BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morfologi 2.1.1.Pengertian Morfologi - Pola Pembentukan Ryakugo (Pemendekan) Bahasa Jepang: Suatu Tinjauan Morfologi Struktural

BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1. Morfologi

2.1.1.Pengertian Morfologi

  Morfologi sebagai cabang ilmu bahasa yang khusus mengkaji proses pembentukan kata dalam suatu bahasa. Kajian morfologi merupakan kajian yang meneliti suatu bahasa dari bagian terkecilnya yaitu morfem. Morfologi merupakan cabang dari linguistik yang mengkaji tentang kata dan proses pembentukannya, bentuk bahasanya, pengaruh perubahan bentuk bahasa pada fungsi dan arti kata, serta mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Menurut Bauer dalam Ba’dulu dan Herman (2005:2), morfologi membahas struktur internal bentuk kata. Istilah morfologi dalam bahasa Jepang dikenal dengan sebutan keitairon dan morfem disebut keitaiso. Morfem ( keitaiso ) merupakan satuan bahasa terkecil yang memiliki makna dan tidak dapat dipecahkan lagi ke dalam satuan makna yang lebih kecil lagi. Koizumi (1993:89) menyatakan keitairon wa gokei no bunseki ga

  

chuusin to naru (morfologi adalah satu bidang ilmu yang meneliti pembentukan kata).

  Karena itu, tentu saja selalu terkait dengan kata, terutama dengan morfem. Koizumi (1993:91) mengatakan morfem adalah potongan yang terkecil dari kata yang mempunyai arti. Koizumi (1993:93) membagi morfem berdasarkan bentuk menjadi dua, yaitu:

  1. 自 由 形 (jiyuukei) yang artinya bentuk bebas, yaitu morfem yang dilafalkan/ diucapkan secara tunggal atau berdiri sendiri.

  2. 結合形 (ketsugoukei) yang artinya bentuk terikat, yaitu morfem yang biasanya digunakan dengan cara mengikatnya dengan morfem lain tanpa dapat dilafalkan secara tunggal atau berdiri sendiri.

  Batasan dan ruang lingkup morfologi dalam bahasa Jepang yaitu kata (tango). Morfem (keitaiso), alomorf (ikeitai), pembentukan kata (gokeisei), imbuhan (setsuji), perubahan bentuk kata (katsuyoukei) dan sebagainya.

2.1.2. Morfologi Struktural

  Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori linguistik struktural yang memandang bahasa sebagai suatu kesatuan sistem yang memiliki strukur tersendiri.

  Struktur itu menandai kehadiran suatu bahasa yang membedakan dengan bahasa lain. Setiap struktur bahasa mencakup bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis. Teori struktural memandang bahwa setiap bahasa memiliki strukturnya sendiri, berbeda dengan teori tradisional yang menganggap bahwa semua bahasa harus berciri seperti bahasa Latin dan Yunani kuno seperti yang dikatakan Chaer (1994:346).

  Teori ini dipelopori oleh seorang linguis ternama yang bernama Ferdinand de Saussure. Teori yang menyatakan bahasa sebagai sistem komunikasi mempunyai struktur yang dibangun oleh komponen atau perangkat. Perangkat yang dimaksud dimulai dari tata urutan yang paling kecil, yaitu bunyi bahasa sampai pada tata tingkat yang paling besar, yaitu wacana. Tiap-tiap komponen atau perangkat dibidangi oleh ilmu masing-masing, yaitu fonologi (ilmu bunyi), morfologi (tata bentuk kata), sintaksis (tata kalimat), semantik (makna), dan wacana (teks). Tiap-tiap perangkat ini walaupun dibidangi oleh ilmu yang berbeda, tetap mempunyai hubungan antara satu bidang dan bidang yang lain. Hubungan inilah yang sering disebut dengan struktur.

  Jadi, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana merupakan bidang struktur bahasa. Selanjutnya, kajian bahasa yang dilakukan dengan pandangan Saussure disebut dengan kajian secara struktural.

  Chaer (1994:346) menjelaskan bahwa Saussure dianggap sebagai bapak linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya

  

Course the linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charless Bally

  dan Albert Schehay tahun 1915 berdasarkan catatan kuliah selama dia memberi kuliah di Universitas Jenewa tahun 1906-1911. Buku tersebut sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, kedalam bahasa inggis diterjemahkan oleh Wade Baskin (1966) dan kedalam Bahasa Indonesia di terjemahkan oleh Rahayu Hidayat(1988).

  Chaer (1994:346-349) menambahkan bahwa Saussure mengungkapkan pandangannya mengenai konsep: (1) telaah sinkronik dan diakronik, (2) perbedaan

