STRATEGI PEMBERDAYAAN NELAYAN OLEH LEMBAGA EKONOMI PENGEMBANGAN PESISIR MIKRO MITRA MINA (LEPP M3) DI KABUPATEN PASURUAN.

(1)

M

M

I

I

K

K

R

R

O

O

M

M

I

I

T

T

R

R

A

A

M

M

I

I

N

N

A

A

(

(

L

L

E

E

P

P

P

P

M

M

3

3

)

)

D

D

I

I

K

K

A

A

B

B

U

U

P

P

A

A

T

T

E

E

N

N

P

P

A

A

S

S

U

U

R

R

U

U

A

A

N

N

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Oleh :

MEGA MASA UTAMI

NPM 0264020090

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

SURABAYA


(2)

Tesis Berjudul

STRATEGI PEMBERDAYAAN NELAYAN OLEH LEMBAGA EKONOMI

PENGEMBANGAN PESISIR MIKRO MITRA MINA (LEPP M3)

DI KABUPATEN PASURUAN

Dipersiapkan dan disusun oleh :

MEGA MASA UTAMI

NPM 0264020090

Telah dipertahankan di depan Dosen Penguji

pada tanggal 29 Juni 2007

dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama

Anggota Penguji Lain

(Dr. Ir. Zainal Abidin, MS)

(Prof. Dr. Ir. Marsadi Pawirosemadi)

Pembimbing Pendamping

(Ir. A. Rachman Waliulu, MS)

(Ir. Effi Damaijati, MS)

(Ir. Setyo Parsudi, MP)

Surabaya, 29 Juni 2007

UPN “Veteran” Jawa Timur

Program Pascasarjana

Direk`tur,


(3)

ABSTRACT

Mega Masa Utami. NPM 0264020090. Fisherman Expedient Strategy

by Ecomomic Institution of Mina Partner Micro Coastal Area

Development (LEPP M3) in Pasuruan District. First Counsellor Dr. Ir.

Zainal Abidin, MS, dan Second Counsellor Ir. Effi Damaijati, MS.

Economic institution of mina partner micro coastal area

development (LEPP M3) is an institutional that has poverty taking out

program by means of people expedient on coastal area in repercussion to

get optimum result that needs a fisherman expedient strategy analysis.

That condition provides the basis for the purpose of research, they are; (1)

to identificate internal factors and external factors that influence on

fisherman expedient by LEPP M3, (2) to know the fisherman’s opinion and

hope of LEPP M3 and (3) to arrange fisherman expedient strategy by

LEPP M3.

The research is done in Pasuruan District. A sum of responden is

determined by purposive is 30 respondens. The research uses SWOT

analysis and descriptive analysis.

The result of this research are (1) Internal factors that influence of

fisherman expedient by LEPP M3 are; (a) Strengths factor: capture area is

large enough, the number of fisherman is many enough, the high

biological diversity, the quality of capture result is good enough and the

high of unprocessed capture result, (b) Weaknesses factors are; the

cathing way is still traditionally, the handling technology of time after fish

harvest is still simple, fisherman’s knowledge is still low, marketing system

takes fisherman on weak position, and need high enough investation

whereas external factors that influence of fisherman expedient is done by

LEPP M3 are : (a) Opportunities factors: trade globalization, increasing of

sea fishery result to be exported, the number of people increase,

government policy of sea fishery development, and potential area is vey

supported, (b) Threats factors: sea pollution is high enough, the plundering

by modern ships from other countries, the catching that damage the

ecosystem, erosion and beach abrasion and people interest conflict,

private and sectoral, (2) Fisherman’s opinions of the impact LEPP M3

activities on people expedient is good, the opinions of implementation of

fund submission is easy, whereas the hoped in accordance with fund

submission, make fund submission procedure easier, tools assistance

continuously, partner establishment aid with factory and human building is

hoped done until marketing process, and (3) strategies of fisherman

expedient by LEPP M3: Recontruction agroindustry of processing of sea

fishery result that is market oriented, interest the investor, increasing of

fisherman’s knowlwdge and using technology by means of illumination

and training and becoming one of expedient organizatition in one group

that can make capacity building (CB) although technical building (TB)


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas karunia

dan Rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang

berjudul “Strategi Pemberdayaan Nelayan Oleh Lembaga Ekonomi

Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP M3) di Kabupaten

Pasuruan”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi

sebagian persyaratan dalam rangka mencapai gelas Magister Manajemen

Argribisnis pada Program Studi Magister Manajemen Agribisnis

Pascasarjana UPN “Veteran” Jawa Timur.

Sebagai insan akademis penulis

telah berusaha untuk

menyelesaikan karya ilmiah ini dengan sebaik-baiknya, dan penulis

menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah

membantu. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

yang terhormat Dr. Ir. Zainal Abidin, MS, selaku pembimbing utama dan

Ir. Effi Damaijati, MS selaku Pembimbing Pendamping yang telah

memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan

tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1.

Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur di Surabaya, dosen

dan seluruh staf yang banyak membantu dari awal kuliah hingga

selesai.


(5)

2.

Rekan-rekan program Pascasarjana Studi Magister Manajemen

Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

di Surabaya, yang memberikan dukungan, saran, kritik yang bersifat

membangun serta semangat dan dorongan dalam penyusunan tesis

ini.

3.

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang

telah memberikan bantuan baik moril maupun matreiil hingga

terselesaikannya penulisan tesis ini.

Demikian semoga bermanfaat bagi semua pihak.

Surabaya, 29 Juni 2007


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ...

iii

KATA PENGANTAR ...

iv

DAFTAR ISI ...

vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I .

PENDAHULUAN ...

1

1.1.

Latar Belakang Masalah ...

1

1.2.

Rumusan Masalah ...

6

1.3.

Tujuan Penelitian ...

6

1.4.

Manfaat Penelitian ...

6

1.5.

Ruang Lingkup Penelitian ...

7

II.

TINJAUAN PUSTAKA ...

8

2.1.

Hasil Penelitian Terdahulu ...

8

2.2.

Pemberdayaan Masyarakat ...

10

2.3.

Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mendukung

Pembangunan Ekonomi Nasional ...

17

2.4.

Partisipasi ...

26

2.5.

Konsep Partisipasi Anggota Pada Proses

Pemberdayaan Masyarakat ...

31

2.6.

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Pesisir (PEMP) ...

40


(7)

2.7.

Analisis SWOT ...

46

2.8.

Kerangka Pemikiran ...

48

III. METODE PENELITIAN ...

52

3.1.

Penentuan Daerah ...

52

3.2.

Penentuan Responden ...

52

3.3.

Pengambilan Data ...

53

3.4.

Definisi dan Pengukuran Variabel ...

54

3.5.

Analisis Data ...

56

3.5.1.

Analisis SWOT ...

56

3.5.2.

Analisis Deskriptif ...

61

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

63

4.1.

Analisis Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ...

63

4.1.1.

Analisis Faktor Internal ...

63

4.1.2.

Analisis Faktor Eksternal ...

69

4.1.3.

Matrik Pembobotan IFAS dan EFAS ...

75

4.1.4.

Perumusan Strategi Pemberdayaan

Nelayan oleh LEPP M3 ...

79

4.2.

Persepsi dan Tanggapan Nelayan Terhadap

Program LEPP M3 ...

85

4.3.

Strategi Pemberdayaan Nelayan oleh LEPP M3 di

Kabupaten Pasuruan ...

89


(8)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN ...

95

5.1.

Kesimpulan ...

95

5.2.

Saran ...

96

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Matrik Pembobotan, Rating dan Skor untuk Faktor Internal

Pemberdayaan Nelayan oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

76

2. Matrik Pembobotan, Rating dan Skor untuk Faktor Internal

Pemberdayaan Nelayan oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

78

3. Matrik SWOT Strategi LEPP M3 Kabupaten Pasuruan dalam

Pemberdayaan Nelayan ...

80

4. Matrik Pembobotan Analisis SWOT ...

83

5. Tanggapan Responden Terhadap Dampak Kegiatan LEPP

M3 Dalam Pemberdayaan Nelayan ...

86

6. Tanggapan Responden Terhadap Kemudahan Pelaksanaan

Pengajuan Dana Kepada LEPP M3 ...

87


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

Model Pengembangan PEMP ...

42

2.

Struktur Kelembagaan PEMP ...

45

3.

Kerangka Pemikiran ...

51


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1.

Pembobotan Faktor-Faktor Kekuatan Upaya

Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

101

2.

Pembobotan Faktor-Faktor Kelemahan Upaya

Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

102

3.

Pembobotan Faktor-Faktor Peluang Upaya

Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

103

4.

Pembobotan Faktor-Faktor Ancaman Upaya

Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

104

5.

Menentukan Nilai Kepentingan Faktor-Faktor Kekuatan

Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3

Kabupaten Pasuruan ...

105

6.

Menentukan Nilai Kepentingan Faktor-Faktor Kelemahan

Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3

Kabupaten Pasuruan ...

106

7.

Menentukan Nilai Kepentingan Faktor-Faktor Peluang

Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3

Kabupaten Pasuruan ...

107

8.

Menentukan Nilai Kepentingan Faktor-Faktor Ancaman

Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3

Kabupaten Pasuruan ...

108

9.

Menentukan Nilai Rating Faktor-Faktor Kekuatan Upaya

Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

109

10. Menentukan Nilai Rating Faktor-Faktor Kelemahan

Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3


(12)

11. Menentukan Nilai Rating Faktor-Faktor Peluang Upaya

Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

111

12. Menentukan Nilai Rating Faktor-Faktor Ancaman Upaya

Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten

Pasuruan ...

112

13. Matrik Pembobotan, Rating dan Skor untuk Faktor-Faktor

Internal Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3

Kabupaten Pasuruan ...

