PERAN GURU PAI DALAM MENGATASI KENAKALAN SISWA BROKEN HOME DI SMP BINA TARUNA SURABAYA.

(1)

SKRIPSI

Oleh:

BINTI MA’UNATUL K. NIM. D51211104

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2015


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan

Program Sarjana Pendidikan Islam ( S.Pd.I) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Oleh:

BINTI MA’UNATUL K. NIM. D51211104

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2015


(3)

(4)

vi

ABSTRAK

Binti Ma’unatul Khoiroh (D51211104). 2015. Peran Guru PAI dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Broken Home di SMP Bina Taruna Surabaya,

Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata kunci: Peran Guru PAI, Broken Home Pembimbing: Drs. H. Syaifuddin, M.Pd.I

Kenakalan remaja yang muncul karena keadaan keluarga kurang harmonis atau broken home menjadikan remaja dalam perhatian dan pengawasan yang kurang sehingga berujung pada kehidupan remaja tidak terarah, perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana kenakalan yang nampak di sekolah, guru PAI sebagai orang tua kedua memiliki andil untuk mengatasi kenakalan tersebut terkait tugasnya dalam memberikan pengajaran dan bimbingan akhlak pada peserta didiknya. Berdasarkan latar belakang ini, penulis mengangkat judul peran guru PAI dalam mengatasi kenakalan siswa broken home, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana bentuk-bentuk kenakalan siswa broken home di SMP Bina Taruna Surabaya? Bagaimana peran guru PAI dalam mengatasi kenakalan siswa broken home di SMP Bina Taruna Surabaya?

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Studi kasus ini bertipe kasus intrinsik adalah untuk mengilustrasikan kasus yang unik, kasus yang memiliki kepentingan yang tidak biasa dalam dirinya dan perlu dideskripsikan yaitu kasus broken home dengan keterlibatan peran guru Pendidikan Agama Islam dalam mengatasinya.

Dari hasil penelitian ini, memberikan kesimpulan bahwa bentuk-bentuk kenakalan siswa broken home di SMP Bina Taruna Surabaya termasuk sebagai jenis kenakalan yang melawan status sebagai pelajar meliputi terlambat masuk sekolah, tidak masuk sekolah tanpa keterangan (membolos), Berkenaan dengan masalah perilaku siswa broken home, guru PAI sebagai pengemban amanat orang tua dan bertugas mendidik siswa, maka peran guru PAI dalam mengatasi kenakalan siswa meliputi memberikan pengajaran, nasihat, pembiasaan melakukan dzikir baik di dalam kelas maupun ketika waktu senggang dalam lingkup sekolah.


(5)

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Penelitian Terdahulu ... 7

F. Definisi Operasional ... 10

G. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Guru PAI 1. Pengertian Guru PAI... 14


(6)

5. Peran dan Fungsi Guru ... 24

B. Tinjauan Tentang Kenakalan Siswa Broken Home 1. Pengertian Kenakalan Remaja ... 28

2. Penggolongan Jenis Kenakalan Remaja ... 31

3. Bentuk-Bentuk Kenakalan ... 33

4. Faktor Penyebab Kenakalan ... 35

5. Broken Home ... 37

C. Peran Guru PAI dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Broken Home ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 46

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 47

C. Tahap-Tahap Penelitian ... 48

D. Sumber dan Jenis Data ... 51

E. Teknik Pengumpulan Data ... 53

F. Teknik Analisis Data ... 54

G. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 56 BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA


(7)

4. Struktur Organisasi Sekolah ... 60

5. Rekapitulasi Jumlah Siswa ... 61

6. Rekapitulasi Tenaga Pendidik dan Kependidikan ... 62

7. Keadaan Sarana Prasarana ... 63

8. Program Kegiatan Keagamaan sekolah ... 65

9. Bentuk Pelanggaran Siswa ... 65

10.Data Siswa Broken Home ... 66

B. Analisis Data 1. Bentuk-Bentuk Kenakalan Siswa Broken Home di SMP Bina Taruna Surabaya ... 68

2. Peran Guru PAI dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Broken Home di SMP Bina Taruna Surabaya ... 76

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92 DAFTAR PUSTAKA


(8)

Anak merupakan anugerah Ilahi yang tercipta dari dua insan dan terlahir sebagaimana fitrahnya yang suci. Anak yang terlahir sudah seharusnya dirawat dan dididik dengan baik agar menjadi insan yang memiliki perilaku berbudi luhur. Keluarga sebagai pendidik utama dan pertama memiliki peranan penting serta berpengaruh terhadap pendidikan anaknya. Terlebih ketika anak tumbuh menjadi remaja.

Masa remaja merupakan masa yang sangat menentukan, karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya. Perubahan kejiwaan menimbulkan kebingungan dikalangan remaja sehingga masa ini disebut oleh orang barat sebagai periode strum und drang. Sebabnya mereka mengalami penuh gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat.1 Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada 6 September 2012 silam, adanya pelajar SMP Swasta di Kawasan Pancoran Mas yang tertangkap polisi karena tawuran di Jalan Arif Rahman Hakim, Depok dengan membawa senjata tajam.2 Kasus yang sama juga terjadi pada 31 Mei 2015 di Jalan KH

1

Zulkifli L, Psikologi Perkembangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. Ke-7, h. 63

2

Dari Berita dalam Internet: Detiknews. 2012. Bawa Senjata Tajam, 2 Pelajar SMP Ditangkap Polisi. lihat di http://news.detik.com/berita/2010681/bawa-senjata-tajam-2-pelajar-smp-ditangkap-polisi Diakses pada 2 Juni 2015


(9)

Moch Mansyur, jembatan lima, Tambora, Jakarta Barat yang melibatkan tawuran antar kelompok remaja yang menewaskan dua remaja kelompok tersebut.3 Kasus lain terkait kenakalan remaja juga pernah terjadi akhir tahun lalu di kawasan Padat Karya, Balikpapan Utara tentang masalah pencurian sepeda motor oleh pelajar SMP yang sempat kabur dan absen dari sekolah.4 Adanya kasus-kasus kenakalan remaja yang terjadi membuktikan bahwa remaja masih membutuhkan pengawasan dan pendamping oleh orang yang lebih tua, baik dari segi umur maupun kedudukan sosialnya.

Remaja sebagai masa peralihan, mempunyai kebutuhan-kebutuhan remaja yang harus dicapai, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikisnya. Kebutuhan fisik sebagaimana makhluk lain seperti makan, minum dan sebagainya. Kebutuhan psikis atau mental rohaniah adalah yang menjadi pembeda dengan makhluk Tuhan yang lain. Diantara kebutuhan mental rohaniah seperti kebutuhan akan agama, rasa kasih sayang, rasa aman, penyesuaian diri, kebebasan, pengendalian diri, dan penerimaan sosial.5 Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan remaja tidak terlepas dari pendidikan yang ada terutama dalam keluarga. Anak yang mendapat pendidikan dari keluarga yang harmonis tentu berbeda dengan keluarga yang kurang harmonis.

3

Dari Berita dalam Internet: Detiknews. 2015. 2 Remaja Tewas Akibat Tawuran Di Tambora, Polisi Kejar 2 Pelaku. lihat di http://news.detik.com/berita/2929996/2-remaja-tewas-akibat-tawuran-di-tambora-polisi-kejar-2-pelaku Diakses pada 2 Juni 2015

4

Dari Berita dalam Internet: KALTIMPOST. 2015. Nikmat Sesaat Berujung Bui. Lihat di http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/131367-nikmat-sesaat-berujung-bui.html Diakses pada 2 Juni 2015

5


(10)

Kenyataan yang nampak bahwa tidak semua remaja terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dikarenakan keadaan keluarga, yaitu orang tua yang tidak utuh lagi. Hal ini umumnya dikenal dalam masyarakat dengan istilah

broken home. Broken home merupakan suatu keadaan dimana adanya

ketidakharmonisan dalam keluarga yang disebabkan oleh perceraian orang tua, keluarga yang tidak lengkap karena hubungan diluar pernikahan ataupun kematian salah satu orang tua atau kedua-duanya.6 Adanya kondisi keluarga yang demikian memicu berbagai masalah, baik pada diri anak itu sendiri maupun orang lain. di dukung pula dengan keadaan zaman yang semakin mudah untuk melakukan transaksi dan interaksi, serta adanya pengaruh negatif dari lingkungan luar yang bebas, menyebabkan anak menjadi menyimpang yang berujung pada kenakalan. Penyimpangan yang terjadi perlu untuk ditindaklanjuti jalan keluar permasalahannya melalui pendidikan.

Keberhasilan dalam mendidik anak sebagian utama tidak terlepas dengan kondisi atau keadaan dalam lingkungan keluarga itu sendiri, disamping lingkungan luar disekitarnya seperti sekolah. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang di dalamnya terdapat kurikulum tertulis dengan penanggung jawab pendidikan untuk anak di sekolah adalah guru.

