MASALAH DAN STRATEGI MENERJEMAHKAN ISTIL

MASALAH DAN STRATEGI
MENERJEMAHKAN ISTILAH BUDAYA
Makalah ini Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Translation Studies

Dosen Pengampu: Ghofar M.Pd

Disusun oleh:
Tira Nur Fitria

(26.09.6.2.164)

Umi Rohmahwati

(26.09.6.2.172)

Yuliana Susilowati

(26.09.6.2.187)

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA

IAIN SURAKARTA
2012
0

BAB I
PENDAHULUAN
Judul makalah ini mengandung dua kata kunci, yaitu penerjemahan dan budaya.
Ke duanya terkait satu sama lain. Ketika seseorang menerjemahkan suatu teks, dia tidak
hanya mengalihkan pesan tetapi juga budaya. Proses pengalihan pesan teks bahasa
sumber dipengaruhi oleh budaya penerjemah, yang tercermin dari cara dia dalam
memahami, memandang, dan mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang dia
gunakan.
Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan
budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan
menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, dia harus
mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi
lain dan dalam banyak kasus dia harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada
dalam bahasa sasaran. Sebagai akibatnya, persoalan ketaktakterjemahan linguistis dan
kultural tidak dapat dihindari.
Pada hakekatnya, teori penerjemahan sudah menyediakan pedoman untuk

mengatasi masalah-masalah penerjemahan. Namun, sebagai pedoman umum, teori
penerjemahan tidak selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan ketak
terjemahan yang timbul dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu
padanan untuk suatu ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan,
diterima dan dianggap benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara
mendalam, bukan merupakan padanan yang seratus persen benar.
Kata bahasa Inggris breakfast, misalnya, dipadankan dengan sarapan dalam
bahasa Indonesia. Padanan ini sudah lazim digunakan dan dianggap benar. Akan tetapi,
jika fitur semantis dari ke dua kata itu ditampilkan ke permukaan, kita baru menyadari
bahwa konsep yang dikandungnya berbeda satu sama lain. Demikian pula dengan kata
farmer dan petani. Dari sudut pandang penutur asli bahasa Inggris, farmer identik dengan
orang kaya karena tanah yang dimilikinya sangat luas. Sebaliknya, dari sudut pandang
penutur asli bahasa Indonesia, seorang petani pada umumnya dimasukkan dalam kategori
orang miskin.
1

BAB II
PEMBAHASAN
1. Hubungan antara Penerjemahan dan Budaya
Penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam

bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu ialah untuk membantu
pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan oleh penulis
asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah pada posisi
yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila
ilmu pengetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari budaya, secara tidak
langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya.
Tujuan praktis penerjemahan diatas sering terlupakan oleh penerjemah. Ada
terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran, tetapi bahasa yang dia digunakan tidak bisa dipahami oleh pembaca
dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar, tetapi pesannya
menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering terjadi, tujuan
praktis penerjemahan itu tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang demikian
dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca teks
terjemahan (Damono, 2003). Tujuan penerjemahan pada dasarnya tidak hanya oleh
ditentukan oleh penerjemah tetapi juga oleh klien (orang yang memberi tugas
penerjemahan) dan pembaca teks bahasa sasaran.
Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan
bertujuan komunikatif yang ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber, penerjemah
sebagai mediator, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu
sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa

sumber, penerjemah, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran (Nababan, 2004).
Seperti yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan, terdapat hubungan
timbal balik antara penerjemahan dan budaya. Penerjemahan tidak sekedar proses
pengalihan pesan tetapi juga budaya, dan budaya sendiri berpengaruh pada
penerjemahan. Dalam ruang lingkup Studi Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian
2

yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi
oleh aspek sosial (Snell-Hornby, 1995: 39).
Bahasa dan budaya, serta bahasa dan perilaku mempunyai hubungan yang
sangat vital. Sementara itu, bahasa merupakan ungkapan tentang budaya dan diri
penutur, yang memahami dunia melalui bahasa.
Penerjemahan

