POLITIK HUKUM PEMILIHAN PRESIDEN DI INDO

POLITIK HUKUM PEMILIHAN PRESIDEN DI INDONESIA1
A. PENDAHULUAN
Di negara-negara demokrasi yang berbentuk republik kepala negara yang
biasanya disebut sebagai Presiden, dipilih secara demokratis, tidak ditentukan
berdasarkan keturunan sebagaimana dilakukan di negara-negara berbentuk
kerajaan atau monarki. Pergantian kepala negara di negara berbentuk republik
yang demokratis itu juga dilaksanakan melalui pemilihan, yang teknisnya dapat
dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Sedangkan di negara-negara
yang tidak demokratis, pengangkatan kepala negara dapat saja dilakukan
dengan cara lain, misalnya kudeta, penunjukan langsung oleh kepala negara
terdahulu, dan lain sebagainya.2
Para pendiri bangsa, yang secara formal tergabung dalam Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), melalui pemungutan suara
tanggal 10 Juli 1945, menyepakati bahwa Negara Indonesia adalah negara
kesatuan berbentuk Republik. Hal itu kemudian dirumuskan dalam Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945.3 Dengan demikian, negara Indonesia dikepalai
oleh seorang Presiden yang pengangkatan atau penggantiannya dilakukan
melalui pemilihan.
Sejak tahun 2004 pemilihan Presiden di Indonesia dilaksanakan dengan
melibatkan secara langsung partisipasi rakyat Indonesia melalui pemilihan
umum (Pemilu). Hal itu sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya, di

mana Presiden dipilih oleh Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) dalam
kapasitasnya sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan.
Terjadinya perubahan cara pemilihan Presiden itu merupakan salah satu
buah dari gerakan reformasi yang dimulai tahun 1998. Reformasi yang
dipelopori oleh mahasiswa itu dapat diartikan sebagai suatu era, dan dalam
pengertian politis sebagai tatanan atau rezim, di mana bangsa Indonesia
melakukan berbagai usaha sistematis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar
demokrasi; atau lebih luas lagi untuk mengaudit dan mengaktualisasikan indeks
demokrasi yang pada orde sebelumnya telah dimanipulasi.4 Gerakan reformasi
itu sendiri pada tahapan paling awal telah menunjukkan kekuatannya, yakni
keberhasilannya memaksa Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden
Indonesia, jabatan yang secara konstitusional dia pegang baru beberapa bulan.
Pada saat mundur, Soeharto memang tercatat telah menduduki jabatan
Presiden selama hampir 32 tahun.

1

Ditulis oleh Nelson Simanjuntak untuk memenuhi syarat ujian akhir semester mata kuliah Kapita Selekta
Hukum Tata Negara, pada Fakultas Hukum, Universitas Kristen Indonesia, tahun 2011.

2
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia, Jakarta 2007, hlm. 279.
3
Lihat Jimly Asshiddiqie, op cit., hlm. 281.
4
Lihat dalam Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie
Center, Jakarta 2002, hlm. 21.

1

Keberhasilan gerakan reformasi menyingkirkan Soeharto dari kursi
kepresidenan5, harus diakui telah memperkuat semangat dan keyakinan
kalangan reformis untuk melakukan perubahan di segala bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sementara itu, pihak-pihak yang sebenarnya tidak
menginginkan perubahan, yaitu mereka-mereka yang merupakan kroni politik
Soeharto, mau tidak mau harus “melebur” diri dengan gerakan reformasi demi
mempertahankan status quo elit politik yang mereka sandang selama rezim
Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang otoriter.
Tak lama setelah Soeharto mundur, pada tahun 1999 dilakukan Pemilu untuk

memilih DPR. Meski sempat mengalami “kemacetan” karena sebagian besar
anggota KPU yang berasal dari Partai Politik peserta Pemilu tidak bersedia
menanda-tangani hasilnya, Pemulu 1999 dinilai jauh lebih demokratis
dibandingkan dengan Pemilu yang diselenggarakan selama Orde Baru.
Setelah melalui perjuangan politik yang panjang dan tidak mudah, pada tahun
1999 dilakukan perubahan UUD 1945. Menurut para aktivis gerakan social
society, perguruan tinggi-perguruan tinggi, dan sebagian besar parpol peraih
kursi DPR pada Pemilu 1999 memandang bahwa UUD 1945 perlu
diamandemen karena terbukti selalu menimbulkan otoriterisme.6 Dalam praktek
ketatanegaraan pada dua rezim pemerintahan di bawah UUD 1945 sangat
otoriter.7 Menurut Prof. Mahfud MD, otoritoriterisme tersebut muncul bukan
karena isi UUD 1945, melainkan karena pelaksanaannya oleh rezim penguasa
tak dapat diterima. Namun, berdasarkan hasil berbagai studi, otoriterisme itu
justru dibangun melalui peluang-peluang yang ada di dalam UUD 1945. Ada
empat hal yang dijadikan pintu masuk untuk membangun otoriterisme kekuasaa,
yaitu (1) Sistem politik yang berat sebelah pada eksekutif (executive heavy),
dalam arti bahwa isi UUD 1945 memang menitikberatkan pada kekuasaan
lembaga eksekutif (presiden) sehingga tidak dapat memunculkan mekanisme
checks and balances yang proporsional. (2) Adanya pasal-pasal penting yang
ambigu dan multitafsir, dan karena kekuasaan berat pada eksekutif, maka

penafsiran yang harus diterima adalah penafsiran yang datang dari Presiden. (3)
Terlalu banyaknya atribusi kewenangan kepada legislatif untuk mengatur lebih
lanjut hal-hal penting di dalam UU, yang dalam prakteknya pengaturan lebih
5

