STUDI AYAT DAN HADTS AHKAM Hukum Khitbah
\]TUGAS MATA KULIAH STUDI AYAT DAN HADTS
AHKAM II
“Hukum Khitbah dan Hak Mahar untuk Istri”
Kelompok 7:
Iffiyah Mufitrotin
(201610020311008)
Musyahadan Romadhon
(201610020311036)
Windi Argiatmoko
(201610020311039)
JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
)A. Al Baqarah (235-237
خطوبة ِالن نسسساَ ء أ
و
ماَ ِ أ
ح ِ أ
ن ِ ء
م ِ ء
عرر و
أ ء
ه ِ ء
م ِب ء ء
جأناَ أ
وأل ِ ت
أ
م و
ضت ت و
فيِ أ
عل أيِ وك ت و
ء ِأ و
أ
عل ءم ِالل ر أ
أ
فيِ ِأ أن و ت
ن
م ِ ء
ف ء
ست أذوك تترون أ ت
م ِ أ
ول لأك ء و
ه ر
ه ِأن رك ت و
ت
م ِ أ أ
سك ت و
أك ون أن وت ت و
ن ِ أ
أ
عترو ف
قول تسسوا ِ أ
ن ِت أ ت
وأل
دو ت
وا ء
ن ِ ء
سسسررا ِإ ءرل ِأ و
م و
عسس ت
ه ر
وفل ِ أ
فسساَ ِ أ
قسس و
أل ِت ت أ
أ
ة ِالن ن أ
ع و
مسسوا
ى ِي أب ول ت أ
وا و
قدأ أ
موا ِ ت
ب ِأ أ
غ ِال وك ءأتاَ ت
ح ِ أ
تأ و
عل أ ت
جل أسس ت
ز ت
ه ِ أ
حت ر ل
ع ء
كاَ ء
أ
أ
م ِ أ
فسسيِ ِأ أن و ت
ن
وا و
ماَ ِ ء
ف ء
مسسوا ِأ ر
أ ر
فاَ و
ه ِي أ و
عل أ ت
حسسذأترو ت
سسسك ت و
م ِ أ
عل أ ت
ن ِالل ر أ
ه ِ أ
عل أيِ و ت
ه ِ أ
غ ت
ن
ح ِ أ
م ِإ ء و
جأنساَ أ
م ِ ِ ِ ﴿البقسرة﴾ ٢٣٥:أل ِ ت
فسومر ِ أ
كس و
حءليِس م
الرلس أ
أ
و ِت أ و
طأل ر و
ن
سسسو ت
سسساَ أ
ر ت
ضسسوا ِل أ ت
م س
م ِالن ن أ
هسس ر
ه ر
م ِت أ أ
مسساَ ِل أسس و
ء ِ أ
قت تسس ت
ن ِأ و
ف ء
م و
ع ِ أ
أ
ر
و أ
ن ِ أ
ض ف
عو ت
ري أ
مو ء
مت ن ت
ه ر
عألسسى ِال و ت
قدأتر ت
عألى ِال و ت
و أ
ه ِ أ
ة ِ أ
قءتسس ء
ف ء
س ء
ح ر
أ
ن ِ ِ ِ ﴿
قسساَ ِ أ
مأتاَ ف
ح ء
م و
ف ِ أ
عترو ء
م و
سسسءنيِ أ
عألسسى ِال و ت
عسساَ ِءبسساَل و أ
ه ِ أ
قسسدأتر ت
أ
ن ِ أ
ن ِطأل ر و
ن
سسسو ت
مو ت
ن ِ ء
ل ِأ و
وإ ء و
م س
ه ر
مسس و
ه ر
ن ِت أ أ
قت ت ت
قب وسس ء
البقرة ﴾ ٢٣٦:أ
أ
مسساَ ِ أ
ة ِ أ
ن ِ أ
د ِ أ
و أ
ن
ضسس ف
صسس ت
فأر و
ري أ
فأر و
م ِإ ءرل ِأ و
ق و
م ِل أ ت
ه ر
ضسست ت و
ف ِ أ
ضت ت و
فن ء و
أ
ف ء
ة ِالن نك أسساَح ِ ِ أ
أ
ع ت
ع و
ع ت
ع ت
فسسوا
قسسدأ ت
ه ِ ت
د ء
ذيِ ِب ءيِ أ ء
و ِال ر ء
وأ و
فو أ
ن ِت أ و
و ِي أ و
يأ و
ء أ
ف أ
ن ِأ و
وا ِال و أ
ب ِءللت ر و
أأ و
ضسس أ
مسساَ
ف و
م ِإ ء ر
قأر ت
وأل ِت أن و أ
ه ِب ء أ
ن ِالل رسس أ
ل ِب أيِ ون أك تسس و
و ل
س ت
ى ِ أ
ق أ
ن
م تلسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسو أ
تأ و
ع أ
صيِمر ِ ِ ِ ﴿البقرة٢٣٧:
﴾ب أ ء
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma´ruf. Dan
janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
´iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
)Pengampun lagi Maha Penyantun.” (235
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
)menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut´ah (pemberian
2
kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut.
Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (236)
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteriisterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat
segala apa yang kamu kerjakan.” (237)
B. Tafsir Perkata
م
ِ ِ أSindiran.”
عرر و
ضت ت و
Dari kata ta’ridh yakni isyarat dan sindran tanpa
mengungkapkan tidak pula menunjukan. Yakni ia memahami keinginan orang
yang menyampaikan khibah (lamaran) denga suatu bentuk isyarat tanpa
pernyataan yang tegas. Tar’ridh diambil dari kata ‘ardhu asyi’i yakni sisi sesuatu.
Dalam Al Lisan dikatakan ‘aradha bisyai’i mengatakan sesuatu dengan
sindiran tanpa menjelaskannya. Sindiran adalah kebalikan dari pernyataan tegas.
Sedangkan ma’rid adalah tauriyah (kamuflase) dengan sesuatu dari sesuatu yang
lain. Dalam hadist “Sesungguhnya dalam ma’aridh ada keleluasaan menghindari
dosa”1
Sindiran terkait lamaran seorang perempuan adalah menyampaikan
perkataan yang mengesankan lamaran kepadanya, namun tidak dinyatakan dengan
tegas. Misalnya orang yang mengatakan kamu cantik, kamu benar-benar memikat
banyak orang, dan kamu mengajak kepada kebaikan. Sebagaimana orang yang
membutuhkan bantuan berkata : aku datang untuk menyampaikan salam
kepadamu, dan untuk memandang wajahmu yang mulia. Maka dari itu mereka
mengatakan “Salam dariku sudah cukup bagimu untuk menyelesaikan masalah
kita”.
ء
ساَ ء
ء: Khithbah (peminangan) dengan harakat kasrah pada
خطوب أ ء
ة ِالن ن أ
huruf kha’, yag dimaksud mengajukan permintaan untuk menikah. Sementara
khutbah adalah perkataan yang dimaksudkan untuk meyampaikan nasihat, Dalam
1 Lisan Al-‘arab, Ash Shahah, Tahdzib Al Lughah, dan Al muhith, entri a-ra-dha
3
haidst “Jangan sampai siapapun diantara kalian meminang atas pinagna
saudaranya”
أ
م
ِ ِ ِأك ون أن وت تسسس وDari
kata
akna’
yang
artinya
menutupi
dan
menyembunyikan. Iknan artinya rahasia dan tersembunyi.
