PENGGUNAAN ASAS DISKRESI DALAM PELAKSANA

MAKALAH HAN LANJUT

PENGGUNAAN ASAS DISKRESI DALAM PELAKSANAAN FUNGSI
PEMERINTAHAN YANG DEMOKRATIS DAN BERBASIS GOOD
GOVERNANCE
(implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan
BUMD)

Oleh:
INUGRAHA AL AZIZ PURYASANDRA
8111412180

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Terbentuknya suatu Negara atau pemerintahan (aparat penyelenggara), secara
filosofis, antara lain memang ditujukan untuk mencegah dan menghindari, setidaktidaknya mengurangi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di dalam masyarakat. Beberapa
teori menyebutkan bahwa Negara bertujuan untuk memelihara dan menjamin hak-hak
alamiah manusia, yaitu hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta sendiri (John Locke),
untuk mencapai the greatest happiness of the greatest number (John Stuart Mill),
menciptakan perdamaian dunia dengan jalan menciptakan undang-undang bagi seluruh
umat manusia (Dante). Sedangkan James Wilford membagi tujuan Negara menjadi 3
(tiga), yaitu tujuan asli ialah pemeliharaan perdamaian, ketertiban, keamanan dan
keadilan, tujuan sekunder ialah kesejahteraan warga negara, dan tujuan memajukan
peradaban.

Pakar lain menyebutkan bahwa fungsi negara adalah melaksanakan penertiban,
menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran, fungsi pertahanan, dan menegakkan
keadilan. Ini berarti pula bahwa fungsi negara dan pemerintah adalah memberikan
perlindungan bagi warganya, baik dibidang politik maupun sosial ekonomi. Oleh
karenanya tugas pemerintah diperluas dengan maksud untuk menjamin kepentingan
umum sehingga lapangan tugasnya mencakup berbagai aspek seperti kesehatan rakyat,
pendidikan, perumahan, distribusi tanah, dan sebagainya1 Dilihat dari pekerjaan yang
dikerjakan oleh aparatur pemerintah, fungsi pemerintahan memiliki cakupan yang sangat
luas, terlebih lagi dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state).2 Akan tetapi secara

keseluruhan fungsi pemerintahan terdiri dari berbagai macam tindakan-tindakan
pemerintah : keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tindakantindakan hukum perdata dan tindakan-tindakan nyata. Hanya perundang-undangan dari

1 Tri Widodo W. Utomo, Etika dan Hukum Administrasi Publik, Lembaga Administrasi Negara Perwakilan
Jawa Barat, 2000, hlm 34
2 Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta,
2008, hlm 48

penguasa politik dan peradilan oleh para hakim tidak termasuk di dalamnya 3. Di dalam
Negara kesejahteraan (welfare state) konsep dasar penyelenggaraan pemerintahan tertuju
pada terwujudnya kesejahteraan umum, karena fungsi pemerintahan dapat dipetakan
meliputi:4
1. Fungsi perencanaan (planing)
2. Fungsi pengaturan (regeling)
3. Fungsi tata pemerintahan (bestuur)
4. Fungsi kepolisian (police)
5. Fungsi penyelesaian perselisihan secara administrative (administratieve rechtspleging)
6. Fungsi tata-usaha yang dilakukan oleh kantor pemerintahan dan sebagainya
7. Fungsi pelayanan (public service)
8. Fungsi pemberdayaan dan pembangunan

9. Fungsi penyelenggaraan usaha-usaha Negara yang dilakukan oleh dinas-dinas,
lembaga-lembaga dan perusahaan Negara
10. Fungsi keuangan
11. Fungsi hubungan luar negeri
12. Fungsi pertahanan dan keamanan
13. Fungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum
14. Fungsi kewarganegaraan.
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum
administrasi, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya atas
dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar
wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legalitiet beginselen).
Menurut S.F. Marbun, wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan
oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Dengan
demikian, wewenang pemerintahan memiliki sifat-sifat, antara lain:5

