Tinjauan tentang asas koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi) TINJAUAN TENTANG ASAS KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN PEYIDIK KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

Disusun Oleh : DHAYU WIJANARKO NIM : E. 1103051

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

KRISTIYADI, SH, M.HUM NIP. 1958 1225198601 1001

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi) TINJAUAN TENTANG ASAS KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN PEYIDIK KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

Disusun Oleh : DHAYU WIJANARKO NIM : E. 1103051

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta TIM PENGUJI

) NIP. 19570629 198503 1 002

1. Edy Herdyanto, SH, MH

) NIP. 19620209 198903 1 001

2. Bambang Santoso, SH, M.Hum

) NIP. 1958 1225198601 1001

3. Kristiyadi, SH, M.Hum

Mengetahui Dekan

Moh. Jamin SH, M. HUM NIP. 1961 0930 1986011001

MOTTO

“Barang siapa berhati-hati, Ia akan mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam kehati-hatian terdapat keselamatan, dan dalam ketergesa-gesaan terdapat penyesalan”

(Al Muraqqish).

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada :

1. Ayah dan Ibu terhormat yang selalu memberikan do’a untuk keberhasilan studiku

2. Kakak-kakakku yang selalu memberkan dukungan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

3. Teman-teman seperkuliahan yang selalu membantu dan memberi semangat dalam pembuatan skripsi ini.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dalam bentuk SKRIPSI dengan judul “Tinjauan Tentang Asas Koordinasi

Antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia”.

Penulisan hukum ini terlaksana atas bantuan, arahan, serta bimbingan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan kali ini penulis ucapkan terima kasih kepada para pihak berikut ini :

1. Bapak Moh. Jamin, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penulisan hukum ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, SH, MH, selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memfasilitasi penulis untuk melakukan penulisan hukum dalam bentuk skripsi dibidang hukum acara khususnya Hukum Acara Pidana.

3. Bapak Bambang Santoso, SH, M.Hum, yang telah membantu penulis dengan memberikan pinjaman berupa buku-buku serta literatur lainnya yang memperlancar penulisan hukum ini.

4. Bapak Kristiyadi, SH, M.Hum, selaku Pembimbing dalam penulisan hukum ini yang telah memberikan arahan serta bimbingan dengan penuh kesabaran.

5. Bapak-bapak serta Ibu-ibu Dosen Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu kepada penulis sehingga dapat penulis jadikan bekal dalam mengarungi kehidupan ini.

6. Papa dan Mama yang penulis hormati serta banggakan yang penuh kasih sayangnya dengan tiada henti-hentinya mengasuh, membimbing penulis dalam mengejar cita-cita demi masa depan penulis.

7. Buat Kakak-Ku tercinta terima kasih atas dukungan dan semangatnya selama ini.

8. Teman-teman kuliah penulis dan khususnya angkatan 2003 yang telah memberikan semangat serta dorongan untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.

9. Para pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala budi baik dan bantuannya untuk terselesaikannya penulisan hukum ini.

Semoga penulisan hukum dalam bentuk skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pihak yang membutuhkannya.

Surakarta, 1 Desember 2009

Penulis

ABSTRAK

DHAYU WIJANARKO, E. 1103051. Tinjauan Tentang Asas Koordinasi Antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan asas koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik kepolisian Republik Indonesia dalam peraturan perundang-undangan.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian normatif. Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Jenis data yang dipergunakan sebagai kajian adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.

Hasil penelitian dapat dikemukakan, bahwa asas koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia pengaturannya selain terdapat dalam KUHAP juga diatur dalam juklak dan juknis tentang penyidik pegawai negeri sipil, koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik kepolisian Republik Indonesia bersifat koordinatif, pengawasan, pembinaan kemampuan, serta pemberian petunjuk.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam segala aktivitas operasional tugasnya tidak boleh lepas dari pengawasan maupun kontrol dari Penyidik kepolisian Republik Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari tujuan utama KUHAP yaitu tetap melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa dalam segala tingkat pemeriksaan. Pada proses penyidikan tindakan penyidik sebagaimana telah dikemukakan telah menyentuh pada sendi-sendi perampasan hak-hak asasi manusia. Maka sudah sepantasnya dalam asas koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dalam tatanan terakhir harus tetao bergerak di bawah naungan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

ABSTRACTS

WIJANARKO, DHAYU, E.1103051. An Analysis on Coordination Principle between Public Officer Investigator and Indonesian Police Department Investigator Law Faculty of Sebelas Maret University of Surakarta.