Penulis menilai bahwa mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan bukan semata-mata karena desakan
gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa, namun juga dengan adanya peristiwa kerusuhan massal
dan meluas, berupa pembakaran dan penjarahan supermarket dan toko-toko, di hampir seluruh kota-kota di
Indonesia, mulai dari ibukota negara Jakarta hingga ke kota-kota kabupaten di pelosok negeri, yang sampai
saat ini belum dapat dibuktikan siapa pihak di belakang peristiwa kerusuhan tersebut.
6
Lihat Moh Mahud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta
2010, hlm.37-39. Partai politik yang memandang perlunya dilakukan amandemen 1945 adalah Partai Golkar,
PKB, PAN, PPP, PBB, dan PK. Sedangkan PDIP sebagai parpol peraih kursi terbanyak dalam Pemilu 1999 dan
kalangan militer, termasuk para purnawirawan, cenderung menolak perubahan karena mengkhawatirkan
munculnya konflik politik, berupa masuknya agenda liar yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara
dengan menumpang agenda perubahan UUD 1945 tersebut. Selain itu, kelompok kedua ini menilai adanya
kemungkinan bahwa usul perubahan itu lebih bersifat emosional akibat kemarahan kepada rezim Orde Baru
yang baru saja dijatuhkan.
7


Dua periode kekuasaan itu adalah (1) Rezim Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Sukarno pada 1959–1966,
yakni setelah Dekrit 5 Juli sampai dengan diterbitkannya Supersemar tanggal 11 Maret 1966, dan (2) rezim
Orde Baru oleh Presiden Soeharto dengan semboyan Demokrasi Pancasilanya pada 1966–1988, yakni
setelah Supersemar hingga Mei 1988.

2

lanjut hal tersebut justru didominasi oleh eksekutif. (4) UUD 1945 lebih percaya
pada semangat orang (penyelenggara negara) tanpa imbangan sistem yang
kuat. Padahal, betapa baik pun semangat seseorang itu, jika sistemnya tidak
baik maka akan mudah terjadi berbagai korupsi politik.8
Mahfud sendiri menyarankan untuk tidak secara mutlak menyalahkan
Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto atas sistem otoriter yang mereka
bangun pada masa pemerintahan mereka masing-masing. Sebab, mungkin saja
saat itu ada situasi yang menurut pertimbangan mereka hal itu harus dilakukan.9
Namun, secara garis besar, pakar hukum tata negara ini menyimpulkan bahwa
semenjak runtuhnya kekuasaan Orde Baru, politik hukum di Indonesia telah
berubah dari yang otoriter ke politik hukum yang lebih demokratis., termasuk
dalam hal pemilihan presiden sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Dalam era reformasi ini telah terjadi perubahan politik yang sangat sifnifikan
dalam cara memilih Presiden, yakni dari tidak langsung menjadi pemilihan
secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum. Mengapa politik hukum
reformasi menginginkan pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung?
Pertanyaan tersebut akan dibahas dalam paper singkat ini, terutama dari latar
belakang serta proses politiknya.
B. PERMASALAHAN
Sebagai titik tolak pembahasan dalam paper ini, maka permasalahan yang
dirasa perlu untuk dijawab sesuai dengan topik utama penulisan makalah ini,
dirumuskan dalam pertanyaan berikut:
1. Mengapa pemilihan presiden di Indonesia perlu dilaksanakan secara
langsung?
2. Apa saja perubahan yang terjadi berkaitan dengan pemilihan presiden secara
langsung tersebut dilihat dari aspek hukumnya?
C. METODE PEMBAHASAN
Dua pertanyaan yang diajukan dalam permasalahan tersebut, akan dijawab
secara deskriptif-analitis berdasarkan studi kepustakaan, yakni menggunakan
data-data sekunder dan pendapat para ahli, terutama ahli hukum tata negara,
yang tersebar di berbagai buku dan media massa.
D. PEMBAHASAN

Dalam bagaian pembahasan ini, penulis terlebih dahulu akan menguraikan
secara garis besar proses pengisian jabatan presiden serta kedudukannya
dalam struktur ketatanegaraan sejak Indonesia merdeka. Setelah itu,
pembahasan akan dilanjutkan tentang ketentuan tentang pemilihan presiden
menurut UUD 1945 sebelum perubahan dan menurut UUD 1945 setelah

8

Moh Mahfud MD, op cit., hlm. 38
Lihat dalam Moh Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
2009, hlm. 137.