Ibnu Qutaibah mengatkan aknantu as-syai’a artinya aku menutupi sesuatu.
Dan kanantu asy-syai’a artinya aku menjaga sesuatu. Sebagaimana firman Allah
Swt, “Seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik.”2
أ
ه
ِأ أYakni brakhirnya masa iddah. Yang dimaksud dengan kitab dalam
جل أ ت
ayat tersebut adalah kewajiban yang telah ditetapkan Allah kepada perempuan
yang menjalani masa iddah seperti tinggal ditempat selama masa iddah.
م
ِ ِ أDia menangguhkan hukuman sehingga dia
حءليِسسس م
tidak
menggerakkannya. Diantara ketentuan Allah Swt. Yang berlaku bahwa Dia
menangguhkan namun dia tidak mengabaikan.
ع
مو ء
ِال و تyang berada dalam kondisi lapang karena kekayaannya. Dari
س ء
م و
kata musi. ر
ِال و تyang berada dalam kesulitan karena kekafirannya.ِ
قت ء ء
ن
سو ت
م س
ه ر
ِت أ أDari
kata massa yakni menahan sesuatu dengan tangan.
Serupa dengan missa atau masis. Ar Ragib mengatakan massa atau missa adalah
sentuhan. Demikian pula sebutan bagi sesuatu yang ditangkap dengan panca indra
sentuhan digunakan sebagai kiasan persetubuhan.
ِ أyang berarti sesuatu yang diwajibkan Allah kepada hambanya.
ة
ض ف
ري أ
ف ء
Yang dimaksud disini adalah mahar karena yang ditetapkan oleh Allah Swt.
أ
ع ت
فون
ِأ وMaksudnya membiarkan dan memaklumi yakni perempuan
ن ِ ي أ و
menggugurkan maharnya
Makna Global
Allah SWT, menjelaskan ketentuan khitbah kepada perempuan-perempuan
yang menjalani masa ‘iddah setelah suami mereka wafat. Allah SWT berfirman
yang maknanya tidak ada hambatan tidak pula dosa bagimu, wahai para lelaki
untuk menunjukkan kesukaanmu untuk menikahi dengan perempuan-perempuan
yang menjalani masa ‘iddah, melalui isyarat mata bukan dengan pernyataan
terbuka. Sesungguhnya Allah SWT mengetahui kecondongan hati kepada mereka
yang kamu sembunyikan di hatimu dan hasrat untuk menikah dengan mereka,
namun Allah tidak menghukummu atas itu. Akan tetapi kamu tidak diperkenankan
untuk mengungkapkan hasrat ini secara terbuka sementara mereka masih dalam
2 Ibnu Al Jauzi,Zad Al Masir,jil 1,hal 277
4
masa ‘iddah, kecuali melalui sindiran dan dengan cara yang baik, dengan syarat
tidak ada perkataan jorok atau kata-kata yang tidak pantas. Janganlah kamu
mengukuhkan niatmu untuk mengadakan akad nikah sebelum masa ‘iddah
berakhir. Dan ketahuilah bahwa Allah memantau rahasia-rahasia dan apa-apa yang
kamu sembunyikan serta memperhitungkan tindakanmu itu.
Kemudian Allah SWT menyebutkan ketentuan bagi perempuan yang
dijatuhi talak sebelum mendapatkan mahar dan sebelum terjadi hubungan intim.
Allah tidak melarang talak sebelum suami istri hidup serumah, agar tidak ada
seorang pun yang menduga bahwa talak pada kondisi ini dilarang. Allah
memerintahkan pembayaran mut’ah kepada mereka untuk melipur hati mereka
sesuai dengan batas kemampuan laki-laki menurut tingkat kecukupan dan
kekurangannya, serta menetapkan ini sebagaibentuk ihsan untuk menghapus
kesepian akibat talak. Adapun jika talak terjadi sebelum hubungan intim
sementara mahar sudah disebutkan, maka perempuan yang ditalak berhak
mendapatkan setengah mahar yang ditetapkan, kecuali bila ia menggugurkan
haknya, atau suami menyerahkan mahar penuh kepadanya, atau walinya
mengugurkan haknya bila ia masih kecil.
Kemudian Allah SWT menutup ayat dengan mengingatkan agar tidak ada
yang melupakan kasih sayang, ihsan dan kebaikan diantara suami istri.jika talak
terjadi dengan sebab-sebab yang bersifat darurat dan memaksa, maka semestinya
tidak boleh menjadi faktor yang memutus ikatan kekeluargaan dan hubungan
kekerabtan.3
Sebab Turun Ayat
Al-Khazin berkat dalam tafsirnya: ayat kedua diturunkan tentang seorang
laki-laki Anshar yang mengawini seorang perempuan Bani Hanifah dengan tidak
menyebutkan maharnya, lalu dicerainya sebelum dicampuri. Begitulah, lalu turun
ayat ketiga. Sesudah itu lalu Rasulullah SAW bersabda kepada laki-laki tersebut.
“berilah dia mut’ah sekalipun dengan kopiahmu itu”.
Ragam Qira’ah
3 Jami’ Al-Bayan, Majma’ Al-Bayan dan Tafsir Al-Manar.
5
1. Jumhur membacanya ma lam tamssuhunna. Hamzah dan Al-Kisa’i
membacanya itumassuhunna, dengan alif dan dhammah pada ta’ di dua
tempat, di sini dan dalam surah Al-Ahzab. Ini merupakan pola kata
mufaalah seperti mubasyarah dan mujamaah.4
2. Jumhur membacanya ‘alal-musi’i qadaruhu. Ibnu Katsir dan Nafi’
membaca qadruhu, dengan sukun pada dal.
3. Jumhur membacanya wa an ta’fu aqrabu lit-taqwa. Dibaca juga dengan ya’;
wa an ya’fu.5
Ragam I’rab
Pertama, firman Allah swt “wa lakin la tuwa’iduhunna sirran. Kata lakin
sebagai huruf istidrak.sementara mustadraknya dibuang dengan menyimpan
kalimat “Alimallahu annakum satadzkurunahunna fadzkuruhunna walakin la
tuwa’iduhunna”. Kata sirran sebagai maful bih karena ia mengandung pengertian
nikah. Kemungkinan juga posisinya dijadikan sebagai hal denganmengirangirakan makna mustakhfina, sementara mafulnya dibuang.
Kedua, firman Allah, “wala ta’zimu ‘uqdatannikahi” bentuk nashab dengan
membuang huruf jar.
Ketiga, firman Allah “Ma lam tamussuhunna”. Ma mashdariyah dengan
membuang zaman yaitu fi zamani tarki massihinna. Ada yang berpendapat, Ma
disini adalah Ma Syarthiyyah.
Keempat, firman Allah “ifanishfu ma farradhtum” menjadi khabar dengan
mubtada’ yang dibuang. Jika ditampakan maka berbunyi: falwajibu nishfu ma
farradhtum atas fa ‘alaikum nushfu ma farradhtum. Ma isimmaushul dengan makna
alladzi.
