PENDEKATAN EXPRESSIVE WRITING DALAM PSIKOTERAPI

PENDEKATAN EXPRESSIVE WRITING
DALAM PSIKOTERAPI
Disusun untuk memenuhi tugas ujian tengah semester mata kuliah Pengantar Psikoterapi

\\

Disusun Oleh :

Dewi Innayatun

15010110130098

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ Pendekatan Expressive

Writing dalam Psikoterapi ”.
Makalah ini disusun secara khusus sebagai tugas mata kuliah Masalah-masalah
Psikologis Remaja. Penulis menyadari makalah ini dapat terselesaikan dengan baik berkat
bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini hingga dapat selesai dengan baik.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna
baik segi materi maupun penulisannya. Walaupun penulis telah berupaya untuk membuat
makalah ini dengan sebaik-baiknya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.

Semarang, 1 Mei 2013

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Istilah psikoterapi berasal dari dua kata, yaitu "psiko" dan "terapi’. Psiko
mempunyai arti mental atau kejiwaan, sedangkan terapi mempunyai arti penyembuhan
atau usaha. Subandi (2002; dalam Laily, 2012) mendefinisikan psikoterapi sebagai proses
formal interaksi antara dua pihak atau lebih, yang satu sebagai penolong, dan yang satu
lagi sebagai petolong atau orang yang ditolong, dengan catatan bahwa interaksi antara
dua pihak tersebut menuju pada suatu perubahan atau penyembuhan. Perubahan tersebut
dapat berupa perubahan rasa, pikir, perilaku, maupun perubahan kebiasaan sebagai hasil
dari penerapan teknik-teknik penyembuhan tertentu dari penolong. Psikoterapi juga
didefinisikan oleh Proschaska & Norcross (2007; dalam Nurfazrina, 2012) sebagai proses
yang digunakan profesional dibidang kesehatan mental untuk membantu mengenali,
mendefinisikan, dan mengatasi kesulitan interpersonal dan psikologis yang dihadapi
individu dan meningkatkan penyesuaian diri mereka.

Beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung
pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari; pakar lain merasa
bahwa individu dapat belajar mengatasi masalahnya tanpa harus menjajaki faktor yang
menjadi penyebab masalah mereka. Walaupun terdapat berbagai perbedaan teknik,
kebanyakan metode psikoterapi memiliki ciri dasar yang serupa. Teknik tersebut meliputi

komunikasi antara dua individu – klien (penderita) dan pakar terapi. Klien didorong
untuk mengungkapkan rasa takut, emosi, dan pengalamannya secara bebas tanpa merasa
takut dinilai atau dicemoohkan oleh pakar terapi. Sebaliknya pakar terapi tersebut
menunjukkan simpati dan perhatian, serta mencoba membantu klien mengembangkan
cara yang lebih efektif untuk menangani masalah.

Banyak pendekatan yang dikenal dalam psikoterapi, di antaranya pendekatan
gestalt, pendekatan kognitif, prosedur relaksasi, meditasi, teknik pelatihan keterampilan
sosial, ekspresi wajah positif, sampai teknik ekspressive writing. Expressive writing
merupakan teknik konseling naratif. Konseling naratif ini digagas oleh White dan Epston
pada tahun 1990 dengan sebuah gagasan yang dikenal dengan pengeksternalissian
masalah, memisahkan individu dari masalah, dan menjadikan masalah sebagai masalah
yang berada di luar diri individu, (Himcyoo, 2013).

Di makalah ini, penulis tertarik membahas ekspressive writing sebagai salah satu
pendekatan dalam psikoterapi karena dari penelitian yang dilakukan oleh O’Connor, dkk
(2003; Dalam Fikry, 2012) membuktikan bahwa terapi menulis mampu meningkatkan
perawatan diri bagi individu yang mengalami kesedihan mendalam karena menulis
digunakan sebagai media untuk membuka diri sehingga individu tersebut lebih mampu
untuk melakukan rawat diri dengan lebih baik. Pennebaker (1997; Dalam Qonitatin, dkk.,

2011) menyatakan bahwa menulis pengalaman emosional atau menulis peristiwa yang
penuh tekanan (stressful events) telah menjadi kajian yang menarik pada beberapa tahun
belakangan ini.

A. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apakah definisi expressive writing?
2. Apa sajakah karakteristik expressive writing?
3. Apakah tujuan dari expressive writing?
4. Apakah manfaat dari expressive writing?
5. Bagaimana proses melakukan expressive writing?
6. Apa sajakah yang perlu diperhatikan terapis dalam expressive writing?

B. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui :
1. Apakah definisi expressive writing?
2. Apa sajakah karakteristik expressive writing?
3. Apakah tujuan dari expressive writing?

4. Apakah manfaat dari expressive writing?
5. Bagaimana proses melakukan expressive writing?
6. Apa sajakah yang perlu diperhatikan terapis dalam expressive writing?

BAB II
TEORI

Homcyoo (2013), mengumakakan bahwa teknik expressive writing merupakan salah satu
pendekatan psikoterapi yang menggunakan media buku catatan pribadi atau sering dikenal
dengan nama diary. Menulis ekspresif diarahkan kepada keterampilan berkomunikasi melalui
tulisan dalam menyampaikan apapun yang dirasakan, dipikirkan, dan diinginkan tanpa takut
disalahkan oleh orang lain. Teknik ini dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam mereduksi
stres pada remaja yang cenderung ingin menyelesaikan dan menyimpan masalahnya sendiri
tanpa campur tangan orangtua.
Baikie dan Wilhelm (2006; dalam Fikri, 2012) juga melakukan penelitian menggunakan
terapi menulis untuk penderita depresi. Hasilnya adalah terapi menulis dinilai baik dan
bermanfaat oleh para peserta karena mampu mengurangi kecemasan dan perbaikan suasana hati.
Penelitian Smyth (2008; dalam Fikry, 2012) tentang terapi menulis membuktikan bahwa terapi
menulis mampu memperbaiki suasana hati dan pertumbuhan yang positif pasca trauma bagi para
PTSD, meskipun efek terapinya tidak mampu menurunkan tingkat keparahan gejala PTSD.

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan terapi menulis yaitu terapi menulis
pengalaman emosional diantaranya penelitian Susilowati (2009; dalam Fikry, 2012)
menggunakan terapi menulis pengalaman emosional untuk menurunkan depresi pada mahasiswa
tahun pertama. Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi menulis pengalaman emosional
merupakan sarana bantu diri yang terbukti efektif menurunkan depresi pada mahasiswa tahun
pertama. Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Siswanto (2002; dalam Fikry, 2012) yang
menggunakan terapi menulis pengalaman emosional untuk menurunkan simptom-simptom
depresi pada mahasiswa, hasilnya adalah terapi menulis pengalaman emosional merupakan
mekanisme proses teraupetik yang berpusat pada proses penyingkapan diri.
Kaloeti (2007; dalam Fikry, 2012) juga melakukan penelitian menggunakan terapi
menulis pengalaman emosional untuk mengelola stres pada penyalahguna NAPZA, dan hasil
penelitian menunjukkan bahwa menulis pengalaman emosional dapat menurunkan tingkat distres

karena membantu individu untuk belajar membuka diri, bersentuhan dengan diri pribadi dan
mengenal emosinya dengan lebih baik. Gorelick (Malchiodi, 2005; dalam Fikry, 2012)
menyatakan bahwa salah satu tujuan dari terapi menulis termasuk diantaranya untuk
mengekspresikan emosi-emosi yang berlebihan atau luar biasa dan untuk mengurangi tekanan.
Hasil wawancara dari para partisipan mengatakan bahwa salah satu diantara manfaat yang
dirasakan setelah menulis yaitu rasa marah berkurang, menjadi lega dan lebih tenang karena
sudah mengungkapkan emosinya melalui buku.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Definisi Expressive Therapy

Expressive writing merupakan salah satu bentuk terapi yang digunakan untuk
menurunkan emosi negatif. Expressive writing yaitu membicarakan pengalaman yang
menggusarkan atau kejadian traumatis mengenai emosi yang tersembunyi untuk
mendapatkan wawasan dan cara penyelesaian dari trauma (Breuer , 1895; Freud,
1966, dalam Pennebaker , 2002).

