INTERVERSI TERHADAP KEDAULATAN MENURUT PERJANJIAN INTERNASIONAL

INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

LEMBAR PENGESAHAN INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953)

Oleh: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan Disahkan Pada tangga l……………………………

Penguji I/ Pembimbing I,

Penguji II/Pembimbing II,

Penguji

Dr. Noer Indriati, S.H.,M.Hum. Dr. H. Isplancius Ismail, S.H.,M.Hum. Aryuni Yuliantiningsih S.H.,M.H.

NIP. 19600426 198702 2 001 NIP. 19550404 199203 1 001 NIP. 19710702 199802 2 001

Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama

: Andrew Firdaus S.P

NIM

: E1A010140

Judul Skripsi : INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang ada dari fakultas.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh.

Purwokerto, Februari 2015

Andrew Firdaus S.P NIM. E1A010140

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: INTERVENSI

TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953).

Skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

2. Dr. Noer Indriati, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini;

3. Dr. H. Isplancius Ismail, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bantuan serta dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini;

4. Aryuni Yuliantiningsih, S.H., M.H. selaku dosen Penguji yang telah memberikan saran yang sangat membangun dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini;

5. Sutoyo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan selama penulis menempuh studi;

6. Keluarga tercinta, yaitu Papah (Sunarso, S.E., M.M), Mamah (Sri Endah Indriawati, S.H., M.H.), dan adik-adikku (Philein Sophiana S.P dan Alysabel Apriliana S.P) serta mbahti (Hj. Maslicha) dan mbah kakung (H.Munajad) yang telah mendukung dan mendoakan dalam setiap langkah penulis;

7. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah mentransferkan ilmunya selama penulis menempuh studi;

8. Sahabat penulis, Wira Satya Widyatmoko yang telah banyak membantu penulis selama penulis menyelesaikan studi;

9. Keluarga besar ALSA LC UNSOED

10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih belum sempurna serta terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Penulis menerima saran dan kritik dengan segala kerendahan hati untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Purwokerto, Februari 2015 Penulis

Andrew Firdaus S.P

ABSTRAK

Intervensi dapat diartikan sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah kondisi nyata di negara tersebut. Intervensi menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Negara dan Prinsip non-intervensi dalam hukum internasional.

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan intervensi dalam perang korea tahun 1950-1953 menurut hukum internasional. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Semua data dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang disajikan secara sistematis dan dianalisis dengan metode normatif kualitatif.

Hasil dari penelitian menunjukan bahwa intervensi dalam Perang Korea tahun 1950-1953 dilakukan oleh Uni Soviet, Amerika Serikat, dan China melalui operasi militer dan kebijakan politik terhadap Korea. Intervensi dalam Perang Korea tahun 1950-1953 termasuk dalam intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum internasional karena melanggar prinsip kedaulatan negara dan prinsip non-intervensi yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1), pasal 2 ayat (4), dan pasal 2 ayat (7) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Intervensi dalam Perang Korea tahun 1950-1953 dilakukan dengan campur tangan secara dictator yang menyerang kedaulatan negara lain dengan cara-cara kekerasan. Implikasi dari intervensi dalam Perang Korea 1950-1953 menyebabkan penyelesaian konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan menjadi sebuah kebuntuan perang serta korban jiwa yang besar di masing-masing pihak.

Kata kunci: Intervensi, Kedaulatan Negara, Hukum Internasional, Perang Korea 1950-1953.

ABSTRACT

Intervention can be interpreted as dictatorial interference by a State in the affairs of another State for the purpose of either maintaining or altering the actual condition of things. The intervention created a controversy among the society because it has contradicted with State sovereignty and non-intervention principles on international law.

The aim of the research is to know the implementation of the intervention towards sovereignty in Korean War 1950-1953 according by international law. The approach method of this research is normative with statute approach and case approach. All data of this research is taken from secondary data that served systematically and had been analyzed by qualitative normative method.

The result of the research showed that the intervention in Korean War 1950-1953 had done by Uni Soviet, United States of America, and China with military operation and political policy toward Korea. The intervention in Korean War 1950-1953 can be included as the intervention that prohibited by international law because it had offended the sovereignty and non-intervention principles on article 2 paragraph (1), article 2 paragraph (4), and article 2 paragraph (7) United Nations Charter. The intervention in Korean War 1950- 1953 had done by dictatorial interference that offence the sovereignty of another country with violence ways. The implication of the intervention in Korean War 1950-1953 had caused a settlement of the conflict between North Korea and South Korea became stalemate along with a great number of victims on both side.