  

langue dan Parole, (3) perbedaan signifiant dan signifie dan (4) hubungan

  sintagmatik dan paradigmatik banyak berpengaruh dalam perkembangan linguistik dikemudian hari. Saussure membedakan telaah bahasa secara sinkronik dan telaah bahasa secara diakronik. Yang dimaksud dengan telaah bahasa secara sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada sutu kurun waktu tertentu saja. Misalnya, mempelajari bahasa Indonesia yang digunakan pada zaman Jepang atau pada masa tahun 50 an. Sedangkan telaah bahasa secara diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh para penuturnya. Jadi, kalau mempelajari bahasa Indonesia secara diakronik, maka harus dimulai sejak jaman Sriwijaya sampai zaman sekarang ini. Dengan demikian bisa dikatakan telaah bahasa secara diakronik jauh lebih sulit dari pada telaah bahasa secara sinkronik. Saussure juga membedakan adanya apa yang disebut la langue dan la parole. Yang dimaksud dengan la langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa yang bersifat abstrak. Sedangkan yang dimaksud dengan la parole adalah pemakaian atau realisasi oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa yang bersifat konkret karena

  langue

parole itu tidak lain dari pada relitasi yang bebeda dari orang yang satu dengan orang

  yang lain. Dalam hal ini yang menjadi obyek telaah linguistik adalah langue, yang tentu saja dilakukan melalui parole, karena parole itulah wujud bahasa yang konkret yang dapat diamati dan diteliti. Saussure mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signe atau signe lingustique) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant dan komponen signifie. Yang di maksud signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis yang timbul dalam pikiran kita. Sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Untuk lebih jelas, ada yang menyamakan signe itu sama dengan

  ‘kata’; signifie sama dengan ’makna’; dan signifiant sama dengan ‘bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu

  ’. Hubungan antara signifiant dengan signifie sangat erat karena keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Signifie (makna),

  

signe linguistique (kata), significant (Bentuk). Sebagai tanda linguistik, signifiant dan

signifie itu biasanya mengacu pada sebuah acuan atau referen yang berada di alam nyata, sebagai sesuatu yang ditandai oleh signe linguistique itu. Sebagai contoh kita ambil kata bahasa Arab kitab dan dalam bahasa Inggris book yang berarti ’buku’ dan mengacu pada sebuah acuan, yaitu buku. Saussure membedakan adanya dua macam hubungan, yaitu hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Yang dimaksud dengan hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan dan bersifat linear. Hubungan sintagmatik ini terdapat dalam tataran fonologi, morfologi, maupun sintaksis.

  Hubungan sintagmatik pada tataran fonologi tampak pada urutan fonem-fonem dengan urutan /k, i, t, a, b/. Apabila urutannya diubah, maka maknanya akan berubah, atau tidak bermakna sama sekali. Hubungan sintagmatik pada tataran morfologi tampak pada urutan morfem-morfem pada suatu kata, yang juga tidak dapat diubah tanpa merusak makna dari kata tersebut. Ada kemungkinan maknanya berubah, tetapi ada kemungkinan pula tak bermakna sama sekali. Umpamanya kata

  ‘segiempat’ tidak sama dengan ‘empatsegi;, kata ‘barangkali’ tidak sama dengan ‘kalibarang’, dan kata

  ‘tertua’ tidak sama dengan ‘tuater’. Hubungan sintagmatik pada tataran sintaksis tampak pada urutan kata-kata yang mungkin dapat diubah, tetapi mungkin juga tidak dapat diubah tanpa mengubah makna kalimat tersebut, atau menyebabkan tidak bermakna sama sekali. Yang dimaksud dengan hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Hubungan paradigmatik dapat dilihat dengan cara subtitusi, baik dalam tataran fonologi, morfologi, maupun tataran sintaksis.

  Hubungan paradigmatik pada tataran fonologi tampak pada contoh: antara bunyi /r/,

  /k/, /b/, /m/, dan /d/ yang terdapat pada kata rata, kata, bata, mata, dan data. Hubungan paradigmatik pada tataran morfologi tampak pada prefiks me-, di-, pe-,

dan te-. Yang terdapat dalam kata merawat, dirawat, perawat, dan terawat.

  Sedangkan hubungan paradigmatik pada tataran sintaksis dapat dilihat pada hubungan kata-kata yang menduduki fungsi subjek, predikat, objek.

2.1.2.1. Organisasi Morfologi Struktural

  Ba’dulu (2005:16) menjelaskan bahwa organisasi atau model morfologi struktural sebagai berikut: Daftar Morfem

  Pembentukan Kata Proses Morfofonologis Kamus

  Model tersebut terdiri atas empat komponen, yaitu, (1) Daftar morfem, (2) Pembentukan kata, (3) Proses Morfofonologis, dan (4) Kamus. Jika melihat bagan tersebut, tugas pertama seorang analis adalah mengidentifikasikan semua morfem, baik morfem bebas maupun morfem terikat dari data morfem yang telah dikumpulkan. Kemudian morfem-morfem tersebut dimasukkan ke dalam daftar morfem sebagai komponen pertama.

  Komponen kedua adalah pembentukan kata, yang menjelaskan bagaimana morfem-morfem suatu bahasa disusun dalam gugus-gugus untuk membentuk kata yang sesungguhnya dalam bahasa itu. Jadi, pembentukan kata harus mampu menghasilkan semua kata yang berterima dalam bahasa itu dan mengeluarkan semua kata yang tidak berterima.

  Komponen ketiga adalah proses morfofonologis, yang merupakan suatu mekanisme mengenai proses-proses morfofonologis, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam penggabungan morfem, seperti asimilasi, pelesapan, penambahan, penggantian, dan permutasi. Tidak semua kata dapat diturunkan melalui pembentukan kata, Proses ini dapat membentuk kata-kata secara fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis berterima, tetapi tidak pernah muncul dalam pemakaian bahasa.

  Komponen terakhir adalah kamus. Semua kata yang telah melalui komponen ketiga, yaitu proses morfofonologis, membentuk kamus dari bahasa yang bersangkutan.