9

3

perubahan lalu dilanjutkan dengan pembahasan tentang mengapa
menggunakan proses pemilihan langsung dalam menentukan Presiden.
1. Pemilihan Presiden dalam Sejarah.
a. Presiden Pertama (18 Agustus 1945)

Segera setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam
sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, Ketua PPKI Ir. Sukarno yang memimpin rapat ketika
itu meminta agar segera dilaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, dengan alasan bahwa pers sudah menunggu siapa yang dipilih
menjadi presiden dan wakil presiden. Menurut Pasal III Aturan Peralihan
UUD yang baru ditetapkan itu, dinyatakan: Untuk pertama kali Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Setelah membacakan pasal tersebut, Sukarno segera
memerintahkan Zimu Kyoku untuk membagikan kartu suara kepada para
anggota PPKI. Namun, sebelum kartu suara dibagikan, anggota PPKI
Otto Iskandardinata, dengan alasan keadaan waktu, mengusulkan agar
pemilihan presiden dilakukan secara aklamasi dan mengajukan Sukarno
sebagai calon. Kemudian semua yang hadir di ruang sidang itu bertepuk
tangan, sedangkan Ir. Sukarno mengucapkan terimakasih atas pilihan
dengan suara bulat sebagai Presiden Republik Indonesia. Selanjutnya
semua anggota PPKI berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan
setelahnya berteriak bersama: “Hidup Bung Karno,” sebanyak tiga kali.
Dengan demikian, Ir. Sukarno resmi menjadi Presiden Republik
Indonesia yang pertama. Untuk pemilihan Wakil Presiden, lagi-lagi Otto

Iskandardinata mengusulkan nama Bung Hatta, yang langsung disambut
tepuk tangan para anggota PPKI lainnya. Dengan proses serupa,
Mohammad Hatta resmi menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.10
Menurut Pasal IV UUD, sebelum Majelis Permusyawaratan, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk
berdasarkan undang-undang dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan
oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
b. Presiden pada Konstitusi RIS 1949
Meski telah menyatakan diri sebagai negara merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, Pemerintah Penjajah Belanda (yang pada tahun 1942
meninggalkan Indonesia karena kalah perang dari Jepang) tidak rela
mengakui negara Indonesia yang baru merdeka itu. Dengan kalahnya
Jepang terhadap Sekutu, Belanda kembali ke Indonesia dan membentuk
negara-negara bagian di luar kekuasaan Republik Indonesia yang karena
ancaman tentara Belanda terpaksa memindahkan istananya dari Jakarta
ke Yogyakarta. Melalu perjuangan fisik di dalam negeri serta perjuangan
diplomasi, yakni dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanggal 23
Agustus – 2 September 1949, Pemerintah Belanda akhirnya mengakui
kedaulatan negara Republik Indonesia, dengan syarat bentuk
pemerintahannya adalah republik federal. Kendati Konstitusi RIS belum


10

Lihat PJ Suwarno, Tatanegara Indonesia: Dari Sriwijaya sampai Indonesia Modern, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta 2009, hlm.124-125

4

ditetapkan secara resmi11, pemilihan Presiden RIS dilaksanakan pada
tanggal 16 Desember 1949 dengan calon tunggal Ir. Sukarno. Dia dilantik
menjadi Presiden RIS pada tanggal 17 Desember 1949.12 Pada tanggal
20 Desember 1949 terbentuk Kabinet RIS pertama di bawah pimpinan
Dr. M Hatta sebagai Perdana Menteri yang dilantik oleh Presiden.13
Dalam struktur ketatanegaraan, menurut Pasal 68 ayat (1) UUD RIS,
Presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah.
Sedangkan pembentukan kabinet diatur dalam Pasal 74 ayat (1) yang
menyatakan: “Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan
oleh daerah-daerah bagian sebagai tersebut dalam Pasal 69, menunjuk
tiga pembentuk Kabinet.” Mengenai masa jabatan presiden tidak diatur
dalam UUDS 1955. Dalam Pasal 72 ayat (2) dinyatakan, Undang-undang

