02 Penyuluhan Tindak Pidana Korupsi dan Pencegahannya

(1)

SEKILAS TINDAK PIDANA

KORUPSI DAN UPAYA

PENCEGAHANNYA

PAPARAN SINGKAT

DISAMPAIKAN

OLEH :

IWAN WINARSO,SH,MHum

( KASI INTELIJEN KEJARI PONOROGO )


(2)

PENDAHULUAN

– Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, dalam bahasa Inggris disebut corruption, yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian yang disangkutpautkan dengan keuangan negara.

– Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu permasalahan serius yang dihadapi bangsa dewasa ini, karena sudah merambah keseluruh struktur masyarakat dan semua bidang kehidupan, dan akibatnya bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga pelanggaran hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta merusak tata nilai moral bangsa bahkan dapat berdampak lebih luas, yaitu mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, baik masyarakat Indonesia sendiri maupun masyarakat internasional.

– Tindak Pidana Korupsi, telah berkembang dari waktu ke waktu, yang semula orang melakukan korupsi hanya sekedar untuk mempertahankan hidup karena gajinya kecil, dan pelakunya adalah Pegawai Negeri, kemudian berkembang menjadi keserakahan untuk menjadi kaya, sehingga pelakunya bukan


(3)

Sekarang ini, sudah berkembang dan meluas bahwa

seseorang melakukan korupsi bukan hanya sekedar

untuk mempertahankan hidup karena gaji kecil atau

ingin menjadi kaya, tetapi ada kecenderungan orang

melakukan korupsi karena termotivasi untuk

mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan,

sehingga pelakunya bukan hanya Pegawai Negeri

dan Swasta, tetapi juga para politisi atau pejabat

publik. Modus operandi atau cara melakukannya

sudah semakin canggih dan melibatkan keahlian

(konsultan hukum dan keuangan, dan sebagainya)

serta sudah menjadi fenomena trans nasional.


(4)

UPAYA PEMERINTAH DALAM

PEMBERANTASAN TP KORUPSI

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi, antara lain dengan melakukan penataan baik dari aspek perundang-undangan maupun kelembagaan.

1. Aspek Perundang-undangan, antara lain;

1.1. Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 1.2. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

1.3. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

1.4. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (pengganti UU No. 3 Tahun 1971)

1.5. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TPK.


(5)

2. Aspek Kelembagaan

2.1. Tahun 1967 Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi yg diketuai Jaksa Agung RI Sugih Arto, SH

2.2. Tahun 1970 Pembentukan Komisi Empat, yang diketuai Wilopo, SH

2.3. Tahun 1977 Pembentukan OPSTIB / LARSUSDA. 2.4. Tahun 2000 Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK).

2.5. Tahun 2002 Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2.6. Tahun 2005 Pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan


(6)

Upaya penataan yang dilakukan oleh Pemerintah baik dari

aspek perundang-undangan maupun kelembagaan belum

mempunyai

hasil

yang

signifikan

untuk

menekan/mengurangi terjadinya Tindak Pidana Korupsi,

sehingga masih ada sikap pesimis masyarakat bahwa

Tindak Pidana Korupsi bukannya berkurang bahkan

cenderung semakin berkembang dan oleh karena

pemerintah belum mempunyai komitmen dan kesungguhan

dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(7)

BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI

(UU NO.31/1999 JO UU NO.20/2001)

1.

Tindak Pidana yang merugikan keuangan negara;

Pasal 2 ayat (1)

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.


(8)

2. Penyuapan Pegawai Negeri, Hakim dan Advokat (Pasal 5, 6 dan 11)

3. Penggelapan dan Pemalsuan (Pasal 8, 9 dan 10) 4. Pemerasan dalam jabatan (Pasal 12)

5. Perbuatan yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dengan rekanan (Pasal 7)

6. Gratifikasi (Pasal 12, 13)

7. Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi


(9)

Pengertian “Melawan Hukum”

Pengertian melawan hukum ini sejak

Putusan Judicial Review MA No.

003/PUU-IV/2006

diartikan

hanya

perbuatan

yang

bertentangan

dengan

peraturan

perundang-undangan yang tertulis. Namun

dalam hal pengelolaan keuangan

negara harus tetap memperhatikan

azas

Kepentingan

Umum,

Proporsionalitas , dan Akuntabilitas.