Keywords: Intervention, Sovereignty, International Law, Korean War 1950-1953

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya manusia hidup dalam wilayah dan kesatuan berbeda beda yang diciptakan dalam sebuah wadah yaitu Negara. Negara merupakan subjek hukum yang terpenting dan memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional sehingga mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya. Negara sebagai wadah dari suatu masyarakat memiliki dasar, keyakinan, cita-cita ataupun tujuan untuk mendirikan sebuah Negara yang maju dan terpandang. Tujuan Negara merupakan kepentingan utama dari

tatanan suatu Negara. 1 Tujuan tersebut diartikan sebagai sebuah ideologi bagi Negara.

Ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh suatu masyarakat, dan mengerti cara-cara yang paling dianggap baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dan cara itu secara moral dianggap paling baik dan adil untuk mengatur

perilaku sosial warga masyarakat dalam berbagai segi kehidupan. 2

1 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm.146. 2 Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta, 1992, hlm. 48.

Seiring dengan berkembangnya pola pemikiran tokoh-tokoh besar dalam suatu Negara ataupun dengan kemajuan suatu Negara itu sendiri, ideologi menjadi terbagi atas beberapa macam, diantaranya ialah ideologi kapitalisme, sosialisme komunisme, fasisme, atau bahkan pragmatisme (tidak memiliki ideologi/anti ideologi). Setiap ideologi memiliki cara dan tujuan tersendiri dalam penerapannya. Negara akan mempunyai pengaruh terhadap masyarakatnya dengan adanya ideologi. Hal ini sering menimbulkan adanya pertentangan antar Negara sampai pada konflik dan perang yang berkepanjangan demi menyatukan pemahaman dan pandangan mereka satu sama lain. Pertentangan ideologi suatu negara pernah terjadi dengan adanya Perang dingin (Cold War) antara Amerika Serikat beserta sekutunya yang disebut Blok Barat dengan ideologi Kapitalisme-Liberal dan Uni Soviet beserta sekutunya yang disebut Blok Timur dengan ideologi sosialis- komunisme. Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan kekalahan Jepang di Pasifik, negara-negara jajahan Jepang sebagian langsung memerdekakan diri dan sebagian masih berada dalam administrasi pasukan

sekutu sebelum memproklamasikan kemerdekaannya. 3 Salah satu Negara bekas jajahan Jepang yang masih berada dalam

pengaruh sekutu adalah Negara Korea. Negara ini dikuasai oleh Jepang pada tahun 1910 sampai tahun 1945, pada akhir pendudukan Jepang terdapat dua

Keroknya? , dalam http://sejarah.kompasiana.com/2013/04 /07/korea-terbagi-dua-siapa-biang-keroknya-549025.html, diakses 12 Mei 2014.

3 Syasya, Korea

Terbagi

Dua:

Siapa

Biang Biang

tersebut. 4 Melalui Konferensi Postdam pada Juli sampai dengan Agustus 1945,

sekutu secara sepihak memutuskan membagi wilayah Korea menjadi dua tanpa persetujuan pihak Korea sendiri. Korea dibagi menjadi dua di garis lintang 38 derajat yang dikenal sebagai 38th parallel, kemudian secara resmi membentuk Rakyat Demokratik Republik Korea Utara dan Republik Korea dengan wilayah utara di bawah penguasaan Uni Soviet dengan RRC dan

wilayah selatan di bawah penguasaan Amerika Serikat dengan sekutunya. 5 Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang

dipimpin oleh nasionalis Syngman Rhee menentang perwalian Soviet- Amerika di Korea. Syngman Rhee terpilih sebagai presiden Republik Korea

4 Mochtar Lubis, Catatan Perang Korea, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 89.

5 Radio Australia, Sejarah Dibalik Ketegangan Korea Utara Dan Korea Selatan: Kilas Balik , dalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-04-05/sejarah-di-balik-ketegangan-

korea-utara-dan-korea-selatan-kilas-balik/1112046, diakses pada tanggal 14 Mei 2014.

Selatan pada 15 Agustus 1948. Uni Soviet mendirikan pemerintahan komunis Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il-Sung. Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung bermaksud menyatukan Korea di bawah sistem politik yang dianut masing-masing pihak. Korea Utara berhasil meningkatkan ketegangan di perbatasan dengan persenjataan yang lebih baik dan kemudian

menyerang setelah sebelumnya melakukan provokasi. 6 Perang terjadi pada tanggal 25 Juni 1950, dimulai oleh penyerbuan