Dari hasil telaah terhadap Istilah-istilah guru dalam literatur kpendidikan Islam ditemukan bahwa guru adalah orang yang memiliki

6

Y. Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja & Penanggulangannya


(11)

karakteristik mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Selain itu juga mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya.7

Menurut pendapat Louis V. Gerstmer, Jr. dkk, masa kini, peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang.8 Sehingga guru bukanlah seorang yang sekedar menyampaikan pelajaran saja. Dalam menjalankan perannya guru tidak terlepas dari dihadapkan pada siswa yang bermasalah. Salah satu diantara masalah tersebut adalah kenakalan siswa yang disebabkan oleh keluarga broken home. Adanya fenomena broken home

yang berbeda pengasuhan dengan keluarga normal berpengaruh besar pada mental seorang pelajar. Broken home juga bisa merusak jiwa anak sehingga dalam sekolah mereka bersikap seenaknya saja, tidak disiplin di dalam kelas, dan perbuatan lain yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Berkenaan dengan permasalahan ini, guru bertanggung jawab untuk berusaha mengatasinya dengan menjalankan peran sesuai tugasnya.

7

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 217

8

Mohamad Surya, Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi (Bandung : Alfabeta, 2014), h. 197


(12)

Guru memiliki sebagian tanggung jawab orang tua untuk memberikan pendidikan, ketika anak dilimpahkan kepada guru disekolah. Tidak peduli anak dari keluarga mana yang dilimpahkan. Guru adalah orang tua, orang tua siswa di sekolah. Sebagai orang tua disekolah memang seharusnya guru bertanggung jawab terhadap perkembangan siswanya baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Terlebih bagi Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang memiliki tugas untuk tidak sekedar mentransfer pengetahuan saja namun juga berperan memberikan pengajaran dan bimbingan berkaitan dengan akhlak siswa. Bimbingan terhadap siswa yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Islam (PAI) tidaklah mengambil wewenang guru Bimbing Konseling (BK). Demikian karena guru berperan dalam proses pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas perlu diketahui bagaimana peran guru untuk menyelesaikan problematika tersebut sehingga diangkatlah oleh penulis judul ”Peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Broken home di SMP Bina Taruna Surabaya

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan oleh penulis rumusan masalah sebagai berikut:


(13)

1. Bagaimana bentuk kenakalan siswa broken home di SMP Bina Taruna Surabaya?

2. Bagaimana peran guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam mengatasi kenakalan siswa broken home di SMP Bina Taruna Surabaya?

C. Tujuan

Berdasar pada rumusan masalah yang telah ditetapkan, penulis memiliki tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk kenakalan siswa broken home di SMP Bina Taruna Surabaya

2. Untuk mengetahui peran yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam mengatasi kenakalan siswa broken home di SMP Bina Taruna Surabaya

D. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru terhadap pengembangan ilmu di bidang pendidikan, khususnya dalam Pendidikan Agama Islam yang berkenaan dengan peran seorang guru Pendidikan Agama Islam dalam mengatasi problematika siswa.


(14)

a. Bagi Peneliti

Adanya penelitian ini, besar harapan peneliti untuk mengetahui peran guru PAI dalam mengatasi kenakalan siswa broken home. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi penulis untuk menjadi pendidik yang mampu menghadapi kenakalan siswa broken home. Serta dalam rangka memenuhi kredit semester guna mengakhiri masa perkuliahan.

b. Bagi Orang tua

Memberikan pemahaman baru untuk meningkatkan rasa tanggung jawab sebagai orang dewasa terhadap anak. Khususnya dalam hal ini adalah anak broken home yang membutuhkan perhatian khusus karena sudah tidak berada dalam kondisi lengkapnya keluarga inti

c. Bagi pihak sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi sekolah untuk mengembangkan peran guru yang berhadapan dengan problematika siswa

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang peran guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam mengatasi kenakalan siswa broken home memiliki relevansi dengan penelitian


(15)

yang ada sebelumnya namun berbeda dalam objek dan kajiannya. Penelitian yang relevan diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Fathur Rosi 2008 dengan judul ”Peran Guru PAI dalam Menanggulangi Kemerosotan Moral Siswa Korban Miras”. Fokus penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kondisi kemerosotan moral siswa di MAN Bangkalan, faktor-faktor yang menjadi penyebab kemerosotan moral siswa dan peran guru agama dalam menanggulangi kemerosotan moral siswa di MAN Model Bangkalan. Persamaan dengan penelitian ini adalah pembahasan yang sama untuk mengetahui penyimpangan perilaku siswa dan bagaimana peran sebagai guru pendidikan agama mengatasi permasalahan, terkait dengan tingkah laku siswa. Perbedaannya terletak pada objeknya, yaitu kenakalan siswa yang disebabkan oleh kelurga broken home, serta jenjang pendidikan yang digunakan dalam penelitian ini meneliti pada jenjang SMP.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Moh. Haris Setiawan 2013 dengan judul ”Studi Komparasi Antara Kenakalan Siswa Dengan Latar Keluarga Normal, Keluarga Quasi Broken home Dan Keluarga Broken home di Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 4 Gadung Surabaya ”. Penelitian ini terfokus untuk membandingkan antara kenakalan siswa dengan latar keluarga normal, keluarga quasi broken home dan keluarga

broken home untuk diketahui adanya persamaan atau perbedaannya. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang


(16)

kenakalan siswa broken home dengan jenjang pendidikan yang sama yaitu pada jenjang SMP. Perbedaannya dalam hal kajiannya, dalam penelitian ini tidak dilakukan perbandingan antara siswa broken home dengan yang lain. Demikian juga dilakukan penelitian pada pihak yang terkait dengan perilaku siswa di sekolah yaitu guru pendidikan agama Islam.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Any Rahmita 2006 dengan judul ”Intervensi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Pelaksanaan Konseling yang Dilakukan Oleh Dra. Psi Mierrina dalam Mengatasi Penyimpangan Perilaku Seorang Anak yang Dibesarkan dalam Keluarga Broken home di

Sigknal Human Resources Consultan Sidoarjo”. fokus penelitian ini adalah (1) bagaimana pelaksanaan bimbingan konseling yang dilakukan oleh Dra. Psi Mierrina dalam mengatasi penyimpangan perilaku seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga broken home di sigknal human resources consultan sidoarjo. (2) bagaimana upaya menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam pelaksanaan konseling yang dilakukan oleh Dra. Psi Mierrina dalam mengatasi penyimpangan perilaku seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga broken home di sigknal human resources consultan sidoarjo. Persamaan dengan penelitian ini adalah kesamaan dalam meneliti perilaku anak broken home, namun perbedaannya adalah perilaku anak yang menyimpang, yaitu kenakalan yang terjadi pada anak dalam jenjang pendidikan SMP. Demikian juga berbeda pada orang yang


(17)

memberikan bimbingan. Pada penelitian ini yang memberikan bimbingan adalah guru pendidikan agama Islam.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Arif Budi Mulyono 2008 dengan judul ”Peran Aktif Guru PAI dalam Menanggulangi Kenakalan Siswa (Studi Kasus di SMA 8 Semarang)”. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kenakalan siswa SMA 8 Semarang dan peran guru PAI dalam menanggulangi kenakalan siswa SMA 8 Semarang. Persamaan dengan penelitian ini adalah untuk mengetahui kenakalan siswa dan peran guru PAI yang dilakukan untuk mengatasinya. Namun perbedaannya terletak dalam jenjang pendidikan yang diteliti serta kajian terhadap kenakalan siswa. Pada penelitian ini kenakalan siswa yang diteliti lebih khusus sebagai akibat dari kelurga broken home

F. Definisi Operasional 1. Peran

Peran adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.9 Peran yang dimaksud penulis adalah peran sebagai guru PAI yang memiliki kedudukan dalam masyarakat sekolah.

2. Guru Pendidikan Agama Islam

9


(18)

Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah.10 Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha yang sistematis dan pragmatis dalam membimbing anak didik yang beragama Islam dengan cara sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajaran Islam benar-benar dipahami, diyakini kebenarannya, diamalkan menjadi pedoman hidupnya, menjadi pengontrol terhadap perbuatan, pemikiran dan sikap mental.11 Sehingga guru Pendidikan Agama Islam merupakan tenaga pendidik yang memberikan pengetahuan Pendidikan Agama Islam kepada anak didik di sekolah. Guru Pendidikan Agama Islam yang dimaksud penulis adalah Guru Pendidikan Agama Islan di SMP Bina Taruna Surabaya.

3. Mengatasi

Mengatasi dapat diartikan mencari jalan penyelesaian, mem-bendung, menanggulangi, menahan.12 Sedangkan menurut penulis mengatasi adalah menanggulangi suatu masalah untuk mencari jalan penyelesaian, masalah yang dimaksud adalah masalah perilaku siswa yang tidak sesuai dengan nila-nilai/norma-norma di sekolah khususnya dan masyarakat pada umumnya.