113

14. Matrik Pembobotan, Rating dan Skor untuk Faktor-Faktor

Eksternal Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3

Kabupaten Pasuruan ...

114

15. Penentuan Grand Total Analisis SWOT Penentuan Letak

Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3

Kabupaten Pasuruan ...

115

16. Analisis SWOT Posisi Strategi Pemberdayaan Nelayan


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan yang terjadi di lingkungan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dewasa ini merupakan salah satu masalah serius yang harus menjadi perhatian dan tanggung jawab semua pihak. Sejak krisis mulai merambah di pertengahan tahun 1997 nelayan adalah kelompok masyarakat pesisir yang paling menderita atau merupakan korban pertama dari perubahan situasi sosial ekonomi yang tiba–tiba namun berkepanjangan. Isu pengentasan kemiskinan nelayan bukanlah sesuatu yang baru, berbagai kebijakan pemerintah dengan berbagai model telah di terapkan, mulai pemberian bantuan berupa peralatan maupun dana.

Berdasarkan hasil beberapa penelitian, kebijakan yang selama ini di terapkan belum memberikan nilai tambah yang signifikan, kecenderungan kebijakan pemberian motor di era tahun 1980 an telah berdampak pada pertambahan jumlah perahu motor. Kebijakan tersebut belum mampu untuk mendistribusikan nelayan dalam menagkap ikan, sehingga yang terjadi adalah over fishing. Kemampuan mereka dalam menangkap ikan secara traditional dengan alat terbatas membuat jumlah hasil tangkapan dari hari kehari semakin sedikit, Hal ini di perburuk oleh kerusakan ekosistem pesisir dan laut.


(14)

Program modernisasi alat tangkap ikan atau proses penangkapan ikan tidaklah mampu untuk di ikuti oleh nelayan kelas bawah, disamping kemampuan finansial juga kemampuan SDM, kultur serta ke engganan adanya perubahan pada sesuatu yang baru. Kebiasaan menangap ikan dalam satu hari juga jadi faktor kendala modernisasi alat tangkap. Hal ini berakibat terjadinya kesenjangan ekonomi antara yang miskin dan yang kaya, kesenjangan antara buruh nelayan dan juragan nelayan, berkembangnya sistem ijon serta rentenir. Pemiskinan struktural terjadi diduga karena kebijakan ini dipandang cenderung bias terhadap nelayan kelas atas (juragan).

Faktor internal yang menyebabkan kemiskinan nelayan adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi internal sumberdaya manusia nelayan dan aktifitas kerja mereka. yang termasuk kedalam faktor internal ini adalah : (1) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia nelayan, (2) keterbatasan modal usaha dan teknologi, (3) hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh, (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan, (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut, dan (6) gaya hidup yang dipandang “boros” sehingga kurang berorientasi kemasa depan.

Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi diluar diri dan aktifitas kerja nelayan. Dan yang termasuk kedalam faktor ini adalah : (1) kebijakan pembangunan perikaan yang


(15)

lebih berorientasi pada produktifitas untuk menunjang pertumbuhan perekonomian nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional, (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara, (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penagkapan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konvensi hutan bakau I kawasan pesisir, (4) penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, (5) penegakan hokum yang lemah terhadap perusak lingkungan, (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkap pasca tangkap, (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan, (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun, dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia (Kusnadi, 2003)

Sebagaimana dipahami pada umumnya masyarakat nelayan berada pada posisi strata sosial ekonomi terbatas sehingga persoalan modal dan keterbatasan teknologi serta peralatan menjadi kendala yang dinilai serius selama ini. Kendati faktor modal usaha dan terbatasnya teknologi serta peralatan dinilai sebagai faktor penghambat yang paling banyak dikeluhkan Faktor struktural seperti adanya permainan harga oleh pengusaha yang lebih besar dan lebih mampu serta kehadiran para tengkulak, keterbatasan permodalan, ketiadaan koneksi, jaringan pemasaran yang terbatas kerapkali menjadi hambatan yang sulit untuk


(16)

dipecahkan. Dengan kata lain faktor struktural seperti ketiadaan kesempatan bagi nelayan kecil untuk memperoleh akses terhadap berbagai hal tersebut termasuk soal informasi pemasaran merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab kurang berkembangnya aktivitas usaha mereka.

Pemerintah sebetulnya bukan tidak memahami penderitaan dan tekanan kemiskinan yang dialami masyarakat desa pesisir khususnya para nelayan, salah satu program pembangunan yang dirancang khusus untuk membantu upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir yaitu dengan digulirkannya program baru pada tahun 2000 melalui Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang mana merupakan program perguliran dana atau modal, sehingga nelayan yang selama ini tidak disentuh perbankan memiliki alternatif sumber pembiayaan. Sasaran program PEMP adalah nelayan tradisional, nelayan buruh, pedagang dan pengolah ikan berskala kecil, dan lain-lain. Yang mana semuanya adalah termasuk kelompok sosial masyarakat pesisir yang memiliki kerentanan ekonomi (Kusnadi, 2003).

Pada tahun 2001, kelembagaan untuk pengelolaan sumber keuangan dikuatkan dengan dibentuknya Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mitra Mikro Minna (LEPP M3). Secara khusus LEPP M3 mempunyai peran untuk memberikan dukungan operational kepada Kelompok Miskin Pedesaan (KMP) dan secara umum juga


(17)

mempunyai tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di wilayahnya. LEPP M3 mempunyai tugas dan fungsi : menerima dan menyalurkan Dana Ekonomi Produktif melalui KMP, mencatat dan mendokumentasikan kegiatan PEMP, membukukan penggunaan dana PEMP, melaporkan perkembangan kegiatan Program PEMP dan permodalan (keuangan) kepada penanggungjawab operasional PEMP Kabupaten/Kota, membantu menyelesaikan KMP bermasalah, melakukan pemeriksaan pembukuan KMP, berperan sebagai tim verifikasi bagi usulan usaha ekonomi produktif masyarakat dan pembentukan KMP baru serta konsultasi dengan mitra desa setempat, mengembangkan kegiatan usaha yang dapat mendukung kegiatan usaha KMP desa, melakukan identifikasi potensi dan mengembangkan kemitraan sebagai dasar perencanaan strategis untuk jangka pendek, menengah dan angka panjang, berperan mengelola dan pengembangan modal usaha pasca kegiatan PEMP tahun anggaran kegiatan berjalan dan menyalurkannya kepada KMP baru terutama di desa yang belum memperoleh program PEMP.

Pelaksanaan program pemberdayaan nelayan di Kabupaten Pasuruan tidak semua diterima dan dikelola dengan baik oleh masyarakat sehingga diperlukan strategi pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3 yang dapat mendukung peningkatan kesejahteraan nelayan.


(18)

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

1. Faktor-faktor internal dan eksternal apa yang berpengaruh dalam pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3 di Kabupaten Pasuruan ?

2. Bagaimana tanggapan dan harapan nelayan terhadap LEPP M3?

3. Strategi apa yang harus ditetapkan LEPP M3 Kabupaten Pasuruan

dalam pemberdayaan nelayan ?

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3 Kabupaten Pasuruan

2. Untuk mengetahui tanggapan dan harapan nelayan terhadap LEPP

M3.

3. Menyusun strategi pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3 di Kabupaten Pasuruan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Sebagai pertimbangan bagi penentu kebijakan dalam rangka pengembangan LEPP M3.


(19)

2. Sebagai masukan atau bahan perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1. Wilayah penelitian : di Kabupaten Pasuruan

2. Periode data yang digunakan dalam penelitian : tahun 2006-2007

3. Fokus penelitian :

a. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang

berpengaruh dalam pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3 b. Tanggapan dan harapan nelayan terhadap LEPP M3. c. Menyusun strategi LEPP M3 dalam pemberdayaan nelayan.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Hasil Penelitian Terdahulu

Hajarul Aswad (2006). Mengenai Strategi Perbaikan Ekonomi Masyarakat Nelayan di Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton. Hasil penelitian antara lain : strategi peningkatan pendapatan masyarakat nelayan di kecamatan Lakudo dilakukan oleh nelayan itu sendiri berupa penggunaan teknologi, kemampuan mengorganisasikan diri, penguatan sistem kelembagaan, dan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu pemerintah setempat membantu dalam kegiatan penyuluhan, pendidikan dan latihan, bantuan dana, serta perluasan jaringan informasi yang diperlukan oleh nelayan.

Rifqi (2002) mengadakan penelitian tentang Arahan dan Strategi Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir Kabupaten Padang Pariaman yang bertujuan untuk menganalisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan perikanan wilayah pesisir Kabupaten Padang Pariaman, serta menyusun strategi dan arahan pengembangannya yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Penelitian ini berupa studi kasus yang bersifat deskriptif yang menggambarkan potensi yang dimiliki oleh lokasi penelitian, kemudian ditentukan faktor-faktor internal dan eksternalnya yang selanjutnya digunakan analisa SWOT untuk menentukan arahan dan strategi pengembangannya.


(21)

Karim (2003). Problem Ekonomi-Politik Kemiskinan Nelayan. Hasil penelitian antara lain : dua pokok yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan adalah (i) kemiskinan nelayan terjadi karena korbanan dari proses pembangunan, (ii) kemiskinan nelayan terjadi karena adanya golongan tertentu yang tidak memiliki akses kegiatan ekonomi produksi akibat pola institusional yang diberlakukan, sehingga terpinggirkan secara permanen. Kedua hal tersebut memiliki relevansi yang signifikan secara teoretis maupun empiris sehingga memerlukan pemberdayaan yang memiliki framework komprehensif dalam memahami akar permasalahan kemiskinan nelayan dalam program pengentasan kemiskinan agar tidak bersifat bersifat karitif (charity) karena tidak mempunyai landasan yang jelas.