(10)

Pengertian“Menyalahgunakan

Kewenangan”

Pengertian

“menyalahgunakan

kewenangan”

berarti

menyalahgunakan

kewajiban

yang

dibebankan oleh atau yang melekat pada jabatan

atau kedudukan yang menunjukkan “posisi”

subjek hukum selaku pegawai negeri di institusi

tempat

dia

bekerja,

menyalahgunakan

kesempatan berarti menyalahgunakan peluang

atau

waktu

yang

ada

yang

seharusnya

dipergunakan menjalankan kewajibannya sesuai

dengan jabatan dan kedudukan, sedangkan

menyalahgunakan sarana yang ada karena

jabatan atau kedudukan berarti menyalahgunakan

atribut yang menjadi instrumen sesuai dengan

tujuan dan fungsi institusi.


(11)

Pengertian Pegawai Negeri

Pengertian “pegawai negeri” adalah menurut pasal 1 angka

2 UU No. 31 Tahun 1999, yaitu :

A. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Kepegawaian;

B. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana;

C. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan

negara atau daerah;

D. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu

korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara

atau daerah; atau

E. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain

yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau

masyarakat;


(12)

Pegawai Negeri menurut

KUHP

Pasal 92 KUHP : yang disebut pejabat, termasuk

juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan

yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum,

begitu juga orang-orang yang, bukan karena

pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk

undang-undang, badan pemerintahan, atau

badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh

Pemerintah; begitu juga semua anggota dewan

waterschap, dan semua kepala rakyat Indonesia

asli dan kepala golongan Timur Asing, yang

menjalankan kekuasaan yang sah.


(13)

Pengertian Gratifikasi

• Gratifikasi yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang

dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Menurut pasal 12 B UU No 20 Thn 2001, Gratifikasi kepada pegawai

negeri/penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Pengecualian

– Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 12 C ayat 1)

• Suap (bribery) – Ps.5 UU 31/99 jo UU 20/01

• Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri /

Penyelenggara Negara dengan maksud supaya ybs berbuat/tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

(Berlaku untuk yg memberi dan yg diberi) – Diadopsi dari pasal 209 KUHP.

• Ancaman pidana min 1 tahun maks 5 tahun dan atau denda min Rp 50 jt maks Rp 250 jt.


(14)

KEUANGAN NEGARA/DAERAH

1. Keuangan Negara (UU No. 31 Tahun 1999) :

Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan

atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya bagian kekayaan negara dengan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengawasan, dan pertanggung jawaban Pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

b. Berada dalam penguasaan, pengawasan, dan pertanggung jawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian negara.


(15)

2. Keuangan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) :

Semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan hak dan kewajibannya.

3. Kerugian Negara/Daerah :

Kekurangan uang, surat berharga,dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 butir 22 UU No.1/2004).

4. Bentuk-bentuk Kerugian Negara :

- Penggunaan anggaran diluar peruntukan.

- Penggunaan anggaran lebih besar daripada seharusnya digunakan.

- Hilangnya sumber/kekayaan negara yang seharusnya diterima. - Penerimaan negara lebih kecil daripada seharusnya diterima.


(16)

5. Perhitungan Kerugian Keuangan Negara :

- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

- Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP).

- Instansi lain yang mempunyai kemampuan dan

wewenang.

6. Pengembalian kerugian Keuangan Negara :

Pengembalian

kerugian

keuangan

negara

tidak

menghapuskan dipidananya pelaku Tindak Pidana (Pasal 4)


(17)

STRATEGI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

DALAM

PENGELOLAAN

KEUANGAN

DAERAH

a. Pencegahan (Preventif) :

- Diarahkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya Tindak Pidana Korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor penyebab atau peluang antara lain :

- Membentuk Perda/Perdes yang jelas dan lengkap menyangkut semua aspek ;

- Komitmen dari pegawai negeri sipil/penyelenggara negara;

- Teliti sebabnya dengan mencari solusi untuk menghilangkan/mengurangi;

- Menyempurnakan manajemen/prinsip-prinsip Good Governance; - Kampanye anti korupsi di seluruh lapisan masyarakat;

- Tingkatkan kualitas pengawasan (waskat, wasnal dan wasmas); - Tingkatkan fungsi pengawasan yang dimiliki Badan Permusyawaratan

Desa (BPD) untuk tingkat desa;

- Pemberian Reward bagi petugas/pejabat yang memiliki integritas moral dan mampu meningkatkan pendapatan daerah.


