PENERJEMAHAN BUDAYA DAN IDEOLOGI pdf
PENERJEMAHAN ISTILAH BUDAYA SOSIAL DAN MATERIAL
DALAM SUBTITLING FILM THE LAST PRINCES
Jaya
Jaya_asbat@yahoo.com
Faculty of Humanity, Diponegoro University
abstrak
Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif tentang
penerjemahan istilah budaya yang terdapat dalam film The Last Princes.
Terdapat dua hal yang dikaji yaitu: 1). istilah-istilah budaya sosial dan budaya
material yang terkandung dalam film The Last Princes, 2). strategi yang dipakai
penerjemah dalam penerjemahan istilah-istilah budaya tersebut. Hasil penelitian
berupa terdapat tiga puluh tujuh dari total semua istilah budaya spesifik yang
mana istilah budaya sosial menempati urutan paling banyak yaitu tiga puluh satu
dan budaya material sebanyak enam sitilah yang terdapat di dalam film The Last
Princes yaitu: Bujang-nim, Pyeha, Agissi, Agaya/Aga, Gimimnyeon, Cheonwang,
Abamama, Aebi, Sukbunim, Buma, Aboenim, Mama, Gomun, Wanggungjuk,
Gwiin, Eomoni, Denka, Choka, Ohi Denka, Bijeonha, Gomomama, Danjang,
Janggyo, Hakushaku, Orabeoni, Hwangjuk, Onesama, Kimiko,
Onisama,
Hyungnim, Sujeonggwa, Kimono, Chongdokbu, Oshu, sashimi, Kimchi Chigae,
Bugeogukjuk. Kemudian strategi yang dipakai oleh penerjemah adalah: 1)
menerjemahkan dengan menggunakan kata pinjaman, 2) kata pinjaman dengan
penjelasan.
Kata-kata kunci: Penerjemahan, Istilah Budaya Sosial, Budaya Material
subtitling
PENDAHULUAN
Permasalahan
yang
sering
dihadapi
oleh
seorang
penerjemah
dalam
proses
menerjemahkan suatu bahasa yang sangat kental dengan nilai-nilai budaya masyarakat penutur
bahasa tersebut adalah apabila dalam bahasa target tidak ditemukan konsep budaya yang sama
dengan bahasa sumber sehingga tidak adanya padanan yang tepat.
Dalam menerjemahkan konsep-konsep budaya dalam subtitling sebuah film memerlukan
tekhnik tertentu dikarenakan adanya keterbatasan waktu dan juga tempat atau posisi dalam
menuliskan subtitling yang harus menyesuaikan dengan layar tampilan sebuah film tersebut.
biasanya diperlukan sebuah catatan-catatan tambahan yang menjelaskan sebuah istilah budaya
yang mengambil tekhnik borrowing agar orang-orang bisa memahami maksud atau pesan dari
sebuah alur cerita dalam perfileman.
Dalam konteks penyampaian pesan kepada penonton, subtitling merupakan salah satu
bagian komposisi semiotik dalam film. Menurut Baker & Saldanha (2008: 13) Disebutkan
terdapat lima faktor penting dalam penerjemahan audiovisual
yang berperan dalam
penyampaian pesan dalam film yaitu berupa bahasa, gambar, music, warna, dan perspektif. Pada
tulisan Baker sebelumnya pada tahun 1998 menyebutkan bahwa terdapat 4 media penyaluran
pesan dalam penerjemahan audiovisual yaitu 1). verbal auditory channel (VAC), meliputi dialog
dan suara-suara latar (background voices) dan mungkin juga berupa lirik, 2). non-verbal auditory
channel (NAC), meliputi bunyi-bunyi natural, efek bunyi (sound effects), dan musik, 3). verbal
visual channel (VVC), mengkombinasikan subtitles dengan tulisan-tulisan yang terdapat dalam
adegan film misalnya surat, poster, buku, surat kabar, graffiti, atau iklan, 4). non-verbal visual
channel (NVC), meliputi susunan gambar, posisi kamera, perpindahan dan gerakan serta editing
yang mengontrol alur umum dan mood film. Komposisi tersebut menyebabkan penerjemahan
film berbeda dari mode penerjemahan lain misalnya penerjemahan buku teks, novel, dan
sejenisnya. Penerjemahan dalam bentuk subtitling memerlukan strategi khusus dalam
menyampaikan pesan yang terkandung di dalam film kepada penonton.
Dengan demikian, penerjemahan film yang mengandung banyak konsep budaya spesifik
dalam bentuk subtitling merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Secara empiris,
penelitian di bidang ini pernah dilaksanakan oleh Paramarta (2008) yang mengkaji subtitling
bahasa Indonesia dari sebuah film berbahasa Jepang dengan judul penelitian Penerjemahan
Istilah Budaya Spesifik dalam Subtitling Film Memoirs of a Geisha (MOG). Penelitian kedua
yang menjadi pembanding dalam paper ini adalah dari Danyati (2012) dengan judul penelitian
Penerjemahan Kata-Kata Berkonsep Budaya Dalam Novel Anchee Min “Empress Orchid”
(Suatu Analisis Terjemahan Sastra). Penelitian ketiga adalah dari Seul (2013 dengan judul
Translation of Cultural Terms in Subtitle of Korean Variety Show “Running Man”, penelitian ini
meneliti tentang berbagai istilah budaya yang digunakan dalam teks (subtitle) film variety show
Korea yang berjudul Running Man.
Kebaharuan (novelty) dalam paper ini terletak pada objek kajiannya yaitu film The Last
Princes yang memakai bahasa Korea ke dalam subtitling bahasa Indonesia. Film ini merupakan
adaptasi dari kehidupan tentang putri terakhir era Joseon yang bernama putri Deokhye (1912-
1989), serta penelitian ini berfokus pada permasalahan yang berbeda dengan penelitian
sebelumnya yaitu pada istilah-istilah budaya sosial dan budaya material dalam film The Last
Princes.
Bertolak dari latar belakang di atas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini
adalah 1). Istilah-istilah budaya sosial dan budaya material seperti apa yang terkandung dalam
film The Last Princes, 2). Strategi apa saja yang dipakai penerjemah dalam penerjemahan
istilah-istilah budaya sosial dan budaya material tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah 1). Menganalisis istilah-istilah budaya sosial dan budaya
material apa saja yang terkandung dalam film The Last Princes, 2). Mengklasifikasikan Strategi
apa saja yang dipakai penerjemah dalam penerjemahan istilah-istilah budaya sosial dan budaya
material tersebut.
Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap
kajian Translation khususnya tentang terjemahan budaya. Selain manfaat teoritis, manfaat
praktis yang terdapat dalam penelitian ini adalah (1) Diharapkan dapat menambah wawasan
masyarakat (pengajar bahasa, pemerhati bahasa, dan peneliti lain) tentang kajian terjemahan
budaya (2) Penelitian ini bisa dijadikan landasan berfikir, karena penelitian ini memiliki
keterbatasan maka diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut lagi oleh peneliti selanjutnya
sehingga mendapatkan kajian yang lebih mendalam.
LANDASAN TEORI
Newmark (1991:27) menganggap bahwa penerjemahan sebagai pengalihan makna, baik
sebagian maupun dalam unit suatu bahasa. Keseluruhan maupun sebagian teks dari satu bahasa
kedalam bahasa yang lain. Penelitian penerjemahan ini terutama akan berpegang pada teori
penerjemahan berdasarkan makna yang diajukan Larson, dan akan didukung oleh teori Nida dan
Taber. Nida (1974:13) berpendapat bahwa dalam penerjemahan, makna adalah hal utama yang
akan dialihkan dan untuk itu sering penerjemah harus mengubah sudut pandangnya berdasarkan
sudut pandang bahasa sasaran. Untuk mendapatkan makna yang paling sepadan tersebut
diperlukan berbagai upaya penyesuaian gramatikal dan leksikal.
Menurut Newmark (1991:81), prosedur penerjemahan sebagai berikut:
1. Transference merupakan proses transfer kata dari TSu ke kata di TSa.
2. Naturalization merupakan pengucapan dan tata penulisannya sudah disesuaikan dengan
aturan bahasa sasaran.
3. Cultural equivalent berarti memindahkan kata budaya dalam BSu ke BSa
4. Functional equivalent: penerjemahan kata berkonteks budaya dengan cara menggunakan
kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free word) dan kadangkadang dengan
ungkapan spesifik baru
5. Descriptive equivalent merupakan pemadanan yang dilakukan dengan memberikan
deskripsi dan kadang-kadang dipadukan dengan fungsi.
6. Componential analysis: Berusaha mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata bahasa
sumber.
7. Synonymy, penerjemah juga bisa menggunakan kata bahasa sasaran yang kurang lebih
sama untuk kata-kata bahasa sumber yang bersifat umum kalau enggan untuk
menggunakan analisis komponensial.
8. Through-translation merupakan pemadanan melalui substitusi linear elemen suatu bahasa
dengan elemen bahasa yang lain (biasanya frasa benda), di sebut juga calque atau loan
translation.
9. Shifts or transpositions: mengubah struktur kalimat TSu ke dalam TSa agar dapat
memperoleh terjemahan yang betul.
10. Modulation, yakni pergeseran sudut pandang atau perspektif Recognized translation, hal
ini terjadi ketika penerjemah menggunakan istilah resmi atau umum dari suatu bidang.
11. Compensation: hal ini terjadi bila penerjemah kehilangan makna di salah satu bagian
kalimat, akan terjadi kembali di kalimat berikutnya.
12. Paraphrase merupakan penegasan atas penjelasan makna suatu segmen dalam suatu teks.
13. Couplets: terjadi ketika penerjemah menggabungkan dua prosedur yang berbeda.
14. Notes, additions, glosses merupakan catatan tambahan informasi dalam sebuah
terjemahan. Sebelum menerjemahkan, kita harus tahu untuk siapa, tujuannya apa dan
jenis terjemahan apa yang diinginkan. Karena itulah Benny Hoed
Ada
beberapa
teknik
atau
strategi
untuk
menangani
masalah
ketidaksepadanan
(nonequivalence) dalam proses penerjemahan. Berbagai strategi pemadanan telah diusulkan oleh
berbagai pakar. Salah satunya adalah teknik penerjemahan Hoed (2006:72) yang antara lain:
1. Transposisi, mengubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang betul.
2. Modulasi, penerjemah memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut
pandang artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan
memberikan pesan/maksud yang sama.
3. Penerjemahan Deskriptif, karena tidak dapat menemukan terjemahan/padanan kata BSu
(baik karena tidak tahu maupun karena tidak/belum ada dalam BSa), penerjemah terpaksa
melakukan “uraian” yang berisi makna kata yang bersangkutan.
4. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning), agar suatu kata dipahami (misalnya
nama makanan atau minuman yang masih di anggap asing oleh khalayak pembaca BSa),
biasanya penerjemah memberikan kata-kata khusus untuk menjelaskannya.
5. Catatan Kaki, penerjemah memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk
memperjelas makna kata terjemahan yang di maksud karena tanpa penjelasan tambahan
itu kata terjemahan diperkirakan tidak akan dipahami secara baik oleh pembaca.
6. Penerjemahan Fonologis, penerjemah tidak dapat menemukan padanan yang sesuai
dalam bahasa Indonesia (BSa) sehingga ia memutuskan untuk membuat kata baru yang di
ambil dari bunyi kata itu dalam BSu untuk disesuaikan dengan sistem bunyinya
(fonologi) dan ejaan (grafologi) BSa.
7. Penerjemahan Resmi/Baku, ada sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku
atau resmi dalam BSa sehingga penerjemah langsung menggunakannya sebagai padanan.
8. Tidak Diberikan Padanan, penerjemah tidak dapat menemukan terjemahannya dalam BSa
sehingga untuk sementara ia mengutip saja bahasa aslinya.
9. Padanan Budaya, menerjemahkan dengan memberikan padanan berupa unsur
kebudayaan yang ada dalam BSa.
Menurut Newmark (1988:95) kata atau ungkapan yang mengandung unsur kebudayaan
dapat dikategorikan menjadi 5 yaitu: 1. ekologi, 2. kebudayaan material (artefak), 3. kebudayaan
sosial, 4. organisasi, dan 5. kebiasaan. Kata atau ungkapan yang mengandung wujud kebudayaan
itu sulit diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran karena konsep yang terkandung di dalamnya
sangat khas pada kebudayaan yang bersangkutan.