federal mengatur pemilihan Presiden baru untuk hal, apabila Presiden
berhalangan tetap, berpulang atau meletakkan jabatannya.
c. Presiden pada UUDS 1950
Siasat pemerintah Belanda untuk memecah-mecah Indonesia menjadi
negara-negara bagian ternyata tidak berhasil. Tidak lama setelah UUD
RIS diberlakukan, para tokoh dan pemimpin negara-negara bagian dan
daerah-daerah yang bukan merupakan negara-bagian menyatakan
keinginan mereka bergabung sebagai satu negara kesatuan sebagai
penjelmaan Republik Indonesia dengan tujuan yang ditentukan oleh
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka juga sepakat untuk
mengubah Konstitusi RIS dengan memperhatikan UUD 1945 menjadi
konstitusi sementara oleh Badan Perubahan Konstitusi, sebuah badan
yang dibentuk oleh DPR RIS bersama dengan Badan Pekerja KNIP.
Satu hal yang juga disepakati adalah Sukarno menjadi Presiden dan
kabinet bertanggung jawab kepada DPR.14
Menurut Pasal 45 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950,
yang berlaku sejak tanggal 15 Agustus 1950: ayat (1) Presiden ialah
Kepala Negara dan ayat (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih menurut
aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. UUDS ini tidak
menyebut waktu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
d. Presiden Pasca Dekrit 5 Juli 1959
Pada masa berlakunya UUDS 1950 situasi politik Indonesia sangat
tidak memuaskan. Terjadi krisis kabinet secara berulang-ulang,
wewenang pemerintah mendapat tantangan dari angkatan darat, korupsi
meraja lela, nepotisme politik, cek-cok politik, dan pemerintah tidak
11

UUD RIS berlaku berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 48 tanggal 31 Januari 1950 tentang
Mengumumkan Piagam-Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Lembaran Negara Nomor 3
Tahun 1950.
12
Menurut Pasal 69 ayat Konstitusi RIS, (1) Presiden ialah Kepala Negara, (2) Beliau dipilih oleh orang-orang
yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2.
13
Lihat Ibid, hlm. 136 – 139.
14
Ibid, hlm. 144 – 147.

5

berdaya menghadapi berbagai masalah tersebut. Meski demikian, pada
tahun 1955 pemerintah berhasil melaksanakan Pemilu untuk memilih
anggota DPR dan anggota Dewan Konstituante.
Dalam sejarah kepemiluan di Indonesia, Pemilu 1955 sering disebutsebut sebagai pemilu yang prosesnya berlangsung paling demokratis,
meski dilaksanakan dalam situasi politik yang tidak kondusif serta
dengan fasilitas yang serba terbatas. Sayangnya, hasil Pemilu 1955
tersebut ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik. Tidak
adanya partai mayoritas di parlemen mengakibatkan krisis kabinet
kembali berulang-ulang, sementara Dewan Konstituante yang
diharapkan dapat menyusun konstitusi baru sebagai pengganti UUDS
1950 larut dalam perdebatan panjang. Situasi mengakibatkan negara
dalam keadaan darurat yang mendorong Sukarno mengeluarkan Dekrit
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang dikenal
sebagai Dekrit 5 Juli 1959.15
Dari segi ilmu ketatanegaraan, sumber hukum Dekrit 5 Juli 1959
adalah dukungan sebagian besar rakyat Indonesia dan pengakuan
anggota-anggota DPR hasil Pemilu 1955 secara aklamasi. Hukum
demikian ini disebut sebagai hukum darurat negara (staatsnoodrecht)
subjektif.16
Dengan telah kembali kepada UUD 1945, kedudukan Presiden tidak
lagi hanya sebagai Kepala Negara, tetapi sekaligus memegang
kekuasaan pemerintahan (eksekutif).17 Pada tanggal 17 Agustus 1959
Presiden Sukarno menyampaikan pidato berjudul Penemuan Kembali
Revolusi Kita, yang kemudian disebut sebagai Manifesto Politik Republik
Indonesia dan akhirnya ditetapkan sebagai Garis-garis Besar daripada
Haluan Negara, melalui Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1960.
Di bawah semboyan Demokrasi Terpimpin, Sukarno melancarkan
sejumlah kebijakan politik, antara lain mengeluarkan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1959 sebagai dasar hukum pembentukan MPR
Sementara, sebelum MPR menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 tersusun.
Anggota MPRS tersebut terdiri dari anggota DPR Gotong Royong18
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan.
Sedangkan jumlah anggota MPR juga ditetapkan Presiden. Pada tanggal
15 September 1959 untuk pertama kali dalam sejarah RI Presiden
melantik 574 dari 610 anggota MPRS. Pada tahun 1963 dalam sebuah
15

Lihat Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu: Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014,
Perludem, Jakarta 2006, hlm. 34. Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie, Op cit., hlm. 88 -90.
16
PJ Suwarno, op cit., hlm. 166.
17
Lihat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
18
Karena adanya ketidaksesuaian paham antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan APBN tahun
1960, Presiden Sukarno menghentikan pelaksanaan tugas dan pekerjaan anggota-angota DPR hasil
Pemilu 1955. Kemudian Presiden melakukan pembaharuan susunan DPR berdasarkan UUD 1945
dengan menetapkan DPR Gotong Royong (DPRGR) yang anggotanya terdiri atas 130 orang wakil-wakil
dari golongan politik, 152 orang dari golongan karya dan seorang wakil dari Irian Barat. Mereka yang
diangkat menjadi anggota DPRGR tersebut adalah yang menyetujui UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia,
Demokrasi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia (USDEK) dan bersedia turut serta melaksanakan
Manifesto Politik RI tertanggal 17 Agustus 1959.