Korea Utara dengan melakukan invasi darat dan udara melintasi perbatasan yang disebut 38th parallel sehingga Seoul berhasil dikuasai oleh Korea Utara pada akhir juni 1950. Melihat sekutunya diserang Amerika Serikat tidak tinggal diam, Presiden Truman kemudian memerintahkan Mc Arthur yang mengepalai angkatan perang Amerika di Jepang untuk membantu Korea. Perang pertama antara tentara Amerika Serikat dan Korea Utara dimulai pada tanggal 5 juli 1950, dilanjutkan dengan operasi pendaratan di Incheon untuk menyerbu pasukan Korea Utara. RRC ikut memasuki medan pertempuran dengan 270.000 tentara dan didukung oleh Uni Soviet dengan alat

persenjataannya pada tanggal 25 Oktober 1950. 7 Perang berakhir pada tanggal 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat,

Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan

6 Wikipedia, Perang Korea, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea, diakses pada tanggal 10 Mei 2014.

Serikat , dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_

Polisional:_Intervensi_Amerika_Serikat, diakses 12 Mei 2014.

Korea#Aksi_ Korea#Aksi_

harus kehilangan/terpisah dari sanak familinya. 8 Intervensi yang dilakukan oleh Sekutu menyerang kedaulatan Korea

dengan cara memutuskan secara sepihak, membagi wilayah Korea menjadi dua tanpa persetujuan pihak Korea. Hal tersebut dilakukan agar masing- masing Negara dapat menanamkan kehendaknya terhadap Negara lain sehingga melakukan campur tangan terhadap urusan internal suatu Negara. Campur tangan terhadap urusan internal suatu Negara dalam Perang Korea dilakukan dengan cara intervensi. Intervensi tidak diartikan secara baku, namun definisi dari intervensi menurut Oppenheim Lauterpacht adalah campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah

keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut. 9

dalam http://sejarah- andychand.blogspot.com/2012/10/sejarah-perang-korea.html, diakses pada tanggal 12 Mei 2014.

8 Andy Chand,

9 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30.

Piagam PBB telah mengatur prinsip kedaulatan negara dan prinsip non-intervensi, khususnya pada Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (4), dan Pasal 2

ayat (7) Piagam PBB, sebagai berikut: 10 Pasal 2 ayat (1)

Organisasi bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua anggota. Pasal 2 ayat (4)

Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 2 ayat (7) Tidak ada satu ketentuan-pun dalam piagam ini yang memberi kuasa kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri sesuatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan dalam piagam ini, akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam bab VII.

Pasal-pasal tersebut mensyaratkan bahwa anggota organisasi (PBB) diharuskan menghormati kedaulatan negara lain dan dilarang untuk ikut campur dalam urusan domestik suatu Negara (to intervere in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any State) kecuali dalam

rangka memelihara perdamaian menurut Bab VII piagam PBB. 11 Pengaturan tersebut semakin dikuatkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970

10 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam PBB Dan Statuta Mahkamah Internasional,dalam https://unic.un.org/aroundworld/unics/common/documents/publications/uncharter/jakarta_charter_

bahasa.pdf, diakses pada tanggal 9 Maret 2014. 11 Huala Adolf, Loc.Cit.

[G.A. Res 2625 (XXV)] pada tanggal 24 Oktober 1970, yang berbunyi semua Negara menikmati persamaan kedaulatan. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan sederajat sebagai anggota masyarakat internasional,

meskipun terdapat perbedaan ekonomi, sosial, politik, atau bidang lainnya. 12

Suatu tindakan intervensi yang tidak diperbolehkan dengan alasan apapun dan sesungguhnya tidak ada alasan apapun yang dapat dibuat sebagai pembenaran yaitu suatu intervensi yang nyata-nyata akan menimbulkan atau akan lebih membuat suatu keadaan menjadi lebih memburuk. J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention. Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju suatu perdamaian. Intervensi tersebut mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya

revolusi atau perang saudara di Negara lain. 13 Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk

mengangkatnya dalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi dengan judul: Intervensi Terhadap Kedaulatan Suatu Negara Menurut Hukum Internasional (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953).

Negara , dalam http://dennybiantong.blogspot.com/2012/07/kedaulatan-negara.html,

diakses pada tanggal 9 Maret 2014.

13 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm.136-137.

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah intervensi terhadap kedaulatan suatu Negara dalam kasus perang Korea tahun 1950-1953 menurut hukum internasional ?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: Untuk mengetahui pelaksanaan intervensi terhadap kedaulatan suatu Negara dalam kasus Perang Korea tahun 1950-1953.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a) Memperluas wawasan peneliti dan pembaca pada umumnya.

b) Memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya dan ilmu Hukum Internasional pada khususnya.

