Prospek Pemasaran dan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon

(1)

PROSPEK PEMASARAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN

MIKRO ”SWAMITRA MINA”

DI KABUPATEN CIREBON

DARMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PROSPEK PEMASARAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO ”SWAMITRA MINA”

DI KABUPATEN CIREBON

DARMAWAN

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

pada Program Magister Profesional Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008


(3)

ABSTRACT

DARMAWAN (F052050125). Marketing Prospect and Development Strategy of Micro Financial Institution of Swamitra Mina in Kabupaten Cirebon.

Supervisor by Musa Hubeis as chairman and Budi Purwanto as a member.

The research aimed to study performance of PEMP (Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir). Both two models LKM (Lembaga Keuangan Mikro) and non LKM have been evaluated in marketing aspect, expansion strategy, institutional and perception of KMP (Kelompok Masyarakat Pesisir), and impact of program to the level of earnings of coastal area communities. Objectives at research including : (1) to study marketing system of LKM Swamitra Mina to know from KMP of how far they can exploit available product or facilities; (2) to identify external factor (Opportunities and Threats) and internal factor (Strengths and Weaknesses) that can influence business of LKM Swamitra Mina; (3) to formulate strategy of LKM Swamitra Mina to expand their business..

The analysis method of this study are 1) the descriptive method was used in collecting the data of LKM Swamitra Mina profile and DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan); they are market prospect, financial statement, volume of trading, earnings and cost, 2) Analysis of SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) and Internal – External (IE) matrix, 3) visualization data in the radar and bar chart.

The result of institutional analysis on LKM and non LKM showed that the management on LKM was run professionally compared to non-LKM. The standpoint of increasing the economy of coastal society on LKM is through bankable finance institution. On the other hand non-LKM is treated as grant; the status of LKM is a cooperation since 2004 while non-LKM is society-built.

Based on the SWOT analysis, LKM Swamitra Mina is prospective and potencial micro finance institution in Kabupeten Cirebon. The most appropriate strategy is focus on marketing strategy through socialization and create any programs to help customer.


(4)

RINGKASAN

DARMAWAN (F052050125) Prospek Pemasaran dan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh Musa Hubeis sebagai ketua dan Budi Purwanto sebagai anggota.

Pendekatan pemerintah untuk membangun keuangan pedesaan berjalan di dua sisi. Di satu sisi, sejak tahun 1970 pemerintah secara aktif campur tangan dalam menentukan pasar keuangan dengan menciptakan berbagai program pinjaman keuangan. Dimulai dengan Bimas (Bimbingan Massal), sebuah program intensifikasi padi dimana komponen kredit dimulai pada tahun 1972 yang diikuti dengan program intensifikasi untuk komoditi lain dan juga berbagai sektor pertanian terkait. Di sisi lain koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 60-an hingga tahun 70-an, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian, terutama pupuk dengan membantu pemasaran yang berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian.

Perkembangan koperasi pertanian ke depan lebih fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil, oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan yang menekankan kepada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam seperti yang dilakukan oleh KUD bahwa simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup koperasi, sedangkan pada subsektor perdagangan umum misalnya, 80 % usaha perdagangan eceran yang tidak berbadan hukum diwakili oleh 5,2 juta unit usaha yang hanya memiliki omset Rp 5 juta/tahun sehingga usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini benar-benar berskala gurem dan dimasukan dalam program penanggulangan kemiskinan . Untuk itu pemerintah melakukan dua pendekatan yaitu pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa harus diberlakukan sebagai usaha mikro yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sedangkan yang kedua yaitu sebagai rumah tangga konsumen, dimana setiap pendapatan dan pengeluaran masyarakat yang belum melampui batas garis kemiskinan harus diberlakukan sebagai penduduk miskin yang harus ditingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas terbsebut. Bertitik tolak dari sini lahir Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang bergerak di bidang pembiayaan usaha mikro oleh karena itu perlu dipahami secara baik berbagai aspek LKM dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam.

Penelitian ini secara keseluruhan bertujuan untuk mengkaji kinerja Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir (PEMP) dengan model LKM atau model non LKM ditinjau dari aspek pemasaran, strategi pengembangan, kelembagaan dan persepsi Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) serta pengaruh program PEMP terhadap tingkat pendapatan masyarakat pesisir, akan


(5)

tetapi secara khusus penelitian difokuskan kepada LKM Swamitra Mina melalui beberapa perumusan masalah seperti : (1), Prospek pemasaran LKM Swamitra Mina di Kab. Cirebon, (2), Dilihat dari faktor eksternal dan internal apa saja yang diperlukan dalam penyusunan strategi pengembangannya, (3), Bentuk strategi pengembangan bagaimana yang diperlukan oleh LKM Swamitra Mina.

Tujuan penelitian adalah (1), Mengkaji sistem pemasaran LKM Swamitra Mina untuk mengetahui dari KMP seberapa jauh dapat memanfaatkan produk atau fasilitas-fasilitas yang tersedia; (2), Mengidentifikasi faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan internal (kekuatan dan kelemahan) yang berpengaruh terhadap maju mundurnya LKM Swamitra Mina; (3), Menyusun strategi pengembangan LKM Swamitra Mina. Hasil identifikasi faktor eksternal dan internal dirumuskan dengan menggunakan analisis SWOT untuk mendapatkan beberapa alternatif strategi.

Dari analisa kelembagaan pada LKM dan non LKM didapatkan hasil bahwa LKM, manajerial dikelola secara profesional dibandingkan dengan non LKM, pada LKM telah terbentuk pandangan dan sikap dalam rangka mendorong perekonomian masyarakat pesisir melalui keuangan yang bankable sedangkan pada non LKM seperti dana hibah, pada LKM status lembaga telah berbadan hukum sejak tahun 2004 dengan bentuk koperasi dan memiliki usaha LKM sedangkan non LKM merupakan bentukan masyarakat dan tidak berbadan hukum. Sebagai ilustrasi dana Ekonomi Produktif yang diterima oleh LKM Swamitra Mina pada tahun 2004 sebesar Rp 435,85 juta dengan kelompok pemanfaat 240 orang sedangkan pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 23,16 % dibanding tahun sebelumnya dengan kelompok pemanfaat 382 orang. Pada data keuangan terdapat kenaikan simpanan pada Desember 2005 sebesar Rp 114,30 juta menjadi Rp 187 juta pada Desember 2006, naik sekitar 64 % sedangkan pada simpanan berjangka pada Desember 2006 mengalami penurunan dari 80 % sampai 55 % sebagai contoh Januari dan Desember 2005 sebesar Rp 22 juta turun menjadi 4,5 juta dan Rp 49 juta turun menjadi Rp 22 juta.

Hasil kuesioner yang disebar kepada 19 kelompok pemanfaat, dimana setiap kelompok diwakili oleh 1 orang (ketua kelompok) dan digambarkan dalam matriks SWOT untuk mengetahui prospek pemasaran dan strategi pengembangan LKM Swamitra Mina, sedangkan diagram radar membandingkan analisis pemasaran di LKM Swamitra Mina secara eksternal dan internal, disamping dapat mengukur rasio keuangan sebagai bukti kinerja pemasaran.


(6)

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPS), Institut Pertanian Bogor (IPB) dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa laporan akhir ini tidak akan tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA, selaku ketua Komisi Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian laporan akhir.

2. Bapak Ir. Budi Purwanto, ME, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah mengorbankan waktu dan pikirannya dalam melaksanakan bimbingan dan memberikan perhatian penuh dalam penyusunan laporan akhir ini.

3. Bapak Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS sebagai dosen penguji ujian tesis atas masukannya.

4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah membantu dan membuka cakrawala dan wawasan untuk menggali informasi lebih mendalam dalam proses penyampaian materi studi.

5. Istri, anak-anak dan seluruh keluarga tercinta yang selalu memberikan do’a restu, dukungan dan semangat.

6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan akhir ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun akan diterima bagi perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang.


(7)

Penulis


(8)

R I W A Y A T H I D U P

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 24 Juni 1962 dari ayah Soetarman Wiranegara dan ibu Hj. Anis Rukmanah Wiriatmadja. Penulis merupakan putra ke empat dari lima bersaudara. Pendidikan Diploma III ditempuh di Jurusan Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Jakarta, lulus pada tahun 1985, sedangkan gelar Sarjana Ilmu Sosial ditempuh di Jurusan Ilmu Administrasi Niaga pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala, Jakarta.

Penulis bekerja di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, sejak tahun 1984 sebagai pegawai trainee pada Bagian Pemasaran. Pada tahun 1985 diangkat sebagai pegawai tetap dan ditempatkan di Divisi Dana sebagai tenaga Pelaksana Administrasi sampai tahun 1987.

Pada tahun 1988 penulis diberikan kesempatan mengikuti Pendidikan Supervisi Perbankan Umum selama satu tahun dan pada tahun 1990 penulis diangkat sebagai tenaga Pelaksana Madya.

Pada tahun 1995 penulis menjabat sebagai Kepala Bagian Penyelesaian Transaksi di Divisi Tresuri, dua tahun kemudian penulis diberi kepercayaan sebagai Supervisor Kontrol Internal untuk sektor Internasional dan Tresuri dan pada tahun 1999 melalui SK. Pemimpin Divisi Treasury, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, penulis dipercaya memimpin Tim Penyelesaian Rekening Penampungan lalu tahun 2004 penulis pindah ke Divisi Kepatuhan sebagai Manajer sampai dengan tahun 2006, sejak pertengahan tahun 2006 sampai sekarang penulis bertugas di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Kantor Wilayah Palembang dengan pangkat Assistant Vice President dan menjabat sebagai Operational Group Head dengan wilayah supervisi meliputi; Propinsi Sumsel, Propinsi Lampung, Propinsi Jambi, Propinsi Bangka Belitung dan Propinsi Bengkulu.

Penulis masuk Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Industri Kecil Menengah pada bulan Desember tahun 2006 (Angkatan 6).


(9)

S U R A T P E R N Y A T A A N

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul: Prospek Pemasaran dan Kajian Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.

Bogor, Juli 2008

Darmawan NRP. F052050025


(10)

DAFTAR ISI Halama n ABSTRACT... .. iv RINGKASAN... .. v KATA PENGANTAR... x DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masalah………...

1 B. Perumusan Masalah……...………..

C. Tujuan ………...……….. 6 6 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro ...

7 B. Koperasi Petani dan

Nelayan ...

8 C. Perkembangan dan Modal

LKM ...

9 D.

Pemasaran ...

12 E. Strategi

Pengembangan ...

13

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan

Waktu ...

16 B. Pengumpulan

Data ...

16


(11)

... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi

Umum………...……... 24

1. Keadaan Umum Kabupaten Cirebon ...

24 2. LKM Swamitra

Mina...