This research is aimed to know the presence of coordination principle between public officer investigator and Indonesian Police Department investigator in related regulation.

This research is included normative research type. The nature of this research is descriptive. Data being used as the analysis is secondary data. Secondary data in this research includes primary and secondary law materials. Data analysis utilized in this research is qualitative analysis.

Result of this research suggest that coordination principle between Public Officer Investigator and Indonesian Police Department Investigator, beside ruled out in Crime Code, it is also guided in Implementation Directives (Juklak) and Technical Directives (Juknis) about Public Officer Investigator, coordination between public oficer investigator and Indonesian Police Department Investigator which coordinative, supervisory, capability constructive and directive in nature.

Public Officer Investigator in any of its operational activity shall not ignored from control and supervision from Indonesian Police Department Investigator. This is as logic consequence of the main objective of Crime Code, that is to protect the suspect or defendant rights in any of investigation level. In investigation process of investigator action as ebing suggested had related on human rights violation aspects. Then it shall be proper in coordination principle between Public Officer Investigator and Indonesian Police Department Investigator in the final order to keep operating under Indonesian Police Department Investigator supervision.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga tahun 2001 ditetapkan Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa dalam menjalankan segala tugasnya tindakan pemerintah dan rakyat harus berdasarkan hukum, tidak boleh sewenang-wenang atau menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di Indonesia pernah diadakan simposium mengenai negara hukum yang diadakan di Jakarta pada tahun 1966. simposium tersebut menghasilkan cita-cita negara hukum : Pengakuan dan perlindungan hak- hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga.

Adanya pembatasan kekuasaan, serta adanya asas legalitas dalam segala bentuknya. Sebagai negara hukum Indonesia tidak hanya memberikan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, akan tetapi juga menerapkannya dalam berbagai aspek termasuk salah satu diantaranya adalah aspek hukum. Tentang hal ini dapat dicermati dalam bidang hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui, bahwa Indonesia pada tahun 1981 telah mengundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dalam perkembangannya lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP. Ciri utama KUHAP dibandingkan dengan ketentuan hukum acara pidana sebelumnya (diatur Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dalam perkembangannya lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP. Ciri utama KUHAP dibandingkan dengan ketentuan hukum acara pidana sebelumnya (diatur

Hingga saat ini usia Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) hampir dua puluh sembilan tahun, didalam praktek sering terdengar adanya kelemahan-kelemahan pengaturan dalam berbagai hal. Untuk mengatasi permasalahan ini oleh pemerintah telah ditetapkan berbagai suplemen dalam praktek, misalnya Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Surat Edaran Mahkamah Agung, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Kehakiman serta Peraturan Menteri Kehakiman. Meskipun sebenarnya selaku hukum acara atau hukum formal KUHAP tidak tepat apabila memiliki berbagai pedoman, oleh karena selaku ketentuan yang mengatur hukum pidana formal KUHAP sudah merupakan pedoman (Hari Sasangko dan Lily Rosita : 2003 : 5).

KUHAP dengan segala kekurangannya hingga saat ini masih dinyatakan berlaku sebelum dinyatakan sebaliknya, apabila oleh pemerintah telah diundangkan Undang-undang mengenai hukum acara pidana yang baru. Terlepas dari adanya kekurangan-kekurangan yang ada maupun kelemahan-kelemahan dalam praktek sebenarnya apabila ditelusuri dari asas-asas pembentukannya KUHAP disusun dengan berbagai asas yang cukup memadai untuk berlakunya suatu undang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa asas-asas hukum adalah merupakan fondamen bagi pembentukan norma hukum. Fondamen yang kuat dari KUHAP yang berisi tentang berbagai asas hukum bagaimanapun juga harus diakui keberadaannya tetap mendukung tegak dan eksisnya KUHAP hingga saat ini.

Berbagai macam asas yang mendukung keberadaan KUHAP antara lain : asas legalitas, asas opportunitas ; asas diferensiasi fungsional, asas Berbagai macam asas yang mendukung keberadaan KUHAP antara lain : asas legalitas, asas opportunitas ; asas diferensiasi fungsional, asas

Dalam kehidupan tindak pidana yang terjadi meliputi berbagai bidang kehidupan. Bidang-bidang tertentu yang juga tidak luput dari objek kejahatan dalam penanganannya memerlukan pemahaman dari aparat yang menguasai bidang permasalahannya. Sesuai dengan hal ini, maka didalam KUHAP telah ditetapkan adanya penyidik pegawai negeri sipil. Penyidik pegawai negeri sipil adalah penyidik yang berasal dari departemen- departemen tertentu yang diusulkan atasan dari departemen yang bersangkutan yang diangkat oleh Menteri Kehakiman. Sebagaimana diketahui penyidik pegawai negeri sipil mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan pelaksanaan tugas berada di bawah koordinasi penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penulisan hukum dalam bentuk skripsi penulis menetapkan judul “Tinjauan Tentang Asas Koordinasi Antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil”.