3 Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, Cetakan Kesepuluh, 2008, hlm 8
4 Sadjijono, Ibid
5 Ibid, hlm 49-50


1. Express implied
2. Jelas maksud dan tujuannya
3. Terikat pada waktu tertentu
4. Tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan tidak tertulis ; dan
5. Isi wewenang dapat bersifat umum (abstrak) dan konkrit.
Di dalam kepustakaan hukum publik terutama dalam hukum administrasi,
wewenang pemerintah berdasarkan sifatnya dapat dilakukan pembagian, sebagai berikut
1. Wewenang yang bersifat terikat : yakni wewenang yang harus sesuai dengan aturan
dasar yang menentukan waktu dan keadaan wewenang tersebut dapat dilaksanakan,
termasuk rumusan dasar isi dan keputusan yang diambil.
2.

Wewenang bersifat fakultatif : yakni wewenang yang dimiliki oleh badan atau

pejabat administrasi, namun demikian tidak ada kewajiban atau keharusan untuk
menggunakan wewenang tersebut dan sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun
pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal dan keadaan tertentu berdasarkan aturan
dasarnya.
3.


Wewenang bersifat bebas : yakni wewenang badan atau pejabat pemerintahan

(administrasi) dapat menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri
mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkan, karena peraturan dasarnya memberi
kebebasan kepada penerima wewenang tersebut.
Walaupun melekat adanya wewenang bebas, namun demikian pemerintahan
dalam melaksanakan fungsinya tidak dapat menggunakan wewenang bebas tersebut
sebesar-besarnya, karena di dalam Negara hukum tidak ada wewenang dalam arti
sebebas-bebasnya atau kebebasan tanpa batas. Wewenang selalu dijalankan dengan
batasan-batasan hukum, mengingat wewenang hanya diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu legitimasi penyelenggaraan
pemerintahan adalah wewenang yang diberikan oleh undang-undang (norma wewenang),
dan substansi dari asas legalitas (legalitiet beginselen) dalam penyelenggaraan
pemerintahan adalah wewenang.6

6 Ibid, hlm 52-55

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian asas diskresi dan Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pelaksanaan

Fungsi Pemerintahan
2. Apa sajakah prinsip-prinsip pokok dalam mewujudkan good governance untuk
mencapai pemerintahan yang Demokratis (implementasi Good Corporate
Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan BUMD
1.2Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian Diskresi dan Penggunaan Asas Diskresi Dalam
Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan
2. Menguraikan apa sajakah prinsip-prinsip pokok dalam mewujudkan good
governance untuk mencapai pemerintahan yang Demokratis ( implementasi Good
Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan BUMD)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Diskresi dan Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pelaksanaan Fungsi
Pemerintahan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai diskresi, terlebih dahulu perlu dipahami
apa yang dimaksud dengan diskresi itu sendiri. Banyak pakar hukum yang memberikan
definisi asas diskresi, menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir discretionnaire,
Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan
terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur , jadi merupakan

”kekecualian” dari asas legalitas. Menurut Prof. Benyamin7, diskresi didefinisikan
sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.
Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.
Selanjutnya Gayus T. Lumbuun8 mendefinisikan diskresi sebagai berikut: “Diskresi
adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan
pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang,
dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah
7 Benyamin, SF. ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001
8 Gayus T. Lumbuun, Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk Melindungi Pejabat Publik

kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB).”

