BANGSAWAN SERDANG DALAM REVOLUSI INDONES

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Di jaman kuno dimasa hidupnya Aristoteles , dia telah menyatakan bahwa dalam
suatu negara selalu terdapat mereka yang kaya sekali , mereka yang melarat , dan
mereka yang berada ditengah – tengahnya. Uraian yang dikemukakan Aristoteles itu
membuktikan bahwa dimasa itu telah dikenal sistem lapis - berlapis dalam
masyarakat , dan besar kemungkinan dijaman sebelumnya orang sudah mengenal
adanya lapisan – lapisan di dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat
– tingkat dari bawah keatas.1
Begitu juga kiranya bangsawan Melayu Serdang sebagai salah satu bagian dari
lapis - berlapis dari masyarakat Melayu yang ada di Serdang mempunyai kedudukan
lebih tinggi sedikit dari masyarakat Melayu di Serdang oleh karena adanya semacam
“kontrak sosial” yang dilakukan penduduk setempat dengan Tuanku Umar Johan
Pahlawan Alamsyah bergelar Kejeruan junjongan ( 1703 - 1782 ) yang tidak berhasil
merebut haknya atas tahta Deli dalam perebutan dengan saudaranya Panglima Gandar
Wahid sewaktu terjadinya perang suksesi sekitar tahun 1720. Maka ia bersama
ibundanya Tuanku Puan Sampali pindah dari Sampali dan mendirikan Kampung Besar

1


Muhammad Abduh , et. al. Pengantar Sosiologi ( Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara , 1984 ) , hal. 61.

1

( Serdang ) disekitar tahun 1723.2 Kampung besar yang mereka dirikan itu dalam
perkembangan selanjutnya menjadi negara dan mendaulatkan mereka sebagai
bangsawan Serdang. Namun beberapa abad kemudian bangsawan Melayu Serdang itu
dipaksa melepaskan kekuasaannya atas warisan berkuasa yang mereka terima secara
turun – temurun dari pendahulu terdahulunya melalui suatu revolusi.
Revolusi itu bermula dari kejatuhan imprealisme Jepang kemudian disusul oleh
adanya pendeklarasian kemeredekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Deklarasi
kemeredekaan inilah yang dikenal sebagai awal dari revolusi Indonesia. Dalam
perkembangan selajutnya revolusi Indonesia di Sumatera Timur ini tidak hanya
menuntut pembentukan pemerintahan nasional tetapi juga mengarah kepada
“pemebersihan” antek – antek Belanda. Pembersihan antek – antek Belanda ini lebih
mengarah kepada bangsawan – bangsawan Melayu yang juga imabsan “pembersihan”
itu diarahkan juga kepada bangsawan Melayu Serdang. Bagian dari pembersihan ini
secara resminya lebih dikenal dengan sebagai “Maret Kelabu” atau revolusi sosial

1946 di Sumatera Timur tersebut.
Berbeda dari penulisan sejarah – sosial ekonomi di jurusan sejarah pada fakultas
Sastra USU ; penulisan sejarah revolusi kurang begitu banyak dibandingkan dengan
penulisan sejarah sosial – ekonomi tersebut. Padahal menurut keyakinan saya bahwa
pengkajian sejarah itu tidak hanya menganalisa tentang sejarah sosial – ekonomi saja ,
tetapi ada semacam yang terlupa oleh kita bahwa ilmu sejarah yang mengkhususkan

2

Luckman. Sari Sejarah Serdang ( Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , 1970 ) hal.

18.

2

diri ke sejarah politik dalam artian mengkaji sejarah revolusi juga sangat penting.
Walaupun kepustakaan mengenai bangsawan Melayu Serdang dalam revolusi
Indonesia di Sumatera Timur cukup luas dan banyak penulis yang mengulas akan soal
ini ; namun kiranya penulis beranggapan bahwa pengkajian revolusi itu bersifat umum.
Artinya ada menurut keyakinan saya bahwa hal – hal yang lebih khusus terabaikan dan

belum banyak yang dikaji oleh penulis lain. Untuk mencari dan mengungkapan hal –
hal khusus itu saya berusaha untuk mengungkapkanya ke dalam skripsi ini. Saya sudah
mempertimbangkan seandainya nanti kiranya dijumpai sedikit sekali kemajuan yang
dicapai oleh saya dalam mencari dan mengungkapkan hal – hal khusus tersebut , saya
siap menerima hasil ini dengan hasil yang terburuk sekalipun.
Ada suatu pernyataan yang berbunyi sebagai berikut : “politik adalah sejarah masa
kini dan sejarah adalah politik masa lalu”.3 Dari pernyataan ini kiranya dapatlah
diartikan bahwa politik sangat berhubungan dekat dengan sejarah khususnya sejarah
politik yang menganalisa revolusi Indonesia di Sumatera Timur.
Di Sumatera Timur banyak dijumpai kerajaan – kerajaan Melayu seperti
diantaranya kerajaan Serdang , kerajaan Deli , dan kerajaan Langkat. Ketiga kerajaan
Melayu ini terkena revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia dari tahun 1945 sampai
dengan tahun 1950 merupakan suatu revolusi yang dimengerti oleh bangsa Indonesia
sebagai suatu cara untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan asing atau dalam
artian sebagai cara untuk merebut kemerdekaan. Arti revolusi bagi kebanyakan rakyat

3

Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah ( rev . ed. ; Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama , 1993 ) , hal. 6.


3

di Sumatera Timur ialah ingin melakukan perubahan kehidupan dari kehidupan susah
menjadi kehidupan senang walaupun menghalalkan segala cara. Revolusi Indonesia di
Sumatera Timur berarti melenyapkan kekuasaan kaum bangsawan atas peri kehidupan
rakyat , karena bangsawan dianggap rakyat sebagai kakitanggannya kaum penjajah.
Bertolak dari pokok pikiran terdahulu , maka penelitian ini bermaksud untuk
mempelajari bangsawan Melayu Serdang dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur
yang dengan batasan waktu dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1950.

1.2 Batasan Masalah dan Pengertian
Agar penelitian dapat lebih mendalam dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
maka kiranya saya perlu memberikan batasan jangkauan dari segi ruang lingkup
maupun daerah penelitian yang menyangkut bangsawan Melayu Serdang dalam
revolusi Indonesia. Sedangkan daerah penelitian terbatas di Sumatera Timur tetapi
bukan Sumatera Timur keseluruhan melainkan hanya terbatas di kerajaan Serdang.
Adapun yang saya maksudkan dengan pengertian bangsawan Melayu Serdang
dalam penelitian ini ialah sekelompok orang – orang Melayu yang dapat berkuasa dan
mendirikan kekuasaanya tersebut di wilayah yang mereka daulatkan sebagai kerajaan

Serdang.
Yang saya maksudkan dengan revolusi Indonesia ialah suatu gelombang besar dari
pemberontakan rakyat untuk merebut kembali kebebasaannya yang telah hilang dari
tangan rezim yang ada.