B. Rumusan Masalah

Atas dasar uraian yang telah penulis kemukakan pada latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah yang penulis ajukan adalah : Bagaimana keberadaan asas koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia dalam peraturan perundang-undangan.

C. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian sudah barang tentu memiliki tujuan. Demikian pula dalam penelitian ini tujuan yang akan diperoleh adalah untuk mengetahui keberadaan asas koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia dalam peraturan perundang-undangan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bimbingan pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin dalam bidang hukum acara pidana.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan tentang penelaahan ilmiah serta menambah cakrawala dibidang penelitian ilmiah.

2. Manfaat Praktis

Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah-masalah dan ruang lingkup yang diteliti serta dikaji secara seksama.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang dipergunakan oleh manusia sebagai sarana untuk memperkuat, membina, mengembangkan serta menguji kebenaran ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis yang dilakukan secara metodologis dan sistematis, dengan menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah dan sistematis sesuai dengan pedoman atau aturan yang berlaku dalam pembuatan suatu karya ilmiah (Soerjono Soekanto, 1986 : 3).

Istilah metodologi” berasal dari kata “methodos” yang artinya jalan ke. Menurut Soerjono metodologi dirumuskan menjadi :

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.

2. Suatu teknik yang umum bagi penelitian.

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur Metode penelitian adalah cara-cara berpikir, berbuat yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan dan mencapai suatu tujuan penelitian, sehingga penelitian tidak mungkin dapat merumuskan, menemukan, menganalisa maupun memecahkan masalah dalam suatu penelitian tanpa metode penelitian.

Dengan demikian masalah pemilihan metode adalah masalah yang sangat signifikan dalam suatu penelitian ilmiah, karena mutu, nilai, validitas dari hasil penelitian ilmiah sangat ditentukan oleh pemilihan metodenya.

Adapun metode atau teknis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari jenisnya penelitian hukum yang penulis lakukan termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yang penulis lakukan mendasarkan data sekunder sebagai objek kajian.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini ditinjau dari sifatnya merupakan penelitian deskriptif. Adapun yang dimaksudkan dengan penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran seluas-luasnya tentang gejala yang diteliti. Dalam hal ini penulis memberikan gambaran seluas-luasnya tentang keberadaan asas koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

3. Jenis Data

Data yang penulis pergunakan adalah data yang relevan dengan maksud dan tujuan penulisan ini. Jenis data yang penulis pergunakan adalah data sekunder.

Data sekunder adalah keterangan-keterangan atau pengetahuan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan- bahan dokumenter, tulisan ilmiah dan sumber-sumber tulisan lainnya. Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh melalui KUHAP, pedoman KUHAP, serta peraturan perundangan lainnya.

4. Sumber Data

Sumber data sekunder merupakan sumber data yang berupa keterangan-keterangan yang mendukung data primer. Sumber data sekunder berupa pendapat para ahli, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan literatur yang mendukung data (Ronny Hanityo Sumitro, 1988 : 53).

Dalam penelitian ini sumber data sekunder yang penulis pergunakan berupa :

1) Bahan hukum primer terdiri atas : (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Tindak Pidana (b) Pedoman Pelaksanaan KUHAP (c) Undang-Undang No. 20 TAhun 2001 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia.

2) Bahan hukum sekunder : Himpunan juklak dan juknis tentang penyidik pegawai negeri sipil

5. Teknik Pengumpulan Data

Mengingat penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang mengandalkan data sekunder sebagai kajian utama, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca serta mempelajari buku- buku serta literatur yang terkait dengan objek penelitian.

6. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini mempergunakan teknis analisis data secara kualitatif. Menurut Abdul Kadir Muhammad yang dimaksud dengan analisis kualitatif adalah analisis dengan menguraikan data secara Penelitian ini mempergunakan teknis analisis data secara kualitatif. Menurut Abdul Kadir Muhammad yang dimaksud dengan analisis kualitatif adalah analisis dengan menguraikan data secara

F. Sistematika Penulisan Hukum

Penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu Bab I sampai dengan Bab IV. Adapun selengkapnya adalah sebagai berikut : BAB I

: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis kemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka terdiri dari dua sub bab yakni kerangka teoritis dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teoritis diuraikan tentang pengertian-pengertian : prinsip koordinasi, penyidikan, aparat yang berwenang melakukan penyidikan, berbagai tindakan dalam penyidikan yang meliputi : penangkapan, penahanan, penggeledahan, serta penyitaan. Sedangkan kerangka pemikiran menggunakan arah berpikir yang penulis lakukan dalam bentuk bagan disentrasi uraian dalam bentuk kalimat.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis menguraikan hasil penelitian yang penulis lakukan yaitu tentang keberadaan asas koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia selanjutnya penulis ketengahkan pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut.