juga

merupakan

tindak


komunikasi

interlingual,

yang

perwujudannya sangat dipengaruhi oleh budaya pengguna bahasa. Barangkali itu
sebabnya pakar penerjemahan, House (2002), berpendapat bahwa seseorang tidak
menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya
bukan bahasa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan satuan
terjemahan, bukan kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf atau teks, (Nord, 1997) yang
seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah.
2. Masalah yang Timbul dalam Penerjemahan karena Faktor Budaya
Sifat ketergantungan budaya pada harapan dan norma yang berlaku di
masyarakat, dan perbedaan budaya teks bahasa sumber dari budaya teks bahasa sasaran
membuat

penerjemahan

sangat


sulit

dilakukan.

Nida

(1975)

mengatakan:

.....translators are permanently faced with the problems of how to treat the cultural
aspects implicit in a cource text (SL) and finding the most appropriate technique of
successfully conveying these aspects in the target language (TL) (h. 130).
Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Dollerup dan Lindegard (1993):
Translators should strive to transmit an image of the source culture to the target
receptors that corresponds to the image the target culture would claim for itself (h. 72).
Masalah yang timbul dalam penerjemahan dikaitkan dengan tiga faktor utama:
a. Kemampuan penerjemah. Jika seseorang tidak mempunyai kompetensi (kebahasaan,
kultural, transfer) dan ketrampilan di bidang penerjemahan, dia tidak akan mungkin

dapat melakukan tugas penerjemahan dengan baik. Oleh sebab itu, sebutan “penerjemah”
yang diberikan kepada seseorang mengandung konsekuensi yang sangat berat. Sebagai
pelaku utama dalam proses penerjemahan, dia dituntut harus mampu menghasilkan
terjemahan yang bisa dipertanggung jawabkan.
3

b. Faktor kebahasaan. Pada umumnya, sistem bahasa yang dilibatkan dalam
penerjemahan berbeda satu sama lain. Secara morfologis dan sintaksis, bahasa Inggris,
misalnya, berbeda dari bahasa Indonesia. Sebagai akibatnya, ada kalanya penerjemah
dihadapkan pada masalah ketakterjemahan linguistis (linguistic untranslatability)
(Catford, 1974).
c.

Faktor budaya. Faktor budaya ini sebenarnya tumpang tindih dengan faktor

kebahasaan apabila bahasa dipandang sebagai budaya atau bagian dari budaya.
3. Ketakterjemahan Budaya
Budaya di sini (Soemarno, 1997:1) berhubungan dengan cara makan, cara
berbusana, adat istiadat, bahasa, upacara, peristiwa-peristiwa budaya sampai dengan halhal seperti lukisan, patung, ukiran, bangunan-bangunan dan sebagainya yang dianggap
sebagai budaya. Perlu ditambahkan faktor budaya juga mencakup sikap atau cara

pandang masyarakat terhadap alam, lingkungan sosial, kehidupan itu sendiri, dll.
Perbedaan budaya antara teks bahasa sumber dan bahasa sasaran menimbulkan
ketakterjemahan budaya (cultural untranslatability). Ketakterjemahan budaya di sini
dapat menyangkut masalah ekologi, budaya materi, budaya religi, budaya sosial,
organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, bahasa isyarat, dsb (Newmark, 1988:
95). Ketakterjemahan karena perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran
dipengaruhi oleh:
1. Perbedaan Sudut Pandang. Perbedaan cara atau sudut pandang terhadap
sesuatu tidak bisa dipisahkan dari budaya penutur suatu bahasa.
Contoh: Sebutan Mr., misalnya, digunakan dan disertai dengan nama belakang walau
dalam berbahasa sehari-hari mereka sering menghilangkan kata Mr. dan menyebut nama
depan mereka. Perbedaan sudut pandang itu jelas menimbulkan persoalan tersendiri bagi
penerjemah. Bagaimanakah seharusnya ungkapan Amani Ryan, apa kabar (Papa Ryan,
apa kabar)? diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris?. (Ryan’s Father, how are you?).
Perbedaan sudut pandang seperti ini juga terjadi dalam bidang politik. Orang Indonesia
akan menyebut, Timor Timur sudah berintegrasi dengan Indonesia. Sebaliknya orang
Australia akan mengatakan, East Timor has been annexed by Indonesia.
4