4

Sedangkan yang saya maksudkan dengan pengertian 1945 – 1950 dalam penelitian
ini ialah merupakan kurun waktu lahirnya gerakan rakyat untuk mencapai kebebasan
untuk mengatur dan mengurus diri dan lingkungannya terlepas dari kekuasaan –
kekuasaan manapun yang menghadangnya.
Penggunaan istilah Bangsawan Melayu Serdang Dalam Revolusi Indonesia Di
Sumatera Timur ( 1945 – 1950 ) yang saya maksudkan dalam penelitian ini yakni
berarti : Keberadaan Bangsawan Melayu Serdang di tengah – tengah gelombang besar
dari gerakaan pemberontakan rakyat untuk membebaskan diri dan lingkungannya atas
kekuasaan manapun yang menghadangnya ; memakan waktu selama lima tahun.
Jadi berdasarkan atas uraian – uraian terdahulu yang saya perbuat sebelumnya ,
maka kiranya dapatlah dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bangsawan Melayu Serdang dalam memahami revolusi
Indonesia di Sumatera Timur itu dari keanekaragaman dan pertumbuhannya

yang dinamis serta subur tersebut.
2. Seperti apa bentuk / tampilan yang digunakan bangsawan Melayu Serdang
dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur itu.

1.3 Tinjauan Pustaka
Bahan – bahan literatur yang kiranya relevan dengan kajian yang akan saya teliti
adalah karya dari Anthony Reid ; The Blood Of The People Revolution And The End
Of Traditional Rule In Northern Sumatra , yang diterjemahkan oleh Tim PSH ( Pustaka
Sinar Harapan ). Dalam karyanya ini hal – hal yang dapat penulis ambil adalah

5

mengenai kajian dari susunan daulat raja – raja Melayu ; dalam karya ini digambarkan
bagaimana keahlian khas raja – raja Melayu dalam menjalin hubungan dengan
penduduk yang suka merompak dan suku – suku lain yang lebih besar jumlahnya tanpa
mengorbankan nilai – nilai adat kebiasaan dari raja – raja Melayu tersebut. Yang lebih
penting dalam karya ini juga menggambarkan pelopor – pelopor revolusi di Sumatera
Timur tersebut. Disamping The Blood Of The People Revolution And The End Of
Traditional Rule In Northern Sumatra yang diterjemahkan ini , Revolusi Nasional
Indonesia juga menjadi kerangka analisa utama saya dalam penulisan skripsi ini

disamping karya – karya pendukung lainnya.
Karya selanjutnya yang saya pakai adalah karya dari Tengku Luckman Sinar
dalam Sari Sejarah Serdang. Pada karya ini , saya merasa terbantu untuk mengerti akan
latarbelakang dan mengenai daerah – daerah yang masuk kedalam wilayah kerajaan
Serdang tersebut. Disamping Sari Sejarah Serdang ; Jati Diri Melayu juga saya pakai
karena dengan adanya karya ini saya lebih memahami akan budaya politik Melayu
yang kiranya membantu saya dalam memahami akan bangsawan Melayu Serdang.
Selanjutnya tulisan dalam Denyut Nadi Revolusi yang menguraikan disekitar Sumatera
Timur menjelang proklamasi dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Izharry Agusjaya Moenzir dalam Tengku Nurdin : Bara Juang Nyala Di Dada ;
karya ini menguraikan bagaimana perjalanan hidup seorang bangsawan revolusioner
dari kehidupan dalam istana hingga terjun langsung kekancah pertempuran untuk
mendukung revolusi Indonesia di Sumatera Timur tersebut.

6

Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah cetakan ke – 2 oleh Sartono
Kartodirdjo ; alasan saya memilih bahan literatur ini oleh karena saya untuk
memahami penulisan skripsi ini membutuhkan salah satu pegangan metodologis dalam
hal mempertanggungjawabkan secara ilmiah dari kajian yang saya teliti. Dalam karya

ini banyak hal yang dapat saya ambil untuk lebih memperkuat landasan kajian yang
saya teliti seperti untuk konsep dan perspektif sejarah ( Teori dan Metodologi Sejarah )
serta pengertian pendekatan – pendakatan yang dilakukan ilmu sejarah terhadap ilmu –
ilmu sosial lainnya.
Selain karya dari Sartono ; saya juga menggunakan bahan – bahan literatur lain
untuk metode dari penulisan sejarah. Karya yang saya anggap sangat membantu juga
adalah karya – karya sejarah yang di sunting dari beberapa makalah yang digabungkan
kedalam satu karya seperti Pemahaman Sejarah Indonesia : Sebelum dan Sesudah
Revolusi oleh William H. Frederick dan Soeri Soeroto. Dalam karya ini yang dapat
saya ambil sebagai penambah untuk mengarahkan saya kiranya menuju kearah
kesempurnaan dalam pengkajian dari permasalahan yang saya teliti ; seperti , empat
unsur dalam pemikiran sejarah yang merupakan proses untuk dapat memahami masa
lampau yang umum diakui di dunia masa kini sebagai sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan. Selain unsur pemikiran sejarah hal – hal yang saya ambil dalam karya ini
adalah landasan utama daripada metode sejarah ; bagian ini menerangkan
bagaimanakah seorang historiograf dalam menangani bukti – bukti yang diyakini
sebagai sesuatu dari bukti sejarah kemudian setelah didapat bukti – bukti tersebut
bagaimana menghubungkan dari satu bukti ke bukti yang lainnya.

7


Abdul Latiff Abu Bakar dalam Melaka dan Arus Gerak Kebangsaan Malaysia
dalam karya ini ada diungkapkan mengenai budaya politik Melayu ; untuk memahami
akan budaya Melayu maka sangat tetaptlah kiranya saya memakai tulisan Abdul Latiff
Abu Bakar ini.
Tim Pengumpulan , Penelitian , dan Penulisan Sejarah Perkembangan
Pemerintahan DATI I Sumatera Utara dalam Draf Sejarah Perkembangan
Pemerintahan propinsi Sumatera Utara , 1945 – 1950. Karya ini menguraikan
mengenai hal – hal Sumatera Utara dalam revolusi Indonesia.
Karl J. Pelzer dalam Planter And Peasant , Colonial Policy And The Agrarian
Strunggle In East Sumatera ( 1863 - 1947 ) atau Toen Keboen Dan Petani : Politik
Kolonial Dan Perjuangan Agraria Di Sumatera Timur ,

1863 – 1947 yang

diterjemahkan oleh J. Rumbo. Pada karya ini secara luas meguraikan kehidupan kaum
bangsawan

setelah


kedatangan

bangsa

asing

yang

secara

tidak

langsung

memperkenalkan keberadaan Sumatera timur tersebut.
Selanjutnya tulisan dari

Indera dalam Peranan Deli Spoorweg Maatchappij

Sebagai Alat Transportasi Perkebunan Di Sumatera Timur , 1883 – 1940 dalam Buletin

Historisme edisi

No. 9 bulan Januari ditahun 1998. Dalam tulisan ini diuraikan

bagaimana suatu perusahaan perkebunan dapat membuka kota seperti kota Medan ,
Binjai , Tebing Tinggi , dan lain – lain. Disamping karya Peranan Deli Spoorweg
Maatchappij Sebagai Alat Transportasi Perkebunan Di Sumatera Timur , 1883 – 1940
didalam buletin yang sama di edisi No. 11 pada bulan Januari ditahun 1999 dengan
tulisan Perkebunan Tembakau Deli , 1863 – 1891 menguraikan bahwa dengan