Tampubolon (2006). Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kelompok. Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji tingkat kedinamisan dan keberhasilan Kelompok Usaha Bersama (KUBE), (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamisan dan keberhasilan KUBE, (3) mengidentifikasi faktor-faktor utama penentu keberhasilan KUBE, dan (4) merumuskan model pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif melalui pendekatan kelompok. Disain penelitian menggunakan deskripsi analisis eksploratif dan korelasional. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kedinamisan 85,2 % kategori aktif, keberhasilan aspek sosial dan ekonomi masing-masing 93,8 % kategori sedang dan 95 % kategori rendah. Lima faktor utama eksistensi KUBE


(22)

yaitu aset (asset), kemampuan (ability), kemasyarakatan (community), komitmen (commitment), pasar (market) atau disebut ABCCM.

Pemberdayaan Masyarakat

Strategi pemberdayaan masyarakat digunakan dalam pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat (people convered

development). Pendekatan ini menyadari tentang betapa pentingnya

kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal yang di tempuh melalui kesanggupan melakukan kontrol internal atas sumber daya materi dan non materi yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan.

Pemberdayaan, menurut Slamet (2000) adalah ungkapan lain dari

penyulihan pembangunan. Pemberdayaan (Empowerment) yang

dikatakan oleh Oakley dan Marsden dalam Priyono (1996) diartikan sebagai suatu proses yang memiliki dua kecenderungan :

1. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses

memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pengembangan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungnan atau proses yang pertama tersebut


(23)

dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pengembangan.

2. Kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses

stimulasi, mendorong atau memotifasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Sesunggunya diantara kedua proses tersebut saling terkait. Agar kecenderungan primer dapat terwujud sering kali harus memulai kecenderungan sekunder terlebih dahulu.

Pemberdayaan ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan yang menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka. Payne dalam Harry (2001) mengatakan bahwa hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Upaya meningkatkan kemampuan yang berkaitan dengan pemberdayaan pada tingkat individu di kemukakan oleh Glickman (1989) sebagai internal control and

individually divergent practices, solving problems indevendenly.

Pemberdayaan ini juga dilakukan bagi orang lain, Irwin (1995) menyebutkan : “ empowering other people means giving them a chance to

make their social special contribution….Your contribution may be a particular insight, a particular loving way to be with people.”


(24)

Pemberdayaan menurut Shardlow (1998) pada intinya membahas cara individu, kelompok maupun komonitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Fierdman (1992) berprinsip bahwa pemberdayaan mendorong Client untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan berkaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi, sehingga Client mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk hari depannya.

Menurut Soe’oed (2004) secara garis besar dapat didefinisikan bahwa pemberdayaan adalah proses belajar mengajar yang merupakan usaha terencana dan sistematis yang dilaksanakan berkesinambungan baik bagi individu maupun kelompok, guna mengembangkan potensi dan kemampuan yang terdapat baik dalam diri individu maupun kelompok masyarakat sehingnga mampu melakukan transformasi sosial.

Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga meningkatkan harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Agar tujuan ini tercapai maka diperlukan kajian strategis yang berkesinambungan tentang restrukturisasi sistem sosial pada tingkat

mikro, mezzo dan makro. Hal ini ditujukan agar masyarakat lokal dapat

mengembangkan potensi tanpa mengalami hambatan eksternal pada unsur mezzo dan makro. Struktur mezzo yang dimaksud dapat berupa struktur pemerintah regional setingkat kabupaten-kota dan propinsi;


(25)

sedangkan struktur makro dapat berupa struktur pemerintahan pusat dan nasional (Hikmat 2001)

Korten dalam Hikmat (2001) menyatakan bahwa ada tiga dasar untuk perubahan-perubahan struktural dan normatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat.

1. Memusatkan pikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk memenuhi kebutuha-kebutuhan mereka sendiri dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri ditingkat individu, keluarga dan komunitas.

2. Mengembangkan struktur-struktur dan proses organisasi-organisasi

yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem swaorganisasi.

3. Mengembang sistem-sistem Produksi-konsumsi yang diorganisasi

secara teritorial berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.

Menurut Satria (2002) pemberdayaan masyarakat pesisir paling tidak memiliki dua dimensi pokok, yaitu dimensi kultural dan dimensi

struktural . Dimensi kultural pemberdayaan sosial mencakup upaya-upaya

perubahan perilaku ekonomi, orientasi pendidikan , sikap terhadap pengembangan teknologi dan kebiasaan-kebiasaan. Pemberdayaan kutural ini diperlukan untuk mengatsai kemiskinan kultural, seperti pola hidup konsumtif, rendahnya kemampuan menabung, sikap subsisten, atau resistensi terhadap pendidikan formal.


(26)

Sementara itu dimensi struktural mencakup upaya perbaikan struktural sosial, sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Perbaikan-perbaikan struktural umumya berupa penguatan solidaritas nelayan untuk selanjutnya dapat berhimpun dalam satu kelompok dan organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Disini tidak ada pretensi untuk selalu membentuk koperasi nelayan karena batapapun bentuk organisasi yang ada jaminan kepentingan sosial ekonomi nelayan adalah yang paling penting. Kehadiran organisasi tersebut yang dijalankan sesuai dengan tingkat budaya organisasi nelayan setempat diharapkan juga dapat menjadi institusi alternatif, selain institusi patron klien seperti yang selama ini telah mengakar.

Pemberdayaan nelayan secara struktural maupun kultural perlu dipahami adanya keunikkan karakteristik sosial nelayan yang tentunya menuntut adanya pendekatan pemberdayaan yang unik pula. Namun pendekatan yang unikpun tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh konteks kehidupan nelayan.

Banyak variabel yang memberi pengaruh pada keunikan itu secara sosiologis maupun ekologis sehingga pendekatan pemberdayaan nelayan jawa dan luar jawa, harus berbeda seiring perbedaan sosiologis (struktur, kultur, dan formasi sosial) maupun ekologis diantara keduanya. Meski demikian, ada benang merah prinsip prinsip penting pemberdayaan yang digunakan untuk seluruh kontejk pemberdayaan nelayan yaitu :


(27)

1. Prinsip Tujuan

Pemberdayaan harus dilandasi tujuan yang jelas dan dianggap sebagai subyek dalam pembangunan sehingga pendekatan yang kita lakukan adalah help people to help them selves (membantu para nelayan agar nelayan dapat membantu dirinya sendiri dengan pendidikan orang dewasa/andrologi). Artinya,institusi yang dibentuk oleh program hanya sebagai fasilitator dan bukan sebagai pihak yang harus memberi. Pendekatan baru ini, asumsinya adalah nelayan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dirinya sendiri .

2. Prinsip Pengetahuan dan Penguatan Nilai Lokal

Pengetahuan modern sering kita anggap sebagai segala galanya dan ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan, teknis maupun sosial, yang dihadapi nelayan. Padahal nelayan memiliki sistem pengetahuannya sendiri yang penting dijadikan bahan atau bekal bagi pemberdayaan. Sistem pengetahuan yang dimiliki nelaya sudah cukup mengaka karena diwariskan secara turun temurun. Dengan sistem pengetahuan yang mereka miliki, sudah sepatutnya para pembuat kebijakan untuk mendengarkan sekaligus belajar dari pengetahuan yang mereka miliki.

Begitu juga kaitannya dengan nilai lokal .Sebenarnya, banyak nilai lokal yang potensial sebagai landasan dalam pemberdayaan. Nilai lokal itu dapat menjadi modal sosial yang penting untuk dikembangkan bagi kemajuan masyarakat nelayan.


(28)

3. Prinsip Keberlanjutan (Sustainability)

Prinsip ini sangat penting diperhatikan mengingat pemberdayaan nelayan merupakan salah satu bentuk rekayasa sosial. Rekayasa sosial ini membutuhkan waktu yang relatif lama karena berkaitan dengan perubahan sosial yang besifat struktural maupun kultural. Perubahan tersebut tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang singkat.Untuk itu program pmberdayaan hendaknya jangan sampai terjebak pada paradigma proyek yang mengharuskan tercapainya target secara nyata dalam waktu yang singkat.Untuk itu program pemberdayaan hendaknya jangan sampai terjebak pada paradigma proyek yang mengharuskan tercapainya target secara nyata dalam waktu yang singkat.

4. Prinsip ketetapan kelompok sasaran

Setiap komunitas nelayan memiliki ciri stratifikasi sosial yang berbeda beda dan hal ini harus dipahami secara benar. Ada yang mencirikan polarisasi dan ada pula yang tidak. Seperti digambarkan oleh Chambers dalam Satria (2002), seringkali pihak yang didatangi tim pelaksana pemberdayan adalah elite desa yang sebenarnya jauh dari persoalan. Namun, karena elit desa lebih mudah berkomunikasi seringkali para konseptor/ pembuat kebijakan menganggap suara mereka sebagai suara rakyat desa. Sementara itu, nelayan miskin yang tidak mudah berkomunikasi jarang didatangi. Akhirnya, informasi yang diperoleh seringkali bisa engan kepentingn informan


(29)

elite nelayan tersebut. Akibatnya, tidak sedikit program pemberdaya yang hanya menyentuh elite nelayan.

5. Prinsip Kesetaraan Jender.

Salah satu ciri sosial nelayan adalah kuatnya peran wanita atau istri nelayan dalam aktivitas ekonomi maupun pengambilan keputusan urusan ekonomi rumah tangga. Dengan posisi istri nelayan yang demikian, harus mencakup istri istri nelayan juga. Seringkali program pemberdayaan bisa terhadap laki laki, sehingga laki laki yang selalu diajak berdiskusi dan memecahkan masalah yang mereka hadapi tanpa melibatkan istri - istrinya.

Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional

Pemberdayaan masyarakat dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional merupakan agenda yang dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah, swasta, LSM, Koperasi maupun kelompok masyarakat lainnya yang peduli terhadap pentingnya pemberdayaan masyarakat. Agenda ini merupakan analisis dari tataran teoritis maupun pengalaman praktis di lapangan.

1. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia

Sumber daya manusia merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan. Keterkaitan masalah ini dengan pemberdayaan masyarakat sangat besar. Dampak pemberdayaan masyarakat adalah kemandirian masyarakat dalam mengatasi


(30)

permasalahan mereka melalui prakarsa dan kreatifitas untuk meningkatkan kualitas hidup. Tentunya membutuhkan masyarakat yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk keluar dari permasalahan mereka. Banyak ekonom yang memandang penting investasi sumber daya manusia. Adanya perubahan paradigma bahwa dalam pertumbuhan ekonomi tidak hanya mementingkan akumulasi modal fisik melainkan juga pembentukan modal manusia. Salah satu faktor penting yang menyebabkan pertumbuhan cepat perekonomian Amerika adalah pembiayaan pendidikan yang secara relatif selalu meningkat. Telaah mengenai peningkatan kapasitas sumber daya manusia ini adalah masyarakat pedesaan dan institusi kelembagaan sebagai wadah mereka berorganisasi

Menjadi pertimbangan bagi perencana pembangunan, ketika menghadapipersoalan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia masyarakat pedesaan yang rata-rata pendidikan formalnya terbatas. Bahkan di beberapa desa terpencil masih ditemukan mereka yang buta huruf. Tentunya perlu dipilih metode dan media pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Para pelaku pemberdaya di tingkat masyarakat yang selanjutnya sering disebut dengan fasilitator, mengembangkan metode pelatihan bagi orang dewasa untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat pedesaan. Kunci dari metode pendidikan bagi orang


(31)

dewasa adalah proses penyadaran melauli penumbuhan kepercayaan diri, menumbuhkan rasa membutuhkan pada diri masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup.

Media untuk pendidikan orang dewasa sangat beragam dan tentunya disesuaikan dengan kelompok sasaran dan tujuan. Dari hasil pengalaman beberapa lembaga pendidikan bagi masyarakat bahwa metode on the job training, demplot, sangat efektif dan efisien sedangkan diskusi kelompok, tanya jawab efektif dan effisien dibandingkan ceramah. Disamping itu tetap dilakukan proses refleksi untuk membagi pengalaman belajar masing-masing anggota kelompok belajar. Filosofi yang terkandung dalam proses pendidikan orang dewasa ini adalah meningkatknya kesadaran kritis masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang ada saat ini dan mengorganisir diri untuk membebaskan dari ketidakberdayaan.

2. Membangun kelembagaan masyarakat

Kelembagaan masyarakat sangat berkaitan dengan proses pemberdayaan di tingkat masyarakat. Pemberdayaan bukan hanya sekedar pendekatan metodologis dalam rangka memandirikan masyarakat sasaran, akan tetapi harus juga diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkret sebagai bentuk dari pencapaian sebuah program. Ketika melaksanakan program pemberdayaan kepada masyarakat miskin di suatu desa, maka pemberdayaan ditempatkan bukan hanya sekedar bagaimana melakukan proses perencanaan


(32)

dan pelaksanaan bersama mereka yang miskin, tetapi pada kurun waktu tertentu, harus ada monitoring dan evaluasi “sudah berapa anggota masyarakat desa tersebut yang berubah hidupnya menjadi tidak miskin dan atau tidak lagi menjadi ketergantungan kepada pelaku pemberdaya di lingkungannya”

Syarat mutlak program pemberdayaan adalah orientasinya yang selalu tertuju kepada kemandirian, kesinambungan, dan keberlanjutan. Naif sekali apabila suatu program pemberdayaan berjalan sambil menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain atau kepada pihak pelaku pemberdayaan tersebut.

Kemandirian adalah sikap yang bersumber pada kepercayaan diri. Kemandirian juga adalah kemampuan (mental dan fisik) untuk: memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri, memperhitungkan kesempatan dan ancaman lingkungan, dan memilih berbagai alternatif yang tersedia untuk mengatasi persoalan dan sekaligus mengembangkan kehidupan secara serasi dan berkesinambungan. Jelas kiranya bahwa pemberdayaan pada akhirnya bukan hanya sekedar berorientasi pada proses tetapi juga pada hasil itu sendiri. Kegiatan Community Development yang berorientasi pemberdayaan dimulai dengan kegiatan Development, yaitu pengembangan konsep sesuai dengan tujuan dan sasaran program berdasarkan hasil

community needs analysis; bersamaan dengan tahap ini adalah


(33)

yang lazim disebut dengan Involve. Tahap selanjutnya adalah mensosialisasikan (Socialize) program kepada seluruh komunitas, agar dan untuk tujuan mereka merasa memiliki program sekaligus ikut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan dan keberhasilan program. Pada tahap ini musyawarah (sebuah pendekatan kultural khas Bangsa Indonesia) memegang peranan yang sangat penting sebagai sarana komunikasi. Menginjak tahap pelaksanaan, terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan; yaitu: Cater, yang berarti program-program yang disajikan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat (dalam bahasa lain harus aspiratif), serta memperhatikan potensi lokal dan Utilize, yang berarti sedapat mungkin melibatkan tenaga kerja setempat dalam pelaksanaan proyek. Selanjutnya harus dikembangkan kepekaan (Sensitive) dalam memahami situasi psikologis, sosial, dan budaya yang tengah berkembang di masyarakat sasaran. Kemudian yang terakhir adalah

Socialize, dalam artian melakukan sosialisasi program atau exposure

pada pihak liuar melalui media-media tertentu.

Prinsip di atas syarat pada orientasi pemberdayaan dengan selalu menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh rangkaian pembangunan. Menurut Dillon prinsip ini disebut dengan pendekatan People Driven (menempatkan rakyat atau masyarakat sebagai aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan “politik”.


(34)

Pemberdayaan adalah sebagai proses. Keberhasilan proses ini bukan hanya karena faham terhadap pengetahuan dan ketrampilan menyangkut pemberdayaan dan pembangunan, akan tetapi seluruh

stakeholders (seluruh unsur terkait dalam program) harus komitmen

dengan beberapa hal antara lain: komitmen pada profesionalisme, komitmen pada keterbukaan, komitmen pada kejujuran, komitmen pada kebersamaan dan kerjasama, komitmen pada kemiteraan, dan komitmen pada kepentingan pembelajaran dan mencari keuntungan bersama dalam bentuk pola horizonal (Arifin, 2004)

Tenaga pemberdaya harus melebur dalam kesetaraan dan kemitraan bersama masyarakat. Kegagalan selama ini banyak diasumsikan karena prinsip-prinsip pemberdayaan (kode etik pemberdayaan) yang seharusnya dilakukan bersama (secara partisipatif) telah dilanggar, karena ada kepentingan-kepentingan tertentu dari segelintir orang di luar unsur masyarakat sasaran. Dampaknya menjadi lebih besar terutama untuk kepentingan pemberdayaan dan berkesinambungan

3. Menyediakan fasilitas produksi (teknologi dan modal usaha)

Teknologi dan kapital merupakan input yang penting untuk pertumbuhan. Hal ini juga sesuai dengan teori neoklasik Solow yang selanjutnya dikembangkan oleh Romer. Dalam implementasinya, Romer mengingatkan pentingnya kebijakan yang mendorong investasi baik pemerintah maupun swasta untuk mendorong


(35)

pembentukan modal sumber daya manusia dan industri padat pengetahuan yang mendorong penciptaan teknologi.

Bagi masyarakat pedesaan yang sehari-hari hanya akrab dengan teknologi pengolahan hasil pertanian sederhana, perkembangan teknologi pertanian di negara lain yang lebih maju nyaris tak terdengar bagi mereka. Di negara maju, telah terjadi internalisasi antara ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses pembangunan. Kemungkinan ini terjadi karena anggaran untuk melakukan penelitian dalam menemukan inovasi baru tersedia dan mendapatkan perhatian pemerintah. Disamping itu juga muncul kendala lain bagaimana melakukan proses sosialisasi hasil penelitian di bidang pertanian kepada petani Seringkali kelembagaan yang ada kurang mendukung proses sosialisasi (Arifin, 2004)

Kaitan antara teknologi dengan pemberdayaan masyarakat adalah permasalahan awal sejak dimulainya identifikasi kebutuhan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melengkapi sosialisasi teknologi dengan pelatihan untuk ketrampilan sehingga masyarakat tahu bagaimana menggunakan, merawat dan memanfaatkannya secara baik. Hal penting lainnya adalah membuka pusat informasi yang mudah diakses oleh masyarakat desa

Hal penting lainnya yang menjadi pembahasan mengenai teknologi ini adalah, keterkaitan antara teknologi dan budaya lokal. Pilihan teknologi modern seringkali justru meminggirikan budaya lokal yang


(36)

ada. Sebagai contoh pergeseran ani-ani dnegan mesin pemangkas pada. Walaupun dari sisi output menghasilkan produksi yang lebih tinggi namun dari sisi budaya proses sosialisasi dan keeratan antaranggota masyarakat mulai luntur. "Trade off" antara target output seringkali juga mengorbankan pihak lain seperti banyak burah tani perempuan yang kehilangan pekerjaan. Karena mekanisasi di sektor pertanian tidak diimbangi dengan upaya penciptaan lapangan kerja baru di pedesaan bagi buruh tani. Lagi-lagi masih diperlukan upaya pemberdayaan uktuk mengatasi persoalan yang tersisa setelah pesoalan lain terselesaikan.