  Sehubungan dengan penelitian ini, teori linguistik struktural digunakan sebagai acuan dalam menentukan bentuk pola akronim dalam bahasa Jepang. Bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah satuan gramatikal bahasa yang bisa berupa morfem, kata, frase, klausa dan kalimat. Ryakugo terbentuk dari penyingkatan kalimat atau kata yang panjang menjadi kata baru yang lebih pendek sehingga mempermudah pengucapan. Pembentukan kata baru ini terstruktur pada bidang morfologi yang membahas proses morfologis yang didalamnya terdapat abreviasi yang merupakan proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Dari pemendekan kata tersebut akan terbentuk bentuk ryakugo yang merupakan proses menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata. Penulis mengumpulkan data ryakugo yang berupa akronim, singkatan dan penggalan serta mengidentifikasikan berdasarkan jenisnya dan menganalisis proses morfologisnya sehingga membentuk suatu rumusan.

2.1.3. Proses Morfologis

  Chaer (2008:25) mengatakan bahwa proses morfologis pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi), pengulangan (dalam proses reduplikasi), penggabungan (dalam proses komposisi), pemendekan (dalam proses akronimisasi), dan pengubahan status (dalam proses konversi). Proses morfologis mencoba menyusun dari komponen- komponen kecil menjadi sebuah bentuk yang lebih besar yang berupa kata kompleks.

  Proses morfologis melibatkan komponen (1) bentuk dasar, (2) alat pembentuk (afiksasi, reduflikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi), (3) makna gramatikal, dan (4) hasil proses pembentukan.

  Dalam bahasa Jepang, Koizumi (1993:104-109) membagi proses morfologi menjadi enam bagian, yaitu :

  1. Penambahan Koizumi (1993: 105) memberikan contoh penambahan huruf dalam kata kerja. Contoh:

  付く(tsuku) menjadi 付ける (tsukeru)

  2. Pengurangan Koizumi (1993:105-106) mengatakan ada juga kata kerja dalam bahasa jepang yang apabila berubah dari intransitif ke transitif akan kehilangan vokal pada kata dasar.

  Contoh: 裂ける(sakeru) menjadi 裂く(saku)

  3. Penggantian Terdapat juga perubahan bentuk kata dalam kata kerja bahasa Jepang antara kata kerja intransitif dengan kata kerja transitifnya yaitu penggantian ujung dari kata dasar kata kerja tersebut. Contoh: 集まる(atsumaru) menjadi 集める(atsumeru)

  4. Morfem Zero Dari tiga perubahan bentuk kata kerja dari intransitif ke transitif, Koizumi (1993: 107) menambahkan satu lagi variasi morfemis dalam hubungannya dengan kata kerja transitif dan intransitif, yaitu morfem zero, perubahannya dapat dilihat sebagai berikut: 吹く(fuku) menjadi 吹く(fuku)

  5. Reduplikasi Kozumi (1993: 108-109) membaginya menjadi dua, yaitu

  • Reduplikasi kata dasar Contoh: 人々(hitobito)、山々(yamayama)
  • Reduplikasi afiksasi Contoh: 若い (wakai) menjadi 若々しい(waka-wakashii) 6. penggabungan (komposisi) Dalam bahasa Jepang, komposisi menurut koizumi (1993:109) adalah merupakan penggabungan beberapa morfem yang terbagi atas berbagai variasi.

  Contoh dari penggabungan dua buah morfem bebas: hondana (rak buku), berasal dari kata :

  • hon (buku) dan tana (rak)

  Contoh dari penggabungan morfem terikat dengan morfem bebas:

  • okuruma (mobil) , berasal dari kata : o (morfem terikat) dan kuruma (mobil)
  • kagurai (hitam pekat), berasal dari kata : ka (morfem terikat) dan kuroi (hitam)

2.1.4. Kata

  Konsep morfem tidak dikenal oleh para tata bahasawan tradisional, yang selalu ada dalam tata bahasa tradisional adalah satuan lingual yang disebut kata. Penelitian dalam bidang kebahasaan atau linguistik akan selalu membahas mengenai kata. Banyak ahli linguistik meneliti mengenai kata dan didefenisikan menurut bentuknya, jenisnya dan sebagainya. Verhaar (2001:97) mengatakan bahwa kata adalah satuan atau bentuk bebas dalam tuturan yang dapat berdiri sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabungkan dengannya, dan dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk bebas lainnya di depannya dan dibelakangnya dalam tuturan. Selain itu Keraf (1980:53) menyatakan adanya perubahan pemakaian kata makna untuk pengertian dari kata dan menggantinya dengan ide. Dia mengatakan bahwa kesatuan- kesatuan yang terkecil yang diperoleh sesudah sebuah kalimat dibagi atas bagian- bagaiannya, dan yang mengandung suatu ide disebut kata.

  Ramlan (1985:33) memberi definisi kata merupakan dua macam satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem. Misalnya kata belajar terdiri dari tiga suku yaitu be, la, dan jar. Suku /be/ terdiri dan dua fonem, suku /la/ terdiri dari dua fonem. Dan jar terdiri dari tiga fonem. Jadi kata belajar terdiri dari tujuh fonem yaitu / b,e,l,a,j,a,r /. Jadi yang dimaksud dengan kata adalah satuan bebas yang paling kecil atau dengan kata lain setiap satuan bebas merupakan kata.