8

ditemukannya tanaman tembakau yang berkualitas sangat membantu Sumatera Timur
dalam pemasukan devisa ke kas dibanyak negara di Sumatera timur.
George Mc Turnan Kahin dalam Nationalism And Revolution In Indonesia , atau
Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik : Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia
yang diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto. Dalam karya ini digambarkan
bagaimana awal – awal dari revolusi Indonesia sampai pengakuan kedaulatan Belanda
atas keberadaan Indonesia.
Panitia Konfrensi Internasional dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Karya ini
menguraikan bagaimana sebenarnya gerakan – gerakan revolusioner yang dilakukan
oleh rakyat dalam revolusi Indonesia yang mewabah diseluruh wilayah Indonesia.
Ben Anderson dalam Java In A Time Of Revolution Occuption And resistences ,
1944 – 1946 atau Revolusi Pemuda : Pendudukan Jepang dan Perlawanan Di Jawa ,
1944 – 1946 yang diterjemahkan oleh Jiman Rumbo. Dalam karya ini saya merasa
terbantu dalam memahami akan latarbelakang pemuda menjadi radikal. Karya ini juga
menguraikan bagaimana hubungan Tan Malaka melalui persatuan perjuangannya yang
dalam kenyataannya organisasi perjuangan ini dituduh sebagai otak dari tragedi tahun
1946 di Sumatera.
Biliver Singh dalam Dwifungsi ABRI : The Dual Function Of The Indonesian
Armed Forces , atau Dwifungsi ABRI : Asal – Usul , Aktualisasi dan Implikasinya
Bagi Stabilitas dan Pembangunan yang diterjemahkan oleh Robert Hariono Imam
menguraikan bagaimana sebenarnya kelahiran militer dan peran militer Indonesia

9

dalam politik Indonesia di jaman revolusi , khsususnya kebijakan – kebijakan yang
dibuat oleh angkatan darat.
Ulf Sundhaussen dalam Road To Power : Indonesian Military Politics , 1945 –
1967 atau Politik Militer Indonesia : Menuju Dwifungsi ABRI yang diterjemahkan
oleh Hasan Basari. Dalam karya ini diuraikan bagaimana sebenarnya latarbelakang
terbentuknya militer Indonesia dan latarbelakang prajurit dan perwiranya menurut
suku , agama , dan latarbelakang didikan militer yang mereka dapatkan tersebut serta
perkembangan militer itu sendiri.
Ralf Dahrendorf dalam Class and Class Conflik In Industrial Societiey yang
diterjemahkan oleh Ali Mandan dalam Konflik dan Konflik dalam Masyarakat
Industri : Sebuah Analisa Kritik. Pada karya ini saya merasa terbantu untuk mengerti
akan doktrin – doktrin Marxian dilihat dari sudut perubahan historis dan wawasan
sosiologis ; strukstur sosial dan perubahan – perubahan sosial , perubahan sosial dan
pertentangan kelas , pertentangan kelas dan revolusi , pemilikan dan kelas sosial ;
kepentingan kelompok , kelompok – kelompok yang bertentangan , struktur wewenang
negara , peran birokrasi , wewenang politik , dan kelas penguasa.
S.N Eisenstadt dalam Revolution and The Transformation of Societies , yang
diterjemahkan oleh Chandra Johan dalam Revolusi dan Transformasi Dalam
Masyarakat. Pada karya ini saya merasa terbantu untuk mengerti akan sebab musabab
terjadinya revolusi atau perubahan yang revolusioner dengan mengemukakan kerangka
kerja studi perbandingan peradapan. Karya ini di samping memberikan pandangan
baru tentang kekhususan historis dan budaya revolusi sembari menganalisa proses

10

terjadinya perubahan di dalam peradapan – peradapan besar. Bertumpu pada ajakan itu
, Eisenstadt menarik kesimpulan bahwa perubahan revolusioner cendrung mengambil
tempat pada negara – negara kerajaan feodal dan feodal kerajaan.
Tan Malaka dalam Dari Penjara Ke Penjara pada Jilid 1 , menguraikan bagaimana
sebenarnya kehidupan seorang yang berasal dari bangsawan Minangkabau tertarik
akan marxisme. Disamping karya Dari Penjara Ke Penjara pada Jilid 1 , saya juga
memakai karya Tan Malaka yang lain yaitu Madilog. Dalam Madilog ini diuraikan
bagaimana sebenarnya Tan Malaka dalam memahami marxisme dan dia melihat bahwa
marxis “internasional” yang kiranya tidak cocok dengan alam Indonesia. Dalam karya
ini Tan Malaka mengatakan bahwa “komunis Indonesia sudah tumbuh dari jaman
Indonesia kuno dengan gotong – royong sebagai ciri khas utamanaya”. Dalam
pengertian perjuangan kelas Tan Malaka menguraikan sebagai berikut : “pergerakan
revolusioner Indonesia bertumpu pada kerjasama antara semua kelompok atau
golongan yang mempunyai kepentingan bersama untuk mengalahkan musuh – musuh
dari kelompok penentang”.
Notosoetardjo dalam Dokumen – Dokumen Konfrensi Meja Bundar : Sebelum ,
Sesudah dan Pembubarannya. Dalam karya ini dapat dilihat gambaran bagaimana
sebenarnya kebijakan yang diambil untuk politik nasional ditahun 1946 – 1947 baik itu
untuk muatan dalam negeri sendiri maupun untuk kebijakan luar negeri ( perjanjian
dengan Belanda ).
Adnan Buyung Nasution dalam The Aspiration For Constitutional Government In
Indonesia : A Socio – Legal Study Of The Indonesian Konstituante , 1956 - 1959 , atau

11

Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia : Studi Sosio – Legal Atas
Konstituante , 1956 - 1959 yang diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon. Dalam karya ini
yang dapat saya ambil sebagai bahan pengkajian saya ialah bahwa karya ini
menguraikan mengenai latarbelakang proses ketatanegaraan Indoensia beserta pelaku –
pelaku sejarah yang sangat berperan dalam menyusun ketatanegraan ini. Dalam karya
ini juga diungkapkan bagaimana militer ( angkatan darat ) dengan mitra sipilnya
menyususun undang – undang dasar yang akan diberlakukan untuk seluruh wilayah
Indonesia ini.
Seketariat Negara Republik Indonesia dalam 30 Tahun Indonesia Merdeka , dalam
karya ini yang kiranya relevan sebagai bahan yang mendukung pengkajian saya ini
ialah mengenai campur tangan militer ( angkatan darat ) dalam kebijakan – kebijakan
dari politik nasional yang dibuat oleh mitra sipilnya.
Sudijono Sastoadmodjo dalam Perilaku Politik , dalam karya ini yang dapat saya
ambil sebagai salah satu bahan dari pengkajian ini ialah mengenai budaya politik
Indonesia menurut Lucian Pye yang dikutip dalam karya ini ; disamping itu karya ini
lebih membantu saya dalam memahami akan budaya politik para elit.
Jon Elster dalam An Introductions To Karl Marx atau Marxisme : Analisis Kritis
yang diterjemahkan oleh Sudarmaji. Pada karya ini saya merasa terbantu untuk
memahami apa sebenarnya marxisme itu. Samakah marxisme yang diterapkan oleh
dunia internasional dengan marxisme yang diterapkan oleh para revolusioner di
Indonesia. Ternyata marxisme yang sampai di Indonesia hanyalah dipakai sebagai

