Pengaruh Kompetensi Independensi, Dan Profesionalisme Auditor Internal Pada Pencegahan Kecurangan Pada Bank Perkreditan Rakyat Di Kabupaten Badung.

(1)

i

PENGARUH KOMPETENSI, INDEPENDENSI, DAN

PROFESIONALISME AUDITOR INTERNAL DALAM MENCEGAH KECURANGAN

PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI KABUPATEN BADUNG

SKRIPSI

Oleh :

MADE YUNITA WINDASARI NIM : 1215351176

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi

Universitas Udayana Denpasar


(2)

ii

Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetuji oleh pembimbing, serta diuji pada tanggal: 12 Mei 2016

Tim Penguji : Tanda Tangan

1. Ketua : Dr. Dodik Ariyanto, SE, M.Si., Ak ...

2. Sekretaris : Gede Juliarsa, SE., M.Si ...

3. Anggota : Agus Indra Tanaya, SE., MSA (Humbis)., Ak ...

Mengetahui,

Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing

Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., M.Si Gede Juliarsa, SE.,M.Si


(3)

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila ternyata dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 12 Mei 2016 Mahasiswa

Made Yunita Windasari 1215351176


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa

atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh

Kompetensi, Indepedensi, dan Profesioanlisme Auditor Internal Dalam Mencegah Kecurangan di Bank Perkreditan Rakyat Kabupaten Badung dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1) Bapak Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

2) Ibu Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

3) Ibu Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, SE., M.Si selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

4) Bapak Dr. I Dewa Gde Dharma Suputra, SE., M.Si.,Ak selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

5) Bapak Dr. I Dewa Nyoman Badra, SE., M.Si., Ak selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

6) Bapak Dr. I Gusti Ngurah Agung Suaryana, SE., M.Si., Ak selaku

Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

7) Bapak Dr. I Made Sadha Suardikha Gede, SE., M.Si., Ak selaku


(5)

v

8) Bapak Gede Juliarsa, SE., M.Si selaku Pembimbing Skripsi atas waktu, bimbingan, arahan, dan dukungan yang sangat besar kepada penulis selama penulisan skripsi.

9) Bapak Dr. Dodik Ariyanto, SE, M.Si., Ak selaku dosen pembahas dan penguji yang telah memberikan saran dan kritik terhadap skripsi ini.

10) Segenap dosen pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

11) Seluruh pegawai dan staf di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, yang telah memberikan bantuan selama proses pengadministrasian skripsi.

12) Orang tua penulis dr I Wayan Suardana dan Sanggarani Puji Astuti SH yang telah memberikan amanat kepada penulis sedari dini untuk menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya, dan juga memberikan dukungan berupa materiil, semangat, dan doa yang tiada henti untuk penulis serta kakak dan adik penulis dr Putu Tarita Susanti dan Nyoman Yogi Indra Suputra atas bantuan yang telah diberikan selama perkuliahan dan penulisan skripsi.

13) Sahabat-sahabat terbaik penulis Aninsa, Sri, Tia, Mayta, Satya, Sista, Cintya, Vina, Mega, Setiyadi atas dukungannya selama perkuliahan dan penulisan skripsi.

14) Seluruh teman-teman penulis di kampus yang sering membantu penulis terkait perkuliahan ataupun terkait dengan penulisan skripsi ini.


(6)

vi

15) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan, saran dan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih belum sempurna, sehingga segala kritik dan saran yang membangun mengenai skripsi ini sangat penulis butuhkan. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang berkepentingan,

Denpasar, 12 Mei 2016 Penulis


(7)

vii

Judul : Pengaruh Kompetensi, Indepedensi, dan Profesioanlisme Auditor Internal Dalam Mencegah Kecurangan Pada Bank Perkreditan Rakyat Kabupaten Badung.

Nama : Made Yunita Windasari NIM : 1215351176

ABSTRAK

Fenomena kecurangan dalam beberapa perusahaan perbankan terkemuka banyak terjadi belakangan dan menyebabkan auditor internal menjadi sorotan banyak pihak. Menanggapi hal tersebut, auditor internal dirasa perlu memiliki sikap untuk mencegah kecurangan dalam perusahaan perbankan.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi auditor internal dalam mencegah kecurangan pada bank perkreditan rakyat (BPR) yaitu kompetensi, indepedensi dan profesionalisme. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui pengaruh kompetensi, independensi, dan profesionalisme auditor dalam mencegah kecurangan pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten Badung. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode non probability

sampling yaitusampel jenuh. Responden dalam penelitian ini sebanyak 44 orang.

Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi, indepedensi dan profesionalisme auditor internal berpengaruh positif terhadap pencegahan kecurangan di bank perkreditan rakyat (BPR) kabupaten Badung. Hal tersebut berarti semakin baik sikap kompetensi, indepedensi dan profesionalisme semakin baik upaya yang dilakukan untuk mencegah kecurangan.


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.5 Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ... 13

2.1.1 Teori Tindakan Beralasan (Theory Of Reasoned Action) ... 13

2.1.2 Teori Perilaku Terencana (Theory Of Plannned Behavior) ... 15

2.1.3 Teori Sikap dan Perilaku ... 17

2.1.4 Audit Internal ... 19

2.1.4.1. Pengertian Audit Internal... 19

2.1.4.2 Fungsi Audit Internal... 19

2.1.4.3 Tujuan dan Ruang Lingkup ... 20

2.1.5 Struktur Pengendalian Intern ... 21


(9)

ix

2.1.6.1 Struktur, Kedudukan dan Fungsi ... 24

2.1.6.2 Wewenang dan Tanggungjawab ... 25

2.1.6.3 Persyaratan dan Kode Etik... 26

2.1.7 Kompetensi Auditor Internal ... 27

2.1.8 Indepedensi Auditor Internal ... 29

2.1.9 Profesionalisme Auditor Internal ... 34

2.1.10 Kecurangan ... 37

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian ... 36

2.2.1 Pengaruh Kompetensi Auditor Internal Dalam Mencegah Kecurangan ... 43

2.2.2 Pengaruh Indepedensi Auditor Internal Dalam Mencegah Kecurangan ... 44

2.2.3 Pengaruh Profesionalisme Auditor Internal Dalam Mencegah Kecurangan ... 45

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 47

3.2 Lokasi atau Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ... 47

3.3 Obyek Penelitian ... 48

3.4 Identifikasi Variabel... 48

3.5 Definisi Operasional Variabel ... 48

3.6 Jenis dan Sumber Data ... 51

3.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ... 51

3.7.1 Populasi ... 51

3.7.2 Sampel ... 52

3.8 Metode Pengumpulan Data ... 52

3.9 Teknik Analisis Data ... 53

3.9.1 Analisis statistik deskriptif ... 53

3.9.2 Intervalisasi Data... 53

3.9.3 Uji Instrumen Penelitian ... 53

3.9.4 Uji Asumsi Klasik ... 54


(10)

x

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Daerah atau Wilayah Penelitian ... 58

4.2 Data Penelitian ... 59

4.2.1 Deskripsi Responden ... 59

4.2.2 Karakteristik Responden ... 60

4.3 Hasil Penelitian ... 61

4.3.1 Hasil Statistik Deskriptif ... 61

4.3.2 Hasil Intervalisasi Data ... 64

4.3.3 Hasil Pengujian Instrumen Penelitian ... 64

4.3.4 Uji Asumsi Klasik ... 66

4.3.5 Hasil Uji Hipotesis ... 68

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 73

4.4.1 Pengaruh kompetensi auditor internal dalam upaya mencegah kecurangan ... 73

4.3.2 Pengaruh indepedensi auditor internal dalam upaya mencegah kecurangan ... 74

4.3.3 Pengaruh profesionalisme auditor internal dalam upaya mencegah kecurangan ... 75

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 76

5.2 Saran ... 76

DAFTAR RUJUKAN ... 78


(11)

xi

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

3.1 Definisi Operasioanl Variabel ... 50

4.1 Rincian Penyebaran dan Pengembalian Kuesioner ... 59

4.2 Profil Responden ... 60

4.3 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 62

4.4 Hasil Uji Validitas ... 65

4.5 Hasil Uji Relabilitas ... 66

4.6 Hasil Uji Normalitas ... 67

4.7 Hasil Uji Multikoleniaritas ... 67

4.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas... 68

4.9 Hasil Uji Regresi Linier Berganda ... 69

4.10 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 70

4.11 Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 71


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman

2.1 Fraud Triangle ... 40 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian ... 47


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman

1 Daftar BPR di Kabupaten Badung ... 84

2 Kuesioner Penelitian ... 86

3 Tabulasi Data Ordinal ... 91

4 Tabulasi Data Interval ... 95

5 Statistik Deskriptif ... 99

6 Uji Validitas ... 100

7 Uji Reliabilitas ... 102

8 Uji Asumsi Klasik... 106


(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kecenderungan kecurangan akuntansi telah menarik banyak perhatian media dan menjadi isu yang menonjol serta penting di mata bisnis dunia. Kecurangan merupakan bentuk penipuan yang sengaja dilakukan sehingga dapat menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Kecurangan hingga saat ini merupakan salah satu hal yang fenomenal baik di negara berkembang dan negara maju. Kecurangan merupakan penyimpangan dan perbuatan hukum yang dilakukan secara sengaja, untuk keuntungan pribadi/ kelompok secara fair ; secara langsung dan tidak langsung merugikan pihak lain (Koesmana et al, 2007:62).