PEMBAHASAN:
Dalam film ini ditemukan tiga puluh tujuh istilah budaya dari total budaya sosial dan
budaya material. Istilah-istilah tersebut dikategorikan berdasarkan teori yang dinyatakan oleh
Newmark (1988:94), seperti pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Daftar istilah budaya khusus yang ditemukan dalam film The Last Princes:
ISTILAH
KATEGORI
MAKNA
1. Bujang-nim
Budaya Sosial
Pimpinan
2. Pyeha
Budaya Sosial
Sebutan bagi kaisar
3. Agissi
Budaya Sosial
Panggilan
BUDAYA
terhadap
tuan
putri yang masih kecil
4. Agaya/Aga
Budaya Sosial
Panggilan sayang terhadap
anak
5. Gimimnyeon
Budaya Sosial
Tahun baru yang datang
sekali dalam waktu 60 tahun
6. Cheonwang
Budaya Sosial
Kaisar Jepang
7. Abamama
Budaya Sosial
Raja
8. Aebi
Budaya Sosial
ayahanda
9.Sukbunim
Budaya Sosial
Adik laki-laki ayah
10. Buma
Budaya Sosial
Menantu laki-laki seorang
kaisar
11. Aboenim
Budaya Sosial
Ayah (formal)
12. Sujeonggwa
Budaya Material
Minuman tradisional Korea
yang terbuat dari campuran
kayu manis, jahe, kesemak
kering
13. Mama
Budaya Sosial
Panggilan
kehormatan
terhadap anggota kerajaan
wanita
14. Gomun
Budaya Sosial
Penasihat
15. Kimono
Budaya Material
Baju tradisional Jepang
16.Wanggungjuk
Budaya Sosial
Aristocrat istana
17. Gwiin
Budaya Sosial
Selir junior tingkat I
18. Chongdokbu
Budaya Material
Kantor Gubernur
19. Eomoni
Budaya Sosial
Ibu (formal)
20. Oshu
Budaya Sosial
Ongju (putri) dalam bahasa
(jepang)
(jepang)
Jepang
21. Denka (jepang)
Budaya Sosial
Yang mulia Raja
22. Choka
Budaya Sosial
Perwira senior
23. sashimi
Budaya Material
Makanan tradisional Jepang
Budaya Sosial
Gelar tuan putri yang di
(jepang)
24. Ohi Denka
(jepang)
25. Bijeonha
peroleh melalui pernikahan
Budaya Sosial
Dari kata Wangbi Jeonha
yang bermakna istri Jeonha
(yang mulia)
26. Kimchi Chigae
Budaya Material
Makanan tradisional Korea
hasil fermentasi
27. Gomomama
Budaya Sosial
Tante
28. Danjang
Budaya Sosial
Komandan Resimen
29. Janggyo
Budaya Sosial
Perwira
30. Bugeogukjuk
Budaya Material
Bubur Ikan
31. Hakushaku
Budaya Sosial
Sejenis gelar bangsawan
32. Orabeoni
Budaya Sosial
kakak
33. Hwangjuk
Budaya Sosial
Orang-orang
(jepang)
keturunan
kaisar
34. Onesama
Budaya Sosial
(jepang)
35. Kimiko
Panggilan
hormat
untuk
kakak/kakak ipar
Budaya Sosial
Pangeran
Budaya Sosial
Panggilan
(jepang)
36. Onisama
(jepang)
37. Hyungnim
hormat
untuk
kakak
Budaya Sosial
Sapaan formal di antara
lelaki
Istilah-istilah budaya yang ditemukan di dalam film The Last Princess , hanya difokuskan
pada dua variasi kategori saja karena oleh peneliti dua variasi ini sangat dominan. Kategori
tersebut adalah budaya sosial dan budaya material. Dalam budaya Indonesia, istilah-istilah
tersebut tidak ditemukan sehingga dalam proses penerjemahan, harus diusahakan untuk mencari
padanan terdekat. istilah-istilah yang digunakan yaitu berjumlah tiga puluh tujuh; Bujang-nim,
Pyeha, Agissi, Agaya/Aga, Gimimnyeon, Cheonwang, Abamama, Aebi, Sukbunim, Buma,
Aboenim, Mama, Gomun, Wanggungjuk, Gwiin, Eomoni, Denka, Choka, Ohi Denka, Bijeonha,
Gomomama, Danjang, Janggyo, Hakushaku, Orabeoni, Hwangjuk, Onesama, Kimiko, Onisama,
Hyungnim, Sujeonggwa, Kimono, Chongdokbu, Oshu, sashimi, Kimchi Chigae, Bugeogukjuk.
Istilah-istilah budaya tersebut erat kaitannya dengan narasi yang disampaikan dalam film yang
berlatar kebudayaan Korea tradisional yang sangat kental.
Peneliti dalam paper ini menfokuskan pada dua strategi yang digunakan oleh penerjemah
dalam film The Last Princess. penerjemah memilih untuk menggunakan strategi yang dinyatakan
oleh Baker antara lain:
Penerjemahan dengan menggunakan kata-kata pinjaman (Borrowing) beserta Penjelasan
(Amplifikasi)
Strategi Borrowing (pinjaman) adalah strategi yang paling sering digunakan oleh
penerjemah di seluruh dunia ketika berhadapan dengan terjemahan budaya. Penerjemahan
dengan menggunakan kata-kata pinjaman bermaksud meminjam istilah-istilah budaya pada teks
sumber untuk dituliskan pada subtitling. Strategi ini merupakan aspek foreignization dari
terjemahan film The Last Princess yang mana berfungsi untuk memperkenalkan budaya dari
bahasa sumber terhadap budaya bahasa sasaran dan selain itu juga dikarenakan kata-kata tersebut
tidak memiliki padanan terdekat dalam bahasa sasaran dalam hal ini bahasa Indonesia.
Strategi Amplifikasi merupakan strategi penerjemahan yang memberikan uraian penjelas
(details) yang tidak ada dalam teks bahasa sumbernya. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi
tambahan informasi
atau mengubah ujaran menjadi lebih eksplisit. Tekhnik ini sangat
bermanfaat agar makna yang terdapat di dalam film dapat dipahami secara utuh dan agar
penonton dapat memahami budaya dari bahasa sumber secara baik dan benar.
Berikut ini adalah tabel yang menyajikan daftar istilah budaya sosial dan budaya material
dengan menggunakan strategi Pinjaman dan Penjelasan dalam subtitling film The Last Princess.