12

wacana penggerak revolusi Indonesia dan bukan sebagai ideologi yang dilaksanakan
untuk selamanya.
Fransz Magnis Suseno dalam Etika Jawa : Sebuah Analisa Filsafi Tentang
Kebijakan Hidup Jawa , dalam karya ini yang saya ambil hanya untuk sebagai studi
banding mengenai antara pemahaman kekuasaan menurut Jawa dengan pandangan
kekuasaan menurut paham Melayu dan dalam karya ini juga ada ditampilkan
pemahaman kekuasaan menurut Barat.
Karya dari Muhammad Abduh dan kawan – kawan dalam Pengantar Sosiologi.
Dalam karya ini dijelaskan bagaimana peranan sosiologi dalam menganalisa
masyarakat secara umum maupun secara khusus.
Yang terahir karya dari Gorys Keraf dalam Komposisi. Pada karya ini , penulis
merasa terbantu untuk mengerti akan cara – cara mengutip , cara membuat catatan kaki
, penerapan catatan kaki dan singkatan serta penyusunan bibliografi.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Revolusi seperti dinyatakan oleh Jalaluddin Rakhmat merupakan manifestasi
perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi mengengarai fundamental dalam
sejarah , membentuk masyarakat kembali dari dalam dan merancang lagi bangsa.
Revolusi tidak membiarkan apapun seperti sebelumnya ; revolusi menutup satu jaman
dan membuka jaman baru.4 Oleh karena pengetahuan tentang revolusi sangat berguna

4

Rakhmat. Rekayasa Sosial : Reformasi , Revousi atau Manusia Besar (rev . ed. ; Bandung : PT
Remaja Rosdakarya , 2000 ) , hal. 188.

13

untuk kajian sejarah , maka tujuan saya dalam mengkaji akan peristiwa sejarah ini
ialah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah sebenarnya bangsawan Melayu Serdang
dalam

memahami

revolusi

Indonesia

di

Sumatera

Timur

itu

dari

keanekaragaman dan pertumbuhannya yang dinamis serta subur tersebut.
2. Ingin mengetahui seperti apa bentuk / tampilan yang digunakan bangsawan
Melayu Serdang dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur itu.
Oleh karena pengetahuan tentang revolusi juga merupakan sebagai suatu kajian
sejarah yang sampai dengan sekarang ini banyak diminati dan dikaji oleh para
sejarahwan baik internasional maupun serajahwan nasional itu sendiri ; maka saya
berkeyakinan bahwa kajian revolusi ini kiranya bermanfaat untuk :
1. Sebagai salah satu kajian untuk bahan evaluasi sejarah politik dalam artian
memperbanyak kajian sejarah yang berwawasan muatan lokal ;
2. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menambah pengetahuan orang –
orang Melayu akan sejarahnya.

1.5 Metodologi Penelitian
Ilmu sejarah seperti ilmu – ilmu lainnya mempunyai unsur yang merupakan alat
untuk mengorganisasi seluruh tubuh pengetahuannya serta merekontruksi pikiran ,
yaitu metode sejarah. Kalau metode berkaitan dengan masalah “bagaimana orang
memperoleh pengetahuan” ( how to know ) , metodologi menyangkut soal

14

“mengetahui bagaimana harus mengetahui” ( to know how to know ). Secara implisit
metodologi mengandung unsur teori.5
Dalam metode sejarah terdapat empat unsur pemikiran sejarah yang merupakan
proses untuk memahami masa lampau ; diakui umum di dunia masa kini sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan yaitu waktu , fakta ( bisa juga kenyataan ) ,
tekanan pada sebab – musabab , dan tidak lagi membatasi wilayah penyelidikan. Ada
sebuah pernyataan yang baik memberikan indikasi dalam persoalan ini :
“Dalam metode sejarah ini terdapat empat unsur pemikiran sejarah yang
merupakan proses untuk memahami masa lampau ; diakui umum di dunia masa
kini sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Yang paling penting ialah
pengertian waktu ( barangkali harus mengatakan waktu ) sebagai sesuatu yang
langgeng dan berurutan. Para ahli sejarah kontemporer memandang waktu dan
berlalunya waktu dengan kecepatan yang teratur dan yang dapat diukur , sebagai
pangkal pemikiran sejarah oleh karena waktu dan ciri - ciri khasnya itu dapat
diuraikan sebagai sesuatu yang mutlak dalam sejarah. Kejadian hanya terjadi satu
kali dan satu atau dua kejadian hanya dapat mempunyai satu kaitan dalam waktu.
Apa lagi , waktu juga merupakan suatu segi masa lampau yang dapat kita ukur
secara tepat. Seorang sejarahwan moderen haruslah dapat mengerti secermat
mungkin kapan kejadian itu terjadi dan apa kaitannya dengan kejadian yang lain
dalam waktu yang bersamaan atau berurutan. Dalam ukuran yang lebih besar
atau lebih kecil “kerangka besi” ini membentuk segala segi yang menyangkut
tafsiran modern tentang masa lampau. Inilah perbedaan yang antara pandangan
moderen yang pengamatan pra atau non – moderen. Unsur selanjutnya yang harus
dipertimbangkan oleh sejarahwan modren ialah kesadaran akan sifat dasar fakta
– fakta ; yaitu kerumitannya. Dalam bahasa umum kata fakta ( “fact” ) atau bisa
juga : kenyataan , mengandung kepastian yang diterima begitu saja. Tapi ahli
sejarah moderen sadar akan “kelicinan” fakta. Yang paling sederhana sekalipun
merupakan “fakta” , umpamanya ;bahwa sebatang potlot dilihat dari satu sudut
pandangan tanpak panjang dan tipis. Tapi bilamana kita putar potlot itu sehingga
kita lihat dari ujung ke ujung ternyata bentuknya berlainan sama sekali. Kita pun
bisa “tergoda” untuk mengatakan suatu pernyataan yang mencakup berbagai
“fakta”. misalnya orang tua Soekarno adalah guru sekolah yang miskin dengan
penghasilan hanya sekian rupiah sebulan. Fakta – fakta itu dapat digunakan
untuk memperoleh kesimpulan yang menyesatkan bila kita tidak menegaskan
bahwa penghasilan yang sekian rupiah itu serta status pekerjaan seorang guru
sekolah , menempatkan keluarga Soekarno dalam golongan masyarakat teratas
yang berjumlah 2 – 3 persen pada waktu itu. Singkatnya , fakta tidak atau jarang
5

Sartono. Op. Cit. , hal. ix.

