MAKALAH EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

MAKALAH EKONOMI ISLAM
KONSEP PASAR YANG IDEAL MENURUT ISLAM
(PERSAINGAN)
BAPAK MOH. ADI WICAKSONO ,SE,MEI

DISUSUN OLEH:
AJI NUR PRAKOSO (15423027)

A. PENDAHULUAN
Urgensi bisnis tidak bisa dipandang sebelah mata, bisnis selalu memegang peranan penting
didalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa. Hal ini pun masih berlaku di
era kehidupan kita sekarang. Karena kekuatan ekonomi memiliki kesamaan makna dengan
kekuatan politik, sehingga urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu,sosial ,regional,
nasional dan internasional. Tidaklah mengherankan apabila jutaan muslim dewasa ini terlibat
dalam berbagai kegiatan bisnis atau yang lainnya.
Keterlibatan ummat muslim dalam dunia usaha atau bisnis bukan merupakan hal baru,sebab
sejak empat belas abad yang lalu Islam menganjurkan ummatnya untuk melakukan kegiatan
bisnis. Rasulullah SAW sendiri pada masa awal kehidupannya sudah terlibat dalam dunia bisnis
sebagai mitra dari seorang usahawan yang bernama Khadijah. Islam dalam konteks sejarahnya
telah menempuh suatu perjalanan panjang yang tidak dapat dilepaskan dari sebuah sistem
perekonomian, sebagaimana yang lazim dijalankan oleh Rasulullah SAW sejak kecil bersama

pamanya Abu Thalib. Mereka berdagang ke berbagai pelosok jazirah Arab,kemudian berlanjut
dengan melakukan hubungan ekrjasama antara Nabi SAW dengan Siti Khadijah,baik sebelum
maupun setelah beliau menikahinya.
Namun ummat muslim dewasa ini mengalami berbagai fenomena yang mau tidak mau harus
dihadapai seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan dunia bisnis itu
sendiri. Dan fenomena tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah yang disebut dengan
persaingan usaha. Persaingan usaha adalah merupakan suatu hal yang natural terjadi dalam dunia
usaha. Persaingan usaha memiliki berbagai kemungkinan atas dampak yang ditimbulkannya.
Bilamana persaingan tersebut dilakukan secara sehat maka tentu hal tersebut akan menimbulkan
suatu iklim berusaha yang sehat pula, akan tetapi bilamana persaingan itu dilakukan secara
curang atau jahat maka tentu dampaknyapun akan menyebabkan kemaslahatan pada pihak-pihak
tertentu yang dirugikan. Oleh karena itu bagaimana Islam bebricara tentang persaingan usaha,
pada makalah kali ini penulis mencoba untuk menggali wacana persaingan usaha dalam
pandangan Islam serta bagaimana fenomena persaingan usaha dalam praktek-praktek dunia
bisnis modern pada saat ini akan dibicarakan sebagai “background” dalam pembahasan makalah
ini.
B. KARAKTERISTIK BISNIS SECARA UMUM
Tujuan terpenting dari ekonomi kapitalisme maupun sosialisme adalah memperoleh keuntungan
materi, bukan prinsip-prinsip lain. Tujuan tersebut menimbulkan persaingan sengit antara kubu
berbagai negara untuk mengusaai ekonomi, monopoli pasar dan sumber-sumber bahan baku di

berbagai negeri.
Hampir menjadi suatu doktrin bahwa dalam sistem perekonomian modern,orang dituntut untuk
bersaing dan bekerja sama satu sama lain. Persaingan (competition) dan kerja sama (cooperation)