2. Ketiadaan Padanan. Ada kemungkinan bahwa suatu konsep yang terkait

dengan budaya (baik abstrak maupun konkrit) dapat diungkapkan dalam bahasa sasaran
tetapi konsep tersebut sama sekali tidak ada dalam budaya bahasa sasaran. Konsep yang
berhubungan dengan ekologi (misalnya, musim semi) sudah menjadi bagian dari bahasa
Indonesia. Namun, kita hanya mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Dalam
banyak kasus, konsep budaya yang dimaksud tidak mempunyai padanan dan tidak
dikenal dalam budaya bahasa sasaran.
Contoh: Rumah Joglo, misalnya, tidak mempunyai padanan dalam bahasa Inggris dan
konsep ini tidak dikenal dalam budaya penutur bahasa Inggris. Hal yang sama juga
terjadi pada kata yang terkait dengan nama makanan (botok), nama organisasi sosial
(Rukun Tetangga, Rukun Warga), kegiatan sosial (arisan).
Contoh-contoh masalah ketakterjemahan budaya seperti diuraikan di atas antara lain:
1. Kebogiro diterjemahkan oleh John McGlynn (1990) ke dalam bahasa Inggris menjadi
wedding songs. Dalam hal ini si penerjemah gagal memahami makna kultural kebogiro,
yang berwujud bunyi-bunyian tanpa syair dalam kesenian khas masyarakat Jawa;
sementara wedding songs sebagai padanannya dalam bahasa Inggris merupakan
nyanyian dengan syair tertentu yang biasanya dilantunkan oleh paduan suara beserta
umat dan imam pada acara pernikahan di gereja.
2. Supper (= the evening meal; meal eaten early in the evening if dinner is near noon, or
late in the evening if dinner is at six o’clock or later)
Kebiasaan makan masyarakat Inggris meliputi empat jenis bersantap, yaitu breakfast,

lunch, dinner, dan supper. Sedangkan, masyarakat Indonesia hanya mengenal tiga jenis
bersantap, yakni sarapan pagi, makan siang, dan makan malam sebagai padanan untuk
masing-masing breakfast, lunch, dan dinner. Lalu, bagaimana kata supper seharusnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Ternyata, sampai saat ini belum ada padanan
yang berterima untuk istilah tersebut dalam bahasa kita.
3. Have you already eaten your meal? Penerjemahan kalimat tersebut ke dalam bahasa
Jawa harus didasarkan pada hubungan sosial antar si penutur, yang berkaitan dengan
kedudukan seseorang dalam masyarakat. Jika seorang majikan bertanya kepada anak
buahnya, dia akan menggunakan kalimat Kowe wis mangan apa durung? Sebaliknya,
bila seorang bawahan bertanya kepada pimpinannya, dia akan menggunakan kalimat
5

