PERKEMBANGAN SEJARAH SENI RUPA DI INDONE

PERKEMBANGAN SEJARAH SENI RUPA DI INDONESIA
1.

Perkembangan Sejarah Seni Rupa Indonesia
Sejarah memberi petunjuk kepada kita tentang terjadinya rentetan
peristiwa pada zaman yang telah lampau, peristiwa-peristiwa itu mungkin
memberikan gambaran yang tersambung secara terus menerus, tetapi juga
mungkin secara terputus-putus terhadap segala kehidupan manusia dan
hasil karya seninya di dunia. Oleh karena itu dari sejarah tersebut kita juga
dapat mengetahui hasil-hasil budaya di masa lalu.
Kajian sejarah seni rupa menunjuk bahwa seni rupa suatu bangsa tak
dapat berkembang kalau tidak mendapat pengaruh dari luar.
Perkembangannya selalu menunjukan sebagai suatu pertumbuhan dari awal
kemudian tumbuh, akhirnya mencapai titik puncak atau dengan istilah seni
klasik. Oleh karena itu di dunia ini tidak ada yang abadi, maka pencapaian
puncak inipun akan mengalami saat terakhirnya, pada suatu saat akan
mengalami kelahirannya kembali (renaisance). Jadi dapat dikatakan bahwa
sejarah seni rupa adalah suatu catatan peristiwa terjadinya ciptaan seni
visual dua atau tiga dimensional dari waktu ke waktu secara periodesasi.
A. SIFAT – SIFAT UMUM SENI RUPA INDONESIA
1.

2.
3.
4.
5.

Tradisional/statis: adanya kebudayaan agraris mengarah pada bentuk
kesenian yang
berpegang pada suatu kaidah yang turun temurun.
Progresif: Adanya kebudayaan maritim. Kesenian Indonesia sering
dipengaruhi kebudayaan luar yang kemudian di padukan dan dikembangkan
sehingga menjadi milik bangsa Indonesia sendiri.
Bersifat Kebinekaan: Indonesia terdiri dari beberapa daerah dengan
keadaan lingkungan dan alam yang berbeda, sehingga melahirkan bentuk
ungkapan seni yang beraneka ragam.
Bersifat Seni Kerajinan: Kekayaan alam Indonesia yang menghasilkan
bermacam – macam bahan untuk membuat kerajinan.
Bersifat Non Realis: Latar belakang agama asli yang primitif berpengaruh
pada ungkapan seni yang selalu bersifat perlambangan / simbolisme.
B. SENI RUPA PRASEJARAH INDONESIA
Zaman prasejarah (Prehistory) adalah jaman sebelum ditemukan

sumber–sumber atau dokumen–dokumen tertulis mengenai kehidupan
manusia. Latar belakang kebudayaannya berasal dari kebudayaan Indonesia
yang disebarkan oleh bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda. Agama asli
pada waktu itu animisme dan dinamisme yang melahirkan bentuk kesenian
sebagai
media
upacara
(bersifat
simbolisme)
Jaman prasejarah Indonesia terbagi atas: Jaman Batu dan Jaman Logam

Dolmen
Bangunan yang paling tua diketemukan pada zaman batu menengah
(Mesolitikum) berupa gua-gua yang terdapat di daerah pantai seperti di
pantai-pantai Sulawesi Selatan. Peninggalan yang berupa bukit kerang
diketemukan di daerah Sumatera selatan, berdasarkan bukti-bukti berupa
sisa-sisa sampah maka dapat dipastikan pada zaman batu menengah sudah
didirikan rumah panggung. Pada zaman Neolitikum kebudayaan
masyarakatnya mulai berkembang dengan dibuatnya rumah dari kayu dan
bambu yang sampai sekarang masih tersisa di beberapa daerah di wilayah

Indonesia. Selain bangunan dari bahan kayu dan bambu, pada zaman batu
besar dikenal pula bangunan yang terbuat dari batu untuk keperluan
keagamaan dan kepercayaan, seperti :

Dolmen (bangunan makam)

Punden (bangunan berundak)

Menhir (bangunan tugu)

Dalam bentuk perabot seperti : meja batu, kursi batu, tahta batu, dsb.

2.) Karya Seni Lukis

Karya seni lukis yang paling tua diketemukan pada zaman batu
menengah, yaitu berupa lukisan pada dinding gua seperti: lukisan binatang
buruan yang terdapat di dinding gua Leang-Leang di Sulawesi Selatan.
Lukisan ini dikerjakan dengan cara menoreh dinding gua dengan
penggambaran binatang yang realistic dibubuhi dengan warna merah,
putih, hitam dan coklat yang dibuat dari bahan pewarna alam.Sedangkan

lukisan lambang nenek moyang yang berbentuk setengah binatang dan
setengah manusia dan juga lukisan lukisan cap-cap tangan terdapat di
dinding gua di Irian Jaya, lukisan ini dikerjakan dengan teknik semprotan
warna (aerograph). Lukisan-lukisan pada zaman batu menengah tidak
dibuat sebagai hiasan semata melainkan mengandung tujuan tertentu dan
dianggap memiliki kekuatan magis. Lukisan yang berupa pahatan serta
hiasan yang terdapat pada bagian-bagian bangunan adat dan pada bendabenda kerajinan mulai dibuat pada zaman Neolitikum dan megalitikum.
Lukisan pada zaman Neolitikum bersifat ornamentik yang statis dengan
motif-motif perlambangan dan geometris, sedangkan pada zaman
megalitikum bersifat ornamentik yang lebih dinamis.
3.) Karya Seni Patung

Gowawambea, peninggalan budaya Megalitikum
Karya seni patung Indonesia pada zaman pra-sejarah mulai dikenal
pada zaman Neolitikum berupa patung-patung nenek moyang dan patung
penolak bala. Gaya patungnya disesuaikan dengan bahan baku yang
digunakan, yaitu batu, kayu serta bahan lainnya, selain itu patungnya juga
banyak dipengaruhi seni ornamentik. Hasil-hasil peninggalan di Jawa
Barat menunjukan bahwa patung-patung memiliki ukuran besar dengan
gaya statis, frontal dan bersifat monumentalis. Sedangkan yang ditemukan

di daerah Pasemah (Sumatera Selatan) gayanya lebih dinamis dan fiktural.
Di daerah lain seperti di daerah Nias, Toraja dan Dayak pada zaman
Megalitikum sampai saat ini masih ditemukan peninggalan karya patung.
Contoh seni patung hasil peninggalan zaman batu, seperti Arca Batu Gajah
yaitu batu besar yang dihiasi seseorang yang sedang menunggang binatang
buruan, contoh lain yaitu Arca batu yang menampakan seseorang laki-laki
menegendarai seekor lembu.
B. KARYA SENI RUPA PADA ZAMAN LOGAM
Pada zaman logam, peralatan yang dibuat dan digunakan berasal dari
benda logam. Peninggalan zaman logam berupa benda-benda kerajinan dari
perunggu, sepertiganderang, kapak, bejana, patung, dan perhiasan. Karya
seni tersebut dibuat dengan teknik cor (cetak), yang dikenal dengan teknik
bivalve (tuang berulang) dan teknik a cire perdue (tuang sekali pakai).

Nekara Moko
Sejarah Senirupa Indonesia Zaman Prasejarah dibagi berdasarkan
perkembangan kebudayaan manusia, maka pada Zaman prasejarah meliputi
empat masa antara lain :
1.
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, serta

alat yang digunakan dibuat dari batu.
2.
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, serta alat
yang digunakan dibuat dari batu yang sudah dibentuk
3.
Masa bercocok tanam, dan alat-alat yang digunakan sudah lebih halus
dan bagus.
4.
Masa Perundagian (perindustrian), alat-alat dipergunakan selain
dibuat dari batu juga dari logam.

