusun saling ketergantungan positip. Hal ini berkaitan dengan kesadaran siswa untuk bekerja sama guna mencapai tujuan belajar. Menurut Van der Kley (1991) ada lima aspek dalam menyusun ketergantungan positip yaitu:
- Ketergantungan tujuan (goal independence), setiap anggota kelompok harus mem-berikan sumbangan kepada kelompoknya dengan cara menyelesaikan bagian yang berbeda dalam tugas kelompoknya.
- Ketergantungan peran (role independence), setiap anggota kelompok mempunyai peran dan tiap peran tersebut adalah penting.
- Ketergantungan sumber belajar (resource independence), setiap anggota kelompok memiliki sumber belajar yang diperlukan dan diharapkan sumber belajar tersebut berbeda satu dengan lainnya.
- Ketergantungan lingkungan (enviromental independence), setiap anggota kelompok menggunakan peralatan/saran fisik bersama-sama misalnya siswa menggunakan satu meja dalam satu kelompok.
(15)
- Ketergantungan penghargaan (reward independence), penghargaan yang diperoleh salah satu anggota kelompok akan mempengaruhi penghargaan terhadap kelompoknya.
Proses belajar : Peranan guru dalam pembelajaran kooperatif menurut Van der Kley (1991), selama siswa bekerja dalam kelompok guru bertindak sebagai fasilitator yaitu membantu siswa untuk menyelesaikan tugas yang lebih difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan mengusulkan cara lain dalam memecahkan masalah atau mencari jawaban, memberikan umpan balik yang positip terhadap usaha-usaha siswa dalam menyelesaikan tugas dan mengarahkan siswa untuk kembali ke sumber belajar semula dalam proses pemecahan masalah. Disamping membantu siswa, guru diharapkan membantu siswa bekerja secara kooperatif. Dalam ini Johnson and Johnson (1984) menyarankan kepada guru untuk lebih menitikberatkan pada mendorong setiap anggota untuk berpartisipasi, mengecek setiap orang dalam kelompok memahami materi, mendengarkan secara teliti apa yang dikatakan setiap anggota, mendorong setiap anggota agar diyakinkan oleh alasan dari jawaban yang diusulkan bukan merupakan tekanan, mengkritik ide-ide, meminta setiap anggota untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan belajar sebelumnya.
Evaluasi. Dalam evaluasi ada dua hal yang dapat dilakukan yaitu evaluasi hasil belajar dan evaluasi keterampilan berkolaborasi. Evaluasi hasil belajar bertujuan untuk mengetahui pencapaian hasil belajar kelompok dan lebih memfokuskan pada aspek akademik. Hasil belajar yang dinilai dalam evaluasi ini mungkin berupa laporan, satu set jawaban kelompok yang telah didetujui oleh semua anggota, rata-rata skor ujian individu atau sejumlah anggota kelompok yang telah mencapai kriteria tertentu. Sedangkan evaluasi keterampilan berkolaborasi bertujuan untuk menemukan seberapa baik siswa bekerja sebagai suatu kelompok. Untuk melaksanakan evaluasi ini guru harus mengelilingi masing-masing kelompok dan mencatat apakah kelompok telah menggunakan keterampilan kooperatif, disamping itu catatan observasi dilakukan dalam
(16)
hal bagaimana anggota kelompok melaksanakan keterampilan berkolaborasi dan dalam evaluasi ini guru wajib memberikan nilai kelompok berdasarkan keterampilan yang digunakan oleh kelompok.
Secara lebih ringkas langkah dalam pembelajaran kooperatif dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Kegiatan Tingkah Laku Guru
Fase –1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Cara guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase – 2 Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan cara demonstrasi atau melalui bahan bacaan
Fase – 3 Mengorganisasikan siswa
dalam kelompok-kelompok
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara me-mbentukkelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Fase – 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelom-pok belajar pada saat me-reka mengerjakan tugas.