adalah iklim,kondisi, dan locus perekonomian global. Harus disadari bahwa kompetisi dan
kooperasi tersebut merupakan “game” ekonomi global yang demikian ketat tanpa mengenal
adanya batas perlindungan dan dukungan politik tertentu .
Secara umum suatu bisnis pasti memiliki tujuan mutlak untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan korbanan biaya atau yang sejenisnya dengan sekecil-kecilnya.
Paradigma tersebut hampir menjadi sebuah dogma bagi siapa saja yang bergerak atau terjun
kedalam dunia usaha. Bahkan dikalangan ummat Islam pun dogma ini selalu dan masih
terngiang-ngiang, wajar karena sejak dari dini dalam muatan-muatan pendidikan sejak dari mula
sampai perguruan tinggi diajarkan bahwa yang namanya prinsip-prinsip ekonomis adalah
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Dogma ini
pun kemudian pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan yang tidak terelakkan ketika mereka
secara langsung kaum muslimin bergerak membuka usaha.
Secara logis dogma tersebut benar-benar mengesampingkan akan etika usaha atau etika bisnis,
karena bisa jadi ketika mengikut norma-norma etika bisnis, keuntungan yang diperoleh tidak
maksimal,bahkan membutuhkan suatu korbanan biaya yang tinggi. Oleh karena itu menjadi
sangat penting bagi kaum muslimin dengan basic tauhid dan keimanannya mengacu pada ajaran

Islam dalam melakukan berbagai transaksi usaha. Sebab bisa jadi dalam pandangan manusia
usaha atau bisnis tersebut sekilas merugi,tidak efisien,atau efektip karena konsisten dalam
mengikut kaidah etika bisnis yang syarí, tetapi dalam pandangan atau perspektip Illahiah, bisnis
tersebut membawa “keberkahan”yang tidak dapat terukur secara nominal sekalipun. Wallahu
Álam.
C. PERSAINGAN USAHA DALAM KANCAH BISNIS
Selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik-praktik usaha antipersaingan yang
cenderung bertolak belakang dengan prinsip-prinsip good corporate governance subur dan
berkembang di Indonesia. Praktik persekongkolan (conspiracy) untuk menentukan pemenang di
dalam sebuah tender adalah satu dari sekian banyak praktik antipersaingan yang seringkali
ditemui di dalam kegiatan bisnis di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu elemen terpenting dalam terciptanya iklim persaingan
usaha yang sehat sangat bergantung pada efektivitas penerapan nilai-nilai atau prinsip
pengelolaan perusahaan yang baik di dalam sebuah perusahaan. Penerapan prinsip fairness
(kewajaran), disclosure dan transparency (Transparansi), accountability (akuntabilitas), dan
responsibility (responsibilitas) di dalam perusahaan seharusnya dijadikan sebagai pedoman para
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha .
Persaingan usaha merupakan sesuatu yang wajar terjadi, karena bagaimanapun secara nyata
bahwa mekanisme pasar akan senantiasi menciptakan persaingan usaha. Dimana ketika di
“pasar”mengalami kondisi over suplay , sementara permintaan (demand) relatip tetap maka

harga akan menjadi cenderung turun, sehingga kemudian dengan sendirinya akan menimbulkan
persaingan diantara pelaku pasar untuk memperebutkan ‘segmen pasar”yang ada . Begitu juga

ketika kondisi pasar ärus “suplay” barang relatip tetap , sementara permintaan meningkat maka
harga di pasar akan cenderung naik. Tentu adanya kenaikan harga pasti sangat menggiurkan para
pelaku usaha untuk dapat meningkatkan omset penjualan yang setinggi-tingginya, sehingga mau
tidak mau terjadilah persaingan usaha.
D. POLA POLA PERSAINGAN USAHA YANG NEGATIP
Ketika mekanisme pasar berlangsung secara wajar dan “fairness” maka persaingan usaha adalah
merupakan suatu kewajaran pula. Ketidakwajaran terjadi manakala para pelaku pasar dengan
berbagai cara atau kiat melakukan praktek-praktek negatip dalam berusaha. Berikut digambarkan
tentang praktek-praktek negatip dalam persaingan usaha yang hampir mayoritas pelaksanaanya
bermuara pada praktek yang disebut dengan monopoli.
MONOPOLI
Monopoli merupakan penguasaaan lebih dari 50% pangsa pasar atas komoditi tertentu oleh stu
atau gabungan beberapa perusahaan. Oleh banyak kalangan,monopoli dinilai sangat tidak sehat
dan mengganggu jalannya mekanisme pasar yang kompetitip. Sebab monopoli pasar atas
komoditi tertentu tersebut membahayakan kepentingan masyarakat luas,terutama konsumen
produk yang dimonopoli. Kepentingan konsumen terhadap produk dengan harga wajar dan
berkualiotas baik dapat terancam karena ulah satu atau beberapa pengusaha yang memeonopoli