(18)

b. Penindakan (Represif)

- Penegakkan / penerapan hukum : azas “Lex Certa” (Jelas, pasti dan tidak meragukan);

- Menerapkan nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan;

- Penegak hukum yang mempunyai kemampuan teknis, manajerial, jujur dan berani;

- Tingkatkan koordinasi sesama antar penegak hukum untuk persamaan persepsi, tujuan dan rencana tindak;

- Komitmen yang kuat dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi.


(19)

– Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi dengan melakukan penataan baik dari aspek perundang-undangan maupun kelembagaan, namun belum menampakkan hasil yang signifikan untuk menekan / mengurangi terjadinya Tindak Pidana Korupsi.

– Korupsi tidak akan terberantas hanya dengan penjatuhan pidana berat saja, diperlukan adanya strategi baik yang bersifat pencegahan (preventif), pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) terhadap masyarakat akan bahaya korupsi, maupun penindakan.

– Dalam mengelola keuangan Negara / Daerah, perlu diperhatikan asas kepentingan umum, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

– Perlunya komitmen yang kuat dari pegawai negeri/penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi.

– Komitmen yang kuat bagi penegak hukum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.


(20)

Dalam menggunakan dana BOS, madrasah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Prioritas utama penggunaan dana BOS adalah untuk kegiatan operasional madrasah; 2. Bagi madrasah yang telah menerima DAK, tidak diperkenankan menggunakan dana

BOS untuk peruntukan yang sama. Sebaliknya jika dana BOS tidak mencukupi untuk pembelanjaan yang diperbolehkan (13 item pembelanjaan), maka madrasah dapat mempertimbangkan sumber pendapatan lain yang diterima oleh madrasah, yaitu pendapatan hibah (misalnya DAK) dan pendapatan madrasah lainnya yang sah dengan tetap memperhatikan peraturan terkait;

3. Biaya transportasi dan uang lelah bagi guru PNS yang bertugas di luar jam mengajar, harus mengikuti batas kewajaran yang ditetapkan oleh Standar Biaya Masukan Kementerian Keuangan;

4. Bagi madrasah negeri yang sudah mendapat anggaran dalam DIPA selain BOS, maka penggunaan dana BOS hanya untuk menambahkan kekurangan, sehingga tidak terjadi double accounting;

5. Batas maksimum penggunaan dana BOS untuk belanja pegawai (honor guru/tenaga kependidikan bukan PNS dan honor-honor kegiatan) pada madrasah negeri sebesar 20% dari total dana BOS yang diterima oleh madrasah dalam satu tahun. Madrasah negeri boleh menggunakan dana BOS untuk belanja ini lebih dari 20%, apabila kebutuhan terhadap pembayaran guru bukan PNS dan tenaga kependidikan bukan PNS tersebut disetujui oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.


(21)

Larangan Penggunaan Dana BOS

1. Disimpan dengan maksud dibungakan; 2. Dipinjamkan kepada pihak lain;

3. Membeli Lembar Kerja Siswa (LKS);

4. Membeli software/perangkat lunak untuk pelaporan keuangan BOS atau software sejenis; 5. Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas madrasah dan memerlukan biaya besar,

misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya; 6. Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru;

7. Membeli pakaian/seragam/sepatu bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris madrasah), kecuali untuk siswa miskin penerima PIP;

8. Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat; 9. Membangun gedung/ruangan baru;

10. Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran; 11. Menanamkan saham;

12. Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh/wajar;

13. Membiayai kegiatan penunjang yang tidak ada kaitannya dengan operasional madrasah, misalnya iuran dalam rangka perayaan hari besar nasional dan upacara keagamaan/acara keagamaan;

14.Membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/pendampingan terkait program BOS/perpajakan program BOS yang diselenggarakan lembaga di luar


(22)

FAKTA-FAKTA PENYELEWANGAN DANA BOS

(sumber : website : ilmucerdas pendidikan.wordpress.com)