Seseorang yang melakukan expressive writing akan belajar menyatukan isi
pikirannya, mengingat peristiwa traumatis yang pernah dialami untuk dihadirkan
kembali ke dalam pikiran, memilih hal-hal yang ingin disampaikan melalui tulisan,
dan melatih emosi agar terbiasa menghadapi kembali peristiwa yang awalnya
dianggap traumatis (Pennebaker, 2002). Semakin sering menulis, diharapkan orang
yang bersangkutan akan memperoleh gambaran tentang peristiwa traumatisnya secara
menyeuruh, sehingga semakin memahami peristiwa tersebut, berpikir luas dan
integrative, mampu melakukan refleksi diri, dan akhirnya memandang peristiwa

traumatis tersebut dari sudut pandang yang berbeda sehingga mampu menemukan
penyelesaiannya (Pennebaker, 2002).

Memahami sebab-sebab suatu peristiwa yang mengganggu bersama dengan
sikap refleksi diri merupakan prasyarat utama untuk memperoleh peningkatan kesehatan
(Pennebaker, 2002). Individu yang telah mampu memahami apa yang terjadi
padanya akhirnya menyadari bahwa tidak semua yang terjadi adalah murni dari
kesalahannya sehingga ia akan mampu melihat dirinya secara lebih positif. Hal
tersebut juga dapat meningkatkan konsep diri individu, di mana konsep diri
diketahui berpengaruh terhadap penurunan depresi (Bibring, 1953; Jacobson, 1953,
dalam Beck, 1967; Sukmawati & Yuniati, 2008). Ketika konsep diri meningkat,

maka sikap negatif tentang diri sendiri, dunia sekitar, dan masa depan akan
berkurang sehingga depresi menurun.

B. Karakteristik Expressive Writing

Karakteristik expressive writing yaitu partisipan menulis pengalaman traumatis
dalam hidupnya, waktu pelaksanaan selama 3-4 hari berturut-turut atau lebih sesuai
tujuan penelitian dengan durasi 15-30 menit setiap kali menulis, tidakada umpan

balikyang diberikan, partisipan bebas menulis pengalaman traumatis yang pernah
mereka alami, dan efek langsung yang dirasakan oleh sebagian besar partisipan
ketika mengingat pengalaman traumatisnya antara lain menangis atau sangat marah
(Slatcher & Pennebaker , 2005; dalam Murty & Hammida, 2012).

C. Tujuan Expressive Writing
Horn, dkk. (Astri Shabrina : 2011) pada jurnal “Promoting Adaptive Emotion
Regulation and Coping in Adolescence: A School-based Programme” mengungkapkan
expressive writing pada remaja terbukti efektif sebagai salah satu cara regulasi emosi.
Hasil penelitian Horn dkk ini menunjukkan bahwa program expressive writing terbukti
efektif dalam menurunkan afeksi negatif pada remaja, juga terbukti menurunkan
frekuensi ketidakhadiran siswa di sekolah. Selain itu, penelitian ini juga mengungkap
bahwa subjek banyak menuliskan tentang topik emosional seperti tentang hubungan
romantis dengan pasangan, masalah broken heart, yang sering muncul pada masa remaja.
Sehingga dalam penelitian tersebut dapat diintisarikan bahwa expressive writing
bertujuan untuk mereduksi stress melalui regulasi emosi terhadap hubungan-hubungan
sosial dengan orang lain. Pengalaman-pengalaman buruk yang dialami seseorang akibat
hubungan dengan orang lain mengendap kemudian menjadikan seseorang mengalami
stress.