pasar komoditi tertentu itu dengan seenaknya mensuplai produk yang bermutu rendah tetapi
dengan harga yang tinggi.
Selain itu dimonopolinya suatu produk akan menimbulkan derajat inefisiensi ekonomi yang
tinggi karena tidak adanya persaingan yang sehat atas produk tersebut. Dalam situasi dimana
tidaka da persaingan atas pengadaan produk tertentu maka perusahaan yang memegang
monopoli tidak akan tertarik atau termotivasi untuk menjaga efisiensi dalam produk yang mereka
hasilkan. Situasi seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya pemborosan sumberdaya,terutama
sumber daya alam.
Monopolistik dibidang ekonomi menjadi semakin buruk dan sangat membahayakan kepentingan
masyarakat secara keseluruhan bila monopolistik tersebut diciptakan dan didukung oleh
pemerintah (pengusas\ politik). Keadaan seperti ini jelas-jelas dapat mematikan jalannya
mekanisme pasar yang sehat dna kompetitip. Bila keadaan seperti ini terus dibiarkan maka akan
dapat melumpuhkan sistem politik yang demokratis.
Monopoli pengadaaan dan pemasaran suatu produk dapat terjadisecara natural, hal ini
disebabkan oleh kemampuan dalam memproduksi suatu produk tertentu dengan kemampuan
manajemen yang sangat efisien sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dengan
harga relatif murah sehingga perusahaan tersebut dapat mengalahkan pesaing-pesaingnya, yang
pada akhirmya mampu memonopoli dan mengontrol pasar. Hanya secara realita praktek
monopoli seperti ini amat sulit dicapai.


Selain itu monopoli pengadaan dan pemasaran suatu produk tertentu dapat terjadi secara wajar
(reasonable) bilamana perusahaan tersebut menemukan resep-resep teknologi tertentu, sehingga
dengan penemuan tersebut perusahaan menjadi sangat efisien dalam memproduksi suatu barang
dengan biaya yang murah dengan kualitas yang lebih baik. Kemudian hasil penemuan tersebut
dipatenkan . Dengan diperolehnya hak paten maka perusahaan tersebut memonopoli pengadaan
dan pemasaran teknologi tersebut. Sebagai catatan hak paten tidak diberikan untuk seumur hidup
tetapi ada jangka waktu berlakunya.
Pola monopoli bagi pengadaan dan pemasaran suatu produk dapat pula diakibatkan oleh
kebijakan pemerintah, contoihnya pemerintah memberikan izin hanya kepada satu atau dua
perusahaan untuk memproduksi produk tertentu seperti terigu,semen,plastik atau baja. Lalu
pemerintah memberikan proteksi atau perlindungan yang tinggi terhadap perusahaan tersebut.
Bentuk proteksi tadi bisa berupa larangan adanya impor dari barang sejenis, dan kalaupun impor
diperbolehkan maka pemerintah mengenakan tarif bea masuk yang tinggi sehingga tidak dapat
berkompetisi dengan produk dari perusahaan yang diproteksi tadi, sehingag dengan begitu
perusahaan yang diproteksi tadi dapat mencapai kedudukan monopolistik.
Praktek monopoli atas pengadaan dan pemasaran suatu produk dapat terjadi karena proses-proses
.yang tidak wajar. Proses speerti ini misalnya terjadi melalui penggabungan secara horisontal
(horizontal merger) beberpa jenis perusahaan. Contohnya, beberpa perusahaan semen bergabung
dengan tujuan menguasai pasar dan mendiktekan harga tertentu atas produk semen tersebut.
Merger ini dapat mengganggu mekanisme pasar yang sehat dan kompetitip.