Subtitling yang menggunakan strategi kata-kata Pinjaman beserta Penjelasan
BORROWING
AMPLIFIKASI
1. Bujang-nim
-
2. Pyeha
[Pyeha - Sebutan bagi kaisar]
3. Agissi
[Agissi - Panggilan terhadap tuan putri
yang masih kecil]
4. Agaya/Aga
[Agaya - Panggilan sayang terhadap
anak]
5. Gimimnyeon
[Gimimnyeon - Tahun baru yang datang
sekali dalam waktu 60 tahun]
6. Cheonwang
[Cheonwang - Kaisar Jepang]
7. Abamama
-
8. Aebi
[Aebi – ayahanda]
9.Sukbunim
[Sukbunim - Adik laki-laki ayah]
10. Buma
[Buma - Menantu laki-laki seorang
kaisar]
11. Aboenim
-
12. Sujeonggwa
[Sujeonggwa - Minuman tradisional
Korea yang terbuat dari campuran kayu
manis, jahe, kesemak kering]
13. Mama
[Mama
-
Panggilan
kehormatan
terhadap anggota kerajaan wanita]
14. Gomun
[Gomun – Penasihat]
15. Kimono
-
(jepang)
16.Wanggungjuk
[Wanggungjuk - Aristocrat istana]
17. Gwiin
[Gwiin - Selir junior tingkat I]
18. Chongdokbu
[Chongdokbu - Kantor Gubernur]
19. Eomoni
[Eomoni – Ibu]
20. Oshu
[Oshu - Ongju (putri) dalam bahasa
(jepang)
Jepang]
21. Denka (jepang)
[Denka - Yang mulia Raja]
22. Choka
[Choka - Perwira senior]
23. sashimi
-
(jepang)
24. Ohi Denka
[Ohi Denka - Gelar tuan putri yang di
(jepang)
peroleh melalui pernikahan]
25. Bijeonha
[Bijeonha - Dari kata Wangbi Jeonha
yang bermakna istri Jeonha]
26. Kimchi Chigae
-
27. Gomomama
[Gomomama – Tante]
28. Danjang
[Danjang - Komandan Resimen]
29. Janggyo
[Janggyo – Perwira]
30. Bugeogukjuk
[Bugeogukjuk - Bubur Ikan]
31. Hakushaku
[Hakushaku - Sejenis gelar bangsawan]
(jepang)
32. Orabeoni
-
33. Hwangjuk
[Hwangjuk - Orang-orang keturunan
kaisar]
34. Onesama
[Onesama - Panggilan hormat untuk
(jepang)
kakak/kakak ipar]
35. Kimiko
[Kimiko – Pangeran]
(jepang)
36. Onisama
[Onisama - Panggilan hormat untuk
(jepang)
kakak]
37. Hyungnim
-
Tabel diatas menunjukkan terdapat tiga puluh tujuh istilah-istilah budaya yang
diterjemahkan dengan menggunakan strategi kata pinjaman dan amplifikasi. Alasan mengapa
dua strategi tersebut menjadi dominan bisa jadi dikarenakan oleh penerjemah dalam pemilihan
strategi ini dilandasi oleh lima pertimbangan yaitu; pertama, karena dalam BT tidak ditemukan
padanan yang tepat. Walaupun ada padanan yang mendekati, tetapi dikuatirkan padanan tersebut
tidak bisa mewakili makna yang diinginkan dalam BS. Kedua, peminjaman dan penambahan dari
istilah-istilah tersebut dalam BT akan mempertahankan keoriginalan film karena film tersebut
berlatar belakang sejarah suatu negara sehingga harus sangat hati-hati dalam proses pengalihan
makna sehingga tidak terjadi degradasi atau pergeseran makna. Ketiga, proses peminjaman dan
penambahan istilah tersebut bisa meningkatkan rasa ingin tahu penonton tentang kelanjutan
cerita, karena naskah film dibuat dengan sangat apik sehingga penggunaan istilah tersebut tidak
membuat penonton patah semangat dan berhenti menonton karena tidak memahami istilah-istilah
tersebut. Kemudian, ketika istilah budaya yang diterjemahkan tidak divisualisasikan dengan jelas
dalam film maka dibutuhkan sebuah tambahan penjelasan dari istilah budaya tersebut sehingga
mudah dipahami maksud dari cerita filmnya.
KESIMPULAN
Penerjemahan istilah-istilah budaya memerlukan strategi khusus yang tepat sehingga
tidak terjadi pergeseran makna dari budaya bahasa sumber. Terdapat tiga puluh tujuh istilah
budaya sosial dan budaya material dalam film The Last Princess yaitu antara lain:
1. Terdapat tiga puluh satu istilah yang termasuk ke dalam istilah budaya sosial yaitu
Bujang-nim, Pyeha, Agissi, Agaya/Aga, Gimimnyeon, Cheonwang, Abamama, Aebi,
Sukbunim, Buma, Aboenim, Mama, Gomun, Wanggungjuk, Gwiin, Eomoni, Denka,
Choka, Ohi Denka, Bijeonha, Gomomama, Danjang, Janggyo, Hakushaku, Orabeoni,
Hwangjuk, Onesama, Kimiko, Onisama, Hyungnim,
2. Terdapat enam istilah budaya material yaitu Sujeonggwa, Kimono, Chongdokbu, Oshu,
sashimi, Kimchi Chigae, Bugeogukjuk.
Istilah-istilah budaya tersebut erat kaitannya dengan narasi yang disampaikan dalam film
yang berlatar kebudayaan Korea tradisional yang sangat kental. Kemudian strategi yang dipakai
oleh penerjemah adalah dalam menerjemahkan text dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dalam
hal ini bahasa Indonesia yaitu dengan menggunakan kata pinjaman atau Borrowing serta
Amplifikasi.
REFERENSI
Baker, M. & Saldanha, G. (2009). Routledge Encypclopedia of Translation Studies.
London & New York: Routledge
Hoed, B. H. (2006). Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: Pustaka Jaya
Newmark, P. (1988). A Textbook of Translation. London: Prentice Hall
Newmark, P. (1991). About Translation. Multilangual Matters. Clevedon
Nida, Eugene dan Charles Taber. (1974). The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J.