Istilah kecurangan berbeda dengan istilah kekeliruan (errors) (Setiawan, 2003). Faktor utama yang membedakannya adalah tifndakan yang mendasarinya, apakah tindakan tersebut dilakukan secara disengaja atau tidak. Jika tindakan tersebut dilakukan secara sengaja, maka disebut kecurangan dan jika tindakan tersebut dilakukan tidak secara sengaja, maka disebut dengan kekeliruan (errors).

Salah satu kasus kecurangan pada perbankan yang terjadi adalah runtuhnya London and County Securities Bank di Inggris karena kurang berfungsinya auditor, kelemahan sistem hukum serta kinerja verifikator yang buruk. Di mana pemilik bank dapat mentransfer dana publik ke perusahaan lain dalam grup yang sama dengan cara


(15)

2

ilegal. Ini terjadi karena auditor internal tidak menjalankan fungsinya dengan baik (Matthews, 2005).

Pada tahun 2003 dihebohkan dengan kegagalan prosedur L/C BNI, di mana bermula dari diterimanya L/C bernilai Rp 1,7 triliun oleh Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. Kasus ini terkuak oleh kecurigaan kepala divisi internasional terhadap kegagalan prosedur L/C BNI. Berdasarkan laporan di divisi internasional yang direlease pada 7 Agustus 2003, kemudian direktur utama BNI menurunkan tim auditor internal untuk mendalami kasus ini. Hasilnya laporan tim audit internal yang dibuat pada September 2003 membuktikan kebenaran pembobolan uang Negara sebesar 1,7 triliyun (Theresa, 2014).

Kasus Bank Century yang terjadi pada tahun 2008 di Indonesia dimana terjadinya gagal kliring yang mengakibatkan dihentikannya perdagangan oleh BEI sampai dengan diambil alihnya (Bail Out) Bank Century oleh pemerintah. Sampai saat ini masih banyak kalangan yang menganggap bahwa kasus Bank Century belumlah terselesaikan secara tuntas (Theresa, 2014). Krisis yang dialami Bank Century bukan disebabkan karena adanya krisis global, tetapi karena disebakan permasalahan internal bank tersebut. Permasalahan internal tersebut adalah adanya penipuan yang dilakukan oleh pihak manajemen bank terhadap nasabah menyangkut: penyelewengan dana nasabah hingga Rp 2,8 Trilliun (nasabah Bank Century sebesar Rp 1,4 Triliun dan nasabah Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia sebesar Rp 1,4 Triliiun) dan penjualan reksa dana fiktif produk Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia. Dimana produk tersebut tidak memiliki izin BI dan Bappepam LK. Kedua


(16)

3

permasalahan tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi nasabah Bank Century.

Kasus diatas merupakan tindakan kecurangan yang terjadi pada perbankan. Adapun faktor penyebab terjadinya kecurangan tidak terlepas dari konsep segitiga kecurangan yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi

(rationalization) yang disebut sebagai fraud triangle. Faktor tekanan adalah dorongan

yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan yang diakibatkan karena kebutuhan atau masalah finansial. Kedua, faktor kesempatan terjadi karena kurang efektifnya pengendalian internal. Dan ketiga, faktor rasionalisasi dimana sikap pembenaran yang dilakukan oleh pelaku dengan merasionalkan bahwa tindakan kecurangan adalah sesuatu yang wajar (Tuannakotta,2007:107- 111).

Pencegahan kecurangan merupakan aktivitas memerangi kecurangan dengan

biaya yang murah. Pencegahan kecurangan bisa dianalogikan dengan penyakit, yaitu lebih baik dicegah daripada mengobati. Jika menunggu terjadinya kecurangan baru ditangani itu artinya sudah ada kerugian yang terjadi dan telah dinikmati oleh pihak tertentu, bandingkan bila kita berhasil mencegahnya tentu kerugian belum semuanya beralih ke pelaku kecurangan (Fitrawansyah,2014:16). Pencegahan kecurangan adalah berupaya untuk menghilangkan atau mengeliminir sebab-sebab timbulnya kecurangan tersebut (Amrizal,2004:4). Pencegahan fraud di sektor publik dilakukan dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang menetapkan berbagai sanksi yang diharapkan dapat menangkal atau setidak-tidaknya dapat mengurangi tindakan kecurangan (Karyono,2013:48).


(17)

4

Pada era globalisasi sekarang ini Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dituntut untuk mampu meningkatkan produktivitasnya agar mampu bersaing dengan lembaga keuangan lainnya. Ada tiga konsekuensi logis dari timbulnya persaingan yang semakin tajam, yaitu mundur, bertahan, atau semakin berkembang. Semakin berkembang dan semakin kompleknya sistem usaha dan pemerintahan, tidak memungkinkan bagi eksekutif untuk mengawasi semua kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. Tetap saja ada hal-hal yang luput dari perhatian para eksekutif tersebut sehingga kegiatan yang tidak diawasi akan kehilangan efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu audit internal untuk memenuhi kebutuhan manajemen perusahaan (Desyani dan Ratnadi, 2008).

Audit Internal adalah suatu fungsi penilaian yang dikembangkan secara bebas yang dilakukan oleh orang yang profesional yang memiliki pemahaman yang mendalam mengenai sistem dan kegiatan operasional organisasi, menjamin kegiatan operasional organisasi telah berjalan efektif dan efisien serta memastikan bahwa sasaran dan tujuan organisasi telah tercapai (Susilawati, 2014). Saat ini audit internal menyediakan jasa-jasa yang mencakup pemeriksaan dan penilaian atas kontrol, kinerja, risiko, dan tata kelola (governance) (Sawyer et al, 2005: 3). Kesalahan manajemen suatu perusahaan dalam mengelola sumber daya dapat membuat perusahaan tersebut mengalami kerugian yang cukup besar, kerugian akibat proses produksi yang salah, perekayasaan, pemasaran, atau pengelolaan persediaan bisa jadi besar dibandingkan kerugian akibat kelemahan di bidang keuangan (Sawyer et. al, 2005).


(18)

5

Dana, et al. (2008) menyatakan auditor internal adalah pakar dalam tata kelola,

manajemen risiko dan pengendalian intern. Audit internal berusaha untuk meningkatkan operasi organisasi dan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hal negatif termasuk pelaporan keuangan yang tidak dapat diandalkan. Auditor internal juga membantu manajemen dalam mendisain serta memelihara kecukupan dan efektifitas struktur pengendalian intern. Auditor internal juga bertanggungjawab untuk menilai kecukupan dan keefektifan dari masing-masing sistem pengendalian yang memberikan jaminan kualitas dan integritas dari proses pelaporan keuangan.

Belakangan ini perhatian auditor diarahkan terutama untuk mencegah terjadinya kesalahan dan transaksi kecurangan. Davia et al. (2000) dalam Soepardi (2009) menyatakan bahwa diperkirakan 40 persen dari keseluruhan kasus kecurangan tidak pernah terungkap, atau dikenal dengan fenomena gunung es. Oleh karena itu diperlukan tindakan strategi represif dan preventif dalam menangani kecurangan. Tujuannya adalah untuk membantu pemimpin perusahaan (manajemen) dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberikan analisa, penelitian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diauditnya. Menurut Amrizal (2004) internal audit adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh pegawai perusahaan yang terlatih mengenai ketelitian, dapat dipercayainya, efisiensi, kegunaan catatan- catatan (akuntansi) perusahaan serta pengendalian internal yang terdapat dalam perusahaan.

Menurut Sawyer et al. (2005), Kompetensi Auditor Internal adalah sebuah hubungan cara-cara setiap auditor memanfaatkan pengetahuan, keahlian dan pengalaman. Auditor yang tidak kompeten tidak akan bisa membantu manajemen


(19)

6

dalam memecahkan masalah-masalah yang mengandung resiko, padahal tugas auditor di era ini lebih difokuskan kepada pengawasan dan pengendalian terhadap area-area yang mengandung resiko bukan hanya audit atas kepatuhan saja.

Kompetensi yang rendah juga akan mengakibatkan kegagalan dalam audit karena auditor akan kesulitan dalam menemukan temuan-temuan yang berkenaan dengan terjadinya penyimpangan. Kompetensi juga dapat menentukan keberhasilan dalam pelaksaan audit, tanpa Kompetensi Auditor Internal pelaksanaan audit kurang berkualitas. Usaha peningkatan Kompetensi Auditor Internal BPR tidak dapat hanya dilakukan dengan pendidikan dan pengalaman tetapi juga membutuhkan peran serta auditor internal dalam mempertahankan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kompetensi Auditor Internal mempunyai peran yang penting dalam mencegah kecurangan.

Menurut Arens dan Loebbecke (2009) auditor harus mempunyai kemampuan memahami kriteria yang digunakan serta mampu menentukan jumlah bahan bukti yang dibutuhkan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya. Auditor harus pula mempunyai sikap independen. Sekalipun ia ahli, apabila tidak mempunyai sikap independen dalam mengumpulkan informasi akan tidak berguna, sebab informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan haruslah tidak biasa. Independensi merupakan tujuan yang harus selalu diupayakan dan itu dapat dicapai sampai tingkat tertentu. Misalnya, sekalipun auditor internal dibayar oleh perusahaan, ia harus tetap memiliki kebebasan yang cukup untuk melakukan audit yang handal.