Panjenengan sampun dhahar menapa dereng? Sedangkan, seorang karyawan yang
bertanya kepada sesama karyawan yang selevel dengannya dapat menggunakan
kalimat Sampeyan mpun nedha napa dereng?, masing-masing sebagai terjemahan atas
kalimat Have you already eaten your meal?
Sesuai dengan lingkup permasalahannya, Nida (1975:68-77) membedakan 5 (lima) jenis
ketakterjemahan yang terkait dengan aspek budaya (cultural aspects):
1. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah ecological culture
Misalnya: pancuran (Indonesia) dan shower (Inggris). Kata pancuran tidak

memiliki padanan dalam bahasa Inggris, dan demikian juga kata shower yang tidak
memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Kedua kata tersebut tentunya tidak
dapat saling dipadankan satu dengan yang lainnya.
2. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah social culture
Misalnya: midodareni (Jawa). Istilah midodareni menggambarkan peristiwa
budaya dalam adat istiadat Jawa, yakni sebuah acara ritual dalam perkawinan. Pada
kesempatan tersebut si calon pengantin wanita dihiasi sedemikian rupa dan
diisolasi dari calon pengantin pria. Peristiwa ini berlangsung pada malam hari,
yaitu malam sebelum pesta perkawinan diselenggarakan. Dalam kenyataannya
masyarakat Inggris tidak memiliki peristiwa budaya demikian, sehingga bahasa
Inggris juga tidak mengakomodasi kosakata yang menggambarkan peristiwa
tersebut. Oleh sebab itu, penerjemahan kata midodareni ke dalam bahasa Inggris
biasanya dilakukan dengan menggunakan bantuan catatan kaki.
3. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah material culture
Misalnya: a) Stone water jar (Inggris) dan Kendi (Indonesia)
- stone water jar (in the Bible stories) is used to get water from the well.
- kendi is used as a container of drinking water.
Jadi, masing-masing stone water jar dan kendi memiliki makna yang berbeda, sehingga
kedua istilah tersebut tidak berpadanan.
b) Rice. Kata rice dalam bahasa Inggris berpadanan dengan beberapa leksikon yang
maknanya berbeda-beda dalam bahasa Indonesia, seperti padi, gabah, beras, nasi,
lontong, aking, menir, dan sebagainya. Dengan demikian, penerjemahan kata rice ke
dalam bahasa Indonesia dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda dengan
makna aslinya dalam bahasa sumber.
4. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah religious culture
6

Misalnya: lebaran (= a holiday following Ramadhan, the fasting month in the
Islamic calendar, also known as Idul Fitri).
Kata lebaran tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris, sehingga penerjemahan kata
tersebut ke dalam bahasa Inggris dapat dilakukan dengan penggunaan catatan kaki.
5. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah linguistic culture
Misalnya: When a man stays with a girl when does she say how much it costs? … Does
she say she loves him? … Yes, if he wants her to. (Jika seorang laki-laki
bercengkerama dengan seorang gadis bilakah dia mengatakan harganya? …
apakah dia mengatakan bahwa dia mencintainya? … Dia mengatakannya kalau
dia mau).
Di sini kata dia mengacu baik pada a man maupun pada a girl, sehingga
pembaca/pendengar teks terjemahan tersebut mengalami

kesulitan memahami teks

yang mengandung kata-kata beracuan ganda.
Mengingat masalah ketakterjemahan yang berkaitan dengan aspek budaya
mengandung kompleksitas yang tinggi dan spesifik, seorang penerjemah dituntut untuk
memiliki pemahaman, kesadaran, dan kecermatan yang tinggi pula terhadap seluk beluk
budaya masyarakat penutur kedua bahasa – bahasa sumber dan bahasa sasaran – dalam
kegiatan penerjemahan.
4. Strategi dan Tehnik Menerjemahkan Istilah Budaya.
Pakar penerjemahan menawarkan berbagai strategi untuk memecahkan masalah
padanan yang disebabkan oleh faktor budaya (lihat Newmark, 1988; Baker, 1992;
Hervey dan Higgins, 1992). Strategi-strategi yang ditawarkan perlu dicermati diterapkan
secara seksama agar tidak bertentangan dengan tujuan penerjemahan itu sendiri.
Transplantasi budaya yang ditawarkan oleh Hervey dan Higgins (1992), misalnya,
cenderung menghasilkan saduran, bukan terjemahan. Demikian juga dengan konsep
addition of information harus dipahami sebagai upaya untuk membuat terjemahan mudah
dipahami oleh pembaca sasaran tanpa mengaburkan pesan teks bahasa sumber.
Berikut ini tehnik-tehnik pada penerjemahan istilah budaya dalam teks:
1. Teknik peminjaman alamiah