4. Kenakalan Remaja

10

Djamarah dan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 126 11

Sahilun A. Nasir, Peran Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem Remaja

(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), cet. Ke-2, h. 10 12

Hidayahtus Sholihah, Kegiatan Pengajaran Darul Ta’lim dalam Menanggulangi


(19)

Kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau dursila, kejahatan atau kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.13 Kenakalan remaja dalam penelitian ini adalah kenakalan yang dilakukan oleh siswa di SMP Bina Taruna Surabaya dikarenakan satu bentuk pengabaian sosial berupa ketidakpedulian terhadap nilai-nilai/ norma-norma dalam sekolah khususnya dan masyarakat pada umumnya

5. Broken Home

Pengertian broken home pada prinsipnya adalah struktur keluarga yang sudah tidak lengkap lagi disebabkan salah satu kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia, perceraian orang tua, salah satu kedua orang tua atau keduanya “tidak hadir” secara kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama.14 Dalam penelitian ini yang menjadi fokus adalah anak yang berasal dari keluarga broken home disebabkan karena salah satu orang tua meninggal dan tidak hadirnya salah satu orang tua secara kontinyu.

G. Sistematika Pembahasan

13

Kartini Kartono, Kenakalan Remaja (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998) 14

Sudarsono, Kenakalan Remaja Relevansi, Rehabilitasi, & Resosiliasi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h. 125


(20)

Untuk memberikan gambaran yang jelas terhadap skripsi dengan judul “Peran Guru Pai Dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Broken home: di SMP Bina Taruna Surabaya”, maka penulis mencantumkan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama adalah Pendahuluan. Dalam bab ini akan diuraikan secara sistematis mengenai tinjauan global permasalahan yang akan dibahas, yakni meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penelitian Terdahulu, Definisi Operasional, dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua merupakan Kajian Pustaka. Dalam bab ini akan dijelaskan secara teoritis peran guru Pendidikan Agama Islam dan tinjauan tentang kenakalan siswa broken home.

Bab ketiga merupakan Metode Penelitian. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang pendekatan dan jenis penelitian, subjek dan objek penelitian, tahap-tahap penelitian, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data serta teknik keabsahan data.

Bab keempat merupakan Penyajian dan Analisis Data. Dalam bab ini dipaparkan data dan dilakukan analisa terhadap peran guru pendidikan agama Islam dalam mengatasi kenakalan siswa broken home di SMP Bina Taruna Surabaya.

Bab kelima merupakan Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


(21)

A. Tinjauan tentang Peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) 1. Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam

Pembahasan tentang makna guru selalu dikaitkan dengan profesi yang terkait dengan pendidikan anak di sekolah, di lembaga pendidikan, dan mereka yang harus menguasai bahan ajar yang terdapat dalam kurikulum. Beberapa pakar pendidikan merumuskan pengertian guru dengan definisi tertentu. Menurut Poerwadarminta, guru adalah orang yang kerjanya mengajar. Sementara itu menurut Dzakiah Darajat, guru adalah pendidik profesional karena guru telah menerima dan memikul beban dari orang tua untuk ikut mendidik anak-anak. Dalam hal ini tetaplah orang tua sebagai pendidik pertama dan utama. Sedangkan guru adalah tenaga profesional yang membantu orang tua untuk mendidik anak-anak pada jenjang pendidikan sekolah.1

Berkaitan dengan kegiatan mendidik anak dalam membentuk dan memiliki akhlak yang baik, pendidikan agama Islam adalah sebagai landasan dasar. Pendidikan agama merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata “pendidikan” dan ”agama”. Dalam Kamus Umum Bahasa

1

Suparlan, Menjadi Guru Efektif (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2005), cet. Ke-1, h. 12-13


(22)

Indonesia, pendidikan berasal dari kata didik, dengan diberi awalan “pe” dan akhiran “an”, yang berarti “proses pengubahan sikap dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.”2

Istilah pendidikan juga merupakan terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti “pendidikan” dan paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. sedangkan dalam bahasa Inggris, kata yang menunjukkan pendidikan adalah “education” yang berarti pengembangan / bimbingan. 3

Sementara pengertian agama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: “Kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.”4

Pengertian agama menurut Frezer dalam Aslam Hadi yaitu: “menyembah atau menghormati kekuatan yang lebih agung dari manusia yang dianggap mengatur dan menguasai jalannya alam semesta dan jalannya peri kehidupan manusia.”5

agama adalah aturan perilaku bagi umat manusia yang sudah ditentukan dan dikomunikasikan oleh Allah swt. melalui orang-orang pilihan-Nya yang dikenal sebagai utusan-utusan, rasul-rasul, atau nabi-nabi. Lalu, pengertian Islam itu sendiri adalah “agama yang diajarkan Nabi Muhammad saw., berpedoman pada kitab

2

Yadianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung: M2s, 1996), cet. Ke-1, h. 88 3

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), cet. Ke-1, h. 1 4

Anton M. Moeliono, et.al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), cet. Ke-2, h. 9

5


(23)

Suci al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah swt.”6 Agama Islam merupakan sistem tata kehidupan yang pasti bisa menjadikan manusia damai, bahagia, dan sejahtera.

Dari pengertian di atas pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.7

Agar suatu pendidikan dapat dijalankan atau diterapkan dibutuhkan seorang pendidik sebagai pelaku pendidikan. Pendidik dari sudut pandangan Islam menurut Hasan Langgulung adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dalam mengembangkan potensinya dan dalam pencapaian tujuan pendidikan baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.8 Pendidik atau biasa disebut sebagai guru, dalam hal ini berkaitan dengan pendidikan agama Islam, maka guru agama Islam adalah sebagai pelaku pendidikan. Guru agama atau guru agama Islam adalah orang yang melakukan kegiatan

6

Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 340 7

Zakiah Daradjat, ILmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 86 8


(24)

bimbingan, pengajaran dan latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.9

Tujuan pendidikan agama Islam sebagaimana menurut Prof. Dr. H. Muhtar Yahya yaitu untuk memberikan pemahaman ajaran-ajaran Islam pada anak didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi rasulullah saw. sebagai pengemban perintah menyempurnakan akhlak manusia, untuk memenuhi kebutuhan kerja (QS. 16:97, 6: 132), dalam rangka menempuh hidup bahagia dunia dan akhirat (QS. 28:77).10Demikian juga disebutkan dalam Pusat kurikulum Depdiknas bahwa pendidikan agama islam di Indonesia adalah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan peserta didik melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan dan pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam terfokus pada tiga bagian yaitu terbentuknya insan kamil, terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi-dimensi religius, budaya dan ilmiah, penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah serta sebagai warasatul anbiya’ dan

9

Muhaimin, paradigma Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 76

10


(25)

memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut. 11

Dengan demikian guru pendidikan agama Islam sebagaimana tersebut di atas adalah sebagai seseorang yang memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan memberikan bimbingan dan pengajaran untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang pada akhirnya memiliki perilaku budi luhur sebagai pengamalan penghayatan terhadap ajaran agama Islam yang telah diyakininya.

2. Tugas dan Tanggungjawab Guru Pendidikan Agama Islam

Tugas guru terbagi menjadi dua, yaitu mengajar dan mendidik. Keduanya saling melengkapi. Mengajar meliputi menyusun rencana, menyiapkan materi, menyajikan pelajaran, menilai hasil belajar peserta didik, membina hubungan dengan peserta didik, dan bersikap profesional. Sementara itu, mendidik meliputi menginspirasikan peserta didik, menjaga disiplin di kelas, memberikan motivasi dan memfasilitasi peserta didik untuk belajar.12 Guru sebagai pekerja profesional secara khusus disiapkan untuk mendidik anak-anak yang telah diamanatkan orang tua untuk dapat mendidik anaknya di sekolah. Guru adalah sebagai orang tua kedua dan sekaligus penanggung jawab pendidikan anak didiknya setelah kedua orang tua. Dengan demikian, sebagai pemegang amanat, guru bertanggung

11

Muhaimin, pemikiran, h. 164-166 12

Endang Poerwanti dan Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik (Malang: UMM Press, 2002), h. 8-12


(26)

jawab untuk mendidik peserta didiknya secara adil. Berkaitan dengan tugasnya untuk mendidik, tanggung jawab guru adalah memberikan bimbingan kepada murid, melakukan pembinaan terhadap diri siswa (kepribadian, watak, jasmaniah), melakukan diagnosis atas kesulitan-kesulitan belajar dan mengadakan penilaian atas kemajuan belajar, meningkatkan peranan profesional guru.13 Demikian dalam rangka membina jiwa dan watak anak didik, guru bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku dan perbuatannya. Sehingga tanggung jawab guru adalah untuk membentuk anak didik menjadi orang bersusila yang cakap, berguna bagi agama, nusa, dan bangsa di masa yang akan datang.14

Sedangkan sebagai guru yang profesional mempunyai tanggung jawab sosial, intelektual, moral dan spiritual. Tanggung jawab sosial diwujudkan dengan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaksi yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggungjawab spiritual moral diwujudkan melalui penampilan guru

13

Syarif Hidayat, Profesi Kependidikan Teori dan Praktik di Era Otonomi (Tanggerang: Pustaka Mandiri

14

Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 36


(27)

sebagai makhluk yang beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dan moral.