(20)

7

Independensi dalam profesi sangat dibutuhkan untuk menjaga kualitas auditor tersebut. Independensi bukan hanya dimiliki oleh auditor eksternal namun juga dimiliki oleh auditor internal. Independensi dalam hal ini adalah independensi dalam pelaporan dimana menurut Sawyer (2006) independensi dalam pelaporan menjadikan auditor internal harus bebas dari perasaan untuk memodifikasi dampak dari fakta- fakta, harus bebas dari hambatan oleh pihak- pihak yang ingin meniadakan auditor dalam memberikan pertimbangan.

Dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai seorang professional, auditor harus menjalani pelatihan yang cukup dan kegiatan penunjang keterampilan lainnya. Melalui program pelatihan tersebut para auditor juga mengalami proses sosialisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan situasi yang akan ditemui. Profesionalisme juga menjadi syarat utama bagi seseorang yang ingin menjadi seorang auditor sebab dengan profesionalisme yang tinggi kebebasan auditor akan semakin terjamin. Untuk menjalankan perannya yang menuntut tanggung jawab yang semakin luas, seorang auditor harus memiliki wawasan yang luas tentang kompleksitas organisasi modern.

Setiap auditor internal harus tetap mempertahankan kompetensi, indepedensi serta profesionalisme agar dapat mencegah serta dapat mendeteksi segala bentuk kecurangan yang terjadi. Kurangnya pengetahuan dan pengertian seorang auditor internal mengenai indikasi akan terjadinya tindak kecurangan sering terjadi dan prosedur yang efektif untuk mendeteksi kecurangan sudah sering dibuat sulit oleh auditor- auditor dalam melakukan tugas- tugasnya. Oleh karena itu, seorang auditor


(21)

8

internal harus mempunyai keahlian dalam mencegah kecurangan sebagai eksistensi dan pengetahuan mengenai gejala pasti, dan harus mampu mendeteksi segala bentuk kecurangan (fraud) yang terjadi, pengertian akan masalah dan sikap kompetensi, independensi serta profesionalisme untuk menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi.

Penelitian yang dilakukan oleh Khoirul (2015), Marcellina (2009) dan Trisi (2015) menunjukan bahwa kompetensi auditor berpengaruh positif pada pencegahan kecurangan. Namun berbeda dengan hasil penelitian yang diperoleh oleh Sartika

(2015) pengaruh independensi, kompetensi, skeptisme professional dan

profesionalisme terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan menunjukan hasil bahwa kompetensi tidak berpengaruh positif terhadap mendeteksi kecurangan.

Dalam penelitian Adyani (2014) menggunakan independen sebagai faktor mendeteksi kecurangan dan laporan keuangan auditor dengan hasil penelitian indepedensi berpengaruh positif dalam mendeteksi kecurangan dan kekelirungan laporan keuangan auditor. Namun berbeda dengan hasil yang diteliti oleh Herman (2015) pengaruh indepedensi dan profesionalisme dalam mencegah dan mendeteksi

fraud pada auditor internal, menunjukan bahwa variable independensi tidak

berpengaruh positif bagi auditor internal. Penelitian yang dilakukan Sartika (2015), profesionalisme auditor berpengaruh positif dalam mendeteksi kecurangan. Sedangkan menurut penelitian Cahyasumirat (2006), bahwa profesionalisme tidak berpengaruh positif terhadap kinerja auditor internal. Hasil penelitian yang


(22)

9

dilakukan oleh Sartika (2015) dan Cahyasumirat (2006) terdapat perbedaan karena hasilnya tidak konsisten.

Alasan peneliti ingin meneliti kembali peran audit internal karena, apakah dengan menggunakan sampel yang berbeda dan waktu yang berbeda akan memberikan hasil yang sama dengan penelitian terdahulu. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti Bank Perkreditan Rakyat di kabupaten Badung. Peneliti memilih di Bank Perkreditan Rakyat Badung karena menurut pengetahuan peneliti belum ada penelitian tentang peran auditor internal yang dilakukan di Bank Perkreditan Rakyat Badung. Ditambah lagi dengan adanya Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB), yang wajib dilaksanakan sejak 1 Januari 1996, dimutakhirkan oleh Bank Indonesia dengan peraturan Bank Indonesia No. 1/6/PBI/99 tanggal 20 September 1999 yang menyatakan bahwa bank wajib memiliki Satuan Kerja Audit Intern dalam melaksanakan fungsi audit internnya. Maka dari itu penelitian ini dilakukan dengan mengangkat judul Pengaruh Kompetensi, Independensi dan Profesionalisme Auditor Internal pada Pencegahan Kecurangan (Studi Empiris pada Bank Perkreditan Rakyat di Kabupaten Badung).

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Rumusan masalah dibuat berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, sehingga dapat dibuat suatu rumusan sebagai berikut:

1) Apakah kompetensi seorang auditor internal berpengaruh dalam mencegah kecurangan?


(23)

10

2) Apakah independensi seorang auditor internal berpengaruh dalam mencegah kecurangan?

3) Apakah profesionalisme seorang auditor internal berpengaruh dalam mencegah kecurangan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sesuai dengan rumusan masalah, antara lain:

1) Untuk mengetahui pengaruh kompetensi seorang auditor internal dalam mencegah terjadinya kecurangan.

2) Untuk mengetahui pengaruh independensi seorang auditor internal dalam mencegah terjadinya kecurangan.

3) Untuk mengetahui pengaruh profesionalisme seorang auditor internal dalam mencegah terjadinya kecurangan.

1.4 Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan tambahan informasi dan referensi dalam penelitian di bidang pengauditan khususnya dalam mencegah terjadinya kecurangan serta memberikan bukti empiris mengenai pengaruh kompetensi, independensi dan profesionalisme auditor internal pada pencegahan kecurangan.


(24)

11 2) Kegunaan Praktis

(1) Bagi Auditor Internal

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan

pertimbangan mengenai pengaruh kompetensi auditor internal,

independensi auditor internal dan profesionalisme auditor internal terhadap kinerja auditor internal melalui pengetahuan mengenai fraud.

(2) Bagi pihak yang berkepentingan lainya.

Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi masukan sesuai dengan kebutuhan

(3) Bagi penulis.

Adanya penelitian ini penulis dapat memperoleh banyak pengetahuan mengenai pengaruh kompetensi auditor internal, independensi auditor internal dan profesionalisme auditor internal dalam mencegah kecurangan.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan laporan ini terdiri dari beberapa bab yang disusun berurutan secara sistematis, sehingga antara satu bab dengan bab yang lainnya mempunyai hubungan yang sistematis. Sistematika penyajian dalam laporan ini akan diuraikan secara ringkas meliputi 5 (lima) bab, yaitu.


(25)

12

Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan dan kegunaan penulisan dan sistematika penyajian. Bab II : Tinjauan Teoritis

Bab ini menguraikan tentang dasar-dasar teori yang menunjang pembahasan terhadap masalah dalam laporan ini yaitu teori motivasi berprestasi, teori penetapan tujuan, audit judgment, tekanan ketaatan, senioritas auditor, tekanan anggaran waktu, dan hipotesis penelitian. Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dibahas mengenai desain penelitian, lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel, metode penentuan sampel dan teknik analisis data yang digunakan.

Bab IV : Hasil Dan Pembahasan

Bab ini memuat tentang gambaran umum dari lokasi peneliti, deskripsi dari hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan.

Bab V : Simpulan Dan Saran

Bab ini menguraikan tentang simpulan dari permasalahan yang dibahas serta saran-saran yang dapat disampaikan dimana nantinya diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya.


(26)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1Pustaka dan Hipotets Penelitian

2.1.1 Teori Tindakan Beralasan (Theory Of Reasoned Action)

Theory Reasoned Action (TRA) pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun

1980 . Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA ini, Ajzen menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap

(attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu

norma subjektif.

Theory of Reasoned Action (TRA) dari Ajzen dan Fishbelin masih relatif baru,

dan kurang banyak digunakan dan kurang banyak dikenal. Theory of Reasoned Action (TRA) merupakan teori perilaku manusia secara umum : aslinya teori ini dipergunakan di dalam berbagai macam perilaku manusia, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan social -psikologis, kemudian makin bertambah digunakan untuk menentukan faktor -faktor yang berkaitan dengan perilaku kesehatan.

Teori ini menghubungkan keyakinan (beliefs), sikap (attitude),


(27)

14

akan dilakukan seseorang, cara terbaik untuk meramalkannya adalah mengetahui intensi orang tersebut. Intensi ditentukan oleh sikap dan norma subyektif. Komponen pertama mengacu pada sikap terhadap perilaku. Sikap ini merupakan hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (outcome of the behavior). Disamping itu juga dipertimbangkan pentingnya konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi bagi individu (evaluation regarding the outcome). Komponen kedua mencerminkan dampak dari norma-norma subyektif. Norma sosial mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggapnya penting (referent person) dan motivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut.

Keuntungan teori ini adalah memberi pegangan untuk menganalisa komponen perilaku dalam item yang operasional. Bagaimana sejumlah pencegahan harus dipertimbangkan supaya model ini dipergunakan dengan tepat. Fokus sasaran adalah prediksi dan pengertian perilaku yang dapat diamati secara langsung dan dibawah kendali seseorang. Artinya bahwa perilaku sasaran harus diseleksi dan diidentifikasikan secara jelas. Tuntutan ini memerlukan pertimbangan mengenai tidakan (action), sasaran (target), konteks (context), waktu (time).