2. Secara Praktis

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan hukum yang berkaitan dengan hukum internasional.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi dan masyarakat pada umumnya serta dapat dipergunakan sebagai acuan oleh peneliti lain dengan kajian yang berbeda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Negara Menurut Hukum Internasional

I. Pengertian Negara

Fenwick mendefinisikan Negara sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisasi secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari pengawasan Negara lain, sehingga dapat bertidak sebagai badan yang merdeka di muka bumi. Menurut J.L Bierly, Negara adalah suatu lembaga (institution), sebagai suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya, sedangkan Malcver mendefinisikan Negara sebagai suatu kesatuan yang memiliki kekuasaan berdasarkan hukum di suatu wilayah yang dibatasi oleh adanya kondisi-kondisi tertib sosial eksternal yang sifatnya universal. Beliau mendefinisikan Negara

sebagai berikut : 14 “…as association which acting through law as promulgated by

government endowed to this end with coercive power, maintains within

a community territorially demarcated the universal external conditions of social order.”

14 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung, 2011, hlm. 1-2.

Definisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black, sebagai berikut: 15

Negara diartikan sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang, melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka, dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya.

Menurut L.J Van Apeldorn pengertian Negara menunjuk kepada berbagai gejala yang sebagian termasuk pada kenyataan dan sebagian lagi menunjukkan pada gejala-gejala hukum. Salah satu pengertian Negara menurutnya adalah suatu wilayah atau daerah tertentu yang didiami oleh suatu bangsa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa negara mempunyai arti

sebagai berikut: 16

a. Perkataan Negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan orang atau orang-orang yang memiliki kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah.

b. Perkataan Negara juga dapat diartikan sebagai suatu persekutuan rakyat, yaitu untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, di bawah kekuasaan tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum yang sama.

15 Idem, hlm.2. 16 L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradaya Paramita, Jakarta, 1981, hlm. 304.

c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Perkataan Negara digunakan untuk menyatakan suatu daerah, dimana tempat suatu bangsa berdiri di bawah kekuasaan yang tertinggi.

d. Negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yang maksudnya adalah harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum.

Pendapat L.J. Van Apeldorn disempurnakan oleh Biere de Hans yang menunjukkan bahwa dalam suatu Negara tidak hanya terdiri dari satu bangsa saja, melainkan juga dijumpai adanya Negara yang di dalamnya terdiri dari berbagai bangsa sepanjang pengertian bangsa yang dimaksud masuk dalam lingkup Nasionaliteit (kewarganegaraan). Selengkapnya

Biere de Hans mengemukakan sebagai berikut : 17 Negara adalah lembaga manusia; manusialah yang membentuk

Negara. Manusia yang membentuk negara itu merupakan makhluk perorangan (endelwezen) dan juga merupakan makhluk sosial (gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul karena dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk dari berorganisasinya suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa meskipun masyarakat bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idee vertegenwoordigt ).

Masih berkaitan dengan pengertian Negara, Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Hal ini

17 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia) , Universitas Atma Jaya,

Yogyakarta, 2003, hlm. 8.

menunjukkan bahwa jika berbicara mengenai negara salah satu aspek yang paling menonjol adalah kekuasaannya yang besar. Peranan Negara juga semakin dominan karena hubungan-hubungan internasional yang melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional

dilakukan oleh negara-negara. 18 Pada hakikatnya Negara merupakan pribadi terpenting (principle

person ) dalam hukum internasional. Hukum internasional pada dasarnya merupakan produk dari hubungan antar Negara baik melalui praktik yang membentuk hukum internasional atau melalui kesepakatan (perjanjian) internasional Negara itu sendiri. Negara merupakan suatu satuan yang memiliki wilayah tetap, penduduk permanen, di bawah pengawasan suatu pemerintahan dan terlibat, atau mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam hubungan formal dengan lembaga-lembaga yang resmi lainnya dalam hukum internasional. Negara juga merupakan subjek hukum internasional yang paling tua usianya karena negara yang pertama muncul sebagai subjek hukum internasional dan baru belakangan diikuti oleh kemunculan subjek- subjek hukum internasional lainnya. Dominannya peran Negara dalam hubungan-hubungan hukum internasional juga tidak terlepas dari

18 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm.60.

keunggulan Negara jika dibandingkan dengan subjek-subjek hukum internasional yang lain, yakni Negara memiliki Kedaulatan. 19

II. Kualifikasi Negara

Negara adalah subjek hukum yang paling utama, terpenting, dan memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional. Sarjana filsafat hukum terkemuka, HLA Hart, mengkualifikasikan negara sebagai gambaran dari dua fakta yang di dalamnya memuat unsur-unsur

dari negara. Beliau menyatakan sebagai berikut: 20 The expression of a state is not the name of some person or thing

inherently or by nature outside the law; it is a way of reffering to two facts: first, that a population inhabiting a territory lives under that form of ordered government provided by a legal system within its characteristic structure of legislature, Courts, and primary rules; and secondly, that the government enjoys a vaguely defined degree of independence.