– Sebanyak 62.85% sekolah tidak mencantumkan penerimaan BOS (indikasi korupsi)

• Sebanyak 62,84% sekolah yang disamping tidak mencantumkan seluruh penerimaan dana BOS dalam RAPBS dengan nilai Rp 479,96 miliar [TA 2007] dan Rp 144, 23 miliar [TA 2008 semester I]. Padahal salah satu media perencanaan yang dipakai sekolah dalam pengelolaan keuangannya adalah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

• Penyalahan ini disebabkan oleh :

1) Petunjuk teknis BOS dalam penyusunan RAPBS tidak mengatur

secara jelas cara penyusunan dan mekanisme pengesahan dari RAPBS menjadi APBS dan

2)  Kepala sekolah tidak transparan dalam mengelola dana sekolah.

• Sebanyak 4.12% sekolah tidak mengratiskan biaya operasional sekolah pada siswadidiknya.Dari 4.127 sekolah di 62 kabupaten/kota, diperoleh 47 SD (27 SD Negeri dan 20 SD Swasta) dan 123 SMP (95 SMP Negeri dan 28 SMP Swasta) di 15 kabupaten/kota belum membebaskan biaya/iuran bagi siswa tidak mampu di sekolah dan tetap memungut iuran/biaya pendidikan seperti iuran ekstra kurikuler, sumbangan pengembangan sekolah, dan iuran


(23)

• Dana BOS sebesar Rp28.14 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya (indikasi korupsi).Sesuai dengan peraturan dan perundangan, dana BOS diperuntukkan untuk :

– pembiayaan seluruh kegiatan Penerimaan Siswa Baru (PSB)

– pembelian buku tekspelajaran dan buku penunjang untuk koleksi perpustakaan

– pembelian bahan-bahan habis pakai, misalnya buku tulis, kapur tulis, pensil, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan koran, gula, kopi dan teh untuk kebutuhan sehari-hari di sekolah

– pembiayaan kegiatan kesiswaan, program remedial, program pengayaan siswa, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya

– pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa


(24)

– pengembangan profesi guru antara lain pelatihan, KKG/MGMP dan KKKS/MKKS

– pembiayaan perawatan sekolah seperti pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan meubelair dan perawatan lainnya

– pembiayaan langganan daya dan jasa

– pembayaran honorarium guru dan tenaga kependidikan honorer sekolah

– pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin

– pembiayaan pengelolaan BOS dan bila seluruh komponen diatas telah terpenuhi pendanaannya dari BOS dan jika masih terdapat sisa dana maka sisa dana BOS tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran sekolah.


(25)

Sanksi

Sanksi terhadap penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan negara dan/atau madrasah dan/atau siswa, akan dijatuhkan oleh aparat/pejabat yang berwenang. Sanksi kepada oknum yang melakukan pelanggaran dapat diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya :

1. Penerapan sanksi kepegawaian sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku (pemberhentian, penurunan pangkat, mutasi kerja);

2. Penerapan tuntutan perbendaharaan dan ganti rugi, yaitu pengembalian dana BOS yang terbukti disalahgunakan ke kas negara;

3. Penerapan proses hukum, yaitu mulai proses penyelidikan, penyidikan dan proses peradilan bagi pihak yang diduga atau terbukti melakukan penyimpangan dana BOS;

4. Pemblokiran dana dan penghentian sementara seluruh bantuan pendidikan yang bersumber dari APBN pada tahun berikutnya kepada kabupaten/kota dan provinsi, bilamana terbukti pelanggaran tersebut dilakukan secara sengaja dan tersistem untuk memperoleh keuntungan pribadi, kelompok atau golongan.


(26)

(1)

Larangan Penggunaan Dana BOS

1. Disimpan dengan maksud dibungakan; 2. Dipinjamkan kepada pihak lain;

3. Membeli Lembar Kerja Siswa (LKS);

4. Membeli software/perangkat lunak untuk pelaporan keuangan BOS atau software sejenis; 5. Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas madrasah dan memerlukan biaya besar,

misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya; 6. Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru;

7. Membeli pakaian/seragam/sepatu bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris madrasah), kecuali untuk siswa miskin penerima PIP;

8. Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat; 9. Membangun gedung/ruangan baru;

10. Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran; 11. Menanamkan saham;

12. Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh/wajar;

13. Membiayai kegiatan penunjang yang tidak ada kaitannya dengan operasional madrasah, misalnya iuran dalam rangka perayaan hari besar nasional dan upacara keagamaan/acara keagamaan;

14.Membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/pendampingan terkait program BOS/perpajakan program BOS yang diselenggarakan lembaga di luar Kementerian Agama.