Kelembutan Tafsir
1. Al-Qur’an membolehkan meminang perempuan dalam masa ‘iddah dengan
cara menggunakan bahasa sindiran, seperti ucapan “kamu perempuan yang
cantik, kamu shalehah, engkau dermawan dan sebagainya, yang diucapkan
4 Jami’ Al-Bayan, jilid. II, hal. 529, Zad Al-Masir, hal. 297, Al-Qira at As-sab’u, hal. 81.
5 Majma’ Al-Bayan, jil. II, hal. 341, ZAD Al-Masir, jil. I, hal. 281, Tafsir Abi As-Su’ud, jil. I, hal.
179.
6
di hadapannya”. Imam Mubarak meriwayatkan dari Abdur Rahman bin
Sulaiman dari bibinya (Sukainah binti Handhalah), ia berkata: “Abu Ja’far,
Muhammad bin Ali, pernah masuk ke rumahku, di saat aku masih dalam
masa ‘iddah, lalu ia berkata: aku ini orang yang engkau tahu betul akan
kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan hak kakekku, Ali, serta jejakku
dalam Islam, lalu aku berkata: “Semoga Allah mengampunimu, Hai Abu
Ja’far, apakah engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam masa
‘iddah dan (apakah) engkau mau disiksa? Abu Ja’far menjawab: apa aku
sudah berbuat? Aku hanya memberitahumu akan kekerabatanku dengan
Rasulllah SAW serta kedudukanku (dalam keluarga). Bukankah Rasulullah
SAW juga pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika Abu Salamah
meninggal dunia dan Rasulullah SAW sendiri yang terus menerus
menyebut-nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di sisi Allah,
sedangkan dia bertanggung jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar melekat
pada dirinya namun yang demikian itu tidak dinamakan meminang.6
2. Khithab dalam firman Allah: “Bahwa memaafkan itu jalan terdekat menuju
ketakwaan” dan “jangan kamu lupakan kelebihan di antara kamu” itu tertuju
kepada pria dan wanita, yang disampaikan secara umum. Ar-Razi berkata:
“apabila pria dan wanita hendak disebut secara bersamaan, maka pada
umumnya cukup dengan menyebutkan pria. Sebab pria. Sebab pria menjadi
inti, sementara wanita sebagai pelengkap atau cabang. Misalnya kamu
mengatakan: ada orang yang (laki-laki) berdiri, sementara yang kamu
maksud adalah perempuan7.
3. Himah diwajibkannya memberi biaya hidup kepada istri yang ditalak adalah
untuk menghilangkan perasaan sedih karena talak. Ibnu Abbas berkata:
“Apabila suami orang kaya, maka bentuk biaya hidup berupa pelayanan.
Dan apabila miskin, bentuk biaya hidup yang diberikan berupa tiga helai
baju”.
C. Kandungan Hukum
6 Jami’ Al-Bayan, jil. II, hal. 519 dan Al-Kasysyaf, jil. 1, hal, 214.
7 Ali Ash Shobuni, Tafsir Ayat- Ayat Ahkam, Surabaya: Keira Publishing, 2016 hlm 336-337
7
1. Hukum Meminang Perempuan
Terkait meminang perempuan, ada tiga hukum, yaitu :
a. Perempuan yang boleh dipinang dengan terang-terangan dan dengan sindiran.
Yaitu perempuan yang masih sendirian dan bukan dalam masa iddah. Sebab
manakala dia boleh dinikahi, tentu juga boleh dipinang.
b. Perempuan yang tidak boeh dipinang, baik degan terang-terangan maupun dengan
cara sindiran. Yaitu: perempuan yang masih memiliki suami. Sebab meminang
perempuan dalam keadaan demikian, bearti merusak hubungan suami-istri dan
hukumnya haram. Begitu juga perempuan yang ditalak raj’i yang masih dlam
iddah. Dia ini dihukumi sebagai perempuan yang masih dalam perkawinan.
c. Perempuan yang boleh dipinang dengan cara sindiran, tidak boleh dengan terangterangan. Yaitu, perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah..
seperti yang diisyaratkan Al-Qur’an: “dan tidak ada dosa atas kamu meminang
perempuan itu dengan sindiran.” Termasuk perempuan yang ditalak tiga.
Dalil bagi terlarangnya peminangan ini adalah apa yang dilakukan Imam Syafi’i:
Dikhususkannya dengan tidak berdosa peminangan dengan terang-terangan
adalah sebaliknya” pernyataan ini merupakan bentuk dari mafhum mukhalafah.
2. Sah atau tidak pernikahan yang dilakukan pada masa iddah ?
Allah mengharamkan pernikahan selama dalam
iddah
dan
mewajibkannya agar menanti, baik dalam iddah talak ataupun meninggal.
Sebagai landasannya adalah firman Allah: “Dan jangan kamu berazam untuk
mengadakan aqad nikah, sehingga habis masa iddahnya”. Ayat ini menunjukkan
haramnya mengadakan akad perkawinan dalam iddah. Ulama sepakat bahwa
akadnya itu fasid, dan wajib difasakh karena larangan Allah tersebut. Dan
apabila aqad itu dilangsungkan lalu hidup berumah tangga, pernikahannya itu
harus difasakh, dan perempuan itu haram bagi suaminya untuk selama-lamanya.
Demikian menurut Imam Malik dan Ahmad. Alasannya ialah keputusan Umar.
Karena Laki-laki itu menganggap halal sesuatu yang tidak halal, karena itu dia
harus dihukum dengan diharamkannyakawin dengan perempuan tersebut. Tak
ubahnya pembunuh yang harus dihukum dengan diharamkannya mendapatkan
warisan (dari harta si terbunuh.
Abu Hanifah dan Syafi’i berkata: “perkawinannya itu difasakh, tetapi kalau
perempuan itu sudah keluar dari masa iddahnya, maka laki-laki yang
mengawininya tadi dinilai sebagai “peminang”, dan tidak diharamkan untuk
kawin dengan perempun tersebut untuk selamanya. Karena pada asalnya
8
perempuan tersebut tidak haram atasnya, dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah
serta Ijma’. Haram untuk selamanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan masalah ini.” Mereka juga berkata: “zina – misalnya – adalah lebih besar
dosanya daripada akad dalam iddah. Kalau zina saja tidak dapat menjadikan
haramnya perkawinan untuk selamanya, maka percampuran karena syubhat
lebih tidak menunjukkan haramnya perkawinan. Apa yang diriwayatkan dari
Umar tadi sudah ada penegasan, bahwa ia ialah menarik kembali pendapatnya
itu.
Keputusan Umar sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mubarak dengan
sanadnya dari Masruq adalah “sampailah berita kepada Umar, bahwa ada
seorang wanita quraisy yang dikawini seorang laki-laki dari Tsaqif, padahal
wanita tersebut masih dalam iddah. Lalu Umar mengirim utusan kepada suami
istri itu untuk menceraikannya serta menghukumnya. Dalam hukumannya itu,
Umar mengatakan: “Si laki-laki
itu tidak boleh kawin dengan perempuan
tersebut untuk selama-lamanya dan menetapkan maharnya untuk baitul mal.”