Banyak penelitian di bidang sosial yang sudah membuktikan bahwa Theory of

Reason Action ( TRA ) ini adalah teori yang cukup memadai dalam memprediksi

tingkah laku. Salah satunya dalam mencegah terjadinya kecurangan (fraud). Ada 3 hal yang mendorong terjadinya sebuah upaya fraud, yaitu pressure (dorongan),


(28)

15

memiliki berbagai arti, di antaranya keadaan di mana kita merasa ditekan, kondisi yang berat saat kita menghadapi kesulitan. dapat dilihat bahwa pressure dapat menjadi motivasi bagi manusia dalam melakukan tindakan salah satunya kecurangan.

Opportunity adalah peluang yang memungkinkan fraud terjadi. Biasanya disebabkan

karena internal control suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan, dan/atau

penyalahgunaan wewenang. Di antara 3 elemen fraud triangle, opportunity

merupakan elemen yang paling memungkinkan untuk diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan control dan upaya deteksi dini terhadap fraud. Sedangkan, rationalization menjadi elemen penting dalam terjadinya fraud, dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya.

2.1.2 Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behavior)

Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Icek Ajzen (1985). Menurut Ajzen niat untuk melakukan berbagai jenis perilaku dapat diprediksi dengan tingkat keakuratan yang tinggi dari sikap seseorang terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. TPB digunakan untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku, memprediksi dan memahami dampak niat berperilaku, serta mengidentifikasi strategi untuk merubah perilaku. Dalam TPB diasumsikan bahwa manusia yang bersifat rasional akan menggunakan informasi yang ada secara sistematik kemudian memahami dampak perilakunya sebelum memutuskan untuk mewujudkan perilaku tersebut.


(29)

16

Ajzen memperkenalkan theory of planned behavior dengan menambahkan

komponen baru yaitu kontrol perilaku (perceived behavioral control). Dengan ini, ia memperluas theory of reasoned action untuk menutupi perilaku non-kehendak. Dalam TPB, perilaku yang ditampilkan individu timbul karena adanya intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif. Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku, evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh.

Theory of planned behavior dijelaskan bahwa niat individu untuk melakukan

suatu tindakan atau berperilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Sikap Terhadap Perilaku (Attitude Toward The Behavior)

Individu akan bertindak atau berprilaku sesuai dengan sikap yang melekat dalam dirinya terhadap suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku yang dianggap positif, nantinya akan dijadikan pilihan individu untuk membimbingnya dalam berperilaku di kehidupannya.

2) Norma Subyektif (Subjective Norm)

Persepsi individu tentang perilaku tertentu, yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang signifikan.

3) Persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control)

Kontrol perilaku mengacu pada persepsi-persepsi individu akan kemampuannya untuk mewujudkan suatu perilaku tertentu.


(30)

17

Penulis menggunakan variabel profesionalisme yang merepresentasikan sikap terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki profesionalisme (dalam dimensi dedikasi terhadap profesi) yang baik cenderung akan memiliki keyakinan yang relatif stabil dalam segala situasi. Sikap terhadap perilaku dapat berubah tergantung situasi dan jenis perilaku yang akan dilakukan. Oleh karena sikap terhadap prilaku didasari dengan sikap yang melekat dalam dirinya terhadap suatu perilaku, maka sebagai seorang profesional yang berdedikasi terhadap profesi atau pekerjaan harus menilai segala jenis perilaku yang positif dengan menggunakan peraturan dan kode etik yang berlaku dalam profesinya. Dengan demikian mereka telah memiliki sikap terhadap perilaku yang baik dan menjunjung profesionalisme profesi karena telah bekerja dengan berdasarkan peraturan yang ada dan kode etik profesi.

Selanjutnya variabel kompetensi merepresentasikan komponen presepsi kontrol perilaku. Dalam variabel ini individu mengacu pada persepsi-persepsi individu akan kemampuannya untuk menampilkan perilaku tertentu. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali individu tersebut atau dalam suatu kondisi tertentu dapat terjadi hal yang sebaliknya, seorang individu dapat mengontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Kontrol tersebut disebabkan oleh faktor internal dan eksternal individu, faktor internal adalah diri individu itu sendiri sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan dimana individu itu berada.


(31)

18 2.1.3 Teori Sikap dan Perilaku

Theory of attitude and Behaviour (TRA) yang dikembangkan oleh Triandis

(1971) dipandang sebagai teori yang dapat mendasari untuk menjelaskan independensi. Teori tersebut menyatakan, bahwa perilaku ditentukan untuk apa orang-orang ingin lakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang mereka bisa lakukan (kebiasaan) dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan. Sikap menyangkut komponen kognitif berkaitan dengan keyakinan, sedangkan komponen sikap afektif memiliki konotasi suka atau tidak suka.

Teori sikap dan perilaku ini dapat menjelaskan sikap independen auditor dalam penampilan. Seorang auditor yang memiliki sikap independen akan berperilaku independen dalam penampilannya, artinya seorang auditor dalam menjalankan tugasnya tidak dibenarkan memihak terhadap kepentingan siapapun. Auditor mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur baik kepada pihak manajemen maupun pihak-pihak lain seperti pemilik, kreditor, investor.

Studi yang dilakukan oleh Firth (1980), misalnya mengemukakan alasan bahwa, jika auditor tidak terlihat independen, maka pengguna laporan keuangan semakin tidak percaya atas laporan keuangan yang dihasilkan auditor dan opini auditor tentang laporan keuangan perusahaan yang diperiksa menjadi tidak ada nilainya. Sejalan dengan Arens dan Loebbecke, Mulyadi (2008) menguraikan independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga dapat diartikan


(32)

19

adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta adanya petimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyakatakan pendapatnya, menyinggung independensi dalam sikap mental

(Independence in fact) bertumpukan pada kejujuran, obyektifitas, sedangkan

independensi dalam penampilan (Independence In Appearance) diartikan sebagai sikap hati-hati seorang akuntan agar tidak diragukan kejujurannya.

2.1.4 Audit Internal

2.1.4.1 Pengertian Audit Internal

Menurut Sukrisno (2012) internal audit (pemeriksaan intern) adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuan- ketentuan dari ikatan profesi yang berlaku.

Mulyadi (2002) auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang diterapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efesiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. Maka dapat disimpukan bahwa audit internal sebagai aktivitas independen harus bersikap obyektif dalam melakukan pemeriksaan selain itu


(33)

20

audit internal juga merupakan alat pengendalian manajemen yang mengukur dan mengevaluasi efisiensi dan pengendalian.

2.1.4.2 Fungsi Audit Internal

Fungsi audit internal adalah sebagai alat bantu bagi manajemen untuk menilai efisien dan keefektifan pelaksanaan struktur pengendalian intern perusahaan, kemudian memberikan hasil berupa saran atau rekomendasi dan memberi nilai tambah bagi manajemen yang akan dijadikan landasan mengambil keputusan atau tindak selanjutnya. Fungsi audit internal menurut Mulyadi (2008) adalah sebagai berikut.

1. Pemeriksaan (audit dan peneliaian terhadap efektivias struktur pengendalian intern dan mendorong penggunaan struktur pengendalian intern yang efektif dengan biaya minimum.

2. Menentukan sampai seberapa jauh pelaksanaan kebijakan manajemen puncak

dipatuhi.

3. Menentukan sampai sejauh mana kekayaan perusahaan

dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari segala macam kerugian.

4. Menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian dalam perusahaan

5. Memberikan rekomendasi perbaikan kegiatan- kegiatan perusahaan. 2.1.4.3 Tujuan dan Ruang Lingkup Audit Internal

Menurut Tugiman (2006) tujuan pemeriksaan internal adalah membantu para anggota organisasi agar dapat melakanakan tanggungjawabnya secara efektif. Selain


(34)

21

itu tujuan dari pemeriksaan internal mencakup pengembangan pengawasan yang efektif dengan biaya yang wajar. Untuk mencapai tujuan tersebut, audit internal harus melakukan kegiatan- kegiatan berikut.

1. Menilai penerapan pengendalian internal dan pengendalian operasional memadai atau tidak serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal.

2. Memastikan ketaatan terhadap rencana- rencana dan prosedur- prosedur yang telah ditetapkan manajemen.

3. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk kecurangan, pencuriangn, dan penyalahgunaan yang dapat merugikan perusahaan.

4. Memastikan bahwa pengelilaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya.

5. Menilai suatu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas- tugas yang diberikan manajemen.

Ruang lingkup audit internal menilai keefektifan sistem pengendalian internal serta pengevaluasi terhadap kelengkapan dan kefektifan sistem pengendalian internal yang dimiliki organisasi, serta kualitas pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan.

2.1.5 Struktur Pengendalian Intern

Menurut Setya (2013) struktur pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan untuk memberikan jaminan yang layak bahwa tujuan


(35)

22

khusus organisasi akan dicapai. Struktur pengendalian intern ini memiliki tiga elemen, yaitu:

1. Lingkungan pengendalian

Lingkungan pengendali menggambarkan efek kolektif dari berbagai faktor pada penetapan, peningkatan, atau penurunan efektivitas prosedur dan kebijakan khusus.

2. Sistem akuntansi

Sistem akuntansi terdiri atas metode dan catatan yang ditetapakan untuk mengidentifikasi, merangkai, menganalisis, menggolongkan, mencatat, dan

melaporkan transaksi-transaksi perusahaan dan untuk memelihara

akuntabilitas aktiva dan kewajiban yang terkait. 3. Prosedur pengendalian

Prosedur pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang ditambahkan ke lingkungan pengendalian dan sistem akuntansi yang telah ditetapkan oleh manajemen untuk memberikan jaminan yang layak bahwa tujuan khusus organisasi akan dicapai.