3. Syarat Guru

Untuk menjadi guru yang baik dan diperkirakan dapat memenuhi tanggungjawab yang dibebankan kepadanya hendaknya guru memnuhi persyaratan meliputi:15

a. Takwa Kepada Allah Swt

Guru sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak agar bertakwa kepada Allah, jika ia sendiri tidak bertakwa kepada-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi muridnya sebagaimana Rasulullah SAW menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh mana seorang guru mampu memberi teladan baik kepada murid-muridnya, sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia. b. Berilmu

Ijazah bukan hanya secarik kertas, melainkan sebagai suatu bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan.

Begitu pula dengan guru, harus mempunyai ijazah supaya diperbolehkan mengajar. Kecuali dalam keadaan darurat seperti jumlah murid meningkat, sedang jumlah guru jauh daripada mencukupi, maka

15


(28)

terpaksa menyimpang sementara, yakni menerima guru yang belum berijazah. Tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa semakin tinggi pendidikan guru, semakin baik mutu pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat manusia

c. Sehat Jasmani

Kesehatan jasmani seringkali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular umpamanya sangat membahayakan kesehatan anak-anak. Disamping itu, guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar. Seperti pepatah ”Mens sana in corpore sano” yang artinya dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Meskipun pepatah ini tidak benar secara menyeluruh, akan tetapi kesehatan badan sangat mempengaruhi semangat bekerja. Demikian jelas bahwa guru yang sakit-sakit seringkali terpaksa absen dan tentunya merugikan anak-anak.

d. Berkelakuan Baik

Budi pekerti guru penting dalam pendidikan wataka anak didik. Guru harus menjadi teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Diantara tujuan pendidika adalah membentuk akhlak baik pada anak, dan mungkuun bisa dilakukan jika guru berakhlak baik pula. Yang dimaksud akhlak baik dalam ilmu pendidikan Islam adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti dicontohkan oleh pendidik utama, Muhammad saw. diantara akhlak guru tersebut adalah


(29)

mencintai jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua muridnya, berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, bersifat manusiawi, bekerja sama dengan guru lain, bekerja sama dengan masyarakat.

4. Standar Kompetensi Guru PAI

Berdasarkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, juga Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 dan peraturan pemerintah Nomor 74 tahun 2008, standar kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PP 74/2008 meliputi empat kompetensi yang saling terkait yakni sebagai berikut:16

a. Kompetensi Paedagogi

Merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi pemahaman wawasan atau landasan pendidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan

16


(30)

peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

b. Kompetensi Kepribadian

Berisi tentang integritas karakter dan profil kepribadian guru sejurang-kurangnya mencakup kepribadian yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, arif dan bijaksana, demokratis, mantap, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, sportif, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

c. Kompetensi Profesional

Meruapakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diampunya sekurang-kurangnya meliputi penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu, konsep atau metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi/koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran/kelompok mata pelajaran yang akan diampu.


(31)

Merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengna peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. 17

Sementara itu khusus untuk GPAI Permenag Nomor 16 Tahun 2010 menambah satu kompetensi lagi yaitu kompetensi kepemimpinan

(Leadership) yaitu kompetensi GPAI untuk mempengaruhi semua

komunitas sekolah guna penciptaan budaya keagamaan di sekolah (religius culture)

5. Peran dan Fungsi Guru

Sebagai seorang yang memiliki peran penting terhadap peserta didik, seorang pendidik dituntut untuk mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik dapat menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri.

Peran (role) guru merupakan keseluruhan perilaku yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru mempunyai peranan yang luas, baik disekolah, di dalam keluarga, maupun di masyarakat. Di sekolah ia berperan sebagai perancang pengajaran, pengelola pengajaran, penilai hasil pembelajaran, pengarah pembelajaran, dan sebagai pembimbing siswa. Di dalam keluarga guru berperan sebagai

17


(32)

pendidik atau family educator. Sedangkan dimasyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), pendorong masyarakat (social motivator), penemu masyarakat (social inovator), dan sebagai agen masyarakat (social agent). Guru yang baik dan efektif adalah guru yang dapat memainkan semua peranan itu secara baik dan utuh.

Peran guru sebagai perancang memiliki tugas menyusun program pengajaran dan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku, menyusun rencana mengajar, serta menentukan strategi dan metode pembelajaran yang sesuai. Guru sebagai pengelola memiliki tugas untuk melaksanakan administrasi kelas, melaksanakan presensi kelas serta memilih strategi dan metode pembelajaran yang efektif. Guru sebagai penilai memiliki tugas menyusun tes dan instrumen penilaian, me-laksanakan penilaian terhadap siswa secara objektif, mengadakan pembelajaran remedial serta mengadakan pengayaan dalam pem-belajaran.18 Sedangkan sehubungan dengan peran guru sebagai pembimbing Rochman Natawidjaja menyatakan ada tiga tugas pokok guru, yaitu:

a. Tugas profesional, yaitu tugas yang berkenaan dengan profesinya. Tugas ini mencakup tugas mendidik (mengembangkan pribadi siswa), mengajar (mengembangkan intelektual siswa), melatih

18


(33)

bangkan keterampilan siswa) dan mengelola ketertiban sebagai penunjang ketahanan sekolah

b. Tugas manusiawi (human responsibility), yaitu tugas sebagai manusia. dalam hal ini guru bertugas mewujudkan dirinya untuk ditempatkan dalam kegiatan kemanusiaan dan sesuai dengan martabat manusia. c. Tugas kemasyarakatan (civic mission), yaitu tugas sebagai anggota

masyarakat dan warga negara. Dalam hal ini guru bertugas membimbing siswa menjadi warga negara yang baik sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam pancasila dan UUD 1945 serta GBHN.

Berbagai peran yang telah terpaparkan, demikian berlaku bagi guru muslim bahwa peran pendidikannya tidak berhenti sebatas menyampaikan informasi-informasi kepada para siswa dan memberi mereka keterampilan-keterampilan, ilmiah dan teknik. Dia adalah pengarah dan pembimbing ke arah segala akhlak dan perilaku mulia. Guru muslim memberi perhatian kepada anak didik dari segala aspek: ilmu, perilaku, pendidikan. Dari sini, dia harus mengetahui tujuan-tujuan dan metode-metode pendidikan Islam, memberi apa yang dia bisa untuk mengaplikasikannya ke dalam corak-corak perilaku sosial remaja, serta berusaha menyucikan jiwa dengan meninggalkan dosa, baik lahir maupun batin. Guru muslim harus berusaha merangsang stimulus-stimulus perilaku sosial dan akhlak mulia, dan ikut serta bersama murid-muridnya melakukan beberapa bentuk kegiatan


(34)

sosial. Mislanya menjenguk orang-orang sakit, mengumpulkan sedekah, membagikannya kepada orang-orang miskin dan membutuhkan; serta dia harus ikut bersama mereka dalam kegiatan-kegiatan eksperimen dan memberi segala bantuan yang mereka perlukan.19

Jika ditelusuri konsep peranan secara lebih detail, maka akan ditemukan konsep fungsi. Demikian karena seseorang memiliki suatu posisi dalam ruang sosial seperti kelompok, keluarga, komunitas atau masyarakat. Posisi merupakan kedudukan seseorang dalam suatu kelompok atau kedudukan dalam hubungannya dengan kelompok lain, misalnya posisi sebagai guru. Posisi sebagai guru memiliki hak dan kewajiban yang diembannya, dikenal sebagai status. Adapun perilaku yang diharapkan dari orang yang memiliki suatu status disebut sebagai peranan. Ketika peranan ini dimainkan, ia memiliki konsekuensi terhadap penyesuaian atau adaptif terhadap terhadap sistem. Inilah dikenal sebagai fungsi. Dalam titik ini, guru dilihat sebagai kelembagaan, bukan sebagai posisi semata. Fungsi memiliki dua dimensi, yaitu laten dan manifes.