6

sidang umumnya, MPRS mengeluarkan TAP MPRS No. III/MPRS/1963
tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno
menjadi Presiden RI seumur hidup.
e. Presiden Pasca Supersemar 11 Maret 1966
Slogan politik Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Sukarno, ternyata
tidak berhasil membawa Indonesia ke arah kehidupan politik yang lebih
baik. Bahkan, pada pertengahan 1960-an disebut-sebut adanya suatu
Dewan Jenderal yang berencana mengambilalih kekuasaan. Ketidakpuasan terhadap politik Sukarno mencapai puncaknya dengan
meletusnya Gerakan 30 September dan 1 Oktober 1965 yang ditandai
dengan penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal angkatan darat.
Tentang bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa tersebut serta
siapa sesungguhnya tokoh sentral di belakang peristiwa berdarah itu,
sampai sekarang tidak jelas. Namun, hampir semua penulis yang
membahas peristiwa itu menyebut Letkol Untung dan Kolonel A Latif
sebagai tokoh utamanya. Dua perwira tersebut merupakan teman lama
Mayjen Soeharto, yang menjabat sebagai Pangkostrad pada saat
peristiwa G 30 S terjadi.19 Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari
Untung mengumumkan lewat RRI bahwa Dewan Jenderal yang akan
melakukan kudeta telah digagalkan. Dikatakan, anggota-anggota Dewan
Jenderal tersebut telah diculik dan Presiden Sukarno dalam keadaan
aman. Namun, pada malam harinya, sekitar pukul 21.00 WIB, Mayjen
Soeharto mengumumkan bahwa pagi itu telah terjadi penculikan
terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung,
sebagai tindakan kudeta kontra revolusioner melawan Presiden
Sukarno. Pada kesempatan itu, Soeharto mengumumkan telah
mengambilalih kendali Angkatan Darat karena Menteri/Panglima
Angkatan Darat A. Yani telah diculik.
Peristiwa G 30 S merupakan peristiwa politik berdarah yang secara
pelan tapi pasti mengakhiri rezim Sukarno, dan memunculkan Mayjen
Soeharto sebagai pemimpin baru. Dengan dukungan kekuatan militer,
pada tanggal 3 Oktober Pangkostrad Mayjen Soeharto mengumumkan
dirinya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban.20 Esok harinya, pembantaian terhadap anggota PKI dan
keluarganya dimulai, dengan tuduhan sebagai dalang gerakan 30
September. Indonesia pun banjir darah. Pada tanggal 11 Maret 1966
dengan terpaksa Presiden Sukarno menandatangani Surat Perintah 11
Maret 1966 (Supersemar) yang konsepnya disodorkan oleh empat
jenderal suruhan Soeharto, yaitu M Yusuf, M Panggabean, Amir
Machmud, dan Basuki Rachmat.21
19

Lihat PJ Suwarno, op cit., hlm. 172-174.
Ibid, hlm. 174-175. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Press, Jakarta
2007, hal 37. Dalam buku tersebut, dengan mengutip Richard Tanter, Jimly mengatakan Soeharto
membentuk Kopkamtib tanggal 10 Oktober 1965 yang langsung dikomandoi oleh dirinya sendiri.
21
Ibid, hlm. 177-178. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Op cit., hlm. 38. Dalam buku tersebut, Jimly
mengatakan bahwa pada saat memimpin Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Merdeka, Presiden
menerima nota dari Brigjen Sabur, sehingga dia meninggalkan Istana merdeka menuju Isana Bogor. Untuk