Setya (2013) komponen Struktur Pengendalian Intern masing- masing akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Lingkungan pengendalian merupakan dasar dari komponen pengendalian

yang lain yang secara umum dapat memberikan acuan disiplin. Meliputi : Integritas, nilai etika, kompetensi personil perusahaan, falsafah manajemen dan gaya operasional, cara manajemen di dalam mendelegasikan tugas dan


(36)

23

tanggung jawab, mengatur dan mengembangkan personil, serta, arahan yang diberikan oleh dewan direksi.

2. Penaksiran resiko merupakan dentifikasi dan analisa atas resiko yang relevan terhadap pencapaian tujuan yaitu mengenai penentuan “bagaimana resiko dinilai untuk kemudian dikelola”. Komponen ini hendaknya mengidentifikasi resiko baik internal maupun eksternal untuk kemudian dinilai. Sebelum melakukan penilain resiko

3. Aktivitas pengendalian merupakan kebijakan dan prosedur yang dapat membantu mengarahkan manajemen hendaknya dilaksanakan. Aktivitas pengendalian hendaknya dilaksanakan dengan menembus semua level dan semua fungsi yang ada di perusahaan.

4. Informasi dan komunikasi merupakan menampung kebutuhan perusahaan di dalam mengidentifikasi, mengambil, dan mengkomukasikan informasi-informasi kepada pihak yang tepat agar mereka mampu melaksanakan tanggung jawab mereka

5. Pengawasan pengendalian intern seharusnya diawasi oleh manajemen dan personil di dalam perusahaan. Ini merupakan kerangka kerja yang diasosiasikan dengan fungsi internal audit di dalam perusahaan (organisasi), juga dipandang sebagai pengawasan seperti aktifitas umum manajemen dan aktivitas supervise.


(37)

24 2.1.6 Piagam Internal Audit

Peranan Unit Audit Internal dalam perusahaan sangat penting mengingat fungsinya membantu semua tingkatan manajemen dalam mengamankan kegiatan operasional perusahaan untuk mewujudkan perusahaan yang sehat dan mampu berkembang secara wajar serta dapat menunjang program pembangunan pemerintah. Sehubungan dengan itu, untuk tercapainya efektivitas fungsi audit, maka perlu diciptakan adanya kejelasan dan kesamaan pemahaman mengenai struktur dan kedudukan, fungsi, tanggung jawab, wewenang serta persyaratan dan kode etik auditor internal.

2.1.6.1 Struktur, Kedudukan dan Fungsi

1. Unit Audit Internal dipimpin oleh seorang Kepala Unit Audit Internal yang diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama dengan persetujuan Dewan Komisaris.

2. Direktur Utama dapat memberhentikan Kepala Unit Audit Internal, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris, jika Kepala Unit Audit Internal tidak memenuhi persyaratan sebagai auditor Unit Audit Internal sebagaimana diatur berdasarkan Piagam Unit Audit Internal dan Peraturan No. IX.I.7 dan atau gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.

3. Auditor yang duduk dalam Unit Audit Internal bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala Unit Audit Internal dan Kepala Unit Audit Internal bertanggung jawab secara administratif dan fungsional kepada Direktur Utama.


(38)

25

Unit Audit Internal bertugas membantu Direktur Utama dan Dewan Komisaris untuk melakukan pengawasan atas kegiatan operasional Perseroan. Unit Audit Internal memberikan layanan keyakinan dan konsultasi yang bersifat independen dan obyektif, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan memperbaiki operasional Perseroan, melalui pendekatan yang sistematis, dengan cara mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola perusahaan.

2.1.6.2 Wewenang dan Tanggung Jawab Unit Audit Internal

1. Mengakses seluruh informasi yang relevan tentang perusahaan terkait dengan tugas dan fungsinya.

2. Menilai semua data dan informasi yang menyangkut administrasi,

pembukuan, laporan-laporan baik yang berkaitan dengan masalah operasional, keuangan, maupun Sumber Daya Manusia.

3. Melakukan komunikasi secara langsung dengan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Komite audit serta anggota dari Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Komite Audit sehubungan dengan tugas dan fungsinya.

4. Mengadakan rapat secara berkala dan insidentil dengan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Komite Audit.

5. Melakukan koordinasi kegiatannya dengan kegiatan auditor eksternal. Unit Audit Internal bertanggung jawab untuk :

1. Perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil audit serta wajib memantau tindak lanjut hasil audit;


(39)

26

2. Menguji dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian internal dan sistem manajemen resiko sesuai dengan kebijakan perusahaan Perseroan;

3. Melakukan pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan efektifitas di bidang keuangan, akuntansi, operasional, sumber daya manusia, pemasaran, teknologi inforrmasi, dan kegiatan lainnya.

4. Memberikan saran perbaikan dan informasi yang obyektif tentang kegiatan yang diperiksa pada semua tingkat manajemen;

5. Membuat laporan hasil audit dan menyampaikan laporan tersebut kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris.

2.1.6.3 Persyaratan dan Kode Etik Auditor Internal

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, Auditor Internal harus memenuhi persyaratan pengetahuan dan ketrampilan serta mematuhi Kode Etik berikut.

1. Memiliki integritas dan perilaku yang profesional, independen, jujur, dan obyektif dalam pelaksanaan tugasnya.

2. Memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai teknis audit dan disiplin ilmu lain yang relevan dengan bidang tugasnya;

3. Memiliki pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya;

4. Memiliki kecakapan untuk berinteraksi dan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis secara efektif.


(40)

27

5. Wajib mematuhi standar profesi dan kode etik yang dikeluarkan oleh asosiasi audit internal.

6. Wajib menjaga kerahasiaan informasi dan/atau data Perseroan terkait dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab unit audit internal kecuali diwajibkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan atau penetapan/putusan

Pengadilan.

7. Memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan manajemen risiko.

8. Senantiasa meningkatkan pengetahuan, keahlian dan kemampuan

profesionalismenya secara terus menerus.

2.1.7 Kompetensi Auditor Internal

Pada pernyataan standar umum pertama dalam SPKN, dinyatakan bahwa pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. Ini berarti auditor wajib memiliki sikap kompetensi yang diperoleh melalui pengetahuan, keahlian, dan pengalaman.

Menurut Arens (2003) kompetensi adalah kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang diperoleh melalui latar belakang pendidikan formal auditing dan akuntansi, pelatihan kerja yang cukup dalam profesi dan akan ditekuninya dan selalu mengikuti pendidikan- pendidikan profesi yang berkelanjutan.

Trotter (1986) dalam Mayangsari (2003) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten (mempunyai keahlian) adalah orang yang dengan ketrampilannya


(41)

28

mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif, dan sangat jarang atau bahkan tidak pernah membuat kesalahan. Menurut Reni (2010) menunjukkan bahwa indikator kompetensi untuk auditor terdiri atas :

1) Komponen pengetahuan, merupakan komponen yang penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta dan prosedur-prosedur.

2) Memiliki kompetensi lain seperti kemampuan berkomunikasi, kreatifitas, kerja sama dengan orang lain.

3) Keahlian yang menyangkut objek pemeriksaan mengamati objek dan membandingkan dengan standar yang berlaku, kemudian menarik kesimpulan dari hasil perbandingan tersebut merupakan inti pekerjaan pemeriksaan.

4) Keahlian yang menyangkut teknik atau cara melakukan pemeriksaan Seorang auditor harus memiliki kemampuan teknik atau cara melakukan pemeriksaan yang memungkinkan seorang auditor memperoleh informasi yang maksimal (kualitas dan kuantitas) tentang objek yang diperiksa dalam waktu yang terbatas.

5) Keahlian dalam menyampaikan hasil pemeriksaan Segala temuan, informasi dan data yang diperoleh dalam melaksanakan pemeriksaan harus disampaiakan seluruhnya kepada kepala pemerintahan dan pihak yang diperiksa. Untuk dapat menyampaikan hasil audit kepada kedua pihak tersebut diperlukan keahlian dan


(42)

29

kemahiran berbahasa secara baik, benar, efisien, teliti, dan cermat melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP).

Sikap kompetensi diperlukan agar auditor dapat mencegah dengan cepat dan tepat ada atau tidaknya kecurangan serta trik-trik rekayasa yang dilakukan untuk melakukan kecurangan tersebut. Keahlian yang dimiliki auditor dapat menjadikannya lebih sensitif (peka) terhadap suatu tindak kecurangan (Lastanti, 2005). Tirta dan Sholihin (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengetahuan tugas spesifik mempengaruhi kinerja auditor dalam menilai kecurangan dan kombinasi pengalaman serta pelatihan kecurangan akan meningkatkan kinerja auditor dalam menilai kecurangan. Ardini dan Sawarjuwono (2005) juga menyatakan untuk mengungkap kecurangan, auditor memerlukan kompetensi yang diperoleh dari keahliannya. Alim, dkk (2007) juga membuktikan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, di mana salah satu indikasi kualitas audit yang baik adalah jika kecurangan yang ada dalam audit tersebut dapat dideteksi.

2.1.8 Independensi Auditor Internal

Independensi pada auditor dapat berhubungan dengan pengungkapan masalah pengendalian internal suatu perusahaan (Zhang Yang, et al. 2007). Auditor internal bekerja di suatu perusahaan untuk melakukan audit bagi kepentingan pihak manajemen. Tugas yang diberikan kepada auditor internal bermacam-macam, tergantung dari perintah dari atasannya. Dalam menjalankan tugasnya seorang auditor internal harus berada diluar fungsi lini suatu organisasi. Seorang auditor


(43)

30

internal wajib memberikan informasi yang penting bagi pihak manajemen yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan operasi suatu perusahaan.