28 B. Deskripsi Hasil

Studi ...

31 1. Analisis Kelembagaan non LKM dan

LKM ...

32 2. Analisis Rasio

Keuangan ...

38 3. Analisis Strategi

Pemasaran ...

48

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... ...

63 Saran...

..

64

DAFTAR

PUSTAKA...

66

LAMPIRAN... ..

68

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Beberapa indikator perkembangan LKM...

8

2 Matriks

SWOT ...

19

3 Matriks

EFAS ...

21

4 Matriks

IFAS ...

21

5 Jumlah RTP dan

RTBP ...


(12)

6 Jumlah erahu dan kapal motor Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 ... .

25

7 Produktivitas menurut jenis alat tangkap Kabupaten Cirebon pada tahun

2004 ...

25

8 Potensi dan pemanfaatan tambak Kabupaten Cirebon 2004 ... 26 9 Indikator kelembagaan

koperasi ...

35

10 Indikator pengelolaan LKM dan non LKM...

36

11 Indikator kapasitas

pemanfaat ...

38

12 Data program PEMP Kabupaten Cirebon TA. 2000-2005...

39

13 Data kelompok masyarakat pemanfaat di Kec. Mundu...

39

14 Angsuran dari awal pinjaman s/d Desember 2006... 40 15 Kinerja keuangan Non LKM berdasarkan beberapa rasio

keuangan, Tahun 2004-2006 (per 31 Desember)...

41

16 Laporan keuangan LKM Swamitra Mina Kec. Gebang tahun 2005

44

17 Laporan keuangan LKM Swamitra Mina Kec. Gebang tahun 2006

45

18 Kinerja keuangan LKM Swamitra Mina berdasarkan beberapa rasio-rasio keuangan pada tahun 2005-2006 (per 31

Desember)....

46

19 Matriks

IFE...

53

20 Matriks

EFE...

54


(13)

DAFTAR GAMBAR

.

SWOT...

No. Halaman

1 Matriks

IE ...

10

2 Diagram

SWOT ………...

12

3 Diagram Radar rasio

keuangan...

58

4 Diagram Radar rasio total modal terhadap simpanan...

59

5 Diagram Batang struktur modal, BOPO dan ROE...

59

6 Diagram Batang jumlah pinjaman yang disalurkan dan simpanan pada LKM dan Non

LKM...

60

7 Diagram Batang jumlah peminjam dan penabung pada LKM dan non

LKM...


(14)

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Kuesioner

penelitian...

65

2 Pengisian Matriks berpasangan faktor internal dan eksternal...


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki satu abad sejarah panjang dalam keuangan mikro, bila dihitung dari masa penjajahan Belanda. Pada masa tersebut, lembaga keuangan mikro (LKM) muncul diawali oleh kegiatan masyarakat pedesaan dengan cara konvensional, yaitu lumbung padi. Lumbung padi adalah cara penghimpunan padi dari setiap petani di pedesaan yang dikumpulkan menjadi satu dan dapat diambil ketika musim paceklik atau untuk keperluan pembeliaan alat-alat tani. Lumbung padi juga sering disebut lumbung desa yang bertempat di kantor kepala desa. Dalam perkembangannya, hingga saat ini terdapat berbagai bentuk formal, semi formal dan informal dari LKM. Sering kali LKM tersebut bercampur dengan program subsidi pemerintah yang berhubungan dengan pembangunan sektor pertanian yang bertujuan mengurangi kemiskinan.

Pendekatan pemerintah untuk membangun keuangan pedesaan berjalan di dua sisi. Di satu sisi, sejak tahun 1970 pemerintah secara aktif campur tangan dalam menentukan pasar keuangan dengan menciptakan berbagai program pinjaman dengan persyaratan yang telah diatur untuk setiap kebutuhan yang terlihat penting. Hal ini dimulai dengan Bimbingan Massal

(Bimas), sebuah program intensifikasi padi, dimana komponen kredit dimulai pada tahun 1972, yang diikuti dengan program intensifikasi untuk komoditi lain dan juga berbagai sektor pertanian terkait (BPS, 1999). Peraturan perbankan pada tahun 1996 telah mengurangi subsidi hanya untuk beberapa program yang mendukung pengembangan koperasi, menjaga stok pangan dan swasembada pangan, serta pengembangan wilayah Indonesia Timur, meskipun demikian, tekanan terhadap penyediaan program bantuan pinjaman tetap berlangsung, terutama untuk alasan politik (Bukopin 2005). Besarnya jumlah hutang-hutang bermasalah dan penyalahgunaan dana selama periode Bimas Tahun 1973-1983 telah terulang kembali oleh penggantinya, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT).


(17)

Koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960-an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu, sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Hal tersebut melahirkan koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas yang ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama, yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis sebagai alat untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada beras (Bukopin, 2005).

Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru yang mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian, terutama pupuk, dengan membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian.

Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai “restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu, konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini, hampir di semua Koperasi Unit Desa (KUD), yaitu unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa


(18)

pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi.

Di subsektor perdagangan umum misalnya, 80% usaha perdagangan eceran yang tidak berbadan hukum diwakili oleh 5,2 juta unit usaha hanya memiliki omset di bawah Rp. 5 juta/tahun, sehingga usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini benar-benar berskala gurem (SMERU, 2000). Program yang secara bersinggungan mencoba mengatasi masalah ini pada umumnya masih dikaitkan dengan program penanggulangan kemiskinan. Untuk tidak mencampuradukan permasalahan, maka tawaran pendekatan yang dapat dimanfaatkan adalah melihat sisi kehidupan masyarakat ini dari dua sisi, yaitu pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa harus diperlakukan sebagai usaha mikro, sehingga tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas dan kapasitas produktifnya; Kedua, sebagai rumah tangga konsumen setiap pendapatan/pengeluaran masyarakat yang masih belum melampaui batas garis kemiskinan harus diperlakukan sebagai penduduk miskin yang harus ditingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas tersebut (DKP, 2006).

Untuk mendorong usaha mikro disadari bahwa modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau adalah sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari keberadaan lembaga keuangan yang hadir di tengah masyarakat.

Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidakberdayaan inilah yang menjadi alasan penting, mengapa LKM yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro menempati tempat sangat strategis. Oleh karena itu, perlu dipahami secara baik berbagai aspek LKM dengan segmen-segmen pasar yang


(19)

masih sangat beragam, disamping hal-hal lainnya yang masing-masing terkotak-kotak.

Menurut Yusuf (1999), LKM di Indonesia telah membuktikan bahwa : a. Tumbuh dan berkembang di masyarakat, serta melayani UKM.

b. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM). c. Mandiri dan mengakar di masyarakat.

d. Jumlah cukup banyak dan penyebarannya meluas.

e. Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota dan masyarakat.

f. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotannya (tanpa agunan).

g. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak dapat dijangkau oleh kelompok miskin.

h. Mengurangi berkembangnya pelepas uang (informal money lenders). i. Membantu menggerakan usaha produktif masyarakat.

j. LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat, sehingga setiap surplus yang dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.

Keunggulan di atas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil, karena merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh UKM, terutama usaha mikro. Pelajaran Bank Rakyat Indonesia (BRI)-Unit sebagai LKM telah memberikan pelayanan sampai ke pelosok tanah air dengan tingkat bunga pasar dan tidak memerlukan subsidi. Disamping itu, secara empiris tingkat pengembalian baik, mutu pelayanan lebih penting, mengenal dan pendekatan kelompok juga terbukti efektif sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan risiko dalam penyaluran.

LKM lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lembaga keuangan syariah yang penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank Muamalat) dan bank lain serta Bank Perkreditan Rakyat-Syariah (BPR-S), sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) di bawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK),


(20)

Baitul Tamwil (BTM) yang dikembangkan oleh Baitul Mal Muhammadiyah dan Koperasi Syirkah Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana mengkaji prospek pemasaran LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon dilihat dari rasio keuangan ?

2. Faktor internal dan eksternal apakah yang diperlukan dalam penyusunan strategi pengembangan LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon ? 3. Bentuk strategi pengembangan bagaimanakah yang diperlukan oleh LKM

Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon ?

C. Tujuan

1. Mengkaji sistem pemasaran LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal dari LKM Swamitra

Mina di Kabupaten Cirebon.

3. Menyusun strategi pengembangan LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro

Untuk mendukung pengembangan usaha skala kecil, pemerintah menyediakan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen

(KMKP) sejak tahun 1977 melalui bank-bank komersial. Untuk golongan usaha kecil, Kredit Candak Kulak telah disalurkan melalui KUD, yang sebagian besar dialokasikan untuk perdagangan skala kecil, sementara untuk kegiatan selain pertanian Kredit Mini dan Kredit Midi tersedia di BRI unit desa. Semua sistem ini disubsidi, dengan menerapkan suku bunga di bawah rata-rata pasar (kebanyakan sekitar 12%), dan didanai oleh pemerintah atau Bank Indonesia dengan bunga 3% per tahun. Pada era ini, sebuah kantor cabang BRI memiliki 126 program kredit dengan kondisi dan persyaratan dan pelaporan berbeda (Chaves and Vega, 2003).

Program besar selanjutnya yang diperkenalkan adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) antara Tahun 1993-1996, Pembangunan Keluarga Sejahtera

(PKS) pada Tahun 1996-1997 dan KUT yang mencapai puncaknya pada tahun 1998. IDT menyalurkan dana bergulir Rp. 20 juta setiap tahun untuk setiap desa melalui kelompok masyarakat (Pokmas) untuk mendanai kegiatan-kegiatan ekonomi produktif (Masyhuri, 1999). Pokmas bebas menentukan kondisi-kondisi penyaluran dana ke anggotanya.

Pada Maret 1997 sekitar 120.000 pokmas telah terbentuk dan sekitar 3 (tiga) juta rumah tangga telah menerima dana dengan besar rataan Rp. 200.000. PKS dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), didanai dari mobilisasi pungutan 2% dari pendapatan-pendapatan yang lebih dari Rp 100 juta dan dikelola oleh sebuah yayasan dibentuk oleh mantan Presiden Soeharto. Setiap penerima bantuan, dimana perempuan diklasifikasikan ke dalam keluarga yang kurang makmur, mendapatkan hibah Rp 2.000 untuk memulai dan mengisi sebuah rekening penyimpanan, yang dinamai pinjaman Kredit Usaha Kecil Kesejahteraan Rakyat (Kukesra) setelah dana tersebut terkumpul Rp. 25.000. Pada tahun pertama implementasi,


(22)

program PKS menyatakan telah mencapai 9,8 juta kepala keluarga pada April 1997. Program yang terbaru adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk mengurangi dampak dari krisis moneter pada tahun 1999-1999, yang telah mendapatkan kritikan dan terjadi demonstrasi mahasiswa sehubungan dengan salah penggalokasian (missallocation) dana di berbagai lokasi (Ismawan dan Budiantoro, 2005).