Brill,
APPENDIXES
Cuplikan dari beberapa istilah budaya yang digunakan:
Cuplikan dari beberapa istilah yang digunakan:
DALAM SUBTITLING FILM THE LAST PRINCES
Jaya
Jaya_asbat@yahoo.com
Faculty of Humanity, Diponegoro University
abstrak
Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif tentang
penerjemahan istilah budaya yang terdapat dalam film The Last Princes.
Terdapat dua hal yang dikaji yaitu: 1). istilah-istilah budaya sosial dan budaya
material yang terkandung dalam film The Last Princes, 2). strategi yang dipakai
penerjemah dalam penerjemahan istilah-istilah budaya tersebut. Hasil penelitian
berupa terdapat tiga puluh tujuh dari total semua istilah budaya spesifik yang
mana istilah budaya sosial menempati urutan paling banyak yaitu tiga puluh satu
dan budaya material sebanyak enam sitilah yang terdapat di dalam film The Last
Princes yaitu: Bujang-nim, Pyeha, Agissi, Agaya/Aga, Gimimnyeon, Cheonwang,
Abamama, Aebi, Sukbunim, Buma, Aboenim, Mama, Gomun, Wanggungjuk,
Gwiin, Eomoni, Denka, Choka, Ohi Denka, Bijeonha, Gomomama, Danjang,
Janggyo, Hakushaku, Orabeoni, Hwangjuk, Onesama, Kimiko,
Onisama,
Hyungnim, Sujeonggwa, Kimono, Chongdokbu, Oshu, sashimi, Kimchi Chigae,
Bugeogukjuk. Kemudian strategi yang dipakai oleh penerjemah adalah: 1)
menerjemahkan dengan menggunakan kata pinjaman, 2) kata pinjaman dengan
penjelasan.
Kata-kata kunci: Penerjemahan, Istilah Budaya Sosial, Budaya Material
subtitling
PENDAHULUAN
Permasalahan
yang
sering
dihadapi
oleh
seorang
penerjemah
dalam
proses
menerjemahkan suatu bahasa yang sangat kental dengan nilai-nilai budaya masyarakat penutur
bahasa tersebut adalah apabila dalam bahasa target tidak ditemukan konsep budaya yang sama
dengan bahasa sumber sehingga tidak adanya padanan yang tepat.
Dalam menerjemahkan konsep-konsep budaya dalam subtitling sebuah film memerlukan
tekhnik tertentu dikarenakan adanya keterbatasan waktu dan juga tempat atau posisi dalam
menuliskan subtitling yang harus menyesuaikan dengan layar tampilan sebuah film tersebut.
biasanya diperlukan sebuah catatan-catatan tambahan yang menjelaskan sebuah istilah budaya
yang mengambil tekhnik borrowing agar orang-orang bisa memahami maksud atau pesan dari
sebuah alur cerita dalam perfileman.
Dalam konteks penyampaian pesan kepada penonton, subtitling merupakan salah satu
bagian komposisi semiotik dalam film. Menurut Baker & Saldanha (2008: 13) Disebutkan
terdapat lima faktor penting dalam penerjemahan audiovisual
yang berperan dalam
penyampaian pesan dalam film yaitu berupa bahasa, gambar, music, warna, dan perspektif. Pada
tulisan Baker sebelumnya pada tahun 1998 menyebutkan bahwa terdapat 4 media penyaluran
pesan dalam penerjemahan audiovisual yaitu 1). verbal auditory channel (VAC), meliputi dialog
dan suara-suara latar (background voices) dan mungkin juga berupa lirik, 2). non-verbal auditory
channel (NAC), meliputi bunyi-bunyi natural, efek bunyi (sound effects), dan musik, 3). verbal
visual channel (VVC), mengkombinasikan subtitles dengan tulisan-tulisan yang terdapat dalam
adegan film misalnya surat, poster, buku, surat kabar, graffiti, atau iklan, 4). non-verbal visual
channel (NVC), meliputi susunan gambar, posisi kamera, perpindahan dan gerakan serta editing
yang mengontrol alur umum dan mood film. Komposisi tersebut menyebabkan penerjemahan
film berbeda dari mode penerjemahan lain misalnya penerjemahan buku teks, novel, dan
sejenisnya. Penerjemahan dalam bentuk subtitling memerlukan strategi khusus dalam
menyampaikan pesan yang terkandung di dalam film kepada penonton.
Dengan demikian, penerjemahan film yang mengandung banyak konsep budaya spesifik
dalam bentuk subtitling merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Secara empiris,
penelitian di bidang ini pernah dilaksanakan oleh Paramarta (2008) yang mengkaji subtitling
bahasa Indonesia dari sebuah film berbahasa Jepang dengan judul penelitian Penerjemahan
Istilah Budaya Spesifik dalam Subtitling Film Memoirs of a Geisha (MOG). Penelitian kedua
yang menjadi pembanding dalam paper ini adalah dari Danyati (2012) dengan judul penelitian
Penerjemahan Kata-Kata Berkonsep Budaya Dalam Novel Anchee Min “Empress Orchid”
(Suatu Analisis Terjemahan Sastra). Penelitian ketiga adalah dari Seul (2013 dengan judul
Translation of Cultural Terms in Subtitle of Korean Variety Show “Running Man”, penelitian ini
meneliti tentang berbagai istilah budaya yang digunakan dalam teks (subtitle) film variety show
Korea yang berjudul Running Man.
Kebaharuan (novelty) dalam paper ini terletak pada objek kajiannya yaitu film The Last
Princes yang memakai bahasa Korea ke dalam subtitling bahasa Indonesia. Film ini merupakan
adaptasi dari kehidupan tentang putri terakhir era Joseon yang bernama putri Deokhye (1912-
1989), serta penelitian ini berfokus pada permasalahan yang berbeda dengan penelitian
sebelumnya yaitu pada istilah-istilah budaya sosial dan budaya material dalam film The Last
Princes.
Bertolak dari latar belakang di atas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini
adalah 1). Istilah-istilah budaya sosial dan budaya material seperti apa yang terkandung dalam
film The Last Princes, 2). Strategi apa saja yang dipakai penerjemah dalam penerjemahan
istilah-istilah budaya sosial dan budaya material tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah 1). Menganalisis istilah-istilah budaya sosial dan budaya
material apa saja yang terkandung dalam film The Last Princes, 2). Mengklasifikasikan Strategi
apa saja yang dipakai penerjemah dalam penerjemahan istilah-istilah budaya sosial dan budaya
material tersebut.
Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap
kajian Translation khususnya tentang terjemahan budaya. Selain manfaat teoritis, manfaat
praktis yang terdapat dalam penelitian ini adalah (1) Diharapkan dapat menambah wawasan
masyarakat (pengajar bahasa, pemerhati bahasa, dan peneliti lain) tentang kajian terjemahan
budaya (2) Penelitian ini bisa dijadikan landasan berfikir, karena penelitian ini memiliki
keterbatasan maka diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut lagi oleh peneliti selanjutnya
sehingga mendapatkan kajian yang lebih mendalam.
LANDASAN TEORI
Newmark (1991:27) menganggap bahwa penerjemahan sebagai pengalihan makna, baik
sebagian maupun dalam unit suatu bahasa. Keseluruhan maupun sebagian teks dari satu bahasa
kedalam bahasa yang lain. Penelitian penerjemahan ini terutama akan berpegang pada teori
penerjemahan berdasarkan makna yang diajukan Larson, dan akan didukung oleh teori Nida dan
Taber. Nida (1974:13) berpendapat bahwa dalam penerjemahan, makna adalah hal utama yang
akan dialihkan dan untuk itu sering penerjemah harus mengubah sudut pandangnya berdasarkan
sudut pandang bahasa sasaran. Untuk mendapatkan makna yang paling sepadan tersebut
diperlukan berbagai upaya penyesuaian gramatikal dan leksikal.
Menurut Newmark (1991:81), prosedur penerjemahan sebagai berikut:
1. Transference merupakan proses transfer kata dari TSu ke kata di TSa.
2. Naturalization merupakan pengucapan dan tata penulisannya sudah disesuaikan dengan
aturan bahasa sasaran.
3. Cultural equivalent berarti memindahkan kata budaya dalam BSu ke BSa
4. Functional equivalent: penerjemahan kata berkonteks budaya dengan cara menggunakan
kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free word) dan kadangkadang dengan
ungkapan spesifik baru
5. Descriptive equivalent merupakan pemadanan yang dilakukan dengan memberikan
deskripsi dan kadang-kadang dipadukan dengan fungsi.
6. Componential analysis: Berusaha mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata bahasa
sumber.
7. Synonymy, penerjemah juga bisa menggunakan kata bahasa sasaran yang kurang lebih
sama untuk kata-kata bahasa sumber yang bersifat umum kalau enggan untuk
menggunakan analisis komponensial.
8. Through-translation merupakan pemadanan melalui substitusi linear elemen suatu bahasa
dengan elemen bahasa yang lain (biasanya frasa benda), di sebut juga calque atau loan
translation.
9. Shifts or transpositions: mengubah struktur kalimat TSu ke dalam TSa agar dapat
memperoleh terjemahan yang betul.
10. Modulation, yakni pergeseran sudut pandang atau perspektif Recognized translation, hal
ini terjadi ketika penerjemah menggunakan istilah resmi atau umum dari suatu bidang.
11. Compensation: hal ini terjadi bila penerjemah kehilangan makna di salah satu bagian
kalimat, akan terjadi kembali di kalimat berikutnya.
12. Paraphrase merupakan penegasan atas penjelasan makna suatu segmen dalam suatu teks.
13. Couplets: terjadi ketika penerjemah menggabungkan dua prosedur yang berbeda.
14. Notes, additions, glosses merupakan catatan tambahan informasi dalam sebuah
terjemahan. Sebelum menerjemahkan, kita harus tahu untuk siapa, tujuannya apa dan
jenis terjemahan apa yang diinginkan. Karena itulah Benny Hoed
Ada
beberapa
teknik
atau
strategi
untuk
menangani
masalah
ketidaksepadanan
(nonequivalence) dalam proses penerjemahan. Berbagai strategi pemadanan telah diusulkan oleh
berbagai pakar. Salah satunya adalah teknik penerjemahan Hoed (2006:72) yang antara lain:
1. Transposisi, mengubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang betul.
2. Modulasi, penerjemah memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut
pandang artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan
memberikan pesan/maksud yang sama.
3. Penerjemahan Deskriptif, karena tidak dapat menemukan terjemahan/padanan kata BSu
(baik karena tidak tahu maupun karena tidak/belum ada dalam BSa), penerjemah terpaksa
melakukan “uraian” yang berisi makna kata yang bersangkutan.
4. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning), agar suatu kata dipahami (misalnya
nama makanan atau minuman yang masih di anggap asing oleh khalayak pembaca BSa),
biasanya penerjemah memberikan kata-kata khusus untuk menjelaskannya.
5. Catatan Kaki, penerjemah memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk
memperjelas makna kata terjemahan yang di maksud karena tanpa penjelasan tambahan
itu kata terjemahan diperkirakan tidak akan dipahami secara baik oleh pembaca.
6. Penerjemahan Fonologis, penerjemah tidak dapat menemukan padanan yang sesuai
dalam bahasa Indonesia (BSa) sehingga ia memutuskan untuk membuat kata baru yang di
ambil dari bunyi kata itu dalam BSu untuk disesuaikan dengan sistem bunyinya
(fonologi) dan ejaan (grafologi) BSa.
7. Penerjemahan Resmi/Baku, ada sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku
atau resmi dalam BSa sehingga penerjemah langsung menggunakannya sebagai padanan.
8. Tidak Diberikan Padanan, penerjemah tidak dapat menemukan terjemahannya dalam BSa
sehingga untuk sementara ia mengutip saja bahasa aslinya.
9. Padanan Budaya, menerjemahkan dengan memberikan padanan berupa unsur
kebudayaan yang ada dalam BSa.
Menurut Newmark (1988:95) kata atau ungkapan yang mengandung unsur kebudayaan
dapat dikategorikan menjadi 5 yaitu: 1. ekologi, 2. kebudayaan material (artefak), 3. kebudayaan
sosial, 4. organisasi, dan 5. kebiasaan. Kata atau ungkapan yang mengandung wujud kebudayaan
itu sulit diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran karena konsep yang terkandung di dalamnya
sangat khas pada kebudayaan yang bersangkutan.