Kapak Corong

Nekara

Perkembangan seni rupa pada zama budha

Seni rupa Buddha atau Seni Buddhis adalah seni rupa yang dipengaruhi
ajaran Agama Buddha. Karya seni ini meliputi beberapa media
seperti: arca, relief, dan lukisan yang menampilkan Buddha, bodhisatwa,

dan entitas lainnya; tokoh-tokoh Buddhis yang terkenal, baik tokoh sejarah
atau pun tokoh mitologis; adegan kisah kehidupan para tokoh Buddhis;
benda-benda yang dikaitkan dengan praktik ritual Buddha
seperti wajra, genta, dan stupa; mandala dan media pencitraan lainnya;
arsitektur candi dan wihara Buddha, juga termasuk seni rupa Buddha.[1]
Seni rupa Buddha berasal dari anak benua India berdasarkan sejarah kisah
kehidupan dan ajaran Siddhartha Gautama, pada abad ke-6 sampai ke-5
SM, berkembang dan berevolusi karena bersentuhan dengan budaya lain,
kemudian menyebar ke sebagian besar wilayah benua Asia dan dunia.[2]
Seni rupa Buddha tumbuh mengikuti penyebaran penganutnya sesuai
dengan perkembangan ajaran dharma. Dari India seni rupa Buddha
menyebar ke utara memasuki Asia Tengah, dan kemudian berkembang
ke Asia Timur membentuk cabang utara seni rupa Buddha. Seni rupa
Buddha juga berkembang ke arah timur, dari India menuju Asia
Tenggara dan kemudian membentuk cabang selatan seni rupa Buddha.[2] Di
luar India, seni rupa ini diterapkan, diadaptasi, dan berkembang sedemikian
rupa sesuai dengan gaya negara-negara yang mengembangkannya. Di
India, seni rupa Buddha berkembang dan kemudian memengaruhi
perkembangan seni rupa Hindu dan Jaina, hingga kemundurannya pada
abad ke-10 akibat pesatnya perkembangan agama Hindu dan Islam di India.


Tahap pra-ikon (abad ke-5 hingga abad ke-1 SM)[sunting | sunting sumber]

Telapak kaki Buddha. Abad ke-1 Gandhara.
Pada periode abad ke-2 hingga ke-1 SM, seni pahat Buddhis semakin jelas
menggambarkan episode kehidupan Buddha dan ajarannya. Bentuk
karyanya berupa kepingan tablet nazar pemujaan atau ukiran, biasanya
terkait dengan hiasan stupa. Meskipun India memiliki tradisi seni patung
yang panjang serta keahlian dalam ikonografi yang kaya, Buddha pada
periode ini tidak pernah digambarkan dalam wujud manusia, melainkan
hanya melalui simbolisme Buddha.
Simbol-simbol yang mewakili sosok Buddha antara lain singgasana
kosong, Buddha-pada (telapak kaki Buddha), chattra (payung), stupa, pohon
Bodhi (melambangkan pencerahan Buddha), Dharma-chakra(roda hukum
dharma), dan Triratna (tiga permata). Motif satwa juga digunakan sebagai
perlambang episode kehidupan Buddha Gautama, seperti gajah yang
melambangkan episode kelahiran Siddharta ketika Ratu Maya bermimpi
gajah putih memasuki rahimnya; kuda yang melambangkan episode
kepergian Pangeran Sidharta melarikan diri keluar dari istana demi menjadi
pertapa; dan rusa yang melambangkan episode wejangan pertama Buddha

di Taman Rusa Sarnath, Benares. Periode ini dapat disebut periode tanpa
ikon dalam kesenian Buddha.[3]
Para seniman pada periode ini enggan menggambarkan Sang Buddha dalam
wujud manusianya, dan mengembangkan simbol-simbol tanpa ikon untuk
menghindari menggambarkan wujud manusia Buddha. Bahkan dalam
adegan naratif yang menampilkan figur manusia tokoh lain tapi tidak
menampilkan sosok Buddha.[a] Kecenderungan ini terus berlangsung hingga

abad ke-2 SM di India Selatan, misalnya dalam aliran seni Amarawati awal.
[3]

Koin emas peninggalan Kanishka, menampilkan sosok Buddha, dengan
tulisan "Boddo" dalam aksara Yunani.
Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan ketiadaan sosok Buddha
dalam lima abad pertama perkembangannya. Salah satu teori menyebutkan
Buddha Gautama sendiri melarang perwujudan dirinya, meskipun teori ini
tidak didukung oleh literatur Buddhis. Kutipan dari Vinaya Sarvastivadin
menyebutkan murid Sang Buddha, Anathapindika, bertanya kepada Sang
Guru Agung, "Dunia menghormatimu, jika citra dirimu tidak boleh dibuat,
bagaimanakah sebaiknya? setidaknya bolehkah kami membuat citra

Bodhisatwa[b] perwakilan dirimu?" Buddha kemudian memberikan
persetujuannya.[3] Teori yang lain menggunakan pendekatan berbeda, yaitu
pendekatan filsafati sebagai latihan mental, bahwa melalui "ketiadaan"
sosok Buddha, para murid Sang Buddha justru harus menyadari
"keberadaan" Buddha.[3]
Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa perwujudan Buddha sudah ada
sejak masa hidup Buddha Gautama. Akan tetapi pada masa awal ini wujud
Buddha dibuat dari patung kayu, dan mungkin telah lapuk dan musnah
ditelan waktu. Menurut tradisi Tibet, China, dan Jepang, patung pertama
Buddha diukir dari kayu cendana,[3] dan tradisi pemujaan dengan
memberikan sesaji persembahan sekantung serbuk kayu cendana, hingga
kini masih bertahan di Jepang. Meskipun demikian, tidak ada bukti
arkeologi yang mendukung pendapat ini, karena bukti arkeologi
perwujudan sosok Buddha tertua ditemukan pada koin emas wangsa
Kushan, dari kurun 150 sampai 50 SM.[3]
Contoh paling awal dari seni rupa Buddha di India berasal dari abad ke-1
SM. Vihara Mahabodh di Bodh Gaya, yang kemudian menjadi contoh
bangunan serupa di Myanmar dan Indonesia. Fresko di Sigiriya disebutkan
berusia lebih tua daripada fresko di Gua Ajanta.[4]


Tahap ikon (abad ke-1 M hingga kini)

Perwujudan Buddha dalam Seni Buddha-Yunanidari Gandhara, Abad
pertama masehi.
Perwujudan manusia Buddha mulai muncul pada abad pertama masehi
di India Utara. Dua pusat perkembangan kesenian Buddha adalah
diGandhara, kini terletak di Provinsi perbatasan Barat Laut di Pakistan, dan
di kawasan Mathura, Uttar Pradesh, di pusat India Utara.
Seni rupa Gandhara diuntungkan karena selama berabad-abad bersentuhan
dengan kebudayaan Yunani sejak penaklukan Aleksander Agungpada tahun
332 SM. Tumbuhnya kerajaan Yunani-Baktria dan kerajaan Indo-Yunani
mendorong tumbuhnya Seni Buddha-Yunani. Arca-arca Buddha dari
Gandhara menampilkan pengaruh artistik Yunani, dan disebutkan bahwa
gagasan "manusia-dewa" sesungguhnya diilhami oleh budaya Mitologi
Yunani.[5] Sebagai contoh, Herakles dengan jubah dan cawat kulit singa
(dewa pelindung Demetrius I dari Baktria) "dijadikan sebagai model
penggambaran bodhisatwa Wajrapani, pengawal Buddha."[6][c]
Secara artistik, disiplin aliran seni patung Gandhara telah menyumbangkan
beberapa karakteristik pada perwujudan Buddha, seperti rambut ikal
bergelombang, pakaian berjubah, sepatu dan sandal, serta hiasan sulur
bunga pada kesenian Buddha. Selain penggambaran wujud Buddha, seni
rupa Buddha juga diperkaya penggambaran tokoh-tokoh lain,
seperti Bodhisatwa, Tara, serta makhluk-makhluk mitologis
seperti yaksa, kinnaradan
kinnari, gandarwa, apsara, widyadhara, asura, dwarapala, kala, makara,
serta pohon Kalpawreksa.[7]
Seni Mathura tampaknya lebih berdasarkan pada tradisi India yang kuat,
dengan contoh penggambaran dewata dan makhluk suci seperti Yaksa,