20

7

Sesaat setelah memperoleh Supersemar, Soeharto, selaku Panglima
Kopkamtib, menggunakan surat tersebut sebagai sumber hukum dan
sekaligus sumber legitimasi untuk dan atas nama Presiden
membubarkan PKI dan menyatakan PKI beserta segala ormasnya
sebagai partai terlarang di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.
Agar legitimasi Supersemar mempunyai landasan hukum yang kuat,
Supersemar
dikukuhkan
melalui
Ketetapan
MPRS
Nomor
IX/MPRS/1966 tentang Supersemar dalam Sidang Umum MPRS
tanggal 20 Juni – 6 Juli 1966.22
Dengan bermodalkan Supersemar, Jenderal Soeharto bertindak
sebagai Presiden menurut UUD 1945, yaitu sebagai Kepala Negara
sekaligus sebagai pemegang kekuasaan atas pemerintahan.
2. Pemilihan Presiden Menurut UUD 1945 dan masalahnya.
Menurut Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, Presiden dan wakil presiden dipilih
oleh Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) dengan suara terbanyak. MPR
sendiri, menurut Pasal 2 ayat (1) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongangolongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
UUD 1945 tidak mengatur tentang pemilihan wakil-wakil rakyat yang
duduk di DPR dan hal itu rupanya dipahami betul oleh Presiden Soekarno.
Karena itu, sejak mengumumkan kembali ke UUD 1945 di bawah semboyan
Demokrasi Terpimpin, Soekarno tidak pernah menggagas untuk
melaksanakan pemilihan DPR hingga kepemimpinannya berakhir. Berbeda
dengan Sukarno, Jenderal Soeharto yang berhasil mengakhiri era
Demokrasi Terpimpin, menilai bahwa pemilu adalah sesuatu hal penting
bagi legitimasi politiknya. Apalagi, keberhasilannya menumbangkan
kekuasaan Sukarno tidak lepas dari dukungan partai-partai politik yang
berseberangan dengan PKI.23
Dengan semboyan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, Jenderal Soeharto berusaha mendorong
dilaksanakannya pemilihan umum untuk memilih anggota DPR. Namun di
sisi lain, Soeharto juga berusaha agar hasil Pemilu tersebut dapat
“mengukuhkan” dirinya sebagai presiden. Untuk itu, selain menetapkan
Pemilu dilaksanakan pada tahun 1971, dia juga menjalankan politik hukum,
yang memungkinkan dirinya mengontrol hasil Pemilu itu sendiri. Untuk
tujuan tersebut, Soeharto menerapkan tiga langkah, yaitu (1) mendirikan
organisasi peserta pemilu sendiri bernama Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar), (2) Pemerintah mengangkat anggota DPR/MPR dari
mencegah terjadinya sesuatu atas diri Presiden Sukarno, Soeharto mengirim Mayjen Basuki Rachmat,
Brigjen M Yusuf, dan Brigjen Amir Machmud untuk menjelaskan beberapa hal terkait dengan situasi
kenegaraaan, antara lain (1) jaminan untuk keselamatan Presiden; (2) mengamankan Pancasila dan UUD
1945; menyelamatkan revolusi Indonesia serta memelihara keamanan, asal Soeharto diberi kepercayaan
untuk itu. Tindakan Soeharto tersebut membuahkan hasil, yaitu keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966
atau yang dikenal dengan singkatan Supersemar.
22
Jimly Asshiddiqie, Op cit., hlm. 40.
23
Lihat Topo Santoso, dkk, Op cit., hlm. 34-35.

8

unsur ABRI dan kelompok-kelompok lain. Hal ini merupakan hasil kompromi
politik karena parpol menolak sistem distrik yang ditawarkan pemerintah
dalam penyelenggaraan pemilu tersebut. (3) Guna menjamin kemenangan
Golkar, pemerintah tidak mau berbagi dengan partai politik dalam
kepanitiaan pemilu.24
Dengan menjalankan tiga strategi tersebut, keinginan Soeharto
terpenuhi. Dalam Pemilu 1971 Golkar berhasil meraih 236 atau 62,8 persen
dari 360 kursi DPR yang diperebutkan. Sisanya dibagi secara tidak merata
oleh 7 dari 9 partai politik peserta pemilu lainnya.25 Ditambah dengan
anggota DPR yang diangkat oleh Presiden sebagai wakil dari kelompok
ABRI, maka praktis komposisi keanggotaan DPR berada di bawah
kekuasaan Soeharto.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, sebanyak 752 orang atau 81,7 persen dari 920 orang anggota
MPR merupakan pendukung Soeharto, yakni 230 orang Fraksi ABRI, 392 orang
Fraksi Karya Pembangunan dan 130 orang Utusan Daerah. Dengan komposisi
seperti itu, tidak heran Suharto terpilih secara aklamasi menjadi Presiden Indonesia
pada Periode 1972-1977.

Selama pemerintahannya Presiden Soeharto secara periodik
menyelenggarakan Pemilu sekali lima tahun. Dengan dukungan politik ABG
(ABRI, Birokrat, dan Golkar), Soeharto dapat leluasa menjalankan politik
otoriter. Setelah Pemilu 1971, misalnya, Soeharto berhasil memaksa
sembilan parpol peserta pemilu melebur diri dalam dua parpol, yaitu Partai
Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan
demikian, sejak Pemilu 1977, peserta pemilu hanya terdiri dari tiga peserta,
yaitu PPP, Golongan Karya, dan PDI. Bahkan, nomor urut peserta pemilu
tersebut tidak pernah berubah dari pemilu ke pemilu.
Dengan strategi yang sama dengan Pemilu 1971, Suharto berhasil
merekayasa setiap pemilu untuk mengesahkan perpanjangan masa
jabatannya sebagai Presiden. Dengan semboyan melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara konsekuen, Soeharto dapat menggunakan Pemilu
untuk melegitimasi kedudukannya sebagai Presiden secara terus-menerus,
tanpa batasan waktu. Secara konstitusional hal itu tidak dapat disalahkan,
karena Pasal 7 UUD 1945 sendiri menyatakan: “Presiden dan wakil presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali.”
Perilaku politik Soeharto dengan segala kebijakan otoriternya akhirnya
mencapai puncaknya pada Mei 1998. Atas desakan mahasiswa, kekuatan
masyarakat sipil, dan mungkin sebagian kalangan militer secara tersamar,
Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden. BJ
Habibie yang diangkat menjadi Presiden menerima desakan Gerakan
Reformasi untuk segera melaksanakan Pemilu yang demokratis, yakni
dengan menerapkan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

24

William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, dalam Topo Santoso, dkk,
Op cit., hlm. 35-36.
25
Anggota DPR Periode 1972-1977 berjumlah 475 orang, terdiri dari 360 orang dipilih melalui Pemilu
dan 115 diangkat oleh DPR mewakili ABRI/Kepolisian.