15

sekali merupakan bahan keterangan yang abstrak dan mutlak. Fakta itu harus
dilihat dari berbagai sudut sebanyak mungkin , serta diperlakukan dengan berhati
– hati sekali. Segi lainnya dari fakta yang seharusnya diperhatikan oleh
sejarahwan secara khusus ; bahwa yang disebut “fakta” atau “data” murni harus
ditanggapi dengan penuh perhatian , sama seperti halnya dengan. Unsur ketiga
yang merupakan ciri khas pemikiran sejarah moderen ialah tekanan pada sebab –
musabab. Para ahli sejarah masa kini ingin mengetahui sejelas – jelasnya bukan
saja kapan suatu kejadian itu terjadi , apa yang sesungguhnya telah terjadi dan
bagaimana terjadinya , tetapi juga mengapa. Di sini , masalah yang dihadapi
memang tidak sekongkrit masalah waktu atau fakta. Meskipun demikian
pemecahannya tidak dapat dilakukan secara serampangan. Sejarah moderan
mempunyai metode untuk membimbing penyelidikan dan mempertimbangkan
buktinya. Penggunaan metode ini dinyatakan dengan dua pendekatan terhadap
pernyataan tentang sebab – musabab dalam sejarah. Pertama : ada perbedaan
antara “hubungan” dan “sebab”. Bisa saja ada hubungan ( dalam waktu ) ; tetapi
tanpa bukti tambahan , maka penulis tidak dapat mengusulkan bahwa antara
kedua kejadian itu ada kaitan penyebabnya. Kedua : para ahli sejarah masa kini
menerima pendapat bahwa pada umumnya kejadian – kejadian mempunyai
banyak penyebab ; bukan hanya satu. Penyebab – penyebab itu dapat disusun
sedemikian rupa sehingga terlihat bagaimana sesungguhnya mereka saling
mempengaruhi. Akhirnya ; sejarah dewasa ini , tidak lagi membatasi wilayah
penyelidikannya. Pada hakekatnya , setiap topik yang dapat dibayangkan manusia
dapat dilihat dari sudut sejarah. Semakin banyak ahli sejarah mengkhususkan diri
dalam bidang yang mungkin kedengarannya sempit dan aneh , sebagai contoh ;
kebudayaan popular – termasuk nyanyian – nyanyian rakyat dan film. Untuk
selanjutnya terpulang kepada penulis untuk mewujudkan apa sebenarnya arti dari
topik semacam itu”6

Sebagai permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah dapat disebut
masalah pendekatan. Penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat tergantung
pada pendekatan ; ialah dari segi mana kita memandangnya , dimensi mana yang
diperhatikan , unsur - unsur mana yang diungkapkan , dan lain sebagainya. Hasil
pelukisan akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai. Dalam
menghadapi gejala historis yang serba kompleks , setiap penggambaran atau deskripsi
menuntut adanya pendekatan yang memungkinkan penyaringan data yang diperlukan.

6

Frederick , Soeri Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia : Sebelum dan Sesudah Revolusi
( Jakarta : LP3ES , 1991 ) , hal. 7 – 13.

16

Suatu seleksi akan dipermudah dengan adanya konsep - konsep yang berfungsi sebagai
kriteria.7
Secara sederhana untuk merekontruksi peristiwa yang saya teliti ini dilakukan
dalam beberapa langkah ; yaitu : heuristik , kritik , interprestasi , dan historiografi.
Pada tahap heruistik ; penelusuran dan pengumpulan bahan data saya lakukan
dengan melalui teknik quota sampling. Dalam teknik ini jumlah populasi tidak saya
perhitungkan , akan tetapi dilkasifikasikan dalam beberapa kelompok. Sampel diambil
dengan memberikan jatah atau quotum tertentu pada setiap kelompok yang seolah –
olah berkedudukan masing – masing sebagai sub populasi. Pengumpulan data
dilakukan langsung pada unit sampling yang saya temui. Setelah jumlahnya
diperkirakan oleh saya mencukupi , pengumpulan data dihentikan. Bahan – bahan
yang digunakan adalah bahan – bahan yang berhasil saya kumpulkan melalui sumber –
sumber tertulis ; dalam hal pengumpulan sumber – sumber tertulis ini saya
menekankan pada penggunaan studi pustaka atau library research sebagai
pengumpulan sumber utama sejarah yang saya kaji ditambah dengan hasil wawancara
dengan beberapa tokoh yang terlibat baik secara langsung maupun tokoh – tokoh yang
terlibat secara tidak langsung pada peristiwa sejarah tersebut.
Adapun tokoh – tokoh yang saya wawancarai itu adalah sebagai berikut :
1. Bapak Tengku Luckman Sinar , SH. Bapak ini merupakan salah seorang anak
dari almarhum Sultan Serdang. Sekarang bapak ini berkedudukan sebagai

7

Sartono. Op. Cit. , hal.4.

17

Seketaris dari Dewan Kesultanan Serdang. Bapak ini berumur kira – kira 68
Tahun dan sekarang tinggal di Jalan Abdulla Lubis No. 42 / 47 Medan.
2. Bapak Tengku Syahrial. Bapak ini juga merupakan salah seorang anak dari
almarhum Sultan Serdang. Pada masa revolusi Indonesia , bapak ini
menggabungkan diri kedalam TRI dan juga sebagai Seketaris dari Jenderal
Timur Pane. Bapak ini berumur kira – kira 80 Tahun dan sekarang beralamat
di Jalan Kalimantan III No. 18 B Kompleks Perumahan Pelabuhan , km 20
Belawan.
3. Bapak Tengku Syahrul. Bapak ini merupakan salah seorang bangsawan
Melayu Langkat. Sewaktu revolusi Indonesia terjadi bapak ini masih berumur
kira – kira 5 tahun dan masih mengingat kejadian – kejadian diseputar revolusi
Indonesia di Langkat. Bapak ini berumur kira – kira 61 tahun dan sekarang
beralamat di Jalan Fatahila No.12 Selesai.
4. Bapak Tengku Muhammad Abra. Bapak ini merupakan salah seorang
bangsawan Melayu Deli. Sewaktu revolusi Indonesia terjadi bapak ini masih
berumur kira – kira

5 tahun dan masih mengingat kejadian – kejadian

diseputar revolusi Indonesia di Deli ; dimana pada waktu revolusi sosial 1946
istana Maimun diserang oleh kelompok sipil bersenjata yang anti – feodal.
Bapak ini berumur kira – kira 60 tahun dan sekarang beralamat di Jalan
Lampu Kompleks Rispa No.15 Medan.
Dari jawaban – jawaban informan atas dasar pengalaman dan pendapat mereka
lalu diperiksa berselang lagi dengan informan lainnya. Misalnya mengenai

18

bagaimanakah sebenarnya bangsawan Melayu Serdang dalam memahami revolusi
Indonesia di Sumatera Timur itu dari keanekaragaman dan pertumbuhannya yang
dinamis serta subur tersebut dan mengenai seperti apa bentuk / tampilan yang
digunakan bangsawan Melayu Serdang dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur
itu. Pada tahap ini saya telah melakukan penelitian terhadap bahan - bahan koleksi dari
bapak Tengku Lukcman Sinar , SH , buku – buku koleksi dari perpustakaan USU ,
buku – buku koleksi pribadi dari milik Mahardi , dan buku – buku koleksi saya
pribadi. Tindakan yang saya lakukan ini sesuai dengan tahapan kedua dari metode
sejarah yakni merekonstruksi peristiwa ini dengan mengadakan kritikan terhadap
sumber – sumber data yang telah saya kumpulkan dan yang kemudian berdasarkan
kebutuhan objek peneltian selanjutnya saya seleksi.
Setelah sumber – sumber data yang terseleksi ini ; maka tindakan selanjutnya yang
saya lakukan ialah mengadakan interprestasi terhadap sumber – sumber data tersebut
untuk menemukan struktur logis dengan kebutuhan akan sumber – sumber data yang
mendukung peristiwa ini sehingga mempunyai makna.
Akhirnya dengan kombinasi langkah – langkah yang sebelumnya saya lakukan ;
maka barulah saya ketengah tulisan ini ke khalayak pembaca melalui suatu bentuk
tulisan skripsi.