  Kata dalam bahasa Jepang disebut dengan go atau tango. Iwabuchi Tadasu dalam Sudjianto dan Ahmad Dahidi (2007:136-137) menyebut tango dengan istilah go. Dia menyebutkan bahwa tsuki, hashira, omoshiroi, rippada, sono, mettani, shikashi,

  , dan sebagainya disebut go( 語) atau tango ( 単語). Go merupakan satuan

  rareru

  terkecil di dalam kalimat. Misalnya pada kalimat ‘Hana ga saku’ (bunga berkembang) dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil akan menjadi hana-

  

ga -saku, bagian-bagian kalimat ini tidak dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang

  lebih kecil lagi. Kalaupun dibagi-bagi lagi akan menjadi ha-na-ga-sa-ku yang hanya merupakan deretan silabel (onsetsu) yang tidak mempunyai arti apapun. Go memiliki arti tertentu, diucapkan sekaligus, dan memiliki arti tertentu. Di dalam sebuah kalimat go secara langsung dapat membentuk sebuah kalimat (bunsestsu).

2.1.5.Proses Pembentukan Kata

  Istilah kata sering kita dengar dan gunakan dalam kehidupan sehari-hari karena selalu ada di dalam segala kesempatan dan keperluan. Bukan begitu saja tercipta, tapi melalui proses pembentukan kata. Proses pembentukan yang ada pada suatu bahasa ada bermacam-macam jenisnya, begitupun halnya dengan bahasa Jepang. Proses pembentukan kata dalam bahasa Jepang, seperti dalam pendapat Tsujimura (1996: 153) menyatakan bahwa ada beberapa cara pembentukan kata di dalam bahasa Jepang.

  Seperti berikut: 1.

  Pemberian imbuhan atau afiksasi Afiksasi merupakan proses yang sangat umum dalam pembentukan sebuah kata.

  Proses ini terdiri dari pemberian awalan maupun akhiran.

  2. Penggabungan kata atau komposisi Penggabungan kata merupakan proses penggabungan dua morfem atau lebih. Pada umumnya, proses ini menggabungkan morfem bebas. Akan tetapi, terdapat juga proses penggabungan morfem bebas dengan morfem terikat. Ada berbagai cara penggabungan kata di dalam bahasa Jepang. Penggabungan kata di dalam bahasa Jepang asli, tulisan kanji, atau gabungan kata dari asal yang berbeda.

  3. Reduplikasi Kata Reduplikasi merupakan proses pengulangan kata atau suatu bagian dari sebuah kata dengan tujuan menciptakan kosa kata yang baru. Dalam bahasa Jepang, hasil proses reduplikasi ini salah satunya merupakan tiruan bunyi atau onomatope.

  4. Pelesapan Kata Proses pembentukan kata yang lain adalah pelesapan kata. Dengan proses ini, salah satu bagian dari sebuah kata dilesapkan.

  5. Peminjaman Kata Proses terakhir di dalam pembentukan kata adalah peminjaman kata. Semua kata pinjaman termasuk gabungan tulisan kanji merupakan bagian dari proses ini. Pada saat terjadi proses peminjaman kata dari bahasa asing lainnya, kata yang dipinjam akan mengalami perubahan fonetik sehingga sesuai dengan sitem fonetik yang berlaku dalam bahasa Jepang.

  Berbagai ahli juga berpendapat tentang proses pembentukan kata (word

  

formation ). Sibarani (2006:65-100) membagi proses pembentukan kata menjadi 14

  bagian: 1) compounding, 2) affixation, 3) reduplication, 4) internal modification, 5)

  

suppletion , 6) acronyms, 7) back formation, 8) blending, 9) clipping, 10) coinage, 11)

conversion , 12) morphological misanalysis (false etymology), 13) proper names, dan

  14) deviating.

  Kridalaksana (2010: 12), membagi tipe pembentukan kata ke dalam enam bagian: 1) afiksasi, 2) reduplikasi, 3) komposisi, 4) abreviasi, 5) derivasi balik, 6) metaanalisis.

  Bahasa yang dibentuk oleh proses morfologis akan membentuk kata-kata yang secara normal menjadi kata yang beraturan. Pembentukan kata-kata secara produktif tersebut menggunakan satu atau beberapa proses morfologis. O’Grady dan Dobrovolsky dalam

  Ba’dulu dan Herman (2005:30) menyatakan bahwa ada dua jenis pembentukan kata yang paling umum, yaitu (1) derivasi dan (2) pemajemukan. Keduanya menciptakan kata dari morfem-morfem yang ada. Derivasi adalah suatu proses, pembentukan suatu kata baru dari suatu pangkal, biasanya melalui penambahan suatu afiks. Derivasi juga merupakan suatu proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata-kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda), dalam pembentukan derivasi bersifat tidak dapat diramalkan (unpredictable). Pemajemukan adalah suatu proses yang mencakup penggabungan dua kata (dengan atau tanpa afiks) untuk menghasilkan suatu kata baru.

  Koizumi (1993:160) mengemukakan bahwa ada beberapa tipe pembentukan kata dalam bahasa Jepang. Hal ini tergantung pada bentuk katanya, ada juga yang dapat dilihat dengan memegang strukturnya, dan ada juga yang tidak terlalu rumit yaitu dapat dengan menebak susunannya saja. Penentuan struktur secara sintaksis lebih mudah bagi bahasa yang memiliki banyak perubahan bentuk kata, tetapi bagi bahasa yang miskin akan perubahan kata, maka harus dilihat dari awal sampai akhir urutan pembentukan kata. Jadi pembentukan kata tergantung juga sifat dari sebuah bahasa. Samsuri (1994: 190) menyatakan bahwa proses pembentukan kata (derivasi) dapat dikatakan juga dengan proses morfemis. Proses morfermis adalah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Proses pembentukan kata dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gokeisei.