9

Pemilu pertama era Reformasi dilaksanakan tahun 1999, diikuti oleh 48
partai politik. Selain membuka pintu bagi parpol untuk menjadi peserta
Pemilu, jumlah anggota DPR yang diangkat dari kalangan ABRI dikurangi
menjadi 75 orang dari 100 orang pada Pemilu 1997. Lembaga Pemilihan
Umum yang sebelumnya merupakan mesin pemenangan pemilu bagi
Golkar, direstrukturisasi. Namanya pun diubah menjadi Komisi Pemilihan
Umum yang keanggotaannya terdiri dari wakil dari seluruh partai peserta
pemilu dan lima orang wakil dari pemerintah, dengan jumlah suara 50:50.
Reformasi penyelenggaraan pemilu tersebut menunjukkan perubahan hasil
Pemilu yang sangat signifikan. Golkar yang pada pemilu sebelumnya selalu
mendominasi perolehan suara, dalam Pemilu 1999 digantikan oleh PDI
Perjuangan yang waktu itu menggadang-gadang Megawati sebagai calon
presidennya.
Namun, konfigurasi dukungan politik rakyat terhadap calon presiden
yang diajukan oleh Parpol peserta pemilu ternyata berbeda dengan
konfigurasi kehendak wakil-wakilnya di MPR, yang memiliki hak formalkonstitusional untuk memilih presiden atas nama rakyat sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan. MPR hasil Pemilu
1999 bukan memilih Megawati sebagai Presiden, melainkan Abdurrahman
Wahid yang didukung oleh Poros Tengah. Megawati sendiri akhirnya hanya
mendapat jabatab sebagai Wakil Presiden.
3. Pemilihan Presiden secara Langsung
Mengapa Presiden dan Wakil Presiden perlu dipilih secara langsung?
Prof. Mahfud MD secara sederhana menjawab: bahwa pemilihan secara
langsung bersifat lebih demokratis. Namun, secara khusus untuk
pengalaman Indonesia, dia memberi dua alasan. Pertama, pemilihan
langsung lebih membuka pintu bagi tampilnya Presiden dan Wakil Presiden
yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Alasan ini muncul dari
pengalaman Pemilu 1999, yaitu adanya ketidaksamaan konfigurasi politik
rakyat terhadap calon presiden yang diusung oleh parpol dengan orang
yang dipilih oleh MPR, seperti dalam kasus Megawati. Contoh lain adalah
tersingkirnya Susilo Bambang Yudhoyono dalam perebutan kursi Wapres
menggantikan Megawati yang menjadi Presiden pasca pemakjulan Presiden
Abdurrahman Wahid. Padahal, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan
oleh media massa, Susilo Bambang Yudhoyono lebih diunggulkan dan
mendapat dukungan terbesar dari rakyat Indonesia. Namun, ternyata dia
kalah dalam tingkat pemungutan suara di MPR. Hal itu menunjukkan bahwa
kehendak MPR sebagai miniatur seluruh rakyat Indonesia ternyata tidak
mencerminkan potret kehendak rakyat yang diwakilinya.26 Namun, menurut
Mahfud, kenyataan tersebut secara konstitusional tidak salah. Sebab,
menurut UUD 1945, MPR-lah yang berwenang memilih Presiden dan Wakil
Presiden.
Alasan kedua, menurut Mahfud, mengapa perlu pemilihan Presiden
secara langsung adalah untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak
26

Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta 2010,
hlm.137-138.