(2)

FAKTA-FAKTA PENYELEWANGAN DANA BOS

(sumber : website : ilmucerdas pendidikan.wordpress.com)

– Sebanyak 62.85% sekolah tidak mencantumkan penerimaan BOS (indikasi korupsi)

• Sebanyak 62,84% sekolah yang disamping tidak mencantumkan seluruh penerimaan dana BOS dalam RAPBS dengan nilai Rp 479,96 miliar [TA 2007] dan Rp 144, 23 miliar [TA 2008 semester I]. Padahal salah satu media perencanaan yang dipakai sekolah dalam pengelolaan keuangannya adalah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

• Penyalahan ini disebabkan oleh :

1) Petunjuk teknis BOS dalam penyusunan RAPBS tidak mengatur

secara jelas cara penyusunan dan mekanisme pengesahan dari RAPBS menjadi APBS dan

2)  Kepala sekolah tidak transparan dalam mengelola dana sekolah.

• Sebanyak 4.12% sekolah tidak mengratiskan biaya operasional sekolah pada siswadidiknya.Dari 4.127 sekolah di 62 kabupaten/kota, diperoleh 47 SD (27 SD Negeri dan 20 SD Swasta) dan 123 SMP (95 SMP Negeri dan 28 SMP Swasta) di 15 kabupaten/kota belum membebaskan biaya/iuran bagi siswa tidak mampu di sekolah dan tetap memungut iuran/biaya pendidikan seperti iuran ekstra kurikuler, sumbangan pengembangan sekolah, dan iuran


(3)

• Dana BOS sebesar Rp28.14 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya (indikasi korupsi).Sesuai dengan peraturan dan perundangan, dana BOS diperuntukkan untuk :

– pembiayaan seluruh kegiatan Penerimaan Siswa Baru (PSB)

– pembelian buku tekspelajaran dan buku penunjang untuk koleksi perpustakaan

– pembelian bahan-bahan habis pakai, misalnya buku tulis, kapur tulis, pensil, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan koran, gula, kopi dan teh untuk kebutuhan sehari-hari di sekolah

– pembiayaan kegiatan kesiswaan, program remedial, program pengayaan siswa, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya

– pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa


(4)

– pengembangan profesi guru antara lain pelatihan, KKG/MGMP dan KKKS/MKKS

– pembiayaan perawatan sekolah seperti pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan meubelair dan perawatan lainnya

– pembiayaan langganan daya dan jasa

– pembayaran honorarium guru dan tenaga kependidikan honorer sekolah

– pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin

– pembiayaan pengelolaan BOS dan bila seluruh komponen diatas telah terpenuhi pendanaannya dari BOS dan jika masih terdapat sisa dana maka sisa dana BOS tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran sekolah.


(5)

Sanksi

Sanksi terhadap penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan negara dan/atau madrasah dan/atau siswa, akan dijatuhkan oleh aparat/pejabat yang berwenang. Sanksi kepada oknum yang melakukan pelanggaran dapat diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya :

1. Penerapan sanksi kepegawaian sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku (pemberhentian, penurunan pangkat, mutasi kerja);

2. Penerapan tuntutan perbendaharaan dan ganti rugi, yaitu pengembalian dana BOS yang terbukti disalahgunakan ke kas negara;

3. Penerapan proses hukum, yaitu mulai proses penyelidikan, penyidikan dan proses peradilan bagi pihak yang diduga atau terbukti melakukan penyimpangan dana BOS;

4. Pemblokiran dana dan penghentian sementara seluruh bantuan pendidikan yang bersumber dari APBN pada tahun berikutnya kepada kabupaten/kota dan provinsi, bilamana terbukti pelanggaran tersebut dilakukan secara sengaja dan tersistem untuk memperoleh keuntungan pribadi, kelompok atau golongan.


(6)