Menurut pendapat HLA Hart ciri-ciri negara adalah memiliki:

4. Sistem hukum; dan

5. Independensi

Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan kewajiban negara adalah sumber hukum yang memuat unsur-unsur negara dan kapan

19 Rebbecca Wallace, Hukum Internasional (Pengantar untuk mahasiswa), Sweet & Maxwell, London, 1986, hlm. 63-64.

HLA Hart, The Concept of Law, Oxford: Oxford U.P., 2 nd .ed., 1994, hlm. 22, (lihat juga: Huala Adolf, Op.cit., hlm. 1-2).

suatu entitas politik dapat dikatakan sebagai suatu Negara. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: 21

The State as a person of international law should possess the following qualifications:

a. a permanent population

b. a defined territory

c. a government; and

d. a capacity to enter into relations with other States.

Unsur-unsur di atas juga dikemukakan oleh penulis-penulis hukum internasional. Berikut adalah uraian dari masing-masing unsur tersebut sebagai berikut:

a. Penduduk yang tetap Penduduk atau rakyat suatu negara adalah kelompok orang yang secara tetap atau permanen mendiami suatu wilayah yang juga pasti luasnya. Penduduk merupakan unsur pokok bagi pembentukan suatu negara karena suatu pulau atau wilayah yang tidak ada

penduduknya tidak akan dapat dikatakan sebagai negara. 22 Unsur ini bermakna sebagai kelompok orang yang hidup bersama di suatu

tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Kelompok orang ini mungkin saja berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan

21 Lihat Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933. 22 Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung,

2006, hlm. 106.

yang berbeda, dan memiliki kepentingan yang saling bertentangan. 23 Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat

harus terorganisir dengan baik (organized population). Masyarakat tidak dibatasi jumlahnya dalam mendirikan suatu negara menurut

hukum internasional. 24

b. Wilayah tertentu Wilayah adalah unsur yang sangat penting untuk tempat rakyat menetap dan mewujudkan kedaulatan serta menerapkan jurisdiksinya di dalam wilayahnya itu. Wilayah dikatakan sebagai wilayah tetap apabila memiliki batas wilayah. Hal tersebut penting untuk memperjelas batas-batas mana saja kedaulatan negara tersebut akan berlaku. Luas wilayah juga tidak diberikan pembatasan oleh hukum internasional seperti halnya penduduk, bahkan suatu negara dapat diakui sebagai negara apabila mempunyai wilayah betapapun besar atau kecilnya sepanjang wilayah tersebut cukup konsisten. (sufficient

consistency) 25 .

23 Ibid 24 R.C. Hingorani, Modern International Law, Oceana Publications Inc., India, 1984,

hlm. 35. 25 Ibid hlm. 35. 25 Ibid

dikehendaki rakyatnya. 26 Rakyat yang menduduki suatu wilayah hidup dengan mengorganisasikan diri sehingga tentu ada pimpinan dan ada yang dipimpin. Negara memerlukan sejumlah organ yang terdiri dari individu-individu untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Individu-individu sebagai pemimpin organisasi inilah yang kemudian dinamakan pemerintah. Bentuk dari pemerintah dapat berbeda antara yang satu dengan lainnya sebab penentuan atau pemilihan bentuk pemerintahan sepenuhnya urusan dari rakyat negara yang

bersangkutan. 27

d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain

Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu negara yang merdeka, dan tidak di bawah kedaulatan negara lain akan mampu melakukan hubungan dengan negara lain. Suatu negara dikatakan merdeka (legal

26 Bengt Broms, State, dalam Mohammed Bedjaoui, International Law: Achievements and Prospects, UNESCO, Martinus Nijhoff publ., Paris, 1991, hlm. 44.

27 Malcolm N. Shaw, dalam Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 107.

independence ) jika wilayahnya tidak berada di bawah otoritas berdaulat yang sah dari negara lain. 28 Kemampuan untuk melakukan

hubungan dengan negara lain adalah kemampuan dalam pengertian yuridis berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan kemampuan secara fisik. Oppenheim Lautherpacht menggunakan kalimat pemerintah harus berdaulat, yaitu kekuasaan tertinggi yang

merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. 29

III. Kedaulatan Negara

Kedaulatan adalah hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau diri sendiri. Konsep kedaulatan berkaitan dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya di dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu, terkait dengan berbagai organisasi atau

lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum. 30 Pernyataan ini mengandung suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu negara yang merdeka

memiliki kewenangan atau kekuasaan secara eksklusif dan bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan

28 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 106.