Modus lainnya dapat dilakukan dengan cara praktek-prektek persaingan yang tidak sehat, atau
curang. Contohnya, beberpa perusahaan plastik tidak melakukan merger horisontal, tetapi ada
empat perusahaan plastik yang menguasai 70% pangsa pasar, mereka kemudian membaut
kesepekatan harga (price agreement) jual atas produk tersebut. Tindakan ini jelas merugikan
konsumen dna mengganggu mekanisme pasar yang sehta dan kompetitif. Tindakan lainnya dapat
pula berupa terjadi melalui diskriminasi harga (price discrimination). Contohnya, sebuah
perusahaan yang mengadakan bahan baku, memberikan harga yang lebih murah kepada
suatu .perusahaan tertentu , tetapi memberikan harga yang mahal bahkan sangat mahal keapada
perusahaan lain. Dalam prakteknya misalnya, perusahaan yang mengadakan bahan baku benang
menjual dengan harga lebih murah kepada perusahaan tekstil tertentu karena perusahaan tersebut
memiliki saham pada perusahaan tekstil tadi. Sedangkan kepada perusahaan tekstil pada
umumnya ., perusahaan benang tadi memberikan harga yang lebih mahal. Kebiajakan
diskriminasi harga ini pada akhirnya dapat menimbulkan persaingan yang timpang dan pada
gilirannya dapat melahirkan ekadaan yang monopolistik yang merugikan konsumen.
Praktek Monoopoli di Indonesia
Menurut pengamatan Nurimansyah Hasibuan yang dikutip oleh Abdul Hakim G Nusantara,

bahwa sumber-sumber yang dapat menjadi penyebab bagi industri yang melahirkan praktik
monopoli adalah sebagai berikut :
1. Kemajuan Teknologi

2. Perlindungan yang berlebihan.
3. Adanaya rekayasa entry barrier
4. Keringanan pajak dan subsidi.
5. Merger diantara perusahaan sejenis.
E. TINJAUAN MENGENAI UNDANG-UNDANG RI NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persai ngan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
3. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan
oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
4. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti
di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan

kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
5. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
6. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak
jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
7. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.
8. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
9. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.

10. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari

barang dan atau jasa tersebut.
11. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang
memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah
penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keseragaman produk, sitem disttribusi,
dan penguasaan pangsa pasar.
12. Perilaku pasar adalah tindakan uyang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya
sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara
lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang
digunakan.
13.Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh
pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
14. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan
antara para pihak di pasar bersangkutan.
15. Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
16. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.
17. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan
dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

18. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
19. Pengadilan Negeri adalah pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, di tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pasal 3
Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. menjaga kepentinganumum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,
pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha; dan

d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
BAB III
PERJANJIAN YANG DILARANG
Bagian Pertama
Oligopoli
Pasal 4
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersamasama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2
(dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh
puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedua
Penetapan Harga
Pasal 5
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk
barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau
jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat
Pemboikotan
Pasal 10
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak
menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari
pasar bersangkutan.
Bagian Kelima
Kartel
Pasal 11
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau
jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Bagian Keenam
Trust
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja
sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau peeseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan
angggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan
atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
Bagian Ketujuh
Oligopsoni
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan
harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau pesaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedelapan
Integrasi Vertikal
Pasal 14
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau
jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses
lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat

Bagian Kesembilan
Perjanjian Tertutup
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak
memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan
atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas
barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan
atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang
menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok
Bagian Pertama
Monopoli
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan
atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
Bagian Kedua
Monopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dan 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.

BAB IV
KEGIATAN YANG DILARANG
Bagian Ketiga
Penguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Pasal 20
Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual
rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau
mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya
lainnya yang menjadi bagian dan komponen harga barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
BAB IV
KEGIATAN YANG DILARANG
Bagian Keempat
Persekongkolan
Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau
jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dan jumlah,
kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
F. KONSEP ISLAM DALAM PERSAINGAN USAHA:

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak
dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan). Memang, kerjasama
adalah tema umum dalam organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu
erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling
memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan
ridha Allah SWT. Jadi Islam mengajarkan kepada para pemeluknya agar memperhatikan bahwa
perbuatan baik ('amal sâlih) bagi masyarakat merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau
mereka untuk berbuat sebaik-baiknya demi kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan di
semua bagian Al-Qur'an dan ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW
sendiri. Prinsip persaudaraan (ukhuwwah) sering sekali ditekankan dalam Al-Qur'an maupun
Sunnah, sehingga karena itu banyak sahabat menganggap harta pribadi mereka sebagai hak milik
bersama dengan saudara-saudara mereka dalam Islam. Kesadaran dan rasa belas kasihan kepada
sanak keluarga dalam keluarga besar juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang lain,
karena berbuat baik (ber'amal salih) kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya dihimbau
tetapi juga diwajibkan dan diatur oleh hukum (Islam). Kerukunan hidup dengan tetangga sangat
sering
Dalam Islam azas kebebasan dalam berekonomi merupakan sesuatu hal yang sangat
fundamental. Kebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasar Islami, yang
didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, diantaranya prinsip tanggung jawab dan
kebebasan sebagaimana tertuang berikut ini.
Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan Umat Muslim
Sepanjang sejarah umat Muslim, kebebasan ekonomi sudah dijamin dengan berbagai tradisi
masyarakat dan dengan sistem hukumnya. Nabi SAW tidak bersedia menetapkan harga-harga
walaupun pada saat harga-harga itu membumbung tinggi. Ketidaksediaannya itu didasarkan atas
prinsip tawar-menawar secara sukarela dalam perdagangan yang tidak memungkinkan
pemaksaan cara-cara tertentu agar penjual menjual barang-barang mereka dengan harga lebih
rendah daripada harga pasar selama perubahan-perubahan harga itu disebabkan oleh faktorfaktor nyata dalam permintaan dan penawaran yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan
monopolik maupun monopsonik. Lebih dari itu, Nabi SAW berusaha sungguh-sungguh untuk
memperkecil kesenjangan informasi di pasar ketika beliau menolak gagasan untuk menerima
para produsen pertanian sebelum mereka sampai di pasar dan mengetahui benar apa yang ada di
sana. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli (dalam
perdagangan), sehingga beliau menyamakan kedua dengan dosa-dosa paling besar dan kekafiran.
Setelah Nabi SAW dan selama berabad-abad dalam sejarah Islam, umat Muslim
mempertahankan prinsip kebebasan yang senantiasa dilaksanakan ini. Konsep pengendalian
perilaku moral di pasar itu dilaksanakan oleh Nabi sendiri. Selama beberapa abad pertama
Hijriyyah, sejumlah pakar menulis buku-buku tentang peranan dan kewajiban-kewajiban
pengendali pasar, atau al-Muhtasib itu. Tema yang terkandung dalam semua tulisan ini adalah
pelestarian kebebasan di pasar dan penghapusan unsur-unsur monopolistik. Prinsip kebebasan

tersebut dipertahankan oleh banyak qâdî (hakim) Muslim yang bahkan sampai mengancam
sistem hukum itu sendiri dengan mencabut hak untuk ikut campur dalam kasus monopoli. Hal ini
benar-benar telah mendorong Ibnu Taimiyyah menulis bukunya, Al-Hisbah fi al-lslâm, untuk
menunjukkan bahwa kebebasan ekonomik individual harus dibatasi dalam hal-hal serupa itu,
bahkan termasuk pembatasan-pembatasan itu adalah penentuan harga barang-barang dan jasa.
Dengan latar belakang ini, dalam rangka mengemukakan definisi kebebasan ekonomi yang
dimaksudnya, Ibnu Taimiyyah secara meyakinkan dapat memberikan pernyataan tegas bahwa
individu-individu sepenuhnya berhak menyimpan harta milik mereka, dan tidak ada seorang pun
berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya tanpa persetujuan mereka secara bebas,
kecuali dalam hal-hal tertentu di mana mereka diwajibkan melepaskan hak-hak tersebut.
Maulânâ Abul A'lâ Maudûdî menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, individulah yang
penting dan bukan komunitas, masyarakat atau bangsa. Dia berpendapat bahwa individu tidak
dimaksudkan untuk melayani masyarakat, melainkan masyarakatlah yang benar-benar harus
melayani individu. Tidak ada satu komunitas atau bangsa pun bertanggung jawab di depan Allah
sebagai kelompok; setiap anggota masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya secara
individual. Alasan yang bebas dan tertinggi dari adanya sistem sosial adalah kesejahteraan dan
kebahagiaan individu, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dari sinilah ukuran
yang benar dari suatu sistem sosial yang baik adalah batas yang membantu para anggota
masyarakat untuk mengembangkan kepribadian mereka dan meningkatkan kemampuan personal
mereka.
Berdasarkan hal itulah Islam tidak menyetujui ada organisasi sosial dan rencana kesejahteraan
sosial apa pun bila ia menekan individu-individu dan mengikat mereka begitu kuat dengan
otoritas sosial, sehingga kepribadian mereka yang bebas akan hilang dan sebagian besar diantara
mereka menjadi sekedar mesin atau alat yang berada di tangan orang-orang lain yang berjumlah
kecil.
Dalam bukunya, The Economic Enterprise in Islam, M.N. Siddîqî menyatakan bahwa Islam
memberikan kepercayaan sangat besar kepada mekanisme pasar. Beberapa implikasi dari doktrin
kebebasan ekonomi dalam Islam tersebut, dalam kaitannya dengan pasar, dapat dibaca dalam
pikiran-pikiran Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:
1. orang-orang bebas masuk dan meninggalkan pasar.
2. Tingkat informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang
dagangan (komoditas) adalah perlu. Ibnu Taimiyyah meneliti beberapa kontrak (perjanjian) di
mana salah satu pihak yang terlibat tidak bertindak sesuai dengan persyaratan ini, sementara dia
memberikan kepada pihak lainnya kesempatan untuk meninjau kembali kontrak itu. Dia juga
menganggapnya sebagai tanggung jawab pemerintah (al-Muhtasib) untuk memperbaiki situasi
tersebut.
3. Unsur-unsur monopolistik harus dilenyapkan dari pasar. Ibnu Taimiyyah tidak membolehkan
berbagai koalisi profesional, baik yang terdiri dari kelompok-kelompok penjual maupun pembeli.
Dia membolehkan al-Muhtasib untuk ikut campur tangan dan menentukan harga barang-barang
sejenis kapan saja unsur-unsur monopolistik menampilkan diri di pasar.
4. Dalam batas kebebasan ini, dia mengakui berbagai peningkatan permintaan dan penawaran

