GAYA BAHASA DALAM CERPEN KARYA SISWA
1
GAYA BAHASA DALAM CERPEN KARYA SISWA
Dian Risdiawati1
Sumadi2
Widodo Hs3
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang 65145
E-mail: [email protected]
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA
Brawijaya Smart School (BSS) Malang Tahun Ajaran 2013/2014 dilihat dari
segi penggunaan dan fungsinya. Penelitian jenis kualitatif ini menggunakan
pendekatan stilistika dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya penggunaan gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan dalam cerpen
siswa. Gaya bahasa retoris ditemukan sebanyak 18 jenis dan yang paling sering
digunakan adalah gaya bahasa eufemismus. Gaya bahasa kiasan ditemukan
sebanyak 10 jenis dan yang sering digunakan adalah gaya bahasa metafora.
Kata kunci: gaya bahasa, retoris, kiasan, cerpen
ABSTRACT: This study aimed to describe the style implemented based on
direct and indirect meaning, namely rhetorical style and figurative language
short story by high school students of class XII Brawijaya Smart School (BSS)
Malang academic year 2013/2014 based on (1) use and (2) function. The study
uses qualitative method with descriptive design. The result of this research show
that the short story of students use rhetorical style and figurative language. The
rhetorical style detectable 18 type and the most is eufemismus style. The
figurative language detectable 10 type and the most is metaphor style.
Keywords: language style, rhetorical, figurative, short story
Gaya bahasa merupakan hal yang menarik di dalam karya sastra
khususnya cerpen. Pengarang yang satu dengan pengarang yang lainnya dapat
mengungkapkan perasaannya dengan bahasa yang khas dan berbeda-beda
terhadap pengarang melalui gaya bahasa. Keraf (2010:113) menyatakan bahwa
gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Melalui gaya bahasa
memungkinkan pembaca dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang
mempergunakan bahasa. Semakin baik bahasanya, semakin baik pula penilaian
orang terhadapnya. Semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula
penilaian yang diberikan kepadanya.
Gaya bahasa diartikan sebagai bahasa indah yang digunakan untuk
meningkatkan efek dengan cara memperkenalkan serta membandingkan suatu
benda atau hal tertentu dengan benda atau hal yang lain yang lebih umum.
Menurut Tarigan (1985:5), gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu
penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau
1
Dian Risdiawati adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Malang, Angkatan 2010.
2
Sumadi dan 3Widodo Hs adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang.
1
2
mempengaruhi penyimak dan pembaca. Penggunaan gaya bahasa tertentu dapat
mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.
Menurut Kridalaksana (2001:25) penjelasan gaya bahasa secara luas yaitu
pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis,
pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, dan keseluruhan
ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Gaya bahasa dan kosa kata mempunyai
hubungan timbal balik yang erat. Semakin kaya kosa kata seseorang beragam pula
gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan penggunaan gaya bahasa memperkaya
kosa kata penggunanya. Oleh karena itu, pengajaran bahasa merupakan salah satu
cara untuk mengembangkan kosa kata siswa. Gaya bahasa memiliki unsur penting
yang mewakili bentuk bahasa sastra di antaranya mencakup diksi atau pilihan
leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, dan mantra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra
(Sudjiman, 1993:13—14).
Penggunaan gaya bahasa dalam cerpen mempunyai fungsi, yaitu sebagai
pengemban nilai estetika karya itu sendiri untuk menimbulkan efek tertentu,
menimbulkan tanggapan pikiran pada pembaca, dan mendukung makna suatu
cerita. Cerpen sebagai salah satu bentuk prosa fiksi yang sering juga disebut
dengan sebuah cerita ringkas memerlukan pengungkapan yang lebih rumit.
Cerpen dituntut untuk mencari momen yang menarik, kemudian diekspresikan
melalui bahasa secara personal sehingga menimbulkan nilai estetik. Hanya saja, di
dalam sebuah cerpen terdapat proses pemadatan ide yang selalu terarah tetapi
dapat membentuk sebuah kesan.
Seorang siswa mempunyai karakteristik pada setiap karyanya.
Karakteristik cerpen karya siswa dilihat dari segi gaya bahasa memengaruhi
kalimat dalam karangan siswa dan kesan pembaca. Setiap siswa mempunyai
karakteristik gaya bahasa tersendiri yang merupakan ciri khas dari karya siswa
tersebut. Seorang siswa dapat mempelajari gaya-gaya pengarang lain dengan
membaca dan mempelajari buku-buku. Meskipun demikian, gaya bahasa
pengarang bergantung dari watak pengarang itu sendiri. Setiap pengarang
menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yaitu sebuah gaya yang sesuai dengan
wataknya dengan pertimbangkan pikiran dan perasaan dalam menentukan fokus
dalam karyanya. Salah satu kekhasan seorang pengarang dapat dilihat dari gaya
bahasa yang digunakan untuk menggambarkan karakter tokoh dalam karyanya.
Peneliti memilih cerpen dikarenakan menulis cerpen termasuk dalam
kurikulum pembelajaran, seperti yang disebutkan dalam standar isi SMA kelas
XII semester satu yakni menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang lain
(pelaku, peristiwa, latar) (Kementrian Pendidikan Nasional, 2006). Oleh karena
itu, peneliti menganggap bahwa menulis cerpen tidak akan lepas dari
pembelajaran sastra, sehingga penelitian ini bermanfaat untuk pembelajaran
bahasa dan sastra di sekolah.
Penelitian tentang gaya bahasa, pernah dilakukan oleh Vitiana (2012) dan
Agustin (2008). Vitiana (2012) meneliti tentang gaya bahasa dalam karangan
Bahasa Jawa siswa kelas VI SD. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa
siswa kelas VI SD banyak menggunakan gaya bahasa paralelisme, repetisi, dan
prolepsis atau antisipasi. Sementara itu, Agustin (2008) meneliti tentang diksi dan
gaya bahasa dalam pidato Presiden Soeharto. Berdasarkan hasil analisis, diketahui
3
bahwa Presiden Soeharto lebih banyak menggunakan diksi abstrak, diksi khusus,
diksi populer, gaya bahasa repetisi, dan gaya bahasa paralelisme.
Penelitian ini berbeda dengan kedua penelitian tersebut. Letak
perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Jika penelitian sebelumnya menitik
beratkan pada gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan pilihan kata pada
karangan Bahasa Jawa dan pidato Presiden, penelitian ini menitikberatkan pada
gaya bahasa retoris dan kiasan pada cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya
Smart School (BSS) Malang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yang meliputi gaya bahasa
retoris dan kiasan dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya Smart
School (BSS) Malang tahun ajaran 2013/2014 dilihat dari segi penggunanaan dan
fungsinya.
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan stilistika. Penggunaan pendekatan stilistika dalam
penelitian ini adalah untuk melihat bentuk keindahan bahasa yang digunakan
dalam cerpen siswa. Metode kualitatif digunakan bersamaan dengan pendekatan
stilistika karena dalam penelitian ini tidak dibutuhkan angka, melainkan
dibutuhkan data yang berupa uraian kata. Maksudnya adalah penelitian ini
berusaha untuk memberikan data secara objektif tentang gaya bahasa dan
kekhasan gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam cerpen karya siswa.
Sumber data penelitian ini berupa cerpen karya siswa kelas XII A2 SMA
Brawijaya Smart School (BSS) Malang Tahun Ajaran 2013/ 2014 yang berjumlah
15 cerpen. Cerpen karya siswa kelas XII A2 dipilih sebagi sumber data karena
penelitian tentang penggunaan gaya bahasa dalam cerpen karya siswa belum
pernah dilakukan sebelumnya.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa LKS,
panduan kodifikasi gaya bahasa, dan rubrik pengumpul dan analisis data. LKS
berisi perintah dan petunjuk menulis cerpen yang digunakan untuk mengambil
data dari siswa. Panduan kodifikasi gaya bahasa digunakan untuk mengklasifikasi
data. Rubrik pengumpul dan analisis data digunakan untuk identifikasi kalimat
dari data.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan (1) memberi tugas menulis
cerpen kepada siswa, (2) mengumpulkan semua cerpen karya siswa, (3) membuat
tabel pengumpul data dan kodifikasi data, yaitu memberikan kode-kode terhadap
data, (4) memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam tabel pengumpul
data, dan (5) melakukan penyajian data berdasarkan teori-teori yang menjadi
landasan penelitian ini.
Data dalam penelitian ini adalah data verbal yang berupa gaya bahasa
dalam cerpen karya siswa kelas XII A2 SMA Brawijaya Smart School Malang.
Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan maksud memperoleh deskripsi tentang
gaya bahasa dalam cerpen karya siswa yang meliputi gaya bahasa retoris dan gaya
bahasa kiasan yang dilihat dari segi penggunaan dan fungsi.
Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis data yang terdiri atas tiga kegiatan, yaitu kegiatan reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap
reduksi data meliputi identifikasi data, klasifikasi data, dan kodifikasi data.
4
Selanjutnya, dilakukan penyajian data yang bertujuan untuk memperoleh
kesimpulan-kesimpulan gaya bahasa dalam cerpen siswa, yaitu penggunaan dan
fungsi gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam cerpen
karya siswa sebagai temuan penelitian. Tahap terakhir dalam analisis data
penelitian ini adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan pada penelitian
ini adalah mengecek kesesuaian hasil analisis data dengan gaya bahasa dalam
cerpen siswa yang diteliti, yaitu penggunaan gaya bahasa retoris dan gaya bahasa
kiasan berdasarkan deskriptor yang telah dibuat.
HASIL
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, diperoleh dua
temuan, yaitu (1) penggunaan dan fungsi gaya bahasa retoris dan (2) penggunaan
dan fungsi gaya bahasa kiasan dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA
Brawijaya Smart School (BSS) Malang. Adapun hasil yang lebih lengkap dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Penggunaan dan fungsi gaya bahasa retoris. Penggunaan gaya bahasa
retoris dalam cerpen siswa cukup variatif. Gaya bahasa retoris yang ditemukan
dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA BSS Malang yaitu gaya bahasa
eufemismus, yaitu sebanyak 22 kalimat. Contoh kalimat yang menggunakan gaya
bahasa eufemismus adalah Otaknya di bawah garis kemiskinan. Gaya bahasa
asindeton ditemukan 15 kalimat. Kalimat yang menggunakan gaya bahasa
asindenton adalah Tak sedikit cobaan yang dia alami, kata-kata pedas sering ia
dapatkan dari teman-teman sekelasnya, nasib pahit lain juga beberapa kali ia
alami ketika ia bekerja sebagai buruh. Gaya bahasa erotesis dan gaya bahasa
anastrof ditemukan sebanyak 14 kalimat. Contoh gaya bahasa erotesis adalah
Kenapa bel istirahat tidak segera berbunyi? Aku sudah lapar, ayolah aku mohon.
Contoh gaya bahasa anastrof adalah Siang itu gang yang berada tepat di depan
rumah dipenuhi oleh warga kampung.
Gaya bahasa retoris lain yang juga ditemukan dalam cerpen siswa adalah
gaya bahasa hiperbola sebanyak 11 kalimat, contohnya Rambutnya yang panjang
sesekali tertiup angin, terkibas dan menampakkan sinar-sinar anggunnya. Gaya
bahasa prolepsis ditemukan sebanyak 8 kalimat, contohnya Ia berpikir sedemikian
naasnya jika teman mereka memiliki pemikiran yang begitu pendek. Ditemukan
pula gaya bahasa pleonasme sebanyak 7 kalimat, contohnya Dengan percaya
kulangkahkan kakiku mendekati dirinya. Gaya bahasa kiasmus ditemukan
sebanyak 6 kalimat, contohnya Tidak hanya kesabaran yang harus diterimanya
melainkan rasa menerima apa adanya adalah jalan hidup yang harus ditempuh
olehnya. Gaya bahasa asonansi dan gaya bahasa polisindenton masing-masing
ditemukan sebanyak 5 kalimat. Contoh gaya bahasa asonansi adalah Habis nyuci
mobil hanya boleh menonton kalau nggak Doraemon atau Digimon, mungkin
Pokemon. Contoh gaya bahasa polisindenton adalah Cewek kampung lagi palingpaling juga kembali ke fitrahnya, jadi juru masak dan pembantu rumah. Gaya
bahasa perifrasis 4 sebanyak kalimat, contohnya Dia mulai merangkai tiap huruf
menjadi kalimat. Gaya bahasa paradoks dan gaya bahasa silepsis masing-masing
ditemukan sebanyak 3 kalimat. Contoh gaya bahasa paradoks adalah Ia belajar
bahwa waktu adalah lebih berharga dari emas. Contoh gaya bahasa silepsis
adalah Mata dan telinga seakan terkunci rapat untuk melihat dan mendengar
suasana hati Gaha. Gaya bahasa elipsis dan gaya bahasa litotes ditemukan
5
sebanyak 2 kalimat. Contoh gaya bahasa elipsis adalah Terus kita juga udah
tukeran nomor handphone, dan….Contoh gaya bahasa litotes adalah Wong aku
yang bodoh gini aja nyantai.
Gaya bahasa retoris yang dominan digunakan adalah gaya bahasa
eufimismus. Fungsi dari gaya bahasa retoris adalah memaparkan gagasan secara
lebih hidup dan menarik, menggambarkan suasana secara lebih hidup dan
menarik, menekan ataupun menyanggah suatu gagasan, dan menyampaikan
gagasan secara tidak langsung.
Penggunaan dan fungsi gaya bahasa kiasan. Penggunaan gaya bahasa
kiasan oleh siswa cukup bervariasi. Gaya bahasa kiasan yang ditemukan dalam
cerpen karya siswa kelas XII SMA BSS Malang meliputi gaya bahasa metafora
yang ditemukan sebanyak 39 kalimat, contohnya Sontak warga sekitar rumah
berhamburan keluar rumah. Gaya bahasa personifikasi ditemukan sebanyak 10
kalimat, contohnya Itu adalah detik-detik di mana perut sudah mulai berdemo.
Gaya bahasa sinisme ditemukan sebanyak 6 kalimat, contohnya Akhirnya ada
juga cowok yang mau ngajak kencan sahabatku yang satu ini. Gaya bahasa ironi
ditemukan sebanyak 6 kalimat, contohnya Lihat kawan, mereka lulus, lulus
dengan ketidakjujuran mereka. Gaya bahasa sarkasme ditemukan sebanyak 6
kalimat, contohnya Otaknya udah otak kebo.
Gaya bahasa kiasan lain yang ditemukan adalah gaya bahasa metonimia
sebanyak 6 kalimat, contohnya Itu yang pakai baju polo warna biru. Gaya bahasa
simile dan gaya bahasa sinekdoke ditemukan sebanyak 4 kalimat. Contoh gaya
bahasa simile adalah Namun bel istirahat tak kunjung berbunyi bagai siput yang
berjalan sangat lamban. Contoh gaya bahasa sinekdoke adalah Satu kelas diam
dan tegang. Gaya bahasa antonomasia dan gaya bahasa epitet yang masingmasing ditemukan sebanyak 1 kalimat. Contoh gaya bahasa antonomasia adalah
Itu di sana yang pakai baju warna pink, lagi duduk sendirian menunggu sang
pangeran datang. Contoh gaya bahasa epitet adalah Raja Matahari tersenyum
begitu riangnya di siang hari ini.
Gaya bahasa retoris yang dominan digunakan adalah gaya bahasa
metafora. Fungsi dari gaya bahasa kiasan adalah memaparkan gagasan secara
lebih hidup dan menarik, menggambarkan suasana secara lebih hidup dan
menarik, menekan ataupun menyanggah suatu gagasan, dan menyampaikan
gagasan secara tidak langsung.
PEMBAHASAN
Penggunaan Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa dengan mengacu pada makna
sebenarnya, namun menggunakan kontruksi yang berbeda dari biasanya. Hal
tersebut sejalan dengan (Keraf, 2010:129) yang menyatakan bahwa gaya bahasa
retoris adalah gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dan
kontruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Disebut dengan kontruksi biasa
dalam pernyataan tersebut karena teknik yang digunakan dalam penerapan gaya
bahasa terhadap karya sastra tidak begitu rumit seperti pada ragam gaya bahasa
kiasan. Dalam karya sastra berupa prosa baik itu novel, cerpen, ataupun lainnya
gaya bahasa retoris dominan digunakan karena bahasa yang ada dalam karya
novel atau cerpen berbeda dengan bahasa puisi yang puitis dan serba tidak
langsung. Begitu pula dengan penggunaan gaya bahasa retoris dalam cerpen siswa
6
karya siswa, gaya bahasa retoris banyak digunakan. Penggunaan gaya bahasa oleh
siswa sangat sederhana. Kesederhanaan bahasa yang digunakan siswa inilah yang
merupakan salah satu ciri khas penggunaan gaya bahasa dalam cerpen karya siswa
kelas XII SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang.
Penggunaan gaya bahasa yang berwujud pengulangan bunyi vokal pada
sebuah larik atau kalimat disebut gaya bahasa asonansi. Menurut Keraf
(2010:130), gaya bahasa asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan
bunyi vokal yang sama. Penggunaan gaya bahasa asonansi biasanya digunakan
pada puisi atau prosa untuk menambahkan efek penekanan atau keindahan. Siswa
yang menggunakan gaya bahasa asonansi berjumlah 4 atau 26,6% siswa. Gaya
bahasa tersebut menonjolkan perulangan bunyi vokal dalam kalimat. Dalam
penggunaan gaya bahasa asonansi, siswa dominan mengulang vokal a. Contohnya
pada kalimat Sebenarnya masalah menjawab atau berdebat ia sangat hebat,
terdapat pengulangan vokal a. Vokal a dalam kalimat tersebut sering digunakan
dan terlihat begitu mencolok dari vokal lainnya. Vokal a dikombinasikan dengan
konsonan t menjadikan frasa dalam kalimat tersebut mempunyai efek eufoni
sehingga menciptakan keindahan dan menarik.
Gaya bahasa aliterasi membahas tentang bentuk kalimat atau frasa yang di
dalamnya terdapat huruf konsonan yang diulang. Gaya bahasa aliterasi adalah
gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama (Keraf, 2010:130).
Gaya bahasa aliterasi hanya digunakan oleh 2 siswa atau 13,3% siswa. Konsonan
yang digunakan oleh siswa adalah konsonan t dan h. Ketidakseringan penggunaan
gaya bahasa aliterasi ini dikarenakan siswa tidak terlalu memperhatikan keindahan
tiap katanya. Siswa hanya menuliskan kata-kata sederhana. Secara keseluruhan
gaya bahasa aliterasi dan gaya bahasa asonansi menimbulkan eufoni dan kakofoni
untuk menarik perhatian pembaca. Contohnya pada kalimat Doraemon atau
Digimon, mungkin Pokemon.
Gaya bahasa anastrof adalah gaya retoris yang diperoleh dengan
pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat (Keraf, 2010:130). Pengguna
gaya bahasa anastrof ada 26,6% atau 4 dari 15 siswa. Dari data siswa, kebanyakan
siswa menjadikan Keterangan pada urutan awal, baru kemudian diikuti dengan
Subjek, Predikat, dan Objek. Keterangan yang digunakan siswa adalah
Keterangan waktu, Keterangan cara, dan Keterangan tempat. Kalimat Siang itu
gang yang berada tepat di depan rumah dipenuhi oleh warga kampung dikatakan
sebagai gaya bahasa anastrof karena terjadi pembalikan unsur kalimat. Secara
umum, unsur keterangan waktu yaitu siang itu biasanya diletakkan di akhir
kalimat, dalam kalimat ini diletakkan di awal kalimat. Kalimat tersebut dalam
tataran gramatikal memang tidak salah. Kalimat tersebut terdiri atas Ket, S, P, dan
O. Dilihat dari urutan pola kalimatnya, kalimat tersebut tidak pada umumnya,
biasanya S diletakkan pada awal kalimat, tetapi pada kalimat tersebut S diletakkan
setelah Ket.
Gaya bahasa asindenton yaitu gaya bahasa yang menyatakan sesuatu
dengan perincian tanpa kata sambung. Gaya bahasa asindenton adalah suatu gaya
yang berupa acuan yang bersifat padat dan mampat dalam beberapa kata, frasa,
atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung (Keraf,
2010:131). Siswa menggunakan tanda koma untuk memisahkan antar kata, frasa,
atau klausanya, artinya penggunaan gaya bahasa asindenton pada kalimat siswa
tidak menggunakan kata sambung sama sekali walaupun terdapat beberapa
7
penjelasan. Penggunaan gaya bahasa asindenton pada cerpen siswa ada 50,0%
atau 9 dari 15 siswa. Gaya bahasa asindenton ini digunakan karena mayoritas
siswa sering menyebutkan sesuatu lebih dari dua hal. Misalnya pada kalimat Tak
sedikit cobaan yang dia alami, kata-kata pedas sering ia dapatkan dari temanteman sekelasnya, nasib pahit lain juga beberapa kali ia alami ketika ia bekerja
sebagai buruh. Kalimat tersebut dikatakan sebagai gaya bahasa asindenton karena
ditemukan tiga klausa bersifat padat dan mampat yang sederajat dan tidak
dihubungkan dengan kata sambung. Klausa tersebut hanya dipisahkan dengan
menggunakan koma. Klausa tersebut dianggap sederajat karena sama-sama
menerangkan menegenai keadaan tokoh.
Gaya bahasa polisindenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan
dari asindenton. Gaya bahasa polisindenton merupakan gaya bahasa yang
menyatakan beberapa hal berturut-turut dengan memakai kata penghubung atau
kata sambung. Dalam gaya bahasa polisindenton pemisahnya berupa kata
sambung seperti dan, dengan, serta, dan sebagainya. Terdapat 5 siswa atau 33,3%
siswa yang menggunakan gaya bahasa polisindenton. Berdasarkan data yang telah
ditemukan, siswa cenderung memakai kata sambung dan. Dari lima kalimat gaya
bahasa polisindenton, empat diantaranya menggunakan kata sambung dan, dan
yang satu kalimat menggunakan kata hubung bahkan.
Gaya bahasa kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri
dari dua bagian, baik frasa atau klausa yang sifatnya berimbang dan
dipertentangkansatu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila
dibandingkan dengan frasa dan klausa lainnya (Keraf, 2010:132). Siswa yang
menggunakan gaya bahasa kiasmus ada 5 atau 33,3% siswa. Siswa menggunakan
kata-kata yang berantonim untuk mengungkapkan pertentangan namun
berimbang. Misalnya dalam kalimat Ada banyak alasan yang bisa membuatku
bahagia, tapi bahagia itu membuahkan kesedihan. Dalam kalimat tersebut
terdapat dua klausa yang berimbang namun dipertentangkan. Klausa ada banyak
alasan yang bisa membuatku bahagia dipertantangkan dengan klausa bahagia itu
membuahkan kesedihan. Pertentangan tersebut yang membuat menarik, sehingga
ada kesan mendalam dan makna tersirat dalam kalimat tersebut.
Gaya bahasa prolepsis atau antisipasi adalah gaya bahasa di mana orang
mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau
gagasan yang sebenarnya terjadi. Gaya bahasa prolepsis digunakan oleh 6 siswa
atau 40,0% siswa. Gaya bahasa tersebut banyak digunakan karena siswa banyak
menceritakan tentang peristiwa berkesan yang dilakukan tokoh seperti saat
menggambarkan suasana atau saat memperkenalkan tokoh baru. Kalimat Ia
berpikir sedemikian naasnya jika teman mereka memiliki pemikiran yang begitu
pendek, bisa disebut sebagai gaya bahasa prolepsis karena kalimat tersebut
menggunakan kata-kata lebih dahulu sebelum gagasan yang sebenarnya terjadi.
Kalimat tersebut menggunakan lebih dahulu kata naas sebelum gagasan yang
sebenarnya terjadi, yaitu pemikiran yang begitu pendek. Sebelum sampai pada
peristiwa pikiran pendek, penulis sudah menggunakan kata naas, padahal naas
baru terjadi kemudian.
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan
yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Menurut Kusumawati
(2010:12), gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang dilambangkan dengan
kata-kata yang membawa pernyataan yang berlebih-lebihan dengan tujuan untuk
8
menegaskan atau menekankan pandangan, perasaan, dan pikiran. Dalam cerpen
karya siswa terdapat 33,3% siswa atau 5 siswa yang menggunakan gaya bahasa
hiperbola. Salah satu hal yang dibesar-besarkan siswa pada cerpen adalah rambut
yang panjang sampai-sampai menampakkan sinar, padahal kenyataan yang terjadi
sebenarnya tidak seperti apa yang diibaratkan siswa tersebut. Misalnya pada
kalimat Rambutnya yang panjang sesekali tertiup angin, terkibas dan
menampakkan sinar-sinar anggunnya. Kalimat tersebut dikatakan gaya bahasa
hiperbola karena terdapat kata-kata yang melebih-lebihkan, padahal hanya ingin
menyampaikan rambut yang panjang. Rambut panjang dinyatakan dalam katakata yang berlebihan. Dengan pernyataan yang dibesar-besarkan tersebut, rambut
panjang terkesan sebuah barang yang sangat indah, perhiasan yang disamakan
dengan permata yang bersinar.
Gaya bahasa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Kusumawati (2010:23) yang menyatakan bahwa gaya bahasa
paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung pertentangan
dengan fakta yang ada. Siswa yang menggunakan gaya bahasa paradoks
berjumlah 2 siswa atau 13,3% siswa. Pada kalimat Ia belajar bahwa waktu adalah
lebih berharga dari emas, siswa mempertentangkan antara waktu dengan emas.
Seolah-olah waktu adalah sebuah benda yang sama dengan emas, padahal waktu
dalam makna kamus adalah satuan saat lamanya melakukan sesuatu, bukan
sebuah benda. Dengan disamakannya kedua hal tersebut, maka terbentuk sebuah
pertentangan. Pertentangan tersebut dimaksudkan siswa untuk menarik perhatian
pembaca karena kebenarannya.
Gaya bahasa eufemismus merupakan gaya bahasa yang bertujuan untuk
memperhalus suatu ungkapan. Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004:25)
berpendapat bahwa gaya bahasa eufemismus adalah gaya bahasa perbandingan
yang bersifat menggantikan satu pengertian dengan kat lain yang hampir sama
untuk menghaluskan maksud. Misalnya dalam frasa otaknya di bawah garis
kemiskinan. Frasa tersebut yang merupakan frasa penghalusan dari kata bodoh.
Dengan mengungkapkan otaknya di bawah garis kemiskinan dirasa tidak
menyinggung perasaan dan tidak dianggap menghina atau mensugestikan sesuatu
yang tidak menyenangkan, sehingga lebih terkesan santun. Gaya bahasa
eufemismus adalah gaya bahasa yang paling sering digunakan. Hal tersebut terjadi
karena sebisa mungkin penulis menata apakah kata yang dipilihnya pantas dibaca
atau tidak. Dengan siswa menggunakan gaya bahasa tersebut, tulisan siswa
terkesan santun dan mencerminkan siswa yang memperhitungkan kelayakan
tulisannya untuk dibaca orang lain. Siswa yang menggunakan gaya bahasa
eufimismus sebanyak 12 siswa atau 80,0% siswa.
Gaya bahasa pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan lebih
banyak kata untuk menyampaikan satu pikiran. Menurut Keraf (2010:133), gaya
bahasa pleonasme adalah gaya bahasa berupa acuan yang menggunakan kata-kata
lebih banyak daripada yang diperlukan untuk mengungkapkan suatu pemikiran
atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan
dihilangkan, namun artinya tetap utuh. Siswa yang menggunakan gaya bahasa
pleonasme sebanyak 5 siswa atau 33,3% siswa. Dengan menggunakan gaya
bahasa pleonasme, siswa melakukan pemborosan kata. Sebenarnya, kata yang
berlebihan tersebut apabila tidak digunakan, maknanya tetap dapat dipahami.
9
Siswa menggunakan gaya bahasa pleonasme untuk menarik pembaca dan
menjabarkan gagasan secara rinci. Contohnya pada kalimat Dengan percaya
kulangkahkan kakiku mendekati dirinya. Kalimat tersebut dikatakan sebagai gaya
bahasa pleonasme karena kata kulangkahkan kaki mengalami pemborosan kata.
Kata melangkah seharusnya sudah mewakili makna tanpa disertai kaki, karena
seyogyanya, melangkah sudah menggunakan kaki. Penggunaan gaya bahasa
pleonasme supaya kalimat tersebut dapat menyiratkan makna yang lebih dalam.
Gaya bahasa silepsis merupakan bentuk penyimpangan yang berfungsi
untuk menggabungkan dua kata untuk memperkuat suatu makna. Gaya bahasa
silepsis adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan
dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya
salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama (Keraf, 2010:135).
Gaya bahasa silepsis digunakan oleh 3 orang atau 20,0% siswa. Gaya bahasa
tersebut digunakan siswa karena siswa ingin menimbulkan efek mendalam pada
kalimat tersebut. Konstruksi kalimat kedua bersifat menguatkan konstruksi yang
pertama. Contohnya pada kalimat wajah marah memerah. Kalimat tersebut
dikatakan gaya bahasa silepsis karena frasa marah memerah merupakan dua kata
yang tidak sama tetapi hanya satu kata saja yaitu marah yang memiliki hubungan
dengan kata sebelumnya. Sebenarnya kata marah sudah mewakili makna, namun
dalam klimat tersebut kata marah ditambah dengan kata memerah menyebabkan
makna semakin kuat yaitu marah yang sangat.
Gaya bahasa erotesis adalah gaya bahasa yang menggunakan kalimat tanya
yang tidak memerlukan jawaban. Menurut Kusumawati (2010:26), gaya bahasa
erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan
dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih
mendalam dan penelakan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya
suatu jawaban. Dalam cerpen karya siswa, sejumlah 6 siswa atau 40,0% siswa
yang menggunakan gaya bahasa erotesis. Gaya bahasa erotesis digunakan siswa
untuk menceritakan tokoh bermonolog. Kebanyakan siswa menggunakan kalimatkalimat tersebut sebagai gumaman hati tokoh yang diceritakan. Kalimat Kenapa
bel istirahat tidak segera berbunyi? Aku sudah lapar, ayolah aku mohon
dikatakan sebagai gaya bahasa erotesis karena kalimat tersebut merupakan bentuk
monolog dari tokoh. Pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab karena tidak ada
lawan bicara yang akan menjawab. Pertanyaan tersebut hanya gumaman dalam
hati yang tidak memerlukan jawaban dari tokoh lain.
Gaya bahasa perifrasis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata
yang lebih banyak dari yang diperlukan (Keraf, 2010:134). Sebenarnya gaya
bahasa perifrasis mirip dengan gaya bahasa pleonasme. Perbedaanya terletak
dalam hal bahwa kata-kata yang berkelebihan tersebut sebenarnya dapat diganti
dengan satu kata saja. Siswa yang menggunakan gaya bahasa perifrasis sebanyak
3 siswa atau 20,0% siswa. Dari data siswa terlihat bahwa siswa hanya ingin
membuat gagasannya tercurah indah dan rinci sehingga menarik pembaca.
Misalnya pada frasa tempat minum kopi sekaligus untuk istirahat. Frasa tersebut
dikatakan sebagai gaya bahasa perifrasis karena frasa tersebut dapat digantikan
dengan warung. Penjelasan yang panjang dapat diganti dengan kata warung.
Gaya bahasa elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan
suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh
pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi
10
pola yang berlaku (Keraf, 2010:132). Gaya bahasa elipsis merupakan gaya bahasa
yang menghilangkan satu unsur atau beberapa unsur kalimat, mungkin subjek,
predikat atau keterangan. Gaya bahasa elipsis menghilangkan suatu unsur kalimat
yang dengan mudah dapat ditafsirkan oleh pembaca. Hanya ada dua kalimat
sekaligus 2 atau 13,3% siswa yang menggunakan gaya bahasa elipsis. Dilihat dari
konteks pembicaraannya, dua kalimat ini digunakan oleh siswa untuk
menceritakan tokoh yang sedang bercanda atau dalam keadaan senang. Contohnya
kalimat Terus kita juga udah tukeran nomor handphone, dan…. Kalimat tersebut
dikatakan sebagai gaya bahasa elipsis karena kalimat tersebut berwujud
menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi oleh pembaca,
yaitu setelah kata dan… Pengisian unsur kalimat yang dihilangkan tersebut tidak
bisa bersifat manasuka, tetapi harus mempertimbangkan acuan kalimat
sebelumnya sehingga pengisian unsur kalimat tidak keluar dari konteks
permasalahan.
Gaya bahasa litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan
sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Menurut Nurdin, Maryani, dan Mumu
(2004:26) gaya bahasa litotes adalah gaya bahasa yang ditujukan untuk
mengurangi atau mengecilkan kenyataan yang sebenarnya, tujuannya untuk
merendahkan diri. Siswa yang menggunakan gaya bahasa litotes sejumlah 2 siswa
atau 13,3% siswa. Siswa menggunakan gaya bahasa litotes untuk menyampaikan
sebuah gagasan namun dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Misalnya
saja pada kalimat Wong aku yang bodoh gini aja nyantai. Siswa mengatakan
bodoh, padahal sebenarnya tokoh tersebut tidak bodoh. Pengambilan kesimpulan
bahwa kalimat tersebut merendahkan diri yaitu menyatakan bodoh tetapi
kenyataannya tidak bodoh, mengacu pada kalimat sebelumnya.
Gaya bahasa retoris yang tidak ditemukan dalam cerpen karya siswa kelas
XII SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang adalah gaya bahasa apofasis
atau preterisio, gaya bahasa apostrof, gaya bahasa histeron proteron, gaya bahasa
zeugma, gaya bahasa koreksio atau epanortosis, dan gaya bahasa oksimoron. Gaya
bahasa tersebut tidak ditemukan karena kalimat-kalimat dalam cerpen karya siswa
tidak memenuhi syarat untuk tergolong dalam gaya bahasa tersebut.
Fungsi Gaya Bahasa Retoris
Keindahan bahasa dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya
Smart School (BSS) Malang agar pembaca merasa terhibur dalam menikmati
karya cerpen tersebut. Keindahan bahasa tersebut dapat diaplikasikan ke dalam
sebuah tulisan dengan menggunakan gaya bahasa tertentu. Gaya bahasa
merupakan penggabungan dari kedua aspek bahasa dan sastra, karena sastra tidak
bisa lepas dari bahasa yang membentuknya.
Menurut Keraf (2010:129) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna memiliki bermacam-macam fungsi, yaitu menjelaskan, memperkuat,
menghidupkan objek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, atau
untuk hiasan. Gaya bahasa retoris dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA
Brawijaya Smart School (BSS) Malang juga tidak luput dari fungsinya. Gaya
bahasa aliterasi dan gaya bahasa asonansi berfungsi untuk menekankan suatu kata
yang ingin ditonjolkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengulangan huruf
tertentu. Gaya bahasa asindenton dan polisindenton digunakan untuk lebih
menjelaskan apa-apa yang merupakan penjelas dari kalimat yang membutuhkan
11
keterangan, sehingga gaya bahasa ini memiliki fungsi untuk memaparkan gagasan
secara lebih hidup dan menarik.
Gaya bahasa anastrof berfungsi membuat gagasan untuk lebih hidup dan
menarik. Hal ini terlihat dari keterangan yang dibangun untuk diperkuat. Gaya
bahasa kiasmus berfungsi untuk menonjolkan sesuatu yang diperbandingakan
dalam sebuah kalimat, sehingga dalam cerita didapatkan suatu gambaran jalan
cerita yang lebih menarik. Gaya bahasa elipsis memiliki fungsi menyederhanakan
kalimat, sehingga dalam cerpen karya siswa penggunaan gaya bahasa ini
menjadikan kalimat lebih efisien dan padat tanpa merubah makna yang ingin
disampaikan. Gaya elipsis ini digunakan untuk menekankan suatu gagasan,
penekanan tersebut terlihat dari perbandingan yang ada di dalam kalimat.
Gaya bahasa eufimismus memiliki fungsi memaparkan gagasan secara
lebih hidup dan menarik dengan mempertimbangankan kesantunan tulisan. Gaya
bahasa litotes memiliki fungsi sebagai penyangkal sesuatu yang nyata.
Penyangkalan tersebut membuat efek penggunaan gaya bahasa dalam cerpen
siswa menjadi lebih sopan dengan tidak menyombongkan diri. Fungsi gaya
bahasa pleonasme dan gaya bahasa perifrasis adalah untuk lebih memperjelaskan
kepada pembaca dengan penggunaan kata-kata yang lebih banyak sehingga lebih
detail dalam mengungkapkan gagasan yang diinginkan oleh penulis.
Gaya bahasa erotesis berfungsi untuk mempertentangkan atau meyakinkan
pendapat yang sedang diragukan oleh tokoh yang sedang bermonolog atau
pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Gaya bahasa silepsis berfungsi
untuk menggabungkan dua kata untuk memperkuat makna kalimat. Gaya bahasa
paradoks berfungsi untuk mengkonkritkan atau menekankan suatu keadaan yang
sedang terjadi. Gaya bahasa hiperbola berfungsi untuk memberikan efek
berlebihan atau membesar-besarkan gagasan. Sedangkan gaya bahasa prolepsis
berfungsi untuk memberikan kejutan atas gagasan dengan menyampaikan katakata pengantar terlebih dahulu.
Penggunaan Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang merupakan bentuk
penyimpangan yang lebih jauh, khususnya di bidang makna. Gaya bahasa kiasan
memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari gaya bahasa retoris. Hal tersebut
dikarenakan yang dimainkan dalam lingkup gaya bahasa telah menyangkut aspek
makna atau semantik. Menurut Aminuddin (1995:227), bahasa kias diartikan
sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan
perbandingan atau analogi ciri semantis yang umum dengan yang umum, yang
umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus.
Gaya bahasa metafora merupakan perbandingan atau analogi dengan
membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dengan cara singkat dan padat.
Gaya bahasa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2010:138). Gaya
bahasa metafora inilah yang paling sering digunakan siswa. Siswa yang
menggunakan gaya bahasa metafora sebanyak 9 siswa atau 60,0% siswa. Dari
data terlihat bahwa siswa dengan sederhana mengonotasikan gagasannya sehingga
menjadi gaya bahasa metafora. Misalnya, siswa menyampaikan gagasan pusat
kegiatan kota dengan menggunakan ungkapan jantung kota. Hal tersebut
memberikan efek menarik bagi pembaca.
12
Gaya bahasa personifikasi atau prosopopeia adalah semacam gaya bahasa
kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Menurut Pradopo
(1997:75) personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan
manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, dan sebagainya seperti
manusia. Siswa yang menggunakan gaya bahasa personifikasi ada 7 atau 46,6%
siswa. Gaya bahasa personifikasi siswa mengandung persamaan. Hal yang
disamakan adalah benda mati seperti matahari, perut, nasib, pertanyaan, dan
beberapa suasana disamakan dengan manusia. Hal-hal tersebut diberi lakuan
layaknya manusia. Contohnya pada kalimat Itu adalah detik-detik di mana perut
sudah mulai berdemo. Kalimat tersebut merupakan gaya bahasa personifikasi
karena terdapat kata perut yang diberi tingkah seperti manusia. Perut dinyatakan
dapat berdemo, padahal perut hanyalah anggota tubuh yang tidak bisa melakukan
hal layaknya manusia. Dengan alasan tersebut kata berdemo bukan merupakan
kata yang sebenarnya.
Gaya bahasa sinekdoke adalah
semacam bahasa figuratif yang
mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Nurdin, Maryani, dan
Mumu (2004:24) menyatakan bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif
yag mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan sebagian. Gaya
bahasa sinekdoke digunakan oleh 3 siswa atau 20,0% siswa. Gaya bahasa
sinekdoke digunakan siswa dengan maksud untuk menyebutkan nama sebagian
sebagai penganti nama keseluruhan, atau sebaliknya. Hal tersebut menimbulkan
efek kalimat yang lebih simpel dan efisien karena pembaca dapat menafsirkan
sendiri apa yang dimaksudkan oleh siswa melalui tulisan tersebut. Kalimat Satu
kelas diam dan tegang, dikatakan sebagai gaya bahasa sinekdoke karena terdapat
bahasa figuratif yang mempergunakan kata satu kelas untuk menyatakan
keseluruhan siswa dalam satu kelas. Dengan kata satu kelas sudah mewakili
semua siswa yang termasuk dalam anggota kelas tersebut.
Menurut Keraf (2010:143), gaya bahasa ironi adalah suatu acuan yang
ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Dalam gaya bahasa ironi dipakai katakata yang berlawanan dengan maksud yang sebenarnya. Terdapat 26,6% siswa
atau 4 siswa yang menggunakan gaya bahasa ironi. Misalnya pada kalimat Lihat
kawan, mereka lulus, lulus dengan ketidakjujuran mereka. Kalimat tersebut
dikatakan sebagai gaya bahasa ironi karena kalimat tersebut merupakan sindiran
yang mengandung maksud tersembunyi, yaitu kecurangan untuk bisa lulus.
Gaya bahasa sinisme adalah suatu sindiran yang berbentuk kesangsian
yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Nurdin,
Maryani, dan Mumu (2004:27) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa
sindiran yang cara pengungkapannya lebih kasar. yang menggunakan gaya bahasa
sinisme berjumlah 3 siswa atau 20,0% siswa. Kalimat Akhirnya ada juga cowok
yang mau ngajak kencan sahabatku yang satu ini dikatakan sebagai gaya bahasa
sinisme karena terdapat frasa akhirnya ada juga cowok yang mau yang merupakan
sindiran berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan
ketulusan hati.
Gaya bahasa sarkasme adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan
dan celaan yang getir. Sarkasme merupakan acauan yang lebih kasar dari ironi dan
13
sinisme (Keraf, 2010:143). Siswa yang menggunakan gaya bahasa sarkasme ada 5
siswa atau 33,3% siswa. Contohnya pada kalimat Otaknya udah otak kebo.
Kalimat tersebut dikatakan sebagai gaya bahasa sarkasme karena terdapat kata
otak kebo yang mengandung celaan yang getir dan menyakiti hati karena otak si
tokoh disamakan dengan otak kebo. Otak manusia yang seharusnya bisa
digunakan untuk berfikir, disamakan dengan otak kerbau yang tidak bisa
digunakan untuk berfikir. Berdasarkan data siswa, penggunaan gaya bahasa ironi,
gaya bahasa sinisme, dan gaya bahasa sarkasme tujuannya adalah untuk
menceritakan seorang tokoh yang meyindir, namun dengan tingkat kekasaran
yang berbeda. Penggunaan ketiga gaya bahasa tersebut relatif jarang karena siswa
mempertimbangkan kelayakan tulisannya untuk dibaca. Kebanyakan siswa
menggunakan gaya bahasa tersebut untuk mengungkapkan makna yang cenderung
negatif.
Gaya bahasa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang
sangat dekat. Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004:23) berpendapat bahwa
metonimia adalah gaya bahasa penamaan terhadap suatu benda dengan
mempergunakan nama pabrik, merek dagang, nama penemu, nama jenis, dan lainlain. Gaya bahasa metonimia digunakan oleh 6 siswa atau 40,0% siswa. Siswa
menggunakan hubungan pertalian tersebut berupa merk dagang untuk
menyebutkan sebuah produk, contohnya siswa menyebutkan Blackberry 10 untuk
menyebutkan handphone.
Gaya bahasa simile adalah gaya bahasa yang bermaksud tamsil atau kiasan
yang membandingkan dua objek yang mempunyai sifat dan nilai yang sama.
Menurut Keraf (2010:138), gaya bahasa simile adalah perbandingan yang bersifat
eksplisit. Siswa yang menggunakan gaya bahasa simile sebanyak 4 siswa atau
26,6% siswa. Siswa menguatkan gaya bahasa ini dengan penggunaan kata-kata
yang lazim digunakan untuk menyamakan sesuatu, yaitu kata seperti, bagai,
bagaikan, kayak, seolah, dan semacam. Kata yang digunakan dalam cerpen karya
siswa adalah kata bagai, bak, bagaikan, dan kayak. Misalnya kalimat Namun bel
istirahat tak kunjung berbunyi bagai siput yang berjalan sangat lamban dikatakan
sebagai gaya bahasa simile karena kalimat tersebut menunjukkan kata yang
disamakan dengan frasa terakhir. Persamaan tersebut terjadi karena hadirnya kata
bagai dalam kalimat tersebut. Kata tak kunjung disamakan dengan siput yang
berjalan sangat lamban, padahal dua hal tersebut merupakan dua hal yang sangat
berbeda jauh. Hal yang pertama merupakan kata kerja, dan satunya merupakan
seekor hewan.
Gaya bahasa yang menyebutkan nama orang dengan sebutan lain sesuai
dengan ciri fisik dirinya atau watak orang tersebut atau menyatakan sesuatu
dengan menggunakan kata majemuk posesif. Gaya bahasa antonomasia adalah
sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta
untuk menggantikan nama diri atau gelar resmi atau jabatan untuk menggantikan
nama diri (Keraf, 2010:142). Berdasarkan data, gaya bahasa antonomasia jarang
ditemukan. Siswa yang menggunakan gaya bahasa antonomasia hanya ada 1 siswa
atau 6,7% siswa. Penggunaan gaya bahasa antonomasia pada cerpen siswa untuk
menggantiakan nama diri, yaitu nama tokoh Steven diganti dengan pangeran.
Gaya bahasa antonomasia sulit ditemukan karena siswa lebih suka untuk
menyebutkan nama tokoh secara langsung tanpa gelar atau julukan.
14
Gaya bahasa epitet menurut adalah semacam acuan yang menyatakan
suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Menurut Nurdin,
Maryani, dan Mumu (2004:25) gaya bahasa epitet adalah gaya bahasa berwujud
seseorang atau sesuatu benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk
menyatakan sifat tersebut. Gaya bahasa epitet juga jarang ditemukan. Siswa yang
menggunakan gaya bahasa epitet sebanyak 1 atau 6,7% siswa. Dalam cerpen,
siswa menggunakan istilah Raja Matahari untuk menyatakan ciri matahari. Raja
Matahari merupakan frasa deskriptif yang menggantikan matahari. Dengan
memasukkan frasa yang terbilang baru tersebut, siswa terkesan berusaha untuk
membuat pembaca cerpennya terhibur dan tidak menjenuhkan.
Gaya bahasa yang tidak ditemukan dalam cerpen karya siswa kelas XII
SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang adalah gaya bahasa alegori, gaya
bahasa parabel, gaya bahasa fabel, gaya bahasa alusi, agaya bahasa eponim, gaya
bahasa hipalase, gaya bahasa satire, gaya bahasa inuendo, gaya bahasa antifrasis,
dan gaya bahasa pun atau paronomasia. Gaya bahasa tersebut tidak ditemukan
karena kalimat-kalimat dalam cerpen karya siswa tidak memenuhi syarat untuk
tergolong dalam gaya bahasa tersebut.
Fungsi Gaya Bahasa Kiasan
Dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya Smart School (BSS)
Malang juga ditemukan fungsi gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa simile memiliki
fungsi sebagai efek untuk mendramatisasi, sehingga gagasan lebih hidup. Gaya
bahasa metonimia berfungsi untuk menekankan atau menyanggakan suatu
gagasan. Gaya bahasa personifikasi berfungsi untuk mendramatisasi sebagai efek
nyata atau menghidupkan suatu benda dalam kalimat, sehingga terkesan menarik.
Gaya bahasa epitet dalam cerpen karya siswa memiliki fungsi
memperkuat makna yang ingin ditampilkan sehingga bisa menekankan atau
menyanggahkan suatu gagasan. Gaya bahasa sinekdoke memiliki fungsi untuk
memperluas arti, sehingga kesan yang ditimbulkan lebih terkesan besar. Hal
tersebut berarti gaya bahasa sinekdoke digunakan untuk menekankan makna atau
gagasan. Gaya bahasa antonomasia berfungsi sebagai mengaburkan atau
memperjelas tokoh. Sedangkan gaya bahasa metafora berfungsi untuk
membandingkan dua hal secara langsung dan dalam bentuk yang singkat,
sehingga memberi efek menarik dan hidup.
Gaya bahasa ironi, gaya bahasa sinisme, dan gaya bahasa sarkasme dalam
cerpen karya siswa digunakan untuk menyindir dengan tingkatan tertentu. Gaya
bahasa ironi berfungsi untuk menyindir dengan menjaga perasaan lawan bicara.
Gaya bahasa sinisme berfungsi untuk menyindir sehingga lawan bicara sadar
akan sindiran tersebut. Gaya bahasa sarkasme berfungsi untuk menekan makna
sindiran yang terkesan mempermasalahkan apa yang dibahas.
Gaya bahasa dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya Smart
School (BSS) Malang secara garis besar dapat difungsikan untuk (1) memaparkan
gagasan secara lebih hidup dan menarik, (2) menggambarkan suasana secara
lebih hidup dan menarik, (3) untuk menekankan atau menyanggahkan suatu
gagasan, dan (4) untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung. Pada
intinya, fungsi gaya bahasa pada cerpen karya siswa adalah untuk mendukung hal
yang ada dalam karya cerpen dengan bahasa pilihan atau penyimpangan bahasa
yang diinginkan siswa. Gaya bahasa dalam setiap karya cerpen dapat mewakili
15
siswa karena gaya bahasa dalam karya sastra dalam konteks ini adalah cerpen
bergantung pada latar belakang penulis atau siswa itu sendiri yang dapat memberi
nilai terhadap watak, prbibadi, kemampuan, dan lain-lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan, dapat
diperoleh dua simpulan sebagai berikut. Pertama, gaya bahasa retoris yang
digunakan pada cerpen siswa kelas XII SMA Brawijaya Smart School (BSS)
Malang ada enam belas, yaitu (1) gaya bahasa aliterasi, (2) gaya bahasa asonansi,
(3) gaya bahasa anastrof, (4) gaya bahasa asindenton, (5) gaya bahasa
polisidenton, (6) gaya bahasa kiasmus, (7) gaya bahasa elipsis, (8) gaya bahasa
eufimisme, (9) gaya bahasa litotes, (10) gaya bahasa prolepsis, (11) gaya bahasa
erotesis, (12) gaya bahasa pleonasme, (13) gaya bahasa hiperbola, (14) gaya
bahasa perifrasis, (15) gaya bahasa silepsis, (16) dan gaya bahasa paradoks. Gaya
bahasa retoris yang dominan digunakan adalah gaya bahasa eufimisme, yaitu ada
22 kalimat. Fungsi dari gaya bahasa retoris adalah memaparkan gagasan secara
lebih hidup dan menarik, menggambarkan suasana secara lebih hidup dan
menarik, mendukung ataupun menyanggah suatu gagasan, dan menyampaikan
gagasan secara tidak langsung.
Kedua, gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam cerpen karya siswa
kelas XII SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang ada sepuluh jenis gaya
bahasa, yaitu (1) gaya bahasa metafora, (2) gaya bahasa personifikasi, (3) gaya
bahasa sinekdoke, (4) gaya bahasa sinisme, (5) gaya bahasa ironi, (6) gaya bahasa
sarkasme, (7) gaya bahasa metonimia, (8) gaya bahasa simile, (9) gaya bahasa
antonomasia, (10) dan gaya bahasa epitet. Gaya bahasa kiasan yang dominan
digunakan adalah gaya bahasa metafora, yaitu sebanyak 39 kalimat. Fungsi dari
gaya bahasa kiasan adalah memaparkan gagasan secara lebih hidup dan menarik,
menggambarkan suasana secara lebih hidup dan menarik, menekan ataupun
menyanggah suatu gagasan, dan untuk menyampaikan gagasan secara tidak
langsung.
Saran
Saran penelitian ini disampaikan pada tenaga pengajar Bahasa Indonesia,
siswa, peneliti selanjutnya, bagi masyarakat umum, dan cerpenis. Tenaga pengajar
Bahasa Indonesia, disarankan untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan
menambah pemahaman tentang jenis gaya bahasa yang nantinya dapat diajarkan
kepada perserta didik. Siswa disarankan untuk belajar lebih mendalam mengenai
gaya bahasa dan memperbanyak latihan menggunakan gaya bahasa secara tepat.
Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian pada aspek lain yang
terkait dengan gaya bahasa. Masyarakat atau pembaca umum, disarankan untuk
lebih mencintai karya sastra Indonesia, terutama prosa. Cerpenis, disarankan
untuk memperhatikan penggunaan gaya bahasa, sehingga menimbulkan efek
keindahan dan dramatisasi.
16
DAFTAR RUJUKAN
Agustin, D. N. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa dalam Pidato Presiden Soeharto.
Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Keraf, G. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kementrian Pendidikan Nasional. 2006. Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Kridalaksana, H. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kusumawati. 2010. Analisis Pemakaian Gaya Bahasa pada Iklan Produk
Kecantikan Perawatan Kulit Wajah di Televisi, (Online),
(http://eprints.uns.ac.id/278/1/169981511201010311.pdf), diakses 26 Mei
2014.
Nurdin, A., Maryani, Y. & Mumu. 2004. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia.
Pr
GAYA BAHASA DALAM CERPEN KARYA SISWA
Dian Risdiawati1
Sumadi2
Widodo Hs3
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang 65145
E-mail: [email protected]
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA
Brawijaya Smart School (BSS) Malang Tahun Ajaran 2013/2014 dilihat dari
segi penggunaan dan fungsinya. Penelitian jenis kualitatif ini menggunakan
pendekatan stilistika dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya penggunaan gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan dalam cerpen
siswa. Gaya bahasa retoris ditemukan sebanyak 18 jenis dan yang paling sering
digunakan adalah gaya bahasa eufemismus. Gaya bahasa kiasan ditemukan
sebanyak 10 jenis dan yang sering digunakan adalah gaya bahasa metafora.
Kata kunci: gaya bahasa, retoris, kiasan, cerpen
ABSTRACT: This study aimed to describe the style implemented based on
direct and indirect meaning, namely rhetorical style and figurative language
short story by high school students of class XII Brawijaya Smart School (BSS)
Malang academic year 2013/2014 based on (1) use and (2) function. The study
uses qualitative method with descriptive design. The result of this research show
that the short story of students use rhetorical style and figurative language. The
rhetorical style detectable 18 type and the most is eufemismus style. The
figurative language detectable 10 type and the most is metaphor style.
Keywords: language style, rhetorical, figurative, short story
Gaya bahasa merupakan hal yang menarik di dalam karya sastra
khususnya cerpen. Pengarang yang satu dengan pengarang yang lainnya dapat
mengungkapkan perasaannya dengan bahasa yang khas dan berbeda-beda
terhadap pengarang melalui gaya bahasa. Keraf (2010:113) menyatakan bahwa
gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Melalui gaya bahasa
memungkinkan pembaca dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang
mempergunakan bahasa. Semakin baik bahasanya, semakin baik pula penilaian
orang terhadapnya. Semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula
penilaian yang diberikan kepadanya.
Gaya bahasa diartikan sebagai bahasa indah yang digunakan untuk
meningkatkan efek dengan cara memperkenalkan serta membandingkan suatu
benda atau hal tertentu dengan benda atau hal yang lain yang lebih umum.
Menurut Tarigan (1985:5), gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu
penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau
1
Dian Risdiawati adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Malang, Angkatan 2010.
2
Sumadi dan 3Widodo Hs adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang.
1
2
mempengaruhi penyimak dan pembaca. Penggunaan gaya bahasa tertentu dapat
mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.
Menurut Kridalaksana (2001:25) penjelasan gaya bahasa secara luas yaitu
pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis,
pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, dan keseluruhan
ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Gaya bahasa dan kosa kata mempunyai
hubungan timbal balik yang erat. Semakin kaya kosa kata seseorang beragam pula
gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan penggunaan gaya bahasa memperkaya
kosa kata penggunanya. Oleh karena itu, pengajaran bahasa merupakan salah satu
cara untuk mengembangkan kosa kata siswa. Gaya bahasa memiliki unsur penting
yang mewakili bentuk bahasa sastra di antaranya mencakup diksi atau pilihan
leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, dan mantra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra
(Sudjiman, 1993:13—14).
Penggunaan gaya bahasa dalam cerpen mempunyai fungsi, yaitu sebagai
pengemban nilai estetika karya itu sendiri untuk menimbulkan efek tertentu,
menimbulkan tanggapan pikiran pada pembaca, dan mendukung makna suatu
cerita. Cerpen sebagai salah satu bentuk prosa fiksi yang sering juga disebut
dengan sebuah cerita ringkas memerlukan pengungkapan yang lebih rumit.
Cerpen dituntut untuk mencari momen yang menarik, kemudian diekspresikan
melalui bahasa secara personal sehingga menimbulkan nilai estetik. Hanya saja, di
dalam sebuah cerpen terdapat proses pemadatan ide yang selalu terarah tetapi
dapat membentuk sebuah kesan.
Seorang siswa mempunyai karakteristik pada setiap karyanya.
Karakteristik cerpen karya siswa dilihat dari segi gaya bahasa memengaruhi
kalimat dalam karangan siswa dan kesan pembaca. Setiap siswa mempunyai
karakteristik gaya bahasa tersendiri yang merupakan ciri khas dari karya siswa
tersebut. Seorang siswa dapat mempelajari gaya-gaya pengarang lain dengan
membaca dan mempelajari buku-buku. Meskipun demikian, gaya bahasa
pengarang bergantung dari watak pengarang itu sendiri. Setiap pengarang
menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yaitu sebuah gaya yang sesuai dengan
wataknya dengan pertimbangkan pikiran dan perasaan dalam menentukan fokus
dalam karyanya. Salah satu kekhasan seorang pengarang dapat dilihat dari gaya
bahasa yang digunakan untuk menggambarkan karakter tokoh dalam karyanya.
Peneliti memilih cerpen dikarenakan menulis cerpen termasuk dalam
kurikulum pembelajaran, seperti yang disebutkan dalam standar isi SMA kelas
XII semester satu yakni menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang lain
(pelaku, peristiwa, latar) (Kementrian Pendidikan Nasional, 2006). Oleh karena
itu, peneliti menganggap bahwa menulis cerpen tidak akan lepas dari
pembelajaran sastra, sehingga penelitian ini bermanfaat untuk pembelajaran
bahasa dan sastra di sekolah.
Penelitian tentang gaya bahasa, pernah dilakukan oleh Vitiana (2012) dan
Agustin (2008). Vitiana (2012) meneliti tentang gaya bahasa dalam karangan
Bahasa Jawa siswa kelas VI SD. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa
siswa kelas VI SD banyak menggunakan gaya bahasa paralelisme, repetisi, dan
prolepsis atau antisipasi. Sementara itu, Agustin (2008) meneliti tentang diksi dan
gaya bahasa dalam pidato Presiden Soeharto. Berdasarkan hasil analisis, diketahui
3
bahwa Presiden Soeharto lebih banyak menggunakan diksi abstrak, diksi khusus,
diksi populer, gaya bahasa repetisi, dan gaya bahasa paralelisme.
Penelitian ini berbeda dengan kedua penelitian tersebut. Letak
perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Jika penelitian sebelumnya menitik
beratkan pada gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan pilihan kata pada
karangan Bahasa Jawa dan pidato Presiden, penelitian ini menitikberatkan pada
gaya bahasa retoris dan kiasan pada cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya
Smart School (BSS) Malang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yang meliputi gaya bahasa
retoris dan kiasan dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya Smart
School (BSS) Malang tahun ajaran 2013/2014 dilihat dari segi penggunanaan dan
fungsinya.
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan stilistika. Penggunaan pendekatan stilistika dalam
penelitian ini adalah untuk melihat bentuk keindahan bahasa yang digunakan
dalam cerpen siswa. Metode kualitatif digunakan bersamaan dengan pendekatan
stilistika karena dalam penelitian ini tidak dibutuhkan angka, melainkan
dibutuhkan data yang berupa uraian kata. Maksudnya adalah penelitian ini
berusaha untuk memberikan data secara objektif tentang gaya bahasa dan
kekhasan gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam cerpen karya siswa.
Sumber data penelitian ini berupa cerpen karya siswa kelas XII A2 SMA
Brawijaya Smart School (BSS) Malang Tahun Ajaran 2013/ 2014 yang berjumlah
15 cerpen. Cerpen karya siswa kelas XII A2 dipilih sebagi sumber data karena
penelitian tentang penggunaan gaya bahasa dalam cerpen karya siswa belum
pernah dilakukan sebelumnya.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa LKS,
panduan kodifikasi gaya bahasa, dan rubrik pengumpul dan analisis data. LKS
berisi perintah dan petunjuk menulis cerpen yang digunakan untuk mengambil
data dari siswa. Panduan kodifikasi gaya bahasa digunakan untuk mengklasifikasi
data. Rubrik pengumpul dan analisis data digunakan untuk identifikasi kalimat
dari data.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan (1) memberi tugas menulis
cerpen kepada siswa, (2) mengumpulkan semua cerpen karya siswa, (3) membuat
tabel pengumpul data dan kodifikasi data, yaitu memberikan kode-kode terhadap
data, (4) memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam tabel pengumpul
data, dan (5) melakukan penyajian data berdasarkan teori-teori yang menjadi
landasan penelitian ini.
Data dalam penelitian ini adalah data verbal yang berupa gaya bahasa
dalam cerpen karya siswa kelas XII A2 SMA Brawijaya Smart School Malang.
Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan maksud memperoleh deskripsi tentang
gaya bahasa dalam cerpen karya siswa yang meliputi gaya bahasa retoris dan gaya
bahasa kiasan yang dilihat dari segi penggunaan dan fungsi.
Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis data yang terdiri atas tiga kegiatan, yaitu kegiatan reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap
reduksi data meliputi identifikasi data, klasifikasi data, dan kodifikasi data.
4
Selanjutnya, dilakukan penyajian data yang bertujuan untuk memperoleh
kesimpulan-kesimpulan gaya bahasa dalam cerpen siswa, yaitu penggunaan dan
fungsi gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam cerpen
karya siswa sebagai temuan penelitian. Tahap terakhir dalam analisis data
penelitian ini adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan pada penelitian
ini adalah mengecek kesesuaian hasil analisis data dengan gaya bahasa dalam
cerpen siswa yang diteliti, yaitu penggunaan gaya bahasa retoris dan gaya bahasa
kiasan berdasarkan deskriptor yang telah dibuat.
HASIL
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, diperoleh dua
temuan, yaitu (1) penggunaan dan fungsi gaya bahasa retoris dan (2) penggunaan
dan fungsi gaya bahasa kiasan dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA
Brawijaya Smart School (BSS) Malang. Adapun hasil yang lebih lengkap dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Penggunaan dan fungsi gaya bahasa retoris. Penggunaan gaya bahasa
retoris dalam cerpen siswa cukup variatif. Gaya bahasa retoris yang ditemukan
dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA BSS Malang yaitu gaya bahasa
eufemismus, yaitu sebanyak 22 kalimat. Contoh kalimat yang menggunakan gaya
bahasa eufemismus adalah Otaknya di bawah garis kemiskinan. Gaya bahasa
asindeton ditemukan 15 kalimat. Kalimat yang menggunakan gaya bahasa
asindenton adalah Tak sedikit cobaan yang dia alami, kata-kata pedas sering ia
dapatkan dari teman-teman sekelasnya, nasib pahit lain juga beberapa kali ia
alami ketika ia bekerja sebagai buruh. Gaya bahasa erotesis dan gaya bahasa
anastrof ditemukan sebanyak 14 kalimat. Contoh gaya bahasa erotesis adalah
Kenapa bel istirahat tidak segera berbunyi? Aku sudah lapar, ayolah aku mohon.
Contoh gaya bahasa anastrof adalah Siang itu gang yang berada tepat di depan
rumah dipenuhi oleh warga kampung.
Gaya bahasa retoris lain yang juga ditemukan dalam cerpen siswa adalah
gaya bahasa hiperbola sebanyak 11 kalimat, contohnya Rambutnya yang panjang
sesekali tertiup angin, terkibas dan menampakkan sinar-sinar anggunnya. Gaya
bahasa prolepsis ditemukan sebanyak 8 kalimat, contohnya Ia berpikir sedemikian
naasnya jika teman mereka memiliki pemikiran yang begitu pendek. Ditemukan
pula gaya bahasa pleonasme sebanyak 7 kalimat, contohnya Dengan percaya
kulangkahkan kakiku mendekati dirinya. Gaya bahasa kiasmus ditemukan
sebanyak 6 kalimat, contohnya Tidak hanya kesabaran yang harus diterimanya
melainkan rasa menerima apa adanya adalah jalan hidup yang harus ditempuh
olehnya. Gaya bahasa asonansi dan gaya bahasa polisindenton masing-masing
ditemukan sebanyak 5 kalimat. Contoh gaya bahasa asonansi adalah Habis nyuci
mobil hanya boleh menonton kalau nggak Doraemon atau Digimon, mungkin
Pokemon. Contoh gaya bahasa polisindenton adalah Cewek kampung lagi palingpaling juga kembali ke fitrahnya, jadi juru masak dan pembantu rumah. Gaya
bahasa perifrasis 4 sebanyak kalimat, contohnya Dia mulai merangkai tiap huruf
menjadi kalimat. Gaya bahasa paradoks dan gaya bahasa silepsis masing-masing
ditemukan sebanyak 3 kalimat. Contoh gaya bahasa paradoks adalah Ia belajar
bahwa waktu adalah lebih berharga dari emas. Contoh gaya bahasa silepsis
adalah Mata dan telinga seakan terkunci rapat untuk melihat dan mendengar
suasana hati Gaha. Gaya bahasa elipsis dan gaya bahasa litotes ditemukan
5
sebanyak 2 kalimat. Contoh gaya bahasa elipsis adalah Terus kita juga udah
tukeran nomor handphone, dan….Contoh gaya bahasa litotes adalah Wong aku
yang bodoh gini aja nyantai.
Gaya bahasa retoris yang dominan digunakan adalah gaya bahasa
eufimismus. Fungsi dari gaya bahasa retoris adalah memaparkan gagasan secara
lebih hidup dan menarik, menggambarkan suasana secara lebih hidup dan
menarik, menekan ataupun menyanggah suatu gagasan, dan menyampaikan
gagasan secara tidak langsung.
Penggunaan dan fungsi gaya bahasa kiasan. Penggunaan gaya bahasa
kiasan oleh siswa cukup bervariasi. Gaya bahasa kiasan yang ditemukan dalam
cerpen karya siswa kelas XII SMA BSS Malang meliputi gaya bahasa metafora
yang ditemukan sebanyak 39 kalimat, contohnya Sontak warga sekitar rumah
berhamburan keluar rumah. Gaya bahasa personifikasi ditemukan sebanyak 10
kalimat, contohnya Itu adalah detik-detik di mana perut sudah mulai berdemo.
Gaya bahasa sinisme ditemukan sebanyak 6 kalimat, contohnya Akhirnya ada
juga cowok yang mau ngajak kencan sahabatku yang satu ini. Gaya bahasa ironi
ditemukan sebanyak 6 kalimat, contohnya Lihat kawan, mereka lulus, lulus
dengan ketidakjujuran mereka. Gaya bahasa sarkasme ditemukan sebanyak 6
kalimat, contohnya Otaknya udah otak kebo.
Gaya bahasa kiasan lain yang ditemukan adalah gaya bahasa metonimia
sebanyak 6 kalimat, contohnya Itu yang pakai baju polo warna biru. Gaya bahasa
simile dan gaya bahasa sinekdoke ditemukan sebanyak 4 kalimat. Contoh gaya
bahasa simile adalah Namun bel istirahat tak kunjung berbunyi bagai siput yang
berjalan sangat lamban. Contoh gaya bahasa sinekdoke adalah Satu kelas diam
dan tegang. Gaya bahasa antonomasia dan gaya bahasa epitet yang masingmasing ditemukan sebanyak 1 kalimat. Contoh gaya bahasa antonomasia adalah
Itu di sana yang pakai baju warna pink, lagi duduk sendirian menunggu sang
pangeran datang. Contoh gaya bahasa epitet adalah Raja Matahari tersenyum
begitu riangnya di siang hari ini.
Gaya bahasa retoris yang dominan digunakan adalah gaya bahasa
metafora. Fungsi dari gaya bahasa kiasan adalah memaparkan gagasan secara
lebih hidup dan menarik, menggambarkan suasana secara lebih hidup dan
menarik, menekan ataupun menyanggah suatu gagasan, dan menyampaikan
gagasan secara tidak langsung.
PEMBAHASAN
Penggunaan Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa dengan mengacu pada makna
sebenarnya, namun menggunakan kontruksi yang berbeda dari biasanya. Hal
tersebut sejalan dengan (Keraf, 2010:129) yang menyatakan bahwa gaya bahasa
retoris adalah gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dan
kontruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Disebut dengan kontruksi biasa
dalam pernyataan tersebut karena teknik yang digunakan dalam penerapan gaya
bahasa terhadap karya sastra tidak begitu rumit seperti pada ragam gaya bahasa
kiasan. Dalam karya sastra berupa prosa baik itu novel, cerpen, ataupun lainnya
gaya bahasa retoris dominan digunakan karena bahasa yang ada dalam karya
novel atau cerpen berbeda dengan bahasa puisi yang puitis dan serba tidak
langsung. Begitu pula dengan penggunaan gaya bahasa retoris dalam cerpen siswa
6
karya siswa, gaya bahasa retoris banyak digunakan. Penggunaan gaya bahasa oleh
siswa sangat sederhana. Kesederhanaan bahasa yang digunakan siswa inilah yang
merupakan salah satu ciri khas penggunaan gaya bahasa dalam cerpen karya siswa
kelas XII SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang.
Penggunaan gaya bahasa yang berwujud pengulangan bunyi vokal pada
sebuah larik atau kalimat disebut gaya bahasa asonansi. Menurut Keraf
(2010:130), gaya bahasa asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan
bunyi vokal yang sama. Penggunaan gaya bahasa asonansi biasanya digunakan
pada puisi atau prosa untuk menambahkan efek penekanan atau keindahan. Siswa
yang menggunakan gaya bahasa asonansi berjumlah 4 atau 26,6% siswa. Gaya
bahasa tersebut menonjolkan perulangan bunyi vokal dalam kalimat. Dalam
penggunaan gaya bahasa asonansi, siswa dominan mengulang vokal a. Contohnya
pada kalimat Sebenarnya masalah menjawab atau berdebat ia sangat hebat,
terdapat pengulangan vokal a. Vokal a dalam kalimat tersebut sering digunakan
dan terlihat begitu mencolok dari vokal lainnya. Vokal a dikombinasikan dengan
konsonan t menjadikan frasa dalam kalimat tersebut mempunyai efek eufoni
sehingga menciptakan keindahan dan menarik.
Gaya bahasa aliterasi membahas tentang bentuk kalimat atau frasa yang di
dalamnya terdapat huruf konsonan yang diulang. Gaya bahasa aliterasi adalah
gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama (Keraf, 2010:130).
Gaya bahasa aliterasi hanya digunakan oleh 2 siswa atau 13,3% siswa. Konsonan
yang digunakan oleh siswa adalah konsonan t dan h. Ketidakseringan penggunaan
gaya bahasa aliterasi ini dikarenakan siswa tidak terlalu memperhatikan keindahan
tiap katanya. Siswa hanya menuliskan kata-kata sederhana. Secara keseluruhan
gaya bahasa aliterasi dan gaya bahasa asonansi menimbulkan eufoni dan kakofoni
untuk menarik perhatian pembaca. Contohnya pada kalimat Doraemon atau
Digimon, mungkin Pokemon.
Gaya bahasa anastrof adalah gaya retoris yang diperoleh dengan
pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat (Keraf, 2010:130). Pengguna
gaya bahasa anastrof ada 26,6% atau 4 dari 15 siswa. Dari data siswa, kebanyakan
siswa menjadikan Keterangan pada urutan awal, baru kemudian diikuti dengan
Subjek, Predikat, dan Objek. Keterangan yang digunakan siswa adalah
Keterangan waktu, Keterangan cara, dan Keterangan tempat. Kalimat Siang itu
gang yang berada tepat di depan rumah dipenuhi oleh warga kampung dikatakan
sebagai gaya bahasa anastrof karena terjadi pembalikan unsur kalimat. Secara
umum, unsur keterangan waktu yaitu siang itu biasanya diletakkan di akhir
kalimat, dalam kalimat ini diletakkan di awal kalimat. Kalimat tersebut dalam
tataran gramatikal memang tidak salah. Kalimat tersebut terdiri atas Ket, S, P, dan
O. Dilihat dari urutan pola kalimatnya, kalimat tersebut tidak pada umumnya,
biasanya S diletakkan pada awal kalimat, tetapi pada kalimat tersebut S diletakkan
setelah Ket.
Gaya bahasa asindenton yaitu gaya bahasa yang menyatakan sesuatu
dengan perincian tanpa kata sambung. Gaya bahasa asindenton adalah suatu gaya
yang berupa acuan yang bersifat padat dan mampat dalam beberapa kata, frasa,
atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung (Keraf,
2010:131). Siswa menggunakan tanda koma untuk memisahkan antar kata, frasa,
atau klausanya, artinya penggunaan gaya bahasa asindenton pada kalimat siswa
tidak menggunakan kata sambung sama sekali walaupun terdapat beberapa
7
penjelasan. Penggunaan gaya bahasa asindenton pada cerpen siswa ada 50,0%
atau 9 dari 15 siswa. Gaya bahasa asindenton ini digunakan karena mayoritas
siswa sering menyebutkan sesuatu lebih dari dua hal. Misalnya pada kalimat Tak
sedikit cobaan yang dia alami, kata-kata pedas sering ia dapatkan dari temanteman sekelasnya, nasib pahit lain juga beberapa kali ia alami ketika ia bekerja
sebagai buruh. Kalimat tersebut dikatakan sebagai gaya bahasa asindenton karena
ditemukan tiga klausa bersifat padat dan mampat yang sederajat dan tidak
dihubungkan dengan kata sambung. Klausa tersebut hanya dipisahkan dengan
menggunakan koma. Klausa tersebut dianggap sederajat karena sama-sama
menerangkan menegenai keadaan tokoh.
Gaya bahasa polisindenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan
dari asindenton. Gaya bahasa polisindenton merupakan gaya bahasa yang
menyatakan beberapa hal berturut-turut dengan memakai kata penghubung atau
kata sambung. Dalam gaya bahasa polisindenton pemisahnya berupa kata
sambung seperti dan, dengan, serta, dan sebagainya. Terdapat 5 siswa atau 33,3%
siswa yang menggunakan gaya bahasa polisindenton. Berdasarkan data yang telah
ditemukan, siswa cenderung memakai kata sambung dan. Dari lima kalimat gaya
bahasa polisindenton, empat diantaranya menggunakan kata sambung dan, dan
yang satu kalimat menggunakan kata hubung bahkan.
Gaya bahasa kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri
dari dua bagian, baik frasa atau klausa yang sifatnya berimbang dan
dipertentangkansatu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila
dibandingkan dengan frasa dan klausa lainnya (Keraf, 2010:132). Siswa yang
menggunakan gaya bahasa kiasmus ada 5 atau 33,3% siswa. Siswa menggunakan
kata-kata yang berantonim untuk mengungkapkan pertentangan namun
berimbang. Misalnya dalam kalimat Ada banyak alasan yang bisa membuatku
bahagia, tapi bahagia itu membuahkan kesedihan. Dalam kalimat tersebut
terdapat dua klausa yang berimbang namun dipertentangkan. Klausa ada banyak
alasan yang bisa membuatku bahagia dipertantangkan dengan klausa bahagia itu
membuahkan kesedihan. Pertentangan tersebut yang membuat menarik, sehingga
ada kesan mendalam dan makna tersirat dalam kalimat tersebut.
Gaya bahasa prolepsis atau antisipasi adalah gaya bahasa di mana orang
mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau
gagasan yang sebenarnya terjadi. Gaya bahasa prolepsis digunakan oleh 6 siswa
atau 40,0% siswa. Gaya bahasa tersebut banyak digunakan karena siswa banyak
menceritakan tentang peristiwa berkesan yang dilakukan tokoh seperti saat
menggambarkan suasana atau saat memperkenalkan tokoh baru. Kalimat Ia
berpikir sedemikian naasnya jika teman mereka memiliki pemikiran yang begitu
pendek, bisa disebut sebagai gaya bahasa prolepsis karena kalimat tersebut
menggunakan kata-kata lebih dahulu sebelum gagasan yang sebenarnya terjadi.
Kalimat tersebut menggunakan lebih dahulu kata naas sebelum gagasan yang
sebenarnya terjadi, yaitu pemikiran yang begitu pendek. Sebelum sampai pada
peristiwa pikiran pendek, penulis sudah menggunakan kata naas, padahal naas
baru terjadi kemudian.
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan
yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Menurut Kusumawati
(2010:12), gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang dilambangkan dengan
kata-kata yang membawa pernyataan yang berlebih-lebihan dengan tujuan untuk
8
menegaskan atau menekankan pandangan, perasaan, dan pikiran. Dalam cerpen
karya siswa terdapat 33,3% siswa atau 5 siswa yang menggunakan gaya bahasa
hiperbola. Salah satu hal yang dibesar-besarkan siswa pada cerpen adalah rambut
yang panjang sampai-sampai menampakkan sinar, padahal kenyataan yang terjadi
sebenarnya tidak seperti apa yang diibaratkan siswa tersebut. Misalnya pada
kalimat Rambutnya yang panjang sesekali tertiup angin, terkibas dan
menampakkan sinar-sinar anggunnya. Kalimat tersebut dikatakan gaya bahasa
hiperbola karena terdapat kata-kata yang melebih-lebihkan, padahal hanya ingin
menyampaikan rambut yang panjang. Rambut panjang dinyatakan dalam katakata yang berlebihan. Dengan pernyataan yang dibesar-besarkan tersebut, rambut
panjang terkesan sebuah barang yang sangat indah, perhiasan yang disamakan
dengan permata yang bersinar.
Gaya bahasa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Kusumawati (2010:23) yang menyatakan bahwa gaya bahasa
paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung pertentangan
dengan fakta yang ada. Siswa yang menggunakan gaya bahasa paradoks
berjumlah 2 siswa atau 13,3% siswa. Pada kalimat Ia belajar bahwa waktu adalah
lebih berharga dari emas, siswa mempertentangkan antara waktu dengan emas.
Seolah-olah waktu adalah sebuah benda yang sama dengan emas, padahal waktu
dalam makna kamus adalah satuan saat lamanya melakukan sesuatu, bukan
sebuah benda. Dengan disamakannya kedua hal tersebut, maka terbentuk sebuah
pertentangan. Pertentangan tersebut dimaksudkan siswa untuk menarik perhatian
pembaca karena kebenarannya.
Gaya bahasa eufemismus merupakan gaya bahasa yang bertujuan untuk
memperhalus suatu ungkapan. Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004:25)
berpendapat bahwa gaya bahasa eufemismus adalah gaya bahasa perbandingan
yang bersifat menggantikan satu pengertian dengan kat lain yang hampir sama
untuk menghaluskan maksud. Misalnya dalam frasa otaknya di bawah garis
kemiskinan. Frasa tersebut yang merupakan frasa penghalusan dari kata bodoh.
Dengan mengungkapkan otaknya di bawah garis kemiskinan dirasa tidak
menyinggung perasaan dan tidak dianggap menghina atau mensugestikan sesuatu
yang tidak menyenangkan, sehingga lebih terkesan santun. Gaya bahasa
eufemismus adalah gaya bahasa yang paling sering digunakan. Hal tersebut terjadi
karena sebisa mungkin penulis menata apakah kata yang dipilihnya pantas dibaca
atau tidak. Dengan siswa menggunakan gaya bahasa tersebut, tulisan siswa
terkesan santun dan mencerminkan siswa yang memperhitungkan kelayakan
tulisannya untuk dibaca orang lain. Siswa yang menggunakan gaya bahasa
eufimismus sebanyak 12 siswa atau 80,0% siswa.
Gaya bahasa pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan lebih
banyak kata untuk menyampaikan satu pikiran. Menurut Keraf (2010:133), gaya
bahasa pleonasme adalah gaya bahasa berupa acuan yang menggunakan kata-kata
lebih banyak daripada yang diperlukan untuk mengungkapkan suatu pemikiran
atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan
dihilangkan, namun artinya tetap utuh. Siswa yang menggunakan gaya bahasa
pleonasme sebanyak 5 siswa atau 33,3% siswa. Dengan menggunakan gaya
bahasa pleonasme, siswa melakukan pemborosan kata. Sebenarnya, kata yang
berlebihan tersebut apabila tidak digunakan, maknanya tetap dapat dipahami.
9
Siswa menggunakan gaya bahasa pleonasme untuk menarik pembaca dan
menjabarkan gagasan secara rinci. Contohnya pada kalimat Dengan percaya
kulangkahkan kakiku mendekati dirinya. Kalimat tersebut dikatakan sebagai gaya
bahasa pleonasme karena kata kulangkahkan kaki mengalami pemborosan kata.
Kata melangkah seharusnya sudah mewakili makna tanpa disertai kaki, karena
seyogyanya, melangkah sudah menggunakan kaki. Penggunaan gaya bahasa
pleonasme supaya kalimat tersebut dapat menyiratkan makna yang lebih dalam.
Gaya bahasa silepsis merupakan bentuk penyimpangan yang berfungsi
untuk menggabungkan dua kata untuk memperkuat suatu makna. Gaya bahasa
silepsis adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan
dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya
salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama (Keraf, 2010:135).
Gaya bahasa silepsis digunakan oleh 3 orang atau 20,0% siswa. Gaya bahasa
tersebut digunakan siswa karena siswa ingin menimbulkan efek mendalam pada
kalimat tersebut. Konstruksi kalimat kedua bersifat menguatkan konstruksi yang
pertama. Contohnya pada kalimat wajah marah memerah. Kalimat tersebut
dikatakan gaya bahasa silepsis karena frasa marah memerah merupakan dua kata
yang tidak sama tetapi hanya satu kata saja yaitu marah yang memiliki hubungan
dengan kata sebelumnya. Sebenarnya kata marah sudah mewakili makna, namun
dalam klimat tersebut kata marah ditambah dengan kata memerah menyebabkan
makna semakin kuat yaitu marah yang sangat.
Gaya bahasa erotesis adalah gaya bahasa yang menggunakan kalimat tanya
yang tidak memerlukan jawaban. Menurut Kusumawati (2010:26), gaya bahasa
erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan
dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih
mendalam dan penelakan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya
suatu jawaban. Dalam cerpen karya siswa, sejumlah 6 siswa atau 40,0% siswa
yang menggunakan gaya bahasa erotesis. Gaya bahasa erotesis digunakan siswa
untuk menceritakan tokoh bermonolog. Kebanyakan siswa menggunakan kalimatkalimat tersebut sebagai gumaman hati tokoh yang diceritakan. Kalimat Kenapa
bel istirahat tidak segera berbunyi? Aku sudah lapar, ayolah aku mohon
dikatakan sebagai gaya bahasa erotesis karena kalimat tersebut merupakan bentuk
monolog dari tokoh. Pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab karena tidak ada
lawan bicara yang akan menjawab. Pertanyaan tersebut hanya gumaman dalam
hati yang tidak memerlukan jawaban dari tokoh lain.
Gaya bahasa perifrasis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata
yang lebih banyak dari yang diperlukan (Keraf, 2010:134). Sebenarnya gaya
bahasa perifrasis mirip dengan gaya bahasa pleonasme. Perbedaanya terletak
dalam hal bahwa kata-kata yang berkelebihan tersebut sebenarnya dapat diganti
dengan satu kata saja. Siswa yang menggunakan gaya bahasa perifrasis sebanyak
3 siswa atau 20,0% siswa. Dari data siswa terlihat bahwa siswa hanya ingin
membuat gagasannya tercurah indah dan rinci sehingga menarik pembaca.
Misalnya pada frasa tempat minum kopi sekaligus untuk istirahat. Frasa tersebut
dikatakan sebagai gaya bahasa perifrasis karena frasa tersebut dapat digantikan
dengan warung. Penjelasan yang panjang dapat diganti dengan kata warung.
Gaya bahasa elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan
suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh
pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi
10
pola yang berlaku (Keraf, 2010:132). Gaya bahasa elipsis merupakan gaya bahasa
yang menghilangkan satu unsur atau beberapa unsur kalimat, mungkin subjek,
predikat atau keterangan. Gaya bahasa elipsis menghilangkan suatu unsur kalimat
yang dengan mudah dapat ditafsirkan oleh pembaca. Hanya ada dua kalimat
sekaligus 2 atau 13,3% siswa yang menggunakan gaya bahasa elipsis. Dilihat dari
konteks pembicaraannya, dua kalimat ini digunakan oleh siswa untuk
menceritakan tokoh yang sedang bercanda atau dalam keadaan senang. Contohnya
kalimat Terus kita juga udah tukeran nomor handphone, dan…. Kalimat tersebut
dikatakan sebagai gaya bahasa elipsis karena kalimat tersebut berwujud
menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi oleh pembaca,
yaitu setelah kata dan… Pengisian unsur kalimat yang dihilangkan tersebut tidak
bisa bersifat manasuka, tetapi harus mempertimbangkan acuan kalimat
sebelumnya sehingga pengisian unsur kalimat tidak keluar dari konteks
permasalahan.
Gaya bahasa litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan
sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Menurut Nurdin, Maryani, dan Mumu
(2004:26) gaya bahasa litotes adalah gaya bahasa yang ditujukan untuk
mengurangi atau mengecilkan kenyataan yang sebenarnya, tujuannya untuk
merendahkan diri. Siswa yang menggunakan gaya bahasa litotes sejumlah 2 siswa
atau 13,3% siswa. Siswa menggunakan gaya bahasa litotes untuk menyampaikan
sebuah gagasan namun dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Misalnya
saja pada kalimat Wong aku yang bodoh gini aja nyantai. Siswa mengatakan
bodoh, padahal sebenarnya tokoh tersebut tidak bodoh. Pengambilan kesimpulan
bahwa kalimat tersebut merendahkan diri yaitu menyatakan bodoh tetapi
kenyataannya tidak bodoh, mengacu pada kalimat sebelumnya.
Gaya bahasa retoris yang tidak ditemukan dalam cerpen karya siswa kelas
XII SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang adalah gaya bahasa apofasis
atau preterisio, gaya bahasa apostrof, gaya bahasa histeron proteron, gaya bahasa
zeugma, gaya bahasa koreksio atau epanortosis, dan gaya bahasa oksimoron. Gaya
bahasa tersebut tidak ditemukan karena kalimat-kalimat dalam cerpen karya siswa
tidak memenuhi syarat untuk tergolong dalam gaya bahasa tersebut.
Fungsi Gaya Bahasa Retoris
Keindahan bahasa dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya
Smart School (BSS) Malang agar pembaca merasa terhibur dalam menikmati
karya cerpen tersebut. Keindahan bahasa tersebut dapat diaplikasikan ke dalam
sebuah tulisan dengan menggunakan gaya bahasa tertentu. Gaya bahasa
merupakan penggabungan dari kedua aspek bahasa dan sastra, karena sastra tidak
bisa lepas dari bahasa yang membentuknya.
Menurut Keraf (2010:129) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna memiliki bermacam-macam fungsi, yaitu menjelaskan, memperkuat,
menghidupkan objek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, atau
untuk hiasan. Gaya bahasa retoris dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA
Brawijaya Smart School (BSS) Malang juga tidak luput dari fungsinya. Gaya
bahasa aliterasi dan gaya bahasa asonansi berfungsi untuk menekankan suatu kata
yang ingin ditonjolkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengulangan huruf
tertentu. Gaya bahasa asindenton dan polisindenton digunakan untuk lebih
menjelaskan apa-apa yang merupakan penjelas dari kalimat yang membutuhkan
11
keterangan, sehingga gaya bahasa ini memiliki fungsi untuk memaparkan gagasan
secara lebih hidup dan menarik.
Gaya bahasa anastrof berfungsi membuat gagasan untuk lebih hidup dan
menarik. Hal ini terlihat dari keterangan yang dibangun untuk diperkuat. Gaya
bahasa kiasmus berfungsi untuk menonjolkan sesuatu yang diperbandingakan
dalam sebuah kalimat, sehingga dalam cerita didapatkan suatu gambaran jalan
cerita yang lebih menarik. Gaya bahasa elipsis memiliki fungsi menyederhanakan
kalimat, sehingga dalam cerpen karya siswa penggunaan gaya bahasa ini
menjadikan kalimat lebih efisien dan padat tanpa merubah makna yang ingin
disampaikan. Gaya elipsis ini digunakan untuk menekankan suatu gagasan,
penekanan tersebut terlihat dari perbandingan yang ada di dalam kalimat.
Gaya bahasa eufimismus memiliki fungsi memaparkan gagasan secara
lebih hidup dan menarik dengan mempertimbangankan kesantunan tulisan. Gaya
bahasa litotes memiliki fungsi sebagai penyangkal sesuatu yang nyata.
Penyangkalan tersebut membuat efek penggunaan gaya bahasa dalam cerpen
siswa menjadi lebih sopan dengan tidak menyombongkan diri. Fungsi gaya
bahasa pleonasme dan gaya bahasa perifrasis adalah untuk lebih memperjelaskan
kepada pembaca dengan penggunaan kata-kata yang lebih banyak sehingga lebih
detail dalam mengungkapkan gagasan yang diinginkan oleh penulis.
Gaya bahasa erotesis berfungsi untuk mempertentangkan atau meyakinkan
pendapat yang sedang diragukan oleh tokoh yang sedang bermonolog atau
pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Gaya bahasa silepsis berfungsi
untuk menggabungkan dua kata untuk memperkuat makna kalimat. Gaya bahasa
paradoks berfungsi untuk mengkonkritkan atau menekankan suatu keadaan yang
sedang terjadi. Gaya bahasa hiperbola berfungsi untuk memberikan efek
berlebihan atau membesar-besarkan gagasan. Sedangkan gaya bahasa prolepsis
berfungsi untuk memberikan kejutan atas gagasan dengan menyampaikan katakata pengantar terlebih dahulu.
Penggunaan Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang merupakan bentuk
penyimpangan yang lebih jauh, khususnya di bidang makna. Gaya bahasa kiasan
memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari gaya bahasa retoris. Hal tersebut
dikarenakan yang dimainkan dalam lingkup gaya bahasa telah menyangkut aspek
makna atau semantik. Menurut Aminuddin (1995:227), bahasa kias diartikan
sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan
perbandingan atau analogi ciri semantis yang umum dengan yang umum, yang
umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus.
Gaya bahasa metafora merupakan perbandingan atau analogi dengan
membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dengan cara singkat dan padat.
Gaya bahasa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2010:138). Gaya
bahasa metafora inilah yang paling sering digunakan siswa. Siswa yang
menggunakan gaya bahasa metafora sebanyak 9 siswa atau 60,0% siswa. Dari
data terlihat bahwa siswa dengan sederhana mengonotasikan gagasannya sehingga
menjadi gaya bahasa metafora. Misalnya, siswa menyampaikan gagasan pusat
kegiatan kota dengan menggunakan ungkapan jantung kota. Hal tersebut
memberikan efek menarik bagi pembaca.
12
Gaya bahasa personifikasi atau prosopopeia adalah semacam gaya bahasa
kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Menurut Pradopo
(1997:75) personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan
manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, dan sebagainya seperti
manusia. Siswa yang menggunakan gaya bahasa personifikasi ada 7 atau 46,6%
siswa. Gaya bahasa personifikasi siswa mengandung persamaan. Hal yang
disamakan adalah benda mati seperti matahari, perut, nasib, pertanyaan, dan
beberapa suasana disamakan dengan manusia. Hal-hal tersebut diberi lakuan
layaknya manusia. Contohnya pada kalimat Itu adalah detik-detik di mana perut
sudah mulai berdemo. Kalimat tersebut merupakan gaya bahasa personifikasi
karena terdapat kata perut yang diberi tingkah seperti manusia. Perut dinyatakan
dapat berdemo, padahal perut hanyalah anggota tubuh yang tidak bisa melakukan
hal layaknya manusia. Dengan alasan tersebut kata berdemo bukan merupakan
kata yang sebenarnya.
Gaya bahasa sinekdoke adalah
semacam bahasa figuratif yang
mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Nurdin, Maryani, dan
Mumu (2004:24) menyatakan bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif
yag mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan sebagian. Gaya
bahasa sinekdoke digunakan oleh 3 siswa atau 20,0% siswa. Gaya bahasa
sinekdoke digunakan siswa dengan maksud untuk menyebutkan nama sebagian
sebagai penganti nama keseluruhan, atau sebaliknya. Hal tersebut menimbulkan
efek kalimat yang lebih simpel dan efisien karena pembaca dapat menafsirkan
sendiri apa yang dimaksudkan oleh siswa melalui tulisan tersebut. Kalimat Satu
kelas diam dan tegang, dikatakan sebagai gaya bahasa sinekdoke karena terdapat
bahasa figuratif yang mempergunakan kata satu kelas untuk menyatakan
keseluruhan siswa dalam satu kelas. Dengan kata satu kelas sudah mewakili
semua siswa yang termasuk dalam anggota kelas tersebut.
Menurut Keraf (2010:143), gaya bahasa ironi adalah suatu acuan yang
ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Dalam gaya bahasa ironi dipakai katakata yang berlawanan dengan maksud yang sebenarnya. Terdapat 26,6% siswa
atau 4 siswa yang menggunakan gaya bahasa ironi. Misalnya pada kalimat Lihat
kawan, mereka lulus, lulus dengan ketidakjujuran mereka. Kalimat tersebut
dikatakan sebagai gaya bahasa ironi karena kalimat tersebut merupakan sindiran
yang mengandung maksud tersembunyi, yaitu kecurangan untuk bisa lulus.
Gaya bahasa sinisme adalah suatu sindiran yang berbentuk kesangsian
yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Nurdin,
Maryani, dan Mumu (2004:27) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa
sindiran yang cara pengungkapannya lebih kasar. yang menggunakan gaya bahasa
sinisme berjumlah 3 siswa atau 20,0% siswa. Kalimat Akhirnya ada juga cowok
yang mau ngajak kencan sahabatku yang satu ini dikatakan sebagai gaya bahasa
sinisme karena terdapat frasa akhirnya ada juga cowok yang mau yang merupakan
sindiran berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan
ketulusan hati.
Gaya bahasa sarkasme adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan
dan celaan yang getir. Sarkasme merupakan acauan yang lebih kasar dari ironi dan
13
sinisme (Keraf, 2010:143). Siswa yang menggunakan gaya bahasa sarkasme ada 5
siswa atau 33,3% siswa. Contohnya pada kalimat Otaknya udah otak kebo.
Kalimat tersebut dikatakan sebagai gaya bahasa sarkasme karena terdapat kata
otak kebo yang mengandung celaan yang getir dan menyakiti hati karena otak si
tokoh disamakan dengan otak kebo. Otak manusia yang seharusnya bisa
digunakan untuk berfikir, disamakan dengan otak kerbau yang tidak bisa
digunakan untuk berfikir. Berdasarkan data siswa, penggunaan gaya bahasa ironi,
gaya bahasa sinisme, dan gaya bahasa sarkasme tujuannya adalah untuk
menceritakan seorang tokoh yang meyindir, namun dengan tingkat kekasaran
yang berbeda. Penggunaan ketiga gaya bahasa tersebut relatif jarang karena siswa
mempertimbangkan kelayakan tulisannya untuk dibaca. Kebanyakan siswa
menggunakan gaya bahasa tersebut untuk mengungkapkan makna yang cenderung
negatif.
Gaya bahasa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang
sangat dekat. Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004:23) berpendapat bahwa
metonimia adalah gaya bahasa penamaan terhadap suatu benda dengan
mempergunakan nama pabrik, merek dagang, nama penemu, nama jenis, dan lainlain. Gaya bahasa metonimia digunakan oleh 6 siswa atau 40,0% siswa. Siswa
menggunakan hubungan pertalian tersebut berupa merk dagang untuk
menyebutkan sebuah produk, contohnya siswa menyebutkan Blackberry 10 untuk
menyebutkan handphone.
Gaya bahasa simile adalah gaya bahasa yang bermaksud tamsil atau kiasan
yang membandingkan dua objek yang mempunyai sifat dan nilai yang sama.
Menurut Keraf (2010:138), gaya bahasa simile adalah perbandingan yang bersifat
eksplisit. Siswa yang menggunakan gaya bahasa simile sebanyak 4 siswa atau
26,6% siswa. Siswa menguatkan gaya bahasa ini dengan penggunaan kata-kata
yang lazim digunakan untuk menyamakan sesuatu, yaitu kata seperti, bagai,
bagaikan, kayak, seolah, dan semacam. Kata yang digunakan dalam cerpen karya
siswa adalah kata bagai, bak, bagaikan, dan kayak. Misalnya kalimat Namun bel
istirahat tak kunjung berbunyi bagai siput yang berjalan sangat lamban dikatakan
sebagai gaya bahasa simile karena kalimat tersebut menunjukkan kata yang
disamakan dengan frasa terakhir. Persamaan tersebut terjadi karena hadirnya kata
bagai dalam kalimat tersebut. Kata tak kunjung disamakan dengan siput yang
berjalan sangat lamban, padahal dua hal tersebut merupakan dua hal yang sangat
berbeda jauh. Hal yang pertama merupakan kata kerja, dan satunya merupakan
seekor hewan.
Gaya bahasa yang menyebutkan nama orang dengan sebutan lain sesuai
dengan ciri fisik dirinya atau watak orang tersebut atau menyatakan sesuatu
dengan menggunakan kata majemuk posesif. Gaya bahasa antonomasia adalah
sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta
untuk menggantikan nama diri atau gelar resmi atau jabatan untuk menggantikan
nama diri (Keraf, 2010:142). Berdasarkan data, gaya bahasa antonomasia jarang
ditemukan. Siswa yang menggunakan gaya bahasa antonomasia hanya ada 1 siswa
atau 6,7% siswa. Penggunaan gaya bahasa antonomasia pada cerpen siswa untuk
menggantiakan nama diri, yaitu nama tokoh Steven diganti dengan pangeran.
Gaya bahasa antonomasia sulit ditemukan karena siswa lebih suka untuk
menyebutkan nama tokoh secara langsung tanpa gelar atau julukan.
14
Gaya bahasa epitet menurut adalah semacam acuan yang menyatakan
suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Menurut Nurdin,
Maryani, dan Mumu (2004:25) gaya bahasa epitet adalah gaya bahasa berwujud
seseorang atau sesuatu benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk
menyatakan sifat tersebut. Gaya bahasa epitet juga jarang ditemukan. Siswa yang
menggunakan gaya bahasa epitet sebanyak 1 atau 6,7% siswa. Dalam cerpen,
siswa menggunakan istilah Raja Matahari untuk menyatakan ciri matahari. Raja
Matahari merupakan frasa deskriptif yang menggantikan matahari. Dengan
memasukkan frasa yang terbilang baru tersebut, siswa terkesan berusaha untuk
membuat pembaca cerpennya terhibur dan tidak menjenuhkan.
Gaya bahasa yang tidak ditemukan dalam cerpen karya siswa kelas XII
SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang adalah gaya bahasa alegori, gaya
bahasa parabel, gaya bahasa fabel, gaya bahasa alusi, agaya bahasa eponim, gaya
bahasa hipalase, gaya bahasa satire, gaya bahasa inuendo, gaya bahasa antifrasis,
dan gaya bahasa pun atau paronomasia. Gaya bahasa tersebut tidak ditemukan
karena kalimat-kalimat dalam cerpen karya siswa tidak memenuhi syarat untuk
tergolong dalam gaya bahasa tersebut.
Fungsi Gaya Bahasa Kiasan
Dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya Smart School (BSS)
Malang juga ditemukan fungsi gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa simile memiliki
fungsi sebagai efek untuk mendramatisasi, sehingga gagasan lebih hidup. Gaya
bahasa metonimia berfungsi untuk menekankan atau menyanggakan suatu
gagasan. Gaya bahasa personifikasi berfungsi untuk mendramatisasi sebagai efek
nyata atau menghidupkan suatu benda dalam kalimat, sehingga terkesan menarik.
Gaya bahasa epitet dalam cerpen karya siswa memiliki fungsi
memperkuat makna yang ingin ditampilkan sehingga bisa menekankan atau
menyanggahkan suatu gagasan. Gaya bahasa sinekdoke memiliki fungsi untuk
memperluas arti, sehingga kesan yang ditimbulkan lebih terkesan besar. Hal
tersebut berarti gaya bahasa sinekdoke digunakan untuk menekankan makna atau
gagasan. Gaya bahasa antonomasia berfungsi sebagai mengaburkan atau
memperjelas tokoh. Sedangkan gaya bahasa metafora berfungsi untuk
membandingkan dua hal secara langsung dan dalam bentuk yang singkat,
sehingga memberi efek menarik dan hidup.
Gaya bahasa ironi, gaya bahasa sinisme, dan gaya bahasa sarkasme dalam
cerpen karya siswa digunakan untuk menyindir dengan tingkatan tertentu. Gaya
bahasa ironi berfungsi untuk menyindir dengan menjaga perasaan lawan bicara.
Gaya bahasa sinisme berfungsi untuk menyindir sehingga lawan bicara sadar
akan sindiran tersebut. Gaya bahasa sarkasme berfungsi untuk menekan makna
sindiran yang terkesan mempermasalahkan apa yang dibahas.
Gaya bahasa dalam cerpen karya siswa kelas XII SMA Brawijaya Smart
School (BSS) Malang secara garis besar dapat difungsikan untuk (1) memaparkan
gagasan secara lebih hidup dan menarik, (2) menggambarkan suasana secara
lebih hidup dan menarik, (3) untuk menekankan atau menyanggahkan suatu
gagasan, dan (4) untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung. Pada
intinya, fungsi gaya bahasa pada cerpen karya siswa adalah untuk mendukung hal
yang ada dalam karya cerpen dengan bahasa pilihan atau penyimpangan bahasa
yang diinginkan siswa. Gaya bahasa dalam setiap karya cerpen dapat mewakili
15
siswa karena gaya bahasa dalam karya sastra dalam konteks ini adalah cerpen
bergantung pada latar belakang penulis atau siswa itu sendiri yang dapat memberi
nilai terhadap watak, prbibadi, kemampuan, dan lain-lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan, dapat
diperoleh dua simpulan sebagai berikut. Pertama, gaya bahasa retoris yang
digunakan pada cerpen siswa kelas XII SMA Brawijaya Smart School (BSS)
Malang ada enam belas, yaitu (1) gaya bahasa aliterasi, (2) gaya bahasa asonansi,
(3) gaya bahasa anastrof, (4) gaya bahasa asindenton, (5) gaya bahasa
polisidenton, (6) gaya bahasa kiasmus, (7) gaya bahasa elipsis, (8) gaya bahasa
eufimisme, (9) gaya bahasa litotes, (10) gaya bahasa prolepsis, (11) gaya bahasa
erotesis, (12) gaya bahasa pleonasme, (13) gaya bahasa hiperbola, (14) gaya
bahasa perifrasis, (15) gaya bahasa silepsis, (16) dan gaya bahasa paradoks. Gaya
bahasa retoris yang dominan digunakan adalah gaya bahasa eufimisme, yaitu ada
22 kalimat. Fungsi dari gaya bahasa retoris adalah memaparkan gagasan secara
lebih hidup dan menarik, menggambarkan suasana secara lebih hidup dan
menarik, mendukung ataupun menyanggah suatu gagasan, dan menyampaikan
gagasan secara tidak langsung.
Kedua, gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam cerpen karya siswa
kelas XII SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang ada sepuluh jenis gaya
bahasa, yaitu (1) gaya bahasa metafora, (2) gaya bahasa personifikasi, (3) gaya
bahasa sinekdoke, (4) gaya bahasa sinisme, (5) gaya bahasa ironi, (6) gaya bahasa
sarkasme, (7) gaya bahasa metonimia, (8) gaya bahasa simile, (9) gaya bahasa
antonomasia, (10) dan gaya bahasa epitet. Gaya bahasa kiasan yang dominan
digunakan adalah gaya bahasa metafora, yaitu sebanyak 39 kalimat. Fungsi dari
gaya bahasa kiasan adalah memaparkan gagasan secara lebih hidup dan menarik,
menggambarkan suasana secara lebih hidup dan menarik, menekan ataupun
menyanggah suatu gagasan, dan untuk menyampaikan gagasan secara tidak
langsung.
Saran
Saran penelitian ini disampaikan pada tenaga pengajar Bahasa Indonesia,
siswa, peneliti selanjutnya, bagi masyarakat umum, dan cerpenis. Tenaga pengajar
Bahasa Indonesia, disarankan untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan
menambah pemahaman tentang jenis gaya bahasa yang nantinya dapat diajarkan
kepada perserta didik. Siswa disarankan untuk belajar lebih mendalam mengenai
gaya bahasa dan memperbanyak latihan menggunakan gaya bahasa secara tepat.
Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian pada aspek lain yang
terkait dengan gaya bahasa. Masyarakat atau pembaca umum, disarankan untuk
lebih mencintai karya sastra Indonesia, terutama prosa. Cerpenis, disarankan
untuk memperhatikan penggunaan gaya bahasa, sehingga menimbulkan efek
keindahan dan dramatisasi.
16
DAFTAR RUJUKAN
Agustin, D. N. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa dalam Pidato Presiden Soeharto.
Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Keraf, G. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kementrian Pendidikan Nasional. 2006. Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Kridalaksana, H. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kusumawati. 2010. Analisis Pemakaian Gaya Bahasa pada Iklan Produk
Kecantikan Perawatan Kulit Wajah di Televisi, (Online),
(http://eprints.uns.ac.id/278/1/169981511201010311.pdf), diakses 26 Mei
2014.
Nurdin, A., Maryani, Y. & Mumu. 2004. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia.
Pr