Teknik menulis ekspresif dianggap mampu mereduksi stres karena saat individu
berhasil mengeluarkan emosi-emosi negatifnya (perasaan sedih, kecewa, berduka) ke
dalam tulisan, individu tersebut dapat mulai merubah sikap, meningkatkan kreativitas,
mengaktifkan memori, memperbaiki kinerja dan kepuasan hidup serta meningkatkan
kekebalan tubuh agar terhindar dari psikosomatis. Hal ini senada seperti yang
diungkapkan Menulis tak dapat dipisahkan dengan kata-kata, dan ini ternyata terbukti
secara ilmiah memiliki kekuatan, serta merupakan strategi membantu diri sendiri untuk
melakukan penyesuaian dengan stres (a self help strategy for coping with stress). Hal ini
senada dengan ungkapan Pennebaker (1997: 162) bahwa “Penerjemahan pengalaman
(pahit) ke dalam bahasa akan mengubah cara orang berpikir mengenai pengalaman itu.
Menulis ekspresif menyediakan peluang bagi individu untuk memantulkanperasaannya
secara emosional dalam bentuk peningkatan penggunaan kata-kata penyampaian emosi
selama interaksi sosial, peningkatan penyampaian emosi tersebut akan meningkatkan
perbaikan dalam stabilitas hubungan.”

D. Manfaat Expressive Writing

Pannebaker (1997;162) mengungkapkan terapi dengan teknik expressive writing
ini terbukti bermanfaat secara signifikan empat bulan kemudian.


Pannebaker

menemukan bukti bahwa sel-sel T-limfosit para mahasiswa menjadi lebih aktif enam
pekan setelah mereka menulis peristiwa-peristiwa yang menekan. Salah suatu indikasinya
adalah adanya stimulasi sistem kekebalan. Orang yang menulis tentang peristiwaperistiwa yang berarti atau traumatis dapat meningkatkan kesehatan, fungsi organ,
kekebalan tubuh, aktivitas hormonal, memerbaiki penyakit, dan meredakan stres mereka.
Adapun mereka yang hobinya menulis tentang topik-topik emosional tak hanya
memperbaiki kesehatan namun juga mengubah interaksi di antara orang-orang saat
berbicara tentang situasi.
Terapi menulis belum begitu dikenal kalangan medis dan masyarakat awam di
Indonesia, padahal terapi ini banyak manfaatnya dan tidak memiliki efek samping.
Berbagai riset lain tentang manfaat terapi menulis telah dibuktikan oleh para ilmuwan di

Amerika Serikat dan Inggris. Bila di Amerika Serikat riset ini dilakukan di University of
Texas, maka di Inggris the Arts Council of England siap mendanai proyek terapi menulis
yang dilakukan oleh Gillie Bolton di King’s College, London. Smyth JM, dkk (1999)
menyebutkan manfaat terapi menulis, antara lain: membantu meringankan gejala
penyakit asma dan rheumatoid arthritis (radang sendi akibat rematik). Baikie KA dan
Wilhelm K (2005), juga meneliti manfaat jangka panjang dari menulis dengan metode
expressive writing. Menurut penelitian itu, terapi ini antara lain bisa meningkatkan dan
memerbaiki suasana hati (mood), fungsi sistem imun (kekebalan tubuh), memperbaiki
fungsi paru-paru (terkhusus penderita asma), kesehatan fisik dan nyeri (terutama pada
penderita kanker), fungsi hati, menurunkan tekanan darah, mengurangi ketegangan yang
berkaitan dengan harus kembali ke dokter, mengurangi gejala-gejala depresi, mengurangi
dampak negatif setelah trauma.

Adapun manfaat secara sosial dan perilaku dari expressive writing antara lain :
1. Mengurangi ketidakhadiran di dalam bekerja
2. Mengubah perilaku linguistik dan sosial
3. Menaikkan rata nilai rapor anak sekolah atau atau IPK mahasiswa
4. Meningkatkan memori/daya ingat yang sedang bekerja
5. Meningkatkan prestasi dan sportivitas di semua bidang kehidupan.
Pennebaker (2002), menunjukkan

syarat tulisan

yang

bermanfaat

bagi

penulisnya antara lain :
1. Semakin banyak penggunaan kata-kata yang beremosi positif seperti bahagia,
cinta, baik, dan tertawa.
2. Kata-kata dengan kandungan emosi negatif yang jumlahnya sedang (tidak
banyak atau sedikit) seperti marah, terluka, dan pengalaman buruk.
3. Menggunakan
pemikiran

lebih

kausal

banyak

kata-kata

kognitif pada

(sebab, akibat, alasan)