meskipun secara gaya masih terlihat kaku dibandingkan perwujudan
Buddha kemudian. Seni aliran Mathura menyumbangan pengaruhnya pada
seni rupa Buddha, seperti jubah yang menutup bahu kiri dan terbuka pada
bahu kanan dari bahan muslin tipis, cakra pada telapak tangan, singgasana
teratai, dan lain-lain.
Seni Mathura dan Gandhara juga saling memengaruhi. Pada masa
keemasan kesenian Buddha pada periode ini, kedua pusat seni Buddha ini
disatukan dalam Kekaisaran Kushan, dan kedua kota ini menjadi pusat
kemaharajaan. Hingga kini masih diperdebatkan apakah perwujudan
manusia Buddha itu lahir dari evolusi lokal pada seni Buddha Mathura, atau
merupakan hasil interaksi budaya sebagai akibat pengaruh seni rupa Yunani
di Gandhara melalui sinkretisme budaya Yunani-Buddhis.[5]

Lukisan
dinding Padmapani dan Wajrapa
ni di kedua sisi Gua 1 di Gua
Ajanta
Seni ikonik ini memiliki ciri idelisme realis, menggabungkan sosok manusia
yang realistik, proporsional, sikap dan atribut, digambarkan dengan rasa
ketenangan dan keteduhan yang sempurna mencapai kualitas keilahian.
Ekspresi sosok Buddha sebagai manusia dan sosok ilahiah menjadi pakem
ikonografi bagi seni rupa Buddha kemudian.
Hal yang menarik untuk dicatat, ajaran Buddha banyak memanfaatkan seni
plastis seperti seni pahat, seni patung, lukisan, dan literatur, tetapi amat
jarang memanfaat seni musik dan tari.
Seni rupa Buddha terus berkembang di India hingga beberapa abad
kemudian. Pada abad ke-5 M, fresko atau seni lukis dinding Buddha
mencapai puncak pencapaian estetikanya dengan contoh karya terbaik;
fresko Boddhisatwa Padmapanidengan ekspresi yang teduh nan anggun
terlukis di dinding Gua Ajanta, yang dikembangkan oleh Raja Harishena

dari Wangsa Wakataka. Seni Buddha di India yang berasal dari periode ini
seolah menjadi purwarupa bagi karya seni Buddha di wilayah lain, menjadi
contoh dan diteladani. Patung batu pasir berwarna merah muda dari
Mathura yang berkembang pada masa Kekaisaran Gupta kurun abad ke-4
sampai ke-6 M telah mencapai tingkat kehalusan dan keindahan yang
sedemikian rupa dalam penyelesaian dan modelnya. Seni rupa aliran Gupta
menjadi sedemikian berpengaruhnya hingga menyebar ke wilayah Asia
lainnya. Pada abad ke-10, seni Buddha mulai memudar di India, sedangkan
Hindu dan Islam terus berkembang di India.[2]
Pada akhir abad ke-12 sisa-sisa kejayaan Buddha hanya bertahan di wilayah
pegunungan Himalaya di India utara. Kawasan ini karena lokasinya lebih
banyak bersentuhan dengan Tibet dan Cina, sebagai contoh seni dan tradisi
Ladakh menunjukkan ciri pengaruh Tibet dan Cina.

Peta penyebaran ajaran Buddha
Seiring dengan penyebaran ajaran Buddha keluar dari India pada abad
pertama masehi, kemasan artistik aslinya berpadu dengan pengaruh artistik
lainnya, menghasilkan keanekaragaman progresif di antara negara-negara
yang menganut ajaran Buddha. Penyebaran ajaran sekaligus seni rupa
Buddha mengambil dua arah percabangan; jalur utara dan jalur selatan.


Jalur Utara bermula sejak abad pertama masehi, melalui jalur Asia
Tengah, Nepal, Tibet, Bhutan, Cina, Korea, Jepang danVietnam. Aliran
yang berkembang adalah aliran Buddha Mahayana.



Jalur Selatan, yang didominasi aliran Buddha Theravada, melalui Sri
Lanka, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Laos. Sementara
di Indonesia ajaran Mahayana lebih berkembang.[2]

Seni rupa Buddha Utara[sunting | sunting sumber]

Arca Bodhisatwa Cina dari kayu, dari periode Dinasti Song (960-1279)
Penyebaran ajaran Buddha melalui Jalur Sutra ke Asia Tengah, Cina, dan
akhirnya mencapai Korea dan Jepang, dimulai pada abad pertama masehi,
[2]
dengan catatan semi-legendaris bahwa Kaisar Ming dari Dinasti Han Cina
mengirim utusan ke barat untuk memperoleh kitab suci Buddha dan
membawa ajaran Buddha ke Tiongkok. Akan tetapi sepertinya penyebaran
Buddha ke Tiongkok ini merupakan konsekuensi logis dari
perkembangan Kekaisaran Kushan ke wilayah Cina diCekungan Tarim pada
abad ke-2, diikuti dengan upaya misi penyebaran ajaran Buddha dari Asia
Tengah ke negeri Cina. Beberapa penyebar ajaran Buddha ini
menerjemahkan kitab-kitab suci Buddha ke dalam Bahasa Tionghoa, seperti
Biksu Lokaksema, yang mungkin berasal
dari Parthia, Kushan, Sogdiana atau Kuchea.
Misi penyebaran ajaran Buddha di sepanjang Jalur Sutra diiringi dengan
menyebarnya pengaruh seni rupa, seperti terlihat dalam perkembangan
seni rupa Serindia dari abad ke-2 hingga ke-11 masehi di Basin Tarim (kini
wilayah Xinjiang). Seni rupa Serindia seringkali berasal dari seni YunaniBuddha Gandhara (kini Pakistan), memadukan seni India dengan pengaruh
Yunani-Romawi. Pengaruh seni Yunani-Buddha ini dapat ditemukan hingga
ke Jepang, melalui motif arsitektur, citra Buddha, dan
perwujudan kami (dewata Jepang).
Rute utara penyebaran ajaran Buddha ini juga sangat dipengaruhi aliran
Buddha Mahayana,[2] cabang inklusif Buddhisme yang dicirikan dengan
penerapan kitab baru sebagai tambahan agama Buddha, dan peralihan
Buddhisme dari ajaran tradisional dengan ideal mencapai pembebasan dari
penderitaan (dukkha) arahat, dan lebih menekankan pada jalur Bodhisatwa.
Jalur ini adalah mereka yang terdorong oleh kasih sayang yang besar untuk
membantu semua makhluk, telah melahirkan bodhicita dalam jiwanya, yaitu
keinginan spontan untuk mencapai tingkat kebuddhaan demi kebahagiaan
semua makhluk. Buddha Mahayana mengangkat Buddha menjadi sosok
ilahiah yang abadi, dan menampilkan panteon masyarakat dewa yaitu
Bodhisatwa yang mengerahkan segala daya upaya untuk mencapai enam
kesempurnaan (Paramita) dan kebijaksanaan agung (Prajñāpāramitā),

pencerahan, dan kebebasan dari kehidupan makhluk fana. Seni rupa
Buddha utara cenderung dicirikan dengan panteon yang kaya dan sinkretis,
dengan banyak wujud menggambarkan Buddha, Bodhisatwa, dewata, dan
makhluk-makluk surgawi.

