STUDI KASUS MENGENAI TAFSIRAN PERMUFAKATAN JAHAT DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 2547 K/PID.SUS/2011.
ABSTRAK
Penerapan arti permufakatan jahat masih terjadi permasalahan,
seperti dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat seperti
dalam kasus Mochtar Mohamad yang diperiksa oleh Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung yang menyatakan Mochtar
Mohamad tidak terbukti melakukan permufakatan jahat dalam tindak pidana
korupsi, namun dalam putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Mochtar Mohamad dinyatakan terbukti melakukan permufakatan jahat dalam
tindak pidana korupsi dengan mengacu pada arti permufakatan jahat yang
ada dalam Pasal 88 KUHP. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah perbuatan Terdakwa bersama-sama Tjandra Utama Efendi yang
diduga bersepakat untuk memberi sejumlah uang kepada Pegawai BPK
Propinsi Jawa Barat dan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Ketua
Badan Anggaran DPRD Kota Bekasi serta memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada Pegawai Negeri pada Kementrian Lingkungan Hidup dapat
ditafsirkan sebagai permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi dan
untuk mengetahui apakah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang memutus perkara atas nama Terdakwa Mochtar Mohamad telah sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP serta Pasal 253 KUHAP.
Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan
spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang
menggambarkan dan menganalisis ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Bandung Nomor: 22/Pid.Sus/TPK/2011/PN.BDG dan putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: 2547 K/PID.SUS/2011.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
Terdakwa yang bersepakat dengan Tjandra Utama Effendi untuk memberi
atau menjanjikan sesuatu berupa sejumlah uang kepada Melda Mardalina
selaku Pegawai Negeri Sipil pada Kementrian Lingkungan Hidup dapat
ditafsirkan sebagai permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi. Hal ini
didasarkan pada apa yang dilakukan oleh Terdakwa bersama-sama Tjandra
Utama Effendi yang mengumpulkan para kepala SKPD untuk berpartisipasi
dan berkontribusi dalam memberikan sumbangan berupa sejumlah uang
yang nantinya uang tersebut akan diserahkan kepada tim penilai Adipura
dengan tujuan untuk menaikan nilai Kota Bekasi agar Kota Bekasi
mendapatkan Piala Adipura. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor: 2547 K/PID.SUS/2011 yang memutus Terdakwa dengan pidana
penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp.300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) telah sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) KUHAP dan Pasal
253 KUHAP. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a,
dan Pasal 13 serta Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
iv
Penerapan arti permufakatan jahat masih terjadi permasalahan,
seperti dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat seperti
dalam kasus Mochtar Mohamad yang diperiksa oleh Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung yang menyatakan Mochtar
Mohamad tidak terbukti melakukan permufakatan jahat dalam tindak pidana
korupsi, namun dalam putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Mochtar Mohamad dinyatakan terbukti melakukan permufakatan jahat dalam
tindak pidana korupsi dengan mengacu pada arti permufakatan jahat yang
ada dalam Pasal 88 KUHP. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah perbuatan Terdakwa bersama-sama Tjandra Utama Efendi yang
diduga bersepakat untuk memberi sejumlah uang kepada Pegawai BPK
Propinsi Jawa Barat dan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Ketua
Badan Anggaran DPRD Kota Bekasi serta memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada Pegawai Negeri pada Kementrian Lingkungan Hidup dapat
ditafsirkan sebagai permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi dan
untuk mengetahui apakah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang memutus perkara atas nama Terdakwa Mochtar Mohamad telah sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP serta Pasal 253 KUHAP.
Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan
spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang
menggambarkan dan menganalisis ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Bandung Nomor: 22/Pid.Sus/TPK/2011/PN.BDG dan putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: 2547 K/PID.SUS/2011.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
Terdakwa yang bersepakat dengan Tjandra Utama Effendi untuk memberi
atau menjanjikan sesuatu berupa sejumlah uang kepada Melda Mardalina
selaku Pegawai Negeri Sipil pada Kementrian Lingkungan Hidup dapat
ditafsirkan sebagai permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi. Hal ini
didasarkan pada apa yang dilakukan oleh Terdakwa bersama-sama Tjandra
Utama Effendi yang mengumpulkan para kepala SKPD untuk berpartisipasi
dan berkontribusi dalam memberikan sumbangan berupa sejumlah uang
yang nantinya uang tersebut akan diserahkan kepada tim penilai Adipura
dengan tujuan untuk menaikan nilai Kota Bekasi agar Kota Bekasi
mendapatkan Piala Adipura. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor: 2547 K/PID.SUS/2011 yang memutus Terdakwa dengan pidana
penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp.300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) telah sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) KUHAP dan Pasal
253 KUHAP. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a,
dan Pasal 13 serta Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
iv