Fase – 5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil
(17)
masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase – 6 Memberikan pengharagaan
Guru mencari cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok Fase-fase belajar dalam pembelajaran cooperative akan menghasilkan perubahan yang signifikan jika diikuti dengan pola penilaian yang sesuai. Usman H.B (2002) menyebutkan bahwa dalam pemberdayaan cooperative learning perlu diadakan kegiatan-kegiatan yang meliputi pembentukan kelompok kerja, menjelaskan aktivitas kelompok, merancang soal dan tugas-tugas, melaksanakan kegiatan diskusi kelas dan menilai kerja kelompok.
5.3 Rencana Pembelajaran yang Diperlukan
Dalam menyusun rencana pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kooperatif harus mengacu pada kurikulum yang ada (kurikulum 2004). Unsur-unsur yang harus ada dalam suatu rencana pembelajaran pada dasarnya sama dengan rencana pembelajaran pada umumnya, yaitu:
Mata Pelajaran : ...
Kelas : ...
Semester : ...
Waktu : ...
Standar Kompetensi :
(kemampuan atau kecakapan yang diharapkan dicapai dengan konsep yang diajarkan, hal ini dapat dilihat dalam kurikulum 2004)
(18)
(indikator yang berupa tingkah laku belajar yang teramati dan menunjukkan bahwa kompetensi dasar tercapai selama pembelajaran berlangsung).
Metode :
(Pilih STAD, Jigsaw, Investigasi Kelompok, Pendekatan struktural)
Materi Pokok : ... Alat dan Bahan : ...
Kegiatan Belajar Mengajar : (merupakan deskripsi dari pengalaman belajar
siswa yaitu kegiatan belajar yang dilakukan siswa dalam rangka mencapai kompetensi dasar. Pengalaman belajar ditekankan pada pengalaman belajar yang merupakan pengalaman langsung siswa atau dilakukan siswa dalam bentuk kegiatan nyata. Pengalaman belajar tersebut selanjutnya disusun dan diorganisasikan dalam langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari kegiatan guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung. Agar pembelajaran menunjukkan arah yang jelas dalam meningkatkan kemampuan siswa mulai dari kecakapan awal (kognitif) sampai kecakapan yang ditentukan dalam kompetensi dasar, maka langkah pembelajaran tersebut sebaiknya meliputi: Kegiatan Awal, Kegiatan Inti, Kegiatan pemantapan. Atau dapat juga menggunakan tahap-tahap siklus belajar yaitu ekplorasi, eksplanasi, ekspansi, evaluasi).
Sumber Belajar : ...
Selanjutnya untuk mengetahui apakah pembelajaran yang kita lakukan secara berkelompok ini sesuai dengan pendekatan pembelajaran kooperatif maka perlu disusun format penilaian pembelajaran kooperatif.
Tabel.3 Format Penilaian Pembelajaran Kooperatif
No.
Elemen Pembelajaran
Kooperatif
Indikator
Nilai
A B C D
(19)
Positip 2. Ingin Menonjol sendiri.
3. Ingin menggantungkan diri pada orang lain
... ... ... ...