Perkembangan bentuk dari lembaga-lembaga tersebut, jumlah dari lembaga keuangan mikro di Indonesia per Desember 2005, terdiri dari 3.916 BRI unit, 5.345 Badan Keuangan Desa (BKD), 2.148 BPR (non BKD), 2,272 Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), 264 pegadaian dan 1.146 koperasi kredit, serta 35.218 unit simpan pinjam (Tabel 1).

Tabel 1. Beberapa indikator perkembangan LKM

No Jenis LKM Jumlah (Unit)

Simpan-an (Rp-miliar)

Penyim-pan (juta

rek)

Pinjaman (Rp miliar)

Jumlah Pemin-jam (juta

rek)

Rataan Pinjaman (Rp juta)

1 BPR 2.148 9.254,00 5,61 9.431,00 2,40 3,93 2 BRI Unit 3.916 27.429,00 29,87 14.182,00 3,10 4,57 3 Badan Kredit Desa 5.345 0,38 0,48 0,20 0,40 0,00

4 KSP 1.097 85,00 dtd 531,00 0,67 0,79

5 USP 35.218 1.157,00 dtd 3.629,00 dtd dtd

6 LDKP 2.272 334,00 dtd 358,00 1,30 0,27

7 Pegadaian 264 - - 157,70 0,02 9,34

8 BMT 3.038 209,00 dtd 157,00 1,20 0,13

9 Credit Union & NGO 1.146 188,01 0,29 505,73 0,40 1,27

Total 54.444 38.656,39 36,25 28.951,00 9,48 3,05 Sumber : Ismawan dan Budiantoro , 2005.

dtd = data tidak tersedia

Untuk BKD, sejak terdaftar menjadi BPR, pengawasan secara formal dilakukan oleh Bank Indonesia. Namun, karena kurangnya pegawai dan menimbang pengalaman panjang BRI dalam mensupervisi cabang-cabangnya, Bank Indonesia telah mendelegasikan tugasnya kepada BRI untuk mendampingi dengan dukungan keuangan penuh. Pegadaian diatur sebagai satu kesatuan dengan pemerintah dan berada di bawah supervisi Menteri Keuangan. Koperasi dan unit simpan pinjam diatur di bawah peraturan


(23)

koperasi dan berada dibawah supervisi Menteri Koperasi dan Pengembangan Usaha Kecil-Menengah (Menkop dan UKM) (Ismawan dan Budiantoro, 2005)

Koperasi Petani dan Nelayan

KUD sebagai koperasi berbasis wilayah pada era reformasi jumlahnya mencapai 8.620 unit (Departemen Koperasi dan UKM, 2001). Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 pada tahun 2002, KUD hanya 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mewakili 43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada tahun 2001 lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi (92% atau 7.931 unit). KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege

khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rataan anggota terbesar. Pada tahun 2004 jumlah koperasi sudah mencapai 116.000 unit (Menegkop dan UKM, 2004).

Problematika sektor pertanian di Indonesia akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian di masa depan, yaitu kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang memadai telah menyebabkan terancamnya regenerasi, sehingga kegiatan pertanian menurun berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas. Hal ini pula yang menyebabkan permintaan akan produk LKM melemah. Bukti empiris di dunia mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas (Shankar and Conan, 2002).

Kekuatan utama Koperasi Nelayan terletak pada kekuatan monopoli penguasaan tempat pendaratan ikan dan pelelangan oleh pemerintah, maka masa depannya ditentukan oleh kebijakan daerah bersangkutan. Pemerintah daerah juga berpotensi untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun


(24)

pendaratan baru. Dengan pengorganisasian atas dasar kesamaan tempat pendaratan, maka pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari nelayan tangkap menjadi nelayan budidaya, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Kanada, Korea Selatan dan Eropa dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut (DKP, 2006).

Perkembangan dan Model LKM

Sebagaimana dimaklumi, 97% usaha kecil di Indonesia memiliki omset di bawah Rp. 50 Juta/tahun, meskipun batas atas omset usaha kecil adalah Rp. 1 Miliar. Pada dasarnya, jika Indonesia ingin menjangkau usaha kecil, terutama usaha kecil-kecil atau usaha mikro tersebut secara khusus perlu diarahkan perhatiannya pada kelompok ini, karena mewakili lebih dari 33 juta pelaku usaha. Sampai saat ini hampir belum terlihat adanya program khusus pemberdayaan usaha mikro, padahal lapisan inilah penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Dalam setiap usaha pemberdayaan usaha kecil ada tiga aspek penting yang perlu dikembangkan, yaitu pertama, lingkungan kondusif dan sistem administrasi pemerintahan yang mendukung; kedua, dukungan non finansial berupa jasa perkreditan; dan ketiga, dukungan finansial yang khusus ditujukan bagi usaha kecil (Syukur, 2001).

Menurut Syukur (2001), usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan kemampuan permodalan rendah. Akses UKM terhadap lembaga keuangan formal rendah, sehingga hanya 12% UKM yang memperoleh akses terhadap kredit bank karena :

a. Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM. b. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya risiko kredit UKM. c. Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi.

d. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan dan proposal). e. Terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan ekuitas.


(25)

f. Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien.

g. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri, sehingga biaya pelayanan UKM menjadi mahal.

h. Bank pada umumnya belum terbiasa dalam pembiayaan kepada UKM. Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial, sehingga menyebabkan UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya.

Kredit mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksananya juga bermacam-macam bila ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaan-perbedaan ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju. Meskipun latar belakang program pengenalannya sangat terkait dengan munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap mempunyai universalitas sebagai penyedia jasa keuangan bagi usaha mikro dan kecil (Ismawan dan Budiantoro, 2005).

Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat dilihat dari segi ”permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai kelompok sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat terkait dengan penggunaan kredit. Pendekatan ini sekaligus untuk memahami dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat (Ismawan dan Budiantoro, 2005).

Pada dasarnya, kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan, yaitu kredit produktif dan konsumtif. Untuk melihat sejauh mana sektor-sektor ekonomi produktif memberikan tanda adanya permintaan pasar yang kuat perlu dikaji struktur ekonomi masing-masing sektor berdasarkan atas pelaku usaha, disamping itu kaitannya dengan sasaran ekspor dan tersedianya dana sendiri oleh pelaku usaha. Ciri pasar kredit mikro adalah kecepatan pelayanan


(26)

dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro (Ismawan dan Budiantoro, 2005).

Berdasarkan nilai kredit besarnya kredit yang tergolong ke dalam kredit mikro lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/ nasabah. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan internasional kredit mikro dapat mencapai maksimum US$ 1.000,-. Di Thailand baru dalam taraf pilot project oleh Bank for Agriculture Cooperative

(BAC) menetapkan kredit mikro adalah kredit dengan jumlah maksimum Bath 100.000/nasabah atau setara dengan US$ 2.500,-. Dengan demikian, kredit mikro pada dasarnya menjangkau pengusaha kecil lapis bawah yang memiliki usaha dengan perputaran cepat (Ismawan dan Budiantoro, 2005).

Lembaga perkreditan mikro di Indonesia pada dasarnya ada dua kelompok besar, yakni pertama, bank seperti BRI unit dan BPR yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan kelompok yang kedua adalah koperasi, baik koperasi simpan pinjam yang khusus melayani jasa keuangan maupun unit usaha simpan pinjam dalam berbagai macam koperasi. Disamping itu terdapat LKM lain yang diperkenalkan oleh berbagai lembaga, baik pemerintahan seperti seperti Lembaga Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan dan lain-lain, maupun swasta/ lembaga non pemerintah seperti yayasan, LSM, dan LKM lainnya termasuk lembaga keagamaan (Yusuf, 1999).

Pemasaran

Konsep dari pemasaran telah berkembang, bukan hanya sejedar menjual atau beriklan melainkan ”memuaskan kebutuhan pelanggan”. Jika pemasar memahami kebutuhan pelanggan dengan baik; mengembangkan produk yang mempunyai nilai superior; dan menetapkan harga, mendistribusikan, dan mempromosikan produknys dengan efektif, maka produk (barang atau jasa) akan terjual dengan mudah. Jadi, sebenarnya penjualan dan periklanan hanyalah bagian dari bauran pemasaran (marketing mix) yang lebih besar-satu set perangkat pemasaran yang bekerja bersama-sama untuk mempengaruhi pasar (Kotler dan Amstrong, 1999).


(27)

Lebih lanjut, Kotler dan Amstrong (1999) menjelaskan bahwa pemasaran didefinisikan sebagai suatu proses sosial dan manajerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang dibutuhkan dan inginkan, lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain. Konsep pemasaran (marketing concept) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi tergantung pada penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran (target market) dan memuaskan pelanggan secara lebih efektif dan efisien daripada yang dilakukan oleh pesaing.

Strategi Pengembangan

Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pencapaian sasaran suatu organisasi atau perusahaan, untuk itu pengelola organisasi harus dapat mengantisipasi perubahan lingkungan yang sangat cepat dewasa ini dan dapat menetapkan alternatif kebijakan yang akan diambil dalam rangka penyesuaian dengan perubahan lingkungan tersebut. Dalam menghadapi perubahan yang dihadapi maka seorang manajer strategi harus melakukan analisa yang dalam terhadap semua sumber daya organisasi. Perubahan lingkungan juga akan dihadapi oleh instansi pemerintahan sehingga memaksa mereka untuk dapat melakukan penyesuaian dalam rangka menghadapi perubahan tersebut.

Menurut Jauch dan Glueck (1988), strategi merupakan suatu rencana yang dipadukan secara menyeluruh dan terpadu dengan mengkaitkan keunggulan strategi perusahaan terhadap tantangan lingkungan yang dirancang sesuai dengan lingkungan, agar tujuan perusahaan dapat tercapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan. Selanjutnya Jauch dan Glueck (1988) mengatakan untuk menentukan strategi maka perlu analisis lingkungan. Analisis lingkungan adalah suatu proses yang digunakan dalam perencanaan strategik dalam upaya memantau sektor lingkungan untuk menentukan peluang dan ancaman terhadap usaha.

