PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN NILAI-NILAI KEPATUHAN SEBAGAI UPAYA PEMBIASAAN BAHASA SANTUN PADA ANAK USIA DINI: Studi pada Anak Usia Dini di TK Daarul Hikam 9 Kota Bandung.

(1)

Hal

LEMBAR PERNYATAAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 19

C. Tujuan Penelitian ... 20

D. Manfaat Penelitian ... 21

E. Metode Penelitian ... 23

BAB II PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN NILAI KEPATUHAN SEBAGAI UPAYA PEMBIASAAN BAHASA SANTUN PADA ANAK USIA DINI ... 25

A. Konsep Dasar Pendidikan Umum ... 25

B. Perkembangan Moral ... 41

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran Moral ... 75

D. Konsep Pendidikan Nilai Kepatuhan ... 90

E. Pengembangan Bahasa Santun pada Anak Usia Dini ... 117

F. Pendidikan Anak Usia Dini ... 134

G. Penjelasan Istilah ... 142


(2)

A. Metode Penelitian ... 148

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 155

C. Sumber dan Jenis Data ... 157

D. Instrumen Penelitian ... 158

E. Teknik Pengumpulan Data ... 163

F. Langkah-langkah Penelitian ... 174

G. Teknik Analisis dan Interpretasi... 181

H. Validitas, Objektivitas dan Reliabilitas Penelitian ... 184

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 190 A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 191

B. Deskripsi Data Penelitian ... 200

C. Pembahasan Hasil Penelitian... 230

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 273

A. Kesimpulan... 273

B. Saran ... 275

DAFTAR PUSATAKA ... 277


(3)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Hal 1. Kisi-kisi Alat Pengumpul Data ... 173 2. Pedoman Studi Dokumentasi ... 296 3. Format Monitoring Kegiatan Pramuka ... 297


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Hal


(5)

Nomor Lampiran Hal

1. Pedoman Observasi ... 283

2. Pedoman Wawancara ... 285

3. Pedoman Studi Dokumentasi ... 296

4. Format Monitoring Kegiatan Pembelajaran Nilai ... 297

5. SK Pembimbing Desertasi ... 298

6. Surat Pengantar Penelitian dari PPS UPI... 300

7. Surat Keterangan Melakukan Penelitian dari TK Darul Hikam ... 301


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan dapat dipahami sebagai ikhtiar dalam upaya mengembangkan perilaku manusia yang bermartabat sesuai dengan sifat hakiki manusia itu sendiri yang memiliki akal, pikiran, dan hati. Pendidikan itu sendiri dapat dikatakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan umat manusia. Melalui pendidikan tersebut, manusia dapat mempertahankan eksistensi nilai-nilai kemanusiaannya. Soelaiman (1971) dalam Sauri (2006: 3) mengemukakan bahwa: “pendidikan merupakan bagian yang integral dan terjalin dengan kehidupan manusia, merupakan kebutuhan hidupnya yang pokok, merupakan suatu kemutlakan bagi kehidupan manusia”. Dari pendapat tersebut, semakin memperkuat asumsi bahwa pendidikan itu bukan hanya sebatas proses memanusiakan manusia, akan tetapi sudah merupakan kebutuhan manusia.

Sejalan dengan arti penting pendidikan tersebut, pemerintah Indonesia telah merumuskan konsep dan makna pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, sebagai berikut:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang


(7)

beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari rumusan tujuan dan makna pendidikan nasional di atas, dapat ditelusuri bahwa pendidikan memiliki misi ke arah pengembangan pribadi manusia yang seutuhnya. Manakala dikaitkan dengan visi pendidikan nasional, dinyatakan bahwa konsep manusia indonesia yang seutuhnya sepadan dengan makna dari konsep insan kamil. Soedjatmoko (1986) dalam Sauri (2006: 4), memberikan batasan tentang makna insan kamil atau manusia indonesia seutuhnya yakni sebagai berikut:

“Manusia Indonesia seutuhnya, merupakan perwujudan normatif atau citra ideal manusia Indonesia yakni kemajuan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah atau batiniah... melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya....keselarasan hubungan antara bangsa-bangsa....keselarasan antara cita-cita kehidupan di dunia dan mengejar kehidupan di akhirat”.

Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi. Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21: "figur teladan" (ushwah hasanah).

Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer. Makna harfiah Insan Kamil adalah manusia sempurna. 'Insan' berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan manusia. ''Insan''


(8)

berbeda maknanya dengan ''basyar'' yang juga diterjemahkan dengan manusia. Insan berarti manusia dalam pengertian manusia yang memiliki dimensi rohani, sementara basyar mengarah kepada manusia dalam pengertian jasad (biologis). Dengan demikian 'insan kamil' adalah manusia yang sempurna dalam pengertian rohani. Istilah 'insan kamil bisa digunakan dalam dunia filsafat ataupun tasawuf.

Dalam dunia filsafat, misalnya 'insan kamil adalah mereka yang dengan kemampuan yang dimilikinya dapat berkomunikasi dengan Akal ke Sepuluh (malaikat Jibril). Mereka itu diantaranya adalah para nabi/rasul dan para filosof. Sementara dalam tasawuf, 'insan kamil juga sering disebut dengan rijal kamal'. Yakni orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual dan tingkat spiritual yang tinggi serta konsisten dalam segenap tingkah laku dan perbuatannya sehari-hari.

Tidak mudah bagi seseorang mencapai taraf ''insan kamil''. Karena banyak dimensi yang harus dipenuhi oleh mereka yang hendak mencapai taraf kesempurnaan tersebut. Jadi wajar jika hanya manusia pilihan seperti nabi/rasul yang dapat mencapai taraf ''insan kamil''. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan manusia bisa mencapai taraf ''insan kamil'' bila berusaha dengan sungguh-sungguh. Yakni menempa diirnya melalui serangkaian proses pendidikan sepanjang hayat (long life educfation) sejak dini.

Upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur pendidikan perlu dilaksanakan secara berproses dan bertahap. Islam telah


(9)

meletakkan bahwa upaya pendidikan perlu dilaksanakan semenjak anak masih di dalam kandungan (pranatal), dan selama individu lahir yang kemudian dikenal dengan konsep life long education atau dalam bahasa agama (Islam) tarbiyah istimroriyah (pendidikan yang berkelanjutan). Dari konsep inilah, maka upaya pendidikan yang dilaksanakan pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak, sesungguhnya memiliki nilai strategis sebagai dasar ke arah pembentukkan insan kamil.

Sesungguhnya berbicara tentang pendidikan anak usia dini, banyaklah nilai-nilai pendidikan yang dapat dikembangkan pada anak usia dini sebagai basis dalam pembentukan pribadi sebagaimana yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional, yakni terbentuknya sosok insan kamil. Salah satu nilai-nilai pendidikan yang dapat dikembangkan pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak, adalah nilai kepatuhan. Nilai kepatuhan seorang anak pada aturan-aturan merupakan salah satu nilai pendidikan yang harus ditanamkan sejak usia dini. Kepatuhan seorang anak akan menggambarkan kualitas perilaku moral sebagaimana menjadi visi dari tujuan pendidikan nasional, yakni terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya (insan kamil). Dalam konteks ini, pembinaan perilaku moral siswa menjadi

sesuatu yang sangat penting untuk ditanamkan sejak usia dini perkembangan seorang individu.


(10)

Sejalan dengan arti penting penanaman moralitas pada anak sejak usia dini, dewasa ini kehidupan manusia dihadapkan pada suatu ancaman nilai-nilai hedonisme yang mendorong munculnya perilaku manusia secara pragmatis. Berbagai kasus yang menggambarkan perilaku pragmatis manusia dewasa ini, seperti intensitas kasus bunuh diri, kriminalitas yang disertai dengan tindak kekerasan, dan menurunnya rasa hormat sebagian siswa pada guru ataupun sebagian anak pada orang tuanya. Terlepas dari kondisi yang cukup mengkhawatirkan tersebut, menurut Sulivan (2000: 4), dinyatakan bahwa tuntutan kehidupan di abad millennium ini menuntut kepemilikan kompetensi yang utuh pada individu supaya ia dapat memainkan peranannya dalam kehidupan dunia yang berbasis pada pola hidup high technology. Selanjutnya yang dimaksud dengan profil kompetensi

utuh pada individu itu, meliputi: kompetensi pribadi, kompetensi sosial, kompetensi kerja, dan kompetensi moral.

Perubahan gaya hidup dewasa ini, dalam sisi yang lain memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan anak. Salah satu dampak negatif dimaksud adalah terjadinya pergeseran pola kehidupan masyarakat dewasa ini. Masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat religius dan berakar pada rumpun sosial kemasyarakatan, secara perlahan pada sebagian masyarakat telah mengalami perubahan ke arah masyarakat materialistik-individualistik. Sosok masyarakat yang memiliki karakteristik


(11)

materialistik-individualistik tersebut, merupakan karakteristik masyarakat modern. Hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Hawari (1997: 6), tentang karakteristik perilaku masyarakat modern sebagai berikut:

1. Pola hidup masyarakat dari yang semula sosial religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat individual materialistis dan sekuler.

2. Pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif.

3. Struktur keluarga yang semula extended family cenderung ke arah muclear family bahkan sampai kepada single parent family.

4. Hubungan kekeluargaan yang semula erat dan kuat cenderung menjadi longgar dan rapuh.

5. Nilai-nilai agama dan tradisional masyarakat cenderung berubah menjadi masyarakat modern bercorak sekuler dan serba boleh (permissive society).

