1 PERAN INTELEKTUAL MUSLIM DALAM MEWUJUD

PERAN INTELEKTUAL MUSLIM
MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL BAGI
MASYARAKAT DI TENGAH SISTEM
KAPITALISTIK
PRESENTASI DI UIN-SGD BANDUNG
Cesillia Aida
16 April 2013

PENGANTAR
Siapakah Intelektual


Intelektual : 1 n cerdas, berakal, dan berpikiran jernih
berdasarkan ilmu pengetahuan; 2 n (yg) mempunyai
kecerdasan tinggi; cendekiawan; 3 n totalitas pengertian
atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan
pemahaman.



Dikatakannya, bahwa interlegos merupakan asal kata dari

intelektual. Jadi, interlegos sama saja artinya dengan
intelektual. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Badudu, et. al, 1996), intelektual diidentikkan dengan
kaum intelek, kaum terpelajar. Sedangkan di dalam Kamus
Bahasa Inggeris-Indonesia (John M.Echols, et. al, 1989),
intellectual diartikan sama dengan cendekiawan, cerdik
pandai.

PENGANTAR
3 fondasi pokok seorang Intelektual


Pertama, paham secara mendalam. Menggunakan kecerdasan untuk menganalisa berbagai
masalah. Ketajaman pisau critical thinking-nya ditumbuhkembangkan, misalnya bagaimana
mendeskripsikan (describe) suatu permasalahan dengan baik, bagaimana menganalisa
(analyse), membandingkan (compare), membuat sintesis (synthesise), serta melakukan evaluasi
(evaluate) terhadap suatu permasalahan.




Kedua, prihatin sepenuh hati. Seorang intelektual sejati tidak mejadikan dirinya eksklusif dan
terangsing dari lingkungannya. Sebaliknya, dia selalu mengikuti perkembangan yang terjadi.
Berbekal kebiasaannya untuk selalu mengasah dan mengisi diri, maka ia mampu melihat
persoalan-persoalan pada berbagai aspek kehidupan dengan lebih lengkap dan tajam. Tidak
cukup dengan melihat fenomena-fenomena yang tampak di permukaan, dia juga melihat akar
permasalahannya. Tidak hanya bertanya ‘apa’ yang terjadi, bahkan juga ‘mengapa’ dan
‘bagaimana’ sesuatu permasalahan itu muncul. Sang intelektual mengambil sikap proaktif
terhadap permasalahan yang ada sebagai bentuk tanggung jawab sosial (social responbility)nya di tengah-tengah masyarakat.



Ketiga, tergerak ingin memperbaiki. Seperti dikemukakan tadi, permasalahan yang terjadi
membuat sang intelektual prihatin. Akan tetapi, dia tak berhenti sampai di situ. Iapun tergerak
untuk mengambil langkah-langkah untuk mencari solusinya. Untuk menyelesaikan masalah itu,
ia selalu berpikir jauh ke depan, melihat dampaknya di masa datang. Juga, tidak sekadar
menyelesaikan masalah dengan menutup asapnya, tapi dengan berupaya memadamkan
apinya. Untuk itu, sang intelektual menuntut dirinya untuk menjadi seorang visioner, orang
yang mampu melihat ke depan dengan visi yang jelas.

KRISIS LEGITIMASI



Gelombang globalisasi dengan berbagai ajarannya telah membawa dampak begitu besar
dalam kelangsungan sebuah negara dan kehidupan masyarakat. Bagi negara, krisis
legitimasi menjadi sangat memungkinkan dihadapi. Pasalnya, negara akan diklaim gagal
memenuhi kebutuhan hajat dari rakyatnya setelah orientasinya lebih beralih kepada
mekanisme ekonomi pasar. Orientasi itulah yang kemudian mengakibatkan terjadinya
krisis ekonomi atau moneter yang puncaknya pada 1997. Hingga sekarang krisis itu
masih terasa dampaknya.



Krisis ekonomi diramalkan oleh Jurgen Habermas akan melahirkan krisis legitimasi.
Kondisi ini (legitimation crisis) dijelaskan oleh Habermas melalui pendekatan konsep
adaptip (Adaptation), pencapaian tujuan (Goal Attainment), integrasi (Integration), dan
pola pemeliharaan (Latency) atau dikenal AGIL yang dikembangkan oleh pemikir
sebelumnya, yaitu Talcott Parsons.




Adaptation adalah fungsi bagi sebuah sistem yang menjamin terpenuhinya apa yang
dibutuhkan dari lingkungan dan mendistribusikannya. Sistem ini mengambil bentuknya
pada sistem ekonomi. Goal Attainment adalah fungsi yang menjamin bagi terpenuhinya
tujuan sistem yang diwakili oleh sistem politik atau pemerintahan. Integration adalah
fungsi dari sebuah sistem yang menjamin berlangsungnya hubungan antarindividu yang
diwakili oleh komunitas sosial. Latency adalah prasyarat yang menunjuk pada cara
bagaimana menjamin kesinambungan tindakan sesuai dengan norma.

KRISIS LEGITIMASI


Legitimasi merupakan output yang lahir dari komunitas sosial meliputi kepercayaan
sosial (social trust) dan solidaritas. Pengakuan yang lahir dari masyarakat terhadap
pemerintah merupakan input, masukan dari fungsi yang dimainkan sendiri oleh
pemerintah sebagai penjamin tercapainya tujuan dari sistem masyarakat. Keberadaan
negara diakui sejauh memberikan sumbangan positif bagi pelindungan hak-hak
ekonomi warga dalam memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, bila tidak mampu
melindungi pengakuan dan kepercayaan itu akan luntur.




 Dalam konteks ini bagaimana pun menurut Habermas negara tidak dapat terlepas dari
perannya terhadap ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi persoalan pengakuan
politik dari masyarakat. Begitupun sebaliknya krisis ekonomi yang akan terjadi pun
akan menjadi krisis politik. Keadaan ini pada gilirannya akan memaksa negara untuk
menghimpun berbagai resources dari sistem sosial budaya untuk memulihkan
keseimbangan fungsi.



Akan tetapi karena krisis politik itu sekali lagi mencerminkan konfik kepentingan
mendasar dalam masyarakat kelas, maka mustahil menyelesaikan persoalan ini
langsung melalui mekanisme integrasi sosial. Hal ini menyebabkan negara semakin
kesulitan menjustifkasi kebijakan-kebijakannya. Kesulitan inilah yang kemudian
menciptakan defsit legitimasi.

KRISIS LEGITIMASI


Ramalan Habermas mendapat artikulasinya dalam bentuk yang lebih konkrit pada krisis

ekonomi yang terjadi di Indonesia yang puncaknya pada 1997. Pemerintah Indonesia
yang lebih berpihak kepada kepentingan pasar ternyata harus mengaku kalah dari
kekuatannya konsekuensinya adalah krisis moneter yang berkepanjangan. Kedudukan
pasar yang begitu besar dalam menentukan kehidupan masyarakat pada satu sisi, dan
lemahnya sistem pengaturan negara pada sisi yang lain, maka berakibat kuat pada
munculnya destruksi pasar terhadap rakyat kecil atau para pemilik modal kecil.



Negara diklaim tidak mampu menjaga kestabilan harga dan melindungi warganya yang
memiliki kapital kecil dari hisapan kapital besar. Puncaknya adalah hilangnya trust
masyarakat terhadap pemerintah. Kondisi menghilangnya trust kemudian berakibat
lanjut pada krisis legitimasi terhadap pemerintah. Fakta ini dapat kita saksikan dari
munculnya sejumlah aksi demontrasi menentang setiap kebijakan pemerintah, bahkan
beberapa bulan yang lalu sempat muncul “cabut mandat” yang dilakukan oleh
sejumlah tokoh nasional terhadap pemerintah yang tengah berjalan sekarang.



Masyarakat seakan berjalan masing-masing, tanpa kendali pemerintah. Masyarakat

tampak seakan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dengan bersaing dipasaran.
Masyarakat cenderung tidak lagi percaya dengan keberadaan pemerintah. terlebih lagi
pada masyarakat kecil, yang dewasa ini seringkali menjadi “korban kebijakan” yang
merugikan.

KRISIS LEGITIMASI


Pada dimensi yang lain, ternyata pengaruh itu tidak berjalan mulus, ekspansi pasar
yang begitu besar dalam menentukan kebutuhan ekonomi masyarakat ternyata
melahirkan destruksi bagi munculnya krisis dalam bentuk lain, yaitu krisis solidaritas
dan krisis identitas.



Masyarakat civil society, dengan berbagai sub sistem di dalamnya memiliki fungsi
perlindungan dan jaminan bagi terjadinya keberlangsungan dan kesinambungan
tindakan setiap komponen di dalamnya agar sesuai dengan norma dan aturan yang
berlaku. Melalui norma maupun aturan yang diciptakan baik dari konvensi maupun
secara formal, maka civil society saling memperkuat di antara mereka. Ikatan yang

kuat di antara mereka sendiri melahirkan solidaritas sosial yang berfungsi memiliki
sistem integratif di dalamnya.



Ikatan-ikatan solidaritas tersebut akan berada di dalam ancaman, di mana antara
masyarakat akan dengan mudah terjadi pertentangan. Solidaritas adalah hasil dalam
bentuknya yang normatif dari sebuah hubungan antarmasyarakat yang diatur
berdasarkan sebuah norma. Ikatan-ikatan lama yang mewujud pada terjalinnya
kekerabatan (kinship) akan dengan sendirinya tergantikan dengan ikatan-ikatan yang
lebih bersifat pragmatis dan rasional.

KRISIS LEGITIMASI


Konsekuensi ekonomi pasar dalam masyarakat berakibat pada tergantikannya modus
relasi antara masyarakat yang sebelumnya diukur berdasarkan solidaritas primordial
dan kekeluargaan kemudian diganti oleh pola hubungan yang lebih didasarkan modus
produksi ekonomi. Logika-logika ekonomi pasar seringkali digunakan oleh kebanyakan
masyarakat kita dalam membangun hubungan di antara sesamanya. Institusi-institusi

kultural tidak luput dari pengaruh ini, bahkan hingga ke subsistem yang paling
terkecil dalam masyarakat, seperti keluarga.



Krisis identitas mengambil bentuknya yang lain yang terjadi di masyarakat. Berbagai
ragam nilai dan produk yang ditawarkan oleh pasar, dan masyarakat memungkinkan
mendapat akses secara bebas terhadap produk-produk itu Nilai-nilai yang lebih
mengedepankan kebebasan, seperti konsumerisme, instans, dan serba cepat
kerapkali direspons secara berlebihan dari masyarakat. Globalisasi yang menawarkan
sejumlah nilai itu pada akhirnya menimbulkan gagap. Komunitas mengalami
“meminjam istilah Karl Marx teralienasi, atau terasing dari kondisi barunya.”

DEMOKRASI DAN PERAN
INTELEKTUAL


Berbagai dampak yang dilahirkan dari fundamentalisme pasar itu secara tidak
langsung pada kenyataannya melahirkan ancaman cukup serius bagi perkembangan
demokrasi di Indonesia. Meski diramalkan Francis Fukuyama bahwa terdapat korelasi

antara tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dengan keberhasilan demokrasi.



Karena tingkat perkembangan ekonomi yang dihasilkan mekanisme pasar sangat
kondusif bagi terciptanya masyarakat sipil dan kelas menengah yang kuat. Kelas
menengah yang kuat dan struktur masyarakat inilah yang akan mendorong demokrasi.
Tapi pada kenyataannya masyarakat semakin menemukan dirinya ada dalam berbagai
krisis, dan menjadi ancaman bagi demokrasi.



Pada konteks ini penting melihat peran intelektual dalam melakukan penguatan civil
society dalam mengawal proses transisi demokrasi. Menurut Mohammad Hatta,
demoralisasi yang menandai masyarakat Indonesia tidak bisa kunjung didiamkan,
melainkan harus dirubah ke arah yang lebih baik, dan pada posisi ini kaum intelegensia
berperan.




Kaum intelegensia didefnisikan Hatta sebagai sosok yang intelektual dan bermoral, di
mana sebagai warganegara terpelajar dan mampu menimbang baik-buruk, benar-salah
serta bertanggung jawab, mampu melakukan perubahan ke arah demokrasi yang maju.

DEMOKRASI DAN PERAN
INTELEKTUAL


Dalam terminologi yang berbeda, Edward Said mengatakan, bahwa kaum intelektual memiliki
tanggungjawab sosial terhadap masyarakat. Mereka bertugas memberikan penyadaran dan
memperkuat nilai lokal kultural dan kebangsaan di masyarakat. Dalam pengertian Antonio Gramsci,
model intelektual yang seperti ini disebut sebagai intelektual organik.



Kaum intelektual Indonesia hubungannya dengan penguatan ide-ide demokrasi serta meminimalisir
dampak negatif kapitalisme pasar dimungkinkan dapat bergerak di wilayah kultural. Muhammad AS
Hikam menjelaskan pada ranah kultural dapat dilakukan dengan cara melakukan proses penyadaran
bagi masyarakat tentang realitas yang dihadapi.



Mereka dapat menjadi counter balancing bagi kemungkinan terjadinya otoritarianisme negara.
Cendikiawan merupakan pelopor bagi terwujudnya sebuha wilayah publik yang bebas (a free public
sphere) yang pada gilirannya menjadi landasan bagi sebuah civil society yang mandiri.