Seiring dengan fokus pembangunan perekonomian saat ini, maka aspek pemberdayaan masyarakat perlu menyesuaikan dengan paradigma pembangunan tersebut. Masalah konkrit yang pernah dihadapi bangsa ini adalah ambruknya usaha-usaha besar akibat terjangan krisis ekonomi maupun moneter. Sedangkan usaha ekonomi rakyat mampu menyelamatkan Indonesia dari krisis walupun dalam kondisi sangat terbatas.

Kesulitan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat karena peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Hal ini semakin bertambah karena keterbatasan ketrampilan sehingga banyak tenaga kerja yang tidak dapat terserap oleh lapangan usaha. Bagaimana dengan problema penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan. Ciri khas kondisi perekonomian pedesaan adalah keterbatasan infrastruktur, modal


(37)

kerja, ketrampilan, pemasaran. Artinya, kompleksitas permasalahan tersebut tidak bisa diatas dengan pemberian salah satu fasilitas saja misalnya kredit yang sudah dikucurkan pemerintah sebenarnya sejak Pemerintahan Orde Baru sudah dilakukan. Melaui Kepres No. 14 dan Kepres No. 14a tahun 1979 diatur kredit semacam KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) bagi masyarakat kecil (Baswir, 2003)

Pengalaman masa lalu bentuk penyaluran kredit di pedesaan sangat birokratis dan menyesuaikan dengan Undang-Undang Perbankan, yaitu salah satunya tentang agunan yang digunakan untuk kredit. Hanya sedikit dari masyarakat dan pada umunya golongan elit yang mampu mengakses kredit ini. Masalah lain timbulnya ”moral hazard” dari para pemburu rente akhirnya justru mandapatkan manfaat kredit yang seharusnya disalurkan bagi masyarakat kecil ini. Munculnya kredit macet di tingkat masyarakat kecil, menjadi daya tolak bagi lembaga keuangan lainnya untuk melakukan investasi. Kondisi ini memperparah kesulitan modal bagi pelaku usaha kecil di pedesaan (Baswir, 2003)

Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang memberikan bantuan kredit bagi para pengusaha mikro merupakan angin segar. Menengok kembali tentang sektor perekonomian rakyat, bahwa sektor ini telah mampu menyelamatkan Indonesia dari krisis. Akhirnya memang benar dengan adanya pendapat bahwa sektor ini berdikari dan ulet.


(38)

Namun sekali lagi sektor ini justru sulit sekali mengakeses modal dari lembaga perbankan (Baswir, 2003).

Selama ini sektor tersebut tumbuh dan bertahan dengan menggunakan modal sendiri serta modal lain diluar sektor perbankan. Menjadi pertanyaan selanjutnya, bagiamana mestinya LKM mulai dikembangkan untuk memberikan modal bagi para pengusaha mikro yang pada umunmnya bekerja di sektor informal. Mereka pada umunya adalah para pekerja sendiri yang tidak tertampung sebagai pekerja upahan. Walaupun sebenarnya merupakan bentuk mempertahankan diri agar bisa menghidupi diri dan keluarganya (Baswir, 2003)

Partisipasi

Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan tranformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih terpusat pada rakyat (peopele centered development). Pendekatan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal antara sumber daya materi dan non material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan (Korten


(39)

Menurut Mubyarto (1984) arti partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dngan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan diri. Menurut Sutrisno (1995) ada dua jenis definisi partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu :

1. Definisi pertama adalah definisi yang diberikan oleh para

perencana pembangunan formal indonesia. Definisi seperti in memberikan arti partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai dukungan masyarakat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannnya oleh pemerintah.Ukuran tinggi rendahnya partisipasi ini diukur dari kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa waktu maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah.

2. Definisi kedua adalah yang berlaku secara universal yaitu

partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Menurut definisi ini, ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat tidak hanya diukur dari kemauan rakyat menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk menentukan arah dan tujuan program yang akan dibangun di wilayah mereka.Ukuran lain yang dipakai


(40)

adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek.

Beberapa pengertian tentang partisipasi dikemukakan oleh para ahli antara lain yang dikemukakan Dsseldorp (1981) yang menulis tentang partisipasi ditingkat masyarakat pedesaan menyatakan bahwa partisipasi adalh suatu bentuk interaksi dan komunikasi khas, yaitu berbagi kekuasaan dan tanggung jawab.

Pandangan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Battacharya dalam Sutrisno (1995), yang mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang didalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama dan turut bertanggung jawab terhadap usaha bersangkutan.

Menurut Hadi dalam Adimiharja (2001), partisipasi masyarakat merupakan proses dimana masyarakat ikut serta mengambil bagian dalam pengambilan keputusan. Ditinjau dari segi kualitas, partisipasi adalah sebagai masukan kebijaksanaan, strategis, komunikasi, media pemecahan publik dan terapi sosial. Sedangkan menurut Suratmo dalam Adimiharja (2001), tujuan dasar dari partisipasi masyarakat indonesia adalah : (1) menguikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, (2) mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan negara, (3) membantu pemerintah untuk dapat mengambil kebijaksanaan dan keputusan yang baik dan tepat.


(41)

Rahim dalam sutrisno (1995), mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dikelompokkan lima jenis, yaitu :

1. Ikut memberikan masukan dalam proses pembangunan, menerima

imbalan atas masukan tersebut dan menikmati hasil pembangunan.

2. Ikut memberi masukan dan ikut menikmati hasil pembangunan

3. Menikmati hasil pembangunan tanpa memberi masukan dan

4. Memberi masukan tanpa menerima imbalan dan tidak ikut menikmati

hasil pembangunan.

Hal yang sama dikemukakan pula oleh Cohen dan Uhoff (1977) yang membedakan partisipasi berdasarkan tahapannya, yaitu :

1. Partisipasi dalam pembutan keputusan, kebijaksanaan, perencanaan

pembangunan,

2. Partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan,

3. Partisipasi dalam memanfatkan atau menggunakan hasil hasil pembangunan,

4. Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan. Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana yang akan ditetapkan. Masyarakat juga diberkan kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil.


(42)

Faktor –faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat cukup banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Madrie (1986) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang akan mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan suat kegiatan. Selanjutnya Long dalam Madrie (1986), menghubungkan partisipasi dengan tingkat pengetahuan. Dimana seseorang yang mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok, cenderung semakin tinggi partisipasinya dalam kegiatan pembangunan.Ditambahkan lagi oleh Soeryani, et al. (1987) yang meyatakan bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mensukseskan program pembangunan. Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka mengenai ligkungan hidup. Hal tersebut selanjutnya akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang mereka peroleh dari kelestarian sumberdaya alam.

Slamet (1985) mengemukakan tentang syarat yang diperlukan agar masyarakat lebih berperan aktif dalam pembangunan yaitu : kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi pada proses pembangunan yang dipengaruhi oleh faktor faktor seperti : umur, pendidikan (formal maupun non formal), budaya lokal (norma, tradisi, dan adat istiadat), serta pengaturan dan pelayanan pemerintah.


(43)

Lebih lanjut menurut Sastropoetro (1988), faktor faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari tiga hal yaitu : keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam sekitar. Sedangkan menurut Santosa dalam Sastropoetro (1988), beberapa unsur yang penting dalam berpartisipasi meliputi :

1. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif,

2. Perubahan sikap, pendapat, tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran,

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan,

4. Antusiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain dan

5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama. Semakin tinggi derajat kemampuan lingkungan hidup dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, semakn tinggi pula kualitas lingkungan hidup dan sebaliknya.

Konsep Partisipasi Anggota Pada Proses Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan tranformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih terpusat pada rakyat (peopele centered development). Pendekatan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk


(44)

meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal antara sumber daya materi dan non material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan (Adimiharja dan Hikmat, 1992)

Menurut Mubyarto (1984) arti partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan diri. Menurut Sutrisno (1995) ada dua jenis definisi partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu :

1. Definisi pertama adalah definisi yang diberikan oleh para perencana

pembangunan formal Indonesia. Definisi seperti in memberikan arti partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai dukungan masyarakat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannnya oleh pemerintah.Ukuran tinggi rendahnya partisipasi ini diukur dari kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa waktu maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah.

2. Definisi kedua adalah yang berlaku secara universal yaitu partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Menurut definisi ini, ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat tidak hanya diukur dari kemauan rakyat menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk


(45)

menentukan arah dan tujuan program yang akan dibangun di wilayah mereka.Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek.

Partisipasi sebagai keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang didalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama dan turut bertanggung jawab terhadap usaha bersangkutan (Sutrisno, 1995)

Menurut Adimiharja (2001), partisipasi masyarakat merupakan proses dimana masyarakat ikut serta mengambil bagian dalam pengambilan keputusan.Ditinjau dari segi kualitas, partisipasi adalah sebagai masukan kebijaksanaan, strategis, komunikasi, media pemecahan publik dan terapi sosial. Sedangkan tujuan dasar dari partisipasi masyarakat indonesia adalah : menguikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan negara, dan membantu pemerintah untuk dapat mengambil kebijaksanaan dan keputusan yang baik dan tepat.

Sutrisno (1995), mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dikelompokkan dalam lima jenis, yaitu :

1. Ikut memberikan masukan dalam proses pembangunan, menerima

imbalan atas masukan tersebut dan menikmati hasil pembangunan.


(46)

3. Menikmati hasil pembangunan tanpa memberi masukan dan

4. Memberi masukan tanpa menerima imbalan dan tidak ikut menikmati

hasil pembangunan.