Mengenai definisi tersebut diatas, selanjutnya Gayus T. Lumbuun

menjelaskan bahwa secara hukum mungkin orang yang menggunakan asas diskresi
tersebut melanggar, tetapi secara azas ia tidak melanggar kepentingan umum dan itu
merupkan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana.
Sedangkan definisi diskresi menurut Sjachran Basah seperti dikutip oleh Patuan Sinaga,
adalah: ”…, tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai…, melibatkan administrasi

negara di dalam melaksanakan tugas-tugas servis publiknya yang sangat kompleks, luas
lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara
memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan walaupun demikian sikap
tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum”.
Berdasarkan Pengertian tersebut di atas menurut para ahli , tersimpulkan bahwa unsurunsur yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi adalah:

 Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur
negara;

 Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan
keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan;

 Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral
maupun hukum.
Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara
yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk
menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun
merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD
1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara
tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut

maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan
sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif
berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service)
yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil
keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan
(rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada

administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries
ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).

Dalam Negara modern dewasa ini yang dikenal dengan istilah “ Welfare State
“atau

Negara

kesejahteraan,

mempunyai

kewajiban


untuk

menyelenggarakan

kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bertindak
menyelesaikan segala aspek/ persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya,
walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya. Atas dasar ini maka pemerintah
ddiberikan kebebasan untuk dapat melakukan/ bertindak dengan suatu inisiatif sendiri
untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna kepentingan umum.
Kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas inisiatif sendiri itu disebut dengan istilah “
Freies Ermessen”9
Apabila dibandingkan dengan Negara kita, Indonesia, freies Ermessen muncul
bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisir tujuan Negara
seperti yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena tugas utama pemerintah dalam konsep welfare state itu memberikan
pelayanan bagi warga Negara, maka muncul prinsip “Pemerintah tidak boleh menolak
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya ”10 Memaknai istilah freies Ermessen tidak


dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau wewenang pemerintahan yang melekat
untuk bertindak, yakni bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan
tanggungjawab atas tindakan tersebut. Secara etimologis, istilah freies Ermerssen berasal
dari bahasa Jerman, frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, merdeka. Freies artinya orang
yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti mempertimbangkan,
menilai, menduga, memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki
kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.11 Dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah “discretion” atau “discretion power”, di Indonesia lebih
popular dikenal dengan istilah diskresi yang diterjemahkan “kebebasan bertindak” atau
keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Istilah freies Ermessen menurut
9 Bega Ragawino, Hukum Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Padjajaran, Bandung, 2006, hlm 37
10 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 133
11 Ibid, hlm 130

Laica Marzuki adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat

administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diemban dalam kaitan
menjalankan bestuurzorg. Di dalam Black Law Dictionary “discretion” mengantung arti
“A public official’s power or right to act in certain circumstances according to personal
judgment and conscience”. Penekanan dalam arti tersebut pada kekuasaan pejabat publik
untuk bertindak menurut keputusan dan hati nurani sendiri. Tindakan tersebut dilakukan
atas dasar kekuasaan atau wewenang yang melekat pada pejabat publik selaku pengambil
keputusan.
Pengertian lain seperti dikemukakan oleh Prajudi Admosudirjo, diskresi adalah
suatu kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, dan
Nata Saputra memaknai freies Ermessen, adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada

alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan
(doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.12 Pemberian

wewenang kepada pemerintah untuk bertindak bebas tersebut didasari pertimbangan,
bahwa wewenang pemerintahan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan
masyarakat yang berkembang begitu pesat, dan dalam konsep Negara kesejahteraan
(walfarestate), pemerintah lebih banyak menggunakan freies Ermessen dalam
mewujudkan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan latar belakang pemberian
wewenang freies Ermessen kepada pemerintahan tersebut, Laica Marzuki mengatakan,
bahwa freies Ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha Negara
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sejalan dengan meningkatnya tuntutan
pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha Negara terhadap kehidupan social
ekonomi para warga yang kian komplek. Di sisi lain, Bachsan Mustafa mengemukakan,
bahwa freies Ermessen diberikan kepada pemerintah mengingat fungsi pemerintah atau
administrasi Negara yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum yang berbeda dengan
fungsi kehakiman untuk menyelesaikan sengketa antara penduduk.
Di lihat dari beberapa pengertian dan latar belakang pemberian wewenang freies
Ermessen di atas, dapat disimpulkan secara khusus, bahwa freies Ermessen atau diskresi