Selain itu peran yang dilakukan bisa dalam bentuk pembentukan historical bloc, di antara
masyarakat agar cita-cita demokrasi akan dengan cepat tercapai. Intelektual memang lebih berperan
pada wilaya-wilayah kultural masyarakat dalam melakukan proses koinsistensi atau penyadaran, di
samping juga melakukan tekanan kepada pemerintah terhadap sejumlah kebijakan yang merugikan
rakyat.



Meski demikian, kita tidak dapat menutup mata dari kenyataan masih munculnya stigma elitis
terhadap kaum intelektual serta adanya pertentangan di antara mereka sendiri. Kondisi-kondisi
seperti itu harus terlebih dahulu mampu dieliminir sebelum melakukan pemberdayaan bagi civil
society.

PERJALANAN INTELEKTUAL MUSLIM
DI INDONESIA


Pada era 1970-an, wacana pembaharuan pemikiran keislaman semakin marak. Generasi
muda dari kalangan terpelajar Muslim pada dekade ini sudah lebih menunjukkan
kecenderungan pemikiran yang tidak lagi normatif memandang agama. Mereka tidak seperti
pada masa Islam yang bercorak mistis dan sufstik kemudian lebih tertarik dengan
pemahaman keislaman yang berdasarkan kepada pendekatan-pendekatan empiris dan
historis di dalam pembentukan visi keagamaannya. Hal itu, misalnya, dengan tepat
digambarkan oleh Richard C. Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja yang mengatakan
bahwa:

 


“Indonesian Muslim intellectuals are increasingly concerned with the questions of the proper
role of Islam in national development and how Islamic values can be reconciled with Western
rationalism, rather than with the nature of an Islamic state...What distinguishes thinkers
associated with this movement from earlier modernists is the combination of empirical and
historical approaches they employ in formulating a vision of an Islamic society.”



Tidak dapat disangkal bahwa perubahan visi dan orientasi itu sejalan dengan masuknya
pengaruh pembaharuan Islam, yang utamanya, dibawa oleh kelompok Muslim modernis
"generasi kedua" ini. Namun demikian, jelas sekali bahwa perkembangan wacana intelektual
Islam seperti yang dimaksud oleh Martin, Woodward dan Atmaja di atas sudah memasuki
babak baru, karena sudah menyangkut metodogi yang lebih empirik dan historis yang
dipergunakan di dalam memformulasikan masalah keislaman dan masalah kemasyarakatan.

PERJALANAN INTELEKTUAL MUSLIM
DI INDONESIA


Dalam sebuah penelitiannya, Karel Steenbrink, sarjana Belanda yang pernah menjadi
dosen tamu di UIN Yogyakarta, mengatakan bahwa khususnya sejak dibukanya
program pascasarjana di lingkungan UIN pada tahun 1982, pengaruh pendekatan
historis dan empiris seperti ini sudah sedemikian nyata.



Dalam konteks seperti ini, UIN dapat dilihat sebagai sebuah institusi pendidikan
tinggi Islam yang memberikan "wadah" dan kesempatan bagi kalangan Muslim
terpelajar untuk mengembangkan tradisi studi Islam yang empiris dan tidak lagi
normatif.



Dengan demikian, kita bisa melihat adanya pergeseran orientasi dan visi yang
signifkan di dalam mendekati, memahami dan mengkaji Islam di kalangan terpelajar
Muslim Indonesia ini. Perkembangan ini menunjukkan semakin menguatnya
kecenderungan untuk melihat Islam dan masayarakat Muslim sebagai sebuah obyek
studi, penelitian dan pengkajian tidak melulu sebagai sesuatu yang harus “dipeluk”
dan “diimani” saja sehingga hasil-hasil studi yang dilakukan bukan saja tidak melulu
diharapkan bersifat apologetik dan merupakan “pembenaran” terhadap agama yang
dianutnya, melainkan juga bersikap kritis.

PERAN EKONOMI SYARIAH


Dalam pengembangan sektor riil ini, faktor lain muncul, yaitu sumberdaya manusia (human
resource). Dalam dua bukunya, “Intellectual Capital: The New Wealth of Organization” (1998) dan
bukunya yang lebih baru “The Wealth of Knowledge: Intellectual Capital and the Twenty-First
Century Organization” (2001), Thomas A. Stewart menyabut beberapa jenis modal (capital),
misalnya, tanah (land), pabrik-pabrik (factories), alat-alat (equipment), uang tunai (cash) dan
kepandaian (intellectual) .