Purnomo dan Zulkieflimansyah (1999) merinci beberapa manfaat dari manajemen strategi, yaitu :


(28)

2. Membantu proses identifikasi, pemilihan prioritas, dan eksploitasi

3. Memberikan kerangka kerja sehingga dapat meningkatkan koordinasi dan pengendalian

4. Mengarahkan dan membentuk budaya perusahaan 5. Kebijakan yang diambil akan taat azas

6. Mengintegrasikan perilaku individu ke dalam perilaku kolektif 7. Meminimalkan adanya resiko karena adanya perubahan 8. Menciptakan kerangka kerja dalam komunikasi internal 9. Memberikan disiplin dan formalitas manajemen

Tahap kegiatan manajemen strategi menurut Wheelen dan Hunger (2000) mencakup empat tahap, yaitu :

1. Environmental scanning, yaitu melakukan monitoring, menghimpun dan evaluasi terhadap faktor-faktor lingkungan internal dan lingkungan eksternal yang mempengaruhi perusahaan atau organisasi.

2. Formulasi strategi, yaitu menyusun suatu perencanaan dengan prinsip manajemen yang efektif berdasarkan analisa terhadap ancaman dan peluang, kemudian meminimalkan ancaman dan memanfaatkan peluang. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap kekuatan dan kelemahan dan berupaya seoptimal mungkin untuk memanfaatkan kekuatan, serta mengeliminir kelemahan. Dalam kegiatan ini termasuk mendefinisikan misi perusahaan, menetapkan tujuan yang spesifik, menyusun strategi dan menciptakan kebijakan yang dapat mendukung pencapaian sasaran.

3. Implementasi strategi, yaitu dalam hal ini strategi dan kebijakan yang dibuat kemudian dijabarkan ke dalam suatu program, anggaran pendanaan dan membuat uraian tugas.

4. Evaluasi dan kontrol, yang merupakan kegiatan monitoring terhadap pelaksanaan dan melakukan tindakan korektif, bila ditemukan penyimpangan.

Dari hasil analisis lingkungan dapat ditentukan formulasi strategi, yaitu merupakan cara atau arah suatu perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Certo dan Peter dalam Purnomo dan


(29)

Zulkieflimansyah (1999), bahwa sebelum menentukan formulasi strategi, maka beberapa pertanyaaan mendasar yang harus dijawab oleh manajer perusahaan, dimana pertanyaaan tersebut harus mampu menyediakan kerangka umum untuk menganalisa situasi perusahaan-perusahaan secara obyektif agar dapat menentukan formulasi strategi yang efektif.

III. METODE KAJIAN

Lokasi dan Waktu

Tugas akhir ini dilaksanakan di Kabupaten Cirebon sebagai penerima PEMP selama 5 tahun dan terdapat dua pola, yaitu menggunakan LKM dan Non LKM.

Kajian ini dilakukan pada bulan November 2007 hingga Februari 2008, dengan kegiatan meliputi pengumpulan dan pengolahan data, kajian pustaka, penelitian lapangan, penulisan laporan dan konsultasi dengan pembimbing.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pengelola Koperasi Lembaga Ekonomi Pedesaan (LEP-M3) dan LKM, serta wawancara kepada nasabah. Data primer mencakup data internal Koperasi dan LKM seperti laporan keuangan, kondisi nasabah, perkembangan LKM dari awal sampai sekarang dan strategi pengelolaan. Data nasabah didapatkan melalui alat bantu kuesioner (Lampiran 1) berupa keadaan nasabah, pendapatan, tingkat kesejahteraan, keadaan usaha kecil dan kesempatan berusaha. Jumlah nasabah peminjam sebanyak 18 orang akan dijadikan contoh yang merupakan perwakilan (ketua kelompok) dari kelompok nelayan pemanfaat.

Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai buku dan literatur yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas dan bermanfaat sebagai data aktual, karena merupakan pengalaman langsung dari praktisi, tetapi tidak langsung dapat


(30)

dijadikan sebagai tolok ukur. Data sekunder lainnya berupa laporan dari koperasi dan LKM, diantaranya posisi kredit koperasi dan LKM, khususnya kredit mikro. Jenis data yang dimaksud mencakup :

1. Data umum seperti potensi usaha kecil perikanan Kabupaten Cirebon yang meliputi lokasi, kondisi fisik, komposisi nasabah, rataan pendapatan dan lama berusaha.

2. Data tentang pandangan terhadap perbankan, faktor pendukung atau penghambat bagi akses nasabah pada LKM swamitra Mina di Kabupaten Cirebon.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dan analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif (tabulasi keuangan) dan kualitatif (analisis pemasaran dan strategi pengembangan)

Hal – hal yang dilakukan dalam analisis ini adalah :

a. Karakteristik LKM Swamitra Mina.

Kajian ini dilakukan untuk menentukan hal-hal berikut : 1. Bentuk model LKM yang ada.

2. Sektor ekonomi/usaha yang ditekuni oleh peminjam.

3. Pola kebutuhan akan pinjaman. Informasi ini akan menjelaskan waktu kapan mulai dibutuhkannya pinjaman.

b. Analisis Lingkungan Pemasaran

Lingkungan pemasaran terbagi atas lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan eksternal terdiri atas berbagai faktor ancaman dan peluang yang berada di luar kontrol LKM, sementara lingkungan internal terdiri atas berbagai faktor kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh LKM dan berada di dalam kontrol manajemen.

Lingkungan eksternal yang dominan terdiri dari lima faktor, yaitu (1) sosioekonomi yang terdiri dari data kondisi ekonomi, demografi dan sosial; (2) teknologi berupa tingkat kemajuan teknologi; (3) pemasok meliputi sistem pembelian dan harga bahan baku; (4) pesaing meliputi ancaman pendatang baru, daya tawar menawar pembeli dan persaingan dalam


(31)

industri; (5) pemerintah meliputi kebijakan pemerintah, dukungan sarana dan prasarana bagi perkembangan UKM.

Lingkungan internal yang dominan terdiri dari enam faktor, yaitu (a) Misi dan tujuan berupa data mengenai misi dan tujuan dari LKM; (b) Struktur organisasi meliputi data mengenai pola dan struktur organisasi; (c) Fasilitas dan kegiatan menghasilkan produk jasa; (d) SDM meliputi data mengenai jumlah karyawan dan kompetensi; (e) Sumber daya keuangan meliputi aspek permodalan; (f) Bauran pemasaran meliputi data produk, harga, distribusi dan promosi. Dalam analisis lingkungan pemasaran ini dibandingkan antara LKM Swamitra Mina dengan LKM Kecamatan Mundu.

c. Analisis Strategi Pengembangan

Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) dilakukan untuk merumuskan strategi yang perlu diimplementasikan. Analisis ini menggolongkan faktor-faktor lingkungan yang dihadapi oleh suatu perusahaan sebagai kombinasi dari faktor kelemahan (weaknesess) dan ancaman (threats), kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities).

Kekuatan merupakan sumber daya, keterampilan atau keunggulan-keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin dilayani oleh perusahaan. Kekuatan adalah kompetisi khusus (distinctive competence) yang memberikan keunggulan komparatif bagi perusahaan. Kekuatan dapat terkandung dalam sumber daya keuangan, citra, kepemimpinan pasar, hubungan pembeli dengan pemasok dan faktor-faktor lain (Pearce dan Robinson, 2001).

Kelemahan menurut Pearce dan Robinson (2001), merupakan keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan dan kemampuan yang dapat menghambat kinerja efektif perusahaan. Sumber-sumber kelemahan tersebut dapat meliputi fasilitas, Sumber-sumber daya keuangan, kemampuan manajemen, keterampilan pemasaran dan citra produk.

Peluang merupakan situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan industri (Pearce dan Robinson, 2001). Perkembangan trend


(32)

pasar yang terabaikan, perubahan situasi persaingan atau peraturan, perubahan teknologi, serta membaiknya hubungan antara pembeli dengan pemasok dapat memberikan peluang bagi perusahaan.

Ancaman merupakan suatu situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan industri. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi posisi perusahaan, misal masuknya pesaing baru, lambatnya pertumbuhan pasar, meningkatnya kekuatan tawar-menawar pembeli atau pemasok utama, perubahan teknologi dan peraturan baru yang direvisi dapat menjadi ancaman bagi keberhasilan perusahaan. Secara umum analisis SWOT dapat dijabarkan dalam Tabel 3.

Strategi pemasaran terdiri dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi manajemen untuk mencapai tujuan bisnis dan permasalahannya dalam sebuah pasar sasaran, bauran pemasaran dan alokasi pemasaran (Kotler, 2000).

Tabel 2. Matriks SWOT IFAS EFAS

Strengths (S) Faktor-faktor kekuatan

Weaknesses (W) Faktor-faktor

kelemahan

Opportunities (O) Faktor-faktor peluang

Strategi S-O (Strategi Agresif) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan

untuk memanfaatkan peluang

Strategi W-O (Strategi Diversifikasi) Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

Threats (T) Faktor – faktor

ancaman

Strategi S-T (Strategi Diferensiasi) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan

untuk memanfaatkan ancaman

Strategi W-T (Konsolidasi/Defensif) Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Sumber : Rangkuti, 2004

Keterangan : Internal Factor Analysis Summary(IFAS)

External Factor Analysis Summary(EFAS)

Data yang diperoleh diklasifikasikan secara kualitatif menurut analisis lingkungan internal untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan


(33)

LKM, serta analisis lingkungan eksternal untuk mengetahui peluang dan ancaman yang dihadapi LKM. Daftar peluang dan ancaman, serta kekuatan dan kelemahan tersebut harus dievaluasi. Untuk mengevaluasi peluang dan ancaman dapat digunakan matriks Evaluasi Faktor Strategi Eksternal atau EFAS dan untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan menggunakan matriks Evaluasi Faktor Strategi Internal atau IFAS (Rangkuti, 2004)

Evaluasi terhadap faktor strategi eksternal menggunakan matriks EFAS (Tabel 4). Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mengevaluasi berbagai faktor strategi eksternal yang mempengaruhi LKM. Langkah-langkah tersebut adalah :

1) Susunlah dalam kolom 1 (5-10 peluang dan ancaman).

2) Beri bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategik.

3) Hitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating +4, tetapi jika peluangnya kecil, diberi rating +1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya. Misalnya, jika nilai ancamannya sedikit, maka ratingnya 4.

4) Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).

5) Gunakan kolom 5 untuk memberi komentar atau catatan mengapa faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya.

6) Jumlahkan skor pembobotan (kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total


(34)

menunjukkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi pada faktor-faktor strategik eksternal. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama.

Total skor terbobot antara 1-4, nilai 1 pada matriks EFAS menunjukkan bahwa LKM tidak mampu memanfaatkan peluang untuk menghindari ancaman. Nilai 4 mengindikasikan bahwa LKM saat ini telah dengan sangat baik memanfaatkan peluang untuk menghadapi ancaman-ancaman yang ada. Nilai 2,5 menggambarkan kondisi LKM mampu merespon situasi eksternal secara rataan untuk matriks EFAS.