PEMBAHASAN:
Dalam film ini ditemukan tiga puluh tujuh istilah budaya dari total budaya sosial dan
budaya material. Istilah-istilah tersebut dikategorikan berdasarkan teori yang dinyatakan oleh
Newmark (1988:94), seperti pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Daftar istilah budaya khusus yang ditemukan dalam film The Last Princes:
ISTILAH
KATEGORI
MAKNA
1. Bujang-nim
Budaya Sosial
Pimpinan
2. Pyeha
Budaya Sosial
Sebutan bagi kaisar
3. Agissi
Budaya Sosial
Panggilan
BUDAYA
terhadap
tuan
putri yang masih kecil
4. Agaya/Aga
Budaya Sosial
Panggilan sayang terhadap
anak
5. Gimimnyeon
Budaya Sosial
Tahun baru yang datang
sekali dalam waktu 60 tahun
6. Cheonwang
Budaya Sosial
Kaisar Jepang
7. Abamama
Budaya Sosial
Raja
8. Aebi
Budaya Sosial
ayahanda
9.Sukbunim
Budaya Sosial
Adik laki-laki ayah
10. Buma
Budaya Sosial
Menantu laki-laki seorang
kaisar
11. Aboenim
Budaya Sosial
Ayah (formal)
12. Sujeonggwa
Budaya Material
Minuman tradisional Korea
yang terbuat dari campuran
kayu manis, jahe, kesemak
kering
13. Mama
Budaya Sosial
Panggilan
kehormatan
terhadap anggota kerajaan
wanita
14. Gomun
Budaya Sosial
Penasihat
15. Kimono
Budaya Material
Baju tradisional Jepang
16.Wanggungjuk
Budaya Sosial
Aristocrat istana
17. Gwiin
Budaya Sosial
Selir junior tingkat I
18. Chongdokbu
Budaya Material
Kantor Gubernur
19. Eomoni
Budaya Sosial
Ibu (formal)
20. Oshu
Budaya Sosial
Ongju (putri) dalam bahasa
(jepang)
(jepang)
Jepang
21. Denka (jepang)
Budaya Sosial
Yang mulia Raja
22. Choka
Budaya Sosial
Perwira senior
23. sashimi
Budaya Material
Makanan tradisional Jepang
Budaya Sosial
Gelar tuan putri yang di
(jepang)
24. Ohi Denka
(jepang)
25. Bijeonha
peroleh melalui pernikahan
Budaya Sosial
Dari kata Wangbi Jeonha
yang bermakna istri Jeonha
(yang mulia)
26. Kimchi Chigae
Budaya Material
Makanan tradisional Korea
hasil fermentasi
27. Gomomama
Budaya Sosial
Tante
28. Danjang
Budaya Sosial
Komandan Resimen
29. Janggyo
Budaya Sosial
Perwira
30. Bugeogukjuk
Budaya Material
Bubur Ikan
31. Hakushaku
Budaya Sosial
Sejenis gelar bangsawan
32. Orabeoni
Budaya Sosial
kakak
33. Hwangjuk
Budaya Sosial
Orang-orang
(jepang)
keturunan
kaisar
34. Onesama
Budaya Sosial
(jepang)
35. Kimiko
Panggilan
hormat
untuk
kakak/kakak ipar
Budaya Sosial
Pangeran
Budaya Sosial
Panggilan
(jepang)
36. Onisama
(jepang)
37. Hyungnim
hormat
untuk
kakak
Budaya Sosial
Sapaan formal di antara
lelaki
Istilah-istilah budaya yang ditemukan di dalam film The Last Princess , hanya difokuskan
pada dua variasi kategori saja karena oleh peneliti dua variasi ini sangat dominan. Kategori
tersebut adalah budaya sosial dan budaya material. Dalam budaya Indonesia, istilah-istilah
tersebut tidak ditemukan sehingga dalam proses penerjemahan, harus diusahakan untuk mencari
padanan terdekat. istilah-istilah yang digunakan yaitu berjumlah tiga puluh tujuh; Bujang-nim,
Pyeha, Agissi, Agaya/Aga, Gimimnyeon, Cheonwang, Abamama, Aebi, Sukbunim, Buma,
Aboenim, Mama, Gomun, Wanggungjuk, Gwiin, Eomoni, Denka, Choka, Ohi Denka, Bijeonha,
Gomomama, Danjang, Janggyo, Hakushaku, Orabeoni, Hwangjuk, Onesama, Kimiko, Onisama,
Hyungnim, Sujeonggwa, Kimono, Chongdokbu, Oshu, sashimi, Kimchi Chigae, Bugeogukjuk.
Istilah-istilah budaya tersebut erat kaitannya dengan narasi yang disampaikan dalam film yang
berlatar kebudayaan Korea tradisional yang sangat kental.
Peneliti dalam paper ini menfokuskan pada dua strategi yang digunakan oleh penerjemah
dalam film The Last Princess. penerjemah memilih untuk menggunakan strategi yang dinyatakan
oleh Baker antara lain:
Penerjemahan dengan menggunakan kata-kata pinjaman (Borrowing) beserta Penjelasan
(Amplifikasi)
Strategi Borrowing (pinjaman) adalah strategi yang paling sering digunakan oleh
penerjemah di seluruh dunia ketika berhadapan dengan terjemahan budaya. Penerjemahan
dengan menggunakan kata-kata pinjaman bermaksud meminjam istilah-istilah budaya pada teks
sumber untuk dituliskan pada subtitling. Strategi ini merupakan aspek foreignization dari
terjemahan film The Last Princess yang mana berfungsi untuk memperkenalkan budaya dari
bahasa sumber terhadap budaya bahasa sasaran dan selain itu juga dikarenakan kata-kata tersebut
tidak memiliki padanan terdekat dalam bahasa sasaran dalam hal ini bahasa Indonesia.
Strategi Amplifikasi merupakan strategi penerjemahan yang memberikan uraian penjelas
(details) yang tidak ada dalam teks bahasa sumbernya. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi
tambahan informasi
atau mengubah ujaran menjadi lebih eksplisit. Tekhnik ini sangat
bermanfaat agar makna yang terdapat di dalam film dapat dipahami secara utuh dan agar
penonton dapat memahami budaya dari bahasa sumber secara baik dan benar.
Berikut ini adalah tabel yang menyajikan daftar istilah budaya sosial dan budaya material
dengan menggunakan strategi Pinjaman dan Penjelasan dalam subtitling film The Last Princess.