Independen berarti auditor tidak dapat dipengaruhi. Auditor internal tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Auditor internal berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga pada kreditor dan pihak lain yaitu masyarakat dan pengguna laporan keuangan yang lainnya yang meletakkan kepercayaan pada pekerjaan internal auditor. Jika seorang auditor internal tidak dapat bersikap independen, maka akan sulit dalam upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud di perusahaan. Oleh sebab itu, profesi auditor internal akan sangat sensitif terhadap masalah independensi. Dengan demikian sikap independensi sangat dibutuhkan agar laporan keuangan yang disajikan oleh manajer dapat berkualitas dan berkredibilitas dalam mencegah dan mendeteksi terjadinya kecurangan yang ada.

Arens dan Loebbeck (2009) menyatakan independensi merupakan tujuan yang harus selalu diupayakan, dan itu dapat dicapai sampai tingkat tertentu, misalnya sekalipun auditor dibayar oleh klien, ia harus tetap memiliki kebebasan yang cukup untuk melakukan audit yang andal. Menurut Achmad Badjuri dan Elisa Trihapsari (2004) Independensi auditor diperlukan karena auditor sering disebut pihak pertama dan memegang peran utama dalam pelaksanaan audit kinerja. Hal ini karena auditor dapat mengakses informasi keuangan dan informasi manajemen dari organisasi yang diaudit, memiliki kemampuan profesional dan bersifat independen. Walaupun pada


(44)

31

kenyataannya prinsip independen ini sulit untuk benar-benar dilaksanakan secara mutlak, antara auditor dan auditee harus berusaha menjaga independensi tersebut sehingga tujuan audit dapat tercapai. Independensi auditor merupakan salah satu dasar dalam konsep teori auditing.

Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untuk memenuhi kewajiban profesionalismenya; memberikan opini yang objektif, tidak bias; dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa adanya; bukan melaporkan sesuai keinginan eksekutif atau lembaga (Sawyer, 2006:35). Menurut Arens, Elder, dan Beasley (2008: 111) dalam independensi dibagi menjadi dua, yaitu independensi dalam fakta (independence in fact) ada apabila auditor senyatanya mampu mempertahankan sikap tidak bias sepanjang audit, dan independensi dalam penampilan (independence in appearance) adalah hasil dari intepretasi lain atas independensi ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini yang menjadi indikator untuk variabel independensi auditor internal adalah independence in fact dan independence

in appearance.

Dimensi atau indikator dari pelaksanaan independensi auditor internal (Nurjannah, 2008) adalah sebagai berikut:

1) Kemandirian Auditor

Kemandirian para pemeriksa internal dapat memberikan penilaian-penilaian yang tidak memihak dan tanpa prasangka, yang mana sangat diperlukan atau penting bagi pemeriksaan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat diperoleh


(45)

32

melalui status organisasi dan sikap objektifitas dari para pemeriksa internal (auditor internal).

(1) Kemandirian Auditor Dilihat Dari Status Organisasi.

Kemandirian auditor dilihat dari status organisasi adalah bahwa status organisasi dari bagian internal audit haruslah memberikan keleluasaan untuk memenuhi atau menyelesaikan tanggung jawab pemeriksaan yang diberikan kepadanya. Internal audit haruslah mendapat dukungan dari manajemen senior dan dewan, sehingga mereka akan mendapatkan suatu kerja sama dari pihak yang diperiksa dan dapat menyelesaikan pekerjaannya secara bebas dari berbagai campur tangan pihak lain.

(2) Kemandirian Auditor Dilihat Dari Sikap Objektifitas.

Kemandirian auditor dilihat dari sikap objektifitas adalah sikap mental yang bebas dan yang harus dimiliki oleh pemeriksa internal (auditor internal) dalam melaksanakan pemeriksaan. Auditor internal tidak boleh menempatkan penilaian sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan secara lebih rendah dibandingkan dengan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain atau menilai sesuatu berdasarkan hasil penilaian orang lain. Bukan hanya penting bagi auditor internal untuk memelihara sikap mental independen dan tanggung jawab mereka, akan tetapi penting juga bahwa pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan terhadap independensi tersebut.


(46)

33

2) Independensi dalam Kenyataan (Independence In Fact)

Independensi dalam kenyataan adalah apabila dalam kenyataannya auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya.

3) Independensi dalam Penampilan (Independence In Appearance)

Independensi dalam penampilan adalah hasil penilaian atau interpretasi pihak lain terhadap independensi auditor dalam menjalankan tugasnya. Mautz dan Sharaf (Sawyer,2006:35), dalam karya terkenal mereka, “The Philosophy of

Auditing” (Filosofi Audit), memberikan beberapa indikator independensi

profesional. Indikator tersebut memang diperuntukkan bagi akuntan publik, tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor internal yang ingin bersikap objektif. Indikator- indikatornya adalah sebagai berikut:

(1) Independensi dalam Program Audit

a. Bebas dari intervensi manajerial atas program audit. b. Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit.

c. Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang memang disyaratkan untuk sebuah proses audit.

(2) Independensi dalam Verifikasi

a. Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan

karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan.

b. Mendapatkan kerja sama yang aktif dari karyawan manajemen selama verifikasi audit.


(47)

34

c. Bebas dari segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas yang diperiksa atau membatasi pemerolehan bahan bukti.

d. Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit. (3) Independensi dalam Pelaporan

a. Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari fakta-fakta yang dilaporkan.

b. Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan dalam laporan audit.

c. Menghindari penggunaan kata-kata yang menyesatkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan rekomendasi dalam interpretasi auditor.

d. Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor mengenai fakta atau opini dalam laporan audit internal.

Unsur-Unsur yang Mempengaruhi Independensi Auditor adalah sebagai berikut:

1) Kepercayaan masyarakat terhadap integritas, objektivitas dan independensi. 2) Kepercayaan auditor terhadap diri sendiri.

3) Kemampuan auditor untuk meningkatkan kredibilitas pernyataannya terhadap laporan keuangan yang diperiksa.

4) Suatu sikap pikiran dan mental auditor yang jujur dan ahli serta bebas dari pengaruh pihak lain dalam melaksanakan pemeriksaan, penilaian, dan


(48)

35

pelaporan hasil pemeriksaannya dan dalam upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya kecurangan.

2.1.9 Profesionalisme Auditor Internal

Menurut Garman (2006) profesionalisme adalah kemampuan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dan organisasi dengan standar etika dan profesional yang mencakup tanggung jawab kepada klien maupun masyarakat.

Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untuk memenuhi kewajiban profesionalnya; memberikan opini yang objektif, tidak bias, dan tidak dibatasi dan melaporkan masalah apa adanya, bukan melaporkan sesuai keinginan eksekutif atau lembaga (Sawyer: 2006). Untuk mengetahui apakah seorang auditor internal telah profesional dalam melakukan tugasnya, maka perlu adanya evaluasi kinerja. Dan evaluasi kinerja auditor internal dapat dilakukan dengan cara yaitu: sudahkah terpenuhinya kriteria-kriteria profesionalisme auditor internal.

Menurut Arens dan Loebbecke (2009) berpendapat bahwa untuk meningkatkan profesionalisme, sering akuntan harus memperlihatkan perilaku profesinya, yang berupa:

1) Tanggung jawab

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, akuntan harus mewujudkan kepekaan profesional dan pertimbangan moral dalam semua aktivitas mereka.


(49)

36 2) Kepentingan masyarakat

Akuntan harus menerima kewajiban untuk melakukan tindakan yang mendahulukan kepentingan masyarakat, menghargai kepercayaan masyarakat, dan menunjukkan komitmen pada profesionalisme.

3) Integritas

Untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan masyarakat, akuntan harus melaksanakan semua tanggung jawab profesional dengan integritas tertinggi.

4) Objektivitas dan Independensi

Akuntan harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam melakukan tanggung jawab profesional.

5) Keseksamaan

Akuntan harus memenuhi standar teknis dan etika profesi, berusaha keras untuk terus meningkatkan kompetensi dan mutu jasa dan melakukan tanggung jawab profesional dengan kemampuan terbaik.

6) Lingkup dan Sifat Jasa

Dalam menjalankan praktik sebagai akuntan publik, ffakuntan harus mematuhi prinsip-prinsip perilaku profesional dalam menentukan lingkup dan jasa audit yang akan diberikan.

Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Lestari dan Dwi (2003: 11) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut


(50)

37

Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009:4) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu:

1) Pengabdian pada profesi

Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalam ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi. 2) Kewajiban sosial

Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

3) Kemandirian

Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.

4) Keyakinan terhadap peraturan profesi

Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan


(51)

38

orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalm bidang ilmu dan pekerjaan mereka.

5) Hubungan dengan sesama profesi

Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional.

2.1.10 Kecurangan

Penelitian kali ini penulis akan menganalisis pengaruh kompetensi auditor internal, independensi auditor internal dan profesionalisme auditor internal dalam upaya mencegah fraud. ACFE’s mendefinisikan fraud sebagai tindakan mengambil keuntungan secara sengaja dengan cara menyalahgunakan suatu pekerjaan/jabatan atau mencuri aset/sumberdaya dalam organisasi Singelton (2010) dalam Yuniarti (2012). Arti dari fraud adalah kecurangan, penipuan, atau penggelapan. Sedangkan kecurangan mencakup suatu tindakan ketidakberesan dan tindakan ilegal yang

bercirikan penipuan yang disengaja. Dapat disimpulkan bahwa fraud

(kecurangan/kejahatan) mencakup: 1) Penggelapan (Embezzlement).

2) Manipulasi pelanggaran karena jabatan (Malfeasance). 3) Pencurian (Thiefts).


(52)

39 5) Kelakuan buruk (Misdeed).

6) Kelalaian (Defalcanion).

7) Penggelapan Pajak (With Holdings). 8) Penyuapan.

9) Pemerasan. 10) Penyerobotan.

11) Salah saji (Misappropriation).

12) Fraudulent.

Meskipun demikian pada dasarnya kecurangan adalah merupakan serangkaian ketidakberesan (irregularities) mengenai: perbuatan-perbuatan melawan hukum

(illegal acts), yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (misalnya

menipu memberikan gambaran yang keliru (mislead) terhadap pihak lain, yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam ataupun dari luar organisasi, untuk mendapatkan keuntungan baik pribadi maupun kelompok dan secara langsung atau tidak langsung merugikan orang lain.

Kecurangan sering terjadi dalam perusahaan, tetapi tak seorang pun dapat melakukan apapun sampai auditor internal maupun eksternal menguji laporan keuangan perusahaan tersebut. Auditor yang terlatih menjadi lebih sensitif sehingga mereka mengurangi resiko kegagalan dalam mendeteksi suatu kekeliruan secara material dalam suatu laporan keuangan perusahaan. Jika kecurangan terjadi, pihak manajemen selalu mempertanyakan bagaimana fungsi dan peran internal auditor yang ada. Dimana dan sedang apa mereka pada saat kasus tersebut terjadi. Kapan


(53)

40

pemeriksaan terakhir dilakukan dan mengapa pemeriksaan terakhir tersebut tidak dapat membongkar kecurangan atau setidaknya mengungkapkan kelemahan sistem internal control yang memungkinkan terjadinya kecurangan.

Sesuai dengan norma pemeriksaan, kecurangan merupakan tanggung jawab oknum yang bersangkutan, sedangkan manajemen bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya kecurangan dan mendeteksi ada atau tidaknya kecurangan. Tanggung jawab auditor Internal adalah untuk menilai dan membantu pihak manajemen dalam melakukan pencegahan dan pendeteksian atas kecurangan tersebut. Berikut ini adalah beberapa tipe audit:

1) Fraudulent Financial Reporting (Laporan Keuangan yang curang).

Pelaporan keuangan yang curang adalah pernyataan kesalahan atau kesalahan dari jumlah atau penyingkapan dengan tujuan untuk menipu para pemakai.

2) Misaproppriation of Asset (Penggelapan Harta)

Penggelapan harta adalah penipuan yang melibatkan pencurian dari suatu kesatuan asset. Misapropriation of Asset digunakan untuk mengacu pada pencurian yang melibatkan para karyawan dan anggota internal dari organisasi. Penggelapan asset biasanya dilakukan di tingkat yang lebih rendah dari hirarki organisasi.


(54)

41 Pendorong / Paksa an Gambar 2.1 Fraud Triangle

Sumber: Tuannakota (2007)

Tiga kondisi dari penipuan timbul dari fraudulent financial reporting dan

misapproppriation of assets yang diuraikan dalam SAS 99 (AU 316), yang dijelaskan

dalam Auditing and Assurance Services. Tiga kondisi tersebut dikenal sebagai Fraud

Triangle yaitu pendorong/paksaan (pressure), kesempatan (opportunity), dan

sikap/rasionalisasi (rationalization). Penjelasannya sebagai berikut: 1) Pendorong/Paksaan (Pressure).

Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan

(pressure) yang menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan keuangan

yang mendesak, yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain. Konsep yang penting disini adalah tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi (sharing) dengan orang lain. Konsep ini dalam bahasa Inggris disebut perceived non-shareable financial need.


(55)

42 2) Kesempatan (Opportunity).

Kondisi yang mendesak menyediakan peluang bagi manajemen atau para karyawan untuk melakukan penipuan.

3) Sikap/Rasionalisasi (Rationalization).

Sikap, karakter atau kesatuan nilai-nilai etis yang ada, itu mengijinkan manajemen atau para karyawan untuk melakukan suatu tindakan yang tidak jujur, atau mereka ada dalam suatu lingkungan yang cukup menekan yang menyebabkan mereka untuk yang merasionalkan untuk melakukan suatu tindakan yang tidak jujur.

Dalam pengklasifikasiannya, kecurangan dapat dilakukan oleh manajemen dan karyawan suatu perusahaan.

1) Management Fraud (Fraud oleh Manajemen).

Management fraud umumnya sulit untuk ditemukan sebab seseorang atau lebih

anggota manajemen bisa saja mengesampingkan internal controls. Bentuk-bentuk management fraud antara lain ialah menghapuskan transaksi tertentu, kecurangan dalam mencantumkan atau melaporkan jumlah tertentu, dan lain sebagainya.

Ada dua hal yang termasuk di dalam kecurangan oleh pihak manajemen


(56)

43

(1) Manajemen meminta agar KAP memberikan opini setuju (unqualified

opinion) padahal manajemen tahu sebetulnya Laporan Keuangannya tidak

layak.

(2) Manajemen melakukan transaksi-transaksi dengan pihak yang masih ada hubungan kekeluargaan atau persahabatan (related party transaction), atau juga melakukan transaksi yang tidak wajar (notatarm’s lenght), kesemuanya itu merugikan perusahaan dan menguntungkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

2) Employee Fraud (Fraud oleh Karyawan).

Jika auditor bertanggung jawab menemukan semua employee fraud, maka audit tests harus diperluas sebab banyak sekali jenis-jenis kecurangan karyawan yang sangat sulit atau bahkan tidak mungkin terdeteksi. Maka, prosedur auditnya akan lebih mahal dibanding dengan temuannya ini dikarenakan adanya tindakan kolusi antara beberapa karyawan dalam memalsukan dokumen dan akan sulit sekali ditemukan dengan cara audit yang biasa.

Dalam bukunya, Sawyer (2006:1038-1039) menjelaskan bahwa terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengendalikan atau mencegah terjadinya fraud dalam perusahaan, antara lain:

1) Menetapkan standar, anggaran dan statistik, dan menyelidiki semua penyimpangan yang material.


(57)

44

2) Menggunakan teknik kuantitatif dan analitis untuk menandai peristiwa yang menyimpang.

3) Mengidentifikasi indikator proses kritis: kehilangan dalam peleburan, pengulangan kerja dalam manufaktur dan perakitan, dan uji laba kotor dalam operasi eceran.

4) Menganalisa secara mendalam performa yang tampak terlalu baik, dan performanya yang ada di bawah standar.

5) Mendirikan departemen Audit Internal yang profesional dan independen.

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh kompetensi auditor internal dalam mencegah kecurangan

Kompetensi merupakan sikap yang harus dimiliki auditor yang diperoleh dengan menggunakan keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Dengan ketrampilannya itu, auditor diharapkan dapat mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif, dan sangat jarang atau bahkan tidak pernah membuat kesalahan. Untuk mengukur variabel kompetensi, peneliti menggunakan instrumen pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan diukur dengan menggunakan instrumen pengetahuan dari pendidikan formal, pengetahuan dari pendidikan non formal (pelatihan, kursus, dan seminar), kemampuan berkomunikasi dengan klien, dan kedisiplinan (ketepatan waktu). Sedangkan untuk pengalaman diukur dengan instrumen banyaknya klien yang telah di audit dan lamanya bekerja sebagai auditor.


(58)

45

Khoirul (2015) meneliti mengenai pengaruh kompetensi audit terhadap tanggung jawab dalam mendeteksi fraud dengan hasil kompetensi berpengaruh positif terhadap mencegah fraud. Marcellina (2009) menujukan hasil penelitiannya bahwa kompetensi auditor berpengaruh positif pada pencegahan kecurangan, dengan menggunakan kompetensi yang baik auditor dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik, terlebih dalam melaksanakan tugas auditnya. Penelitian yang dilakukan oleh Trisi (2015) menyatakan bahwa kompetensi auditor internal terbukti memiliki pengaruh positif terhadap fraud risk assessment, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini mengindikasikan bahwa kompetensi auditor internal memberikan kontribusi dalam menilai resiko kecurangan. Semakin baik kompetensi auditor internal maka semakin baik pula kemampuan dalam mencegah kecurangan. Oleh karena itu, hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1 : Kompetensi auditor internal berpengaruh positif dalam mencegah

kecurangan.

2.2.2 Pengaruh independensi auditor internal dalam mencegah kecurangan Independensi adalah sikap tidak memihak, bebas dari benturan kepentingan dan obyektif dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Independensi dalam audit artinya tidak memihak dan/atau menolak segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya. Independensi berpengaruh penting sebagai dasar utama agar auditor dipercaya oleh masyarakat umum. Jika seorang auditor internal tidak dapat bersikap independen, maka akan sulit dalam upaya mencegah terjadinya fraud.


(59)

46

Yunintasari (2010) meneliti mengenai pengaruh independensi dalam upaya mencegah dan mendeteksi fraud berpengaruh positif dalam upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud dengan hasil independensi berpengaruh positif dalam

mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud. Adyani (2014) menggunakan independen

sebagai faktor mendeteksi kecurangan dan kekeliruan laporan keuangan auditor dengan hasil penelitian indepedensi berpengaruh positif dalam mendeteksi kecurangan dan kekelirungan laporan keuangan auditor. Matondang (2010) menunjukan hasil penelitian yang dilakukannya bahwa pengalaman, independensi dan keahlian professional berpengaruh positif terhadap pencegahan dan pendeteksian kecurangan.

Peneliti dapat menyimpulkan bahwa seorang auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untuk memenuhi kewajiban profesionalismenya. Jika seorang auditor internal tidak dapat bersikap independen, maka akan sulit dalam upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya Fraud. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H2 : Independensi auditor internal berpengaruh positif dalam mencegah

kecurangan.

2.2.3 Pengaruh Profesionalisme auditor internal dalam mencegah kecurangan Profesionalisme seorang auditor sangatlah dibutuhkan dalam mencegah dan mendeteksi sebuah kecurangan karena semakin tinggi profesionalisme seorang auditor maka semakin terjamin kualitas hasil auditnya. Dengan sikap profesionalisme diharapkan seorang auditor mampu mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud. Sikap


(60)

47

profesionalisme seorang auditor dapat dilihat dari hasil audit yang ia kerjakan. Auditor yang profesional bekerja tidak pandang bulu, siapapun dia jika menemukan adanya tindak kecurangan, ia akan mengungkapkan kecurangan tersebut.

Dalam penelitian Yunintasari (2010) profesionalisme auditor Internal

berpengaruh positif dalam upaya Mencegah dan Mendeteksi terjadinya Fraud. Sedangkan penelitian yang dilakukan Sartika (2015), profesionalisme auditor berpengaruh positif dalam mendeteksi kecurangan. Herman (2015) memperlihatkan bahwa profesionalisme brpengaruh positif dalam mendeteksi fraud pada auditor internal di Provinsi Sulawesi Utara, professional auditor berbanding lurus dengan kemampuan seorang auditor dalam mendeteksi fraud. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H3 : Profesionalisme auditor internal berpengaruh positif dalam mencegah


(1)

42 2) Kesempatan (Opportunity).

Kondisi yang mendesak menyediakan peluang bagi manajemen atau para karyawan untuk melakukan penipuan.

3) Sikap/Rasionalisasi (Rationalization).

Sikap, karakter atau kesatuan nilai-nilai etis yang ada, itu mengijinkan manajemen atau para karyawan untuk melakukan suatu tindakan yang tidak jujur, atau mereka ada dalam suatu lingkungan yang cukup menekan yang menyebabkan mereka untuk yang merasionalkan untuk melakukan suatu tindakan yang tidak jujur.

Dalam pengklasifikasiannya, kecurangan dapat dilakukan oleh manajemen dan karyawan suatu perusahaan.

1) Management Fraud (Fraud oleh Manajemen).

Management fraud umumnya sulit untuk ditemukan sebab seseorang atau lebih anggota manajemen bisa saja mengesampingkan internal controls. Bentuk-bentuk management fraud antara lain ialah menghapuskan transaksi tertentu, kecurangan dalam mencantumkan atau melaporkan jumlah tertentu, dan lain sebagainya.

Ada dua hal yang termasuk di dalam kecurangan oleh pihak manajemen (management fraud), yaitu


(2)

43

(1) Manajemen meminta agar KAP memberikan opini setuju (unqualified opinion) padahal manajemen tahu sebetulnya Laporan Keuangannya tidak layak.

(2) Manajemen melakukan transaksi-transaksi dengan pihak yang masih ada hubungan kekeluargaan atau persahabatan (related party transaction), atau juga melakukan transaksi yang tidak wajar (notatarm’s lenght), kesemuanya itu merugikan perusahaan dan menguntungkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

2) Employee Fraud (Fraud oleh Karyawan).

Jika auditor bertanggung jawab menemukan semua employee fraud, maka audit tests harus diperluas sebab banyak sekali jenis-jenis kecurangan karyawan yang sangat sulit atau bahkan tidak mungkin terdeteksi. Maka, prosedur auditnya akan lebih mahal dibanding dengan temuannya ini dikarenakan adanya tindakan kolusi antara beberapa karyawan dalam memalsukan dokumen dan akan sulit sekali ditemukan dengan cara audit yang biasa.

Dalam bukunya, Sawyer (2006:1038-1039) menjelaskan bahwa terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengendalikan atau mencegah terjadinya fraud dalam perusahaan, antara lain:

1) Menetapkan standar, anggaran dan statistik, dan menyelidiki semua penyimpangan yang material.


(3)

44

2) Menggunakan teknik kuantitatif dan analitis untuk menandai peristiwa yang menyimpang.

3) Mengidentifikasi indikator proses kritis: kehilangan dalam peleburan, pengulangan kerja dalam manufaktur dan perakitan, dan uji laba kotor dalam operasi eceran.

4) Menganalisa secara mendalam performa yang tampak terlalu baik, dan performanya yang ada di bawah standar.

5) Mendirikan departemen Audit Internal yang profesional dan independen.

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh kompetensi auditor internal dalam mencegah kecurangan

Kompetensi merupakan sikap yang harus dimiliki auditor yang diperoleh dengan menggunakan keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Dengan ketrampilannya itu, auditor diharapkan dapat mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif, dan sangat jarang atau bahkan tidak pernah membuat kesalahan. Untuk mengukur variabel kompetensi, peneliti menggunakan instrumen pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan diukur dengan menggunakan instrumen pengetahuan dari pendidikan formal, pengetahuan dari pendidikan non formal (pelatihan, kursus, dan seminar), kemampuan berkomunikasi dengan klien, dan kedisiplinan (ketepatan waktu). Sedangkan untuk pengalaman diukur dengan instrumen banyaknya klien yang telah di audit dan lamanya bekerja sebagai auditor.


(4)

45

Khoirul (2015) meneliti mengenai pengaruh kompetensi audit terhadap tanggung jawab dalam mendeteksi fraud dengan hasil kompetensi berpengaruh positif terhadap mencegah fraud. Marcellina (2009) menujukan hasil penelitiannya bahwa kompetensi auditor berpengaruh positif pada pencegahan kecurangan, dengan menggunakan kompetensi yang baik auditor dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik, terlebih dalam melaksanakan tugas auditnya. Penelitian yang dilakukan oleh Trisi (2015) menyatakan bahwa kompetensi auditor internal terbukti memiliki pengaruh positif terhadap fraud risk assessment, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini mengindikasikan bahwa kompetensi auditor internal memberikan kontribusi dalam menilai resiko kecurangan. Semakin baik kompetensi auditor internal maka semakin baik pula kemampuan dalam mencegah kecurangan. Oleh karena itu, hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1 : Kompetensi auditor internal berpengaruh positif dalam mencegah

kecurangan.

2.2.2 Pengaruh independensi auditor internal dalam mencegah kecurangan Independensi adalah sikap tidak memihak, bebas dari benturan kepentingan dan obyektif dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Independensi dalam audit artinya tidak memihak dan/atau menolak segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya. Independensi berpengaruh penting sebagai dasar utama agar auditor dipercaya oleh masyarakat umum. Jika seorang auditor internal tidak dapat bersikap independen, maka akan sulit dalam upaya mencegah terjadinya fraud.


(5)

46

Yunintasari (2010) meneliti mengenai pengaruh independensi dalam upaya mencegah dan mendeteksi fraud berpengaruh positif dalam upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud dengan hasil independensi berpengaruh positif dalam mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud. Adyani (2014) menggunakan independen sebagai faktor mendeteksi kecurangan dan kekeliruan laporan keuangan auditor dengan hasil penelitian indepedensi berpengaruh positif dalam mendeteksi kecurangan dan kekelirungan laporan keuangan auditor. Matondang (2010) menunjukan hasil penelitian yang dilakukannya bahwa pengalaman, independensi dan keahlian professional berpengaruh positif terhadap pencegahan dan pendeteksian kecurangan.

Peneliti dapat menyimpulkan bahwa seorang auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untuk memenuhi kewajiban profesionalismenya. Jika seorang auditor internal tidak dapat bersikap independen, maka akan sulit dalam upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya Fraud. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H2 : Independensi auditor internal berpengaruh positif dalam mencegah

kecurangan.

2.2.3 Pengaruh Profesionalisme auditor internal dalam mencegah kecurangan Profesionalisme seorang auditor sangatlah dibutuhkan dalam mencegah dan mendeteksi sebuah kecurangan karena semakin tinggi profesionalisme seorang auditor maka semakin terjamin kualitas hasil auditnya. Dengan sikap profesionalisme diharapkan seorang auditor mampu mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud. Sikap


(6)

47

profesionalisme seorang auditor dapat dilihat dari hasil audit yang ia kerjakan. Auditor yang profesional bekerja tidak pandang bulu, siapapun dia jika menemukan adanya tindak kecurangan, ia akan mengungkapkan kecurangan tersebut.

Dalam penelitian Yunintasari (2010) profesionalisme auditor Internal berpengaruh positif dalam upaya Mencegah dan Mendeteksi terjadinya Fraud. Sedangkan penelitian yang dilakukan Sartika (2015), profesionalisme auditor berpengaruh positif dalam mendeteksi kecurangan. Herman (2015) memperlihatkan bahwa profesionalisme brpengaruh positif dalam mendeteksi fraud pada auditor internal di Provinsi Sulawesi Utara, professional auditor berbanding lurus dengan kemampuan seorang auditor dalam mendeteksi fraud. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H3 : Profesionalisme auditor internal berpengaruh positif dalam mencegah