Evaluasi terhadap faktor strategi internal menggunakan matriks IFAS (Tabel 4). Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mengevaluasi berbagai faktor strategi internal yang mempengaruhi LKM. Langkah-langkah tersebut adalah : tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan perusahaan dalam kolom 1.

Tabel 3. Matrik EFAS

Faktor-Faktor Strategis Eksternal

Bobot (a)

Rating (b)

Nilai (c = a x b)

Komentar

A. Peluang: 1.

2.

Jumlah (A) B. Ancaman : 1.

2.

Jumlah (B) Total (A+B)

Tabel 4. Matrik IFAS

Faktor-Faktor Strategis Internal

Bobot (a)

Rating (b)

Nilai (c = a x b)

Komentar

A.Kekuatan 1.

2.


(35)

B. Kelemahan : 1.

2.

Jumlah (B) Total (A+B)

Matriks Internal-Eksternal (IE) mengindikasikan 9 sel strategi (Gambar 2), tetapi umumnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga strategi utama. Strategi tersebut adalah :

1) Strategi pertumbuhan (Growth Strategy), merupakan kondisi pertumbuhan perusahaan (sel 1, 2 dan 5) atau upaya diversifikasi (sel 7 dan 8).

2) Strategi Stabilitas (Stability Strategy) adalah strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang diterapkan dengan tanpa mengubah arah strategi yang telah diterapkan.

3) Strategi Penciutan (Retrenchment Strategy) adalah usaha untuk memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan perusahaan (sel 3, 6 dan 9).

Kuat Rataan Lemah

4,0 3,0 2,0 1,0

Tinggi

I II III

Sedang

IV V VI

VII VIII IX

d. Analisis Diagram Radar.

Diagram radar (spider chart) merupakan cara sederhana untuk menentukan apakah suatu sebab akibat terjadi di antara dua peubah.

Total Skor Faktor Internal

3,0

2,0

1,0

Gambar 1. Matriks IE (Rangkuti, 2004)

Total Skor Faktor Ekst

ernal


(36)

Diagram ini berguna untuk menunjukkan hubungan antara titik-titik yang dipetakan dan menggambarkan hubungan antara dua peubah. Diagram ini juga membantu memeriksa korelasi dari penyebab yang kontinu terhadap suatu karakteristik mutu. Diagram radar digunakan untuk membandingkan analisis pemasaran pada LKM Swamitra Mina. Hal lainnya digunakan untuk menunjukkan ukuran gap lima sampai sepuluh area kinerja organisasi. Gambar diagram ini menunjukkan kategori penting sebuah kinerja dan membuat konsentrasi yang nyata tentang kekuatan dan kelemahan.

Analisis pemasaran adalah menganalisis bagian-bagian secara terperinci pada harga (price), produk (product), tempat (place), promosi (promotion), SDM (personality) dan fisik (physical). Hasil akhir dari diagram radar dapat menunjukkan bagaimana sebuah tim dapat terevaluasi dalam angka kinerja organisasi dalam bentuk sebuah gambar kinerja.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Umum

1. Keadaan umum Kabupaten Cirebon

Kabupaten ini merupakan Kabupaten di pantai utara Jawa Barat yang terdekat di bagian paling Timur. Kabupaten ini terletak antara 108º32’-108º49’ BT dan 6º00’-7º00’ LS. Sebelah utara dibatasi Kota Cirebon dan Laut Jawa, sebelah timur dibatasi Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, sebelah Selatan dibatasi Kabupaten Kuningan, sebelah Barat dibatasi Kabupaten Majalengka dan Indramayu.

Konsentrasi kegiatan kelautan ada di 7 Kecamatan, yaitu Kapetakan, Cirebon Utara, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang, dan Losari. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) mencapai 4.602 orang (18,82%). Kecamatan Gebang memiliki jumlah RTP terbesar dan sekaligus proporsi RTP terbesar pula (Tabel 5), sedangkan Kecamatan Astanajapura tidak diperoleh informasi yang pasti.


(37)

Kecamatan Jumlah (org) Nisbah* RTP RTBP Total

1. Kapetakan 638 2.275 2.913 21.90

2. Cirebon Utara 818 3.694 4.512 18.13

3. Mundu 689 4.265 4.954 16.15

4. Astanajapura

5. Pangenan 302 1.446 1.748 20.89

6. Gebang 2.830 7.245 9.075 39.06

7. Losari 325 925 1.250 26.00

Total 4.602 19.850 24.452 18.82

Sumber : Laporan Tahunan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang, 2003, dalam LEPP-M3, 2006.

Keterangan: Nisbah = persentase RTP terhadap Total RTP = Rumah Tangga Perikanan RTBP = Rumah Tangga Bukan Perikanan

Seluruh RTP itu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Indikasi itu ditunjukkan dengan jumlah perahu yang relatif sebanding dengan jumlah RTP (Tabel 6). Para nelayan menggunakan alat yang beragam. Tabel 6 menunjukkan jenis alat tangkap, produksi, dan frekuensi melaut setiap bulan. Produksi tertinggi dicapai oleh nelayan dengan alat tangkap jaring insang hanyut, dogol dan rawai tetap. Pengumpul kerang juga berhasil mencapai tingkat produksi cukup tinggi (LEPP-M3, 2006).

Tabel 6. Jumlah perahu dan kapal motor Kabupaten Cirebon pada tahun 2004

Kecamatan Jumlah (unit)

Motor Tempel

Kapal Motor

Jumlah

1. Kapetakan 677 26 703

2. Cirebon Utara 855 3 858

3. Mundu 695 2 697

4. Astanajapura 88 0 88

5. Pangenan 193 2 195

6. Gebang 1.853 8 1.863

7. Losari 325 0 325

Total 4.686 41 4.729

Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006

Tabel 7. Produktivitas menurut jenis alat tangkap Kabupaten Cirebon pada tahun 2004

Jenis Alat Jumlah (unit)

Produksi (ton) Frekuensi (trip/bln)

1. Payang 401 2.178 11


(38)

3. Pukat Rantai 4 219 13

4. Jaring Insang Hanyut 1.864 13.596 10

5. Jaring Lingkar 221 1.059 8

6. Jaring Insang Tetap 2.634 1.799 16

7. Trammel Net 2.204 1.430 15

8. Bagan Tancap 180 774 13

9. Rawai Tetap 185 5.250 14

10. Pengumpul Kerang 1.080 3.681 10

Total 9.100 40.850

Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006

Potensi tambak di Kabupaten Cirebon cukup besar, yaitu mencapai 7.500 ha, yang baru dimanfaatkan 68,56% (Tabel 8). Potensi yang masih tersedia dalam jumlah besar adalah di Kecamatan Losari dan Pangenan. Pengembangan tambak Udang, tambak Bandeng dan rumput laut tersebar di Kecamatan Kapetakan, Gebang, Losari, Astanajapura, Pangenan, Cirebon Utara dan Mundu. Untuk pengembangan tambak udang dan bandeng tersedia lahan 500 Ha, tersebar di Kecamatan Kapetakan, Babakan, Losari, Astanajapura dan Cirebon utara. Bendung Karet di Kapetakan serta rencana Bendung Karet di Bondet dan Losari akan menunjang pembudidayaan perikanan air tawar ini.

Tabel 8. Potensi dan pemanfaatan tambak Kabupaten Cirebon 2004

Kecamatan Potensi (ha)

Pemanfaatan

Ha %

1. Losari 2.500 1.382 55,28

2. Gebang 600 491 81,83

3. Pangenan 1.834 1.074 58,56

4. Astanajapura 66 28 42,42

5. Mundu 100 71 71,00

6. Cirebon Utara 300 185 61,67

7. Kapetakan 2.100 1.911 91,00

Total 7.500 5.152 68,56

Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006

Di Kabupaten Cirebon terdapat 813 unit pengolahan ikan, yang tersebar di 9 kecamatan (Tabel 8). Pengolah ikan itu pada umumnya berskala rumah tangga. Selain itu, terdapat 7 perusahaan pengolah hasil perikanan skala industri, yang mengolah jenis produk berikut :


(39)

2. Udang beku (1 perusahaan). 3. Chitin/chitosan (1 perusahaan). 4. Teri nasi (2 perusahaan).

5. Daging rajungan (2 perusahaan).

PEMP 2001 disalurkan kepada 6 KMP yang beranggotakan 70 orang. Lokasi PEMP adalah Kecamatan Cirebon Utara (Desa Mertasinga, Grogol, dan Jatimerta) dan Kecamatan Kapetakan (Desa Karangreja). Jenis usaha yang dilayani adalah penangkapan ikan.

PEMP 2002 disalurkan kepada 16 KMP yang beranggotakan 181 orang. Lokasi PEM adalah Kecamatan Pangenan (Desa Pengarengan) dan Kecamatan Gebang (Desa Gebang Mekar dan Gebang Ilir). Jenis usaha yang dilayani adalah :

1. Budidaya bandeng. 2. Pembuatan terasi. 3. Pengolahan ikan. 4. Galangan perahu. 5. Penangkapan ikan.

6. Penangkapan keong macan.

PEMP 2003 disalurkan kepada 26 KMP yang beranggotakan 482 orang. PEMP dikonsentrasikan di Kecamatan Mundu (Desa Mundu Pesisir, Bandengan, Citemu, dan Waruduwur) dan Kecamatan Losari (Desa Tawangsari). Selain itu, dibangun juga 2 unit SPDN, yaitu di Kapetakan dan Gebang, masing-masing dengan kapasitas 8,000 liter.

PEMP 2004 disalurkan kepada perseorangan yang dinilai bankable

untuk menerima dana kredit. Tercatat ada 42 debitur, yang pada umumnya berlokasi di Kecamatan Gebang dan Losari. Sebanyak 40 debitur adalah pedagang, sedangkan nelayan hanya 2 debitur.

LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon terletak di tengah-tengah perkampungan nelayan di Kecamatan Gebang Ilir. LKM Swamitra Mina merupakan unit simpan-pinjam milik seluruh masyarakat pesisir yang direpresentasikan oleh Koperasi. LKM Swamitra Mina dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga muda pesisir yang sebelumnya telah


(40)

memperoleh pelatihan dari Bank Bukopin. Dengan pendampingan Bank Bukopin Cabang, Swamitra Mina diharapkan akan menjadi lembaga LKM terkemuka di daerah pesisir, yang mudah diakses oleh para nelayan dan masyarakat pesisir.

Sebagai konsekuensi dari kepemilikan Swamitra Mina, maka nelayan dan masyarakat pesisir akan mendapatkan sisa hasil usaha (deviden) setiap tahun dari keuntungan Swamitra Mina. Selain itu, melalui Swamitra Mina dana masyarakat dapat dimobilisasi melalui tabungan dengan tingkat suku bunga yang kompetitif serta dana dari sumber lain, untuk akhirnya disalurkan kembali ke masyarakat pesisir dari lembaga keuangan lainnya. Swamitra Mina merupakan proses pembelajaran bagi nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengakses dana dari pihak perbankan, begitu pula sebaliknya proses pembelajaran bagi perbankan dalam mengakses masyarakat pesisir.