29 Ibid 30 Kedaulatan berasal dari kata daulat yang artinya kekuasaan atau pemerintahan, lihat

http://providert.blogspot.com/2010/02/makna-kedaulatan-rakyat.html; lihat pula Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1988.

kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan negara lain dan hukum internasional. 31

Kedaulatan merupakan terjemahan dari kata sovereignty (Bahasa Inggris) atau souverinete (Bahasa Perancis) atau sovranus (Bahasa Italia). Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut Negara, sebagai ciri khusus dari Negara. Menurutnya, kedaulatan merupakan hal pokok dari setiap kesatuan politik yang disebut Negara. Kedaulatan mengandung

satu-satunya kekuasaan yang: 32

a. Asli, yaitu tidak diturunkan dari suatu kekuasaan lain;

b. Tertinggi, yaitu tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaannya;

c. Bersifat abadi atau kekal;

d. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi;

e. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada badan lain.

Negara berdaulat adalah Negara yang mampu dan berhak mengurus kepentingan dalam negeri ataupun luar negeri tanpa

bergantung pada suatu Negara lain. 33 Kelebihan Negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional

lainnya adalah Negara memiliki apa yang disebut kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan yang berarti kekuasaan tertinggi pada awal mulanya diartikan sebagai suatu kebulatan dan keutuhan yang tidak dapat

31 Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 169. 32 Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Pustaka Setia,

Bandung, 2013, hlm. 124. 33 Ibid Bandung, 2013, hlm. 124. 33 Ibid

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kedaulatan merupakan kata yang sulit diartikan karena orang memberi arti yang berlainan. Menurut sejarah, asal kata kedaulatan, kata ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah sovereignty yang berasal dari kata latin superanus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Negara berdaulat yang dimaksud adalah bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan

tertinggi. 34 Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan

tertinggi. Negara berdaulat memang berarti Negara tersebut tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya, walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batas. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah Negara itu, artinya suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Di luar wilayahnya, suatu Negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Misalnya, Negara A berbatasan dengan Negara B, maka di luar batas wilayah Negara A itu, tegasnya di wilayah Negara B, bukan Negara A melainkan B-lah yang memiliki kekuasaan tertinggi.

34 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Putra abardin, Jakarta, 1999, hlm. 13.

Jadi pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu: 35

a. Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah Negara yang memiliki kekuasaan itu; dan

b. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu Negara lain mulai. Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain

kemerdekaan (independence) juga paham persamaan derajat (equality), artinya bahwa Negara-negara yang berdaulat itu masing-masing merdeka, artinya yang satu bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya. Dilihat secara demikian maka tiga konsep atau pengertian ini yaitu kedaulatan, kemerdekaan, dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu sama lain bahkan kemerdekaan dan persamaan derajat Negara merupakan bentuk perwujudan dan pelaksanaan pengertian

kedaulatan dalam arti yang wajar. 36 Pengertian kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat,

merupakan suatu pengertian yang mempunyai fungsi yang sangat penting dalam mewujudkan suatu masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional sebagai suatu kenyataan. Hubungan antara Negara- negara atau hubungan internasional yang teratur tidak mungkin tanpa

35 Idem, hlm. 14. 36 Idem, hlm. 15.

menerima pembatasan terhadap kedaulatan Negara yang menjadi anggota masyarakat itu.

Kedaulatan suatu negara sering dikaitkan dengan permasalahan sejauh mana negara tersebut memiliki kewenangan dalam menjalankan kebijakan atau kegiatan-kegiatan kenegaraannya. Negara berwenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya. Kedaulatan terbagi atas dua konsep yaitu kedaulatan berdasarkan jangkauan (scope) dan kedaulatan berdasarkan atas konsep wilayah (territorial) suatu negara, sebagai berikut :

1. Kedaulatan berdasarkan jangkauan (scope) Kedaulatan mencakup suatu bentuk hubungan tertentu di dalam suatu negara yang merdeka, yaitu independensi dan supremasi. Dua aspek tersebut sering disebut sebagai kedaulatan eksternal (external sovereignty) dan kedaulatan internal (internal sovereignty). Kedaulatan eksternal dan kedaulatan internal tidak diperoleh dengan cara yang mudah melainkan dengan perjuangan melalui berbagai instrumen seperti persuasi, negosiasi, sampai dengan kekerasan.

a. Kedaulatan eksternal ( independensi ) Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan internasional dengan berbagai negara atau kelompok lain tanpa a. Kedaulatan eksternal ( independensi ) Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan internasional dengan berbagai negara atau kelompok lain tanpa

interaksi internasional dengan negara-negara lainnya. 37

Suatu Negara dalam menjamin keberadaan kedaulatan eksternalnya harus memiliki: 38

1) Sebuah jurisdiksi (kewenangan) atas wilayah dan warga negara yang mendiaminya.