10

mudah dijatuhkan di tengah jalan sesuai dengan yang berlaku di dalam
sistem presidensial. Sistem presidensial semu yang berlaku di Indonesia
pada masa-masa sebelumnya melalui cara pemilihan Presiden secara tidak
langsung ternyata telah menimbulkan masalah yang dilematis. Pada masa
Orde Baru Presiden terlalu kuat, sehingga sangat sulit dijatuhkan. Malahan
Soeharto dapat mengkooptasi DPR dan MPR melalui rekayasa dalam
penentuan anggota legislatif itu sehingga terjadi akumulasi korupsi politik.
Sementara itu, di era reformasi justru DPR dan MPR terlalu kuat sehingga
presiden dapat dengan mudah dijatuhkan berdasarkan kehendak dan alasan
sendiri yang dibuat oleh sebagian anggota MPR dan DPR.
Indonesia memang membutuhkan perubahan terkait dengan hubungan
antara cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif, namun perubahan yang
diinginkan itu adalah untuk mendorong terjadinya keseimbangan kekuatan
antara Presiden dan DPR/MPR sesuai dengan ide tentang mekanisme
checks and balances di dalam ketatanegaraan.27
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, MPR kemudian menyetujui
perubahan cara pemilihan Presiden di dalam Konstitusi dari semula
dilakukan oleh MPR menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Umum. Ketentuan tersebut dituangkan dalam perubahan ketiga
dan keempat UUD 1945 yang ditempatkan dalam Pasal 6A ayat (1) sampai
ayat (5). Kemudian perubahan ini juga berdampak terhadap Pasal 6 UUD
1945, khususnya ayat (2) yang sebelum amandemen berbunyi: Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
suara terbanyak. Melalui amandemen ketiga, Pasal 6 ayat (2) tersebut
diubah menjadi: Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Pembicaraan tentang perlunya Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat sudah muncul secara resmi dalam Rapat ke-1 Panitia Ad Hoc III
Badan Pekerja MPR tanggal 7 Oktober 1999. Adalah FPDIP, melalui juru
bicaranya, Aberson Sihaloho, yang pertama sekali secara tegas menyatakan
bahwa seorang Presiden seyogya harus dipilih langsung oleh rakyat.
Pendapat tersebut diajukan sebagai konsekuensi dari ketentuan kedaulatan
berada di tangan rakyat, sehingga semua lembaga negara harus dibentuk
oleh rakyat.28 Setelah melalui diskusi panjang dan rapat dengar pendapat
dengan para pakar dari sejumlah perguruan tinggi, akhirnya dalam Rapat
Parpurna ke-7 Masa Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 yang berlangsung
November 2001, MPR sepakat untuk menetapkan bahwa Presiden dan
Wakil Presiden dipilih secara langsung, yang selanjutnya dituangkan dalam
pasal 6 A UUD 1945 hasil perubahan ketiga.
Jika dilihat dari waktu yang dibutuhkan, pembahasan masalah cara
pemilihan presiden tersebut termasuk sangat lama. Bahkan, meski hal itu
menyangkut hal yang sangat mendasar, proses perubahan UUD 1945
ditangani secara langsung oleh MPR. Karena itu, banyak kalangan menilai

27

Ibid, hlm. 139.
Lihat Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid I,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta 2008, hlm.156-157.

28

11

Perubahan UUD 1945 tersebut sangat dipengaruhi kepentingan jangka
pendek partai politik peserta Pemilu 1999.
Dengan perubahan UUD 1945 tersebut, pemilihan presiden secara
langsung dilaksanakan pertama kali tahun 2004. Pendapat yang
disampaikan oleh beberapa pakar politik pada saat pembahasan perubahan
UUD tersebut yang memperkirakan bahwa proses pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung akan menimbulkan kerusuhan massal,
ternyata tidak terbukti. Pemilihan Presiden secara langsung kemudian
dilakukan melalui Pemilu 2009, juga tidak terjadi kerusuhan.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Untuk pertama kali pemilihan presiden dilakukan secara aklamasi oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
2. UUD 1945 sebelum perubahan mengatur Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pelaku kedaulatan rakyat, namun
tidak mengatur bagaimana proses pembentukan MPR tersebut. UUD 1945
juga tidak membatasi masa jabatan yang boleh dipegang oleh seorang
Presiden. Hal itu membuka peluang bagi Presiden untuk merekayasa MPR
bagi kepentingan kekuasaannya secara terus-menerus.
3. Peralihan kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 hampir semua terjadi
dengan cara yang tidak normal, yakni:
a. Pada saat pertama kali diberlakukan, MPR belum terbentuk sehingga
yang digunakan adalah Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945;
b. Pada saat kembali diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Sukarno yang dipilih berdasarkan UUDS 1950 mengukuhkan diri sendiri
sebagai Presiden di bawah UUD 1945; Bahkan, MPRS yang dibentuk oleh
Sukarno kemudian menetapkan Sukarno sebagai Presiden seumur hidup.
c. Peralihan jabatan Presiden dari Soekarno kepada Soeharto tidak
dilakukan oleh MPR, melainkan dengan Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar);
d. Peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden BJ
Habibie terjadi karena Soeharto dipaksa mengundurkan diri jabatan
Presiden;
e. Peralihan kekuasaan dari BJ Habibie kepada Abdurrahman Wahid
merupakan dilaksanakan secara normal, yakni melalui Sidang Umum
MPR;
f. Peralihan kekuasaan dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati
dilaksanakan di tengah jalan. MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid
karena sebagian besar anggota MPR tidak menyukai tindakan-tindakan
politik Abdurrahman Wahid.
4. Bercermin dari pengalaman politik sejak kemerdekaan hingga ke masa Orde
Baru, MPR sepakat melakukan perubahan konstitusi, termasuk mengenai
sistem pemilihan presiden dari cara tidak langsung menjadi langsung melalui
Pemilihan Umum.
5. Kekhawatiran para pakar bahwa pemilihan presiden yang dilakukan secara
langsung akan menimbulkan kerusuhan ternyata tidak terbukti.
12