yang disebabkan oleh harga-harga tersebut. Dia menyetujui penaikan harga-harga yang
disebabkan olehnya, karena "memaksa orang untuk menjual barang dengan harga yang
ditentukan sama dengan pemaksaan tanpa hak," dan meskipun si penjual seharusnya tidak
dipaksa untuk kehilangan laba tetapi pada saat yang sama dia seharusnya tidak diperbolehkan
merugikan orang lain.
Setiap penyimpangan dari pelaksanaan kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu,
penimbangan yang tidak tepat, dan niat buruk dikecam oleh para penulis Muslim, demikian juga
memproduksi dan memperdagangkan barang-barang dagangan (komoditas) yang tercela karena
tidak baik dari alasan-alasan kesehatan ataupun moral sesuai dengan norma-norma Qur'ânî,
seperti minuman-minuman beralkohol, minuman-minuman keras, pelacuran dan perjudian.
Etik “tijaratan án taradlin minkum”
Etika tersebut di atas didasari oleh Firman Allah dalam Quran Surat 4 ayat 29 yang artinya
“Hai orang –orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka-sama suka diantara kamu
(“tijaratan án taradlin minkum”) , Dan janganlah kamu membunuh dirimu: Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu”
Mustaq Ahmad membahas makna ayat ini berkenaan dengan transaksi bisnis yang memenuhi
syarat adanya saling rela diantara pelakunya, tidak bisa disebut saling rela manakala didalamnya
masih ada tekanan,penipuan,atau mis statement yang digunakan salah satu pihak yang
melakukan transaksi. Dalam bahasan yang lebih mendalam disebutkan 3 prasyarat agar bisnis
terjadi sebagai sebuah kesepakatan mutual yang saling rela diantara pelakunya untuk
mendapatkan ridlo Allah SWT , yakni :
a. Dalam transaksi bisnis haruslah dihindari segala bentuk paksaan atau upaya-upaya sejenis
yang serupa atau mengarah kepada situasi dan kondisi salah satu pihak dalam posisi yang tidak
bebas atau terpaksa. Dalam implementasinya pada saat transaksi berlangsung bahwa barang yang
akan diperjualbelikan hendaknya dinegosiasikan dan ditetapkan atas dasar kesepakatan
mutualistik.
b. Transaksi harus terbebas dari unsur-unsur penipuan atau bentuk-bentuk lain yang serupa
dengannya. Sebab penipuan dan kelicikan sangat dikutuk oleh Al-Quran (Lihat pada QS 7:86;
61:2-3; 24:47-48; 4:2 ; 11: 85-86). Mereka diharuskan melakukan transaksi dengan cara yang
jelas,transparan, jujur dan adil. Tujuannya adalah agar para pihak sedari awal terproteksi,
sehingga salah satu pihak nantinya tidak terjebak kedalam trik-trik bisnis yang dapat
menimbulkan perselisihan dan sengketa bisnis. Untuk itu Quran sangat menekankan bahwa
dalam kontrak-kontrak kesepakatan antara dua belah pihak harus terdokumentasi dengan baik
dengan saksi-saksi yang kompeten (QS 2 :282)
c. Transaksi harus terbebas dari kedustaan, sebab perilaku dusta adalah salah satu dosa besar
dalam Al-Quran (QS 6 : 93 ; 16:116; 3:61) , selain itu Al-Quran memerintahkan kepada setiap