12 Sadjijono, Op.Cit, hlm 64-65

(discretion), adalah suatu wewenang untuk bertindak atau tidak bertindak atas dasar

penilaiannya sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum. Oleh karena tindakan yang
dilakukan atas dasar penilaian dan pertimbangannya sendiri, maka tepat dan tidaknya
penilaian sangat dipengaruhi oleh moralitas pengambil tindakan.
Philipus M. Hadjon13, lebih lanjut menyimpulkan, bahwa kekuasaan bebas atau
kekuasaan diskresi meliputi dua kewenangan, yakni :




Kewenangan untuk memutuskan secara mandiri
Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage norm)

Secara praktis, kewenangan freies Ermessen pemerintahan yang kemudian melahirkan
bentuk-bentuk kebijaksanaan memiliki dua aspek penting dan sebagai aspek pokok, yakni


Kebebasan untuk menafsirkan yang berkaitan dengan ruang lingkup dan batas-batas
wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar pemberian wewenang, dimana
kebebasan tersebut disebut dengan kebebasan untuk menilai berdasarkan sifat yang



obyektif, jujur, benar dan adil
Kebebasan untuk menentukan sikap tindak, artinya bertindak atau tidak berdasarkan
penilaian sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki tersebut
dilaksanakan, penilaian ini memiliki sifat subyektif, yakni berdasarkan nuraninya
sendiri dalam mengambil keputusan.
Timbulnya penilaian yang diyakini untuk bertindak bagi setiap pejabat

pemerintahan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang konkrit yang
mengharuskan untuk bertindak. Namun demikian penilaian yang diyakini setiap individu
sangatlah berbeda-beda tergantung dari pengalaman, pengetahuan, kecerdasan dan
moralitas masing-masing. Berkait dengan hal tersebut setiap pejabat pemerintahan dalam
menggunakan wewenang freies Ermessen tidak boleh digunakan secara sembarangan
tanpa alasan yang rasional dan logis, akan tetapi selektif dan proporsional dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Wewenang untuk bertindak berdasarkan
penilaiannya sendiri tersebut dalam rangka menjalankan kewajiban hukum dan kewajiban
tugas, maka di dalam melakukan tindakan hukum wajib berpegang pada norma hukum
maupun moral. Norma moral berkaitan dengan tindakan tersebut berdasarkan hati
13 Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, Cetakan Kesepuluh

nuraninya, sedangkan norma hukum karena wewenang tersebut dijalankan atas dasar
undang-undang (rechtmatigheid), sehingga dalam menilai suatu situasi konkrit
diperlukan persyaratan-persyaratan bagi setiap aparat pemerintahan.
Meskipun pemberian wewenang freies Ermessen kepada pemerintah merupakan
konsekuensi logis dari konsepsi Negara kesejahteraan (walfare state), namun demikian
dalam Negara hukum wewenang bebas bertindak tersebut tidak dapat digunakan tanpa
batas dan tidak bisa hanya pendekatan kekuasaan saja, akan tetapi harus ada pembatasanpembatasan tertentu. Pembatasan-pembatasan yang dimaksud adalah sebagai berikut :14





Tidak boleh bertentangan dengan system hukum yang berlaku (kaidah hukum positif)
Hanya ditujukan untuk kepentingan umum.
Sementara Sjachran Basah15 secara tersirat berpendapat bahwa pelaksanaan freies

Ermessen tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan “secara moral kepada Tuhan

Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan
bersama.”Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, freies Ermessen dilakukan
oleh aparat pemerintah atau administrasi Negara dalam hal-hal, sebagai berikut :


Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian
secara konkrit terhadap suatu masalah tertentu, sedangkan masalah tersebut
menuntut penyelesaian dengan segera. Misalnya dalam menghadapi suatu
bencana alam ataupun wabah penyakit menular, maka aparat pemerintah harus
segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagi Negara maupun bagi



rakyat, tindakan mana semata-mata atas prakarsa sendiri.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah
memberikan kebebasan sepenuhnya. Misalnya dalam pemberian izin berdasarkan
Pasal 1 HO, setiap pemberi izin bebas untuk menafsirkan pengertian
“menimbulkan keadaan bahaya” sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masingmasing

14 Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm 27-28
15 Sjachran Basan, dalam Ridwan HR, Op.cit, hlm 133



Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintah diberi
kesempatan untuk mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan
kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya dalam menggali
sumber-sumber keuangan daerah. Pemerintah daerah bebas untuk mengelolanya



asalkan sumber-sumber itu merupakan sumber yang sah
Tindakan dilakukan dalam hal-hal tertentu yang mengharuskan untuk bertindak.
Freies Ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah dalam arti sempit atau
administrasi Negara baik untuk melakukan tindakan-tindakan biasa maupun
tindakan hukum, dan ketika freies Ermessen ini diwujudkan dalam instrument
yuridis yang tertulis, jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan. Sebagai sesuatu
yang lahir dari freies Ermessen dan yang hanya diberikan kepada pemerintah,
maka kewenangan pembuatan peraturan kebijaksanaan itu inheren pada
pemerintahan (inherent aan het bestuur)

2.2 prinsip-prinsip pokok dalam mewujudkan good governance untuk mencapai
pemerintahan yang Demokratis ( implementasi Good Corporate Governance
(GCG) di Sektor swasta, BUMN dan BUMD)
Undang-Undang Nomor 28 tahun 199916, maka asas-asas umum pemerintahan
yang baik di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan prinsip-prinsip Dalam
Mewujudkan Good Goverment diidentifikasikan dalam Pasal 3 dan Penjelasanya yang
dirumuskan sebagai asas umum penyelenggaraan negara. Asas ini terdiri dari:
 Asas Kepastian Hukum;

 Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan,

kepatutan,

dan

keadilan

dalam

setiap

kebijakan

Penyelenggara Negara.

 Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

 Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan
dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

 Asas Kepentingan Umum;

16 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 pasal 3 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan
bebas dari KKN

 Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif, dan selektif.
 Asas Keterbukaan;

 Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara.

 Asas Proporsionalitas;

 Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara.

 Asas Profesionalitas;

 Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 Asas Akuntabilitas.

Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar
tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau normanorma eksternal yang dimiliki para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan
tersebut. Akuntabilitas meliputi: keuangan (financial), administartif (administrative), dan
kebijakan publik (policy decision), hukum, dan politik.
Aktor dalam menjalankan Governance adalah (1) government, (2) swasta, dan (3)
rakyat yang memiliki posisi sejajar, memiliki kesamaan, kohesi, keseimbangan peran
serta yang saling mengontrol. Dalam konsep Government, aktornya tunggal atau terfokus
hanya pada birokrasi pemerintahan yang mendominasi berbagai peran dan fungsi. Dalam
pelaksanaaan konsep good governance harus di imbangi juga dengan adanya pertisipasi
masyarakat, prinsip yang menjamin atau menuntut masyarakat harus diberdayakan,
diberikan kesempatan dan dikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses birokrasi
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Partisipasi masyarakat

dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung17. Dari asas-asa diatas dapat
diketahui bahwa untuk mencapai pemerintahan yang demokratis seperti yang dicitacitakan Indonesia yaitu Demokrasi yang bersih haruslah berpedoman dengan asas-asas
AUPB dan menerapkanya secara baik
Setelah menguraikan diatas tentang AUPB atau sering kita sebut prinsip-prinsip
Good Governance maka di bawah akan saya berikan contoh kasus dan implementasi
Good Governance yang lebih di terapkan di korporasi sebagai modal awal dan kemudia
bisa di terapkan dalam instansi pemerintah.lalu kemudianDi dalam berbagai analisis
dikemukakan, ada keterkaitan antara krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang
berkepanjangan di berbagai negara dengan lemahya corporate governance. Corporate
governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan
komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang
mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004).Good Corporate
Governance (GCG) diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan melalui
pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Di tahun 2007 Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dengan PT Multi Utama Indojasa melaksanakan kegiatan studi
Implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan BUMD.
Studi ini ditujukan untuk memperoleh gambaran awal (baseline) yang komprehensif
tentang pelaksanaan prinsip-prinsip GCG di Sektor swasta, BUMN dan BUMD di
Indonesia yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data pembanding dengan
kondisi di masa depan.
Studi ini dilakukan dengan 3 (tiga) metode, yaitu (1) penyebaran kuesioner kepada
responden, (2) wawancara mendalam dengan pimpinan perusahaan yang menangani
implementasi GCG, dan (3) penelusuran dokumen perusahaan. Perusahaan yang terlibat
dalam studi ini adalah 66 perusahaan, yang terdiri dari 37 perusahaan swasta yang sudah
go public, 17 perusahaan BUMN (12 diantaranya sudah go public), dan 12 perusahaan
BUMD. Dari setiap perusahaan, diambil sekitar 27 responden, mulai dari Preskom hingga
karyawan non-manajerial, serta pihak-pihak eksternal dari perusahaan seperti pelanggan,

17 Miftah Thoha. Birokrasi dan Politik di Indonesia. 2003. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta hal 33

pemasok, perusahaan asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga pembiayaan
dan perusahaan afiliasi. Data dari kuesioner diolah dan dianalisis secara kuantitatif,
sedangkan hasil wawancara mendalam dan penelusuran dokumen diolah dan dianalisis
secara kualitatif. Analisis implementasi GCG dilakukan dengan mengukur implementasi
berdasarkan prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi, dan fairness, serta berdasarkan kerangka kerja GCG yaitu compliance,
conformance, dan performance. Selain itu, secara khusus dilihat aspek code of conduct,
pencegahan korupsi dan disclosure. Dari hasil studi diketahui bahwa secara umum
implementasi GCG pada perusahaan-perusahaan yang menjadi responden sudah sangat
baik. Hal ini dapat dilihat dari Indeks GCG yang didapat, baik berdasarkan prinsip-prinsip
GCG yang mencapai angka 88,89 maupun berdasarkan kerangka kerja implementasi
GCG (compliance, conformance dan performance) yang mencapai 90,41. Demikian juga
untuk aspek code of conduct, pencegahan korupsi, dan disclosure. Hal ini berarti secara
rata-rata, hampir 90% dari prinsip-prinsip GCG sudah dilaksanakan oleh perusahaan
responden. Dari prinsip-prinsip GCG, ada satu prinsip yang relatif lemah yaitu
responsibilitas. Lemahnya implementasi prinsip ini berkenaan dengan masih lemahnya
implementasi dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah Komisaris.
Sebagian perusahaan responden hanya memiliki Komite Audit, Komite Nominasi dan
Remunerasi serta Komite Manajemen Resiko, sedangkan komite-komite lainnya seperti
Komite Asuransi, Komite Kepatuhan, Komite Eksekutif, dan Komite GCG, masih banyak
yang belum memilikinya. Adapun prinsip yang sudah relatif kuat adalah prinsip
transparansi dan fairness.
Ini menunjukkan perusahaan telah berupaya untuk lebih transparan dan fair
kepada stakeholder. Jika dilihat berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek yang masih
lemah adalah aspek compliance pada sisi Board dan conformance pada sisi Karyawan.
Pada sisi Board, kelemahannya selain pada pembentukan komite-komite, juga pada
implementasi pencegahan benturan kepentingan, dan peningkatan kerjasama dengan
penegak hukum. Sedangkan pada sisi karyawan, berkaitan dengan penandatanganan
pernyataan kepatuhan kepada Pedoman Perilaku dan Peraturan Perusahaan. Indeks code
of conduct adalah 88,77. Artinya secara umum perusahaan telah memiliki code of conduct
dan telah memuat beberapa hal yang berkaitan dengan implementasi prinsip-prinsip