BAB IV : KESIMPULAN Dalam Bab IV penulis kemukakan simpulan terhadap hasil penelitian dan saran-saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Pengertian Prinsip Koordinasi

Pengertian koordinasi dalam Kamus Lengkap Bahasa adalah Penyesuaian dan Pengaturan yang baik, menyesuaikan dan mengatur yang baik. (Tanpa Tahun : 2009). Sedangkan prinsip saling koordinasi dalam proses hukum acara pidana menurut M. Yahya Harahap yaitu : Ketentuan-ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerja sama yang dititik beratkan bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi titik berat kerja sama itu juga diarahkan untuk terbinanya suatu team aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung jawab saling awas mengawasi dalam “Check in balace” antara mereka (Yahya Harahap, 1993 : 49).

2. Penyelidikan dan Penyelidik

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. (Pasal 1 angka 3 KUHP).

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, melainkan merupakan sub fungsi dan bagian tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan, yang dilingkungan Polri disebut sebagai kegiatan Reserse (H.M.A. Kuffal 2005 : 43).

Menurut Yahya Harahap : Menurut buku petunjuk Pelaksanaan KUHP : Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari fungsi penyidik yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, Menurut Yahya Harahap : Menurut buku petunjuk Pelaksanaan KUHP : Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari fungsi penyidik yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,

Penyelidik

Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 angka 4 KUHP).

Berdasarkan perumusan tersebut diatas, maka dapat dikemukakan setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dari pangkat yang paling rendah sampai dengan pangkat yang paling tinggi adalah penyelidik.

3. Kewajiban dan Wewenang Penyelidik Ketentuan Pasal :

(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ;

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang ;

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana ;

2. Mencari keterangan dan barang bukti ;

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri ;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :

meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan ;

1. Penangkapan,

larangan

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat ;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang ;

4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik

4. Penyidik

Menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP, penyidik adalah pejabat POLRI atau pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 6 ayat (1) yang menegaskan penyidik adalah : (1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh Undang-undang Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1983 Bab II Pasal 2 ditentukan syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik sebagai berikut : (1) Pejabat Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya

berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu

Selain Penyidik dalam KUHAP dikenal adanya Penyidik pembantu. Selanjutnya dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983 diatur mengenai pengangkatan dan persyaratan penyidik pembantu, yaitu : (1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-

kurangnya berpangkat sersan dua polisi. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu.

5. Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

6. Wewenang Penyidik

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik mempunyai wewenang : (1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana. (2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian. (3) Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka. (4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. (5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. (6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. (7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi. (8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. (9) Mengadakan penghentian penyidikan (10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab. Di dalam melaksanakan tugasnya penyidik dapat melakukan berbagai tindakan yang berupa upaya paksa yang ditujukan terhadap seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana.

Adapun serangkaian tindakan yang berupa upaya paksa dari penyidik antara lain berupa :

Di dalam proses penyidikan, penyidik memiliki berbagai upaya paksa antara lain sebagai berikut :

a) Penangkapan Penangkapan adalah suatu tindakan-tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidik atau penuntut suatu peradilan dalam hal serta menurut cara, yang telah diatur dalam Undang-undang ini. (Pasal 1 butir 20 KUHAP).

Penangkapan dilakukan dengan tujuan untuk memperlancar kepentingan penyidikan atau untuk kepentingan penyidikan, adapun dalam melakukan penangkapan harus terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penangkapan. Syarat tersebut ialah adanya bukti permulaan yang cukup dan atas dasar bukti permulaan yang cukup itulah seseorang yang diduga keras telah melakukan suatu tindakan pidana dapat ditangkap. (Pasal 17 KUHAP).