muslim untuk menghindari semua bentuk statemen palsu (al-qaul az-zuur) (QS 22:30). Hal ini
menjadi sangat berimbang dalam reward and punishment dari Allah SWT bagi hamba-Nya,
sebab bagi mereka yang pembohon jelas sangat dimurkai oleh Allah SWT (3:61 ; 16:116).
Sementara mereka yang bertindak jujur sangat dipuji dan disanjung oleh Allah SWT (QS 19:41
dan 56). Dan Al-Quran pun memerintahkan kepada setiap muslim untuk berlaku jujur dan jangan
sampai gagal melakukan hal tersebutndan hendaknya memegang teguh nilai-nilai kejujuran
tersebut (QS 39:32-34).
Etik perilaku dalam bisnis :
Secara garis besar Islam tidak menafikan adanya persaingan usaha dalam bisnis dalam rangka
mencapai suatu keadaan yang “fair” bagi konsumen dalam memperoleh layanan dan harga yang
terbaik dan kompetitip, tetapi Islam juga memberikan rambu-rambu sebagai bingkai bagi para
pelaku bisnis dalam mengarungi persaingan usaha, sebagai berikut :
a. Bertransaksi secara ribawi.
b. Penipuan (curang dalam timbangan,tidak jujur, kebohongan dan ingkar janji.
c. Mengkonsumsi hak milik orang lain dengan cara yang batil
d. Tidak menghargai prestasi
e. Partnership yang invalid
f. Pelanggaran dalam pembayaran gaji dan hutang
g. Penimbunan
h. Penentuan harga yang fix
i. Proteksionisme
j. Monopoli
k. Melakukan hal yang dapat melambungkan harga
l. Tindakan yang menimbulkan kerusakan
m. Pemaksaan
Secara spesifik dalam bersaing secara sehat dan Islami beberapa hal tersebut dibawah ini
merupakan pedoman bagi pelaku bisnis :
1. Tidak menghalalkan segala cara
2. Berupaya menghasilkan produk berkualitas dan pelayanan terbaik sesuai syariah.
3. Memperhatikan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan aqad-aqad bisnis
G. KESIMPULAN
4. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak
dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan).
5. Kegiatan Bisnis dalam Islam adalah merupakan kegiatan yang halal sepanjang dilaksanakan
dalam koridor-koridor syariah
6. Dalam Islam azas kebebasan dalam berekonomi merupakan sesuatu hal yang sangat
fundamental. Kebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasar Islami, yang

didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, diantaranya prinsip tanggung jawab dan
kebebasan .
7. Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tertuang
dalam Undang-undang RI no. 5 tahun 1999, merupakan suatu tata aturan yang secara prinsip
banyak yang sejalan dengan nilai-nilai syariah , meski belum menampun secara keseluruhan.
8. Pendekatan atas kepatuhan terhadap tata nilai persaingan yang positip dalam Islam bagi para
pelakunya didasarkan terhadap faktor keimanan atau tauhid .
H. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim G Nusantara, Benny Karman, Analisa Dan Perbandingan Undang-undang Anti
Monopoli, Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Elex
Media Komputindo,Jakarta,1999
Dr. Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (terjemahan), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001.
M. Doddy Kusadrianto, Menciptakan Persaingan Usaha Yang Sehat, Makalah pada website
www. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami,
Gema Insani Pers, Jakarta, 2002.
Prof. K.H. Ali Yafie dkk, Fiqih Perdagangan Bebas, TERAJU,Jakarta, 2003
webmaster@pesantrenonline .com , Konsep Ekonomi Islam Tentang Kerjasama (artikel)