Berita itu tersiar di kalangan masyarakat, bahkan sampai juga kepada Ali
karramahullah wajhah. Maka Ali berkata: semoga Allah memberi rahmat
kepada Amiral Mukminun! Apa gerangan halnya mahar dan baitul mal, itu
adalah karena tidak tahu. Keduanya harus dikembalikan kepada sunnah. Lalu Ali
ditanya: “kalau begitu apa pendapatmu tentang mahar dan baitul mal itu? Ali
menjawab: “perempuan tersebut tetap berhak mendapat mahar, karena telah
dihalalkan kemaluannya, tetapi keduanya harus diceraikan dan tidak usah didera.
Iddahnya disempurnakan dari suami pertama, kemudian beriddah dari suami
yang kedua dengan iddah yang sempurna, kemudian kalau dia mau, dia boleh
meminangnya.
Setelah pendapat Ali itu sampai kepada Umar, lalu Umar berkata: “Hai manusia!
Kembalikanlah semua yang tidak tahu itu kepada sunnah!”.
3. Bagaimana hukum perempuan yang ditalak sebelum bersetubuh?
Beberapa ayat sudah menjelaskan tentang hukum perempuan yang ditalak,
diantaranya:
a. Perempuan yang sudah disetubuhi dan sudah ditentukan maharnya .
b. Perempuan yang disetubuhi dan belum ditentukan maharnya.
c. Perempuan yang belum disetubuhi tetapi sudah ditentukan maharnya.
d. Perempuan yang sudah disetubuhi tetapi belum ditentukan maharnya.
9
Pertama, iddahnya selama tiga quru’ dan maharnya tidak boleh diminta
oleh suami. Sebagai dasarnya adalah firman Allah: “Dan perempuan-perempuan
yang ditalak itu hendaklah menunggu diri mereka selama tiga quru’”. Dan ayat
“Dan tidak halal bagi kamu menarik kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka”. (QS. Al-Baqarah : 228-229).
Kedua, tidak ada iddahnya dan tidak berhak menerima mahar, tetapi
berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok. Sebagai dasarnya adalah
firman Allah: “Tidak ada mahar atas kamu, jika kamu menceraikan perempuanperempuan yang belum kamu campuri mereka itu atau belum kamu tentukan
maharnya, tetapi berilah mereka mut’ah”. (QS. Al-Baqarah : 236). Dan
“....kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu campuri mereka itu, maka
tidak ada hak kamu atas mereka dari iddah yang perlu kamu hitung”. (QS. AlAhzab : 237)
Ketiga, tidak ada iddahnya tetapi mendapatkan separuh mahar. Dasarnya
ialah firman Allah: “Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu campuri
mereka itu padahal sudah kamu tentukan maharnya, maka mereka berhak
mendapatkan separuh dari (ahar) yang telah kamu tentukan itu”. (QS. AlBaqarah : 237).
Keempat, berhak mendapat mahar yang sepadan. Sebagai dasarnya adalah
firman Allah: “Dan istri-istrimu yang telah kamu nikmati itu, berilah mereka
mahar...” (QS. An-nisa’ : 24). Juga berdasarkan pada ijma’ para ulama yang
menyatakan bahwa perempuan yang sudah disetubuhi suaminya karena suatu
syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar yang sepadan. Sedang perempuan yang
sudah disetubuhi dengan pernikahan yang sah, dia lebih berhak, berdasarkan
hukum ini.
4. Apakah pemberian biaya hidup hukumnya wajib terhadap perempuan yang
ditalak?
Mengacu pada firman Allah “Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah
bagi yang mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang
patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang brbuat kebaikan”. Maka
memberikan mut’ah (pemberian) kepada perempuan yang belum dicampuri dan
belum ditentukan maharnya, hukumnya wajib.
10
5. Apa yang di maksud dengan mutah (hadiah) dan batasannya?
Mut’ah adalah pemberian seorang suami kepada istrinya yang sudah
diceraikan baik berupa uang, pakaian, atau kebutuhan lain, sebagai bantuan dan
penghormatan kepadanya, serta mempersempit efek negatif dari talak yang
dijatuhkannya. Sementara untuk nilai besaran mut’ah disesuaikan dengan batas
kemampuan.
Imam Malik berkata “Menurutku, ukuran besarnya mut’ah tidak ada
batasan yang pasti, baik minimal, maupun maksimal”.
Imam Syafi’i berkata “ Bagi orang yang mampu dianjurkan memberi
mut’ah berupa seorang pembantu, sedangkan orang yang memiliki kemampuan
standar, maka besaran mut’ah yang diberikan adalah separuh, berupa 30 dirham.
Dan bagi orang yang tidak mampu ia dipersilahkan memberi sesuai dengan
kemampuannya”.
Abu Hanifah berkata “ Ukuran munimal pemberian mut’ah berupa baju,
kudung,dan tusuk konde,dan tidak lebih dari setengah mahar”.
Ahmad berkata “ Bentuk mut’ah yang diberikan berupa baju kurung dan
kudung yang sekedar cukup dipakai untuk melaksanakan sholat. Pemberian ini
sesuai dengan kemampuan suami, sebagaimana firman Allah “ Wajib atas orang
kaya menurut kemampuannya dan atas orang miskin menurut kemampuannya”.
Dan yang menentukannya adalah seorang hakim.
Hikmah Tasyri’
Allah Swt menetapkan hukum mut’at bagi perempuan yang ditalak, yang
disesuaikan dengan kemampuan suami. Hukum pemberian mtah adalah wajib
bagi perempuan yang belum disetubuhi dan belum ditentukan maharnya. Hikmah
dibalik ketentuan semua ini, karena cerai sebelum adanya persetubuhan berarti
suatu kehinaan
bagi perempuan dan kurang enak didengarkan orang serta
menimbulkan rasa kecurigaan orang lain.
Islam menyuruh kita agar menjaga terus kehormatan orang lain sesuai
dengan batas kemampuan dari gunjingan-gunjingan orang lain. Karena itulah
Islam sangat menganjurkan untuk memperhatikan anjuran-anjuran ini.
Sesungguhnya tali ikatan dalam pernikahan dan kehidupan bersama adalah
suci. Oleh karena itu, bagi orang yang menikahi seseorang perempuan dari suatu
keluarga, kemudia menalaknya, hendak ia tidak melupakan cinta dan kasih sayang
keluarganya. Dan agar berhubungan baik sesama mereka tetap berkelanjutan.
11
Kesimpulan
1. Diperbolehkan meminang perempuan yang masih dalam iddah karena
ditinggal mati suaminya atau karena talak ba’in, namun dengan cara
sindiran.
2. Diaharaman melakukan kad nikah dengan perempuan yang masih dalam
masa iddah. jika terjadi pernikahan maka pernikahannya tidak sah.
3. Humu memeberi muta bagi perempuan yang ditalak dan belum ditentukan
maharnya, adalah wajib, dan sunnah bagi perempuan lainnya
4. Diperbolehkan menalak istri yang belum dicampuri sekiranya ada hal yang
mendesak.