2. LKM Swamitra Mina

Tidak dapat disangkal lagi bahwa masyarakat pesisir merupakan segmen anak bangsa yang paling tertinggal tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan anak bangsa lainnya yang bergelut di sektor non perikanan. Betapa tidak, nelayan kecil yang jumlahnya cukup banyak mendiami wilayah pesisir mempunyai pendapatan hanya sekitar Rp 300.000,-/bulan/keluarga. Memang sungguh ironis, padahal wilayah pesisir sangat kaya sumber daya kelautan dan perikanan serta jasa kelautan lainnya. Ditengarai bahwa kejadian ini terjadi karena lemahnya masyarakat pesisir dalam mengakses permodalan.

Keterbatasan akses permodalan ditandai dengan realisasi modal melalui investasi pemerintah dan swasta selama periode Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) yang hanya 0,02 % dari keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, terutama nelayan, kebutuhan permodalan dipenuhi oleh para tengkulak, toke, atau ponggawa, yang kenyataannya tidak banyak menolong untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, malah cenderung menjeratnya dalam lilitan utang yang tidak pernah bisa dilunasi.


(41)

Melihat kenyataan ini, Departemen Kelautan dan Perikanan menginisiasi program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program ini pun berhasil mengangkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sukses yang diraih itu belum memuaskan, karena ada obsesi untuk menjadikan profesional dan mandiri para pengelola Koperasi LEPP-M3. Untuk itu Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan PT. BANK BUKOPIN mendirikan sebuah LKM Swamitra Mina. Hadirnya lembaga ini di masyarakat pesisir akan menjadi lokomotif permodalan bagi masyarakat pesisir. Lembaga ini telah hadir di 139 kabupaten/kota. Launching LKM Swamitra Mina telah dilaksanakan dan diresmikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada tanggal 12 Desember 2004 di Cilincing, Jakarta Utara.

Cikal bakal pelaksanaan program Swamitra Mina bermula dari program PEMP. Pada tahun 2004 program PEMP mendapat kucuran dana sebesar Rp 140 milyar untuk mengakomodir 160 kabupaten/kota. Adapun pagu untuk Dana Ekonomi Produktif (DEP) yang digunakan sebagai penguatan modal sebesar Rp 98.347.592,000 yang dikelola melalui LKM Swamitra Mina, BPR-Pesisir, dan USP. Adapun jumlah LKM Swamitra Mina yang ada saat ini sebanyak 139 buah yang kesemuanya adalah Koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan yang telah berbadan hukum.

Dengan status berbadan hukum, maka telah memenuhi persyaratan perundang-undangan yang mensyaratkan bahwa untuk menyerap dana masyarakat dan memberikan pinjaman kepada masyarakat hanyalah lembaga perbankan dan koperasi yang berbadan hukum. Tentu bukan itu saja persyaratan yang harus dimiliki LKM Swamitra Mina. Selain berbadan hukum, juga harus mempunyai SDM yang profesional untuk mengelolanya, sebab pelaksanaan transaksi di LKM ini dilakukan pula secara profesional, yaitu penggunaan perangkat Teknologi Informasi. Dengan demikian semua transaksi yang terjadi di LKM Swamitra Mina sudah dapat dimonitoring secara real time dan on time.

Dipilihnya Bank Bukopin sebagai Bank Pelaksana didasarkan bahwa hanya Bank Bukopin yang memiliki program Swamitra dan telah banyak


(42)

sukses di daerah pedesaan seluruh Indonesia. Yang lebih penting bahwa Bank Bukopin punya komitmen untuk berperan sebagai executor dan menyalurkan 100% dana ekonomi produktif yang dimiliki Koperasi LEPP-M3. Selain itu bank ini juga berkomitmen untuk mengadakan pelatihan dan pendampingan bagi pengelola LKM Swamitra Mina.

Dengan kerja keras yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan, kini telah berdiri 139 LKM Swamitra Mina di wilayah pesisir. Dari 139 ini sampai pertengahan Februari 2005 tercatat 60 LKM Swamitra Mina telah melakukan transaksi pinjaman kepada masyarakat, dan diharapkan pada akhir Maret semua LKM ini telah melakukan transaksi kepada masyarakat pesisir. Adapun bunga pinjaman yang diterapkan di lembaga ini bervariasi antara 12 – 24% secara efektif per tahun. Bunga pinjaman ini dirasakan masyarakat pesisir cukup kompetitif. Begitu pula variasi bunga pinjaman ini sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi, dan kesepakatan masyarakat pesisir setempat.

Memang disadari bahwa dalam mengelola Swamitra Mina yang lokasinya berada jauh di wilayah pesisir, diperlukan dua tipe pengelolaannya yaitu online dan offline. Apabila di lokasi tersedia jaringan telepon yang secara mutu dapat dilalui dengan data, maka LKM Swamitra Mina bersifat

online. Begitu pula apabila daerah tersebut tidak mampu mendapatkan jaringan yang layak untuk data, maka dikelola secara offline. Walaupun statusnya offline tetap disediakan sarana komunikasi. Artinya pencatatan secara komputerisasi tetap dilakukan, hanya data tersebut pada waktu tertentu di upload atau dikirim rata-rata 1 - 2 minggu sekali, kemudian digabungkan dengan data yang online dan disatukan kemudian dikirim ke Jakarta.

LKM Swamitra Mina merupakan salah satu unit usaha milik koperasi yang bergerak di bidang pelayanan permodalan bagi masyarakat pesisir, terutama untuk segmen usaha mikro. Unit usaha ini bermitra dengan Bank Bukopin dengan orientasi pelayanan permodalan berbasiskan sistem teknologi perbankan yang online. Dengan teknologi ini diharapkan kegiatan


(43)

usaha keuangan dapat berjalan secara profesional, transparan, dapat dipantau setiap saat, baik di tingkat pusat maupun daerah (Bukopin, 2005).

Pengembangan kelembagaan LKM ini sesuai dengan tahapan PEMP, yaitu :

a. Tahap Inisiasi pada tahun 2001 – 2003,

b. Tahap Institusionalisasi pada tahun 2004 – 2006, c. Tahap Diversifikasi pada tahun 2007 – 2009.

Tahap institusionalisasi yang dimulai pada tahun 2004-2006 telah terbentuk LKM, antara lain 141 unit Swamitra Mina (41 unit di antaranya beroperasi dengan sistem online), 9 unit Unit Simpan-Pinjam (USP) dan 20 unit BPR pesisir. Pada tahun 2005 sebanyak 80 unit LKM dikembangkan melalui diversifikasi usaha. Usaha-usaha yang dikembangkan adalah pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) dan Kedai Pesisir yang tersebar di beberapa daerah. Tujuannya adalah agar Koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan dapat mengarah kepada cita-cita untuk menjadi holding company (DKP, 2006).

Tahap institusionalisasi ditandai dengan perluasan lokasi sasaran Program PEMP melalui pembentukan LKM di 20 Kabupaten/Kota yang baru. Pada saat ini, kegiatan LKM dikerjasamakan dengan berbagai lembaga perbankan dan non perbankan, seperti Bank Bukopin, Bank BRI, Bank Pembangunan Daerah (Maluku dan Papua), dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Sesuai dengan tujuannya, maka untuk daerah khusus seperti Nangro Aceh Darussalam (NAD) direncanakan pula menciptakan micro finance dan bekerjasama dengan lembaga perbankan berbasis syariah (PT Bank Mandiri Syariah). Adapun pembangunan SPDN bekerjasama dengan PT Pertamina dan PT Elnusa Petrofin dan untuk Kedai Pesisir bekerja sama dengan Distributor Ritel (DKP, 2006).

Swamitra Mina merupakan unit simpan-pinjam milik seluruh masyarakat pesisir yang direpresentasikan oleh Koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan lainnya. Swamitra Mina dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga muda pesisir yang sebelumnya telah memperoleh


(44)

pelatihan dari Bank Bukopin. Dengan pendampingan Bank Bukopin Cabang, Swamitra Mina diharapkan akan menjadi lembaga keuangan mikro terkemuka di daerah pesisir, yang mudah diakses oleh para nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.

Sebagai konsekuensi dari kepemilikan Swamitra Mina, maka nelayan dan masyarakat pesisir akan mendapatkan sisa hasil usaha (deviden) setiap tahun dari keuntungan Swamitra Mina. Selain itu, melalui Swamitra Mina dana masyarakat dapat dimobilisasi melalui tabungan dengan tingkat suku bunga yang kompetitif serta dana dari sumber lain, untuk akhirnya disalurkan kembali ke masyarakat pesisir dari lembaga keuangan lainnya. Swamitra Mina merupakan proses pembelajaran bagi nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengakses dana dari pihak perbankan, begitu pula sebaliknya proses pembelajaran bagi perbankan dalam mengakses masyarakat pesisir.

Agar masyarakat pesisir dapat mengakses dengan mudah LKM Swamitra Mina serta mengelola secara efesien modal yang telah diperolehnya, maka disediakan tenaga pendamping desa (TPD) masing-masing dua orang tiap kabupaten/kota. TPD tersebut terdiri atas sarjana-sarjana baru yang sebelumnya dilatih secara nasional. Selain itu, juga disediakan Konsultan Manajemen (Perguruan Tinggi, LSM, atau lembaga konsultan profesional) untuk membantu mengembangkan dan meningkatkan kinerja kelembagaan dan pemasaran.

Hadirnya LKM Swamitra Mina di wilayah pesisir, maka secara bertahap peran tengkulak dan rentenir akan berkurang sehingga LKM dapat memobilisasi dana masyarakat dengan adanya suku bunga tabungan yang menarik. Dengan lancarnya pengelolaan LKM Swamitra Mina maka perlahan tapi pasti bantuan modal yang disalurkan di masyarakat pesisir bukan lagi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi dari LKM Swamitra Mina itu sendiri. Sehingga LKM Swamitra Mina semakin dilirik oleh lembaga keuangan lainnya untuk bermitra mengakses permodalan. Dengan demikian LKM Swamitra Mina sebagai lokomotip dapat menggandeng lembaga keuangan lainnya dalam kiprahnya


(45)

membangun usaha sektor perikanan dan kelautan (Direktorat PEMP – Ditjen P3K, 2005).