Relief rendah di Borobudur.

Arca Buddha di Borobudur.
Seperti kebanyakan wilayah Asia Tenggara, Indonesia dipengaruhi seni
budaya India sejak abad pertama Masehi. Bangunan Buddha tertua di
Indonesia mungkin adalah stupa bata di Batujaya di Kabupaten Karawang,
Jawa Barat, diperkirakan berasal dari abad ke-4 M. Candi ini dibangun dari
bahan bata merah yang dilapis lepa atau plaster.
Pulau Sumatera dan Jawa adalah wilayah kemaharajaan Sriwijaya (abad ke8 sampai ke-13 M), yang kemudian tumbuh menjadi kekuatan bahari yang
mendominasi kepulauan dan semenanjung Asia Tenggara. Sriwijaya
menganut agama Buddha aliran Mahayana dan Wajrayana, di bawah
perlindungan wangsa Sailendra. Sriwijaya menyebarkan kesenian Buddha
ke semenanjung Asia Tenggara. Beberapa contoh arca Buddha Mahayana
berupa arca bodhisatwa dari periode ini ditemukan di kawasan Asia
Tenggara.[40]

Arca Awalokiteshwara perunggu berlapis emas gaya Malayu-Sriwijaya,
ditemukan di Jambi, Sumatera.
Karya arsitektur yang halus dan kaya dapat ditemukan di Jawa dan
Sumatera. Contoh yang paling luar biasa adalah Borobudur, bangunan
Buddha terbesar di dunia, dibangun pada kurun 780-825 M,[49][50] sekaligus
salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[51] Candi ini dibangun
berdasarkan bentuk stupa dan mandala, sebagai model perwujudan alam
semesta dalam ajaran Buddha, sekaligus perwujudan tingkatan ranahdhatu,
dari alam manusia yang masih terikat hawa nafsu menuju pencerahan dan
terbebas dari belenggu hasrat duniawi dan keterbatasan fisik.[47] Candi ini
memiliki 505 arca Buddha, stupa unik berwujud seperti lonceng
berterawang yang didalamnya terdapat arca Buddha. Borobudur dihiasi
serangkaian relief rendah yang menggambarkan kisah-kisah dari kitab suci
Buddha. Seni rupa Buddha di Indonesia mencapai puncaknya pada masa
wangsa Sailendra di Jawa Tengah. Arca-arca Bodhisatwa, Tara,
dan Kinnara yang ditemukan di Candi Kalasan, Sewu, Sari,
danPlaosan adalah contoh keanggunan dan keteduhan ekspresi seni rupa.
Sementara di dalam Candi Mendut terdapat arca
Buddha Wairocana,Awalokiteswara, dan Wajrapani berukuran besar. Arcaarca seni rupa Buddha Indonesia dari periode Jawa kuno dan Sriwijaya
memiliki ciri; wujudnya yang realis-naturalis, perhatian terhadap ekpresi,
proporsi tubuh, dan keluwesan sikap tubuh, kehalusan pengerjaan, selera
estetika yang unggul, serta kecanggihan teknik pembuatannya.
Di Sumatera kerajaan Sriwijaya kemungkinan membangun Candi Muara
Takus dan Candi Muaro Jambi. Sementara di Sumatera Utara Kerajaan
Panai mungkin membangun kompleks Candi Bahal. Kemaharajaan Sriwijaya
mulai mundur karena terlibat konflik dengan kerajaan Chola dari India.

Contoh mahakarya seni rupa Buddha dari periode klasik Jawa adalah
arca Prajnaparamita (koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta), arca
dewi kebijaksanaan transendental dari periode Kerajaan Singhasari.
[52]
Di Jawa Timur, Kerajaan Singhasari pada abad ke-13 mewariskan
beberapa candi Buddha seperti Candi Jawi dan Candi Jago yang merupakan
perpaduan Siwa-Buddha dan stupa Sumberawan.[53] Kemudian
berkembanglah kerajaan Majapahit sebagai penerus Singhasari. Kerajaan
ini melindungi agama Hindu dan Buddha, agama resmi negara, juga
melindungi keberadaan aliran sinkretis Siwa-Buddha. Contoh candi Buddha
zaman Majapahit adalah Candi Brahu dan Candi Jabung. Kemudian,
perlahan-lahan jumlah penganut Hindu dan Buddha kian merosot, seiring
berkembangnya ajaran Islam di Nusantara sejak abad ke-13 M dan
mencapai akhirnya dengan keruntuhan Majapahit di akhir abad ke-15 M.
Perkembangan seni rupa hindu di Indonesia

Seni rupa Hindu Indonesia awal
mulanya datang dari India lewat agama, politik, dan perdagangan yang
tersebar di wilayah Indonesia. Wilayah yang menjadi pusat perkembangan
seni rupa ini yaitu seperti Bali, Jawa, dan Sumatera yang kemudian lambatlaun bercampur dengan kebudayaan daerah Indonesia. Akulturasi yang
terjadi ini berlangsung dalam kurun waktu yang bertahap melalui proses
imitasi (peniruan), adaptasi (penyesuaian), dan kreasi (penguasaan). Hasil
kreasi yang membentuk seni yang indah ini menjadikan seni rupa Hindu
cukup berpengaruh di Indonesia dan menjadi sejarah yang berharga.
Ciri-ciri Seni Rupa Hindu Indonesia
Seni rupa dari Hindu memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya
dengan seni rupa lainnya. Sifat yang dibawanya adalah feodal, yaitu pusat
kesenian berada di istana dan juga bersifat sakral. Jenis kesenian ini

menjadi media pada upacara adat yang dilakukan. Selain itu, sifatnya juga
lebih konvensional, dimana kesenian ini merupakan hasil akultrasi antara
kebudayaan India dan Indonesia sehingga membentuk seni rupa Hindu
Indonesia yang terpadu. Karya seni dari perpaduan ini bisa diamati dari
terbentuknya bangunan candi, pura, dan puri. Banyak candi-candi di
Indonesia yang mengisyaratkan lahirnya seni rupa yang terakulturasi,
misalnya saja seperti Candi Borobudur, Candi Sari, dan lain-lain. Setiap
candi biasanya memberi fungsi masing-masing. Ada yang didirikan untuk
tempat raja bertapa, sebagai gapura atau pintu gerbang, tempat bersemedi,
dan berbagai fungsi lainnya yang disesuaikan dengan kebudayaan Hindu di
Indonesia.
Candi yang dibangun biasanya memiliki struktur yang khas, seperti atap
yang berbentuk limas dan bermahkota stupa, terdapat banyak patung dan
arca di sekitar tubuh candi, serta kaki candi yang biasanya berbentuk bujur
sangkar. Tak jauh berbeda dengan bangunan pura ataupun puri, masingmasingnya juga memiliki keunikan tersendiri. Pura yang biasa banyak kita
temui yaitu dibangun di Bali. Tempat pembangunan pura ada yang didirikan
di tepi pantai, di daerah persawahan, di lereng gunung, dan di komplek
istana. Jika pura lebih banyak mengambil peran sebagai pusat spritualitas,
puri lebih berperan sebagai pusat dari pemerintahan, sekaligus juga
sebagai pusat keagamaan. Itulah beberapa bangunan yang menunjukkan
karya dari seni rupa Hindu Indonesia
Perkembangan seni rupa Islam

Seni rupa Islam adalah seni rupa yang berkembang pada masa lahir
hingga akhir masa keemasan Islam. Rentang ini bisa
didefinisikanmeliputi Jazirah Arab, Afrika Utara, Timur Tengah,
dan Eropa sejak mulai munculnya Islam pada 571 M hingga mulai
mundurnya kekuasaanTurki Ottoman. Walaupun sebenarnya Islam dan
keseniannya tersebar jauh lebih luas daripada itu dan tetap bertahan
hingga sekarang.
Seni rupa Islam adalah suatu bahasan yang khas dengan prinsip seni
rupa yang memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan seni rupa yang
dikenal pada masa ini. Tetapi perannya sendiri cukup besar di dalam
perkembangan seni rupa modern. Antara lain dalam pemunculan
unsur kontemporer seperti abstraksi dan filsafat keindahan. Seni rupa Islam
juga memunculkan inspirasi pengolahan kaligrafi menjadi motif hias.
Dekorasi di seni rupa Islam lebih banyak untuk menutupi sifat asli
medium arsitektur daripada yang banyak ditemukan pada masa ini,
perabotan. Dekorasi ini dikenal dengan istilah arabesque.