2. Akuntabilitas Individual
1. Setiap anggota memberikan sumbangan pikiran kepada kelompoknya.
2. Siswa belajar dari siswa lain
... ... ... ... ... ... ... ... 3. Keterampilan
Antar Personal
1. Komunikasi antar anggota 2. Saling percaya mempercayai 3. Membagi kepemimpinan 4. Membuat Keputusan bersama 5. Menyelesaikan beda pendapat
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 4. Interaksi Tatap
Muka
1. Duduknya saling berhadapan 2. Ada dialog antar siswa 3. Ada dialog dengan guru
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
5.5 Pengaruh Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan Akademik
Satu aspek penting dari pembelajaran kooperatif adalah bahwa disamping dengan pembelajaran kooperatif membantu mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik di antara siswa, pembelajaran kooperatif secara bersamaan membantu siswa dalam pembelajaran akademis mereka. Slavin (1986) dalam laporannya menyebutkan bahwa 45 penelitian telah dilakukan antara tahun 1972-1986. Tujuannya adalah menyelidiki pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar. Penelitian ini dilakukan pada semua tingkat kelas yang meliputi bidang studi matematika, bahasa, geografi, ilmu sosial, sain, bahasa inggris dan bahasa kedua, membaca, menulis. Dari 45 penelitian tersebut 37 penelitian menyebutkan bahwa kelas kooperatif menunjukkan hasil belajar akademik yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol, 8 penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan dan tidak satupun penelitian yang mengindikasikan bahwa pembelajaran kooperatif berpengaruh negatif.
(20)
Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman individual atau kompetitif. Peningkatan belajar terjadi tidak bergantung pada usia siswa, mata pelajaran, atau aktivitas belajar. Tugas-tugas belajar yang kompleks seperti pemecahan masalah, berpikir kritis dan pembelajaran konseptual meningkat secara nyata pada saat digunakan strategi-strategi koopertaif. Siswa dalam hal di kelas memiliki kemungkinan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi selama dan setelah diskusi dalam kelompok kooperatif daripada mereka bekerja secara individual atau kompetitif. Jadi materi yang dipelajari siswa akan melekat untuk periode waktu yang lebih lama.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam setting kelas kooperatif, siswa lebih banyak belajar dari satu teman ke teman lain diantara sesama siswa daripada guru. Konsekuensinya, pengembangan komunikasi yang efektif seharusnya tidak ditinggalkan demi kesempatan belajar itu. Metode pembelajaran kooperatif memanfaatkan kecendrungan siswa untuk berinteraksi. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positip untuk siswa yang rendah hasil belajarnya. (Linda L.: 1994).
Menurut teori motivasi, motivasi siswa dalam pembelajaran kooperatif terutama terletak pada bagaimana bentuk hadiah atau struktur pencapaian tujuan pada saat siswa melaksanakan kegiatan. Pada pembelajaran kooperatif siswa yakin bahwa tujuan mereka tercapai jika dan hanya jika siswa lain juga akan mencapai tujuan tersebut. Kritik teori motivasi pada pengorganisasian kelas secara tradisisonal adalah bahwa pemberian rangking dan peringkat prestasi belajar yang kempotitif dan sistem penghargaan yang tidak formal terhadap kelas akan menciptakan norma kelas yang memperlemah upaya-upaya akademik, karena keberhasilan seorang siswa mengurangi keberhasilan siswa lainnya. (Nur dkk. 1997).
Teori perkembangan mengasumsikan bahwa interaksi antar siswa disekitar tugas-tugas yang sesuai meningkatkan penguasaan mereka terhadap konsep-konsep yang sulit.
(21)
Sementara teori elaborasi kognitif memiliki pandangan yang berbeda. Penelitian dalam psikolgi kognitif telah menemukan bahwa supaya informasi dapat disimpan dalam memori dan terkait dengan informasi yang sudah ada dalam memori tersebut, maka siswa harus terlibat dalam beberapa macam kegiatan restruktur atau elaborasi kognitif atas suatu materi misalnya merangkum, membuat catatan penting. Salah satu kegiatan elaborasi kognitif yang paling efektif adalah menjelaskan materi kepada orang lain.
Berikut ini diberikan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa dengan hasil belajar rendah:
- Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas - Rasa harga diri menjadi lebih tinggi.
- Memperbaiki sikap terhadap IPA dan sekolah
- Memperbaiki kehadiran
- Angka putus sekolah menjadi rendah
- Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar - Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
- Konflik antar pribadi berkurang - Sikap apatis berkurang
- Pemahaman yang lebih mendalam
- Motivasi lebih besar - Hasil belajar lebih tinggi - Retensi lebih lama
- Meningkatkan kebaikan budai, kepekaan dan toleransi (Ibrahim dkk. 2000:19) Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa suatu kerangka teoritis dan empirik yang kuat untuk pembelajaran kooperatif mencerminkan pandangan bahwa manusia belajar dari pengalaman mereka dan partisipasi aktif dalam kelompok kecil membantu siswa belajar keterampilan sosial yang penting sementara itu secara bersamaan mengembangkan sikap demokratis dan keterampilan berpikir logis.