  Sutedi (2003:45) menyebutkan pembentukan bahasa Jepang dibagi atas empat bagian dan hasil dari pembentukan kata dalam bahasa Jepang tersebut, salah satunya adalah karikomi / shoryakugo.

  (1) Haseigo, yaitu kata yang sudah mengalami perubahan bentuk, penambahan imbuhan dan proses perubahan ucap.

  Contoh :

  • benkyou (pelajaran)+ suru (melakukan) = benkyousuru (bela
  • - supotsu (olahraga) + suru (melakukan)= supotsusuru (olahraga)

  (2) Fukugougo/goseigo, yang disebut juga dengan kata majemuk dalam bahasa Jepang. Kata majemuk (fukugo) yaitu penggabungan dua buah kata yang membentuk satu kata baru.

  Contoh :

  • ame (hujan) + kasa (payung) = amegasa (payung hu
  • -tabe (makanan)+ mono (barang)= tebemono (makanan)

  (3) Karikomi/shouryaku, merupakan akronim yang berupa suku kata (silabis) dari kosakata aslinya.

  Contoh : テレビ (terebi) -

  Merupakan pemendekan dari kata テレビジョン (terebishon) yang artinya ‘TV’.

  パソコン ( ) pasokon

  • Merupakan pemendekan dari kata パ ー ソ ナ ル . コ ン ピ ュ ー タ ー

  ( paasonaru konpyuuta) yang artinya ‘komputer pribadi’.

  • - (toudai )

  Merupakan pemendekan dari kata 東京大学 (toukyou daigaku) yang artinya ‘Universitas Tokyo’.

  (4) Toujigo, merupakan singkatan huruf pertama yang dituangkan dalam huruf alfabet (romaji).

  Contoh :

  • NHK(Nippon Housou Kyoukai

  Adalah singkatan dari 日本放送協会 (Nippon Housou Kyoukai)yang artinya ’siaran TV Jepang’.

  • WC

  Adalah singkatan dari Water Closet yang artinya ’ kamar kecil’.

  Dalam pembentukan kata ini, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Sutedi yang membagi pembentukan kata ke dalam empat bagian. Sutedi mengemukakan bahwa salah satu pembentukan kata dapat dibentuk dari proses

  

shouryakugo . Shouryakugo merupakan proses memendekkan kata yang panjang

  menjadi pendek, hasil pemendekan kata tersebut dalam bahasa Jepang disebut dengan ryakugo .

2.2. Abreviasi

  Kridalaksana (2008:1), menjelaskan bahwa abreviasi merupakan proses morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata.

  Kridalaksana (2010:159) menjelaskan bahwa abreviasi adalah proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk abreviasi ialah pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kependekan. Kridalaksana (2010:162) juga menambahkan bahwa abreviasi memiliki bentuk sebagai berikut: (1)

  Singkatan, yaitu salah satu proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf, seperti: FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) DKI (Daerah Khusus Ibukota) KKN (Kuliah Kerja Nyata) dll (dan lain lain) dng (dengan) dst (dan seterusnya)

  (2) Penggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian dari leksem, seperti :

  Prof (profesor) Bu (ibu) Pak (bapak)

  (3) Akronim, yaitu proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik Indonesia, seperti: FKIP dibaca /efkip/ dan bukan /ef/,/ka/,/i/,/pe/ ABRI /abri/ dan bukan /a/,/be/./er/,/i/

  AMPI /ampi/ dan bukan /a/, /em/, /pe/. /i/ (4)

  Kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem seperti: Tak dari tidak Takkan dari tidak akan Sendratari dari seni drama dan tari Berdikari dari berdiri di atas kaki sendiri Rudal dari peluru kendali

  (5) Lambang huruf, yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih yang menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan atau unsur, seperti: g (gram) cm (sentimeter) Au (aurum)

  Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayan (1996: 391-392) dalam buku

  

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan membagi abreviasi

  sebagai berikut : 1)

  Singkatan, adalah bentuk yang dipendekan yang terdiri dari satu huruf atau lebih 2)

  Akronim, adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret yang diperlukan sebagai kata. seperti yang

   singkatan dari kata ‘peluru kendali’, dan ‘inspeksi mendadak

  ’. Senada dengan Chaer (2012:191) yang mengatakan bahwa abreviasi adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya. Hasil proses pemendekan ini disebut dengan kependekan. Chaer juga menambahkan bahwa proses pemendekan ini dibagi menjadi : 1) Penggalan.

  Yaitu kependekan berupa pengekalan satu atau dua suku kata pertama dari bentuk yang dipendekkan itu. Misalnya, kata ‘lab’ yang dipendekkan dari kata laboratorium, kata

  ‘perpus’ yang dipendekkan dari kata ‘perpustakaan’. 2) Singkatan.

  Yaitu hasil proses pemendekan. Misalnya, DPR yang merupakan singkatan dari kata ‘Dewan Perwakilan Rakyat’.

  3) Akronim.