Subtitling yang menggunakan strategi kata-kata Pinjaman beserta Penjelasan
BORROWING
AMPLIFIKASI
1. Bujang-nim
-
2. Pyeha
[Pyeha - Sebutan bagi kaisar]
3. Agissi
[Agissi - Panggilan terhadap tuan putri
yang masih kecil]
4. Agaya/Aga
[Agaya - Panggilan sayang terhadap
anak]
5. Gimimnyeon
[Gimimnyeon - Tahun baru yang datang
sekali dalam waktu 60 tahun]
6. Cheonwang
[Cheonwang - Kaisar Jepang]
7. Abamama
-
8. Aebi
[Aebi – ayahanda]
9.Sukbunim
[Sukbunim - Adik laki-laki ayah]
10. Buma
[Buma - Menantu laki-laki seorang
kaisar]
11. Aboenim
-
12. Sujeonggwa
[Sujeonggwa - Minuman tradisional
Korea yang terbuat dari campuran kayu
manis, jahe, kesemak kering]
13. Mama
[Mama
-
Panggilan
kehormatan
terhadap anggota kerajaan wanita]
14. Gomun
[Gomun – Penasihat]
15. Kimono
-
(jepang)
16.Wanggungjuk
[Wanggungjuk - Aristocrat istana]
17. Gwiin
[Gwiin - Selir junior tingkat I]
18. Chongdokbu
[Chongdokbu - Kantor Gubernur]
19. Eomoni
[Eomoni – Ibu]
20. Oshu
[Oshu - Ongju (putri) dalam bahasa
(jepang)
Jepang]
21. Denka (jepang)
[Denka - Yang mulia Raja]
22. Choka
[Choka - Perwira senior]
23. sashimi
-
(jepang)
24. Ohi Denka
[Ohi Denka - Gelar tuan putri yang di
(jepang)
peroleh melalui pernikahan]
25. Bijeonha
[Bijeonha - Dari kata Wangbi Jeonha
yang bermakna istri Jeonha]
26. Kimchi Chigae
-
27. Gomomama
[Gomomama – Tante]
28. Danjang
[Danjang - Komandan Resimen]
29. Janggyo
[Janggyo – Perwira]
30. Bugeogukjuk
[Bugeogukjuk - Bubur Ikan]
31. Hakushaku
[Hakushaku - Sejenis gelar bangsawan]
(jepang)
32. Orabeoni
-
33. Hwangjuk
[Hwangjuk - Orang-orang keturunan
kaisar]
34. Onesama
[Onesama - Panggilan hormat untuk
(jepang)
kakak/kakak ipar]
35. Kimiko
[Kimiko – Pangeran]
(jepang)
36. Onisama
[Onisama - Panggilan hormat untuk
(jepang)
kakak]
37. Hyungnim
-
Tabel diatas menunjukkan terdapat tiga puluh tujuh istilah-istilah budaya yang
diterjemahkan dengan menggunakan strategi kata pinjaman dan amplifikasi. Alasan mengapa
dua strategi tersebut menjadi dominan bisa jadi dikarenakan oleh penerjemah dalam pemilihan
strategi ini dilandasi oleh lima pertimbangan yaitu; pertama, karena dalam BT tidak ditemukan
padanan yang tepat. Walaupun ada padanan yang mendekati, tetapi dikuatirkan padanan tersebut
tidak bisa mewakili makna yang diinginkan dalam BS. Kedua, peminjaman dan penambahan dari
istilah-istilah tersebut dalam BT akan mempertahankan keoriginalan film karena film tersebut
berlatar belakang sejarah suatu negara sehingga harus sangat hati-hati dalam proses pengalihan
makna sehingga tidak terjadi degradasi atau pergeseran makna. Ketiga, proses peminjaman dan
penambahan istilah tersebut bisa meningkatkan rasa ingin tahu penonton tentang kelanjutan
cerita, karena naskah film dibuat dengan sangat apik sehingga penggunaan istilah tersebut tidak
membuat penonton patah semangat dan berhenti menonton karena tidak memahami istilah-istilah
tersebut. Kemudian, ketika istilah budaya yang diterjemahkan tidak divisualisasikan dengan jelas
dalam film maka dibutuhkan sebuah tambahan penjelasan dari istilah budaya tersebut sehingga
mudah dipahami maksud dari cerita filmnya.
KESIMPULAN
Penerjemahan istilah-istilah budaya memerlukan strategi khusus yang tepat sehingga
tidak terjadi pergeseran makna dari budaya bahasa sumber. Terdapat tiga puluh tujuh istilah
budaya sosial dan budaya material dalam film The Last Princess yaitu antara lain:
1. Terdapat tiga puluh satu istilah yang termasuk ke dalam istilah budaya sosial yaitu
Bujang-nim, Pyeha, Agissi, Agaya/Aga, Gimimnyeon, Cheonwang, Abamama, Aebi,
Sukbunim, Buma, Aboenim, Mama, Gomun, Wanggungjuk, Gwiin, Eomoni, Denka,
Choka, Ohi Denka, Bijeonha, Gomomama, Danjang, Janggyo, Hakushaku, Orabeoni,
Hwangjuk, Onesama, Kimiko, Onisama, Hyungnim,
2. Terdapat enam istilah budaya material yaitu Sujeonggwa, Kimono, Chongdokbu, Oshu,
sashimi, Kimchi Chigae, Bugeogukjuk.
Istilah-istilah budaya tersebut erat kaitannya dengan narasi yang disampaikan dalam film
yang berlatar kebudayaan Korea tradisional yang sangat kental. Kemudian strategi yang dipakai
oleh penerjemah adalah dalam menerjemahkan text dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dalam
hal ini bahasa Indonesia yaitu dengan menggunakan kata pinjaman atau Borrowing serta
Amplifikasi.
REFERENSI
Baker, M. & Saldanha, G. (2009). Routledge Encypclopedia of Translation Studies.
London & New York: Routledge
Hoed, B. H. (2006). Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: Pustaka Jaya
Newmark, P. (1988). A Textbook of Translation. London: Prentice Hall
Newmark, P. (1991). About Translation. Multilangual Matters. Clevedon
Nida, Eugene dan Charles Taber. (1974). The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J.
Brill,
APPENDIXES
Cuplikan dari beberapa istilah budaya yang digunakan:
Cuplikan dari beberapa istilah yang digunakan: