PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELESTARIA

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN
PENGURANGAN DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
Oleh :
WILDAN TARONI
Pendahuluan
Dalam paradigma konstitusi, pengelolaan ekonomi akan memanfaatkan segala
sumber daya nasional yang dimiliki. Baik sumber daya alam, sumber daya manusia,
sumber daya budaya, dan lain-lain yang dimiliki untuk diprioritaskan bagi kepentingan
nasional untuk mewujudkan negara yang maju, mandiri dan berdaya saing tinggi.
Sekarang, tatanan global-lah yang menjadi referensi dalam pengelolaan ekonomi agar
kita mendapatkan manfaatnya. Padahal semua negara tetap berpegang pada
kepentingan nasional dalam jagat raya kompetisi global. Berbagai perjanjian
perdagangan dan investasi di tingkat internasional maupun regional, justeru merugikan
rakyat dan kepentingan nasional. Kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi
dalam pertemuan G-20, perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN Free
Trade Area, telah melicinkan jalan ekspansi modal dalam menguasai alat-alat produksi
nasional.
Dalam perspektif negara yang telah menyatakan merdeka seperti Indonesia. Sepertinya
semua keputusannya adalah berangkat dari kebutuhan kemandirian sebuah bangsa
dan kemajuan negerinya. Tetapi sayangnya untuk bidang perdagangan, pertanian,
putaran uang di pasar modal dan aneka pendekatan skema investasi melalui

industrialisasi sektor pengelolaan air, pangan, energi, mineral, hutan, adalah tidak murni
dilakukan yang makin membuat indikator negeri yang merdeka. Justru malah
sebaliknya!
Siklus kehidupan manusia Indonesia saat ini tak bisa dilepaskan dari hantaman
bencana ekologis yang bermunculan setiap harinya. Dalam kurun waktu 13 tahun

terakhir telah terjadi 6.632 bencana 1[3]. Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul
satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana dengan berbagai jenis.
Fakta krisis dan bencana diatas menunjukan bahwa Indonesia dalam situasi Darurat
Ekologis2[4].
Namun, karena sumber daya alam tidak dimaknai sebagai kekayaan atau modal
bangsa, maka telah terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan batu bara,
minyak mentah, gas dan tambang lainnya hanya sekadar komoditas yang dapat
dikuasai dan diperdagangkan secara bebas oleh swasta dan asing. Sebagai komoditas
non strategis (sebagaimana baju, sepatu dll), barang-barang tambang akan dengan
mudah dieksploitasi dan diekspor bila penjualan ke luar negeri dinilai memberi
keuntungan. Seolah manfaat bagi rakyat cukup lewat peningkatan cadangan devisa,
penciptaan lapangan kerja meskipun bukan pekerja ahli atau dari pembayaran pajak
dan royalti. Padahal faktanya, dengan pengelolaan yang terjadi saat ini, bagian
pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh pihak

swasta.
Tingginya laju eksploitasi sumber daya alam, yang disertai dengan tingkat kerusakan
lingkungan dan konflik sosial tidak sebanding dengan keuntungan finansial yang
diterima oleh negara. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) yang terdiri dari
penerimaan Minyak bumi dan gas bumi (migas) dan Non Migas seperti pertambangan
umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi. Penerimaan SDA pada
tahun 2009 sebesar Rp139,0 triliun misalnya, hanya memberikan kontribusi sekitar 16%
dari total penerimaan negara sebesar Rp871 triliun.
Isu lingkungan sesungguhnya masih ditempatkan sebagai “pemadam kebakaran” di
dalam lima agenda prioritas pemerintah tahun 2010 3[5]. Pemerintah gagal menjangkau
akar masalah atau penyebab dari kerusakan lingkungan seperti bencana banjir,

1[3] Padang, matanews.com Jumat, 26 Februari 2010 at 10:56. BNPB: 151.277 Korban Bencana Selama 1997-2009.
http://matanews.com/2010/02/26/bnpb-151-277-korban-bencana-selama-1997-2009/

2[4] Darurat ekologis adalah kondisi yang menuntut penanganan segera atas adanya ancaman dari kerusakan
ekologi yang terjadi.

kebakaran hutan, pencemaran, dan dampak perubahan iklim. Padahal, semua hal yang
disebut di atas merupakan akibat dari kesalahan sistem kapitalisme dalam tata kelola

kekayaan alam yang berlangsung dalam model yang primitif, menjual dengan cepat dan
murah kekayaan alam untuk kebutuhan pasar global. Laju penggundulan hutan alam,
jutaan ton limbah tailing yang dibuang ke laut oleh perusahaan pertambangan, illegal
fishing, ekspansi perkebunan besar, serta konversi lahan pertanian dan ruang terbuka
hijau di perkotaan, telah menjadi sumber bencana yang tertanam dalam sistem
kapitalisme yang gagal dituntaskan.
Misalnya isu deforestasi yang dianggap sebagai penyumbang emisi karbon global,
dimana Indonesia mengakui telah kehilangan 1,17 juta hektar setiap tahun, gagal
menemukan jalan keluar yang nyata. Upaya pengkambinghitaman terhadap petanipetani subsisten sebagai perusak hutan tidak bisa dihindarkan. Sementara, program
anti deforestasi tidak pernah diarahkan kepada konversi hutan dalam industrialisasi di
sektor perkebunan (terutama kelapa sawit). Di lingkup global, Indonesia bahkan
memilih tergabung dalam skema jalan keluar yang terintegrasi dalam logika pasar, yaitu
dengan menerapkan ide carbon trade, carbon offsets, dan carbon tax.



Pembangunan yang berwawasan lingkungan

Pemerintah Daerah dalam kapasitasnya sebagai pemangku kepentingan dan
pengambil keputusan di tingkat lokal, berperan dalam menentukan kondisi lingkungan

di daerah. Dimana sampai saat ini laju deforestasi banyak disebabkan oleh kebijakan
pemberian ijin investasi disektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit serta hutan
tanaman industri.

3[5] Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010 yaitu “Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan
Kesejahteraan Rakyat,” pemerintah mengusung lima program prioritas pembangunan, yaitu: (1) pemeliharaan
kesejahteraan rakyat, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial; (2) peningkatan
kualitas sumberdaya manusia Indonesia; (3) pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta pemantapan
demokrasi dan keamanan nasional; (4) pemulihan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian,
infrastruktur, dan energi; dan (5) peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan
perubahan iklim.

Dalam memperlihatkan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, tidak jarang yang
dimunculkan hanya pada kegiatan-kegiatan non perlindungan kawasan dan non
pelestarian lingkungan seperti program-program menjelang penilaian Adipura. Kegiatan
ini sama sekali jauh dari problem pokok kerusakan lingkungan, pembangunan yang
dilakukan tidak memperhatikan keberlanjutan ekologis dan pembangunan yang
berkeadilan antar generasi.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan, hendaknya memperhatikan pentingnya
mempertahankan kawasan ekologi genting yang menjadi penyangga bagi sumbersumber kehidupan.

Lingkungan Hidup Indonesia terancam collapse! 4[6]. Alam tidak lagi bisa berfungsi
menyediakan jasa pelayanannya, krisis menjadi makanan sehari-hari yang harus
ditanggung oleh rakyat kebanyakan, bencana terjadi dimana-mana. Pada tahun 2009,
sebanyak 1.713 total bencana telah terjadi di Indonesia. Diantara aset yang hilang yakni
korban meninggal kurang lebih 1.940 orang, kerusakan rumah sekitar 10.576 (WALHI,
diolah dari berbagai sumber). Situasi di tahun 2010 tidak bertambah baik, menjelang
satu tahun pemerintahan SBY-Boediono, bangsa ini kembali diwarnai oleh berbagai
peristiwa bencana secara berturut-turut. Sedikitnya 71 Kabupaten/Kota di Indonesia
dilanda banjir dengan intensitas yang terus berulang. Bahkan di Ibukota negara, dari
Januari-September 2010, telah terjadi 23 kali peristiwa banjir.
Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup di Indonesia yang terjadi hingga hari ini semestinya
dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman
atas perubahan lingkungan yang terjadi, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga
dalam sejarah pembangunan. Keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung dalam kalkulasi
nilai pembangunan, apalagi kesejahteraan yang selama ini menjadi jualan pengurus negara.
Padahal justru sebaliknya, kemiskinan muncul akibat lingkungan hidup rusak, dan alam tidak
4[6] Dalam studi Java Collapse yang telah dilakukan sebelumnya oleh WALHI (2007), collapse diartikan sebagai
proses penurunan kualitas manusia dan kemampuan alam yang diakibatkan oleh interaksi antara manusia dan alam
yang saling memangsa (predasi) yang digunakan oleh penguasa dan pemodal untuk melanggengkan kekuasannya
baik secara ekonomi maupun politik. inilah yang kemudian berdampak pada krisis, dan pada tahap berikutnya krisis

yang terjadi yang terus berulang dan meluas dengan durasi waktu yang lebih panjang baik secara kuantitas maupun
kualitas telah berimplikasi pada penurunan bertahan hidup rakyat, ketersingkiran rakyat dari ruang hidupnya
bahkan berujung pada kematian.

bisa lagi menyediakan jasa layanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rakyat juga
dibiarkan untuk mengalami kemiskinan secara berkelanjutan.



Pembangunan dan Dampaknya Bagi Pemanasan Global

Selain terikat sebagai negara pihak dalam UNFCCC, Indonesia merupakan negara pihak
terhadap konvensi internasional hak asasi manusia terutama konvensi hak sipil dan politik
(Sipol)5[7], hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan

(CEDAW)6[8],

penghapusan


diskriminasi

rasial

(ICERD) 7[9],

konvensi

keanekaragaman hayati. Dalam Sidang Mejelis Umum PBB 13 September 2007, delegasi
pemerintah Indonesia juga voting mendukung pengesahaan United Nations Declaration on the
Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Keterikatan Indonesia dengan berbagai konvenan
yang ada, seyogyanya dalam penerapan model pembangunannya Indonesia menjadikan
konvensi-konvensi dan perjanjian International tersebut sebagai salah satu landasan tindak
dalam pengambilan keputusan. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan hal
terpenting dalam menentukan sebuah kebijakan, HAM tidak semata-mata dinilai pada tindakan
kekerasan fisik saja, melainkan juga pada pengabaian, pengingkaran dan penistaan atas hakhak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Di Indonesia, berdasarkan pengalaman di sektor sawit sebuah studi baru-baru ini menunjukkan
bahwa perusahaan yang beroperasi di Indonesia telah gagal untuk mengamankan daerah
dengan nilai konservasi tinggi (NKT) yang terletak dalam konsesi mereka karena daerah
dengan NKT yang belum dibuka dan ditanami yang terletak dalam konsesi mereka telah

dialokasikan oleh pejabat setempat kepada perusahaan lain untuk dibuka. Indonesia belum
memiliki kerangka kerja hukum dan prosedur yang memadai untuk melindungi daerah-daerah
dengan nilai konservasi tinggi khususnya bagi sosial dan budaya masyarakat setempat. 8[10]
Studi tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya reformasi hukum dan prosedural agar terjadi
perlindungan efektif terhadap daerah dengan NKT di Indonesia. Untuk itu perlu menjajaki
5
6
7
8

kendala dan peluang reformasi hukum yang dapat dilakukan untuk mengamankan daerah
dengan nilai konservasi tinggi lewat pelibatan multi stakeholder.
Akibat pola dan model pembangunan yang tidak mengindahkan hak ecosoc, dan keberlanjutan
ekologislah yang melahirkan kondisi perubahan iklim global yang terjadi saat ini. Sebagai
contoh, di Indonesia terdapat 26.7 juta hektar lahan telah dialokasikan dalam rencana tata
ruang kabupaten dan propinsi untuk perluasan dan pembangunan kelapa sawit. Prosedur
rencana tata ruang tidak berupaya untuk mengidentifikasi dan melindungi daerah dengan nilai
konservasi tinggi, tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah yang menjadi wilayah adat
masyarakat adat atau wilayah kelola adat dan tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah
dengan “nilai karbon tinggi”. Selain itu, proses perencanaan tata ruang di Indonesia

menggunakan definisi lahan “terdegradasi” dan “hutan konversi” yang tidak jelas dalam
pembukaan hutan dan lahan sehingga sering kali membuka hutan atau lahan yang dikelola atau
dimiliki masyarakat hukum adat. Lebih jauh lagi, pemerintah mengizinkan pemanfaatan gambut
dalam rencana tata ruang Indonesia saat ini dalam kenyataannya mendorong penanaman
kelapa sawit di lahan gambut, dan menimbulkan emisi CO2 yang besar (Permentan
No.14/2009).
Pembukaan hutan yang meluas, pembakaran hutan dan pembukaan dan pengeringan drainase
lahan gambut merupakan kontributor utama perubahan iklim global di Indonesia (terdapat
perkiraan yang berbeda-beda namun umumnya menunjukkan angka 16% sampai 30% emisi
gas rumah kaca berasal dari perubahan tata guna lahan). Ekspansi sektor perkebunan sawit
besar-besaran beberapa tahun belakangan ini telah menjadi salah satu penyebab utama emisi
ini.
Di Indonesia, perluasan perkebunan kelapa sawit umumnya terjadi di daerah yang digolongkan
sebagai hutan dan antara 1/3 dan setengah dari rencana perluasan kelapa sawit akan
dilakukan di lahan gambut dalam. Sampai 80% emisi CO2 Indonesia berasal dari perubahan
peruntukan lahan, dan konversi hutan dan drainase lahan gambut merupakan penyebab
utamanya. Tidak ada kontrol prosedural dan hukum yang memadai untuk mengendalikan
perluasan ini dan kebijakan nasional sendiri pada hakikatnya bertentangan, di satu sisi berpihak
pada perluasan industri kehutanan, industri ekstraktif dan perkebunan kelapa sawit secara
cepat untuk keperluan bahan bakar nabati dan minyak goreng, di sisi lain terikat pada komitmen

untuk mengurangi emisi CO2e secara signifikan.

Pemberian ijin berlebih dengan mengatasnamakan pendapatan asli daerah (PAD) juga terjadi di
sektor pertambangan, dimana banyak sekali kawasan perijinan pertambangan yang
mengorbankan kawasan hutan serta tidak mengindahkan keadilan antar generasi. Sementara
itu, sebagai dampak dari hilangnya fungsi ekologi suatu kawasan, maka pelepasan emisi
karbon tidak dapat dihindari lagi. Model pembangunan yang sangat tergantung pada ekstraksi
sumberdaya alam saat ini, sudah saatnya digantikan dengan model pembangunan baru yang
jauh lebih ramah lingkungan dan berkesinambungan misal mendorong produktivitas rakyat
pada sektor-sektor pertanian rakyat.



Peran Kepala Daerah dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian
Lingkungan Hidup

Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pertimbangannya
menyatakan pada huruf (a) bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan
daerah, tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan selanjutnya pada huruf (b)
menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan
dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan
persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dua poin pertimbangan diatas sangat jelas sekali mendudukkan bahwa kewenangan yang luas
dari pemerintah daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban yang mesti dijalankan
yang dalam penyelenggaraannya diarahkan untuk mempercepat terwujudkan kesejahteraan
masyarakat malalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat
dengan memperhatikan prinsip demokrasi dan pemerataan. Artinya otonomi daerah mesti
diartikan sebagai suatu mekanisme demokrasi yang memberikan ruang terhadap akses dan
kontrol rakyat terhadap semua kebijakan pemerintah termasuk dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup dan menempatkan rakyat sebagai satu-satunya pemilik kedaulatan

atas negara ini dimana pemerintah daerah hanyalah penyelenggara pemerintahan di daerah
yang menjalankan mandat dari rakyatnya.