  Yaitu hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Wujud pemendekannya dapat berupa pengekalan huruf-huruf pertama, pengekalan suku-suku kata dari gabungan leksem, maupun secara tak beraturan. Misalnya, kata

  ABRI’ yang merupakan singkatan dari ‘Angkatan Bersenjata Republik

  Indonesia ’, kata ‘juklak’ yang merupakan singkatan dari kata ‘petunjuk pelaksanaan

  ’, kata ‘inpres yang merupakan singkatan dari kata’ instruksi presiden ’, kata ‘wagub’ yang merupakan singkatan dari kata ‘wakil gubernur’, kata

  ‘wakuncar’ yang merupakan singkatan dari kata ‘waktu kunjung pacar’. Dalam bahasa Jepang, abreviasi disebut dengan shouryakugo. Menurut Nomoto (1988:950) shouryakugo adalah penyingkatan, yaitu proses menyingkat suatu kalimat supaya menjadi lebih pendek dan sederhana.

  Apabila dilihat dari pengertian abreviasi dalam kamus linguistik bahasa Jepang (Gendai Gengogaku Jiten)menurut Harumi (1987:1) pengertian abreviasi adalah

  

shouryakugo , yaitu kakikotoba toshite, go ya gogun no bunsho o shouryakusurukoto

yang berarti ‘ kata yang ditulis dengan menyingkatkan kata atau kalimat’.

  Hal ini juga senada pada pengertian shouryaku menurut Haruhiko (1978:950) me nyebutkan ‘kantan ni suru tameni, aru monogoto. bunshou nado no Ichibu o ryaku

  

koto ’, yaitu ’hal yang menyingkatkan satu kalimat atau hal yang ada supaya menjadi

  bentuk yang lebih gampang ’. Maka dapat disimpulkan bahwa shouryakugo adalah proses pemenggalan kata dengan memotong kemudian membuangnya sehingga menjadi kata baru yang dalam bahasa Jepang disebut dengan ryakugo.

  Ryakugo dapat berbentuk akronim, penggalan dan singkatan. Menurut Sutedi

  (2003:45), akronim merupakan bagian dari shouryakugo. Shouryakugo adalah akronim yang berupa suku kata (silabis) dari kosakata aslinya.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan batasan akronim sebagai kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (Moeliono dkk., 1990: 4). Menurut Kridalaksana (2010:162), Akronim yaitu proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996: 391-392) menjelaskan akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret yang diperlukan sebagai kata. Senada dengan hal tersebut, Chaer (2012:191) menyebutkan bahwa akronim adalah hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Wujud pemendekannya dapat berupa pengekalan huruf-huruf pertama, berupa pengekalan suku-suku kata dari gabungan leksem, atau bisa juga secara tak beraturan.

2.2.1. Ryakugo

  Dalam kamus Kokugo Daijiten, pengertian ryakugo adalah gokei no ichi bubun o

  habuite kanshou ni shita tango , yaitu

  ‘kata yang telah disingkat dengan memotong satu bagian bentuk kata ’.

  Ryakugo menurut Mizutani (1985: 198), adalah ryakugo wa nagai meishou o shouryakushita tango , yang berarti

  ‘ ryakugo merupakan kata yang disingkat dari kalimat yang panjang ’. Kemudian, Hayashi (1993:1042) mengatakan ryakugo wa

  kotoba no ichigo o shouryakushite, mijikakushitaihou desu , yang berarti

  ‘ryakugo adalah kata yang disingkat dengan cara memendekkan dan menyingkatkan satu bagian kata

  ’. Maka dapat disimpulkan bahwa ryakugo merupakan kata yang telah disingkat atau disederhanakan. terbentuk dari kango (huruf Cina), wago (huruf Jepang), gairaigo (kata

  Ryakugo

  pinjaman), dan romaji (huruf latin) sehingga muncul berbagai ryakugo seperti OL, NHK, dan ryakugo yang terdiri dari satu karakter seperti 研(ken) dari 研究(kenkyuu) yang berarti penelitian, serta penyederhanaan kata-kata dari bahasa asing, contohnya:

  baito, apo . Ada pula ryakugo campuran yang merupakan kombinasi dari unsur-

  unsurnya kango, wago, gairaigo, dan romaji seperti 学割 (gakuwari) singkatan dari 学生割引(gakusei waribiki) yang artinya ‘potongan untuk pelajar’.

  Ryakugo akan terus bertambah dan beragam karena struktur bahasa Jepang yang

  membuat ryakugo produktif. Sebagaimana sering terlihat bahwa naskah-naskah bahasa Jepang terdiri dari campuran huruf kanji, hiragana, katakana, dan romaji.

  Dengan demikian dapat dengan mudah membuat kata-kata baru. Selain menambah kosakata bahasa Jepang, ryakugo juga digunakan untuk menyederhanakan nama orang, nama perusahaan dan nama organisasi, seperti penyingkatan nama diri yang dijadikan nama panggilan atau nama kesayangan seperti さっちゃん(sacchan), singkatan dari nama さち子 (sachiko)

  Ada juga ryakugo yang digunakan secara khusus agar istilah-istilah atau karakter-karakter tertentu tidak diketahui oleh orang lain maksudnya. Polisi dan kelompok anak muda banyak menggunakan ryakugo ini untuk tujuan tertentu. Contohnya:

  • 薬 (yaku) , singkatan dari kata 麻薬 (mayaku) yang artinya ‘obat narkotik’
  • が い し ゃ (gaisha), singkatan dari kata ひ が い し ゃ (higaisha) yang artinya

  ‘korban’

  • ノート(nooto), singkatan dari kata ノートブック(nootobukku), yang artinya

  ‘notebook’

  Ryakugo tidak hanya bertujuan agar sulit dimengerti, namun juga untuk

  mempererat solidaritas di kalangan mereka dan juga agar menarik. Ada juga ryakugo yang dihasilkan dari kata-kata yang sedang populer digunakan masyarakat Jepang, seperti 銀ぶら(ginbura), singkatan dari kata 銀座どりをぶらくつ (Ginza dori o

  burakutsu ) yang artinya ‘jalan-jalan di jalan Ginza’.