2) Sebuah prinsip non-intervensi, yaitu kewajiban bagi negara- negara lain untuk tidak campur tangan atas persoalan yang terjadi di wilayah tersebut, yang ditegaskan dengan rumusan International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS), sebagai berikut: The concept is normally used to encompass all matters in which state is permitted by international law to decide an act without intrusions from other state .

3) Pengakuan dari negara-negara lain yang sederajat, karena dengan pengakuan berarti negara tersebut berhasil

37 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kedua, Cetakan I, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm. 34.

38 Idem, hlm. 35.

meyakinkan negara lain bahwa kedaulatan yang dimilikinya merupakan sesuatu yang sah.

b. Kedaulatan internal (supremacy) Kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga negaranya, cara kerja lembaga negara, hak untuk membentuk undang-undang dasar (konstitusi) tanpa ada campur tangan atau intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan atau ketundukan dari rakyatnya (obedience in social society), dan memiliki kewenangan sendiri untuk memutus persoalan-persoalan yang timbul di dalam jurisdiksinya. Secara singkat kedaulatan internal suatu Negara dapat dijamin apabila Negara tersebut memiliki sumber-sumber hukum seperti: Constitution, Statutes, Regulation, dan Customs . Constitution adalah dasar suatu negara, yang merupakan sesuatu yang lebih luas yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis (written law) maupun yang tidak tertulis (unwritten law) yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam

suatu masyarakat. 39 Statutes adalah undang-undang sedangkan Regulations peraturan-peraturan yang pembuatannya telah

39 Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, dalam Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Nusamedia, 2007, hlm. 36.

melalui power delegation dari badan legislatif kepada badan eksekutif. Customs merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikkan dalam masyarakat dan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis. Kedaulatan internal juga sering disebut dengan istilah supremasi negara atau kedaulatan ke dalam. Supremasi negara itu berada pada struktur hierarkis (instrumen pemerintah, hukum, dan perundang-undangan) yang digunakan untuk menyelenggarakan otoritas negara.

2. Kedaulatan berdasarkan konsep wilayah (territorial) Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan penuh yang dimiliki oleh suatu negara dalam hal melaksanakan jurisdiksi (kewenangan) secara eksklusif di wilayah negaranya, yang mana di dalam wilayah tersebut negara memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan dan menegakkan hukum nasionalnya (exercise and enforce law). Hal ini menandakan bahwa setiap individu yang mendiami suatu wilayah tertentu haruslah tunduk dan patuh kepada kekuasaan hukum dari

negara yang memiliki wilayah tersebut. 40

40 Huala Adolf, Op.cit., hlm. 115.

Secara geografis, kedaulatan teritorial mencakup 3 (tiga) wilayah dasar, yaitu wilayah tanah atau daratan, wilayah laut, dan wilayah udara. Beberapa macam rezim status wilayah dikenal dalam

kedaulatan wilayah (territorial), sebagai berikut: 41

a. Status wilayah mandat Wilayah mandat adalah wilayah yang tidak mandiri atau belum mampu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak asing tanpa ada dukungan dari negara yang mendukungnya. Kedaulatan suatu negara tidak dikenal dalam wilayah mandat karena wilayah tersebut belum merdeka dan mandiri. Istilah wilayah mandat sering digunakan pada waktu Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai refleksi dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi sekarang tidak lagi ditemukan wilayah mandat.

b. Status wilayah Terra Nullius Terra Nullius adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu wilayah atau aset yang belum dimiliki oleh siapapun dan dapat dimiliki oleh siapapun juga (wilayah tak bertuan). Penguasaan atas wilayah Terra Nullius biasanya bisa dilakukan dengan penemuan wilayah baru (discovery). Benua Amerika sebelum ditemukan oleh Christoper Columbus tergolong ke dalam wilayah Terra Nullius.

41 Mirza Satria Buana, Op.Cit., hlm. 38-40.

c. Status wilayah Terra Communis Terra Communis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan suatu wilayah yang wilayahnya atau aset yang dikandungnya tidak bisa dimiliki oleh siapapun juga dan merupakan milik bersama umat manusia karena menyangkut hajat hidup orang banyak (a heritage for humankind). Contohnya: wilayah Antariksa yang diatur dalam Space Treaty 1967 tentang prinsip-prinsip yang mengatur aktivitas-aktivitas negara-negara dalam kaitannya dengan eksploitasi ruang angkasa. Ketentuan Traktat tersebut tercantum dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut: Outer space including moon and other celestial bodies is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by mean of use or occupation by any other mean.

B. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional

I. Pengertian Sengketa Internasional

Menurut J.G. Merills, sengketa dapat didefinisikan sebagai perselisihan mengenai masalah fakta, hukum atau politik dimana suatu tuntutan atau pernyataan pihak dapat ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lain. Sengketa internasional dalam arti yang lebih luas dikatakan ada apabila perselisihan itu melibatkan pemerintah, lembaga, juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang Menurut J.G. Merills, sengketa dapat didefinisikan sebagai perselisihan mengenai masalah fakta, hukum atau politik dimana suatu tuntutan atau pernyataan pihak dapat ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lain. Sengketa internasional dalam arti yang lebih luas dikatakan ada apabila perselisihan itu melibatkan pemerintah, lembaga, juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang

A specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another.

Konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara para pihak-pihak yang seringkali tidak fokus. setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute). Sengketa Internasional dapat diartikan sebagai sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu Negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antar Negara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa

melibatkan banyak aktor non Negara. 44 Menurut Starke, sengketa internasional adalah sengketa yang

terjadi antara Negara dengan Negara, Negara dengan Individu, badan korporasi serta badan-badan bukan Negara di pihak lain. Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua Negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai

42 Achmad Fauzan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986, hlm. 1. 43 Sefriani, Op.cit., hlm. 322. 44 Ibid 42 Achmad Fauzan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986, hlm. 1. 43 Sefriani, Op.cit., hlm. 322. 44 Ibid

…whether there exist an international dispute is a matter for objective determination. The mere denial of existence of a dispute does not

prove it’s nonexistence .. there has thus arisen a situation in which the two sides hold clearly opposite views concerning the question of the performance or nonperformance of treaty obligations. Confronted with such a situation, the court must conclude that international dispute has arisen.

Hukum internasional mempunyai peranan besar dalam menyelesaikan sengketa internasional. Pada prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan antar negara terjalin lewat ikatan persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan. Hukum Internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya dan memberikan pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara, prosedur atau upaya yang sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya. Dikenal adanya dua macam sengketa internasional dalam studi hukum internasional yaitu sengketa hukum dan sengketa politik yang sebenarnya tidak ada kriteria yang jelas dan diterima umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Sengketa hukum adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk ukuran suatu sengketa internasional manakala sengketa tersebut dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional.

Menyangkut substansi sengketa tersebut beberapa pakar mencoba untuk memisahkan antara sengketa hukum (Legal dispute) dan sengketa politik (Political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa

karakteristik sengketa hukum, sebagai berikut: 45

1. Capable of being settled by the application of certain principles and rules of international law

2. Influenced vital interest of State such as territorial integrity

3. Implementation of the existing international law enough to raise a justice decision and support to progressive international relation

4. The dispute related with legal rights by claims to change the existing rule.

Selanjutnya Oppenheim-Kelsen mengemukakan : All dispute have their political aspects by the very fact that they concern

relation between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to be a legal nature might involve highly important political interests of the states concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction be a political character more often than not

concern the application of a principle or a norm of international law. 46

Menurut Waldock, penentuan suatu sengketa menjadi sengketa politik atau hukum tergantung dari para pihak. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya jika sengketa tersebut membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya

pelucutan senjata, maka sengketa tersebut adalah sengketa politik. 47

45 Idem, hlm. 192 46 Idem, hlm. 323

47 Aryuni Yuliantiningsih, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2011, hlm. 72-73.

Melihat pada pendapat ketika pakar tersebut adalah tidak mudah untuk memisahkan secara tegas antara sengketa hukum dengan sengketa politik. Hal ini berarti semua sengketa yang dapat diselesaikan menggunakan prinsip-prinsip juga aturan-aturan hukum internasional, menyangkut hak-hak yang dijamin oleh hukum internasional merupakan sengketa hukum. Hal ini juga senada dengan apa yang tertera dalam Statuta Mahkamah Internasional bahwa Mahkamah Internasional memiliki kewenangan menyelesaikan segala sengketa hukum yaitu: the sense of a dispute capable of being settled by the application of principles and rules

of international law. 48 Selanjutnya Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional

menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat diajukan ke Mahkamah menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Interpretation of treaty

2. Any question of international law

3. The existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an international obligation

4. The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation.

II. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional

Pada umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori: 49

48 Dedi Supriyadi, Op.cit., hlm. 193. 49 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh- Buku kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, 1988, hlm. 646.

a. Cara-cara penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.