Adapun syarat-syarat untuk melakukan penangkapan adalah sebagai berikut : (1) Syarat formal :

(a) Dilakukan oleh penyidik POLRI atau oleh penyidik atas perintah penyidik. (b) Dilengkapi dengan surat perintah penangkapan dari penyidik. (c) Menyerahkan surat perintah penangkapan kepada tersangka dan tembusannya kepada keluarganya. (2) Syarat material : (a) Ada bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHP) Bukti permulaan ini harus mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHP yaitu berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk atau keterangan terdakwa. Sementara hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

(b) Penangkapan paling lama untuk satu kali 24 jam

Penangkapan hanya bisa dilakukan untuk paling lama satu kali 24 jam, oleh karena itu apabila tenggang waktu sudah terlewati maka penangkapan itu berubah menjadi penahanan. (Darwan Prints, 1997 : 39-40). Wewenang penangkapan harus memperhatikan asas hukum

pidana yaitu asas praduga tak bersalah, untuk dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak sebagai kelompok yang tidak mampu atau belum mengetahui tentang masalah hukum yang terjadi pada diri anak itu.

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan memperhatikan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat dimana ia diperiksa. (R. Subekti, 1994 : 23).

b) Penahanan (1) Pengertian Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu (Rumah Tahanan Negara) oleh penyidik atau penuntut umum, atau hukum dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. (Pasal

1 butir 21 KUHAP). Adapun Pasal ini menjelaskan mengenai bentuk penahanan yang dapat berupa : (a) Ditahan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) (b) Tahanan rumah (c) Tahanan kota

(2) Pejabat yang berwenang melakukan penahanan Berdasarkan ketentuan Bab V Bagian Kedua Pasal 20-31 KUHAP pejabat yang berwenang untuk melakukan penangkapan adalah penyidik, penuntut umum serta hakim.

(3) Persyaratan penahanan Perintah penahanan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana, selain didasarkan pada bukti (alat bukti yang sah) yang cukup harus didasarkan pula pada persyaratan yang lain sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP yaitu :

(4) Dasar hukum penahanan

Dasar hukum/alasan obyektif

Tindakan penahanan yang dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun/lebih atau tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Dasar kepentingan/alasan subyektif

Alasan penahanan yaitu adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

c) Penggeledahan Di dalam KUHAP penggeledahan meliputi penggeledahan rumah dan penggeledahan badan perumusan sepenuhnya adalah sebagai berikut :

1) Penggeledahan rumah Adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (Pasal 1 butir 17).

2) Penggeledahan badan Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita (Pasal 1 butir 18).

3) Pejabat yang berwenang untuk melakukan penggeledahan Berdasarkan ketentuan Bab V bagian ketiga (Pasal 32 sampai dengan 37) dan Bab XIV bagian kedua (Pasal 125 sampai dengan Pasal 127) mengatur dan memberikan wewenang untuk melakukan tindakan penggeledahan hanya kepada penyidik Kepolisian Republik Indonesia serta penyidik pegawai negeri sipil.

d) Penyitaan

1. Pengertian Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan peradilan (Pasal 1 butir 16 KUHAP).

2. Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyitaan

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 16 jo Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP, yang berwenang untuk melakukan penyitaan adalah pejabat penyidik. Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (1) KUHAP tindakan penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik setelah ada ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Setelah mendapatkan surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat sebelum melakukan penyitaan, penyidik harus terlebih dahulu wajib menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang yang menguasai benda yang disita.

Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Sebagaimana diketahui bahwa penyidik pegawai negeri sipil mempunyai wewenang sesuai dengan dasar hukumnya masing-masing. Adapun beberapa penyidik pegawai negeri sipil beserta wewenangnya adalah sebagai berikut ini :

1) Di lingkungan Direktorat Jendral Pajak, penyidik pegawai negeri sipil mempunyai wewenang antara lain : (a) Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau

keterangan yang berkenaan dengan tindakan pidana dibidang perpajakan ;

(b) Melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dan lain- lain, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Bab IX Pasal 44;

2) Di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi, penyidik pegawai negeri sipil mempunyai wewenang antara lain : (a) Menerima laporan tentang adanya tindak pidana

keimigrasian ; (b) Memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan, seorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian dan lain-lain sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Bab VII Pasal 47.

3) Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi Bab X Pasal 40 diatur kewenangan penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan telekomunikasi yang antara lain berwenang menyegel dan atau menyita alat telekomunikasi yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.