Fungsi laten merupakan berbagai konsekuensi dari praktik kultural yang tidak disengaja atau tidak disadari, membantu penyesuaian atau adaptasi sistem. Sedangkan fungsi manifes merupakan berbagai

19

M. Sayyid Muhammad Az-Za’balawi, Pendidikan Remaja Antara Islam dan Ilmu Jiwa


(35)

konsekuensi dari praktik kultural yang disengaja atau disadari, membantu penyesuaianatau adaptasi sistem. Melalui cara pandang ini,

dapat dilihat fungsi guru dari dua sudut, yaitu fungsi manifes dan laten guru.20

Fungsi Manifes dari Guru merupakan fungsi yang diharapkan, disengaja, dan disadari dari guru oleh masyarakat pada suatu ruang terdiri dari: guru sebagai pengajar, guru sebagai pendidik, guru sebagai teladan, guru sebagai motivator. Fungsi Laten dari Guru, fungsi yang tidak diharapkan, disengaja, dan disadari dari guru terhadap masyarakat pada suatu ruang terdiri dari: guru sebagai pelabel, guru sebagai ”penyambung lidah kelas menengah atas”, guru sebagai pengekal status quo

B. Tinjauan Tentang Kenakalan Siswa Broken Home 1. Pengertian Kenakalan Remaja

Manusia dalam hidupnya mengalami perubahan-perubahan pada dirinya, baik jasmani maupun rohaninya. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia. Manusia yang lahir tumbuh dan berkembang sesuai masanya. Sebagaimana tahap perkembangan manusia menurut Erikson, pada remaja yang berusia 10-20 tahun berada pada tahap identitas versus kekacauan identitas (identity versus identity confusion). Pada saat ini individu dihadapkan pada

20


(36)

pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana mereka menuju dalam hidupnya. Remaja dihadapkan dengan banyak peran baru dan status dewasa‒yang menyangkut pekerjaan dan asmara. Orang tua seharusnya memberi kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi peran yang berbeda-beda dan jalan berbeda dalam peran tertentu. Bila remaja mengeksplorasi peran-peran tersebut dalam cara yang sehat dan mendapatkan jalan yang positif untuk diikuti dalam hidupnya, suatu identitas positif akan terbentuk. Bila suatu identitas dipaksakan pada remaja oleh orang tua, bila remaja kurang mengeksplorasi peran-peran yang berbeda, dan bila jalan ke masa depan yang positif tidak ditentukan, maka kekacauan identitas terjadi. 21

Pada masa perkembangan remaja tidak hanya dalam diri individu yang memberikan pengaruh pada perilaku yang muncul, tetapi juga dari luar individu seperti lingkungan disekitarnya. Lingkungan di luar individu dapat memberikan dampak dari segi positif ataupun negatif. Remaja yang terpengaruh oleh dampak negatif akan memiliki perilaku yang negatif pula. Hal ini membuat remaja disebut sebagai anak delinquent.

Suatu perbuatan disebut delikuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada pada masyarakat

21

John W. Santrock, Adolescence Perkembangan Remaja (Jakarta: Erlangga, 2003), h.47-48


(37)

dimana ia hidup, suatu perbuatan anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsure-unsur normative.22

Perbuatan delinquency atau yang biasa disebut sebagai kenakalan remaja, untuk bisa membedakan kenakalan remaja dari aktivitas yang menunjukkan ciri khas remaja, perlu diketahui beberapa ciri-ciri pokok dari kenakalan remaja diantaranya:

a. Dalam pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau tingkah laku yang bersifat pelanggaran hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral

b. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang a-sosial yakni dengan perbuatan atau tingkah laku tersebut ia bertentangan dengan nilai atau norma sosial yang ada di lingkungan hidupnya

c. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur 13-17 tahun. Mengingat di Indonesia pengertian dewasa selain ditentukan oleh batasan-batas umur, juga ditentukan oleh status pernikahan. Maka dapat ditambahkan bahwa kenakalan remaja adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17 tahun dan belum menikah

d. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja, atau dapat juga dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok remaja.23

22

Simanjuntak, Pengantar Kriminologi Patologi Sosial, h. 295 23


(38)

Demikian berbeda Menurut Drs. H. M. Arifin, M. Ed., bahwa batas bawah dan batas atas dari usia anak-anak adalah menjadi penentu bagi perbuatan delinquency dan non delinquency. Pada umumnya para psikolog, ahli pedagogik, sosiolog, dan kriminolog memberikan batas bahwa kenakalan remaja (juvenile delinquency ) adalah tingkah laku atau perbuatan yang berlawanan dengan hukum yang berlaku, yang dilakukan oleh anak-anak antara umur 10 tahun sampai umur 18 tahun. Perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah usia 10 tahun dan di atas 18 tahun, dengan sendirinya tidak dikategorikan dalam apa yang disebut kenakalan (delinquency) tersebut.24

2. Penggolongan dan Jenis Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja dapat digolongkan dalam dua kelompok besar, sesuai kaitannya dengan norma hukum yaitu:

a. Kenakalan yang bersifat a-moral dan a-sosial dan tidak diatur dalam udang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan pelanggaran hukum

b. Kenakalan yag bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bilamana dilakukan oleh orang dewasa

24

M. Arifin, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 125


(39)

Sedangkan berdasarkan jenisnya Jensen membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian,

pencopetan, pemerasan dan lain-lain

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini.

d. Kenakalan yang melawan status, mislanya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. Pada usia mereka, perilaku-perilaku mereka memang belum melanggar hukum dalam arti yang sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur dalam hukum secara terinci. Akan tetapi kalau kelak remaja ini dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya di kantor atau petugas hukum di dalam masyarakat. Karena itulah pelanggaran status ini oleh


(40)

Jensen digolongkan juga sebagai kenakalan dan bukan sekedar perilaku menyimpang.25

3. Bentuk-Bentuk Kenakalan

Bentuk-bentuk kenakalan perilaku delikuen diantaranya :

a. Kebut-kebutan dijalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas, dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain

b. Perilaku ugal-ugalan, brandalan urakan yang mengacaukan ketentraman milieu sekitar. Tingkah bersumber pada kelebiha energy dan dorongan primitive yang tidak terkendali serta kesukaan menteror ligkungan

c. Perkelahian antar gang, antarkelompok, antarsekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa

d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindak asusila

e. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggarong; melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya; mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya

25

Sarlito Wirawan sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 209-210


(41)

f. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas atau orgi (mabuk-mabukan hemat dan menimbulkan keadaan yang kacau balau) yang mengganggu lingkungan

g. Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif social, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut mengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain

h. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius; drugs) yang erat hubungannya dengan tindak kejahatan

i. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas

j. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin

k. Tindakan radikal dan ekstrim, dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja

l. Perbuatan asosial dan antisosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja psikopatik, psikotik, neurotic, dan menderita gangguan-gangguan jiwa lainnya


(42)

m. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior.26

Dalam kondisi statis, gejala juvenile delinquency atau kejahatan remaja merupakan gejala sosial yang sebagian dapat diamati serta diukur kuantitas dan kualitas kedurjanaannya, namun sebagian lagi tidak dapat diamati dan tetap tersembunyi hanya bisa dirasakan ekses-eksenya. Sedang dalam kondisi dinamis, gejala kenakalan remaja tersebut merupakan gejala yang terus menerus berkembang, berlangsung secara progresif sejajar dengan perkembangan teknologi, industrialisasi dan urbanisasi.

4. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

B.Simanjuntak menyebutkan sebab-sebab terjadinya kenakalan remaja sebagai berikut:

a. Faktor intern

1) Cacat keturunan yang bersifat biologis-psikis

2) Pembawaan yang negative, yang mengarah ke perbuatan nakal 3) Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan pokok dengan

keinginan. Hal ini menimbulkan frustasi dan ketegangan 4) Lemahnya kontrol diri serta persepsi social

26

Kartini Kartono, Patologi social II: kenakalan remaja (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 21-23


(43)

5) Ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan yang baik dan kreatif

6) Tidak ada kegemaran, tidak memiliki hobi yang sehat b. Faktor ekstern

1) Rasa cinta dari orang tua dan lingkungan

2) Pendidikan yang kurang menanamkan bertingkah laku sesuai dengan alam sekitar yang diharapkan orang tua, sekolah, dan masyarakat

3) Menurunkan wibawa orang tua, guru, dan pemimpin masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan ketiadaan tokoh identifikasi 4) Pengawasan yang kurang efektif dalam pembinaan yang

berpengaruh dalam domain afektif, konasi, konis dari orang tua, masyarakat dan guru

5) Kurang penghargaan terhadap remaja dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan ketiadaan dialog diantara ketiga lingkungan pendidikan

6) Kurangnya sarana penyalur waktu senggang. Hal ini berhubungan dengan ketidakpahaman pejabat yang berwenang mendirikan taman rekreasi. Sering pejabat mendirikan gedung di tempat rekreasi sehingga tempat berekreasi tidak ada lagi


(44)

7) Ketidaktahuan keluarga dalam menangani masalah remaja, baik dalam segi pendekatan sosiologik, psikologik, maupun paedagogik.27

5. Broken Home

Timbulnya kenakalan remaja bukan murni dari dalam diri remaja, tetapi kenakalan merupakan efek samping dari hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh remaja dalam keluarganya. Bahkan orang tua sendiri tidak mampu mengatasinya, akibatnya remaja menjadi korban dari keadaan keluarga. Sebagaimana menurut Turner dan Helms (1995), faktor-faktor terjadinya kenakalan remaja salah satunya disebabkan oleh kondisi keluarga yang berantakan (broken home).