5. Perempuan yang ditalak dan belum pernah dicampuri, ia berhak mendapat
setengah mahar apabila maharnya telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, Preada Mnedia Group: Jakarta,cet I. 2006
Hamidi, Muammal dan Imron A. manan, terjemahan Tafsir AYat Ahkam asShobuni, Bina Ilmu: Surabaya. Cet I, 1983
Mustofa, Ahmad al-Maroghi,Terjemeah afsir al-Marogh, Toha Putra: Semarang,
cet II,1993
Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir Ayat Ahkam Minal Qur’an,
diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat- Ayat
Ahkam, Surabaya: Keira Publishing, 2016
12
AHKAM II
“Hukum Khitbah dan Hak Mahar untuk Istri”
Kelompok 7:
Iffiyah Mufitrotin
(201610020311008)
Musyahadan Romadhon
(201610020311036)
Windi Argiatmoko
(201610020311039)
JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
)A. Al Baqarah (235-237
خطوبة ِالن نسسساَ ء أ
و
ماَ ِ أ
ح ِ أ
ن ِ ء
م ِ ء
عرر و
أ ء
ه ِ ء
م ِب ء ء
جأناَ أ
وأل ِ ت
أ
م و
ضت ت و
فيِ أ
عل أيِ وك ت و
ء ِأ و
أ
عل ءم ِالل ر أ
أ
فيِ ِأ أن و ت
ن
م ِ ء
ف ء
ست أذوك تترون أ ت
م ِ أ
ول لأك ء و
ه ر
ه ِأن رك ت و
ت
م ِ أ أ
سك ت و
أك ون أن وت ت و
ن ِ أ
أ
عترو ف
قول تسسوا ِ أ
ن ِت أ ت
وأل
دو ت
وا ء
ن ِ ء
سسسررا ِإ ءرل ِأ و
م و
عسس ت
ه ر
وفل ِ أ
فسساَ ِ أ
قسس و
أل ِت ت أ
أ
ة ِالن ن أ
ع و
مسسوا
ى ِي أب ول ت أ
وا و
قدأ أ
موا ِ ت
ب ِأ أ
غ ِال وك ءأتاَ ت
ح ِ أ
تأ و
عل أ ت
جل أسس ت
ز ت
ه ِ أ
حت ر ل
ع ء
كاَ ء
أ
أ
م ِ أ
فسسيِ ِأ أن و ت
ن
وا و
ماَ ِ ء
ف ء
مسسوا ِأ ر
أ ر
فاَ و
ه ِي أ و
عل أ ت
حسسذأترو ت
سسسك ت و
م ِ أ
عل أ ت
ن ِالل ر أ
ه ِ أ
عل أيِ و ت
ه ِ أ
غ ت
ن
ح ِ أ
م ِإ ء و
جأنساَ أ
م ِ ِ ِ ﴿البقسرة﴾ ٢٣٥:أل ِ ت
فسومر ِ أ
كس و
حءليِس م
الرلس أ
أ
و ِت أ و
طأل ر و
ن
سسسو ت
سسساَ أ
ر ت
ضسسوا ِل أ ت
م س
م ِالن ن أ
هسس ر
ه ر
م ِت أ أ
مسساَ ِل أسس و
ء ِ أ
قت تسس ت
ن ِأ و
ف ء
م و
ع ِ أ
أ
ر
و أ
ن ِ أ
ض ف
عو ت
ري أ
مو ء
مت ن ت
ه ر
عألسسى ِال و ت
قدأتر ت
عألى ِال و ت
و أ
ه ِ أ
ة ِ أ
قءتسس ء
ف ء
س ء
ح ر
أ
ن ِ ِ ِ ﴿
قسساَ ِ أ
مأتاَ ف
ح ء
م و
ف ِ أ
عترو ء
م و
سسسءنيِ أ
عألسسى ِال و ت
عسساَ ِءبسساَل و أ
ه ِ أ
قسسدأتر ت
أ
ن ِ أ
ن ِطأل ر و
ن
سسسو ت
مو ت
ن ِ ء
ل ِأ و
وإ ء و
م س
ه ر
مسس و
ه ر
ن ِت أ أ
قت ت ت
قب وسس ء
البقرة ﴾ ٢٣٦:أ
أ
مسساَ ِ أ
ة ِ أ
ن ِ أ
د ِ أ
و أ
ن
ضسس ف
صسس ت
فأر و
ري أ
فأر و
م ِإ ءرل ِأ و
ق و
م ِل أ ت
ه ر
ضسست ت و
ف ِ أ
ضت ت و
فن ء و
أ
ف ء
ة ِالن نك أسساَح ِ ِ أ
أ
ع ت
ع و
ع ت
ع ت
فسسوا
قسسدأ ت
ه ِ ت
د ء
ذيِ ِب ءيِ أ ء
و ِال ر ء
وأ و
فو أ
ن ِت أ و
و ِي أ و
يأ و
ء أ
ف أ
ن ِأ و
وا ِال و أ
ب ِءللت ر و
أأ و
ضسس أ
مسساَ
ف و
م ِإ ء ر
قأر ت
وأل ِت أن و أ
ه ِب ء أ
ن ِالل رسس أ
ل ِب أيِ ون أك تسس و
و ل
س ت
ى ِ أ
ق أ
ن
م تلسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسسو أ
تأ و
ع أ
صيِمر ِ ِ ِ ﴿البقرة٢٣٧:
﴾ب أ ء
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma´ruf. Dan
janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
´iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
)Pengampun lagi Maha Penyantun.” (235
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
)menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut´ah (pemberian
2
kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut.
Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (236)
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteriisterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat
segala apa yang kamu kerjakan.” (237)
B. Tafsir Perkata
م
ِ ِ أSindiran.”
عرر و
ضت ت و
Dari kata ta’ridh yakni isyarat dan sindran tanpa
mengungkapkan tidak pula menunjukan. Yakni ia memahami keinginan orang
yang menyampaikan khibah (lamaran) denga suatu bentuk isyarat tanpa
pernyataan yang tegas. Tar’ridh diambil dari kata ‘ardhu asyi’i yakni sisi sesuatu.
Dalam Al Lisan dikatakan ‘aradha bisyai’i mengatakan sesuatu dengan
sindiran tanpa menjelaskannya. Sindiran adalah kebalikan dari pernyataan tegas.
Sedangkan ma’rid adalah tauriyah (kamuflase) dengan sesuatu dari sesuatu yang
lain. Dalam hadist “Sesungguhnya dalam ma’aridh ada keleluasaan menghindari
dosa”1
Sindiran terkait lamaran seorang perempuan adalah menyampaikan
perkataan yang mengesankan lamaran kepadanya, namun tidak dinyatakan dengan
tegas. Misalnya orang yang mengatakan kamu cantik, kamu benar-benar memikat
banyak orang, dan kamu mengajak kepada kebaikan. Sebagaimana orang yang
membutuhkan bantuan berkata : aku datang untuk menyampaikan salam
kepadamu, dan untuk memandang wajahmu yang mulia. Maka dari itu mereka
mengatakan “Salam dariku sudah cukup bagimu untuk menyelesaikan masalah
kita”.
ء
ساَ ء
ء: Khithbah (peminangan) dengan harakat kasrah pada
خطوب أ ء
ة ِالن ن أ
huruf kha’, yag dimaksud mengajukan permintaan untuk menikah. Sementara
khutbah adalah perkataan yang dimaksudkan untuk meyampaikan nasihat, Dalam
1 Lisan Al-‘arab, Ash Shahah, Tahdzib Al Lughah, dan Al muhith, entri a-ra-dha
3
haidst “Jangan sampai siapapun diantara kalian meminang atas pinagna
saudaranya”
أ
م
ِ ِ ِأك ون أن وت تسسس وDari
kata
akna’
yang
artinya
menutupi
dan
menyembunyikan. Iknan artinya rahasia dan tersembunyi.