6. Lembaga perkawinan mulai diragukan, dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah.

7. Ambisi karir dan materi yang dapat mengganggu hubungan interpersonal baik dalam keluarga maupun di masyarakat.

Manakala ditelusuri dari konteks pendidikan, munculnya karakteristik perilaku masyarakat modern tersebut, menyebabkan terjadinya tarik ulur sistem nilai antara pandangan idealisme-religius dengan pragmatis-sekulerisme, yang pada akhirnya melahirkan berbagai ketegangan dalam masyarakat. Wujud ketegangan pada masyarakat modern tersebut, dengan pola sebagai berikut: ketegangan antara kepentingan global dengan kepentingan lokal, antara kompetensi dengan kepedulian, dan antara spiritual dengan material.

Dari gambaran tersebut, dapat dirumuskan sebuah kesimpulan bahwa di satu pihak Iptek semakin menampakan keunggulannya dalam memfasilitasi kemudahan untuk kehidupan manusia, namun di lain


(12)

pihak sedang terjadi benturan nilai-nilai kehidupan yang tidak terelakan, bahkan telah menyeret manusia saat ini kepada krisis multi dimensi. Krisis semacam ini, membuat manusia semakin sulit memposisikan diri apabila tidak memiliki ketahanan jiwa sekaligus fleksibilitas dalam menghadapi dampak-dampak bawaan dari berbagai lompatan kemajuan Iptek di luar dirinya. Dalam posisi seperti ini, manusia memerlukan kecerdasan intelektual, kematangan moralitas, dan komitmen untuk berpegang teguh pada ajaran agama atau disebut juga sebagai kecerdasan spiritual.

Seiring dengan tuntutan normatif muatan pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas, dunia pendidikan dewasa ini dihadapkan pada adanya kecenderungan penurunan kualitas perilaku peserta didik atau disebut juga sebagai ancaman degradasi moral. Berbagai kasus yang muncul ke permukaan seperti perkelahian antara (siswa dengan siswa, siswa dengan guru, anak dengan orang tua, bahkan siswa dengan kepala sekolah), pergaulan bebas, siswa dan mahasiswa terlibat kasus narkoba, remaja usia sekolah yang melakukan perbuatan amoral, kebut-kebutan di jalanan yang dilakukan remaja usia sekolah, menjamurnya geng motor yang beranggotakan remaja usia sekolah, siswa bermain di pusat perbelanjaan pada saat jam pelajaran, hingga siswa Sekolah Dasar (SD) yang merayakan kelulusan dengan pesta minuman keras.


(13)

Masih teringat pula di benak kita ketika tahun 2005 terjadi peristiwa penyimpangan moral di salah satu SMA Negeri di Jawa Barat yang melibatkan 11 Siswa/i dan oknum guru. Demikian halnya dengan hasil Survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap 2.880 remaja usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat pada 2002, juga menunjukkan angka menyedihkan. Sebanyak 39,65% dari mereka pernah berhubungan seks sebelum nikah (Gatra Nomor 3 Beredar Senin, 28 November 2005). Selain itu, banyak juga kasus

kenakalan anak pada usia sekolah dasar yang bahkan tak jarang merenggut nyawa si anak, seperti kasus smack down yang sempat meramaikan dunia pendidikan kita. Penyimpangan-penyimpangan tersebut bukan hanya dilakukan oleh peserta didik, melainkan kepala sekolah dan pendidiknya sendiri, tidak sedikit yang mempertontonkan prilaku amoral, sebagai contoh berdasarkan laporan ICW (Pikiran Rakyat, 18/11/2006) ditemukan kasus yang sangat mencoreng dunia

pendidikan, yaitu penyalahgunaan dana BOS yang disinyalir banyak “disunat” oleh para birokrat pendidikan (kepala sekolah dan dinas pendidikan).

Indikator lain yang menjadi tantangan dunia pendidikan dewasa ini, bisa dilihat dari praktek sopan santun siswa yang kini sudah mulai memudar, di antaranya bisa kita lihat dari cara berbicara sesama mereka, perilakunya terhadap guru dan orang tua, baik di sekolah


(14)

maupun di lingkungan masyarakat. Kata-kata kotor yang tidak sepantasnya diucapkan oleh anak seusianya seringkali terlontar. Sikap ramah terhadap guru ketika bertemu dan penuh hormat terhadap orang tua pun tampaknya sudah menjadi sesuatu yang sulit ditemukan di kalangan anak usia sekolah dewasa ini. Anak-anak usia sekolah seringkali menggunakan bahasa yang jauh dari tatanan nilai budaya masyarakat. Bahasa yang kerap digunakan tidak lagi menjadi ciri dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi etika dan kelemahlembutan. Berdasarkan kajian bahasa di kalangan siswa yang dilakukan oleh Sauri (2002) umumnya mereka menggunakan kosa kata bahasa yang kurang santun dilihat dari segi gramatik.

Yudibrata (2001: 14) menyatakan bahwa seorang siswa SMA berbicara dalam bahasa Sunda kepada orang lain tanpa mempedulikan perbedaan umur, kedudukan sosial, waktu, dan tempat. Kata-kata yang digunakan remaja usia sekolah bebas tanpa didasari oleh pertimbangan-pertimbangan moral, nilai, ataupun agama. Akibatnya, lahir berbagai pertentangan dan perselisihan di masyarakat. Dahlan (2001:7) mensinyalir betapa banyak orang yang tersinggung oleh kata-kata yang tajam, apalagi dengan sikap agresivitasnya. Berbahasa tidak santun dapat melahirkan kesenjangan komunikasi sehingga menimbulkan situasi yang buruk dalam berbagai lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Hal ini sejalan dengan penjelasan Hawari (1999: 77) bahwa tawuran, penyalahgunaan obat terlarang, dan tindakan kriminal di


(15)

kalangan remaja, disebabkan oleh tidak adanya komunikasi yang lebih baik antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Hal yang membuat kita terenyuh bahwa penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan oleh mereka yang sehari-harinya menikmati “racikan kurikulum” pendidikan nasional. Banyak faktor tentunya yang menyebabkan fenomena tersebut terjadi. Jika ditinjau dari komponen penyelenggaraan pendidikan, maka terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, di antaranya faktor pendidik/guru, kurikulum (materi, metode, media, sumber, evaluasi), sarana dan prasarana serta faktor kepemimpinan pada satuan pendidikan. Sementara Mulyana (2004:149) mengungkapkan analisanya tentang penurunan mutu pendidikan disebabkan oleh empat faktor yaitu, Pertama, masih kukuhnya pengaruh faham behaviorisme dalam sistem pendidikan kita. Kedua, kapasitas mayoritas pendidik kita dalam mengangkat struktur

dasar bahan ajar masih relatif rendah. Ketiga, tuntutan jaman yang makin pragmatis. Keempat, terdapat sikap dan pendirian yang kurang menguntungkan bagi tegaknya demokrasi pendidikan.

Dalam konteks perkembangan perilaku anak usia dini saat ini, nampak terjadinya beberapa perubahan perilaku, terutama terkait dengan nilai-nilai kepatuhan dan bahasa santun. Munculnya sikap dan perilaku membangkang pada anak-anak, seperti mengatakan “sebentar” ketika disuruh oleh orang tuanya, mengucapkan “tidak mau”


(16)

ketika diberikan tugas oleh orang tuanya, dan berkurangnya kebiasaan-kebiasaan menyapa orang yang lebih tua, mengucapkan salam, memberikan senyuman pada orang-orang di sekitar. Gambaran seperti ini mengindikasikan betapa nilai-nilai kepatuhan dan bahasa santun pada anak-anak usia dini mengalami penurunan dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Munculnya kondisi degradasi moral tersebut, menurut kajian para pakar pendidikan disebabkan karena praktek pendidikan selama ini lebih mengorientasikan pada pengembangan potensi siswa dalam tataran kognitif dan psikomotor, sementara tataran afeksi masih jarang tersentuh. Djahiri (2007:5-6) mengungkapkan bahwa operasionalisasi kurikulum dan pembelajaran di sekolah dewasa ini cenderung bersifat; pertama, guru sentries yakni apa yang menurut guru baik dan

seharusnya dibelajarkan tanpa memperhitungkan kegunaan serta kemampuan siswa/lingkungannya; kedua, curriculum based dan scientific based, dalam model ini rancangan pembelajaran hanya

mengacu dan mengoperasionalkan pokok materi pelajaran yang diharuskan dalam kurikulum/buku saja tanpa banyak rekayasa yang bersifat kontekstual; ketiga, pencapaian Hasil Belajar Harapan (HBH) yang optimal sehingga siswa dipacu untuk menghafal apa yang diberikan guru/buku; keempat, waktu/durasi pembelajaran terbatas sebanyak yang ditetapkan dalam kurikulum dan selama jam pelajaran di kelas saja.


(17)

Hasil penelitian Zain (2006), menunjukkan bahwa penanaman nilai-nilai kepatuhan pada siswa menjadi hal yang sangat penting dalam pembentukkan perilaku anak yang berakhlakul karimah. Pendidikan nilai-nilai kepatuhan yang dilaksanakan oleh guru di sekolah, memberikan rujukan nilai bagi perilaku anak di rumah dan masyarakat.

Implikasi yang dimunculkan dari tuntutan kompetensi manusia seperti yang dipaparkan di atas, upaya pembinaan perilaku moral siswa harus menjadi perhatian yang serius dari berbagai pihak, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Siswa sebagai bagian dari sistem masyarakat yang akan menjadi penerus budaya masyarakat selanjutnya, dalam proses perkembangan pribadi memerlukan upaya pendampingan edukatif-religius, sehingga akan tampil sebagai sosok pribadi yang memiliki kematangan dan kecerdasan multi dimensi (intelektualitas, moralitas, sosial, dan spiritualitas). Hal tersebut, berarti konsep dan praktek pendidikan yang dilaksanakan harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang di samping memfasilitasi pengembangan dimensi kognitif dan psikomotor, juga yang sangat penting adalah dimensi afektif. Hal inilah yang seharusnya menjadi misi pendidikan dewasa ini, sehingga berbagai dampak negatif dari sosok masyarakat modern dapat diminimalisir atau bahkan dapat dihindari.

Upaya membentuk pribadi manusia yang memiliki kecerdasan multidimensi tersebut harus dimulai sejak anak usia dini. Dalam pandangan agama (Islam), dinyatakan bahwa pembelajaran di usia dini


(18)

diibaratkan melukis di atas batu. Ungkapan ini mengandung makna filosofis bahwa pembentukkan nilai-nilai moralitas harus dimulai sejak usia dini. Setting pembelajaran bagi anak usia dini dilaksanakan dalam satuan pendidikan Taman Kanak-Kanak.

Dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1990, dikatakan bahwa Pendidikan Taman Kanak-Kanak bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Pendidikan Taman Kanak-Kanak diselenggarakan untuk membantu meletakkan dasar pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta di luar lingkungan keluarga bagi anak usia sebelum memasuki pendidikan dasar. Usia tersebut merupakan masa yang sangat menentukan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dalam masa ini anak tersebut berada pada usia peka untuk menerima rangsangan yang cukup baik, terarah, dan didorong ketingkat pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga diharapkan kemampuan dasar anak didik dapat berkembang dan tumbuh secara baik dan benar. Oleh karena itu pendidikan dini bagi anak usia Taman Kanak-Kanak cukup penting dan sangat menentukan dikemudian hari.

Apabila dikaitkan antara tujuan pembelajaran anak usia dini dengan tujuan pendidikan nasional yang pada intinya adalah


(19)

membentuk manusia indonesia seutuhnya atau insan kamil. Sesungguhnya batasan insan kamil sebagaimana dikehendaki dalam tujuan pendidikan nasional, adalah individu yang berakhlak mulia. Salah satu nilai-nilai pendidikan yang memberikan kontribusi ke arah pembentukkan akhlak mulia pada anak usia dini adalah penanaman nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun.

Upaya menanamkan nilai-nilai kepatuhan pada manusia, sesungguhnya dapat dilaksanakan semenjak anak dalam kandungan. Menjaga kualitas perilaku ayah dan ibunya yang sedang hamil, seperti menjaga hati, menjaga perkataan-perkataan kotor, dan rajin beribadah serta doa untuk diberikan keturunan yang saleh, sesungguhnya dapat dikatakan sebagai bentuk dari pendidikan nilai sejak dalam kandungan, termasuk di dalamnya pendidikan nilai-nilai kepatuhan pada anak. Setelah anak lahir, orang tua menciptakan iklim rumah yang nyaman, pola hubungan yang harmonis, penggunaan bahasa yang santun dengan nuansa pendidikan nilai yang merujuk pada ajaran agama, budaya, dan pranata sosial lainnya, dapat dikatakan sebagai upaya awal dan utama bagi orang tua dalam menanamkan nilai-nilai kepatuhan pada anaknya. Memasuki usia pendidikan, yang dimulai dengan pendidikan anak usia dini di Taman Kanak-Kanak, para guru memperkenalkan berbagai contoh atau kisah yang baik—yang kental dengan nilai-nilai kepatuhan---, penggunaan bahasa santun, merupakan wujud pendidikan nilai-nilai kepatuhan pada anak usia dini.


(20)

Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa pendidikan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiayaan bahasa santun pada anak, pada hakikatnya akan berlangsung semenjak anak dalam kandungan sampai sepanjang fase kehidupan anak atau individu itu sendiri.

Pendidikan nilai-nilai kepatuhan yang dilaksanakan mulai sejak usia dini ini menjadi hal yang sangat penting, mengingat dewasa ini ada kecenderungan merosotnya nilai moralitas. Pembentukkan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini akan memberikan landasan bagi terbentuknya sumber daya manusia yang memiliki kecerdasan multidimensional. Dilihat dari fase perkembangan akan menempatkan pentingnya masa anak usia dini untuk menanamkan nilai-nilai akhlak mulia. Masa anak usia ini sebagai fase yang tepat untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Masa perkembangan anak usia ini juga dipandang sebagai masa kecerdasan yang pesat. Kecerdasan pada masa ini dapat meningkat dari 50% menjadi 80%.

Anak usia dini memiliki karakteristik perkembangan yang sangat melekat dengan dunia bermain dan berpikir konkrit. Oleh karena itu pembelajaran nilai-nilai kepatuhan pada anak usia dini harus memperhatikan karakteristik perkembangan dari anak usia dini tersebut. Secara konseptual pembelajaran nilai-nilai akhlak mulia pada


(21)

anak usia dini, telah terprogram dalam struktur kurikulum Taman Kanak-Kanak. Akan tetapi persoalannya, model pendidikan nilai seperti apa yang relevan dalam penanaman nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini.

Persoalan pendidikan nilai pada anak usia dini dapat diidentifikasikasi pada faktor-faktor berikut: (1) terkait dengan perkembangan anak usia dini yang terkadang mengalami kesulitan untuk memahami makna-makna abstrak seperti halnya konsep dan makna nilai kepatuhan. Dalam konteks ini pada umumnya pembelajaran yang bernuansakan pembiasaan nilai-nilai positif hanya terkesan pada penciptaan permainan-permainan, tanpa adanya upaya untuk menginternalisasikan kandungan nilai-nilai dari permainan yang dilaksanakan. (2) terkait dengan kreativitas guru dalam menciptakan berbagai permainan dan keterampilan dalam menginternalisasikan nilai-nilai kepatuhan. Dalam konteks ini guru harus memiliki kepekaan untuk menggali nilai-nilai kepatuhan dari setiap permainan yang dipraktekkan dan mengkomunikasikannya dalam bahasa anak usia dini. Kembali pada persoalan nilai-nilai kepatuhan dalam konteks pembiasaan bahasa santun sebagaimana dipaparkan di atas, maka dalam perspektif pendidikan, penanaman nilai-nilai kepatuhan tersebut akan lebih baik jika ditanamkan semenjak usia dini, yakni semenjak di lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak.


(22)

Berangkat dari kondisi empirik tersebut, maka upaya ke arah pengembangan model pendidikan nilai-nilai kepatuhan dalam upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK menjadi fokus penelitian ini.

Makna pembelajaran nilai-nilai kepatuhan dalam penelitian ini dibatasi dalam konteks pembelajaran pada anak usia dini sebagai upaya pembentukkan akhlak mulia. Batasan nilai-nilai kepatuhan pada anak usia dini dalam penelitian ini dipetakan ke dalam kepatuhan terhadap: (1) aturan di rumah (kepatuhan terhadap ayah dan ibu), dan (2) kepatuhan terhadap tata tertib TK (kepatuhan terhadap guru).

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bagian latar belakang di atas, dewasa ini perkembangan anak usia dini dihadapkan pada penurunan kualitas perilaku, termasuk di dalamnya menurunnya nilai-nilai kepatuhan pada anak usia dini. Dampak dari penurunan perilaku patuh tersebut, mendorong munculnya budaya kurang atau bahkan tidak santun, dari anak usia dini, baik terhadap orang tua, guru, maupun orang-orang dilingkungan sekitarnya. Penggunaan bahasa yang tidak lagi mengandung kaidah etis, menggambarkan sebagian dari hilangnya bahasa santun pada anak usia dini. Oleh karena itu, secara konseptual jelaslah bahwa upaya membentuk pribadi yang bermoral perlu dilakukan semenjak usia dini. Dalam konteks ini, pendidikan nilai-nilai kepatuhan pada anak usia dini, tidak cukup dilakukan di Taman Kanak-Kanak, tetapi harus secara terintegrasi di


(23)

lingkungan keluarga. Penanaman nilai-nilai kepatuhan pada anak usia dini di lingkungan keluarga, akan bercirikan pada figur ibu sebagai rujukan nilai.

Berangkat dari kondisi empirik dan tuntutan normatif dari pendidikan bagi anak usia dini, maka masalah utama dalam penelitian ini terletak pada persoalan rendahnya sikap patuh pada anak usia dini yang salah satu dampak sosialnya adalah menurunnya kualitas bahasa santun. Atas persoalan ini, dalam penelitian ini berupaya untuk merumuskan pengembangan model pendidikan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung.

Dipilihnya TK Darul Hikam sebagai lokasi penelitian didasarkan pada dua pertimbangan sebagai berikut. Pertama, dalam perspektif historis kelembagaan, bahwa keberadaan TK Darul Hikam sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai agama (Islam). Kondisi ini memiliki peluang yang banyak bagi peneliti untuk menggali nilai-nilai kepatuhan sebagai bagian integral dari nilai-nilai dasar agama (Islam. Kedua, dari telaah kurikulum dan pembelajaran bahwa di TK Darul Hikam ini, banyak bermuatan nilai-nilai yang berkontribusi terhadap internalisasi nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini. Dengan kondisi seperti ini, peneliti akan memperoleh data-data empirik yang memadai untuk


(24)

mengembangkan model pendidikan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini.

B. Rumusan Masalah

Merujuk kepada latar belakang di atas dan dihubungkan dengan subyek penelitian yaitu TK Daarul Hikam Kota Bandung, maka peneliti membatasi permasalahan menjadi sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gambaran perilaku anak usia dini terkait dengan bahasa santun di TK Daarul Hikam Kota Bandung?

2. Muatan nilai apa sajakah yang terkandung dari pendidikan nilai kepatuhan melalui pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di di TK Daarul Hikam Kota Bandung?

3. Bagaimanakah pelaksanaan pendidikan nilai-nilai kepatuhan yang dilaksanakan guru-guru dalam mengembangkan mengembangkan pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung?

4. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan nilai kepatuhan yang dilaksanakan guru-guru dalam mengembangkan pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung?

5. Kendala apa sajakah yang dihadapi guru dalam melaksanakan pendidikan nilai kepatuhan dalam mengembangkan pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung?


(25)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan pengembangan model pendidikan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Bandung. Model pendidikan nilai kepatuhan dalam penelitian ini didasarkan pada analisis empirik-kontekstual pembelajaran anak usia dini di Taman Kanak-Kanak dan analisis konseptual pendidikan nilai pada anak usia dini.

2. Tujuan Khusus

Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data lapangan, yang berkaitan dengan aspek-aspek sebagai berikut:

a. Gambaran perilaku anak usia dini terkait dengan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung;

b. Muatan yang terkandung dalam pelaksanaan pendidikan nilai-nilai kepatuhan melalui pembiasaan bahasa santun pada anak anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung;

c. Pelaksanaan pendidikan nilai-nilai kepatuhan dalam mengembangkan pembisaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung;


(26)

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan nilai kepatuhan dalam mengembangkan pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung;

e. Kendala yang dihadapi guru dalam melaksanakan pendidikan nilai kepatuhan dalam mengembangkan pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Dalam tataran teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat landasan teori yang terkait dengan pendidikan nilai dalam setting pendidikan anak usia dini. Hasil penelitian ini juga akan memperkuat asumsi tentang arti penting pendidikan nilai sebagai upaya pembentukkan karakter moralitas individu.

2. Manfaat Praktis

Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait sebagai berikut:

a. Bagi Kepala Sekolah Taman Kanak-Kanak, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi pengembangan pembelajaran anak usia dini yang memiliki nilai-nilai edukatif-religius sebagai upaya pembentukan kepribadian siswa agar patuh pada aturan. Hal ini menjadi penting, mengingat pencapaian salah satu tujuan pendidikan nasional, yakni pembentukan pribadi siswa secara utuh, nyatanya tidak cukup melalui pendekatan


(27)

pembelajaran yang bersifat transformasi kognitif, akan tetapi memerlukan pembelajaran nilai.

b. Bagi Guru Taman Kanak-Kanak, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan stratetegi pembelajaran nilai yang dapat memfasilitasi proses internalisasi nilai-nilai kepatuhan. Hal ini menjadi penting, dalam upaya meningkatkan nilai-nilai edukatif-religius dari kegiatan pembelajaran anak usia dini yang memiliki kontribusi bagi upaya pembentukan pribadi siswa agar patuh pada aturan.

c. Bagi orang tua siswa, sebagai bahan informasi mengenai pentingnya kegiatan pembelajaran nilai bagi para siswa dalam upaya pembentukan kepribadian siswa. Hal ini penting dalam upaya meningkatkan dukungan dan partisipasi aktif orang tua pengelolaan pendidikan, termasuk dalam kegiatan pendampingan. d. Bagi pengambil kebijakan, sebagai bahan kajian ilmiah-empirik

dalam merumuskan kurikulum, model pendidikan nilai, dan sistem evaluasi yang relevan dalam setting pendidikan anak usia dini di Taman Kanak-Kanak

e. Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi tentang arti penting pendidikan nilai-nilai kepatuhan yang dilaksanakan semenjak usia dini melalui setting Taman Kanak-Kanak, sehingga masyarakat memiliki kesadaran berbasis pengetahuan tentang bagaimana melakukan pembimbingan pada anak-anaknya, khususnya kategori anak usia dini.

f. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan kajian ilmiah-empirik untuk mengkaji dimensi lainnya, baik terkait dengan muatan pendidikan


(28)

nilai—selain nilai-nilai kepatuhan pada anak usia dini—maupun dalam setting pendidikan anak usia dini, seperti komponen kurikulum, evaluasi, dan penataan lingkungan sekolah yang kondusif

E. Metode Penelitin

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan variasi studi kasus. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga lebih jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Sukmadinata (2008:72) mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling mendasar dan ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia. Adapun studi kasus (case study) merupakan metode untuk menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan sesuatu kasus. Studi kasus merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap suatu ”kesatuan sistem”. Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu.

Sementara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif atau mode of inquiry qualitative interactive, yaitu studi yang mendalam dengan menggunakan teknik pengumpulan data langsung dari orang dalam lingkungan alamiahnya. Pendekatan kualitatif


(29)

didasarkan atas fenomenologis yang pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh pemahaman dan pengertian tentang tentang perilaku manusia ditinjau dari aktor perilaku manusia itu sendiri. Fenomenologis mempelajari pengalaman manusia dalam kehidupan yang mempercayai bahwa kebenaran akan terungkap melalui upaya menyelami interaksi perilaku manusia, dan akhirnya memperoleh kesimpulan tentang apa yang penting, dinamis dan berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan pengembangan model pendidikan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung.

Guba dan Lincoln dalam Alwasilah (2006:104-107) mengungkapkan terdapat 14 karakteristik pendekatan kualitatif yaitu; Latar alamiah, Manusia sebagai instrumen; Pemanfaatan pengetahuan non-proporsional; Metode-metode kualitatif; Sampel purposif; Analisis data secara induktif; Teori dilandaskan pada data lapangan; Desain penelitian mencuat secara alamiah; Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Cara pelaporan kasus; Interpretasi idiografik; Aplikasi tentatif; Batas penelitian ditentukan fokus;dan Keterpercayaan dengan kriteria khusus.

Adapun alat pengumpul data yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan studi pustaka. Subjek penelitiannya adalah kepala TK, guru TK, dan peserta didik. Sementara lokasi penelitiannya di TK Daarul Hikam yang beralamat di Jalan Ir. H. Juanda Kota Bandung.


(30)

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode deskriptif analitik dengan variasi studi kasus. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga lebih jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Sukmadinata (2008:72) mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling mendasar dan ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia. Adapun studi kasus (case study) merupakan metode untuk menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan sesuatu kasus. Studi kasus merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap suatu ”kesatuan sistem”. Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu.

Studi kasus umumnya menghasilkan gambaran yang longitudinal yakni hasil pengumpulan dan analisa kasus dalam satu jangka waktu. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga,


(31)

satu peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup terbatas, yang dipandang sebagai satu kesatuan. Sesuai dengan kekhasannya, bahwa pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang terbatas. Maka persoalan pemilihan sampel yang menggunakan pendekatan tersebut tidak sama dengan persoalan yang dihadapi oleh penelitian kuantitatif. Sebagai implikasinya, penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus hasilnya tidak dapat digeneralisasikan.

Oleh karena metode yang digunakannya metode deskriptif dengan variasi metode studi kasus, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis yang dirumuskan di awal untuk diuji kebenarannya. Hal ini sesuai dengan yang dungkapkan oleh Arikunto (1998:245) bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis. Kalaupun dalam perjalannnya terdapat hipotesis, ia mencuat sebagai bagian dari upaya untuk membangun dan mengembangkan teori berdasarkan data lapangan (grounded theory).

Sementara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif atau mode of inquiry qualitative interactive, yaitu studi yang mendalam dengan menggunakan teknik pengumpulan data langsung dari orang dalam lingkungan alamiahnya (Sukmadinata, 2008:61). Pendekatan kualitatif didasarkan atas fenomenologis yang pada


(32)

tentang tentang perilaku manusia ditinjau dari aktor perilaku manusia itu sendiri. Fenomenologis mempelajari pengalaman manusia dalam kehidupan yang mempercayai bahwa kebenaran akan terungkap melalui upaya menyelami interaksi perilaku manusia, dan akhirnya memperoleh kesimpulan tentang apa yang penting, dinamis dan berkembang.

Bogdan dan Taylor (1975: 5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar individu yang secara holistic (utuh). Sejalan dengan pendapat di atas, Nasution (1992: 5) mengemukakan bahwa “penelitian kualitatif pada hakikatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”.

Ciri-ciri penelitian kualitatif, dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1982: 27-29), yaitu: (1) sumber data dalam penelitian kualitatif ialah situasi yang wajar atau natural setting dan peneliti merupakan instrumen kunci; (2) riset kualitatif bersifat deskriptif; (3) riset kualitatif lebih memperhatikan proses ketimbang hasil atau produk semata; (4) peneliti kualitatif cenderung menganalisa data secara induktif; (5) Makna merupakan soal esensial bagi pendekatan kualitatif.


(33)

Di samping ciri-ciri di atas, dapat pula ditambahkan sesuai dengan pendapat Nasution (1988:9-12) sebagai berikut: (1) mengutamakan data langsung atau first hand; (2) trianggulasi; (3) menonjolkan rincian kontekstual; (4) subyek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti; (5) mengutamakan perspektif emic; (6) verifikasi, termasuk kasus negatif; (7) sampling yang purposif; (8) menggunakan audit trail; (9) partisipasi tanpa mengganggu; (10) mengadakan analisis sejak awal penelitian; (11) disain penelitian tampil dalam proses penelitian.

Adapun Alwasilah (2006:104-107) sejalan dengan pemikiran Guba dan Lincoln mengungkapkan bahwa terdapat 14 karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut:

1. Latar alamiah; secara ontologis suatu objek harus dilihat dalam konteksnya yang alamiah, dan pemisahan anasir-anasirnya akan mengurangi derajat keutuhan dan makna kesatuan objek itu. Sebab makna objek itu tidak identik dengan jumlah keseluruhan bagian-bagian tadi. Pengamatan juga akan mempengaruhi apa yang diamati, karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang maksimal keseluruhan objek itu harus diamati.

2. Manusia sebagai instrumen; Peneliti menggunakan dirinya sebagai pengumpul data utama. Benda-benda lain sebagai manusia tidak dapat menjadi instrumen karena tidak akan mampu memahami dan meyesuaikan diri dengan realitas yang sesungguhnya. Hanya


(34)

manusialah yang mampu melakukan interaksi dengan instrumen atau subjek penelitian tersebut dan memahami kaitan kenyataan-kenyataan itu.

3. Pemanfaatan pengetahuan non-proporsional; Peneliti naturalistis melegitimasi penggunaan intuisi, perasaan, firasat dan pengetahuan lain yang tak terbahaskan (tacit knowledge) selain pengetahuan proporsional (propostional knowledge) karena pengetahuan jenis pertama itu banyak dipergunakan dalam proses interaksi antara peneliti dan responden. Pengetahuan itu juga banyak diperoleh dari responden terutama sewaktu peneliti mengintip nilai-nilai, kepercayaan dan sikap yang tersembunyi pada responden.

4. Metode-metode kualitatif; Peneliti kualitatif memilih metode-metode kualitatif karena metode-metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi

5. Sampel purposif; Pemilihan sampel secara purposif atau teoretis disebabkan peneliti ingin meningkatkan cakupan dan jarak data yang dicari demi mendapatkan realitas yang berbagai-bagai, sehingga segala temuan akan terlandaskan secara lebih mantap karena prosesnya melibatkan kondisi dan nilai lokal yang semuanya saling mempengaruhi.


(35)

6. Analisis data secara induktif; Metode induktif dipilih ketimbang metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan peneliti mengidentifikasi realitas yang berbagai-bagai dilapangan, membuat inteaksi antara peneliti dan responden lebih eksplisit, nampak, dan mudah dilakukan, serta memungkinkan identifikasi aspek-aspek yang saling mempengaruhi.

7. Teori dilandaskan pada data di lapangan; Para peneliti naturalistis mencari teori yang muncul dari data. Mereka tidak berangkat dari teori a priori karena teori ini tidak akan mampu menjelaskan berbagai temuan (realitas dan nilai) yang akan dihadapi di lapangan.

8. Desain penelitian mencuat secara alamiah; Para peneliti memilih desain penelitian muncul, mencuat, mengalir secara bertahap, bukan dibangun di awal penelitian. Desain yang muncul merupakan akibat dari fungsi interaksi antara peneliti dan responden.

9. Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Para peneliti naturalistik ingin melakukan negosiasi dengan responden untuk memahami makna dan interpretasi mereka ihwal data yang memang di peroleh dari mereka.

10. Cara pelaporan kasus; Gaya pelaporan ini lebih cocok ketimbang cara pelaporan saintifik yang lazim pada penelitian kuantitatif, sebab pelaporan kasus lebih mudah diadaptasikan terhadap deskripsi realitas di lapangan yang dihadapi para peneliti. Juga


(36)

mudah diadaptasi untuk menjelaskan hubungan antara peneliti dengan responden.

11. Interpretasi idiografik; Data yang terkumpul termasuk

kesimpulannya akan diberi tafsir secara idiografik, yaitu secara kasus, khusus, dan kontekstual, tidak secara nomotetis, yakni berdasarkan hukum-hukum generalisasi.

12. Aplikasi tentatif; Peneliti kualitatif kurang berminat (ragu-ragu) untuk membuat klaim-klaim aplikasi besar dari temuannya karena realitas yang dihadapinya bermacam-macam. Setiap temuan adalah hasil interaksi peneliti dengan responden dengan memperhatikan nilai-nilai dan kekhususan lokal, yang mungkin sulit direplikasi dan diduplikasi, jadi memang sulit untuk ditarik generaslisasinya.

13. Batas penelitian ditentukan fokus; Ranah teritorial penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh fokus penelitian yang memang mencuat ke permukaan. Fokus demikian memungkinkan interaksi lebih mantap antara peneliti dan responden pada konteks tertentu. Batas penelitian ini akan sulit ditegakan tanpa pengetahuan kontekstual dari fokus penelitian.

14. Keterpercayaan dengan kriteria khusus; Istilah-istilah seperti internal validity, external validity, reliability dan objectivity kedengaran asing bagi para peneliti naturalistik, karena memang bertentangan dengan aksioma-aksioma naturalistik. Keempat istilah


(37)

tersebut dalam panelitian naturalistik diganti dengan credibility, transferability, dependability, dan confirmability.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, peneliti dapat berkomunikasii secara langsung dengan subyek yang diteliti serta dapat mengamati mereka sejak awal sampai akhir proses penelitian. Fakta atau data itulah yang nantinya diberi makna sesuai dengan teori-teori yang terkait dengan fokus masalah yang diteliti. Hal ini sesuai dengan pandangan Bogdan dan Biklen (1982:31) yang antara lain mengemukakan bahwa “Pendekatan kualitatif berusaha untuk memahami dan menafsirkan makna tentang suatu peristiwa dan interaksi perilaku manusia dalam situasi tertentu”. Dalam upaya menemukan fakta dan data secara alamiah itulah, yang melandasi peneliti menetapkan untuk menggunakan pendekatan metode kualitatif terhadap permasalahan yang diteliti.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Mengacu kepada pendapat Nasution (1992: 43) bahwa lokasi penelitian menggambarkan pada kondisi sosial yang ditandai oleh adanya tiga unsur, yaitu: tempat, pelaku dan kegiatan. Dengan demikian yang dimaksud dengan lokasi penelitian dalam penelitian ini yaitu tempat penelitian di TK Darul Hikam Kota Bandung.

Terdapat perbedaan mendasar antara teknik sampling dalam penelitian kuantitatif dengan teknik sampling dalam penelitian


(38)

kualitatif. Pada penelitian kuantitatif sampel dipilih dari suatu populasi sehingga dapat digunakan untuk mengadakan generalisasi. Dengan cara seperti itu, maka sampel telah dianggap kuat mewakili ciri-ciri suatu populasi.

Pada penelitian kualitatif, menurut Licoln dan Guba yang dikutip oleh Moleong (1988:165), dijelaskan bahwa peneliti mulai dengan asumsi bahwa konteksnya sendiri. Selain itu dalam penelitian kualitatif peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual. Dalam hal ini sampling diharapkan mampu menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber. Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang ada dalam rumusan konteks yang unik dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.

Sampel diambil secara purpossive (bertujuan), yaitu pengambilan subyek sebagai sampel penelitian yang didasarkan kepada adanya tujuan tertentu. Teknik sampling tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Moleong, 1988:165-166):

a. Sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu. b. Pemilihan sampel secara berurutan, teknik “Snowball

Sampling”, dengan cara responden diminta menunjuk orang lain yang dapat memberiakn informasi dan responden berikutnya diminta pula menunjuk lagi dan begitu seterusnya, sehingga makin lama sampling akan semakin banyak.

c. Penyesuaian berkelanjutan dari sampel. Pada mulanya setiap sampel dapat sama kegunaannya, Pada saat informasi semakin banyak diperoleh dan semakin mengembangkan hipotesis kerja, sampel dipilih atas dasar fokus penelitian.


(39)

d. Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan, jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring, maka penarikan sampel dihentikan.

Subyek penelitian ini adalah subyek yang memiliki berbagai karakteristik, unsur, nilai yang berkaitan dengan pembelajaran anak usia dini dalam upaya membentuk perilaku patuh dan bahasa santun pada anak usia dini di TK Darul Hikam Kota Bandung. Adapun lokasi penelitian ini beralamat di Jalan Ir. H. Juanda Bandung.

C. Sumber dan Jenis Data

Sumber data utama dalam konteks penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan yang dilakukan oleh warga TK Darul Hikam Kota Bandung yang menjadi subjek penelitian. Selain itu, dimanfaatkan pula berbagai dokumen resmi yang mendukung seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perangkat pembelajaran guru (silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, agenda kelas), buku sumber, data base siswa dan profile sekolah. Hal tersebut merujuk kepada

ungkapan Moleong (2007:157-158) yang sejalan dengan pemikiran Lofland dan Lofland bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, sumber data tertulis lainnya, foto, dan statistik.


(40)

Sementara sumber data yang diperlukan dapat diklasifikasikan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari subyek penelitian yaitu warga sekolah yang terdiri atas kepala sekolah, guru, pengurus pramuka, pembina dan siswa. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen resmi maupun tidak resmi yang berhubungan dengan materi penelitian dan mendukung data primer.

Pencatatan sumber data utama melalui wawancara dan pengamatan berperanserta (observasi) merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya peneliti terhadap subyek penelitian di TK Darul Hikam Kota Bandung. Hal tersebut dilakukan secara sadar dan terarah karena memang direncanakan oleh peneliti. Terarah karena memang dari berbagai macam informasi yang tersedia tidak seluruhnya akan digali oleh peneliti. Senantiasa bertujuan karena peneliti memiliki seperangkat tujuan penelitian yang diharapkan dicapai untuk memecahkan sejumlah masalah penelitian.

D. Instrumen Penelitian

Sesuai dengan jenis pendekatan penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif, maka peneliti sendiri merupakan instrumen utama penelitian. Dalam hal ini, Lincoln dan Guba (1985: 39) dalam Moleong (1988: 119), mengemukakan bahwa “seorang peneliti


(41)

naturalistik memilih menggunakan sendiri sebagai human instrument pengumpul data primer. Dalam kedudukannya sebagai instrumen utama, maka peneliti dapat menangkap secara utuh situasi yang sesungguhnya serta dapat memberikan makna atas apa yang diamatinya itu”.

Peneliti langsung menjadi pengamat dan pembaca situasi yang berlangsung di TK Darul Hikam Kota Bandung. Peneliti sebagai pengamat dimaksudkan bahwa peneliti tidak sekedar melihat berbagai peristiwa dalam situasi pendidikan, melainkan memberikan interpretasi terhadap situasi tersebut. Sebagai pengamat, peneliti berperanserta dalam kehidupan sehari-hari subjek penelitian pada setiap situasi yang diinginkan untuk dapat dipahami. Sedangkan yang dimaksud peneliti sebagai pembaca situasi adalah peneliti melakukan analisa terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dalam situasi tersebut, selanjutnya menyimpulkan sehingga dapat digali maknanya.

Moleong (2007:169-172) mengungkapkan bahwa ciri-ciri manusia sebagai instrumen mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Responsif. Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan. Sebagai manusia ia bersifat interaktif terhadap orang dan lingkungannya. Ia tidak hanya responsif terhadap tanda-tanda, tetapi ia juga menyediakan tanda-tanda kepada orang-orang.


(42)

secara sadar berinteraksi dengan konteks yang ia berusaha memahaminya. Ia responsif karena ia berusaha memahaminya. Ia responsif karena menyadari perlunya merasakan dimensi-dimensi konteks dan berusaha agar dimensi-dimensi itu menjadi ekplisit. 2. Dapat menyesuaikan diri. Manusia sebagai instrumen hampir tidak

terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi pengumpulan data. Manusia sebagai peneliti dapat melakukan tugas pengumpulan data sekaligus.

3. Menekankan kebutuhan. Manusia sebagai instrumen

memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya dan memandang dunia ini sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupannya sebagai sesuatu yang riel, benar dan mempunyai arti. Pandangan yang menekankan keutuhan ini memberikan kesempatan kepada peneliti untuk memandang konteksnya dimana ada dunia nyata bagi subjek dan responden dan juga memberikan suasana, keadaan dan perasaan tertentu. Peneliti berkepentingan dengan konteks dalam keadaan utuh untuk setiap kesempatan. 4. Mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan. Pengetahuan yang

dimiliki oleh peneliti sebelum melakukan penelitian menjadi dasar-dasar yang membimbingnya dalam melakukan penelitian. Dalam prakteknya, peneliti memperluas dan meningkatkan pengetahuannya berdasarkan pengalaman-pengalaman praktisnya.


(43)

Kemampuan memperluas pengetahuannya juga diperoleh melalui praktek pengalaman lapangan dengan jalan memperluas kesadaran terhadap situasi sampai pada dirinya terwujud keinginan-keinginan tak sadar melebihi pengetahuan yang ada dalam dirinya, sehingga pengumpulan data dalam proses penelitian menjadi lebih dalam dan lebih kaya.

5. Memproses data secepatnya. Kemampuan lain yang ada pada diri manusia sebagai instrumen adalah memproses data secepatnya seteleh diperolehnya, menyusunnya kembali, mengubah arah inkuiri atas dasar penemuannya, merumuskan hipotesis kerja sewaktu berada di lapangan, dan mengetes hipotesis kerja itu pada respondennya. Hal demikian akan membawa peneliti untuk mengadakan pengamatan dan wawancara yang lebih mendalam lagi dalam proses pengumpulan data itu.

6. Memanfaatkan kesepmatan untuk mengklarifikasikan dan

mengikhtisarkan. Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan

lainnya, yaitu kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami oleh subjek atau responden. Sering hal ini terjadi apabila informasi yang diberikan oleh subjek sudah berubah, secepatnya peneliti akan mengetahuinya, kemudian ia berusaha menggali lebih dalam lagi apa yang melatarbelakangi perubahan itu. Kemampuan lainnya yang ada pada peneliti adalah kemampuan mengikhtisarkan informasi yang begitu banyak diceritakan oleh


(44)

responden dalam wawancara. Kemampuan mengikhtisarkan itu digunakannya ketika suatu wawancara berlanngsung.

7. Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respons yang tidak lazim dan idiosinkratik. Manusia sebagai instrumen memiliki pula

kemampuan untuk menggali informasi yang lain dari yang lain, yang tidak direncanakan semula, yang tidak diduga terlebih dahulu, atau yang tidak lazim terjadi. Kemampuan peneliti bukan menghindari melainkan justru mencari dan berusaha menggalinya lebih dalam. Kemampuan demikian tidak ada tandingannya dalam penelitian mana pun dan sangat bermanfaat bagi penemuan ilmu pengetahuan baru.

Pendapat di atas, diperkuat dengan penyataan Nasution (1982: 55-56) tentang ciri-ciri manusia (peneliti) sebagai instrumen penelitian, yaitu:

1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakan bermakna; 2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua

aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka data sekaligus; 3. Setiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada suatu

instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi kecuali manusia;

4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata-mata. Untuk memahami,


(45)

kita perlu merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita;

5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh dan menafsirkannya;

6. Hanya manusia sebagai instrumen yang dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan dan penolakan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan empat teknik yakni observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka.

1. Teknik Observasi

Teknik observasi yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek yang sedang diteliti yakni pelaksanaan pendidikan nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini yang kemudian dianalisis muatan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya, yang kemudian diasumsikan dapat membentuk pribadi siswa yang patuh terhadap aturan sekolah dan keluarga.

Observasi merupakan kegiatan pengamatan sistematis dan terencana yang dimaksudkan untuk memperoleh data yang


(46)

dikontrol validitas dan reliabilitasnya. Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah observasi sambil partisipasi atau disebut juga pengamatan berperanserta, maksudnya peneliti mengamati sekaligus ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan responden. Peneliti berpartisipasi dalam kegiatan responden, dalam hal ini kepala sekolah, guru, pengurus pramuka, pembina, dan siswa tidak sepenuhnya artinya dalam batas tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara kedudukan peneliti sebagai orang luar (pengamat) dan sebagai orang yang ikut berpartisipasi dalam lingkungan pendidikan responden. Dalam kesempatan tertentu, selain bertindak sebagai pengamat pada saat guru mengajar di kelas, peneliti juga mencoba untuk mengambil alih peran sebagai pengajar di kelas responden, hal ini dilakukan untuk menguji konsistensi temuan yang mencuat pada saat peneliti berperan sebagai pengamat.

Selain sambil partisipasi, observasipun dilakukan secara terbuka, artinya diketahui oleh responden karena sebelumnya telah mengadakan survey terhadap responden dan kehadiran peneliti ditengah-tengah responden atas ijin responden. Seperti dalam melakukan observasi kelas, peneliti meminta ijin dan membuat janji waktu yang tepat dengan guru sehingga proses pengamatan atas sepengetahuan guru bersangkutan.


(47)

Apa yang dilakukan peneliti di atas relevan dengan ungkapan Moleong (2007:163) bahwa ciri khas penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dari pengamatan berperanserta, namun peran penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya. Agar hasil observasi dapat membantu menjawab tujuan penelitian yang sudah digariskan, maka peneliti dalam penelitian ini memerhatikan ungkapan Alwasilah (2006:215-216) yang sejalan dengan Merriam bahwa dalam observasi harus ada lima unsur penting sebagai berikut:

a. Latar (setting) b. Pelibat (participant)

c. Kegiatan dan interaksi (activity and interaction) d. Frekuensi dan durasi (frequency and duration) e. Faktor substil (subtle factors)

Terdapat beberapa alasan mengapa dalam penelitian ini pengamatan dimanfaatkan sebesar-besarnya. Moleong (2007: 174-175) sejalan dengan pendapat Guba dan Lincoln memberikan bantuan alasan sebagai berikut:

a. Teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung. Pengalaman langsung merupakan alat yang ampuh untuk mengetes suatu kebenaran. Jika suatu data yang diperoleh kurang meyakinkan, biasanya peneliti ingin


(48)

memperoleh keyakinan tentang keabsahan data tersebut; jalan yang ditempuhnya adalah mengamati sendiri yang berarti mengalami langsung peristiwanya.

b. Teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.

c. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.

d. Sering terjadi ada keraguan pada peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya ada yang keliru atau bias. Kemungkinan keliru itu terjadi karena kurang dapat mengingat peristiwa atau hasil wawancara, adanya jarak antara peneliti dan yang diwawancarai, ataupun karena reaksi peneliti yang emosional pada suatu saat. Jalan yang terbaik untuk mengecek kepercayaan data tersebut ialah dengan jalan memanfaatkan pengamatan.

e. Teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi, pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk perilaku yang kompleks.


(49)

f. Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat.

Selama melakukan pengamatan, peneliti mencatat setiap fenomena yang ditemukan dan sesampainya di rumah (pada malam hari) catatan yang dibuat pada saat di lapangan, langsung ditranskif ke dalam catatan lapangan yang dibagi menjadi dua bagian, yakni catatan deskriptif dan catatan reflektif. Selanjutnya, dalam rangka mengkonfirmasi dan menindaklanjuti temuan-temuan pada saat observasi yang sudah dituangkan ke dalam catatan lapangan, maka peneliti selanjutnya melakukan proses wawancara terhadap kepala sekolah, guru, pengurus pramuka, pembina, dan siswa yang sudah direncanakan sebelumnya.

2. Teknik Wawancara

Teknik wawancara yaitu melaksanakan tanya jawab tatap muka atau mengkonfirmasikan subyek penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini bertujuan untuk menggali data dan informasi dari subyek penelitian yang berkaitan dengan item-item pertanyaan penelitian.

Dengan teknik wawancara diharapkan dapat menjaring sejumlah data verbal mengenai persepsi informan maupun responden tentang dunia empirik yang mereka hadapi. Pemikiran, tanggapan, maupun pandangan yang diverbalisasikan akan lebih


(50)

mudah dipahami oleh peneliti dibandingkan dengan bahasa (ekspresi) tubuh. Oleh karena itu menurut Nasution (1996:69) teknik pengamatan saja tidak cukup memadai dalam melakukan suatu penelitian. Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth interview) dengan tetap berpegang pada pedoman wawancara

yang telah dipersiapkan. Hal ini dilakukan agar arah percakapan tidak terlalu menyimpang dari data yang digali, juga untuk menghidari terjadinya bias penelitian. Untuk mendapatkan validitas informasi maka pada saat wawancara berlangsung, peneliti berusaha membina hubungan baik dengan cara menciptakan iklim saling menghargai, saling mempercayai, saling memberi dan menerima.

Menurut Alwasilah (2006:195) yang sejalan dengan pendapat Lincoln dan Guba bahwa terdapat lima langkah penting dalam melakukan wawancara, yakni:

a. Menentukan siapa yang akan diinterviu b. Menyiapkan bahan-bahan interviu c. Langkah-langkah pendahuluan

d. Mengatur kecepatan menginterviu dan mengupayakan agar tetap produktif.


(51)

Berdasarkan langkah-langkah yang diungkapkan oleh Alwasilah di atas, langkah awal yang dilakukan oleh peneliti adalah menentukan siapa yang akan di wawancara, hal ini dilaksanakan setelah dilakukan observasi pendahuluan di sekitar lingkungan sekolah dan di dalam kelas.

Setelah orang yang akan diwawancara jelas, selanjutnya peneliti menyusun pedoman wawancara sebagai kompas dalam praktek wawancara agar senantiasa terarah kepada fokus penelitian. Dalam prakteknya, pertanyaan terlontar secara sitematis sesuai dengan pedoman, namun tidak jarang ditambahkan beberapa pertanyaan tambahan atas fenomena baru yang mencuat. Pedoman wawancara isinya mengacu kepada rumusan masalah, hasil observasi dan hasil wawancara sebelumnya. Sementara ruang lingkup pedoman wawancara berbeda setiap sasaran responden yang diwawancarai (lihat lampiran).

Waktu dan tempat wawancara ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan terwawancara. Diakhir kegiatan wawancara, peneliti tidak langsung menutup kegiatan wawancara, melainkan berpesan agar kiranya terwawancara bersedia kembali untuk diwawancarai pada kesempatan lain apabila terdapat fenomena-fenomena yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Dalam


(52)

data hasil observasi. Wawancara dilakukan terhadap subyek penelitian yang dalam hal ini kepala sekolah, guru, tata usaha, komite sekolah dan siswa. Teknik wawancara yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, yakni wawancara yang dilakukan untuk menanyakan permasalahan-permasalahan seputar pertanyaan penelitian dalam rangka memperjelas data atau informasi yang tidak jelas pada saat observasi/pengamatan berperanserta.

3. Teknik Studi Dokumentasi

Moleong (2006:216) mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film. Teknik studi dokumentasi bertujuan untuk melengkapi data yang yang berkaitan dengan pprogram pembelajaran anak usia dini. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Di samping itu Nasution (1996:86) mengungkapkan bahwa dokumen dapat memberikan latar belakang yang luas mengenai pokok penelitian, dan dapat dijadikan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data. Dokumen dapat dipandang sebagai info yang dapat membantu dalam menganalisis dan menginterpretasi data.


(53)

Dalam konteks penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui dokumen tentang bagaimana proses pendidikan nilai-nilai kepatuhan melalui pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung sebelum penelitian dilaksanakan. Dokumen diperoleh dari kepala sekolah, guru, pengurus pramuka, dan pembina berbentuk profil sekolah, KTSP, program kerja kepala sekolah, program kerja pembina dan lain-lain.

Moleong (2006:217) mengungkapkan bahwa dokumen digunakan untuk keperluan penelitian dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti berikut ini:

a. Dokumen dan record digunakan karena merupakan sumber yang stabil, kaya, dan mendorong.

b. Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian.

c. Keduanya berguna dan sesuai dengan penelitian kualitatif karena sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks, serta lahir dan berada dalam konteks.

d. Record relatif murah dan tidak sukar diperoleh, tetapi dokumen harus dicari dan ditemukan.

e. Keduanya tidak reaktif sehingga sukar ditemukan dengan teknik kajian isi.


(54)

f. Hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan terhadap sesuatu yang diselidiki.

4. Teknik Studi Pustaka

Studi pustaka dilaksanakan untuk mengumpulkan data ilmiah dari berbagai literatur yang berhubungan dengan pendidikan umum, pendidikan nilai, pendidikan pada anak usia dini, pendidikan bahasa santun, strategi belajar mengajar, dan metode penelitian kualitatif.

Dalam memperoleh data-data ilmiah ini, penulis mengkaji referensi-referensi kepustakaan dari perpustakaan UPI, perpustakaan Program Studi Pendidikan Umum SPS UPI, perpustakaan TK Daarul Hikam Kota Bandung, perpustakaan pribadi penulis, internet, majalah, koran dan sumber lainnya yang relevan.


(55)

Proses pengumpulan data melalui empat tekinik di atas, mengacu pada kisi-kisi penelitian sebagai berikut:

Tabel 3.1

Kisi-Kisi Alat Pengumpul Data Penelitian

No Pertanyaan Penelitian Aspek yang Diungkap

Alat Pengumpul

Data

Subyek Penelitian

1 Bagaimana gambaran

perilaku anak usia dini terkait dengan bahasa santun?

• Peningkatan Pengetahuan atau Pemahaman guru tentang pendidikan nila

• Perumusan Program

pembelajaran

•Observasi

•Wawancara

•Dokumentasi

• Guru

• Kepala TK

2 Muatan nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam pendidikan nilai kepatuhan melalui pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak?

• Nilai Edukatif

• Nilai Religius

• Nilai Kebangsaan

• Wawancara

• Dokumentasi

• Kepala TK

• Guru

3 Bagaimana

pelaksanaan pendidikan nilai-nilai kepatuhan yang dilaksanakan guru-guru dalam

mengembangkan mengembangkan pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak?

• Perencanaan

Pembelajaran

• Pelaksanaan

Pembelajaran

• Evaluasi Pembelajaran

•Observasi

•Wawancara

•Dokumentasi

• Guru

• Kepala TK

4 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan • SDM • Fasilitas • Pembiayaan •Observasi •Wawancara •Dokumentasi • Guru

• Kepala TK


(56)

pendidikan nilai kepatuhan yang dilaksanakan guru-guru dalam mengembangkan pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak?

• Daya dukung

Pemerintah

• Daya dukung orang tua

siswa

5 Kendala apa saja yang

dihadapi guru dalam melaksanakan pendidikan nilai kepatuhan dalam mengembangkan pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di Taman Kanak-Kanak?

• SDM

• Fasilitas

• Pembiayaan

• Daya dukung

Pemerintah

• Daya dukung orang tua

siswa • Wawancara • Observasi • Dokumentasi • Pengurus Pramuka

• Kepala TK

• Pembina

F. Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap Orientasi

Tahap ini merupakan tahap pendahuluan (pra survey), artinya tahap ini seorang peneliti mengadakan penjajagan dan mengatur strategi pada tahap selanjutnya. Tahapan ini berfungsi untuk memahami situasi latar penelitian.

Pada tahap orientasi, awalnya peneliti mengadakan survei terhadap lembaga, terutama melalui acara dialog dengan kepala


(57)

sekolah, para guru, dan beberapa siswa. Selanjutnya mengadakan wawancara sederhana tentang proses pendidikan nilai-nilai kepatuhan melalui pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di sekolah. Dari hasil pendekatan ini peneliti menentukan responden yakni kepala sekolah, guru, dan siswa. Dalam perjalannya seiring dengan proses penelitian yang dilakukan, maka responden ditambah dengan pengurus pramuka, dan pembina, hal ini dilakukan sehubungan dengan adanya temuan pada observasi dan wawancara pertama bahwa pendidikan nilai-nilai kepatuhan melalui pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung dilakukan melalui melalui kegiatan pramuka dan pembinaan-pembinaan diluar program intrakurikuler.

Hal ini sesuai dengan kekhasan dari paradigma kualitatif yang lebih luwes dalam proses penelitian lapangan. Responden terus berkembang seiring dengan berkembangnya data yang ditemukan di lapangan. Adapun batasannya adalah ketika informasi sudah betul-betul utuh dan terjadi pengulangan informasi yang diperoleh dari responden.

Setelah ditentukan responden penelitian, peneliti mengadakan observasi permulaan untuk memperoleh data tentang prosespendidikan nilai-nilai kepatuhan melalui pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Daarul Hikam Kota Bandung.


(58)

dalam rangka menjaga keamanan dan stabilitas sosial di lokasi penelitian.

2. Tahap Eksplorasi

Tahap ini merupakan tahapan tindak lanjut dari tahapan sebelumnya, jika tahapan orientasi lebih merupakan perencanaan, maka tahap eksplorasi lebih merupakan langkah implementasi dari yang sudah direncanakan. Tujuannya ialah “… to obtain information in depth about those elements determined to be solient”

(Guba, 1978: 233). Artinya, penulis terjun dalam kancah penelitian dan melakukan penelitian secara intensif.

Pada tahap ini, peneliti mulai melakukan kunjungan pada sekolah dan responden, mulai mengenal dekat dengan responden. Mengadakan pengamatan permulaan terhadap proses pendidikan nilai di lingkungan sekolah, selanjutnya meningkat tidak hanya mengamati, melainkan berpartisipasi bersama responden dan mengadakan wawancara guru yang menjadi responden serta beberapa siswa untuk mendukung kelengkapan data.

Proses pengamatan dilakukan dengan membuat janji terlebih dahulu dengan guru bersangkutan sehingga proses pengamatan diketahui oleh guru tersebut, adapun dalam menentukan siswa yang akan diwawancara juga atas masukan dari guru bersangkutan, selain didasari oleh hasil pengamatan di kelas.