GCG. Namun yang masih perlu diperbaiki dalam code of conduct ini adalah sosialisasi
kepada pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok dan perusahaan asuransi. Indeks
pencegahan korupsi adalah 89,39, yang berarti sudah cukup baik. Namun beberapa hal
yang perlu didorong adalah pengawasan terhadap pelaksanaan dari tindakan yang
berpotensi terhadap terjadinya benturan kepentingan. Selain itu, masih belum adanya
kerjasama antara perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam mengembangkan
sistem pencegahan korupsi. Indeks untuk disclosure ini adalah 92,42. Aspek ini termasuk
yang menonjol dan menjadi perhatian utama dari responden, terutama bagi perusahaan
yang sudah go public. Aspek ini menjadi sangat diprioritaskan oleh perusahaan karena
kinerja pada aspek ini dapat dinilai dan dirasakan oleh pihak luar. Untuk analisis,
perusahaan responden dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga
Keuangan, BUMN/BUMD Non Lembaga Keuangan, Swasta Lembaga Keuangan, dan
Swasta Non Lembaga Keuangan. Pembagian ini untuk memudahkan analisis serta agar
perbandingan antar perusahaan dapat dilakukan lebih fair. Hasil studi menunjukkan
bahwa swasta lembaga keuangan memiliki indeks yang paling tinggi dibanding kelompok
yang lain, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG maupun berdasarkan compliance,
conformance, dan performance. Selain itu, kelompok ini juga memiliki indeks yang
paling tinggi untuk code of conduct dan pencegahan korupsi.
Namun untuk disclosure, indeks tertinggi diraih kelompok swasta non lembaga
keuangan. Secara umum implementasi di perusahaan yang bergerak di sektor keuangan,
baik perusahaan swasta BUMN/BUMD lebih baik dibanding perusahaan non lembaga
keuangan. Selain itu, implementasi di perusahaan yang swasta lebih baik dibanding
BUMN/BUMD. Demikian pula, perusahaan yang sudah terbuka (go public) lebih baik
dibanding perusahaan yang belum go public. Berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek
compliance cukup lemah pada kelompok perusahaan non lembaga keuangan. Hal ini
dikarenakan oleh banyaknya perusahaan yang belum melengkapi komite-komite
fungsionalnya. Selain itu, masih kurangnya tindakan komisaris terhadap (potensi)
benturan kepentingan yang menyangkut dirinya. Sebaliknya, aspek-aspek tersebut sangat
diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, sehingga
lembaga keuangan lebih patuh dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Sebagai
rekomendasi, untuk meningkatkan kualitas implementasi GCG, perusahaan-perusahaan

perlu didorong untuk lebih patuh dalam membentuk berbagai komite fungsional yang
diperlukan dalam penerapan GCG. Lembaga-lembaga yang berfungsi mengawasi dan
membina seperti Bank Indonesia, Menneg BUMN dan Bapepam LK agar lebih proaktif
dalam mengawasi implementasi GCG terutama berkaitan dengan potensi terjadinya
benturan kepentingan. Selain itu, perlu diterbitkan peraturan yang dapat memaksa
perusahaan sawsta yang belum terbuka dan BUMD untuk menerapkan GCG.
Implementasi Good Goverment dan Clean Goverment pada institusi pemerintah terutama
yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti Ditjen Pajak, Bea Cukai, Imigrasi, BPN,
Institusi yang mengeluarkan perizinan, dan institusi penegak hukum. Hal ini untuk
mendorong badan usaha lebih konsisten dalam menerapkan GCG serta untuk
menciptakan iklam usaha yang lebih sehat, kondusif dan kompetitif. Dalam rangka
meningkatkan kerjasama perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam upaya
pencegahan korupsi, diperlukan rumusan bentuk dan metode kerjasama yang dapat
dilakukan dan mendorong perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga
penegak hukum. Perlu adanya sosialisasi yang intensif tentang pedoman umum GCG,
penyusunan code of conduct, kaitan GCG dengan pencegahan korupsi, dan best practises
dalam penerapan GCG melalui berbagai media.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi adalah:

 Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur
negara;

 Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan
keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan;

 Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral
maupun hukum.
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas dari KKN maka asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia atau yang
lebih

dikenal

dengan

prinsip-prinsip

Dalam

Mewujudkan

Good

Goverment

diidentifikasikan dalam Pasal 3 dan Penjelasanya yang dirumuskan sebagai asas umum
penyelenggaraan negara. Asas ini terdiri dari:
 Asas Kepastian Hukum;

 Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan,

kepatutan,

dan

keadilan

dalam

setiap

kebijakan

Penyelenggara Negara.

 Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

 Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan
dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

 Asas Kepentingan Umum;

 Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif, dan selektif.

 Asas Keterbukaan;

 Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara.

 Asas Proporsionalitas;

 Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara.

 Asas Profesionalitas;

 Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 Asas Akuntabilitas.

Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar
tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau normanorma eksternal yang dimiliki para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan

tersebut. Akuntabilitas meliputi: keuangan (financial), administartif (administrative), dan
kebijakan publik (policy decision), hukum, dan politik
3.2 Saran
1. Saran untuk pemerintah
Untuk pemerintah agar apa yang telah menjadi konsep tentang penyelenggaraan Good
Governance yaitu telah tertuang dalam UU no 28 Tahun 1999 maka seharusnya prinsipprinsip tersebut harus benar-benar dijalankan untuk mencapai pemerintahan yang baik
dan demokratis.
2.Saran untuk Masyarakat
Dalam hal ini masyarakat sebagai orang yang menerima kebijakan dari pemerintah, maka
ketika kebijakan tersebut dianggap baik dan akan memajukan Indonesia maka sebagai
warga Negara Indonesia mereka harus mendukung penuh dan ikut berpartisipasi dalam
kebijakan yang di buat pemerintah

DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Bega Ragawino, Hukum Administrasi Negara , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Padjajaran, Bandung, 2006,
Benyamin, SF. ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara , UII
Press, Yogyakarta, 2001
Gayus T. Lumbuun, Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk Melindungi
Pejabat Publik

Miftah Thoha. Birokrasi dan Politik di Indonesia . 2003. Penerbit Raja Grafindo
Persada. Jakarta hal 33
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan
Administrasi di Indonesia , Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm 27-28

Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan Kesepuluh, 2008
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara , UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 133
Tri Widodo W. Utomo, Etika dan Hukum Administrasi Publik, Lembaga
Administrasi Negara Perwakilan Jawa Barat, 2000, hlm 34

Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang
Pressindo, Yogyakarta, 2008, hlm 48
PERATURAN PERUNDANGAN
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 pasal 3 Tentang Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas dari KKN
INTERNET
TUGAS KULIAH/SMT 4/HAN LANJUT/HAN TGS/My Inspiration Makalah PKN
Good Governance .htm
TUGAS KULIAH/SMT 4/HAN LANJUT/HAN TGS/PELAKSANAAN GOOD
GOVERNANCE DI INDONESIA.htm#.U61Xqc7QzHo
file:///D:/2.TUGAS%20KULIAH/SMT%204/HAN%20LANJUT/HAN%20TGS/Resma
%20Bintani%20Gustaliza%20%20%E2%80%9CPENGGUNAAN%20ASAS%20DISK
RESI%20DALAM%20PELAKSANAAN%20FUNGSI%20PEMERINTAHAN.htm