(memahami, menyadari, mengetahui).

dan

hari

terakhir

seperti

wawasan atau refleksi diri

4. Membangun kisah yang jelas, koheren, dan terorganisir dengan baik pada hari
terakhir melakukan expressive writing.

E. Proses Terapi
Ada dua cara melakukan expressive writing, menurut Pennebaker (2005),
Expressive writing dilakukan dengan klien menulis pemikiran dan perasaan terdalam
tentang pengalaman yang paling traumatis di sepanjang kehidupan, permasalahan, emosi
yang telah mengubah diri dan hidup. Waktu pelaksanaan selama 3-4 hari berturut-turut
dengan durasi 15-30 menit setiap kali menulis, tidak ada umpan balik yang diberikan,
klien bebas menulis pengalaman traumatis yang pernah mereka alami, dan efek langsung
yang dirasakan oleh sebagian besar partisipan ketika mengingat pengalaman traumatisnya
antara lain menangis atau sangat marah. Lebih lanjut dr. Dito Anugroho mengatakan
bahwa tulisan dapat bercerita tentang hubungan dengan orang tua, kekasih, sahabat; dapat
terjadi di masa lalu, masa kini, atau impian di masa depan. Klien juga dapat menuliskan
berbagai permasalahan umum atau berbagai pengalaman, boleh sama, boleh berbeda,
selama empat hari menulis.
Sementara itu, rekomendasi Gillie Bolton di dalam buku “The Therapeutic
Potential of Creative Writing” yang diterbitkan oleh Jessica Kingsley Publishers, tentang
teknik therapeutic writing cukup unik dan menarik. Caranya yaitu dengan memulai dari
“sampah pikiran” (mind dump) dalam waktu enam menit. Klien menuliskan apa saja yang
ada di pikiran tanpa melakukan editing serta tidak memperhatikan tata bahasa, diksi, dan
EYD. Klien terus menerus menulis tanpa berhenti. Setelah itu, klien dapat berfokus pada
suatu tema atau pokok bahasan tertentu. Klien memilih sesuatu hal yang nyata, bukan
yang abstrak. Misalnya, kenangan di masa anak-anak, peristiwa terpenting atau terindah
di dalam kehidupanmu, dsb. Klien mendeskripsikan secara detail. Konselor perlu
menekankan bahwa klien dapat menulis secara bebas, mengalir saja di dalam menulis,
tanpa ada batasan dan gaya tertentu.

F. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Terapis dalam Expressive Writing
Seperti pada proses konseling pada umumnya, konseling naratif dilakukan dalam
suasana yang hangat (warm). Konselor perlu melakukan rapport awal pertemuan. Hal ini
sejalan dengan manfaat utama dari expressive writing ialah mereduksi emosi dan stress
secara bertahap. Oleh karena itu, peranan terapis dalam menciptakan hubungan
emosional yang membangun adalah sangat penting.
Hal yang perlu diperhatikan kemudian ialah bahwa terapis hendaknya tidak
terlepas dari budaya-budaya lokal dimana klien tinggal. Terapis perlu menyadari bahwa
budaya berperan cukup penting di dalam kepribadian klien. Hal ini seringkali tampak
misalkan pada saat klien diminta untuk menulis, klien pada umumnya bingung untuk
menulis apa yang ingin dituliskan. Sehingga terapis berperan dalam memberikan model
expressive writing, dan perlu untuk memberikan instruksi secara jelas dan bertahap.
Salah satu poin yang juga penting dalam expressive writing ialah kebebasan klien
dalam menuliskan apapun yang klien ingin tulis tanpa membatasi. Hal ini berarti bahwa
tulisan klien bebas dari segala macam aturan menulis dan gaya penulisan. Klien bebas
mengutarakan emosi-emosi dalam menulis. Sehingga terapis perlu memberikan batas
waktu maksimal dalam menulis sebab klien pada umumnya membutuhkan sedikit waktu
untuk berpikir. Motivasi dan dukungan penuh dari terapis mendorong klien untuk berani
mengutarakan apa ada dipikirannya tanpa malu-malu.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Expressive writing merupakan salah satu bentuk terapi yang digunakan untuk
menurunkan emosi negatif. Karakteristik expressive writing yaitu partisipan