No Istilah Budaya

Teknik Penerjemahan

7

BSu

BSa

1

culinary kuliner Peminjaman alamiah

2

satay

Sate

Peminjaman alamiah

Teknik peminjaman alamiah dilakukan dengan mempertahankan BSu dalam teks
terjemahan (BSa). Namun, peminjaman disertai penyesuaian lafal pada BSa. Hasil
temuan diatas, kedua istilah tersebut dikenal dalam BSa, hanya saja dengan pelafalan
yang disesuaiakan dengan BSa.
2. Teknik peminjaman murni

No Istilah Budaya

Teknik Penerjemahan

Bsu

Bsa

1

Batik

Batik

2

solo batik carnival solo batik carnival Peminjaman murni

3

Warung

warung

Peminjaman murni

4

Hik

hik

Peminjaman murni

5

Jadah

jadah

Peminjaman murni

6

melting pot

melting pot

Peminjaman murni

Peminjaman murni

Teknik peminjaman murni dilakukan dengan mempertahankan BSu sama persis
pada teks BSa. Mengingat istilah yang diterjemahkan adalah istilah budaya, ada 2
kemungkinan yaitu (1) konsep budaya dalam BSa telah dikenal dengan baik atau
ditemukan dalam teks BSu, (2) konsep budaya pada BSa tidak dikenal dalam BSu,
sehingga diperlukan keterangan tambahan.
Untuk kasus no.1 – 5, konsep budaya telah dikenal atau bahkan berasal dari BSu
sehingga cukup diterjemahkan tetap atau tidak mengalami perubahan. Sementara, untuk
kasus no.6, istilah melting pot tidak dikenal dalam BSa, sehingga diterjemahkan apa
adanya, dan di dalam teks telah dijelaskan secara detail pada kalimat selanjutnya ditandai
dengan apositif ( -- ).

8

Warung HIK is something of a melting pot in fact – a place for people to chat,
speak without censorship and kill time with help of a glass of hot ginger tea and snack
such as fried peanuts, various satay or the grilled sticky rice cakes known as jadah.
Adanya penjelasan tentang melting pot di kalimat selanjutnya dan dirasa dapat dipahami
oleh pembaca, maka cukup diterjemahkan dengan apa adanya atau tidak diterjemahkan.
3. Teknik reduksi

No Istilah Budaya

Teknik Penerjemahan

BSu
1

BSa

the grilled sticky rice cakes known as jadah jadah bakar reduksi

Pada the grilled sticky rice cakes known as jadah yang diterjemahkan menjadi jadah
bakar menggunakan teknik reduksi. Teknik tersebut dilakukan dengan penghilangan
secara parsial tanpa menimbulkan distorsi makna. Frasa the grilled sticky rice cakes
dihilangkan karena maknanya dinilai sudah cukup terwakili dengan jadah bakar.
4. Teknik adaptasi

No Istilah Budaya

Teknik Penerjemahan

BSu

BSa

1

stalls

Warung

2

pushcarts gerobak dorong adaptasi

3

snack

Camilan

adaptasi

adaptasi

Teknik ini dikenal dengan adaptasi budaya. Hal ini dilakukan menggantikan istilah
budaya dalam BSu dengan istilah budaya yang lebih akrad dikenal dalam BSa.