  Selain itu, ada juga ryakugo yang sudah biasa digunakan sehari-hari hingga menjadi sebuah kata yang independen. Secara tidak sadar orang Jepang banyak yang mengabaikan bahkan tidak tahu-menahu bentuk asal kata-kata itu, baik cara baca

  kanji nya maupun dalam bentuk romaji. Padahal kata tersebut berasal dari pinjaman

  bahasa asing. Contohnya:

  • パソコン (pasokon), singkatan dari kata パソナルコンピューター (pasonaru

  konpyuutaa ) yang artinya ‘personal komputer’.

  • ワ ー プ ロ (waapuro), singkatan dari kata ワ ー ド プ ロ セ ッ サ ー (waado

  purosessaa ) yang artinya ‘word prosessor’.

  Dalam penyingkatan ryakugo, pemilihan huruf kanji mana yang dipilih menjadi faktor penting yang menjadi pembentukan ryakugo karena dalam satu huruf kanji terdapat cara baca yang lebih dari satu. Seperti pada ryakugo berikut ini: 阪神 (hanshin), yaitu singkatan dari kata 大阪 神戸 (oosaka koube). Pada kata ini, tidak disingkat menjadi 阪 戸 (saka be) atau 大 神 (daishin), kata sakabe dapat membingungkan karena bertentangan dengan kata yang sudah ada yaitu kata sakaba yang artinya

  ‘tempat minuman keras’. Oleh karena itu, digunakan kata hanshin untuk menyingkat kata Oosaka dan Koube dengan cara baca onyomi yang digunakan.

  Begitu juga halnya dengan kata 神戸大学 (koebe daigaku) yang disingkat menjadi kata 神大(shindai) yang artinya ‘Universitas Kobe’.

  Selanjutnya kata office lady yang disingkat menjadi OL dan dibaca dengan /oeru/ yang artinya ‘karyawati’. Bentuk ini dapat dikatakan dengan singkatan karena terbentuk dari huruf awal tiap kata, tetapi dapat juga dikategorikan dalam akronim karena kata OL tidak dibaca dengan /oel/ seperti singkatan yang dibaca huruf demi huruf, tetapi dalam bahasa Jepang dibaca dengan ejaannya yaitu /oeru/. Oleh karena itu, singkatan ini dapat disebut sebagai akronim. Untuk mengatahui apakah gabungan huruf-huruf itu tersebut termasuk ryakugo atau bukan, harus tahu terlebih dahulu bagaimana orang Jepang melafalkannya. Jika melafalkannya seolah-olah seperti sebuah kata, maka gabungan huruf-huruf tersebut disebut dengan ryakugo. Contoh lainnya yaitu;

  • ビップ (VIP) artinya Very Important Person - ジャル (JAL) artinya Japan Airlines - アナ (ANA) artinya All Nipon Airlines Karakter huruf kanji dalam pembentukan ryakugo mempengaruhi pembentukan

  

ryakugo . Pemilihan kata yang dipendekkan dapat mewakilkan arti dari kata yang

  dimaksud. Misalnya pada kata gakkoochoo yang artinya ‘kepala sekolah’. Pada kata tersebut dipendekkan menjadi koochoo. Jika dilihat pada arti tiap huruf kanjinya, berarti

  gaku

  ‘belajar’, koo berarti ‘sekolah’ dan choo berarti ‘kepala’, maka dipilih gabungan huruf kanji koochoo yang dipendekkan untuk melambangkan arti ‘kepala sekolah

  ’ dan membuang kata gaku yang berarti ‘belajar’ karena tidak berpengaruh terhadap kata’ kepala sekolah’. Dari beberapa penggunaan ryakugo tersebut, dapat kita lihat bahwa ryakugo digunakan oleh berbagai kalangan dan akan terus berkembang. Ryakugo juga bisa berbentuk akronim, penggalan dan singkatan dalam bahasa Jepang.

2.2.1.1. Pola Pembentukan Ryakugo

  Dalam proses pembentukan akronim, Kridalaksana (2010:170) membagi menjadi 16 sub klasifikasi, yaitu : 1)

  Pengekalan suku pertama dari tiap komponen, misalnya orba = orde baru 2)

  Pengekalan suku pertama komponen pertama dan pengekalan kata seutuhnya, misalnya: banstir = banting stir 3)

  Pengekalan suku kata terakhir dari tiap komponen, misalnya : Menwa= resimen mahasiswa 4)

  Pengekalan suku pertama dari komponen pertama dan kedua serta huruf pertama dari komponen selanjutnya, misalnya: Gapani = Gabungan Pengusaha Apotek Nasional Indonesia

  5) Pengekalan suku pertama tiap komponen dengan pelesapan konjungsi, misalnya:

  Anpuda = Andalan Pusat dan Daerah 6)

  Pengekalan huruf pertama tiap komponen, misalnya: KONI = Komite Olahraga Nasional Indonesia

  7) Pengekalan huruf pertama tiap komponen frase dan pengekalan dua huruf pertama komponen terakhir, misalnya: Aika = Arsitek Insinyur Karya