Sementara itu lebih jauh diatur dalam konstitusi UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat (1)
menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan,” pasal 33 ayat 2 : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” dan ayat
3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” serta ayat (4)
berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional'. Artinya bahwa pemerintah dalam hal ini juga pemerintah
daerah sebagai pelaksana negara bertanggungjawab untuk memastikan hak warga
negaranya untuk mendapatkan pelayanan dan kondisi lingkungan hidup yang baik. Dan
penguasaan oleh negara mesti didudukkan sebagai suatu mekanisme untuk menjamin
bahwa pemanfaatan aset-aset negara digunakan dengan prinsip kebersamaan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan
berkeadilan.
Ketentuan-ketentuan di atas merupakan jaminan konstitusional bagi setiap warga
negara untuk ikut serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh
dari pengelolaan kekayaan alam. Karena itu sudah selayaknya hal ini menjadi landasan
dalam setiap perencanaan kebijakan di bidang lingkungan dan sumber daya alam di
daerah. Yaitu memastikan peran konstitusional negara dalam menguasai kekayaan
alam dengan tujuan menjamin agar kemakmuran rakyat senantiasa lebih diutamakan
daripada kemakmuran orang perorang. Selain tentu mesti dapat menjamin kelestarian
lingkungan agar alam dapat terus-menerus mendukung keberlangsungan tatanan
kehidupan yang ada.

Dengan demikian, tugas dan wewenang kepala dearah sebagaimana tertuang dalam pasal 25
UU nomor 32 tahun 2004 yang meliputi a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. mengajukan rancangan Perda; c.
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. menyusun dan
mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan
bersama; e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. mewakili daerahnya di dalam
dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
peraturan perundangundangan; dan g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, mesti diarahkan untuk memenuhi mandat konstitusi untuk
menjamin hak-hak dasar warga negara demi terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
Lebih spesifik lagi UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
pada pasal 63 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, pemerintah kabupaten/ kota bertugas dan berwenang untuk :

a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada
tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa; melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundangundangan;
i. melaksanakan standar pelayanan minimal;
j. melaksanakan kebijakan mengenai cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hokum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
k. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
l. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup

tingkat kabupaten/kota;
m. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
n. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
o. melakukan penegakan hokum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk melakukan pengendalian pencemaran dan
atau kerusakan lingkundan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan
pemulihan (pasal 13), memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam setiap penyusunan peraturan
daerah dan ketentuan kebijakan lainnya (pasal 44), mengalokasikan anggaran yang
memadai untuk membiaya kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan program pembangunan yang berwawasan lingkungan (pasal 45), dan alokasi untuk
pemulihan lingkungan hidup yang telah tercemar dan atau rusak.

Penutup
Peran kepala daerah di era otonomi daerah yang memberikan wewenang yang cukup
besar kepada pemerintah daerah kabupaten/ kota saat ini menjadi sangat signifikan
pengaruhnya terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang
berpengaruh kepada kondisi lingkungan hidup di suatu daerah/ wilayah. Tentu
kewenangan ini mesti dibarengi dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban
sesuai dengan amanat konstitusi yang menempatkan kepala daerah sebagai
perpanjangan
sumberdaya

tangan
alam

dari

dan

kedaulatan

lingkungan

rakyat

hidup

untuk

diarahkan

memastikan

pengelolaan

sebesar-besarnya

untuk

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan hidup maka
kewenangan kepala daerah yang tertuang dalam UU 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mesti dibarengi pelaksanaannya dengan penerapan UU 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sehingga keinginan
untuk mewujudkan pembangunan yang bewawasan lingkungan, berkeadilan dan
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.