19

BAB II
GAMBARAN UMUM SUMATERA TIMUR

2.1 Sejarah Dan Latar Belakang Sumatera Timur
Dalam permulaan abad ke - 19 negara - negara yang ada diantara Tamiang dan
Barumun Panai mengakui sultan Siak sebagai raja. Tidak satupun dari negara - negara
pantai timur ini pernah menarik perhatian yang serius bagi negara - negara Eropa
sebelum tahun 1820. Penduduk pribumi Melayu dan Batak yang hidup berserak serakan dibelahan Sumatera Timur ini dianggap seperti tidak ada dimata kaum
kapitalis Eropa tersebut.
Inggrislah yang pertama kali menunjukan perhatian yang sungguh - sungguh
terhadap Sumatera Timur tersebut. Bagian Sumatera yang sampai saat itu tidak
diacuhkan mulai menjadi penting pada awal tahun 1800 sebagai pasar bagi barang barang ekspor Penang maupun impor terutama ladanya. 1 Di Sumatera Timur
masyarakatnya masih tergolong “homogen” interaksi sosial yang terjadi hanya bersifat
“bilateral” antara suku Melayu dengan suku Karo yang sangat penting tersebut.
Interaksi sosial di negeri ini hanya berlangsung atas kedua kelompok tersebut dengan
berbagai variabel - variabel interaksi seperti antara golongan kaum elit dengan
golongan rakyat kebanyakan antara golongan terpelajar dengan golongan agama.
1

Karl J. Pelzer. Planter And Peasant , Colonial Policy And The Agrarian Strunggle In East
Sumatera
( 1863 - 1947 ) atau Toen Keboen Dan Petani : Politik Kolonial Dan Perjuangan
Agraria Di Sumatera Timur , 1863 - 1947 , Terj. J. Rumbo ( Jakarta : Sinar Harapan , 1985 ) ; hal :
17

20

Dalam segala kemungkinan yang ada tidaklah ada daerah tropik yang mengalami
pertumbuhan perkerbunan secepat atau mencapai kemakmuran sesubur Sumatera
Timur walaupun dalam taraf - taraf perkebunan tradisional. Sebelum kedatangan kaum
kapitalis di Sumatera Timur ; perbedaan yang terjadi antara golongan atas dengan
golongan bawah tidak begitu mencolok. Kehidupan penduduk begitu sangat sederhana.
Ciri khas pejabat yang ada di Sumatera Timur adalah bahwa ia tinggal dalam sebuah
rumah yang dalam tata bentuk maupun bahan bangunannya sangat serupa dengan
rumah - rumah rakyat biasa ; sebuah rumah yang rangka dan dindingnya berbahan
kayu dan papan beratapkan sirip - sirip nipah ; hanya sedikit lebih besar dari rumah
rakyat.
Tetapi setelah datangnya kaum kapitalis dengan tiba – tiba penguasa Sumatera
Timur mampu membangun tempat – tempat kediaman yang luas dan istana – istana
yang besar. Tidak hanya sebatas ini saja dampak kedatangan kaum kapitalis tersebut
adalah Jacobus Nienhuys yang membawa suatu kemajuan dan kelak dimasa yang akan
datang juga membawa bencana bagi Sumatera Timur ini seorang yang dikirim dari
negeri Belanda untuk mengembangkan penanaman tembakau di Jawa , mendarat di
pinggir sungai Deli tanpa menyadari bahwa tanah yang diinjaknya tersebut sangat
subur tiada duanya dan sangat cocok untuk pengembangan industri perkebunan ;
terutama untuk penanaman tembakau gulung. Begitu diketahui betapa besarnya nilai
tembakau gulung yang ditanam di tanah Deli dan wilayah Langkat yang bertentangga ;
berkerumunlah para pengusaha – pengusaha kaum kapitalis pencari untung tersebut
datang ke Sumatera Timur. Penguasa – penguasa setempat yang rakus kekayaan dan

21

tanpa memperdulikan kesejahteraan rakyat mereka dengan sangat senang memberikan
konsensi – konsensi tanah kepada pendatang. Mula – mula untuk masa 90 tahun dan
kemudian untuk masa 75 tahun. Dalam suatu ekspansi yang drastis , jumlah
onderneming tembakau bertambah dari 22 dalam tahun 1872 menjadi 49 dalam tahun
1880 ; menjadi 148 dalam tahun 1888.
Berbagai keuntungan yang diperoleh dari hasil kesuburan tanah di Sumatera Timur
yang pada ab saya ad ke- 20 dikenal sebagai “tanah dolar”. Sebutan ini erat kaitannya
dengan derasnya keuntungan yang mengalir dari hasil onderneming yang melimpah
ruah. Dari hasil ini juga berbagai dampak baik positif maupun negatif yang dapat
dihasilkannya. Secara positif dengan adanya onderneming itu maka terdapat berbagai
pembangunan yang dihasilkannya ; seperti pembangunan jaringan kereta api ,
kemajuan alat transportasi serta komunikasi yang akan membuka wilayah dan
kesempatan produksi petani ke pasar dunia. Disamping itu juga munculnya kota – kota
perdagangan seperti Medan , Tebing Tinggi , Lubuk Pakam , Binjai , dan sebagainya. 2
Disamping adanya dampak positif ada juga dampak negatifnya seperti diantaranya
terjadinya pengambilan tanah rakyat dengan program memajukan konsensi – konsensi
tanah yang sampai puluhan tahun ; hilangnya / pudarnya batas antara rakyat penunggu
tanah ulayat ( tanah adat ) dengan pendatang yang mendapatkan tanah melalui grant
sultan maupun grant – grant yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang
mengakibatkan ketidakjelasan akan hak pakai atau menjadi hak milik tanah bagi para

2

Indera. “Peranan Deli Spoorweg Maatchappij Sebagai Alat Transportasi Perkebunan Di
Sumatera Timur , 1883 – 1940” , Buletin Historisme , 9 ( Januari , 1998 ) , hal. 6.

22

pendatang di Sumatera Timur tersebut. Disamping itu diterapkannya poenale sanctie
sebagai peraturan pekerja yang lebih banyak bersifat menguntungkan tuan – tuan
kebun daripada para pekerja yang mengolah kebun – kebun tersebut. 3 Seperti
ungkapan Tan Malaka yang menggambarkan suasana setelah masuknya kaum kapitalis
di onderneming – onderneming Sumatera Timur tersebut sebagai berikut ;
“Gouland , tanah emas , surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air
mata mau , neraka buat kaum ploretar . . . Disana berlaku pertentangan yang
tajam antara modal dan tenaga , serta antara penjajah dan terjajah”4

2.2 Keadaan Geografis
Dibatasi oleh Aceh di barat laut , Tapanuli di barat daya , Bengkalis di tenggara
dan Selat Malaka di timur laut , luas Sumatera Timur dewasa ini meliputi 31.715
kilometer persegi atau 6,7 % dari seluruh daerah Sumatera.
Sumatera Timur membentang mulai dari titik batas di puncak – puncak barisan
bukit ( yang dulu disebut Wilhelmina Gebergte ) dan juga barisan bukit Simanuk –
manuk dan dari sana berangsur – angsur menurun , menyentuh pantai timur Danau
Toba , terus kedaratan – daratan rendah dan rawa – rawa pantai sepanjang Selat
Malaka. Dua barisan bukit itu adalah bagian dari sistem Bukit Barisan yang
membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina di Selat Sunda di selatan ,
membagi Sumatera dalam keseluruhan panjangnya dengan 1.650 kilometer. Dilihat
dari titik tengah yang terletak lebih dekat ke pantai barat daripada ke pantai timur
3

Lihat juga , Indera. “Perkebunan Tembakau Deli , 1863 – 1891” , Buletin Historisme , 11
( Januari , 1999 ) , hal. 45.
4
Malaka. Dari Penjara Ke Penjara , ( Jilid. 1 ; Jakarta : Widyaya ; n.d ) ; hal : 47.