Ibnu Qutaibah mengatkan aknantu as-syai’a artinya aku menutupi sesuatu.
Dan kanantu asy-syai’a artinya aku menjaga sesuatu. Sebagaimana firman Allah
Swt, “Seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik.”2
أ
ه
ِأ أYakni brakhirnya masa iddah. Yang dimaksud dengan kitab dalam
جل أ ت
ayat tersebut adalah kewajiban yang telah ditetapkan Allah kepada perempuan
yang menjalani masa iddah seperti tinggal ditempat selama masa iddah.
م
ِ ِ أDia menangguhkan hukuman sehingga dia
حءليِسسس م
tidak
menggerakkannya. Diantara ketentuan Allah Swt. Yang berlaku bahwa Dia
menangguhkan namun dia tidak mengabaikan.
ع
مو ء
ِال و تyang berada dalam kondisi lapang karena kekayaannya. Dari
س ء
م و
kata musi. ر
ِال و تyang berada dalam kesulitan karena kekafirannya.ِ
قت ء ء
ن
سو ت
م س
ه ر
ِت أ أDari
kata massa yakni menahan sesuatu dengan tangan.
Serupa dengan missa atau masis. Ar Ragib mengatakan massa atau missa adalah
sentuhan. Demikian pula sebutan bagi sesuatu yang ditangkap dengan panca indra
sentuhan digunakan sebagai kiasan persetubuhan.
ِ أyang berarti sesuatu yang diwajibkan Allah kepada hambanya.
ة
ض ف
ري أ
ف ء
Yang dimaksud disini adalah mahar karena yang ditetapkan oleh Allah Swt.
أ
ع ت
فون
ِأ وMaksudnya membiarkan dan memaklumi yakni perempuan
ن ِ ي أ و
menggugurkan maharnya
Makna Global
Allah SWT, menjelaskan ketentuan khitbah kepada perempuan-perempuan
yang menjalani masa ‘iddah setelah suami mereka wafat. Allah SWT berfirman
yang maknanya tidak ada hambatan tidak pula dosa bagimu, wahai para lelaki
untuk menunjukkan kesukaanmu untuk menikahi dengan perempuan-perempuan
yang menjalani masa ‘iddah, melalui isyarat mata bukan dengan pernyataan
terbuka. Sesungguhnya Allah SWT mengetahui kecondongan hati kepada mereka
yang kamu sembunyikan di hatimu dan hasrat untuk menikah dengan mereka,
namun Allah tidak menghukummu atas itu. Akan tetapi kamu tidak diperkenankan
untuk mengungkapkan hasrat ini secara terbuka sementara mereka masih dalam
2 Ibnu Al Jauzi,Zad Al Masir,jil 1,hal 277
4
masa ‘iddah, kecuali melalui sindiran dan dengan cara yang baik, dengan syarat
tidak ada perkataan jorok atau kata-kata yang tidak pantas. Janganlah kamu
mengukuhkan niatmu untuk mengadakan akad nikah sebelum masa ‘iddah
berakhir. Dan ketahuilah bahwa Allah memantau rahasia-rahasia dan apa-apa yang
kamu sembunyikan serta memperhitungkan tindakanmu itu.
Kemudian Allah SWT menyebutkan ketentuan bagi perempuan yang
dijatuhi talak sebelum mendapatkan mahar dan sebelum terjadi hubungan intim.
Allah tidak melarang talak sebelum suami istri hidup serumah, agar tidak ada
seorang pun yang menduga bahwa talak pada kondisi ini dilarang. Allah
memerintahkan pembayaran mut’ah kepada mereka untuk melipur hati mereka
sesuai dengan batas kemampuan laki-laki menurut tingkat kecukupan dan
kekurangannya, serta menetapkan ini sebagaibentuk ihsan untuk menghapus
kesepian akibat talak. Adapun jika talak terjadi sebelum hubungan intim
sementara mahar sudah disebutkan, maka perempuan yang ditalak berhak
mendapatkan setengah mahar yang ditetapkan, kecuali bila ia menggugurkan
haknya, atau suami menyerahkan mahar penuh kepadanya, atau walinya
mengugurkan haknya bila ia masih kecil.
Kemudian Allah SWT menutup ayat dengan mengingatkan agar tidak ada
yang melupakan kasih sayang, ihsan dan kebaikan diantara suami istri.jika talak
terjadi dengan sebab-sebab yang bersifat darurat dan memaksa, maka semestinya
tidak boleh menjadi faktor yang memutus ikatan kekeluargaan dan hubungan
kekerabtan.3
Sebab Turun Ayat
Al-Khazin berkat dalam tafsirnya: ayat kedua diturunkan tentang seorang
laki-laki Anshar yang mengawini seorang perempuan Bani Hanifah dengan tidak
menyebutkan maharnya, lalu dicerainya sebelum dicampuri. Begitulah, lalu turun
ayat ketiga. Sesudah itu lalu Rasulullah SAW bersabda kepada laki-laki tersebut.
“berilah dia mut’ah sekalipun dengan kopiahmu itu”.
Ragam Qira’ah
3 Jami’ Al-Bayan, Majma’ Al-Bayan dan Tafsir Al-Manar.
5
1. Jumhur membacanya ma lam tamssuhunna. Hamzah dan Al-Kisa’i
membacanya itumassuhunna, dengan alif dan dhammah pada ta’ di dua
tempat, di sini dan dalam surah Al-Ahzab. Ini merupakan pola kata
mufaalah seperti mubasyarah dan mujamaah.4
2. Jumhur membacanya ‘alal-musi’i qadaruhu. Ibnu Katsir dan Nafi’
membaca qadruhu, dengan sukun pada dal.
3. Jumhur membacanya wa an ta’fu aqrabu lit-taqwa. Dibaca juga dengan ya’;
wa an ya’fu.5
Ragam I’rab
Pertama, firman Allah swt “wa lakin la tuwa’iduhunna sirran. Kata lakin
sebagai huruf istidrak.sementara mustadraknya dibuang dengan menyimpan
kalimat “Alimallahu annakum satadzkurunahunna fadzkuruhunna walakin la
tuwa’iduhunna”. Kata sirran sebagai maful bih karena ia mengandung pengertian
nikah. Kemungkinan juga posisinya dijadikan sebagai hal denganmengirangirakan makna mustakhfina, sementara mafulnya dibuang.
Kedua, firman Allah, “wala ta’zimu ‘uqdatannikahi” bentuk nashab dengan
membuang huruf jar.
Ketiga, firman Allah “Ma lam tamussuhunna”. Ma mashdariyah dengan
membuang zaman yaitu fi zamani tarki massihinna. Ada yang berpendapat, Ma
disini adalah Ma Syarthiyyah.
Keempat, firman Allah “ifanishfu ma farradhtum” menjadi khabar dengan
mubtada’ yang dibuang. Jika ditampakan maka berbunyi: falwajibu nishfu ma
farradhtum atas fa ‘alaikum nushfu ma farradhtum. Ma isimmaushul dengan makna
alladzi.