Hal yang sama dikemukakan pula oleh Cohen dan Uhoff (1977) yang membedakan partisipasi berdasarkan tahapannya, yaitu :

1. Partisipasi dalam pembutan keputusan, kebijaksanaan, perencanaan

pembangunan,

2. Partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan,

3. Partisipasi dalam memanfatkan atau menggunakan hasil hasil pembangunan,

4. Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan. Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana yang akan ditetapkan. Masyarakat juga diberkan kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil.

Faktor–faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat cukup banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Madrie (1986) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang akan mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan suat kegiatan. Selanjutnya Madrie (1986), menghubungkan partisipasi dengan tingkat pengetahuan. Dimana seseorang yang mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang


(47)

tinggi terhadap kepentingan kelompok, cenderung semakin tinggi partisipasinya dalam kegiatan pembangunan. Ditambahkan lagi oleh Soeryani, et. al. (1987) yang meyatakan bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mensukseskan program pembangunan. Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka mengenai ligkungan hidup.Hal tersebut selanjutnya akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang mereka peroleh dari kelestarian sumberdaya alam.

Slamet (1985) mengemukakan tentang syarat yang diperlukan agar masyarakat lebih berperan aktif dalam pembangunan yaitu : kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.Yang mana hal ini akan dipengaruhi oleh faktor faktor seperti : umur, pendidikan, (formal maupun non formal), budaya lokal (norma, tradisi, dan adat istiadat), serta pengaturan dan pelayanan pemerintah.

Lebih lanjut menurut Sastropoetro (1988), faktor faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari tiga hal yaitu :

1. Keadaan sosial masyarakat,

2. Kegiatan program pembangunan dan

3. Keadaan alam sekitar .

Selanjutnya menurut Sastropoetro (1988), beberapa unsur yang penting dalam berpartisipasi meliputi :


(48)

1. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif,

2. Perubahan sikap, pendapat, tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran,

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan,

4. Antusiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain

5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama. Semakin tinggi derajat kemampuan lingkungan hidup dalam memenuhi kebutuhn dasar manusia, semakn tinggi pula kualitas lingkungan hidup dan sebaliknya.

Partisipasi merupakan keterlibatan mental/pikiran dan emosi seseorang di dalam situasi kelompok dan mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang dilakukannya (Ashari, 1998).

Koentjaraningrat (1984) dalam membahas partisipasi masyarakat menyebutkan, bahwa partisipasi masyarakat pedesaan dalam pembangunan sebenarnya menyangkut dua bentuk partisipasi yang berbeda, yakni : pertama partisipasi dalam aktifitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus, yang kedua partisipasi sebagai individu di luar aktifitas bersama dalam pembangunan.


(49)

Partisipasi masyarakat bentuk kedua yang disebutkan oleh Koentjaraningrat diatas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mubyarto (1988) yaitu partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program pembangunan, sesuai dengan kemampuan setiap orang atau anggota masyarakat tanpa disertai mengorbankan kepentingannya sendiri maupun masyarakatnya.

Wujud peran serta masyarakat dalam program atau proyek pembangunan, dicirikan oleh kontribusi mereka dalam kegiatan pembangunan, baik materi rnaupun non materi. Bantuan materi dapat berupa uang, alat atau tenaga, sedangkan bantuan non materi dapat berupa gagasan, atau dukungan moral lainnya (Abdussamad,1991). Sajogyo (1980) mengemukakan secara lebih spesifik, sebagai indikator partisipasi masyarakat tani dalam kegiatan pembangunan pertanian adalah adanya peluang ikut menentukan kebijaksanaan pembangunan di tingkat desa/kecamatan, terutama bidang-bidang dimana petani diharapkan ikut bekerja/berusaha; adanya peluang ikut melaksanakan rencana pembangunan; adanya peluang ikut menilai hasil pembangunan, sampai dimana hasil-hasil tersebut telah memperbaiki keadaan mereka menurut ukuran dan pengalaman mereka sendiri.

Partisipasi suatu kelompok masyarakat sebagai partnership sistem adalah hal yang dapat diciptakan. Partisipasi masyarakat dapat tercipta apabila dapat dihidupkan sikap saling percaya antara perangkat kelompok dan anggota kelompok. Sikap penciptaan kondisi


(50)

saling percaya dan saling pengertian ini pun tidak dapat tumbuh dengan begitu saja, tetapi diperlukan suatu usaha yang membuat masyarakat memiliki pengertian tentang aturan yang dilandaskan pada prinsip saling ketergantungan dan saling membutuhkan antara aparat dan anggota kelompok masyarakat (Maskun, 1993).

Dalam kerangka pembangunan kerakyatan yang sedang digalakkan, perlu dirumuskan suatu kesepakatan pokok tentang model partisipasi yang menjadi rujukan. Kartasasmita (1996), menyatakan perencanaan partisipasi (participatory planning) meliputi dua proses timbal balik, yaitu dari bawah yang mencerminkan apa yang dikehendaki oleh masyarakat dan keadaan yang nyata di lapangan, dan dari atas yang memperhitungkan kepentingan-kepentingan nasional kebijakan makro dan sumber daya pembangunan yang tersedia. Hal ini didukung juga oleh Maskun (1993), bahwa partisipasi dapat dilihat secara bottom up yaitu gerakan peran serta yang berasal dari bawah, timbul dan dirasakan oleh masyarakat itu sendiri dan top down yaitu gerakan peran serta yang direncanakan secara simultan sebagai kebijakan yang terpusat, yang datang dari pemerintah kepada masyarakat sesuai dengan orientasi, karakteristik dan kondisi daerah.

Maskun (1993), menyatakan model keterpaduan partisipasi (bottom

up dan top down) merupakan suatu model yang perlu ditumbuhkan.

Keterpaduan antar lembaga formal pemerintahan dengan masyarakat merupakan cara yang efektif dalam merangsang partisipasi dari berbagai


(51)

kalangan. Harapan akan hal ini adalah di satu pihak pemerintah sebagai lembaga formal dapat memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki dalam bidang perencanaan dan pembiayaan, dan dilain pihak dapat terpenuhinya kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Selain itu, dengan keterpaduan konsep partisipasi tersebut, program fop down yang biasanya bersifat menyeragamkan, menyamaratakan kondisi-kondisi yang nyatanya berbeda dan kurang dapat menjamin tepatnya suatu perencanaan dapat teratasi. Demikian pula, pendekatan bottom up lebih menampilkan kebinekaan. diasumsikan bahwa setiap masyarakat pada setiap wilayah tidak dapat atau tidak mungkin mengalami permasalahan pembangunan yang sama, dapat lebih dipahami untuk memberikan. insentif bantuan dan perencanaan yang terkendali sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut Sastropoetro (1986), partisipasi masyarakat bukanlah akhir dari suatu pekerjaan, akan tetapi merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan dari suatu pembangunan. Agar hal ini dapat tercapai, maka partisipasi haruslah dibina ke arah yang lebih sehat dengan meletakan masyarakat sebagai subjek yang aktif. Dalam partisipasi, perencana bukan bertujuan memanipulasi sistem menjadi subsistem yang tergantung pada supra sistem, melainkan lebih bertujuan untuk menimbulkan keserasian antara berbagai sistem dalam masyarakat.


(52)

Menurut Surjadi (1989), dalam suatu proses pembangunan masyarakat desa, pertama-tama anggota masyarakat desa perlu mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Hal tersebut untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat, dengan partisipasi aktif dan apabila mungkin didasarkan atas inisiatif masyarakat.

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)

Salah satu model pemberdayaan yang selama ini dikembangkan pemerintah adalah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisr (PEMP) dengan prinsip help people to help themselves. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan pendayagunaan sumber daya laut dan pesisir secara berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan tujuan PEMP, dorongan pemberdayaan diwilayah pesisir diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyaakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian pembangunan.

Kegiatan PEMP meliputi pengembangan partisipasi masyarakat, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yan meliputi pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat, pengembangan sumberdaya pesisir dan laut yang berbasis masyarakat sesuai dengan kaidah kelestaraian lingkungan, pengembangan jaringan dan


(53)

kelembagaan sosial ekonomi dan peningkatan fasilitas masyarakat dalam akses permodalan, serta pengembangan kemampuan pemerintah lokal dan masyarakat, aparat, pihak swasta dalam mengembangkan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pantai.

Model pengembangan PEMP diawali dengan tahapan identifikasi potensi dan permasalahan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dasar tentang daerah.Informasi dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan program ini adalah informasi tentang sumberdaya alam dan sumberdaya pesisir,sumberdaya manusia, kegiatan usaha perikanan, sarana dan prasarana, kelembagaan sosial ekonomi, dan kebijakan pemerintah.Informasi / data yang diperoleh akan melewati proses analisis data sehingga menghasilkan susunan program pengembangan PEMP. Adapun analisis ata dilakukan untuk menghasilkan program program pengembangan PEMP.Program program yang perlu dikembangkan mencakup ekonomi, program sosial, dan program lingkungan serta infrastruktur.

Tahapan selanjutnya adalah sosialisasi program kepada seluruh stake holder untuk menapatkan masukan guna menyempurnakan program yang telah disusun. Implementasi program dilaksanakan dalam bentuk pemilihan calon peserta, pelatihan, pelaksanaan kegiatan sosial, lingkungan dan fasilitas, serta penguatan kelembagaan sosial ekonomi. Implementasi program, masyarakat selalu mendapatkan pendampingan dari tenaga pendamping desa (TPD) yang telah dilatih terlebih dahulu.