Peninggalan seni rupa Islam banyak
berbentuk masjid, istana, ilustrasi buku, dan permadani.

Gambaran keseluruhan
Seni Islam bukanlah seni yang berfokus pada agama saja tetapi juga
merangkumi kebudayaan Islam yang kaya dan berbagai macam. Ia
seringnya menggunakan unsur sekularserta juga unsur yang tidak disukai
oleh ahli teologi Islam, walau jika tidak diharamkan.[1]
Seni Islam berkembang daripada banyak sumber, dengan gaya-gaya seni
Roma, seni Kristen awal, dan seni Romawi Timur diserap ke dalam seni dan
seni bina Islam yang awal, khususnya seni Sassanid Persia pra-Islam.
Gaya Asia Tengah juga diserap menerusi serangan mendadak oleh
berbagai pengembara. Seni Cina juga merupakan salah satu pengaruh yang
penting dalam lukisan, tembikar, dan tekstil Islam."[2]
Lukisan Islam mengandungi unsur-unsur berulang, misalnya penggunaan
reka bentuk geometri berbunga-bunga atau bersayur-sayuran dalam gaya
ulangan yang dikenali sebagai arabes. Arabes dalam lukisan Islam sering
dipergunakan untuk melambangkan sifat Allah yang unggul, tidak
terbahagi, dan tidak terbatas.[3] Kesilapan pengulangan dalam lukisan Islam
mungkin disengajakan sebagai penampilan rendah hati oleh pelukisnya
yang mempercayai bahawa hanya Allah dapat menghasilkan kesempurnaan.
Walau bagaimanapun, teori ini telah dipertikaikan.[4][5][6]
Kebanyakan penganut Islam Sunni dan penganut Islam Syiah mempercayai
bahawa penggambaran makhluk umumya adalah haram. Bagaimanapun,
lukisan yang berkenaanmanusia boleh didapati pada seluruh zaman seni
Islam. Perlambangan manusia bagi tujuan penyembahan
berhala diharamkan oleh hukum Islam yang dikenali sebagai Syariat.
Meskipun begitu, terdapat banyak penggambaran Muhammad, Nabi utama
Islam, dalam seni Islam sejarah.[7][8]

Ciri dan periodisasi

Masjid Al-Aqsa, simbol kekayaan seni rupa Islam
Seni rupa Islam tidak berdiri sendiri seperti Seni rupa Buddha ataupun
Barat. Ia merupakan gabungan dari kesenian daerah-daerah taklukan
akibat adanya ekspansi oleh kerajaan bercorak Islam di sekitar Timur
Tengah, Afrika Utara, Asia Kecil, dan Eropa dan penakulukan oleh
bangsa Mongol. Daerah ini didefinisikan sebagai Persia, Mesir, Moor,
Spanyol, Bizantium, India, Mongolia, dan Seljuk. Selain itu ditemukan pula
pengaruh akibat hubungan dagang, seperti Tiongkok. Ini disebabkan
miskinnya seni rupa asli Arab pada saat itu walaupun dalam bidang sastra
dan musik sebenarnya memperlihatkan hal yang menakjubkan.
Keberagaman pengaruh inilah yang membuat seni rupa Islam sangat kaya.
Hal ini terutama bisa dilihat dari arsitektur Islam yang memperlihatkan
gabungan corak dari berbagai daerah.
Seni rupa asli Jazirah Arab]
Seni rupa asli Jazirah Arab bisa terlihat dari arsitektur di sekitar
wilayah Makkah dan Madinah. Kedua kota ini merupakan pusat
pemerintahan pada masa Nabi Muhammad.
Biasanya arsitektur asli Jazirah Arab berupa bentuk bangunan segi empat
sederhana yang difungsikan sebagai tempat ibadah. Bagian tengah
merupakan lapangan terbuka dengan dikelilingi pilar, dinding, dan kamarkamar. Lapangan berfungsi sebagai tempat salat berjamaah dan di bagian
depan kiblat terdapat mimbar untuk khatib yang memberikan ceramah
keagamaan.
Contoh bangunan yang masih memperlihatkan ciri arsitektur ini
adalah Masjid Nabawi.
Seni rupa Umayyah

Masjid Umayyah, Syria
Seni rupa pada zaman Umayyah banyak dipengaruhi oleh
kesenian Bizantium, sebagai akibat dipindahkannya pusat pemerintahan
Islam dari Makkah ke Syria. Seni rupa ini banyak memperlihatkan ciri seni
rupa kristen awal, yaitu bentuk-bentuk basilika dan menara. Seperti bisa
dilihat di Masjid Umayyah yang awalnya adalah Gereja
Johannes di Damaskus. Interior masjid ini digarap seniman-seniman Yunani
dari Konstantinopel.
Pada masa ini ragam hias mosaik dan stucco yang dipengaruhi oleh
pengulangan geometris sebagai tanda berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan. Selain itu ciri khas lapangan di tengah masjid mulai diganti
oleh ruangan besar yang ditutup kubah.
Pada masa ini pula dikenal kalifah yang sangat memperhatikan kelestarian
masjid-masjid, yaitu Kalifah Abdul Malik dan Kalifah Al-walid. Kalifah Abdul
Malik membangun Kubah Batu Karang (dikenal pula dengan nama
Masjid Quber esh Sakhra dan Masjid Umar) sebagai pengingat tempat
dinaikkannya Nabi Muhammad ke langit pada peristiwa Isra-Miraj. Selain
itu dibangun pula Masjid Al Aqsa.
Dinasti Umayyah juga meninggalkan banyak istana yang memiliki ciri
tersendiri, yaitu bangunan di tengah-tengah gurun pasir yang terasing,
walaupun kini banyak yang telah rusak. Contohnya adalah Istana Kusair
Amra.
Seni rupa Abbasyiah
Perkembangan seni rupa periode ini dimulai sejak tahun 747 M sebagai
akibat keruntuhan Dinasti Umayyah akibat revolusi oleh Keluarga
Abbasiyah bersama kelompok Syiah. Seni rupa ini terkonsentrasi di pusat
pemerintahan baru di daerah Baghdad dan kemudian pindah ke Sammara,
Persia (sekarang wilayah Iran dan Irak). Walaupun
sebenarnyaBaghdad adalah pusat pemerintahan dan kebudayaan, namun
penyerangan oleh bangsa Mongol membuat hampir seluruh peninggalan di
daerah ini musnah, sehingga bukti karya lebih banyak didapat di daerahdaerah sekitarnya.