Kelembutan Tafsir
1. Al-Qur’an membolehkan meminang perempuan dalam masa ‘iddah dengan
cara menggunakan bahasa sindiran, seperti ucapan “kamu perempuan yang
cantik, kamu shalehah, engkau dermawan dan sebagainya, yang diucapkan
4 Jami’ Al-Bayan, jilid. II, hal. 529, Zad Al-Masir, hal. 297, Al-Qira at As-sab’u, hal. 81.
5 Majma’ Al-Bayan, jil. II, hal. 341, ZAD Al-Masir, jil. I, hal. 281, Tafsir Abi As-Su’ud, jil. I, hal.
179.
6
di hadapannya”. Imam Mubarak meriwayatkan dari Abdur Rahman bin
Sulaiman dari bibinya (Sukainah binti Handhalah), ia berkata: “Abu Ja’far,
Muhammad bin Ali, pernah masuk ke rumahku, di saat aku masih dalam
masa ‘iddah, lalu ia berkata: aku ini orang yang engkau tahu betul akan
kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan hak kakekku, Ali, serta jejakku
dalam Islam, lalu aku berkata: “Semoga Allah mengampunimu, Hai Abu
Ja’far, apakah engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam masa
‘iddah dan (apakah) engkau mau disiksa? Abu Ja’far menjawab: apa aku
sudah berbuat? Aku hanya memberitahumu akan kekerabatanku dengan
Rasulllah SAW serta kedudukanku (dalam keluarga). Bukankah Rasulullah
SAW juga pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika Abu Salamah
meninggal dunia dan Rasulullah SAW sendiri yang terus menerus
menyebut-nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di sisi Allah,
sedangkan dia bertanggung jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar melekat
pada dirinya namun yang demikian itu tidak dinamakan meminang.6
2. Khithab dalam firman Allah: “Bahwa memaafkan itu jalan terdekat menuju
ketakwaan” dan “jangan kamu lupakan kelebihan di antara kamu” itu tertuju
kepada pria dan wanita, yang disampaikan secara umum. Ar-Razi berkata:
“apabila pria dan wanita hendak disebut secara bersamaan, maka pada
umumnya cukup dengan menyebutkan pria. Sebab pria. Sebab pria menjadi
inti, sementara wanita sebagai pelengkap atau cabang. Misalnya kamu
mengatakan: ada orang yang (laki-laki) berdiri, sementara yang kamu
maksud adalah perempuan7.
3. Himah diwajibkannya memberi biaya hidup kepada istri yang ditalak adalah
untuk menghilangkan perasaan sedih karena talak. Ibnu Abbas berkata:
“Apabila suami orang kaya, maka bentuk biaya hidup berupa pelayanan.
Dan apabila miskin, bentuk biaya hidup yang diberikan berupa tiga helai
baju”.
C. Kandungan Hukum
6 Jami’ Al-Bayan, jil. II, hal. 519 dan Al-Kasysyaf, jil. 1, hal, 214.
7 Ali Ash Shobuni, Tafsir Ayat- Ayat Ahkam, Surabaya: Keira Publishing, 2016 hlm 336-337
7
1. Hukum Meminang Perempuan
Terkait meminang perempuan, ada tiga hukum, yaitu :
a. Perempuan yang boleh dipinang dengan terang-terangan dan dengan sindiran.
Yaitu perempuan yang masih sendirian dan bukan dalam masa iddah. Sebab
manakala dia boleh dinikahi, tentu juga boleh dipinang.
b. Perempuan yang tidak boeh dipinang, baik degan terang-terangan maupun dengan
cara sindiran. Yaitu: perempuan yang masih memiliki suami. Sebab meminang
perempuan dalam keadaan demikian, bearti merusak hubungan suami-istri dan
hukumnya haram. Begitu juga perempuan yang ditalak raj’i yang masih dlam
iddah. Dia ini dihukumi sebagai perempuan yang masih dalam perkawinan.
c. Perempuan yang boleh dipinang dengan cara sindiran, tidak boleh dengan terangterangan. Yaitu, perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah..
seperti yang diisyaratkan Al-Qur’an: “dan tidak ada dosa atas kamu meminang
perempuan itu dengan sindiran.” Termasuk perempuan yang ditalak tiga.
Dalil bagi terlarangnya peminangan ini adalah apa yang dilakukan Imam Syafi’i:
Dikhususkannya dengan tidak berdosa peminangan dengan terang-terangan
adalah sebaliknya” pernyataan ini merupakan bentuk dari mafhum mukhalafah.
2. Sah atau tidak pernikahan yang dilakukan pada masa iddah ?
Allah mengharamkan pernikahan selama dalam
iddah
dan
mewajibkannya agar menanti, baik dalam iddah talak ataupun meninggal.
Sebagai landasannya adalah firman Allah: “Dan jangan kamu berazam untuk
mengadakan aqad nikah, sehingga habis masa iddahnya”. Ayat ini menunjukkan
haramnya mengadakan akad perkawinan dalam iddah. Ulama sepakat bahwa
akadnya itu fasid, dan wajib difasakh karena larangan Allah tersebut. Dan
apabila aqad itu dilangsungkan lalu hidup berumah tangga, pernikahannya itu
harus difasakh, dan perempuan itu haram bagi suaminya untuk selama-lamanya.
Demikian menurut Imam Malik dan Ahmad. Alasannya ialah keputusan Umar.
Karena Laki-laki itu menganggap halal sesuatu yang tidak halal, karena itu dia
harus dihukum dengan diharamkannyakawin dengan perempuan tersebut. Tak
ubahnya pembunuh yang harus dihukum dengan diharamkannya mendapatkan
warisan (dari harta si terbunuh.
Abu Hanifah dan Syafi’i berkata: “perkawinannya itu difasakh, tetapi kalau
perempuan itu sudah keluar dari masa iddahnya, maka laki-laki yang
mengawininya tadi dinilai sebagai “peminang”, dan tidak diharamkan untuk
kawin dengan perempun tersebut untuk selamanya. Karena pada asalnya
8
perempuan tersebut tidak haram atasnya, dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah
serta Ijma’. Haram untuk selamanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan masalah ini.” Mereka juga berkata: “zina – misalnya – adalah lebih besar
dosanya daripada akad dalam iddah. Kalau zina saja tidak dapat menjadikan
haramnya perkawinan untuk selamanya, maka percampuran karena syubhat
lebih tidak menunjukkan haramnya perkawinan. Apa yang diriwayatkan dari
Umar tadi sudah ada penegasan, bahwa ia ialah menarik kembali pendapatnya
itu.
Keputusan Umar sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mubarak dengan
sanadnya dari Masruq adalah “sampailah berita kepada Umar, bahwa ada
seorang wanita quraisy yang dikawini seorang laki-laki dari Tsaqif, padahal
wanita tersebut masih dalam iddah. Lalu Umar mengirim utusan kepada suami
istri itu untuk menceraikannya serta menghukumnya. Dalam hukumannya itu,
Umar mengatakan: “Si laki-laki
itu tidak boleh kawin dengan perempuan
tersebut untuk selama-lamanya dan menetapkan maharnya untuk baitul mal.”
Berita itu tersiar di kalangan masyarakat, bahkan sampai juga kepada Ali
karramahullah wajhah. Maka Ali berkata: semoga Allah memberi rahmat
kepada Amiral Mukminun! Apa gerangan halnya mahar dan baitul mal, itu
adalah karena tidak tahu. Keduanya harus dikembalikan kepada sunnah. Lalu Ali
ditanya: “kalau begitu apa pendapatmu tentang mahar dan baitul mal itu? Ali
menjawab: “perempuan tersebut tetap berhak mendapat mahar, karena telah
dihalalkan kemaluannya, tetapi keduanya harus diceraikan dan tidak usah didera.