(54)

Tahap terakhir yang dilakukan adalah monitoring dan evaluasi untuk memantau implementasi program serta mengkaji ulang kelemahan dan kelebihan dari program serta kendala kendala yang dihadapi dalam implementasi. Secara skematis, model pengembangan PEMP dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :

Gambar 1. Model Pengembangan PEMP

Pelaksanaan PEMP didukung semua pihak mulai tingkat infrastruktur hingga suprastruktur. Program pemberdayaan ini merupakan salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan di bawah Direktorat Jenderal Pesisir dan pulau pulau kecil (P3K). Sebagai

Identifikasi : (Potensi dan permasalahan)

- SDA dan SDP

- SDM

- Kegiatan Usaha Perikanan

- Sarana dan prasarana

- Kelembagaan sosial

- Ekonomi

- Kebijakan pemerintah

Implementasi Program : - Pengadaan Calon peserta

- Pelatihan

- Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi

- Pelaksanaan Kegiatan Sosial,lingkungan dan fasilitas

- Penguatan Kelembagaan Sosial ekonomi Pendampingan Analisis Data Penyusunan Program Pembangunan Program ekonomi Program sosial Program Lingkungan dan Infrastruktur Sosialisasi Program


(55)

penaggung jawab di tingkat pusat adalah direktorat jenderal P3K yang bertugas melakukan koordinasi dengan lembaga lembaga terkait dengan kegiatan ini seperti Departemen Keuangan Dan Badan Perencana Pembangunan Daerah. Hirarki penanggung jawab program ini dibawah Ditjen P3K adalah Kepala Dinas Provinsi atas nama Gubernur dan Bupati/ Walikota di tingkat kabupaten atau kota dengan tugas yang berbeda .

Kepala Dinas Propinsi bertugas melakukan sosialisasi program PEMP ditingkat propinsi dan melakukan sinkronisasi program PEMP dengan program program di tingkat bawahnya agar tidak terjadi overlapping. Selain itu, Kepala Dinas Provinsi bertugas melakukan koordinasi lintas kabupaten / kota dan pembinaan teknis program PEMP. Selanjutnya, kadin melakukan monitoring dan evaluasi serta melaporkannya kepada Gubernur dan Departemen Kelautan dan Perikanan.

Sementara itu, ditingkat kabupaten / kota, tugas - tugas yang diberikan lebih bersifat koordinatif, sehingga Bupati / Walikota sebagai penanggung jawab ditingkat kabupaten / kota bertugas melakukan pembinaan dalam melaksanakan program PEMP di wilayahnya dan mengkoordinasikan perencanaan dan pengendalian pelaksanaan program PEMP dengan program sektoral dan regional di wilayahnya. Sebagai penanggung jawab operasional tugas - tugas di tingkat kabupaten / kota ditunjuk Kepala Dinas Kabupaten / kota berdasarkan Surat Keputusan dari Bupati / Walikota.


(56)

Selanjutnya, pelaksanaan teknis program PEMP ditingkat Kabupaten / kota dilaksanakan kepala Dinas Kabupaten / Kota yang mencakup sosialisasi, koordinasi dengan BAPPEDA, memberikan bimbingan, memfasilitasi terbentuknya hubungan kemitraan antara kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) dan perorangan atau lembaga yang peduli terhadap program pengembangan sosial ekonomi masyarakat pesisir, monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program PEMP.

Pelaksanaan tugas dilapangan, Kepala Dinas Kabupaten/ Kota dibantu oleh Konsultan manajemen (KM) Kabupaten/ Kota yang terdiri dari Tenaga Pendamping Desa (TPD) yang bertugas mendampingi KMP-KMP di desa. Sebelum melaksanakan tugasnya, TPD harus menjalani Training Of Trainer (TOT) terlebih dahulu yang diselenggarakan oleh pusat. Dalam TOT, TPD dilaih untuk memiliki kemampuan untuk mengelola kegiatan PEMP dan mampu berperan sebagai fasilitator, dinamisator, dan motivator dari kegiatan PEMP.

Untuk mengkoordinasikan KMP, dibentuk Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir – Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) ditingkat desa, kecamatan, atau kabupaten. LEPP-M3 bertugas mengelola dana yang disalurkan KMP dan melakukan pemeriksaan pembukuan KMP. LEPP-M3 terdiri dari perwakilan KMP desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kabupaten. Kota selaku penanggung operasional PEMP Kabupaten / Kota. Sebagai lembaga yang bertugas mengelola Dana Ekonomi


(57)

Produktif, LEPP-M3 dapat dikembangkan menjadi koperasi atau perseroan terbatas.

LEPP-M3 yang dibentuk di tingkat Kecamatan dalam pelaksanaannya melakukan koordinasi dengan Camat, sedangkan KMP desa melakukan koordinasi dengan Mitra Desa yang terdiri daroi aparat desa, tokoh adat atau tokoh agama, dan Kantor Cabang Dinas (KCD) / Penyuluh Perikanan Lapang (PPL) Dinas Perikanan. Lebih jelasnya, struktur kelembagaan PEMP ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Struktur Kelembagaan PEMP

DEPKEU BAPPENAS

-DJA – Dit SDA -Dit Kewilayahsn -Dit PM

Dinas Perikanan Propinsi

BAPPEDA

Camat

Mitra Desa

Aparat Desa

Tokoh masyarakat / Adat / Agama KCDPPL Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat PEMP Pusat Dinas Perikanan Kabupaten Sekretariat PEMP Daerah LEPP M3

- Wakil KMP Desa

- Profesional

KMP Desa A KMP Desa B

KM – PUSAT Konsorsium Konsultan & Perguruan Tinggi

KM-KAB/KOTA

Mitra Pengembangan - Pengusaha - Lembaga Keuangan - Perguruan Tinggi

Pendampingan - TPD

KMP A1 KMP A2 KMP A3 KMP A……. KMP B1 KMP B2 KMP B3 KMP B…….


(58)

Analisis SWOT

SWOT adalah singkatan dari Kekuatan (Strengths) dan Kelemahan (Weaknesses) intern perusahaan serta Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats) dalam lingkungan yang dihadapi perusahaan. Analisis SWOT merupakan cara sistematik untuk mengidentifikasi faktor internal dan ekternal untuk menyusun strategi. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dihadapinya. Analisis lingkungan SWOT menyajikan informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang ada dalam lingkungan perusahaan, fokus mendasar pertama dalam analisis SWOT.

Wahyudi (1996) dalam analisa SWOT ada 4 faktor yang perlu diperhatikan yaitu :

1. Strengths/kekuatan

Adalah suatu keunggulan sumber daya, ketrampilan atau kemampuan lainnya yang relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar yang dilayani atau hendak dilayani oleh perusahaan. 2. Weakness/kelemahan.

Adalah keterbatasan/kekurangan dalam sumber daya, ketrampilan, dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja suatu perusahaan.


(59)

3. Opportunities/peluang

Adalah merupakan situasi utama yang menguntungkan dalam lingkungan eksternal perusahaan.

4. Threats/ancaman.

Adalah merupakan situasi utama yang tidak menguntungkan dalam lingkungan eksternal perusahaan.

Pada prinsipnya Analisis SWOT adalah suatu kegiatan menganalisis faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan serta faktor-faktor eksternal berupa peluang dan ancaman dari suatu organisasi untuk menentukan strategis apa yang harus dilakukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi dan bahkan berkembang terus secara efektif, efisien dan berkelanjutan.

Suwarsono (1994) mengemukakan tentang SWOT, bahwa pengembangan apapun pada perusahaan akan didasarkan pada kekuatan dan kelemahan dasar perusahaan. Faktor eksternal adalah peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan. Jika tahapan analisis penting ini telah dilampaui dengan baik maka proses yang lebih teknis seperti identifikasi peluang, penyeleksian, analisis bisnis dan akhirnya kegiatan-kegiatan seperti pengembangan produk, pengujian, perencanaan masuk pasar dapat dilakukan dan tergantung pada pilihan mana yang diambil.


(60)

Untuk menentukan tujuan, sasaran dan strategi diperlukan analisis yang mendalam serta menyeluruh mengenai lingkungan dimana perusahaan berada karena lingkungan merupakan salah satu faktor terpenting untuk menunjang keberhasilan perusahaan dalam persaingan. Analisis SWOT merupakan ramuan utama perencanaan strategis dan membantu klarifikasi pilihan kebijaksanaan yang dihadapi perusahaan. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan misi, tujuan dan kebijaksanaan perusahaan. Dengan demikian perencanaan strategi harus menganalisis faktor-faktor strategi perusahaan dalam kondisi saat ini. Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model paling populer untuk menganalisis situasi adalah analisis SWOT

Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang dikemukakan diatas terlihat bahwa Koperasi merupakan salah satu faktor penggerak ekonomi Nasional. Pola layanan dan pendekatan yang cenderung cepat, tidak berbelit dan azas kekeluargaan dan gotong royong sangat di terima oleh masyarakat. Budaya berkoperasi sudah tumbuh di masyarakat sejk lama, bahkan koperasi merupakan salah satu soko guru ekonomi Nasional. Koperasi telah memberikan peran yang cukup besar bagi pengembangan ekonomi masyarakat sehingga sangat potensi untuk di kembangkan.


(61)

Koperasi yang sudah ada, Beberapa memiliki keterbatasan dalam hal pengembangan modal, kususnya bagi koperasi yang memiliki unit simpan pinjam. unit simpan pinjam memberikan layanan optimal pada anggota, Sehingga peran serta dalam peningkatan ekonomi lokal tidak dapat di dilakukan.