  8) Pengekalan dua huruf pertama tiap komponen, misalnya: Unud = Universitas

  Udayana 9)

  Pengekalan tiga huruf pertama tiap komponen, misalnya: Konwil = Komando Wilayah

  10) Pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan tiga huruf pertama komponen kedua disertai pelepasan konjungsi, misalnya: abnon = abang dan none

  (jkt) 11)

  Pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan ketiga serta pengekalan tiga huruf pertama komponen kedua, misalnya : Nekolim = Neokolonialis, Kolonialis, Imperialis

  12) Pengekalan tiga huruf pertama komponen pertama dan ketiga serta pengekalan huruf pertama komponen kedua, misalnya: Nasakom = Nasionalis, Agama,

  Komunis. 13)

  Pengekalan tiga huruf pertama tiap komponen serta pelepasan konjungsi, misalnya: Falsos = Falsafah dan sosial.

  14) Pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan tiga huruf pertama komponen kedua, misalnya: Jabar = Jawa Barat.

  15) Pengekalan empat huruf pertama tiap komponen disertai pelesapan konjungsi, misalnya: Agritpop = Agitasi dan propaganda.

  16) Pengekalan berbagai huruf dan suku kata yang sukar dirumuskan, misalnya Akaba = Akademi Perbankan.

  Chaer (2008:236) juga membagi proses pembentukan akronim, yaitu: 1)

  Pengambilan huruf-huruf (fonem-fonem) pertama dari kata-kata yang membentuk konsep itu. Misalnya:

  • IKIP : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan - IDI : Ikatan Dokter Indonesia - ABRI : Angkatan Bersenjata Repeublik Indonesia 2) Pengambilan suku kata pertama dari semua kata yang membentuk konsep itu.

  Misalnya:

  • Rukan : rumah kantor
  • Balita : bawah lima tahun
  • Orpol : organisasi politik 3)

  Pengambilan suku kata pertama ditambah dengan huruf pertama dari suku kata kedua dari setiap kata yang membentuk konsep itu. Misalnya:

  • Warteg : warung tegal
  • Depkes : departemen kesehatan
  • Kalbar : kalimantan barat 4) Pengambilan suku kata yang dominan dari setiap kata yang mewadahi konsep itu.

  Misalnya:

  • Juklak : petunjuk pelaksanaan
  • Tilang : bukti pelanggaran
  • Litbang : penelitian dan pengembangan

  5) Pengambilan suku kata tertentu disertai dengan modifikasi yang tampaknya tidak beraturan; namun masih dengan memperhatikan keindahan bunyi.

  Misalnya:

  • Pilkada : pemilihan kepala daerah
  • Organda : organisasi angkutan darat
  • Kloter: kelompok terbang 6)

  Pengambilan unsur-unsur kata yang mewadahi konsep itu, tetapi sukar disebutkan keteraturannya termasuk di seni. Misalnya:

  • Sinetron : sinema elektronik
  • Insert : informasi selebritis
  • Satpam: satuan pengaman

  Berdasarkan bagian yang dilesapkan dalam proses pembentukan ryakugo di

  1 dalam skripsi Ristanti (2009:23) diklasifikasikan menjadi empat seperti berikut ini.

  1.

  上略(Jouryaku ; merupakan kata yang bagian awalnya mengalami proses pelesapan. Contohnya: mi ire yang dipendekkan dari kata kami ire.

  2.

  下略(Geryaku) ; merupakan kata yang bagian akhirnya mengalami proses pelesapan. Contohnya : seiza yang dipendekkan dari kata seizaburou.

  3.

  中略(Chuuryaku) ; merupakan kata yang mengalami proses pelesapan di bagian tengah. Contohnya: gomasu yang dipendekkan dari kata gomakasu .

1 Pada skripsi ini,penulis tidak mencantumkan nama pakar yang mengatakan teori pola pembentukan shouryakugo ini.

  4.

  上下略(Jougeryaku) ; merupakan kata yang mengalami proses pelesapan di bagian awal dan akhir, contohnya: nobi yang dipendekkan dari kata shinobikomi.

  Sedangkan didalam skripsi Dimas Andi (1995:40) membagi shouryakugo

  2

  kedalam tiga bentuk : 1.

  Shouryaku sedehana :

  • Penghapusan di awal kata (joryaku), contohnya : baito yang dipendekkan dari kata arubaito.
  • Penghapusan di tengah kata (churyaku), contohnya : gaijin yang dipendekkan dari kata gaikokujin.
  • Penghapusan di akhir kata (geryaku), contohnya: terebi yang dipendekkan dari kata terebishon.
  • Penghapusan di awal dan di akhir kata (jogeryaku), contohnya: yochiren yang dipendekkan dari kata jishinyochirenrakukai.

  2. Shouryaku gabungan:

  • dari kata majemuk, misalnya: nyuushi yang dipendekkan dari kata nyuugakushiken .
  • dari frase, misalnya: osakini yang dipendekkan dari kata osakini shitsureishimasu.

  3. Menyederhanakan istilah yang panjang dengan istilah yang pendek.

  Hal ini merupakan bukan ryakugo yang sebagaimana mestinya karena tidak sesuai dengan definisi shouryakugo. Bentuk ini mengganti istilah yang panjang menjadi

  2 Pada skripsi ini penulis tidak mencantumkan nama pakar yang mencantumkan teori pembentukan shouryakugo ini. istilah yang lebih pendek. Misalnya: gorin yang digunakan untuk mengganti istilah orinpiku.