4) Di lingkungan Departemen Keuangan cq Direktorat Jendral Bea dan Cukai diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabean Bab IV Pasal 112 : (1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan

Direktorat Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang kepabean.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena

kewajibannya berwenang : (a) Menerima laporan atau keterangan dari seseorang

tentang adanya tindak pidana di bidang kepabean ; (b) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa

sebagai tersangka atau saksi ; (c) Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang kepabean ;

(d) Melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana dibidang kepabean ;

(e) Meminta keterangan dan bukti dari orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabean ;

(f) Memotret atau merekam melalui media audio visual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana dibidang kepabean ;

(g) Memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-undang dan pembukuan lainnya yang terkait ;

(h) Mengambil sidik jari ; (i) Menggeledah rumah tinggal, pakaian atau badan ; (j) Menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan

memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang kepabean ;

(k) Menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam perkara tindak pidana dibidang kepabean ;

(l) Memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan bukti dalam tindak pidana dibidang kepabean.

(m) Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan tindak pidana dibidang kepabean ;

(n) Menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabean serta memeriksa tanda pengenal diri ;

(o) Menghentikan penyidikan ; (p) Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran

penyidikan tindak pidana di bidang kepabean menurut hukum yang bertanggung jawab.

(3) Dilingkungan Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, dilingkungan Departemen Dalam Negeri C2 Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II dan Departemen-departemen lainnya juga mempunyai beberapa pegawai negeri tertentu yang diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil.

B. Kerangka Pemikiran PPNS

PENYIDIK POLRI

1. Menerima dan menyelidiki

1. Mengeluarkan Surat Perintah tentang laporan adanya tindak penangkapan

pidana

Permintaan izin penyitaan

2. Mengumpulkan data bukti

3. Menyerahkan berkas perkara permulaan yang cukup ke Kejaksaan

3. Penangkapan paling lama 1 x

Mengeluarkan

perintah

24 jam penghentian penyelidikan

4. Membuat berita

acara

penyerahan penyelidikan

5. Menyusun berkas perkara

KOORDINASI

a. Pengawasan

b. Petunjuk

c. Bantuan penyidik

d. Bantuan teknis

e. Bantuan taktis

f. Bantuan upaya paksa

g. Tindak pidana tertentu

Kerangka pemikiran merupakan uraian yang menjelaskan hubungan antara petugas PPNS dan Penyidik Polri di dalam penelitian yang dilandasi dengan Asas Koordinasi. Asas tersebut mengacu pada tugas dan wewenang dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik Polri.Dimana tugas-tugas yang dijalankan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tunduk dan berdasarkan atas perintah dan persetujuan dari Penyidik Polri. Dalam menjalankan tugasnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat meminta bantuan dan arahan kepada Penyidik Polri.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai kewajiban untuk membuat berita acara penyerahan penyelidikan kepada Kepala Kejaksanaan melalui Penyidik Polri. Asas koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik Polri meliputi pengawasan, petunjuk, bantuan teknis. Koordinasi tersebut ditunjukkan guna membantu kinerja Polri dalam mengatasi tindak pidana.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Keberadaan asas koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, maka tentang prinsip-prinsip koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut.

Sebagaimana diketahui prinsip koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia landasan utamanya adalah ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang bunyi perumusan selengkapnya adalah : penyidik pegawai negeri sipil mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

Selanjutnya wujud prinsip koordinasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia selengkapnya sebagai berikut ini :

1. Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

Dalam hal penyidik pegawai negeri sipil mulai melakukan penyidikan, maka harus memberitahukan kepada Kepala Kejaksaan melalui Kepala Kepolisian setempat. Mengenai hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang bunyi perumusan selengkapnya adalah : dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum.

2. Permintaan Bantuan Penangkapan

Dalam hal penyidik pegawai negeri sipil akan melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, maka penyidik pegawai negeri sipil harus mengajukan permintaan kepada penyidik Kepolisian Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa tindakan penangkapan merupakan suatu tindakan yang telah merampas hak-hak asasi manusia, maka agar tindakan penangkapan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil ini dapat dipertanggung jawabkan, maka harus dilakukan dengan bantuan penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

Atas permintaan bantuan penangkapan dari penyidik pegawai negeri sipil terhadap penyidik Kepolisian Republik Indonesia, maka oleh Kepolisian Republik Indonesia dikeluarkan surat perintah penangkapan, surat perintah penangkapan ini dibuat secara tersendiri dan dikeluarkan sebelum penangkapan.

3. Permintaan Bantuan Penahanan

Selanjutnya dalam hal penyidik pegawai negeri sipil akan melakukan tindakan hukum yang berupa penahanan kepada seseorang yang melakukan tindak pidana harus mengajukan bantuan kepada penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

Dalam penyidik pegawai negeri sipil akan melakukan penahanan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana, permintaan penahanan yang diajukan didasarkan atas alasan-alasan penahanan, yang antara lain meliputi : Berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh bukti yang cukup bahwa tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan dan dikhawatirkan tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.