Seni rupa pada zaman ini maju akibat lancarnya perdagangan dengan
bangsa Syria, Tiongkok, India, dan bahkan Nusantara. Selain itu dimulai
banyak penerjemahan tulisan-tulisan kuno Yunani, sehingga seni ilustrasi
berkembang.
Peninggalan penting dari masa ini adalah Masjid Mutawakkil, Masjid Abu
Delif, dan bekas istana kalifah. Masjid pada zaman ini berciri mirip
bangunan kuno mesopotamia, yaitu menara yang semakin mengecil di
bagian ujungnya dan motif hias abjad Kufa, yaitu motif hias dari kaligrafi
berbentuk tajam dan kaku. Selain itu ditemukan bentuk tiang melengkung.
Pindahnya kekuasaan dari keluarga Abbasyiah ke Fatimiyah dan
dipindahkannya ibukota ke Mesir membuat pengaruh seni Afrika Utara
menjadi kuat.
Seni rupa Turki
Pengaruh Turki didapat dari penaklukan Iran oleh bangsa Turki pada abad
ke-11 M. Di bawah kekuasaan ini Romawi Timur, Iran, Mesopotamia,
dan Asia Kecil bersatu di bawah kerajaan bercorak Islam.
Pada masa ini seni rupa yang berkembang adalah dekorasi dan tekstil.
Antara lain ditemukan teknik hias batu bata. Selain itu ditemukan kaligrafi
dengan abjad nashi dan juga banyak pengaruh keramik-keramik Tiongkok
dari dinasti Sung.
Seni rupa Kordoba
Dimulai pada tahun 750, Seni rupa Kordoba meliputi daerah Spanyol dan
Moor. Contoh peninggalannya adalah Masjid Kordoba. Ia merupakan
gabungan kesenian Yunani klasik dan kesenian lokal yang tidak
terorganisasi dengan baik menjadi satu kesatuan. Ciri utamanya adalah
pelengkung tapal kuda.
Ciri khas seni rupa dari Moor adalah pemakaian motif yang diinspirasi oleh
pengulangan ilmu ukur.
Kontroversi hukum seni rupa

Tatakan lilin dari Iran berbentukhewan, kini di Museum Louvre
Ada banyak sekali pendapat mengenai seni rupa di dalam Islam. Pandangan
kaum konservatif yang populer pada awal kemunculan Islam beranggapan
bahwa segala bentuk peniruan adalah usaha menyaingi kesempurnaan
Tuhan dan wujud keinginan menciptakan Tuhanbaru. Tetapi banyak pula
yang menyatakan bahwa bagaimanapun hasil penciptaan manusia tetap
tidak akan bisa menyamai apa yang telah diciptakan Tuhan ataupun Tuhan
itu sendiri,
sehingga seni rupa tidak bisa dianggap penjiplakan saja, tetapi diiringi pula
denganstilasi yang memperlihatkan keagungan Pencipta. Sementara
pendapat lain terbentuk atas pengaruh kebudayaan Eropa, yang
menganggap proses seni rupa adalah hal normal, ia sama sekali tidak bisa
dianggap sebagai usaha menciptakan makhluk baru ataupun Tuhan baru,
sehingga sama sekali tidak perlu dilarang.
Bagaimanapun sangat sulit menemukan peninggalan seni patung dari seni
rupa Islam, karena sejarahnya yang berhubungan langsung dengan
tindakan berhala. Tetapi tidak sulit menemukan bentuk-bentuk makhluk
hidup dalam bentuk perabotan. Juga dengan mudah bisa ditemukan lukisanlukisan di dinding istana dan gambar ilustrasi untuk buku-buku terjemahan
ilmu pengetahuan walaupun hanya sebagai tiruan dari ilustrasi buku
aslinya.

Proses berkembangnya Agama Islam di Indonesia meninggalkan telah
mempengaruhi corak dan kebudayaan Indonesia asli. Percampuran unsurunsur budaya antara budaya Islam dan budaya asli Indonesia melahirkan
akulturasi kebudayaan. Perwujudan akukturasi kebudayaan itu dalam
bentuk seni bangunan dan arsitektur, seperti mesjid, keraton, nisan
makam, seni tulis indah atau kaligrafi, dan seni sastra.
a. Mesjid
Dalam seni bangunan wujud akulturasi budaya Islam dan budaya tradisional
Indoneesia

yang paling menonjol ada pada bangunan mesjid. Bagi pemeluk Agama
Islam, mesjid merupakan tempat suci bagi umat Islam untuk
melakukan peribadatan. Mesjid yang ada di Indonesia memiliki ciriciriarsitektur yang berbeda dengan mesjid-mesjid di negara lain.
Mesjid-mesjid kuno yang ada di Indonesia mempunyai ciri khas perpaduan
budaya Islam dan tradisional.Ciri khasnya adalah pada atapnya
yangbertingkat lebih dari satu (atap tumpang), biasanya sampai tiga
tingkat. Atap tumpang ini menurut ahli sejarah merupakan perpaduan
unsur
budaya
tradisional,
budaya Hindu
dan
budaya
Islam.
Bangunannya berbentuk bujur sangkar, ada serambi di bagian samping dan
belakang. Memiliki fondasi yang kokoh, terdapat mihrab atau tempat
khotbah imam/tempat berdakwah dalam masjid. Terdapat kolam air
untuk menyucikan tubuh (wudhu) sebelum melakukan ibadah.
b. Keraton
Bangunan pusat kerajaan atau kesultanan, tempat raja menetap. Pada masa
Islam di Indonesia, keraton berperan penting baik sebagai pusat kekuasaan
politik, juga berfungsi sebagai pusat penyebaran Agama Islam. Keraton atau
istana yang dibangun pada masa Islam berorak khas perpaduan
unsurunsur arsitektur tradisional, budaya Hindu-Buddha dan budaya Islam.
Pada atapnya yang tumpang dan pintu masuk keraton yang berbentuk
gapura. Letak keraton biasanya dihubungkan dengankepercayaan
masyarakat, selalu menghadap ke arah utara, di sebelah barat ada mesjid,
dan sebelah timur ada pasar, sebelah selatan alun-alun. Tata ruang seperti
merupakan tradisi masyarakat pra sejarah Indonesia yang disebut macapat.
Di lapangan luas keraton terdapat pohon beringin besar.
c. Makam
Makam adalah tempat peristirahatan yang terakhir dan abadi sehingga
pembuatannya

selalu diusahakan untuk menjadi perumahan yang sesuai dengan orang
yang dikuburnya. Makam para sultan atau raja dan tokoh Agama dibangun
seperti layaknya
sebuah
istana.
Pada
umumnya
makam
di
kerajaan dibangun di lereng sebuah bukit, seperti komplek pemakam
rajaraja keturunan Mataram di Imogiri Yogyakarta
Dalam
kepercayaan
masyarakat
pra
sejarah
Indonesia. Komplek
pemakaman ditempatkan di atas bukit atau lereng. Pada komplek makam
raja di Imogiri Yogyakarta berada di atas sebuah bukit. Makam tertua di
Indonesia adalah makam Fatimah binti Maimun yang lebih dikenal dengan
putri Suwari di Leran Gresik bertahun 1082. Makam ini mirip candi. Makam
lainnya, seperti Makam Syeikh Maulana Malik Ibrahim
d. Kaligraf
Kaligrafi adalah seni tulisan indah dengan mengunakan bahasa Arab.
Kaligrafi mulai berkembang pada abad ke-16, seni tulis indah dalam bahasa
Arab dipahatkan pada sebuah batu atau kayu. Kalimat yang diambil
biasanya dari ayat-ayat suci Al-Qur'an dan Hadits. Motif kaligrafi biasanya
berbentuk tumbuh-tumbuhan,
bunga-bungaan,
pemandangan
alam
atau hanya garis-garis geometris saja. Seni kaligrafi Islam ini
turut mewarnai perkembangan seni rupa di Indonesia. Biasa seni kaligrafi
dipakai untuk hiasan pada bangunan masjid, motif batik, hiasan keramik,
hiasan pada keris, hiasan pada batu nisan, dan pada dinding rumah.
e. Tradisi dan Upacara
Kebudayaan Islam yang
akulturasi dengan tradisi