Iddahnya disempurnakan dari suami pertama, kemudian beriddah dari suami
yang kedua dengan iddah yang sempurna, kemudian kalau dia mau, dia boleh
meminangnya.
Setelah pendapat Ali itu sampai kepada Umar, lalu Umar berkata: “Hai manusia!
Kembalikanlah semua yang tidak tahu itu kepada sunnah!”.
3. Bagaimana hukum perempuan yang ditalak sebelum bersetubuh?
Beberapa ayat sudah menjelaskan tentang hukum perempuan yang ditalak,
diantaranya:
a. Perempuan yang sudah disetubuhi dan sudah ditentukan maharnya .
b. Perempuan yang disetubuhi dan belum ditentukan maharnya.
c. Perempuan yang belum disetubuhi tetapi sudah ditentukan maharnya.
d. Perempuan yang sudah disetubuhi tetapi belum ditentukan maharnya.
9
Pertama, iddahnya selama tiga quru’ dan maharnya tidak boleh diminta
oleh suami. Sebagai dasarnya adalah firman Allah: “Dan perempuan-perempuan
yang ditalak itu hendaklah menunggu diri mereka selama tiga quru’”. Dan ayat
“Dan tidak halal bagi kamu menarik kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka”. (QS. Al-Baqarah : 228-229).
Kedua, tidak ada iddahnya dan tidak berhak menerima mahar, tetapi
berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok. Sebagai dasarnya adalah
firman Allah: “Tidak ada mahar atas kamu, jika kamu menceraikan perempuanperempuan yang belum kamu campuri mereka itu atau belum kamu tentukan
maharnya, tetapi berilah mereka mut’ah”. (QS. Al-Baqarah : 236). Dan
“....kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu campuri mereka itu, maka
tidak ada hak kamu atas mereka dari iddah yang perlu kamu hitung”. (QS. AlAhzab : 237)
Ketiga, tidak ada iddahnya tetapi mendapatkan separuh mahar. Dasarnya
ialah firman Allah: “Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu campuri
mereka itu padahal sudah kamu tentukan maharnya, maka mereka berhak
mendapatkan separuh dari (ahar) yang telah kamu tentukan itu”. (QS. AlBaqarah : 237).
Keempat, berhak mendapat mahar yang sepadan. Sebagai dasarnya adalah
firman Allah: “Dan istri-istrimu yang telah kamu nikmati itu, berilah mereka
mahar...” (QS. An-nisa’ : 24). Juga berdasarkan pada ijma’ para ulama yang
menyatakan bahwa perempuan yang sudah disetubuhi suaminya karena suatu
syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar yang sepadan. Sedang perempuan yang
sudah disetubuhi dengan pernikahan yang sah, dia lebih berhak, berdasarkan
hukum ini.
4. Apakah pemberian biaya hidup hukumnya wajib terhadap perempuan yang
ditalak?
Mengacu pada firman Allah “Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah
bagi yang mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang
patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang brbuat kebaikan”. Maka
memberikan mut’ah (pemberian) kepada perempuan yang belum dicampuri dan
belum ditentukan maharnya, hukumnya wajib.
10
5. Apa yang di maksud dengan mutah (hadiah) dan batasannya?
Mut’ah adalah pemberian seorang suami kepada istrinya yang sudah
diceraikan baik berupa uang, pakaian, atau kebutuhan lain, sebagai bantuan dan
penghormatan kepadanya, serta mempersempit efek negatif dari talak yang
dijatuhkannya. Sementara untuk nilai besaran mut’ah disesuaikan dengan batas
kemampuan.
Imam Malik berkata “Menurutku, ukuran besarnya mut’ah tidak ada
batasan yang pasti, baik minimal, maupun maksimal”.
Imam Syafi’i berkata “ Bagi orang yang mampu dianjurkan memberi
mut’ah berupa seorang pembantu, sedangkan orang yang memiliki kemampuan
standar, maka besaran mut’ah yang diberikan adalah separuh, berupa 30 dirham.
Dan bagi orang yang tidak mampu ia dipersilahkan memberi sesuai dengan
kemampuannya”.
Abu Hanifah berkata “ Ukuran munimal pemberian mut’ah berupa baju,
kudung,dan tusuk konde,dan tidak lebih dari setengah mahar”.
Ahmad berkata “ Bentuk mut’ah yang diberikan berupa baju kurung dan
kudung yang sekedar cukup dipakai untuk melaksanakan sholat. Pemberian ini
sesuai dengan kemampuan suami, sebagaimana firman Allah “ Wajib atas orang
kaya menurut kemampuannya dan atas orang miskin menurut kemampuannya”.
Dan yang menentukannya adalah seorang hakim.
Hikmah Tasyri’
Allah Swt menetapkan hukum mut’at bagi perempuan yang ditalak, yang
disesuaikan dengan kemampuan suami. Hukum pemberian mtah adalah wajib
bagi perempuan yang belum disetubuhi dan belum ditentukan maharnya. Hikmah
dibalik ketentuan semua ini, karena cerai sebelum adanya persetubuhan berarti
suatu kehinaan
bagi perempuan dan kurang enak didengarkan orang serta
menimbulkan rasa kecurigaan orang lain.
Islam menyuruh kita agar menjaga terus kehormatan orang lain sesuai
dengan batas kemampuan dari gunjingan-gunjingan orang lain. Karena itulah
Islam sangat menganjurkan untuk memperhatikan anjuran-anjuran ini.
Sesungguhnya tali ikatan dalam pernikahan dan kehidupan bersama adalah
suci. Oleh karena itu, bagi orang yang menikahi seseorang perempuan dari suatu
keluarga, kemudia menalaknya, hendak ia tidak melupakan cinta dan kasih sayang
keluarganya. Dan agar berhubungan baik sesama mereka tetap berkelanjutan.
11
Kesimpulan
1. Diperbolehkan meminang perempuan yang masih dalam iddah karena
ditinggal mati suaminya atau karena talak ba’in, namun dengan cara
sindiran.
2. Diaharaman melakukan kad nikah dengan perempuan yang masih dalam
masa iddah. jika terjadi pernikahan maka pernikahannya tidak sah.
3. Humu memeberi muta bagi perempuan yang ditalak dan belum ditentukan
maharnya, adalah wajib, dan sunnah bagi perempuan lainnya
4. Diperbolehkan menalak istri yang belum dicampuri sekiranya ada hal yang
mendesak.
5. Perempuan yang ditalak dan belum pernah dicampuri, ia berhak mendapat
setengah mahar apabila maharnya telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, Preada Mnedia Group: Jakarta,cet I. 2006
Hamidi, Muammal dan Imron A. manan, terjemahan Tafsir AYat Ahkam asShobuni, Bina Ilmu: Surabaya. Cet I, 1983
Mustofa, Ahmad al-Maroghi,Terjemeah afsir al-Marogh, Toha Putra: Semarang,
cet II,1993
Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir Ayat Ahkam Minal Qur’an,
diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat- Ayat
Ahkam, Surabaya: Keira Publishing, 2016
12