(22)
(23)
(24)
(25)
(1)
Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman individual atau kompetitif. Peningkatan belajar terjadi tidak bergantung pada usia siswa, mata pelajaran, atau aktivitas belajar. Tugas-tugas belajar yang kompleks seperti pemecahan masalah, berpikir kritis dan pembelajaran konseptual meningkat secara nyata pada saat digunakan strategi-strategi koopertaif. Siswa dalam hal di kelas memiliki kemungkinan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi selama dan setelah diskusi dalam kelompok kooperatif daripada mereka bekerja secara individual atau kompetitif. Jadi materi yang dipelajari siswa akan melekat untuk periode waktu yang lebih lama.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam setting kelas kooperatif, siswa lebih banyak belajar dari satu teman ke teman lain diantara sesama siswa daripada guru. Konsekuensinya, pengembangan komunikasi yang efektif seharusnya tidak ditinggalkan demi kesempatan belajar itu. Metode pembelajaran kooperatif memanfaatkan kecendrungan siswa untuk berinteraksi. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positip untuk siswa yang rendah hasil belajarnya. (Linda L.: 1994).
Menurut teori motivasi, motivasi siswa dalam pembelajaran kooperatif terutama terletak pada bagaimana bentuk hadiah atau struktur pencapaian tujuan pada saat siswa melaksanakan kegiatan. Pada pembelajaran kooperatif siswa yakin bahwa tujuan mereka tercapai jika dan hanya jika siswa lain juga akan mencapai tujuan tersebut. Kritik teori motivasi pada pengorganisasian kelas secara tradisisonal adalah bahwa pemberian rangking dan peringkat prestasi belajar yang kempotitif dan sistem penghargaan yang tidak formal terhadap kelas akan menciptakan norma kelas yang memperlemah upaya-upaya akademik, karena keberhasilan seorang siswa mengurangi keberhasilan siswa lainnya. (Nur dkk. 1997).
(2)
tugas-Sementara teori elaborasi kognitif memiliki pandangan yang berbeda. Penelitian dalam psikolgi kognitif telah menemukan bahwa supaya informasi dapat disimpan dalam memori dan terkait dengan informasi yang sudah ada dalam memori tersebut, maka siswa harus terlibat dalam beberapa macam kegiatan restruktur atau elaborasi kognitif atas suatu materi misalnya merangkum, membuat catatan penting. Salah satu kegiatan elaborasi kognitif yang paling efektif adalah menjelaskan materi kepada orang lain.
Berikut ini diberikan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa dengan hasil belajar rendah:
- Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas - Rasa harga diri menjadi lebih tinggi.
- Memperbaiki sikap terhadap IPA dan sekolah - Memperbaiki kehadiran
- Angka putus sekolah menjadi rendah
- Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar - Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
- Konflik antar pribadi berkurang - Sikap apatis berkurang
- Pemahaman yang lebih mendalam - Motivasi lebih besar
- Hasil belajar lebih tinggi - Retensi lebih lama
- Meningkatkan kebaikan budai, kepekaan dan toleransi (Ibrahim dkk. 2000:19) Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa suatu kerangka teoritis dan empirik yang kuat untuk pembelajaran kooperatif mencerminkan pandangan bahwa manusia belajar dari pengalaman mereka dan partisipasi aktif dalam kelompok kecil membantu siswa belajar keterampilan sosial yang penting sementara itu secara bersamaan mengembangkan sikap demokratis dan keterampilan berpikir logis.
(3)
(4)
(5)
(6)