masuk

ke Nusantara

mengalami

proses

dan upacara masyarakat setempat. Misalnya, tradisi terhadap seseorang
yang sudah meninggal diadakan selamatan hari ke -1 sampai ke- 7, ke-40,
ke-100 dan ke-1000. Demikian juga tradisi nyekar (ziarah ke makam dengan
menaburkan bunga dan air ke makam).
Upacara-upacara
keagamaan
yang sampai
saat
ini
senantiasa
diselenggarakan seperti peringatan hari-hari besar Islam, misalnya Maulud
Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, dan 1 Muharram. Upacara adat tradisional
Grebek Maulud di daerah-daerah tertentu disertai dengan pencucian keris
dan diramaikan dengan seni pertunjukan lainnya. Upacara yang berkaitan
dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian
merupakan rutinitas kegiatan masyarakat Islam. Mereka memadukan
dengan adat istiadat setempat.
Tahapan perkembangan seni rupa Indonesia modern
1. Masa Perintisan yaitu sekitar tahun 1817 sampai tahun 1880
Pada masa perintisan ini tokoh yang paling dikenal adalah Raden Saleh,
dengan nama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman Lahir di Terbaya, pada
tahun 1814 -1880, putra keluarga bangsawan pribumi yang mampu melukis
gaya atau cara barat, baik dari segi alat, media maupun teknik, dengan
penggambaran yang natural dan
Raden Saleh banyak mendapat bimbingan dari pelukis Belgia Antonio
Payen, pelukis Belanda A. Schelfhouf dan C. Kruseman di Den Haag. Dia
sering berkeliling dunia dan pernah tinggal di Negara-Negara Eropa.

Ciri-ciri karya lukisan pada masa ini dengan Raden Saleh sebagai
pelopornya adalah :


Bergaya natural dan romantisme



Kuat dalam melukis potret dan binatang



Pengaruh romantisme Eropa terutama dari Delacroix.



Pengamatan yang sangat baik pada alam maupun binatang

Beberapa judul Karya Raden Saleh:


Hutan terbakar



Perkelahian antara hidup dan mati



Pangeran Diponegoro



Berburu Banteng di Jawa



Potret para Bangsawan

Contoh karya-karya masa perintisan

Deanles Karya Raden Saleh

Berburu Rusa - karya Raden Saleh

Badai/TheStorm 1851 - Raden Saleh
2. Masa Indonesia Jelita
Selanjutnya muncul pelukis-pelukis muda yang memiliki konsep berbeda
dengan masa perintisan, yaitu melukis keindahan dan keelokan alam
Indonesia.Keadaan ini ditandai pula dengan datangnya para pelukis
luar/barat atau sebagian ada yang menetap dan melukis keindahan alam
Masa ini dinamakan Indonesia Jelita karena pada masa ini Karya-karya yang
dihasilkan para Seniman Lukis lebih banyak menggambarkan tentang
keindahan alam, serta lebih banyak menonjolkan nada erotis dalam
melukiskan manusia.
Tokoh Pelukis pada Masa Indonesia Jelita ini adalah :


Abdullah Suriosubroto (1878-1941)



Mas Pirngadi (1875-1936)



Wakidi



Basuki Abdullah



Henk Ngantung, Lee Man Fong (dll)



Rudolf Bonnet (Bld), Walter Spies (Bel), Romuldo Locatelli, Lee Mayer
(Jerman) dan W.G. Hofker.

Ciri-ciri lukisan yang dihasilkan yaitu:


Pengambilan obyek alam yang indah



Tidak mencerminkan nilai-nilai jiwa merdeka



Kemahiran teknik melukis tidak dibarengi dengan penonjolan nilai
spirituil



Menonjolkan nada erotis dalam melukiskan manusia

Contoh karya pada masa ini adalah :

The Day’s end Mount
Lukisan cat minyak, karya Abdullah SR

Mountain Landscape karya Wakidi
Cat minyak diatas kanvas, 139.5 x 197 cm

Gunung Merapi, karya Basoeki Abdullah

Balinese legend,W. Spies

Village life in Sanur
Willem Gerard Hofker (1902-1981), oil on canvas

Full moon ceremony(1994)
oil on canvas by Arie Smith

3. MASA CITA NASIONAL
Masa Cita Nasional yaitu Bangkitnya kesadaran nasional yang dipelopori
oleh Boedi Oetomo pada Tahun 1908. Seniman S. Sudjojono, Surono, Abd.
Salam, Agus Djajasumita mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar
Indonesia). Perkumpulan pertama di Jakarta, berupaya mengimbangi
lembaga kesenian asing Kunstring yang mampu menghimpun lukisanlukisan bercorak modern. PERSAGI berupaya mencari dan menggali nilainilai yang mencerminkan kepribadian Indonesia yang sebenarnya
Hasil karya mereka mencerminkan :


Mementingkan nilai-nilai psikologis;



Tema perjuangan rakyat ;



Tidak terikat kepada obyek alam yang nyata;



Memiliki kepribadian Indonesia ;



Didasari oleh semangat dan keberanian;

Karya-karya seni lukis masa PERSAGI antara lain :


Agus Djajasumita : Barata Yudha, Arjuna Wiwaha, Nirwana, Dalam
Taman Nirwana



S. Sudjojono: Djongkatan, Didepan Kelambu Terbuka, Mainan, Cap Go
meh.



Otto Djaya: Penggodaan, Wanita Impian

- Di Depan Kelambu Terbuka,1939, Sudjojono, 86 x 66 cm
- Laki-laki Bali dan Ayam Jago, 1958, Agus Djaja S.,
cat minyak di atas kanvas, 100 x 140 cm

Kawan - kawan Revolusi,
1947 karya S. Sudjojono, cat minyak di atas kanvas, 95 x 149 cm

Penjual Jamu, karya Otto Djaya Suminta

4.

Masa Pendudukan Jepang

Masa Pendudukan Jepang


Cita PERSAGI masih melekat pada para pelukis, serta menyadari
pentingnya seni lukis untuk kepentingan revolusi.



Pemerintah Jepang mendirikan KEIMIN BUNKA SHIDOSO,Lembaga
Kesenian Indonesia –Jepang ini pada dasarnya lebih mengarah pada
kegiatan propaganda Jepang.



Tahun 1943 berdiri PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) oleh Bung Karno,
Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH Mansur. Tujuannya
memperhatikan dan memperkuat perkembangan seni dan budaya.
Khusus dalam seni lukis dikelola oleh S. Sudjojono dan Afandi,
selanjutnya bergabung pelukis Hendara, Sudarso, Barli, Wahdi dan
sebagainya Hasil karya mereka mencerminkan kelanjutandari masa
cita Nasional

Tokoh utama pada masa ini antara lain:


S. Sudjojono



Basuki Abdullah, Emiria Surnasa



Agus Djajasumita, Barli



Affandi, Hendra dan lain-lain

Mengungsi, 1947, karya S. Sudjojono,
cat minyak diatas kanvas, 95 x 149 cm

Keluarga Pemusik , 1971, karya Hendra Gunawan,
cat minyak diatas kanvas, 150 x 90 cm

Pengemis karya Affandi,
Cat minyak di atas kanvas, 99 x 129 cm

5.Periode pasca-kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka bermunculanlah kelompok-kelompok seniman
lukis Indonesia, diantaranya:

( kuda putih karya Affandi )


Sanggar Masyarakat (1946) dipimpin Affandi, kemudian diganti nama
menjadi SIM (Seniman Indonesia Muda) yang dipimpin oleh S.
Sudjojono;



Pelukis Rakyat (1947), Affandi dan Hendra Gunawan keluar dari SIM
dan mendirikan Pelukis Rakyat dipimpin oleh Affandi;



Perkumpulan Prabangkara (1948);



ASRI (Akademi Senirupa (1948), tokoh-tokoh pendirinya RJ. Katamsi,
S.Sudjojono,Hendra Gunawan, Jayengasmoro, Kusnadi dan
Sindusisworo;



Tahun 1950 di Bandung berdiri Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar
yang dipelopori oleh Prof. Syafei Sumarya, Mochtar Apin, Ahmad Sadali,
Sujoko, Edi Karta Subarna;



Tahun 1955, berdiri Yin Hua oleh Lee Man Fong ( perkumoulan
pelukis Indonesia keturunan Tionghoa);





Tahun 1958, berdiri Yayasan seni dan desain Indonesia oleh Gaos
Harjasumantri.
Tahun 1959, berdiri Organisasi Seniman Indonesia oleh Nashar.