Identifkasi Stewart tersebut bisa dikelompok-kelompok kan ke dalam berbagai jenis modal yang
kini beragam itu. Tanah (pertanian dan pertambangan) termasuk kedalam modal alam, pabrikpabrik dan alat-alat (termasuk mesin) ke dalam modal material (material capital), uang tunai ke
dalam modal fnansial (fnancial capital) dan kepandaian termasuk ke dalam modal intellectual
(intellectual capital). Stewart dalam kedua bukunya mengatakan, bahwa di zaman modern abad
ke 21 ini, peranan modal intelektual sangat penting.



Secara khusus ia menyabut peranan pengetahuan (knowledge), informasi (information) , hak
milik intelektual (intellectual property) dan pengalaman kolektif (collective experience) yang
kesamuanya merupakan unsurp-unsur modal intelektual. Semua jenis modal itu adalah
merupakan sumber penciptaan kekayaan (wealth).



Mengikuti konsep pembangunan Samir Amin yang sebenarnya pernah dikemukakan pula oleh
Bung Hatta dan diulangi oleh Sritua Arief, maka yang perlu dilakukan oleh umat Isloam dan
bangsa Indonesia adalah membangun industri, namun industri yang saling menunjang pertanian.
Pembangunan pertanian dan pertambangan akan menggunakan modal alam

PERAN EKONOMI SYARIAH


Indonesia dan Dunia Islam dewasa ini baru dalam taraf memperhatikan modal manusia
yang unsur utamanya adalah pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill). Modal
manusia yang dibutuhkan adalah wiraswasta, tenaga teknik dan manajer. Hanya saja
pengembangan SDM ini membutuhkan waktu lama, karena itu perlu ditemukan bentukbentuk pendidikan yang lebih praktis misalnya sistem magang sebagaimana
dikembangkan di Jerman sejak abad pertengahan. Pendidikan turun menurun, melalui
keluarga memerlukan perhatian dan karena itu perlu mendapatkan perhatian
pemerintah.



Modal yang dimiliki oleh umat Islam dewasa ini adalah modal natural dan dalam batasbatas tertentu, modal fnansial. Dalam hal ini, perlu diperhatikan temuan De Soto yang
mengatakan bahwa sebenarnya penduduk negara-negara sedang berkembang yang
dianggap miskin itu sebenarnya sangat besar, tapi puso (idle). Salah satu langkah yang
dianjurkan adalah pengembangan hak-milik (property right).



Program yang sebenarnya telah dilaksanakan di Indonesia, adalah sertifkasi tanah. Jika
tanah-tanah sudah disertifkasi, maka nilai modal natural akan meningkat secara
signifkan. Dengan sertifkat itu, masyarakat bisa mengakses modal dari perbankan dan
lembaga keuangan mikro guna mengembangkan UKM. Lembaga keuangan juga bisa
melakukan sekuritisasi hak milik tersebut, dalam rangka menghimpun modal.

PERAN EKONOMI SYARIAH


Berdasarkan teori De Soto, perlu dikembangkan harta agama, khususnya zakat,
sadaqah, infaq dan wakaf. Bank bisa berperan membantu usaha-usaha mobiklisasi
dana ini. Baru-baru ini, oleh Prof. A. Mannan, telah dikembangkan produk wakaf tunai
(cash wakaf). Berdasarkan perhitungan di atas`kertas, wakaf tunai ini sangat besar
potensinya dan merupakan sumber modal fnancial yang sangat potensial. Namun
sekali lagi hal ini memerlukan dukungan modal manusia dan modal intelektual.



Salah satu modal lain yang perlu diperhatikan adalah modal sosial yang
dipropagandakan oleh Fukuyama. Sebenarnya, ajaran Islam merupakan sumber
modal sosial ini, misalnya dalam ajaran amanah (trust) ta’awwun (cooperation) ,
saling mengenai (ta’aaruf) dan banyak lagi. Hanya saja ajaran-ajaran itu belum
diinterpretasikan sejalan dengan pemikiran ekonomi dan pembangunan.

 


Sekali lagi disini sangat penting peranan perguruan tinggi dan lembaga pendidikan
dan latihan pada umumnya. Setiap pendidikan pengetahuan dan ketrampilan, perlu
ditunjang dengan pendidikan untuk menciptakan modal sosial ini, karena menurut
Fukuyama, modal sosial, berdasarkan pengalaman negara-negara industri maju
sekarang ini, merupakan dasar dari kemajuan.

CESILLIA AIDA

SEKIAN
DAN
TERIMA KASIH