4. Berita Acara Penyerahan Penyidikan

Selanjutnya dalam hal penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, maka seterusnya penyidik pegawai Selanjutnya dalam hal penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, maka seterusnya penyidik pegawai

1. Surat permintaan bantuan penahanan

2. Surat pemberitahuan keputusan tentang persetujuan Pemberian bantuan penahanan dari Kepala Kepolisian. Tujuan penyerahan berita acara penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil kepada penyidik Kepolisian Republik Indonesia yaitu untuk kelancaran jalannya proses penyidikan. Dalam penyerahan berita acara penyidikan dilengkapi dengan persyaratan administrasi yang meliputi :

1. Laporan kejadian

2. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan

3. Hasil pemeriksaan

4. Barang-barang bukti yang disita Serah terima berita acara penyidikan, dilakukan di Kantor Kepolisian dengan cara kedua belah pihak meneliti terlebih dahulu kelengkapan penyerahan penyidikan, dan disaksikan oleh dua orang saksi dari kepolisian dan instansi penyidik pegawai negeri sipil.

5. Permintaan Izin Penyitaan

Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 : Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, wujud atau tidak berwujud. Untuk kepentingan pembuktian dan penyelidikan, penuntutan dan peradilan.

Tentang ketentuan pelaksanaan penyitaan dirumuskan dalam Pasal 38 : (1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat ijin

ketua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapat surat ijin ketua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapat surat ijin

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa tindakan penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia, dengan disyaratkan :

a. Penyidik harus terlebih dahulu mengajukan ijin kepada ketua pengadilan negeri setempat sebelum melakukan penyitaan Dalam keadaan yang sangat mendesak penyidik dapat melakukan penyitaan hanya terlebih dahulu minta ijin kepada ketua pengadilan negeri setempat. Penyidik PNS dapat melakukan penyitaan, akan ulangi dalam hal penyidik PNS akan melakukan penyitaan maka penyitaan yang akan dilakukan harus melalui penyidik kepolisian.

6. Penyusunan Berkas Perkara

Penyidik pegawai negeri sipil setelah mengumpulkan bukti- bukti dalam penyidikan, berkewajiban menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan melalui kepala kepolisian. Materi berkas perkara memuat tentang identitas tersangka secara lengkap, status penahanan dan penyebutan barang-barang bukti.

7. Penghentian Penyidikan

Ketentuan mengenai penghentian penyidikan dirumuskan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP : Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan menyatakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka agar keluarganya.

Berdasarkan rumusan Pasal 109 ayat (2) KUHAP tersebut maka alasan penghentian penyidikan adalah :

a. Tidak terdapat cukup bukti a. Tidak terdapat cukup bukti

c. Penyidikan dihentikan demi hukum ini meliputi : (1) Berlakunya asas mekisris (2) Tersangka meninggal dunia (3) Berlakunya tenggang waktu dakwaan

Penyidik pegawai negeri sipil apabila bermaksud akan melakukan penghentian penyidikan maka diharuskan terlebih dahulu memberitahukan kepada penyidik kepolisian.

Selanjutnya untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai asas koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia berikut ini penulis kemukakan contoh formulir administrasi penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

. ………………………….

PPNS: A.2 …………………………a)

...................., ……………… 198 ...

Nomor :Klasifikasi

Lampiran : Perihal

: Pembertahuan dimulai- Kepada nya penyidikan.

Yth. KEPALA KEJAKSAAN ……………………….. Melalui KEPALA KEPOLISIAN ………………………..b) di JAKARTA

1. Dengan ini diberitahukan bahwa pada hari …………………… tanggal …..………………………. Tahun 199 … telah dimulai penyidikan tindak pidana …………………. Undang-undang/ Peraturan ……………………………………………………. c) Atas nama tersangka :

a. ……………………………………………………………….

b. ……………………………………………………………….

Sebagaimana

dalam Pasal …………………………….

dimaksud

Undang-undang/Peraturan …………………………………. b) atas nama tersangka :c)

2. Demikian untuk menjadi malum

KEPALA KEPOLISIAN …………… d) Selaku Penyidik

………………………………………… NIP: ………………………………… Tembusan: (Tanda lampiran)

1. Kesatuan atas Polri

2. PNS ……………….

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah mulai melakukan penyidikan, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan kepada Kepala Kejaksaan melalui Kepala Kepolisian, selanjutnya Kepala Kepolisian setempat memberitahukan lebih lanjut pemberitahuan dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada saat mulai melakukan penyidikan dalam surat tersendiri. Pemberitahuan dari Penyidik Kepolisian kepada Kepala Kejaksaan antara lain secara tegas telah menentukan nama tersangka, serta guna tindak pidana yang dilakukan.