B. Deskripsi Hasil Studi

1. Analisis kelembagaan non LKM dan LKM.

Peran pelaksana lembaga ini akan sangat menentukan kondisi lembaga keuangan. Berbagai permasalahan muncul ketika kegiatan usaha dilaksanakan seperti kredit macet, kinerja pengguna jasa yang rendah dan kurangnya pengawasan dari lembaga itu sendiri. Kondisi yang spesifik di masyarakat pesisir membutuhkan pemahaman khusus dari pihak lembaga keuangan. Beberapa hal yang sangat berpengaruh dalam masyarakat nelayan dan pesisir. Hal ini perlu diperhatikan untuk pengembangan aquabisnis masyarakat nelayan. Keunikan tersebut meliputi (1) kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan sangat tergantung pada ekosistem dan lingkungan yang sangat rentan pada kerusakan seperti pencemaran dan degradasi kualitas lingkungan, (2) sangat tergantung pada musim, dan (3) sangat tergantung pasar. Kondisi ini menimbulkan risiko yang cukup besar pada kesinambungan permodalan usaha. Akibatnya akan menjadi sangat susah bagi nelayan untuk mengakses berbagai permodalan yang ada. Bagi lembaga keuangan memberikan akses permodalan akan memiliki risiko dalam akumulasi modal usaha serta pengembangan lembaga tersebut. Dampak pada lembaga ini akan dapat mempengaruhi kinerja lembaga keuangan yang ada.

LKM dan Non LKM terbentuk melalui program PEMP .Dalam pedoman umum PEMP selalu disebutkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir itu perlu didorong melalui tiga inisiatif, yaitu perbaikan manajemen, perbaikan teknologi, dan perbaikan akses masyarakat pada modal. Artinya, segala program pemberdayaan PEMP itu dirancang sebagai bentuk perbaikan tiga komponen di atas. Dalam prakteknya, kebijakan permodalan masyarakat pesisir telah berkembang menjadi jiwa program PEMP. Pemberian modal ‘secara komersial’ telah menjadi penciri program PEMP.


(46)

PEMP yang dilaksanakan sejak tahun 2001 hingga saat ini masih terus mencari bentuk ideal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Setidaknya terdapat 2 (dua) unsur penting dalam memperkuat peran PEMP sebagai akselerator peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, yaitu penguatan peran kelembagaan (institutional strengthening) pengelola program, dan peningkatan kapasitas (capacity building) lembaga ekonomi mikro. Namun demikian, kedua unsur ini tidak dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan jika tidak didukung oleh unsur lainnya, seperti Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP), keterlibatan stakeholders dan kemitraan yang dibangun oleh program dengan instansi terkait lainnya.

Adapun tabel hasil analisis kelembagaan dengan metode Focus Group Discusion (FGD) berikut :

a. Kelembagaan non LKM dan LKM (Koperasi LEPP-M3)

Hasil analisis kelembagaan antara LKM Swamitra Mina dan non LKM menunjukkan bahwa dari segi pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing jabatan, kedua lembaga tersebut masing-masing mampu memahaminya dengan baik. Namun, dari segi pelaksanaan tupoksi, terlihat bahwa manajerial LKM dikelola secara lebih profesional dibandingkan dengan non LKM dan untuk nasabah LKM memiliki hak untuk mengajukan kredit secara perorangan.

LKM Swamitra Mina sudah berbadan hukum sejak awal tahun 2004 sedangkan non-LKM baru berbadan hukum pada tahun 2005. Kedua lembaga keuangan tersebut memiliki mekanisme pembentukan dan pemilihan pengurus dengan nilai baik (skor 3), karena keduanya berjalan secara transparan dan melibatkan tokoh masyarakat, sehingga dinilai ada keterlibatan langsung dari masyarakat. Dari hal tersebut diperkirakan menampung aspirasi masyarakat, yang ditunjukkan oleh masuknya tokoh-tokoh masyarakat dalam kepengurusan kedua lembaga tersebut. Namun, hal yang menjadi pembeda adalah pada LKM


(47)

keterwakilan nelayan dari semua unsur sudah terpenuhi termasuk adanya peran wanita, sedangkan pada non-LKM lebih didominasi oleh kaum tua dan tokoh masyarakat. Hasil analisis kelembagaan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Indikator kelembagaan koperasi

No Indikator Non LKM LKM

1.

Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam pelaksanaan program.

Pemahaman pengurus terhadap tupoksi sudah berjalan dengan baik sesuai PEDUM PEMP 2003. Jumlah pengurus ada 7 orang. Nilai Baik (3)

Pemahaman pengurus terhadap tupoksi sudah berjalan dengan baik PEDUM PEMP 2004-2006 dan ketentuan Bank Bukopin. Jumlah pengurus ada 17 orang. Nilai Baik (3).

2.

Terlaksananya tupoksi lembaga.

Manajemen internal dan fungsi supervisi belum berjalan maksimal. Nilai Cukup (2)

Manajerial dikelola secara profesional. Nasabah

perorangan berhak mengajukan kredit. Nilai Baik (3)

3.

Status organisasi pengelola program.

Status lembaga merupakan bentukan masyarakat. Sampai tahun 2004 belum berbadan hukum. Baru tahun 2005 mulai berbentuk koperasi. Nilai Baik (3).

Status Lembaga dari awal tahun 2004 sudah berbadan hukum. Nilai Baik (3).

4. Berjalannya mekanisme pembentukan dan pemilihan pengurus. Pembentukan pengurus dan pemilihan dilakukan secara transparan dengan melibatkan tokoh masyarakat. Nilai Baik (3).

Pembentukan pengurus dan pemilihan dilakukan secara transparan dengan melibatkan tokoh masyarakat. Nilai Baik (3)

5.

Komposisi pengurus mencerminkan keterwakilan unsur-unsur masyarakat

Keterwakilan didominasi kaum tua dan tokoh masyarakat. Nilai Baik (3).

Keterwakilan nelayan dari segala unsur sudah terpenuhi. Nilai Baik (3).


(48)

6.

Komposisi pengurus mencerminkan keseimbangan gender.

Keterwakilan perempuan dalam pengurus tidak ada. Pengurus berjumlah 7 orang. Nilai Buruk (1).

Keterwakilan perempuan dalam pengurus sudah 30%.

Perempuan berjumlah 6 orang. Nilai Baik (3).

Sumber : Laporan Keuangan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang tahun 2004-2005 (data diolah kembali)

b. Pengelolaan non LKM dan LKM.

Hasil perbandingan mengenai pengelolaan LKM Swamitra Mina dibandingkan dengan non-LKM disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Indikator pengelolaan LKM dan non LKM

No Indikator Non LKM LKM

1.

Pemahaman pengurus LKM dan non LKM terhadap program dan gambaran tugasnya.

Pemahaman masih terfokus pada dana hibah dari pemerintah. Nilai Cukup (2)

Telah terbentuk sikap dalam rangka mendorong perekonomian melalui lembaga keuangan yang bankable. Nilai Baik (3)

2.

Pengurus

tetap/permanen LKM dan Non LKM dengan kualifikasi dan kompetensi yang relevan dengan bidang tugasnya.

Pengurus masih bergantung pada tokoh tradisional. Nilai Cukup (2)

Pengurus terdiri dari SMA (3), D1 (2), D3 (3), S1 (6), S2 (2) dan S3 (1). Nilai Baik (3)

3.

Berjalannya sistem dan mekanisme organisasi.

Sistem dan mekanisme organisasi belum berjalan secara kondusif. Nilai Cukup (2)

Menunjukkan

kecenderungan kondusif dan efektifnya

pelaksanaan manajemen. Nilai Baik (3)

4.

Adanya neraca keuangan LKM dan Non LKM secara periodik.

Pengadminstrasian dan pendokumentasian belum berjalan rapi. Nilai cukup (2)

Sudah terjadi efektivitas dan konsistensi

pengadministrasian. Nilai Baik (3)

5.

Mutu portofolio LKM dan Non LKM.

Mutu fortofolio berjalan stagnant dan lambat. Nilai Cukup (2)

Kecenderungan membaik dan kondusifnya status perkembangan cash flow dan neraca laba rugi. Nilai Baik (3)

6.

Produktivitas dan efisiensi LKM dan Non LKM

Kondisi keuangan cenderung stagnan Pertambahan modal lambat. Nilai Cukup (2).

Menunjukkan kondisi keuangan yang baik (perfom). Nilai cukup (2).


(49)

7.

Persepsi nasabah terhadap peran LKM maupun Non LKM

Seperti dana hibah, sehingga pengembalian lambat. Nilai cukup (2)

Tingkat pengembalian bagus. Nilai cukup (2).

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa pemahaman pengurus LKM dengan non LKM berbeda. Pada LKM Swamitra Mina sudah terbentuk sikap untuk mengembangkan LKM menjadi lembaga perekonomian

bankable, sedangkan pemahaman pengurus non LKM masih memandang dana yang diperoleh merupakan hibah, sehingga belum tumbuh sikap kemandirian untuk mengembangkan lembaga tersebut. Hal ini juga dipengaruhi tingkat pendidikan pengurus. Pengurus LKM Swamitra Mina memiliki pengurus yang telah mengecam pendidikan mulai dari SMA hingga perguruan tinggi (S3), sehingga tidak dapat dielakkan bahwa pengetahuan dan pengalaman nya dapat mempengaruhi cara pandang dan cara pengelolaan terhadap lembaga masing-masing termasuk sistem administrasi LKM Swamitra Mina yang meskipun masih dilakukan secara sederhana namun lebih efektif dan terstruktur dengan baik. Cara pandang pengurus dan kekonsistenan pengurus LKM, secara tidak langsung mampu mengedukasi nasabah, terutama dalam hal persepsinya terhadap peran LKM.

c. Kapasitas kelompok pemanfaat.

Kapasitas individu maupun kelompok peminjam sesuai dengan kondisi yang ada di LKM Swamitra Mina, seperti dimuat pada Tabel 11.

Tabel 11. Indikator kapasitas pemanfaat

No Indikator Non LKM LKM

1.

Adanya manajemen dan administrasi keuangan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang dilaksanakan.

KMP sudah melaksanankan manajemen secara sederhana. Nilai cukup (2). Nasabah perorangan cenderung belum melaksanakan keuangan secara baik. Nilai Baik (3).

2.

Penguasaan teknis UEP yang dilaksanakan.

Strategi usaha masing-masing KMP masih stabil. Nilai cukup (2).

Usaha nasabah kecenderungan meningkat, tetapi tidak terlalu nyata dalam penambahan volume produksi. Nilai Cukup (2).


(50)

3.

Ekstensifikasi dan diversifikasi jenis UEP.

Volume usaha kecenderungan masih stabil. Nilai cukup (2).

Volume usaha bervariasi ada yang meningkat dan ada yang stabil. Nilai Cukup (2).

4.

Perubahan pendapatan dan bertambahnya nilai manfaat.