23

pulau Sumatera , sistem Bukit Barisan itu mengarah dari barat laut ke tenggara ,
begitupun arah letak pulau itu secara keseluruhan. Kenyataan ini diabaikan dalam
pemakaian istilah – istilah umum utara – selatan – barat – timur terhadap pulau itu.5

2.3 Kependudukan
Peta – peta bahasa suku Sumatera memperlihatkan suatu jalur lebar tentang
penduduk yang berbahasa Melayu mulai dari Aceh sampai Asahan dengan
memisahkan Batak Karo dan Batak Simalungun dari perairan Selat Malaka. Akan
tetapi pada waktu kunjungan Anderson , daerah pemukiman Batak Karo dan Batak
Simalungun lebih mendekat ke pantai membuat jalur Melayu itu menjadi lebih sempit
daripada yang dilukiskan pada peta – peta bahasa yang moderen. Anderson
menemukan bahwa hanya kampung – kampung pada bagian sungai – sungai yang
lebih kehilir itulah yang dihuni oleh masyarakat Islam yang berbahsa Melayu.
Penduduk di situ keturunan para imigran Melayu dari Jambi , Palembang , dan
Semenanjung Malaya , dan juga beberapa keturunan Minangkabau , Bugis , dan Jawa
yang telah menetap disepanjang pantai. Tidak jauh dari garis pantai , jalaur berbahasa
Melayu ini berbatasan dengan tempat – tempat pemukiman suku Batak sehingga pada
hakekatnya sebagian penduduk Sumatera Timur terdiri dari orang Batak. Mungkin
sekali dimasa lampau suku Batak Karo menghuni pantai Langkat , Deli , dan Serdang ;
sementara orang Batak Simalungun di pantai Batu Bara. Mereka seperti juga suku

5

Pelzer , Op. Cit. hal. 31.

24

Batak Toba masih menduduki pantai antara sungai – sungai Asahan dan Barumun
tetapi berangsur – angsur terdesak atau telah berbaur dengan unsur pendatang Melayu.
Anderson melihat berlangsungnya perkawinan campuran antara orang Melayu dan
wanita Batak di Langkat dan Deli. Kepala – kepala suku Melayu Batu Bara mengawini
putri – putri kepala – kepala suku Batak Simalungun untuk memperoleh hak – hak
istimewa berdagang dan untuk menjamin keselamatan pribadi di daerah Batak.
Menurut tambo , pendiri keluarga penguasa Deli adalah seorang Islam India yang
bekerja untuk Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Orang India ini datang ke Deli tahun
1630 ketika daerah ini dibawah kekuasaan Aceh , dan ia mengawini putri kepala suku
Karo di Sunggal. Beberapa keturunannya kawin dengan putri – putri dari keluarga –
keluarga Karo terkemuka lainnya. Sultan yang terahir sering menceritakan dengan
bangga bahwa ia adalah separuh India dan separuh Batak Karo dan menghubungkan
lengan dan tangannya yang berbulu kepada leluhurnya dari India. Bekas keluarga –
keluarga penguasa Asahan dan Langkat konon adalah keturunan Batak Toba atau
Batak Karo tetapi telah masuk Islam sejak beberapa generasi. Kampung – kampung
Islam dewasa ini yang terletak di hulu tepi – tepi sungai Deli atau Belawan di dalam
jalur Melayu , pada waktu kedatangan Anderson berada diluar jalur Melayu itu dan
termasuk daerah Karo penyembah berhala sebagaimana terbukti dengan adanya babi –
babi di desa – desa itu. Orang Batak yang beralih masuk Islam segera mulai mengikuti
adat kebiasaaan Melayu , menggunakan dua bahasa , mengambil nama – nama Islam ,

25

dan menganggap diri mereka sebagai orang – orang Melayu ; namun mereka tidak
pernah melupakan marga Bataknya.6
Untuk mengetahui mengenai jumlah penduduk di Sumatera Timur sampai dengan
10 Maret 1943 maka kiranya dapat dilihat dari data statistik terperinci yang dilengkapi
oleh Jepang pada akhir perang dengan jelas memperlihatkan jumlah penduduk
tersebut. Adapun jumlah penduduk Sumatera Timur ini dapat dilihat dalam tabel 1
sebagai berikut ini :
Tabel 1
Pembagian Suku - Suku Di Sumatera Timur Tahun 1930
Eropa
Cina
India , dan lain - lain
Sub total non Indonesia
Jawa
Batak
Mandailing - Angkola
Minangkabau
Sunda
Banjar
Aceh
Lain - Lain
Sub total kaum pendatang
Melayu
Batak Karo
Batak Simalungun
Lain - Lain
Sub
total
pribumi
Sumatera Timur
Jumlah Seluruhnya
Sumber

:

Banyak
11.079
192.822
18.904

%
0,7
11,4
1,1

589.836
74.226
59.638
50.677
44.107
31.226
7.759
24.646

35,5
4,4
3,5
3,0
2,6
1,9
0,5
1,5

334.870
145.429
95.144
5.436

19,9
8,6
5,6
0,3

Jumlah

%

222.805

13,2

882.189

52,3

580.879

34,5

1.685.873

100,0

Anthony Reid dalam The Blood of the People : Revolution and the End of Traditional Rule in Northern
Sumatra ; atau Perjuangan Rakyat : Revolusi Dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera terjemahan Tim PSH ,
hal. 85.

6

Ibid., hal. 18 - 19

26

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah suku terbanyak di Sumatera Timur di
tahun 1930 didominasi oleh suku pendatang ( suku Jawa ) sekitar 589.836 jiwa dari
1.685.873 jiwa atau 35 % dari penduduk Sumatera Timur dan penduduk Melayu
sebagai penduduk asli hanya menempati posisi kedua setelah penduduk suku Jawa ,
yaitu sekitar 334.870 jiwa dari 1.685.873 jiwa atau 19,9 % dari jumlah keseluruhan
penduduk Sumatera Timur.
Sedangkan menurut data – data dari Jepang sampai dengan 10 Maret 1943
kepadatan penduduk di Sumatera Timur per km2 dari daerah – daerah yang berada
dalam kawasan wilayah Sumatera Timur penduduk yang terpadat terdapat di kota
Medan dengan rata – rata per km 2 7.240,0 % dari rata – rata kepadatan penduduk per
km2 . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 2 sebagai berikut ini :

27

Tabel 2
PENDUDUK SUMATERA TIMUR MENURUT SENSUS 1930 DAN DATA
JEPANG SAMPAI 10 MARET 1943.
Kepadatan penduduk
Penduduk dalam

Penduduk pada

rata – rata per km2

tahun 1930
254.000

10 Maret 1943
279.000

ditahun 1943
44,5

Deli dan Serdang

460.000

545.000

113,0

Simalungun dan Karo

370.000

480.000

74,6

Asahan

338.000

448.000

31,6

76.000
1.498.000

108.000
1.860.000

7.240,0
58,6

Langkat

Kota Medan
Jumlah
Sumber

:

Karl J. Pelzer dalam Planter and Peasant : Colonial policy and the agrarian strunggle in East Sumatera 1863 –
1947 ; atau Toean Keboen Dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863 –
1947 terjemahan J. Rumbo , hal. 156

Disamping jumlah kepadatan rata – rata penduduk per penduduk Sumatera Timur
berdasarkan daerah , penulis juga menampilkan jumlah penduduk berdasarkan dari
golongan suku – suku besar yang ada di Sumatera Timur. Adapun penduduk tersebut
dapat dilihat dalam tabel 3 sebagai berikut ini :
TABEL 3
PENDUDUK SUMATERA TIMUR DARI GOLONGAN – GOLONGAN SUKU BESAR
Golongan Suku

1930

1943

Persen

Jawa

641.000

850.000

32,6

Batak

336.000

470.000

39,8

Melayu

225.000

260.000

15,5

Cina

158.000

280.000

77,2

138.000
1.498.000

______

______

1.860.000

24,6

Lain - lain
Jumlah
Sumber

:

Karl J. Pelzer dalam Planter and Peasant : Colonial policy and the agrarian strunggle in East Sumatera
1863 – 1947 ; atau Toean Keboen Dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur
1863 – 1947 terjemahan J. Rumbo , hal. 157

28

Berdasarkan tabel 3 dapat kiranya diketahui bahwa sebagian besar dari penduduk
yang mayoritas di Sumatera Timur ini sampai dengan tahun 1943 ditempati oleh suku
Jawa dengan 850.000 jiwa , dan menyusul suku Batak yang menempati posisi kedua
terbanyak dengan jumlah penduduk dari suku ini sebesar 470.000 jiwa ; sedangkan
suku Melayu hanya menempati posisi ke keempat ( 60.000 jiwa ) setelah penduduk
Cina yang berjumlah 280.000 jiwa.

29

BAB III
KELAHIRAN DAN EVOLUSI
BANGSAWAN MELAYU SERDANG

3.1

Suksesi Di Kerajaan Deli Sebagai Embrio Dari Bangsawan
Serdang Tahun 1720
Berdirinya kerajaan Serdang diawali dari perang suksesi dalam perebutan tahta di

Deli disekitar tahun 1820. Perang suksesi ini merupakan sebagai embrio terbentuknya
bangsawan Melayu Serdang sekaligus telah mewujudkan kerajaan Serdang. Namun
kerajaan yang didirikan oleh permaisuri Tengku Puan Sampali bersama putranya
Tengku Umar Johan Pahlawan Alamsyah dan adiknya Tengku Tarwar serta mendapat
bantuan dari Datuk Sunggal dan Datuk Tanjung Morawa marga Saragih Dasalah itu
bukanlah merupakan tujuan semata – mata , melainkan hanyalah alat untuk mencapai
cita – cita bangsa dan tujuan negara yakni membentuk masyarakat adil dan makmur
berdasarkan raja adil raja disembah raja zalim raja disanggah.
Kerajaan Serdang merupakan perkawinan antara kerajaan Perbaungan asal
Minangkabau , Denai 7 , Lubuk Pakam , Batang Kuis , Percut Sei Tuan sampai Selatan
, sampai kebatas Sungai Ular melalui Namu Rambe dari Hulu sampai ke pantai Selat
Malaka. 8
7

Wawancara dengan Bapak Tengku Luckman Sinar , SH ; dirumah : JL. Abdulla Lubis No. 42 / 47
Medan , tanggal 31 Maret 2001.
8
Luckman. Sari Sejarah Serdang ( Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , 1970 )
hal. 18.

30

Adapun arti daripada suksesi 1720 itu dalam garis – garis besarnya ialah :
1. Lahirnya bangsawan Melayu Serdang ;
2. Puncak

perjuangan

Tengku

Umar

Johan

Perkasa

Alamsyah

untuk

memperebutkan tahta kerajaan Deli namun gagal ;
3. Titik tolak untuk membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan raja adil
raja disembah raja jalim raja disanggah.
Semenjak suksesi 1720 itu sejarah bangsa Melayu Serdang merupakan daripada
suatu bangsa yang merdeka dan bernegara ; sejarah bangsa Melayu Serdang yang
menyusun pemerintahannya.

3.2

Bangsawan Serdang Dalam Kekuasaan Tradisional

(

1723 – 1862 )
3.2.1 Raja Dalam Kerajaan
Jati diri Melayu umumnya mengajarkan kepada orang – orang Melayu akan adanya
siklus antara daulat dan derhaka. Secara simbolik jati diri ini diaktualisasikan dalam tiga
unsur mendasar yaitu Raja / Sultan , para pembesar dari berbagai hirarki , dan rakyat
yang menjadi wadah untuk menjunjung kedua unsur terdahulu. Ketiga unsur ini
bertalian erat diantara satu dengan lainnya. Bangsawan Serdang merupakan bagian dari
bangsawan Melayu. Seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam , berbahasa
Melayu sehari – harinya dan beristiadat Melayu. Dalam adat Melayu terdapat satu
ungkapapan yang dipedomani. Ungkapan ini ; “adat bersendi hukum syarak , syarak
bersendikan kitabullah”. Jadi orang Melayu itu adalah etnis secara kultural ( budaya )
dan tidak mesti secara genologis ( persamaan darah turunan ). Dalam hukum

31

kekeluargaan orang Melayu menganut sistem “parental” ( kedudukan pihak ibu dan
pihak bapak sama ). Pada awalnya ketika agama Islam mulai dikembangkan oleh orang
Melayu ( pedagang ) ke seantero Nusantara ; pengertian Melayu merupakan pengertian
suatu wadah orang Islam dalam menghadapi golongan non – Islam.9
Dalam kesadaran Barat kekuasaan merupakan gejala yang khas antarmanusia.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain , untuk
membuat mereka melakukan tindakan – tindakan yang kita kehendaki. Kekuasaan
pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang abstrak yang hanya menjadi kongkret dalam
sebab – sebab dan akibatnya. Kekuasaan terdiri dalam hubungan tertentu antara
orang – orang ataupun kelompok orang dimana salah satu pihak dapat memenangkan
kehendaknya terhadap yang satunya. Kekuasaan muncul dalam bentuk yang beraneka
ragam misalnya sebagai kekuasaan orang tua , karismatik , politik , fisik , finansial ,
inteletual , dan tergantung dari dasar empirisnya.10
Dalam paham Melayu kekuasaan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Sistem
kerajaan – kerajaan Melayu yang tumbuh di Sumatera Timur dan ada sejak kerajaan
Haru di Deli lenyap karena serangan Aceh pada 1539 M merupakan bersifat kerajaan
Islam Mazhab Syafii yang mengutamakan mufakat ( konsensus ) dalam pemerintahan
sehari – hari diantara Raja / Sultan yang dianggap sebagai “zilullah fi’l alam” bayang –
bayang Tuhan diatas dunia atau “kalifatullah fi’l ard” wakil Tuhan di dunia dengan
9

Lihat juga , Tengku Luckman Sinar , SH. Jati Diri Melayu ( Medan : Lembaga Pembinaan dan
Pengembangan Budaya Melayu – MABMI , 1994 ) hal. 8 – 15.
10
Magnis. Etika Jawa : Sebuah Analisa Filsafi Tentang Kebijakan Hidup Jawa ( rev . ed. ;
Jakarta : P