menulis

pengalaman traumatis dalam hidupnya, waktu pelaksanaan selama 3-4 hari berturut-turut
atau lebih sesuai tujuan penelitian dengan durasi 15-30 menit setiap kali menulis. expressive
writing bertujuan untuk mereduksi stress melalui regulasi emosi terhadap hubungan-hubungan
sosial dengan orang lain. Pengalaman-pengalaman buruk yang dialami seseorang akibat
hubungan dengan orang lain mengendap kemudian menjadikan seseorang mengalami stress.
Manfaat dari expressive writing menurut penelitian Baikie KA dan Wilhelm K (2005),
bisa meningkatkan dan memerbaiki suasana hati (mood), fungsi sistem imun (kekebalan tubuh),
memperbaiki fungsi paru-paru (terkhusus penderita asma), kesehatan fisik dan nyeri (terutama
pada penderita kanker), fungsi hati, menurunkan tekanan darah, mengurangi ketegangan yang
berkaitan dengan harus kembali ke dokter, mengurangi gejala-gejala depresi, mengurangi
dampak negatif setelah trauma.
Ada dua cara melakukan expressive writing, menurut Pennebaker (2005), Expressive
writing dilakukan dengan klien menulis pemikiran dan perasaan terdalam tentang pengalaman
yang paling traumatis di sepanjang kehidupan, permasalahan, emosi yang telah mengubah diri
dan hidup. Yang perlu diperhatikan terapis dalam expressive writing ialah kebebasan klien dalam
menuliskan apapun yang klien ingin tulis tanpa membatasi. Hal ini berarti bahwa tulisan klien
bebas dari segala macam aturan menulis dan gaya penulisan.

DAFTAR PUSTAKA

Anurogo,
Dito.
2012.
Manfaat
dari
Terapi
Menulis.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/11/182882/Manfaatdari-Terapi-Menulis. (Diunduh pada tanggal 29 Maret 2013)
Fikry, H. T. 2012. Pengaruh Menulis Pengalaman Emosional dalam Terapi Ekspresif Terhadap
Emosi Marah pada Remaja. Humanitas. Vol. IX (No. 2). Halaman 103 – 122
Jelita,

Laily.
2012.
Aktifitas
Menulis
Sebgai
http://lailyjelita.blogspot.com/2012/06/aktivitas-menulis-sebagai-terapi.html
pada tanggal 29 Maret 2013)

Terapi.
(Diunduh

Himcyoo. 2013. Expressive Writing Sebagai Alternatif Pemecahan Masalah.
http://himcyoo.wordpress.com/2013/04/07/expressive-writinf-sebagai-alternatifpemecahan-masalah-pribadi-sosial/ (Diunduh pada tanggal 29 Maret 2013)
Murty, R. D. & Hamidah. Pengaruh Expressive Writing terhadap Penurunan Depresi pada
Remaja SMK di Surabaya. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Vol. 1 (No.
02). Halaman 94 – 100
Pennebaker , J.W . 2002. Ketika diam bukan emas: Berbicara dan menulis sebagai
terapi. Bandung: Mizan.
Qonitatin, N., dkk. 2011. Pengaruh Katarsis Dalam Menulis Ekspresif Sebagai Intervensi
Depresi Ringan pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi Undip Vol. IX (No. 1). Halaman 21 –
32
Shabrina, Asri. Regulasi Emosi. http://astrishabrina.blogspot.com/2011_07_01_archive.html
(Diunduh pada tanggal 29 Maret 2013)