Kondisi keluarga yang berantakan merupakan cerminan dari adanya ketidakharmonisan antarindividu (suami-istri, atau orang tua-anak) dalam lembaga rumah tangga. Hubungan suami istri yang tidak sejalan/seirama yakni ditandai dengan pertengkaran, percekcokan maupun konflik terus menerus sehingga menyebabkan ketidakbahagiaan perkawinan. Tidak terselesaikan masalah ini, akan berdampak buruk seperti perceraian suami istri.

Selama terjadi pertengkaran, anak-anak akan melihat, mengamati, dan memahami tidak adanya kedamaian, ketentraman, kerukunan

27

B. Simanjuntak, Pengantar kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung: Tarsito, 1981), edisi kedua, h. 289-290


(45)

hubungan antara kedua orang tua mereka. Kondisi akan membuat anak tidak merasakan perhatian, kehangatan kasih sayang, ketentraman, maupun kenyamanan dalam lingkungan keluarganya. Akibatnya mereka melarikan diri untuk mencari kasih sayang dan perhatian pihak lain dengan cara melakukan kenakalan-kenakalan di luar rumah.28 Penyebab kenakalan ini yang disebut broken home/disharmonisasi keluarga adalah :

a. Orang tua yang bercerai

b. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar pernikahan c. Tidak adanya komunikasi yang sehat dalam keluarga (empty shell

family)

d. Kematian salah satu orang tua atau kedua-duanya

e. Adanya ketidakcocokan dan persesuaian antara pihak orang tua dan senantiasa berada dalam suasana perselisihan atau konflik karena faktor perbedaan agama, perbedaan norma, ambisi-ambisi orang tua dan sebagainya.29

Broken home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur.30 Menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan

28

Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja (Bogor : Ghalia Indonesia, 2004), h. 110

29

Y. Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja & Penanggulangannya

(Yogyakarta: Kanisius, 1984), h. 27 30

Y.Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja & Penanggulangannya,


(46)

remaja, dimana terutama perceraian atau perpisahan orang tua mempengaruhi perkembangan si anak.31

Dalam keluarga broken home, remaja lebih cenderung mengalami banyak masalah emosional, moral, medis, dan sosial. Misalnya remaja yang ditingggal mati oleh orang tuanya atau orang tuanya bercerai, umumnya suka murung, mudah marah dan tersinggung, kurang peka pada tuntutan sosial, dan kurang mampu mengontrol dirinya.32 Kasus broken home yang sering ditemui di sekolah diantaranya dengan penyesuaian diri yang kurang baik, seperti malas belajar, menyendiri, agresif, membolos dan suka menentang guru.33

Pada dasarnya kenakalan remaja yang disebabkan karena broken home dapat diatasi/ditanggulangi agar anak tidak menjadi delinquent

adalah orang tua yang bertanggung jawab memelihara anak-anaknya hendaklah mampu memberikan kasih saying sepenuhnya, sehingga anak tersebut merasa seolah-olah tidak pernah kehilangan ayah ibunya. Disamping itu keperluan anak secara jasmani (makan, minum, pakaian dan sarana-sarana lainnya) harus dipenuhi pula sebagaimana layaknya sehingga anak tersebut terhindar dari perbuatan yang melawan hukum misalnya pencurian, penggelapan, penipuan, gelandangan, delik-delik lain

31

Lamnya Ny. Moeljatno, Kriminologi, h. 115 32

Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 202 33


(47)

diluar KUH Pidana, misalnya penyalahgunaan obat-obat terlarang seperti narkotika.34

Selain itu keberadaan dan penggunaan sistem (kerabat, teman, pembantu rumah tangga), hubungan positif antara orang tua wali dengan mantan pasangannya, pengasuhan autoritatif, sumber daya keuangan, dan kecakapan remaja pada saat perceraian adalah faktor penting yang menentukan keberhasilan remaja beradaptasi dengan perceraian orang tuanya.35

C. Peran Guru Pendidikan Agama Islam Terhadap Kenakalan Siswa Broken Home

Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi anak didik yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskannya. Oleh karena itu pendidik mempunyai kedudukan tinggi sebagaimana yang dilukiskan dalam hadits Nabi saw. bahwa ”tinta seorang ilmuwan (ulama’) lebih berharga ketimbang darah para syuhada”.36

Menurut Hasan Langgulung, kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang yang memikul tanggung jawab membimbing. Orang yang bertanggung jawab dalam membimbing, mengarahkan dan mendidik peserta

34

Ibid. h. 125-127 35

Joh w. santrock, h. 198 36

Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar


(48)

didik. Oleh karena fungsinya sebagai pengarah dan pembimbing dalam pendidikan, maka keberadaan pendidik sangat diperlukan dalam pendidikan Islam. Selain sebagai pembimbing dan pemberi arah dalam pendidikan, pendidik juga berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar, yaitu berupa teraktualisasinya sifat-sifat ilahi dan mengaktu-alisasikan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik guna mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.37

Dalam konteks pendidikan Islam ”pendidik” sering disebut dengan “murobbi, mu’allim, mu’addib” yang ketiga term tersebut mempunyai penggunaan tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam ”pendidikan dalam konteks Islam”.38

Guru PAI sebagai Ustad yang komitmen terhadap profesionalisme seyogyanya tercermin dalam segala aktivitasnya sebagaimana tersebut dalam tiga term di atas yang tidak terbatas sebagai murabbiy, mu’allim, mu’addib, namun juga sebagai mursyid dan mudarris. Sebagai murabbiy, ia akan berusaha menumbuhkembangkan, mengatur dan memelihara potensi, minat dan bakat serta kemampuan peserta didik secara bertahap ke arah aktualisasi potensi, minat, bakat serta kemampuannya secara optimal, melalui kegiatan-kegiatan penelitian, eksperimen di laboratorium, problem solving dan

37

Hasan Langgulung, dalam Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 19

38

Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar


(49)

sebagainya, sehingga menghasilkan nilai-nilai positif yang berupa sikap rasional-empirik, objektif-empirik dan objektif-matematis. Sebagai mu’allim, ia akan melakukan transfer ilmu/pengetahuan/nilai, serta melakukan internalisasi atau penyerapan/penghayatan ilmu, pengetahuan, dan nilai ke dalam diri sendiri dan peserta didiknya, serta berusaha membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk mengamalkannya (amaliah/implementasi). Sebagai mursyid, ia akan melakukan trans-internalisasi akhlak/kepribadian kepada peserta didiknya. Sebagai mu’addib, maka ia sadar bahwa eksistensinya sebagai GPAI memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan melalui kegiatan pendidikan. Dan sebagai mudarris, ia berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka, baik melalui kegiatan pendidikan, pengajaran maupun pelatihan.39

Dengan demikian seorang mursyid (guru) berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan atau kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik yang berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba lillahi Ta’ala (karena mengharapkan ridlo Allah semata). Dalam konteks pendidikan mengandung

39

Muhaimin, arah baru pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan,

Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa,


(50)

makna bahwa guru merupakan model atau sentral identifikasi diri, yakni pusat anutan dan teladan bahkan konsultan bagi peserta didiknya.

Munculnya permasalahan yang terjadi pada peserta didik seperti kenakalan yang timbul khususnya dari keluarga broken home, guru pendidikan agama Islam perlu mengambil sikap. Hal ini karena guru memiliki peran sebagai konsekuensi kedudukannya.

Sebagai pemegang peranan paling sentral, perilaku guru dalam proses pendidikan akan memberikan pengaruh kuat bagi pembinaan perilaku dan kepribadian siswa. Oleh karena itu, perilaku guru hendaknya dapat dikembangkan sedemikian rupa hingga dapat memberikan pengaruh positif dalam terhadap proses dan hasil pendidikan.

Peran guru memikul tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan dalam mempersiapkan sumber daya manusia untuk memperoleh kehidupan yang sehat dan berkualitas di masa yang akan datang. Keberadaan guru dalam dunia pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan secara keseluruhan baik di keluarga maupun di masyarakat. Peran serta guru dalam pengembangan pribadi siswa, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari lima dimensi yaitu guru sebagai pribadi, guru sebagai unsur keluarga, guru sebagai unsur pendidikan, guru sebagai unsur masyarakat, dan guru sebagai hamba Allah swt.40

40


(51)

Adanya kenakalan sebagai perilaku yang tidak diharapkan terjadi pada peserta didik merupakan sebuah masalah. Masalah ini menjadi permasalahan yang menghambat proses belajar dan tidak tercapainya tujuan pendidikan agama Islam. Dengan demikian peran yang dilakukan dapat menjadi pengarah. Peran sendiri merupakan implementasi dari tugas guru, dan dalam hal ini adalah pendidikan agama Islam. Tugas guru agama islam, sebagai pendidik agama Islam di sekolah ataupun di luar sekolah, yang hendak mendidikkan ajaran dan nilai-nilai Islam kepada siswa atau masyarakat serta membimbing dan mengarahkan mereka agar memiliki komitmen terhadap ajaran Islam serta menjadikannya sebagai way of life.

Guru dalam menghadapi permasalahan peserta didik hendaknya melakukan pendekatan untuk lebih mudah memahami apa yang dipermasalahkan. Sebagaimana Hery Kusmiyanto (FBS Univ Wijaya Kusuma Surabaya, 2010) menyampaikan bahwa guru dalam proses belajar mengajar tidak hanya memakai pendekatan instruksional, tetapi juga melalui pendekatan pribadi (personal approach). Dengan demikian, dia dituntut untuk memahami siswa secara mendalam sehingga dia dapat membantu dalam keseluruhan proses belajar siswa. Sebagai director of learning, guru sekaligus berperan sebagai pembimbing dalam proses belajar siswanya. Yang harus dilakukan guru ialah:

a. Mengenal dan memahami setiap siswa baik secara individu maupun kelompok


(52)

b. Memberikan informasi-informasi yang diperlukan dalam proses belajar c. Memberikan kesempatan yang memadai agar setiap siswa dapat belajar

sesuai dengan karakteristik pribadinya

d. Membantu setiap siswa dalam mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya

e. Menilai keberhasilan setiap langkah kegiatan yang telah dilakukan

Dari uraian tersebut jelas bahwa guru mata pelajaran memahami tentang layanan bimbinngan dan konseling. Bukan berarti guru mata pelajaran merebut tugas guru BK, melainkan dia berperan dalam proses pembelajaran mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian, bimbingan dan konseling dapat berjalan sistematis. Guru mata pelajaran juga dapat bekerja sama dengan guru BK dalam memberikan layanan bimbinngan dan konseling.41

41


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah sebagaimana Cress well mendefinisikannya sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandas pada filsafat postpositivisme, memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik/utuh, komplek dinamis, penuh makna dan hubungan gejala bersifat interaktif.1

Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan. Partisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya. Pemahaman diperoleh melalui analisis berbagai keterkaitan dari partisipan, dan melalui penguraian ”pemaknaan partisipan” tentang situasi-situasi dan peristiwa-peristiwa. Pemaknaan partisipan meliputi perasaan, keyakinan, ide-ide, pemikiran dan kegiatan dari partisipan. 2

1

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 8

2

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 94


(54)

Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus adalah kajian yang rinci tentang satu latar, subjek tunggal, atau suatu peristiwa tertentu. Kasus bisa berupa individu, keluarga, atau komunitas masyarakat tertentu. Adapun kasus dalam penelitian ini merupakan kasus individu, yaitu kenakalan siswa broken home.

Tujuan studi kasus sebagaimana berdasar pada tipe studi kasusnya. Termasuk dalam penelitian ini adalah studi kasus intrinsik, yaitu untuk mengilustrasikan kasus yang unik, kasus yang memiliki kepentingan yang tidak biasa dalam dirinya dan perlu dideskripsikan atau diperinci.3 Sebagaimana adanya kasus yang diteliti, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kasus broken home dengan keterlibatan peran guru Pendidikan Agama Islam dalam mengatasinya.

B. Subjek dan Objek Penelitian

Objek penelitian adalah apa yang menjadi sasaran. Sasaran penelitian tidak tergantung pada judul dan topik penelitian, tetapi secara konkrit tergambarkan dalam rumusan masalah penelitian.

Subjek penelitian adalah seorang yang terlibat dalam penelitian dan keberadaannya menjadi sumber data penelitian. Subjek penelitian ini memiliki kompetensi dan relevansi informasi dengan fokus masalah penelitian.

3

John W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih Diantara Lima


(55)

Penentuan subjek penelitian bisa menggunakan teknik bola salju (snow ball), yaitu teknik penentuan subjek penelitian dengan memilih informan kunci yang dinilai memiliki informasi atau data terkait masalah penelitian. Jika subjek penelitian tersebut tidak memiliki informasi lengkap, maka peneliti beralih pada informan berikutnya atas rekomendasi dari informan sebelumnya. Langkah ini dilakukan hingga data yang dibutukan dalam penelitian sempurna dan lengkap.4 Sedangkan informan penelitian adalah subjek yang memahami objek penelitian.5 Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian adalah guru pendidikan agama Islam, guru wali kelas, kepala bidang kesiswaan atau yang menangani masalah siswa.

C. Tahap-Tahap Penelitian

Pada hakikatnya tahapan-tahapan penelitian termasuk sub sistem dari sebuah proses ilmiah. Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Tahapan pra lapangan

Tahapan ini adalah langkah-langkah yang dirancang dan dilaksanakan dalam melaksanakan pengamatan sekilas sebelum penelitian mendapat surat izin dari pihak yang berwenang. Tahapan atau

4

M. Musfiqon, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2012), h. 97-98

5

M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 78


(56)

langkah yang ditempuh sebelum terjun langsung kelapangan sebagai berikut:6

a. Menyusun rancangan penelitian

Rancangan suatu penelitian biasanya dinamakan usulan penelitian. Usulan penelitian dikemas dalam bentuk proposal penelitian. Proposal penelitian sebagai usulan untuk skripsi diajukan ke kantor jurusan Pendidikan Agama Islam, yang menilai dan memilah apakah judul penelitian yang diajukan sudah pernah diteliti dan relevan dengan konsentrasi pendidikan. Setelah diperiksa dan mendapat persetujuan dari kepala jurusan, proposal penelitian disahkan menjadi penelitian skripsi.

b. Memilih lapangan penelitian

Dalam penelitian ini memilih SMP Bina Taruna Surabaya sebagai lapangan penelitian. Hal ini karena lokasi penelitian yang dekat dengan lokasi peneliti serta berkaitan dengan masalah yang diteliti tentang peran guru Pendidikan Agama Islam dengan diketahuinya siswa broken home. Sebagai guru profesional maka guru harus memainkan perannya berkaitan dengan tugasnya.

c. Memilih informan

6

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2009), h. 127


(57)

Informan adalah orang yang dimanfaatkan utuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang. Informan bermanfaat bagi peneliti agar dalam waktu yang singkat banyak informasi yang terjaring. Informan dalam hal ini dibagi menjadi dua, key informan dan informan pelengkap. Key informan dalam penelitian ini adalah guru Pendidikan Agama Islam. Sedangkan sebagai informan pelengkap adalah guru bidang kesiswaan, guru wali kelas dan guru sosiologi yang pernah menjadi guru Pendidikan Agama Islam

d. Menyiapkan perlengkapan

Untuk memperoleh data yang diinginkan, hal selanjutnya yang dilakukan adalah menyiapkan perlengkapan penelitian. Perlengkapan penelitian adalah alat-alat yang diperlukan untuk melakukan penelitian, perlengkapan yang perlu peneliti siapkan diantaranya adalah tape recorder, bolpoin, buku catatan, dan sebagainya

2. Tahapan pekerjaan lapangan

Tahap pekerjaan lapangan adalah tahapan atau langkah-langkah dalam melaksanakan penelitian. Tahapan-tahapan ini meliputi:

a. Memahami latar belakang penelitian dan persiapan diri

Pada tahap memahami latar belakang penelitian dan persiapan diri, yang dilakukan adalah bersikap pasif terlebih dahulu dengan mengamati keadaan lokasi penelitian. Selanjutnya mendeteksi keadaan sampai dengan kegiatan apa saja yang ada di daerah penelitian. Selain


(58)

itu pengenalan juga menjadi bahan penelitian selanjutnya. Pergaulan dengan komponen-komponen yang ada di sekolah mulai dibangun secara berangsur-angsur hingga terlihat akrab.

b. Memasuki lapangan

Sewaktu berada pada lapangan penelitian, peneliti mengikuti kegiatan guru pendidikan agama Islam dengan beberapa teknik dalam membatasi latar yang akan diteliti dan mempersiapkan diri dalam meneliti. Teknik tersebut adalah persiapan mental, menggunakan teknik wawancara mengenai data yang diperlukan dengan guru Pendidikan Agama Islam.

3. Tahap Analisis Data

Pekerjaan analisis data dalam hal ini adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan meng-kategorisasikannya. Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data atau pengolahan data. Pengolahan data ini mencakup kegiatan mengedit, mengkode data serta menganalisis, menginterpretasikan dan menyimpulkan.

D. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber data


(59)

Sumber data adalah subjek dimana data dapat diperoleh.7 Berdasar pada sumber datanya, pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan sumber data meliputi :8

a. Sumber data primer

Adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek penelitian dilakukan. Data digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang ditangani oleh peneliti. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah guru Pendidikan Agama Islam, Waka Kesiswaan, Wali Kelas dan siswa.

b. Sumber data sekunder

Merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat dikumpulkan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal, serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Jenis data

7

S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka, 1997), h. 129 8

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 225


(60)

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Jenis data kualitatif yaitu data yang berbentuk kata, kalimat, dan gambar.9 Yang termasuk jenis data kualitatif dalam penelitian ini meliputi: a. Data tentang gambaran umum objek penelitian di SMP Bina Taruna

Surabaya

b. Data tentang bentuk-bentuk kenakalan siswa di SMP Bina Taruna Surabaya

c. Data tentang peran guru Pendidikan Agama Islam di SMP Bina Taruna Surabaya

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kali ini, menggunakan beberapa teknik dalam upaya untuk mengumpulkan data-data penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis. Observasi atau yang disebut dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra.10 Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keadaan lingkungan sekolah, keadaan siswa di kelas serta sikap guru PAI dalam menjalankan perannya sebagai guru PAI di kelas

9

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 83

10


(61)

2. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, untuk memperoleh informasi dari terwawancara atau orang yang diwawancarai. 11 Adapun wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang data diri siswa broken home serta peran yang dilakukan guru PAI dalam mengatasi kenakalan siswa

3. Dokumentasi

Dokumen adalah setiap bahan tertulis atau film.12 Jadi, selain menggunakan kedua teknik di atas, penelitian ini juga menggunakan teknik atau model dokumentasi sebagai penunjangnya, yaitu dengan cara mencari data-data dari arsip-arsip, dokumen, foto, dan data-data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian. Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mendokumentasikan dokumen-dokumen sekolah berupa arsip-arsip kesiswaan tentang kenakalan yang dilakukan siswa, dokumen tentang gambaran umum objek penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,

11

Lexi J. Moleong, Metodologi, h. 187 12


(62)

dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.13

Teknik analisis data dalam penelitian ini mengikuti konsep Spradley yaitu teknik analisis domain. Teknik analisis domain adalah teknik analisis data kualitatif untuk mencari makna umum atau gambaran umum masalah penelitian. Hasil analisis menggunakan teknik domain lebih mengarah pada deskripsi gejala, fenomena, fakta yang diteliti. Sedangkan pendekatan yang digunakan menggunakan pendekatan semantik. Penerapan pendekatan semantik digunakan untuk mengatasi variasi domain yang bisa muncul dalam penelitian. Sehubungan dengan itu, Spradley menyarankan Hubungan Semantik yang bersifat universal dalam analisis domain meliputi analisis jenis, ruang, sebab-akibat, rasional/alasan, lokasi kegiatan, cara ketujuan, fungsi, urutan, dan atribut.14

Dalam hubungannya menggunakan teknik analisis domain, Spradley mengemukakan enam langkah yang saling berhubungan sebagai berikut: 1. Memilih pola hubungan semantik tertentu atas dasar informasi atau fakta

yang tersedia dalam catatan harian peneliti di lapangan 2. Menyiapkan keja analisis domain

13

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 244

14


(1)

91 BAB V PENUTUP

A. Simpulan

1. Bentuk-Bentuk Kenakalan Siswa Broken Home di SMP Bina Taruna Surabaya

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan siswa broken home di SMP Bina Taruna termasuk jenis kenakalan yang melawan status. Hal tersebut diwujudkan dengan bentuk perilaku seperti terlambat masuk sekolah, tidak masuk sekolah tanpa keterangan (membolos). Namun bentuk-bentuk kenakalan tersebut tidak termasuk kategori melanggar hukum dalam arti sebenarnya. Hal ini karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang tidak diatur dalam hukum secara rinci.

2. Peran Guru PAI Dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Broken Home Di Smp Bina Taruna Surabaya

Peran yang dilakukan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam mengatasi kenakalan siswa broken home adalah dengan memberikan nasihat dan pengajaran, pembiasaan berdzikir baik di dalam kelas maupun ketika waktu senggang dalam lingkup sekolah.


(2)

92

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan sebagaimana tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi guru Pendidikan Agama Islam

Lebih ditingkatkan lagi untuk mengembangkan ide-ide kreatif dalam menjalankan perannya memberikan pengajaran dan bimbingan sehingga siswa termotivasi untuk berlomba-lomba dalam perilaku kebaikan

2. Bagi orang tua

Lebih ditingkatkan lagi perhatian kepada anak, terutama bagi anak yang berada dalam keadaan keluarga kurang harmonis atau broken home disebabkan tidak lengkapnya struktur keluarga. Hendaknya bisa memantau dan menggunakan minimalnya waktu yang tersita pekerjaan bersama anak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja (Bogor : Ghalia Indonesia, 2004) Anton M. Moeliono, et.al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1989)

Aslam Hadi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali, 1986)

B. Simanjuntak, Pengantar kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung: Tarsito, 1981)

Damsar, Pengantar Sosilogi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011)

Dep.Dik.Bud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Jakarta: Balai Pustaka, 1997)

Djamarah dan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) Endang Poerwanti dan Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik (Malang:

UMM Press, 2002)

H. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010)

Hasan Langgulung, dalam Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994)

Heri Jauhari Mochtar, Fikih Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) Hidayahtus Sholihah, Kegiatan Pengajaran Darul Ta’lim dalam Menanggulangi

Kenakalan Remaja(Surabaya: Perpustakaan IAIN Surabaya, 1995)

John W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih Diantara Lima Pendekatan (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2015)

John W. Santrock, Adolescence Perkembangan Remaja (Jakarta: Erlangga, 2003) Kartini Kartono, Kenakalan Remaja (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998)


(4)

Kartini Kartono, Patologi social II: kenakalan remaja (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998)

Kunandar, Guru Profesional (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010)

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2009)

M. Arifin, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)

M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011)

M. Musfiqon, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2012)

M. Sayyid Muhammad Az-Za’balawi, Pendidikan Remaja Antara Islam dan Ilmu Jiwa (Jakarta: Gema Insani Press, 2007)

Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf I : Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifah Sufi (Jakarta: Kalam Mulia, 2009)

Mohamad Surya, Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi (Bandung : Alfabeta, 2014) Muhaimin, arah baru pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003)

Muhaimin, paradigma Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002)

Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993)

Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993)

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)


(5)

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Sahih Bukhari dan Muslim (Solo: Ummul Qura, 2011)

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013)

Nusa Putra dan Santi Lisnawati, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012)

Panut panuju, Psikologi Remaja (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999) Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta Pusat: Kalam Mulia, 1998) Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: KALAM MULIA, 2008) Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994) S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka, 1997)

Sahilun A. Nasir, Peran Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem Remaja (Jakarta: Kalam Mulia, 2002)

Sarlito Wirawan sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)

Simanjuntak, Pengantar Kriminologi Patologi Sosial

Singgih Gunarsa, Psikologi Remaja (Jakarta: Gunung Mulia, 2003) Sri Hartatik, Pepak Basa Jawa (Surabaya: Dua Media, 2011)

Sudarsono, Kenakalan Remaja Relevansi, Rehabilitasi, & Resosiliasi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991)

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2014)

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1989)

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993)


(6)

Suparlan, Menjadi Guru efektif (Yogyakarta: HIKAYAT Publishing, 2005) Sutirna, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2013)

Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005)

Willis Sofyan, Konseling Keluarga (Bandung:Alfabeta, 2008)

Y. Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja & Penanggulangannya (Yogyakarta: Kanisius, 1984)

Y. Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja & Penanggulangannya, (Yogyakarta: kanisius, 1995)

Yadianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung: M2s, 1996)

Zakiah Daradjat, ILmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008) Zulkifli L, Psikologi Perkembangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)


Dokumen yang terkait

Mengatasi Kenakalan Remaja Pada Siswa Broken Home Melalui Konseling Realita Di SMA Negeri 4 Kota Pekalongan

8 86 136

PERAN GURU AGAMA ISLAM DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA DI MAN YOGYAKARTA III

1 16 114

PERAN GURU AGAMA ISLAM DALAM MENGATASI KENAKALAN SISWA DI SMA MUHAMMADIYAH 7 YOGYAKARTA

0 4 132

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN SISWA Peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Dalam Menanggulangi Kenakalan Siswa Di SMK Muhammadiyah Kartasura.

0 1 15

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN SISWA Peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Dalam Menanggulangi Kenakalan Siswa Di SMK Muhammadiyah Kartasura.

0 2 16

PERAN GURU AGAMA DALAM MENGATASI KENAKALAN SISWA (Studi Multi Kasus di SMP Nurul Islam dan SMP Muhammadiyah 9 Peran guru agama dalam mengatasi kenakalan siswa (studi multi kasus di smp nurul islam dan smp muhammadiyah 9 ngemplak) tahun 2013/2014.

0 2 16

PERAN GURU AGAMA DALAM MENGATASI KENAKALAN SISWA (STUDI MULTI KASUS DI SMP NURUL ISLAM DAN SMP Peran guru agama dalam mengatasi kenakalan siswa (studi multi kasus di smp nurul islam dan smp muhammadiyah 9 ngemplak) tahun 2013/2014.

0 2 22

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA Peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja Di Desa Kedunglengkong, Simo, Boyolali.

0 1 15

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA Peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja Di Desa Kedunglengkong, Simo, Boyolali.

0 2 12

PERANAN GURU DALAM MENGATASI SISWA BROKEN HOME DI SMA NEGERI 1 CIGUGUR KABUPATEN KUNINGAN - IAIN Syekh Nurjati Cirebon

0 0 26