Stall secara harfiah berarti table or small open shop from which things are sold in the
street’ atau stan, kios, took kecil dipinggir jalan. Akan tetapi dalam BSa ada istilah
yang kebih familiar yaitu warung. Hal tersebut dilakukan agar mudah dipahami oleh



pembaca sasaran.
Pushcarts dalam BSu dikenal dengan kereta dorong. Istilah gerobak dorong lebih
familiar bagi pembaca teks sasaran.
9



Snack mengacu pada makanan ringan, sedangkan dalam BSa ada istilah yang lebih
dikenal yaitu camilan.

5. Teknik penerjemahan harfiah

No Istilah Budaya
BSu
1

Teknik Penerjemahan
BSa

hot ginger tea teh jahe panas harfiah

Dalam contoh ini, penerjemah melakukan teknik harfiah. Teknik ini dilakukan
dengan penyesuaian kaidah bahasa dalam BSa. Hot  panas, ginger  jahe, tea  teh;
Dalam BSu modifier diletakkan terlebih dulu, sedangkan dalam BSa head didepan.
Teknik penerjemahan yang digunakan dalam teks ada lima yaitu: peminjaman
murni, alamiah, reduksi, adaptasi dan penerjemahan harfiah. Secara keseluruhan, dalam
kasus penerjemahan istilah budaya diatas, konsep budaya ditemukan dalam BSa, bahkan
beberapa istilah budaya tersebut justru berasal dari BSa.

BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan makalah diatas, dapat kita simpulkan bahwa:
1. Terdapat keterkaitan dan hubungan antara penerjemahan dan budaya
2. Ada tiga masalah yang timbul dalam penerjemahan karena faktor budaya
1. Kemampuan penerjemah.
2. Faktor kebahasaan.
3. Faktor budaya.
Cultural untranslatability atau ketakterjemahan karena perbedaan budaya bahasa
sumber dan bahasa sasaran dipengaruhi oleh:
1. Perbedaan Sudut Pandang
10

2. Ketiadaan Padanan.
3. Ketakterjemahan Budaya
5 (lima) jenis ketakterjemahan yang terkait dengan aspek budaya (cultural aspects):
1. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah ecological culture
2. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah social culture
3. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah material culture
4. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah religious culture
5. Ketakterjemahan yang berhubungan dengan masalah linguistic culture
4. Strategi dan Tehnik Menerjemahkan Istilah Budaya.
1. Teknik peminjaman alamiah
2. Teknik peminjaman murni
3. Teknik reduksi
4. Teknik adaptasi
5. Teknik penerjemahan harfiah

DAFTAR PUSTAKA
Baker, M. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage
Publication.
Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Longman.
Damono, S.J. 2003. “Menerjemahkan Karya Sastra.” Makalah disajikan dalam Kongres
Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003.
Dollerup, C dan Lindegard, A. 1993. Teaching Translation and Interpreting 2.
Philadelphia: John Benjamins.
Duff, A. 1984. The Third Language. Great Britain: Pergamon Press.
Goodenough, W.H. 1964. “Cultural Anthropology and Linguistics.” In Dell Hymes (ed.).
Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York:
Harper & Crow.
House, J. 2002. “Universality versus Culture Specificity in Translation.” Dalam
Alessandra
11

Ricardi (ed.). Translation Studies: Perspective on an Emerging Discipline. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nababan, M.R. 2003. “Arah Penelitian Penerjemahan”, Makalah disajikan dalam
Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003.
Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice-Hall International.
Nida, E. 1975. Language Structure and Translation. Standford, California: Standford
University Press.
Nord, C. 1997. Translating as a Purposeful Activity: Functional Approaches Explained.
Manchester, UK: St. Jerome Publishing
Snell-Hornby, M. 1995. Translation Studies: An Integrated Approach. Amsterdam: John
Benjamins Publishing Company.
http://www.proz.com/translation-articles/articles/2074/1/Penerjemahan-dan-Budaya
http://languageaccesscentre.blogspot.com/2011/12/penerjemahan-istilah-budaya.html
http://www.widyamandala.ac.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id
=259:kendala-budaya-dalam-penerjemahan&catid=65:krida-rakyat

12