Salah satu koperasi yang memiliki unit simpan pinjam adalah Koperasi Serba Usaha LEPP M3, yang memiliki beberapa unit, di antaranya adalah unit simpan pinjam. Unit simpan pinjam ini mampu memberikan layanan pinjaman pada masyarakat umum, khususnya masyarakat pesisir. Kecenderungan penghasilan mereka yang harian, memberikan alternatif pembiayaan mingguan, sehingga hal ini mulai menarik lembaga – lembaga sejenis untuk memberikan pembiayaan pada mereka. Sehingga saat ini timbul persaingan yang sangat ketat, ditambah lagi perbangkan umum juga memberikan pinjaman pada usaha mikro, kecil dan menengah dengan membentuk unit layanan mikro. Produk simpan pinjam LEPP M3 memiliki unggulan – unggulan yang tidak kalah menarik di banding lembaga sejenis. Oleh karena itu diperlukan strategi alternatif agar KSU LEPP M3 dapat berkembang dan memiliki daya saing. Untuk menentukan strategi alternatif yang akan diambil perlu dilakukan identifikasi atau pengamatan mengenai lingkungan perusahaan. Menurut Wahyudi (1996) lingkungan adalah salah satu faktor terpenting untuk menunjang keberhasilan perusahaan dalam persaingan. Lingkungan tersebut antara lain lingkungan internal Koperasi yaitu


(62)

mengenai kekuatan dan kelemahan Koperasi LEPP M3 yang mencakup sarana prasarana, sumber daya manusia (tenaga kerja), modal, tehnologi dan pemasaran serta organisasi dan manajerial. Selain itu juga dilakukan identifikasi terhadap lingkungan eksternal perusahaan yaitu peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi oleh KSU LEPP M3 seperti pesaing, penabung, dan kebijakan pemerintah,

Tambunan (2002) menyatakan prospek pengembangan industri kecil ditentukan oleh kombinasi kekuatan dan kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi eksternal. Kondisi lingkungan internal dan eksternal yang dihadapi koperasi tersebut akan berdampak pada produk KSU LEPP M3 yang dihasilkan dan volume penjualan dari produk KSU LEPP M3 tersebut yang pada akhirnya akan berdampak pada keuntungan yang diperoleh KSU LEPP M3. Menurut Suwarsono (2002) salah satu ciri perusahaan yang berkembang adalah jika perusahaan tersebut berhasil meningkatkan volume penjualan dan besarnya laba yang diperoleh. Diharapkan melalui analisis terhadap lingkungan internal eksternal perusahaan akan diperoleh strategi yang paling tepat untuk pengembangan usaha KSU LEPP M3 Kabupaten Pasuruan.


(63)

Uraian kerangka pemikiran diatas tertuang dalam gambar 3.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Identifikasi Masalah Pemberdayaan

Produk

Aset

Laba

Strategi Pengembangan Usaha

FAKTOR INTERNAL

 Sarana & Prasarana

 SDM

 Modal

 Pemasaran

 Organisasi & Manajerial

 Tehnologi

FAKTOR EKSTERNAL

 Pesaing

 Kebijakan Pemerintah

 Nasabah/Pelanggan

 Pasar

 Pemasok

 Masyarakat

PEMBERDAYAAN NELAYAN


(64)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Penentuan Daerah

Penentuan daerah penelitian dilakukan dengan melakukan survei terlebih dahulu pada daerah yang akan diteliti. Pemilihan daerah ini dilakukan dengan sengaja di Kabupaten Pasuruan dengan pertimbangan bahwa masyarakat di wilayah pesisir di Kabupaten Pasuruan merupakan kelompok nelayan miskin yang kurang memiliki ketrampilan dalam upaya pengembangan potensi wilayah yaitu tidak berkembanganya kegiatan agroindustri berbasis hasil tangkap.

Kondisi tersebut yang mendasari juga adanya program pemberdayaan masyakarat pesisir dan nelayan melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang didalamnya juga dibentuk Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mitra Mikro Minna (LEPP M3) dalam upaya mendukung aktivitas Kelompok Miskin Pedesaan (KMP)

3.2. Penentuan Responden

Penentuan jumlah sampel atau responden dalam penelitian ditentukan secara purposive yaitu 7 responden dari pengurus Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mitra Mikro Minna terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Bendahara, Sekretaris, dan 3 Manajer sedangkan untuk


(65)

mengetahui responden nelayan adalah sebanyak 30 responden yang ditentukan secara sengaja dari 18.562 nelayan.

4.3. Pengambilan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dan data primer :

1. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh dengan wawancara secara langsung pada responden penelitian yang meliputi persepsi pengurus LEPP M3 terhadap : wilayah tangkap, jumlah nelayan, keanekaragaman hayati tinggi, kualitas hasil tangkap dan pengolahan hasil tangkap, cara penangkapan, teknologi penanganan pasca panen, pengetahuan nelayan, sistem pemasaran, kebutuhan investasi, globalisasi perdagangan, meningkatnya ekspor hasil perikanan laut, kebijakan pemerintah terhadap pengembangan perikanan laut, potensi wilayah, pencemaran perairan, penjarahan oleh kapal-kapal modern dari negara lain, erosi dan abrasi pantai dan konflik kepentingan masyarakat, swasta dan sektoral. Serta tanggapan nelayan terhadap LEPP M3.

2. Data sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari Kabupaten/Kecamatan dari instansi terkait yaitu Dinas Perikanan dan kelautan Kabupaten Pasuruan.


(66)

Data yang digunakan yaitu data jumlah nelayan dan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan perikanan laut

Untuk memperoleh data, baik data primer maupun data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

1. Wawancara

Metode ini dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara secara langsung kepada responden dengan bantuan kuisioner.

2. Observasi

Metode ini dilakukan untuk memperoleh data pendahuluan mengenai keadaan daerah yang akan diteliti dengan melakukan survei langsung ke lapangan.

3. Dokumentasi

Metode ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang diperoleh dari Kantor Statistik dan Dinas Perikanan dan kelautan Kabupaten Pasuruan yang berkaitan dengan data sekunder untuk membantu dalam penelitian ini.

3.4. Definisi dan Pengukuran Variabel

Definisi istilah dan pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor-faktor secara


(67)

2. Analisis Eksternal yaitu situasi dan kondisi yang berada pengembangan LEPP M3 Kabupaten Pasuruan dalam pemberdayaan nelayan melalui agroindustri pengolahan hasil tangkap yang secara langsung dapat mempengaruhi kinerja LEPP M3.

3. Analisis Internal adalah untuk mengetahui faktor - faktor keunggulan

strategis pengembangan LEPP M3 Kabupaten Pasuruan dalam pemberdayaan nelayan melalui agroindustri pengolahan hasil tangkap guna menentukan dimana kekuatan dan kelemahannya.

4. Peluang (Opportunities) adalah situasi utama yang menguntungkan

pengembangan LEPP M3 Kabupaten Pasuruan dalam pemberdayaan nelayan melalui agroindustri pengolahan hasil tangkap. Kecenderungan-kecenderungan utama adalah salah satu dari peluang. Identifikasi dari segmen pasar yang sebelumnya terlewatkan perubahan-perubahan dalam keadaan bersaing, perubahan teknologi dan hubungan.

5. Ancaman (Threats) adalah situasi yang tidak menguntungkan dalam

pengembangan LEPP M3 Kabupaten Pasuruan dalam pemberdayaan nelayan melalui agroindustri pengolahan hasil tangkap dan rintangan-rintangan utama bagi posisi sekarang atau yang diinginkan seperti masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, perubahan teknologi dan peraturan yang baru atau direvisi dapat merupakan bagi keberhasilan perusahaan.


(68)

6. Kekuatan (Strengths) adalah suatu sumber daya, ketrampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar suatu perusahaan layani atau hendak di layani.

7. Kelemahan (Weaknesses) adalah keterbatasan atau kekurangan

dalam sumber daya ketrampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja efektif suatu perusahaan.

3.5. Analisis Data 3.5.1. Analisis SWOT

Analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan kesatu dan ketiga yaitu mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam pengembangan LEPP M3 Kabupaten Pasuruan dalam pemberdayaan nelayan dan untuk menyusun strategi pengembangan LEPP M3 Kabupaten Pasuruan dalam pemberdayaan nelayan dalam penelitian ini menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan para logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenghts) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesesses) dan ancaman (threats). Analisa ini berhubungan dengan adanya proses pengambilan keputusan strategis yang selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijaksanaan


(1)

112

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

113

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(3)

114

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

115

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(5)

116

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

117

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dokumen yang terkait

Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir melalui Perbankan Mikro

0 4 225

Analisis Aplikasi Model Lembaga Keuangan mikro Dalam Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir di Kabupaten Cirebon

0 8 177

The impact of credit by Grameen Bank scheme from Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) Cooperative on coastal communities income in Tuban District.

2 14 203

Dampak Pemberian Kredit Pola Grameen Bank Terhadap Peningkatan Pendapatan Usaha Kecil Masyarakat Pesisir oleh Koperasi Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina di Kabupaten Tuban

0 5 7

Analisis Aplikasi Model Lembaga Keuangan mikro Dalam Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir di Kabupaten Cirebon

0 4 91

Prospek Pemasaran dan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon

0 29 87

Peranan Koperasi Baruna sebagai Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP) dalam Peningkatan Kesejahteraan Nelayan di Kawasan Minapolitan Pengambengan, Jembrana.

0 0 15

PERANAN LEMBAGA PENGEMBANGAN PESISIR MIKRO “MITRA MINA” DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI SUMATERA BARAT | Zamzami | Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship 2830 3396 1 PB

0 0 8

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN DI KABUPATEN PASURUAN: KAJIAN PENGEMBANGAN MODEL PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA MANUSIA DI WILAYAH PESISIR PANTAI

0 3 8

STRATEGI PEMBERDAYAAN NELAYAN OLEH LEMBAGA EKONOMI PENGEMBANGAN PESISIR MIKRO MITRA MINA (LEPP M3) DI KABUPATEN PASURUAN

0 0 19