Perubahan pendapatan cenderung

meningkat 40% dari sebelumnya. Nilai cukup (2).

Menunjukkan adanya peningkatan pendapatan 70% dan tabungan meningkat. Nilai baik (3).

5.

Transformasi dan replikasi UEP bagi kelompok/individu non pemanfaat. KMP cenderung tidak terjadi perluasan. Kelompok masih tetap sama dari awal sampai sekarang. Nilai cukup (2).

Kecenderungan nasabah terus meningkat dan terjadi transformasi nasabah dengan

masyarakat non nasabah. Nilai Baik (3).

Dari Tabel 11 dapat dilihat adanya kecenderungan mengindikasikan kondisi positif dari kelompok maupun individu pemanfaat dana dari LKM Swamitra Mina terutama dari sisi proses penetapan jenis yang difasilitasi program PEMP, dan kesesuaian kriteria penerimaan Dana Ekonomi Produktif (DEP). Peubah penting lainnya pada indikator kapasitas pemanfaat terkait dengan pelaksanaan UEP dan pengelolaan DEP adalah tingkat keterampilan pemanfaat dalam memilih, menjalankan dan mengembangkan UEP. Keberhasilan UEP yang dilaksanakan oleh masyarakat pemanfaat dapat dilihat dari sisi manfaat ekonomi, status keberlanjutan, manajemen usaha yang efektif dan pengadministrasian (Kusnadi dkk, 2006).

Ketiga indikator tersebut menunjukkan kelebihan dan kekurangan masing-masing kelembagaan. Indikator kelembagaan menunjukkan bahwa non LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2,5) sedangkan LKM sudah baik (rataan 3). Indikator pengelolaan organisasi menunjukkan bahwa non LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2,3) dan LKM sudah baik (rataan 2,6) tapi masih perlu pembenahan. Indikator kapasitas pemanfaat menunjukkan bahwa non LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2) dan LKM mempunyai nilai baik (rataan 2,6) tapi masih perlu pembenahan. Data perhitungan terdapat pada Lampiran 2.


(1)

Lanjutan Lampiran 2

FAKTOR INTERNAL

A B C D E F G H I J K L M

Total Bobot

1.

Kejujuran dan dedikasi yang tinggi dari pihak

pengelola

2.

Jaminan kontinuitas dana

3.

Dukungan DKP dan Pemda

4.

Adanya sistem bagi hasil dengan pengelola

5.

Penyediaan fasilitas dan kebutuhan nelayan

6.

Pemberian reward kepada masyarakat

nelayan dengan kinerja baik

7.

Pembuatan program pengentasan kemiskinan

8.

Sistem pemasaran tidak sporadis

9.

SDM kurang handal

10.

Produk LKM hanya simpan pinjam

11.

Pencatatan keuangan dilakukan secara

sederhana

12.

Pembinaan hanya diberikan kepada nelayan

perwakilan

13.

Bantuan hanya diberikan kepada

nelayan-nelayan yang dikenal oleh pengelola


(2)

64

Lanjutan Lampiran 2

FAKTOR

EKSTERNAL

A B C D E F G H I J K Total

Bobot

1.

Hasil tangkapan yang cukup potensil

2.

Kemudahan dalam menjalin kerjasama dengan Bank-bank

3.

Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelola yang

sudah mulai tumbuh

4.

Meningkatnya kebutuhan modal para nelayan

5.

Dicanangkannya pola makan sehat melalui makan ikan

yang meningkatkan gairah nelayan

6.

Adanya rentenir yang masih ada di masyarakat

7.

Sistem ijon yang masih berjalan dari tengkulak

8.

Program serupa yang menawarkan berbagai fasilitas dan

kemudahan

9.

Wawasan masyarakat yang masih sempit

10.

Lemahnya infrastrutur kelembagaan sosek masyarakat

11.

Kenaikan harga BBM yang terus melambung

Jumlah


(3)

A. Kejujuran dan dedikasi yang tinggi dari pihak pengelola

0.071 0.067 0.083 0.091 0.093 0.114 0.074 0.087 0.080 0.007 0.080 0.080 0.080 0.077 0.080 0.080 0.071 0.071 1.387 0.077

B. Jaminan

kontinuitas dana 0.087 0.080 0.087 0.085 0.093 0.119 0.093 0.090 0.090 0.093 0.074 0.077 0.077 0.090 0.093 0.077 0.087 0.093 1.583 0.088 C. Dukungan

DKP dan Pemda 0.083 0.096 0.090 0.085 0.099 0.138 0.087 0.097 0.087 0.080 0.087 0.087 0.080 0.106 0.096 0.080 0.083 0.099 1.659 0.092 D. Adanya

sistem bagi hasil dengan pengelola

0.071 0.042 0.042 0.052 0.051 0.024 0.054 0.048 0.051 0.080 0.077 0.071 0.064 0.048 0.071 0.064 0.071 0.045 1.025 0.057

E. Penyediaan fasilitas dan kebutuhan nelayan

0.080 0.096 0.096 0.091 0.093 0.052 0.090 0.094 0.096 0.100 0.074 0.064 0.071 0.096 0.093 0.071 0.080 0.093 1.530 0.085

F. Pemberian reward kepada masyarakat nelayan dengan performa baik

0.061 0.071 0.074 0.091 0.077 0.052 0.093 0.074 0.061 0.062 0.077 0.080 0.090 0.077 0.067 0.090 0.061 0.080 1.338 0.074

G. Pembuatan program pengentasan kemiskinan

0.077 0.083 0.087 0.088 0.080 0.067 0.083 0.084 0.093 0.097 0.083 0.077 0.077 0.093 0.090 0.077 0.077 0.093 1.506 0.084

H. Sistem pemasaran tidak sporadis

0.096 0.083 0.090 0.094 0.083 0.067 0.080 0.071 0.083 0.087 0.087 0.080 0.077 0.083 0.083 0.077 0.096 0.080 1.499 0.083

I. SDM kurang

handal 0.054 0.074 0.051 0.042 0.058 0.048 0.074 0.071 0.074 0.073 0.074 0.067 0.080 0.061 0.067 0.080 0.054 0.071 1.173 0.065 J. Produk

LKM hanya simpan pinjam

0.090 0.080 0.074 0.072 0.058 0.057 0.061 0.055 0.051 0.080 0.074 0.083 0.077 0.048 0.061 0.077 0.090 0.061 1.248 0.069

K. Pencatatan keuangan dilakukan secara sederhana


(4)

66

Lanjutan Lampiran 2.

FAKTOR INTERNAL

Lumba -

Lumba Bawal Rajungan Arker Mina

Mandiri Nelayan Makmur Kembung

Jaya

Maju Jerbung

Sampit

Jaya Teri(1) Layang Tanjan Kembung Subur Makmur Tunas Jaya Maju Lancar Inti Laut Jumlah Rata-rata L. Pembinaan hanya diberikan kepada nelayan perwakilan

0.093 0.090 0.090 0.081 0.087 0.076 0.087 0.090 0.093 0.090 0.074 0.071 0.071 0.087 0.077 0.071 0.093 0.080 1.499 0.083

M. Bantuan hanya diberikan kepada nelayan-nelayan yang dikenal oleh pengelola

0.096 0.093 0.093 0.088 0.087 0.138 0.087 0.090 0.093 0.093 0.080 0.083 0.077 0.090 0.083 0.077 0.096 0.080 1.625 0.090

TOTAL 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 18.000 1.000

FAKTOR EKSTERNAL

Lumba - Lumba

Bawal Rajungan Arker Mandiri Mina Nelayan Makmur Kembung Jaya Jerbung Maju Sampit Jaya Teri Layang Tanjan Kembung Makmur Subur Tunas Jaya Lancar Maju Laut Inti Jumlah Rata-rata A. Hasil

tangkapan yang cukup potensil

0.127 0.127 0.127 0.127 0.114 0.113 0.114 0.127 0.118 0.118 0.114 0.112 0.104 0.113 0.114 0.113 0.128 0.127 2.135 0.119

B. Kemudahan dalam menjalin kerja sama dengan Bank-bank

0.127 0.127 0.127 0.127 0.114 0.113 0.123 0.114 0.118 0.118 0.114 0.126 0.108 0.126 0.114 0.113 0.128 0.127 2.162 0.120

C. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelola yang sudah mulai tumbuh

0.114 0.118 0.100 0.109 0.114 0.113 0.114 0.095 0.105 0.105 0.109 0.112 0.113 0.113 0.114 0.113 0.100 0.109 1.967 0.109

D.

Meningkatnya kebutuhan modal para nelayan


(5)

Lanjutan Lampiran 2. FAKTOR EKSTERNAL Lumba - Lumba

Bawal Rajungan Arker Mina

Mandiri Nelayan Makmur Kembung

Jaya

Maju Jerbung

Sampit

Jaya Teri Layang Tanjan Kembung Subur Makmur Tunas Jaya Maju Lancar Inti

Laut Jumlah Rata-rata E. Dicanangkannya pola makan sehat melalui makan ikan yang meningkatkan gairah nelayan

0.055 0.059 0.068 0.064 0.059 0.059 0.064 0.064 0.064 0.055 0.068 0.108 0.059 0.108 0.059 0.068 0.064 0.068 1.209 0.067

F. Adanya rentenir yang masih ada di masyarakat

0.077 0.073 0.086 0.082 0.077 0.077 0.082 0.082 0.086 0.077 0.086 0.058 0.081 0.059 0.077 0.077 0.087 0.081 1.406 0.078

G. Sistem ijon yang masih berjalan dari tengkulak

0.077 0.086 0.082 0.082 0.082 0.081 0.082 0.077 0.082 0.091 0.086 0.081 0.086 0.077 0.082 0.081 0.082 0.081 1.478 0.082

H. Program serupa yang menawarkan berbagai fasilitas dan kemudahan

0.055 0.068 0.059 0.064 0.059 0.072 0.068 0.064 0.059 0.064 0.055 0.081 0.077 0.081 0.059 0.059 0.059 0.063 1.164 0.065

I. Wawasan masyarakat yang masih sempit

0.077 0.068 0.077 0.082 0.091 0.090 0.082 0.082 0.086 0.082 0.086 0.058 0.086 0.059 0.091 0.090 0.078 0.081 1.446 0.080

J. Lemahnya infrastrutur kelembagaan sosek masyarakat

0.077 0.068 0.082 0.082 0.086 0.086 0.082 0.091 0.086 0.082 0.077 0.085 0.081 0.086 0.086 0.086 0.082 0.081 1.487 0.083

K. Kenaikan BBM yang terus melambung

0.100 0.095 0.105 0.100 0.109 0.104 0.086 0.100 0.091 0.105 0.100 0.072 0.113 0.072 0.109 0.108 0.105 0.100 1.773 0.098


(6)