6.Periode akademi (1950)

( Lukisan karya Barli Sasmita )
Pengembangan senirupa melalui pendidikan formal. Lembaga pendidikan
yang bernama ASRI yang berdiri tahun 1948 kemudiaan secara formal
tahun 1950 lembaga tersebut mulai membuat rumusan-rumusan untuk
mencetak seniman-seniman dan calon guru gambar. Pada
tahun 1959 di Bandung dibuka jurusan Senirupa Institut Teknologi
Bandung(ITB), kemudian dibuka pula jurusan Senirupa di semua Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) diseluruh Indonesia.

7.Periode senirupa baru[

( Lukisan karya Dede Eri Supria )
Pada sekitar tahun 1974 muncul kelompok baru dalam seni lukis. Kelompok
ini menampilkan corak baru dalam seni lukis Indonesia yang membebaskan
diri dari batasan-batasan senirupa yang telah ada. Seniman muda yang
mempelopori kelompok ini adalah Jim Supangkat, S. Prinka, Dee Eri Supria.
Konsep kelompok ini adalah:



Tidak membedakan disiplin seni;
Menghilangkan sikap seseorang dalam mengkhususkan penciptaan
seni;



Mendambakan kreatifitas baru;



Membebaskan diri dari batasan-batasan yang sudah mapan;



Bersifat eksperimental.

1.

1.

MOOI INDIE

Pada mulanya istilah Mooi Indie pernah dipakai untuk memberi judul
reproduksi sebelas lukisan pemandangan cat air Du Chattel yang
diterbitkan dalam bentuk portfolio di Amsterdam tahun 1930. Namun
demikian istilah itu menjadi popular di Hindia Belanda semenjak S.
Sudjojono memakainya untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan
dalam tulisannya pada tahun 1939. Dia mengatakan bahwa lukisan-lukisan
pemandangan yang serba bagus, serba enak, romantis bagai di surga,
tenang dan damai, tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie
(Hindia Belanda yang Indah).
Berawal dari para pelukis yang karena kelahiran dan tempat tinggalnya di
Indonesia (Hindia Belanda) menjadi para pelukis Indo Belanda atau biasa
disebut Indische Schilderer, serta ditambah para pelukis asing yang datang
dari berbagai negara Eropa. Sehingga ada proses asimilasi dan alkulturasi
yang kental yang mempengaruhi corak mooi indie.
Lukisan-Iukisan Mooi Indie dapat dikenali dari penampilan fisiknya. Bentuk
atau subyek maternya adalah pemandangan alam yang dihiasi gunung,
sawah, pohon penuh bunga, pantai atau telaga. Selain itu kecantikan dan
eksotisme wanita-wanita pribumi, baik dalam pose keseharian, sebagai
penari, atau pun dalam keadaan setengah busana. Laki-Iaki pribumi juga
sering muncul sebagai obyek lukisan, biasanya sebagai orang desa, penari
atau bangsawan yang direkam dalam setting suasana Hindia Belanda.
Menurut M. Agoes Burhan, wama yang dipakai untuk mengungkapkan
obyek-obyek itu kebanyakan cerah dan mengejar cahaya yang menyala.
Karakter garisnya lembut sebagaimana lukisan Du Chattel, sampai lincah
dan spontan seperti Isaac Israel, tetapi tidak ada yang sampai liar
sebagaimana goresan orang-orang ekspresionis. Mereka menempatkan
obyek-obyek dalam komposisi yang formal, seimbang, sehingga
menghasilkan suasana tenang. Konsekuensinya, komposisi yang mengarah

pada struktur diagonal atau bloking objek-objek dari sudut kanvas untuk
menimbulkan suasana tegang dan dramatis jarang dipakai. Ciri-ciri fisik
yang demikian itu merupakan manifestasi dari ide pelukisnya yang ingin
merealisasikan impian untuk melihat negeri Timur, yang bagi pelukispelukis Belanda merupakan dunia dongeng sejak masa kanak-kanak
mereka. Terdapat empat kelompok pelukis dari aliran Indie Mooi ini yang
mulai berkembang pada awal abad ke-20 ini, yaitu:
Orang asing yang datang dari luar negeri yang jatuh cinta pada



keindahan negeri ini dan menemukan obyekobyek yang cocok di tanah
Hindia. Misalnya F.J. du Chattel, Manus Bauer, Nieuwkamp, Isaac Israel,
PAJ Moojen, Carel Dake, Romualdo Locatelli (Itali), dll.
Orang-orang Belanda kelahiran Hindia Belanda, misalnya Henry van



Velthuijzen, Charles Sayers, Ernest Dezen~e, Leonard Eland, Jan Frank,
dll


Orang pribumi yang berbakat melukis dan mendapat ketrampilan dari
dua kelompok di atas, misalnya Raden Saleh, Mas Pirngadi, Abdullah
Surisubroto, Wakidi, Basuki Abdullah, Mas Soeryo Soebanto, Henk
Ngantunk



Orang-orang Cina yang mulai muncul pada dasawarsa ketiga abad 20,
khususnya Lee Man Fong, Oei Tiang Oen dan Biau Tik Kwie. Pada
umurnnya, dalam melakukan publikasi karya-karyanya mereka
mengadakan pameran selama di Jakarta bertempat di Bataviasche
Kuntkringgebouw, Theosofie Vereeniging, Kunstzaal Kolff & Co, Hotel
Des Indes, dll.

Yang saya simpulkan ada 5 penggerak aliran lukis dimasa ini, yakni: A. A. J
Payen (1792-1853), Raden Saleh (1807-1880), Abdullah Suryobroto (18781941), Wakidi (1888-1979), dan Mas Pirngadi (1875-1936)
1.

2.

TOKOH PENTING MOOI INDIE



A. A. J. PAYEN (Belgia 1792-1853)

Antoine A.J PAYEN ialah penggerak utama atau penghubung antara koonial
Belanda pada masa itu dengan Indonesia. Payen sebutannya ialah pribumi
yang dipercayai colonial Belanda saat itu untuk bekerja pada “Badan
Penyelidik Pengetahuan dan Kesenian” yang dikepalai oleh C.G.C.
Reinwardt. Saat itu payen bekerja bersama Bik bersaudara (Theodorus Bik
dan Adrianus Bik) dengan tugas resmi melukis alam, kota, pemandangan,
tumbuh-tumbuhan dan fauna untuk kepentingan Natural Sciences
Commission pada badan yang dipimpin Reinwardt tersebut.
Pertemuan pertamanya dengan muridnya Raden Saleh di tempat tersebut
mengembangkan minat gambar pribumi, secara khusus Raden Saleh.
Bersama Bik bersaudara dia mengajari Raden Saleh menggambar.
Setelah Inggris “menyerahkan” kembali Indonesia kepada Belanda ditahun
1816, pemerintahan jajahan yang baru dari Nederland tidak saja membawa
penguasa-penguasa kolonial, tetapi juga beberapa guru besar atau
professor yang diantaranya adalah Reinwardt yang dikuasakan untuk
melakukan penyelidikan-penyelidikan tent