………………………………a) PPNS: A.4. Nomor

: Klasifikasi : Lampiran : Perihal

: Permintaan Bantuan Penangkapan

Kepada

Yth. KEPALA KEPOLISIAN …………………………... di ……………………………

Up. KEPALA ………………………………………RESERSE.

1. Berdasarkan :

a. Laporan kejadian No. :……………… tanggal ………….

b. Laporan Kemajuan penyidikan No.: …………………….. tanggal ……………………………………………………..

c. ……………………………………………………………b) Maka tersangka:

Nama : …………………………………… Tempat/tanggal lahir : …………………………………… Pekerjaan

: …………………………………… Alamat

: …………………………………… Jenis Kelamin

: …………………………………… Diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup, telah melakukan tindak pidana di bidang ……………………. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal ……… Undang-undang ……………………………….. jo Pasal 112 ayat (2) KUHAP.

2. Terhadap trsangka telah dipanggil secara sah dua kali ber- turut-turut tetapi tidak memenuhi panggilan tanpa alasa yang sah.

3. Untuk kepentingan penyidikan diperlukan tindakan hukum berupa penangkapan terhadap tersangka tersebut pada angka satu di atas.

4. Guna keperluan tersebut dimohon bantuan Kepala untuk me- lakukan penangkapan terhadap tersangka/saksi tersebut.

5. Demikian untuk menjadi maklum dan mengharap kabar hasilnya.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL c)

…………………………….. NIP. ……………………….

…………………………a) SERIE: A.5.01 …………………………

No. Pol. : Klasifikasi : Lampiran : Perihal

: Permintaan Bantuan Kepada Penangkapan.

Yth. KEPALA ……………. ……………………….. di …………………………

Up. KEPALA ………………………………………RESERSE.

1. Rujukan surat Saudara tanggal ………………………….19.... No.: ……..……………………………….. perihal sebagaimana tersebut pokok surat di atas dengan ini diberitahukan bahwa :

a. Setelah mempelajari surat permintaan tersebut beserta lampirannya berkesimpulan bahwa terdapat/tidak terdapat

b) bukti permulaan yang cukup untuk melakukan pe- nangkapan.

b. Menyetujui/menolak c) permintaan bantuan penangkapan atas nama tersangka :

Nama : …………………………………… Tempat/tanggal lahir : …………………………………… Pekerjaan

: …………………………………… Alamat

: …………………………………… Jenis Kelamin

: …………………………………d) (Tindasan Surat Perintah Penangkapan terlampir). d)

2. Demikian untuk maklum.

KEPALA KEPOLISIAN ………………… SELAKU PENYIDIK

………………………………… Nip. ……………………….. Berkaitan tentang penangkapan terhadap tersangka Penyidik Pegawai

Negeri Sipil dalam hal melakukan penangkapan diwajibkan pula untuk mengajukan bantuan penangkapan kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia. Sudah barang tentu dalam hal Penyidik Pegawai Negeri Sipilberkehandak untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam KUHAP yang antara lain ditetapkan dalam Pasal 112 ayat (2);

1. Tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

2. Tersangka telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tetapi tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah.

3. Untuk kepentingan penyidikan diperlukan tindakan hukum berupa penangkapan terhadap tersangka.

KANTOR …………. PPNS: A.8 ……………………..a)

: Permintaan ijin / Ijin Khusus Penyitaan

Kepada Yth. KETUA PENGADILAN

NEGERI ……………………………. di ……………………………

1. Berdasarkan :

a. Laporan kejadian No. : ……….. tanggal ……………..

b. Hasil pemeriksaan

: ………………………………..

c. ………………………………………………………… Tersangka :

Nama

: ………………………………… Tempat/tanggal lahir : ………………………………… Alamat

: ………………………………… Diduga telah melakukan tindak pidana di bidang ………….

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal ..…………………….. Undang-undang/Peraturan .………………………………b)

2. Untuk kepentingan penyidik diperlukan tindakan hukum penyitaan barang bukti berupa : ……………………………

3. Guna keperluan penyitaan diharapkan kiranya Ketua dapat menerbitkan surat ijin/ijin khusus dimaksud.

4. Demikian untuk menjadi maklum dan mengharap keputusan.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL ……………………………………….d)

Tembusan : Kepala Kepolisian …….......

………………………….

………… ………..a) PPNS: A.8.01 ……………………..

PRO YUSTITIA SURAT PERINTAH PENYITAAN

No. : ……………………………….