(59)

3. Tahap Member Check Data

Pada tahap ini peneliti mengadakan triangulasi, artinya mengadakan bermacam-macam data yang telah dihimpun sehingga dapat ditemukan kadar kebenaran dan kepastiannya. Selanjutnya apabila masih ada data-data yang kurang lengkap, mengandung bias, dan dipandang belum sampai memadai, maka perlu diadakan member-cheek. Ini sebenarnya berfungsi untuk meyakinkan dilakukan analisis dan interpretasi yang meyakinkan. 4. Tahap Analisis dan Interpretasi Data

Tahapan analisis dan interpretasi data ini ada yang dilakukan di lokasi, dan sebaliknya dilaksanakn penafsiran di luar lokasi. Data yang langsung di analisa dan ditafsirkan di lokasi, yaitu terutama data yang direkam secara manual (non elektronik), artinya baik melalui observasi, wawancara, maupun hasil dokumentasi, peneliti langsung mengadakan langkah-langkah seperti modifikasi, klasifikasi dan simplikasi kasus perkasus terhadap data-data yang bersifat abstrak dan fenomenologis, sehingga mengandung pesan-pesan tersendiri dan kemudian akan dianalisis dan ditafsirkan kembali secara matang di luar lokasi.

Menurut Bogdan & Biklen dalam Moleong (2007: 248) analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya


(60)

menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Sementara Seiddel dalam Moleong (2007:248) proses berjalannya analisis data kualitatif adalah sebagai berikut:

1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.

2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensitesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya. 3. Berfikir dengan jalan membuat agar kategori data itu

mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hunbungan, serta membuat temuan-temuan umum.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dituangkan kedalam catatan lapangan, selanjutnya data diolah dan dianalisa. Pengolahan dan penganalisaan data merupakan upaya menata data secara sistematis. Maksudnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap masalah yang sedang diteliti dan upaya memahami maknanya. Langkah pertama dalam pengolahan data yang sudah dituangkan dalam catatan lapangan adalah membuat koding atas fenomena yang ditemukan, selanjutnya membuat kategorisasi dan pengembangan teori.


(1)

275

kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan; (2) pelaksanaan pembelajaran; dan (3) evaluasi dan tindak lanjut pembelajaran.

Keempat, faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini di TK Darul Hikam, adalah: (1) kompetensi guru tentang konsep dan implementasi pendidikan nilai; (2) daya dukung pembelajaran, seperti kurikulum yang memberikan pendalaman terhadap pendidikan nilai, penggunaan metode pembelajaran yang berbasis pada prinsip pendidikan anak usia dini; dan (3) pemahaman orang tua siswa tentang makna pendidikan nilai di lingkungan keluarga.

Kelima, faktor-faktor penghambat pelaksanaan kegiatan pembelajaran nilai-nilai kepatuhan melalui pembiasaan bahasa santun, ini, mencakup: (1) masih rendahnya pemahaman guru-guru tentang konsep pendidikan nilai; dan (2) masih terbatasnya kesempatan memperoleh peltihan operasional tentang internalisasi nilai-nilai dalam pelaksanaan pembelajaran anak usia dini.

B. Saran-Saran

Merujuk pada hasil analisis data dan temuan lapangan, maka dapat dirumuskan saran-saran sebagai berikut:

Pertama, dalam upaya mendorong pelaksanaan pendidikan nilai-nilai kepatuhan sebagaimana yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa pendidikan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun yang dilaksanakan guru di Taman Kanak-Kanak, pada dasarnya memberikan dasar-dasar pembentukkan bagi perilaku anak di rumah. Oleh karena itu, disarankan untuk diadakanya pertemuan antara pihak TK


(2)

276

dengan orang tua secara terprogram. Melalui program ini, diharapkan akan terbangunnya komunikasi yang efektif antara pihak guru dengan orang tua peserta didik dalam menanamkan nilai-nilai kepatuhan sebagai upaya pembiasaan bahasa santun pada anak usia dini.

Kedua, bagi para guru Taman Kanak-Kanak, bahwa untuk lebih meningkatkan motivasi bagi siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, disarankan ada upaya fasilitasi pada masing-masing guru untuk merumuskan program pendidikan nilai bagi anak usia dini secara berjenjang. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat sampai saat ini kegiatan pendidikan nilai antar Taman Kanak-kanak belum terprogram secara berkelanjutan.

Ketiga, bagi orang tua siswa bahwa untuk mendukung optimalisasi kegiatan pembelajaran anak usia dini di Taman Kanak-Kanak, maka disarankan untuk memberikan dukungan moril, materiil, dan tenaga serta pikiran kepada pihak sekolah. Hal tersebut sangat diharapkan, mengingat kegiatan pendidikan nilai yang dilaksanakan di TK nyatanya tidak hanya sebatas pada kegiatan rekreatif semata, akan tetapi mengandung muatan pendidikan nilai bagi perkembangan kepribadian siswa, termasuk pembentukkan pribadi siswa yang patuh kepada aturan.

Keempat, bagi penelitian lebih lanjut, terutama kepada pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap pendidikan nilai dalam setting pendidikan anak usia dini dan para peminat, untuk mengungkapkan lebih jauh peranan pendidikan nilai terhadap pembentukkan manusia seutuhnya yang berakhlak mulia.


(3)

277

DAFTAR PUSTAKA

Alberty, H.B. dan Alberty J. (1965) Reorganizing The High School Curriculum New York: The Macmillan Company

Alwasilah, Chaedar. (2002) Pokoknya Kualitatif Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya

Azhari Ashran. (2005). Pendidikan Prasekolah. Malaysia: Kementrian Pendidikan Malaysia.

Bogdan, R.C & Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research for Education An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon Inc. Darmadi, Hamid. (2007). Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung:

Alfabeta

Djahiri, Kosasih. (1992). Menelusuri Dunia Afektif – Nilai Moral dan Pendidikan Nilai Moral Norma. Bandung: Lab. PPKn IKIP.

---, A.K., dkk. (1998). Analisis Temuan Penelitian Pandangan Guru PPKN SLTP dan SMU Negeri di Jawa Barat serta Implementasinya terhadap Pembaharuan Kurikulum PPKn 1994, Bandung: Lab PPKN IKIP.

... (2007). Kapita Selekta Pembelajaran. Bandung: Lab PMPKN FPIPS UPI Bandung

...(1995). Dasar-Dasar Umum Metodologi dan Pengajaran Nilai-Moral PVCT. Bandung: Lab PMPKN FPIPS UPI Bandung Durkheim, Emile. (1973). Moral Education. New York: The Free Press. Effendi (1993). Pengaruh Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja Pegawai

(Tesis). Bandung: UNWIM.

Guba, E.G. (1978). Toward A Methodology of Naturalistic Inquiry in Education. Los Engles: Center for the Study of Evaluation, UCLA Hamdan, Manseor. (1990). Fungsionalisasi MKDU dalam Kurikulum


(4)

Harianti, Diah, (1994). Program Kegiatan Belajar Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Depdikbud

Harris, Alan. (1976). Teaching Morality and Religion. London: George Allen & Unwin. Ltd.

Harris, CH.W. dan Marie, R.L. (1960). Encyclopedia of Education Research. New York: The Macmillan Company.

Hawari, Dadang. (1990). Al Qur’an dan Ilmu Jiwa. Jakarta: Gramedia. Hurlock, Elizabeth. (1978). Child Growth and Development. McGraw-Hill.

Inc

Kartini Kartono. (1986). Psikologi Sosial. Jakarta: Gramedia.

Kurtines, W. M. and Gerwitz, J. (1992). Moral Development Trough Social Interaction. New York: John Wiley & Sons Inc.

Keosoema, Doni. (2009). Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo Keosoema, Doni (2007). Pendidikan Karakter, strategi mendidik anak di

zaman gobal. Jakarta: Grasindo

Keosoema, Doni. (2009). Pendidikan Karakter di zaman keblinger. Jakarta: Grasindo

Keosoema, Doni. (2010). Pendidikan Karakter Integral. Kompas, 11 Februari 2010

Kohlberg, Lawrence, (1981) Essay on Moral Development, The Philosophy of Moral Development, (Volume I). San Fransisco: Harper & Row Publisher.

Lickona, Thomas, (1992) Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibilit. New York: Bantam Books.

Moleong Lexy J. (2007) Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya

Moekijat. (1987). Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta: Gramedia. Moenir (1992). Pendidikan Disiplin. Jakarta: Gramedia.


(5)

279

Mulyadi, S. (1997). Permainan pada Anak Usia Dini. Jakarta: Gramedia. Mulyana Rahmat. (2004) Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:

Alfabeta.

Nasution, S. (1982). Metode Research. Bandung: Jemmars.

---. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Phenix, P.H. (1964). Realism of Meaning. New York San Fransisco: Toronto, London: McGraw-Hill Book Company.

Poerwadarminta. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Poespoprodjo. (1988). Filsapat Moral: Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya.

Rahardjo, D. (1985). Penelusuran Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Sauri, Sofyan. (2006). Membangun Komunikasi dalam Keluarga—Kajian Nilai Religi, Sosial, dan Edukatif. Bandung: PT. Genesindo.

---. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: PT. Genesindo.

Sulaeman, M.I. (1985). Pendidikan, Agama, dan Manusia. Bandung: PPS IKIP.

Sumaatmadja, Nursid. (1990). Konsep dan Eksistensi Pendidikan Umum (Diktat Kuliah). Bandung: FPS IKIP

---. (2000). Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya. Bandung: Alfabeta.

---. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2008). Metode Peneltian Pendidikan. Bandung: UPI-Rosda Karya

Supratiknya. (1993). Teori Kepribadian. Yogjakarta: Universitas Gajah Mada Press.


(6)

Sekretariat Negara. (1990). Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah. Jakarta: LN.

Tim Redaksi Fokusmedia. (2003). Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Bandung: Fokusmedia

Winecoff, Herbert Larry & Bufford, C. (1985) Toward Improved Instruction, A Curriculum Development Handbook for Instructional School, AISA.

Zain, Irfan Ahmad. (2006). Efektivitas Pembentukkan Pribadi Patuh Terhadap Aturan Melalui Kegiatan Kepramukaan (Tesis). Bandung: PPS UPI.