Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung T2 752011039 BAB II

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA:

Etnisitas dan Identitas Sosial

Untuk meneliti dan mempertajam analisis penelitian dalam tesis ini, maka penulis melakukan kajian pustaka sebagai pendekatan teoritis terhadap topik penelitian yang akan digumuli. Hal ini dimaksudkan agar nantinya penulis lebih fokus dan terarah dalam melakukan analisis terhadap seluruh data-data atau hasil penelitian lapangan yang telah didapatkan.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis memfokuskan kajian pustaka terhadap teori etnisitas dan identitas sosial.

A. Etnisitas

Berkaitan dengan konsep etnisitas, T.K. Oommen mengidentifikasi setidaknya lima perbedaan cara pandang dimana kelompok etnis dan etnisitas terkonseptualisasi, yaitu:1

Pertama, kelompok etnis dikonseptualisasi sebagai sesuatu yang kecil. Kelompok etnis tersebut berbagi kebudayaan yang sama dengan kebudayaan nenek moyangnya yang dijadikan sebagai pijakan. Namun, dalam dunia sekarang, masyarakat dan kelompok tidak dibatasi oleh garis keturunan dan kekeluargaan.

Kedua, kelompok etnis dilihat sebagai kelompok yang memiliki wewenang untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Kewenangan kelompok etnis itu didasarkan pada

1

T.K. Oommen., Kewarganegaraan, Kebangsaan, dan Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 55-56.


(2)

faktor subjektif yang dipilih oleh anggota mereka dari sejarah masa lalu atau kondisi saat ini. Corak kultural yang dipilih membantu dalam penciptaan dan pemeliharaan ikatan sosio-kultural dalam hubungannya dengan kelompok etnis yang saling berinteraksi.

Ketiga, kelompok etnis dipandang sebagai kelompok kepentingan yang berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan dari negara kesejahteraan. Kelompok ras, agama, dan bahasa termasuk dalam definisi tersebut yang melihat etnisitas sebagai sumber yang digunakan oleh kelompok imigran yang terpinggirkan.

Keempat, etnisitas dianggap sebagai instrumen pencari identitas oleh orang-orang dengan latar belakang ras dan kebudayaan yang beragam di masyarakat.

Kelima, etnisitas dikonseptualisasikan sebagai alat yang digunakan orang untuk mencari kesatuan psikologis yang seringkali didasarkan pada kesamaan umum, yakni kesamaan darah, baik secara nyata maupun fiktif.

Selain konsep tentang etnisitas di atas, sumber lain mengatakan bahwa etnisitas adalah pembagian kelompok berdasar ciri-ciri yang sama dalam hal budaya dan genetis serta bertindak berdasarkan pattern yang sama, serta mengklaim bahwa pada dasarnya suatu kelompok etnis mempunyai sedikitnya enam sifat sebagai berikut:2

· Mempunyai nama yang unik yang merujuk pada kelompok masyarakat tertntu. Misalnya Nasution, Saragih, Sitorus (Batak). Atau Pardi, Paimo, Parjo (Jawa).

· Mempunyai keyakinan akan asal-asul nenek moyang, meski hal itu bisa jadi mitos. Misal orang Jawa merasa keturunan dari Semar.

2

http://id.shvoong.com/social-sciences/anthropology/2248406-pengertian-etnisitas/#ixzz23oEexRY7/1Mei 2012


(3)

· Sebuah kelompok mempunyai ingatan historis yang sama. Misalnya Orang Sunda merasa tidak cocok dengan orang Jawa karena dahulu Kerajaan Majapahit (jawa) pernah terlibat bentrok dengan kerajaan Padjajaran (Sunda).

· Sebuah Kelompok mempunyai anasir budaya-agama yang sama. Meski

orang Jawa timur dan Jawa tengah berdeda dialek, tapi umumnya mereka islam dan dulunya menggunakan akasara yang sama (aksara jawa).

· Sebuah Kelompok mempunyai ikatan pada tanah leluhur. Meski,

mereka lahir dan besar di tempat lain. Misalnya orang batak yang lahir dan besar di Jakarta, merasa harus pulang kampung ke Tanah Toba karna merasa itulah tanah leluluhurnya.

· Memiliki ikatan solidaritas yang kuat antar anggota

kelompok. Misalnya orang tukang jamu dari Wonogiri (jawa) biasanya mereka saling membantu meski pekerjaan mereka sama-sama tukang jamu. Mereka akan saling berbagi dan saling tolong-menolong sebagai sesama tukang jamu dan sesama warga Wonogiri.

Dalam beberapa hal, masalah pekerjaan kadangkala juga merujuk pada identitas etnisitas tertentu. Misalnya, tukang kredit keliling di Jakarta umumnya orang Garut atau Batak.

Salah satu hal yang seringkali muncul ke permukaan ketika berbicara tentang etnisitas adalah adanya kecenderungan untuk mendikotomikan kelompok-kelompok etnis menjadi etnis mayoritas dan etnis minoritas. Etnis mayoritas merupakan representasi dominan atau populasi terbesar yang biasanya merujuk kepada kelompok-kelompok etnis yang memegang kekuasaan sosial dan politik. Etnis minoritas merupakan hal yang sebaliknya.3

Masih berkaitan dengan kecenderungan atau fenomena sikap superior dari kelompok-kelompok mayoritas terhadap kelompok-kelompok minoritas dalam hubungan-hubungan sosial, Eriksen mengatakan:

Ethnicity is an aspect of social relationship between persons who consider themselves as essentially distinctive from members of other groups of whom they are aware and with whom they enter into relationships. ... When cultural differences regularly make a difference in interaction between members of groups, the social relationship has an ethnic element. Ethnicity refers both to aspects of gain and loss in interaction, and to aspects of meaning in the

3


(4)

creation of identity. In this way it has a political, organisational aspect as well as a symbolic, meaningful one. 4

(Etnisitas adalah satu aspek hubungan sosial antara orang-orang yang menganggap atau menilai diri mereka lebih utama/istimewa dari para anggota kelompok-kelompok lain yang sadar dengan siapa mereka telah menjalin hubungan. ...Ketika perbedaan-perbedaan budaya secara teratur membuat perbedaan di dalam interaksi antara para anggota kelompok-kelompok, maka hubungan sosial mempunyai elemen (nuansa) kesukuan. Etnisitas menunjuk kedua-duanya kepada aspek keuntungan dan kerugian di dalam interaksi, dan kepada aspek makna penciptaan identitas. Dengan cara ini hal tersebut mempunyai aspek politis, organisasi (kelompok) seumpama sebuah simbol yang penuh makna).

B. Identitas Sosial

Afthonul Afif menjelaskan teori identitas sosial beserta segala aspek-aspek dan dinamika yang ada di dalamnya, ia menuliskan sebagai berikut:

Dalam khazanah psikologi sosial kajian terhadap proses interaksi antarkelompok sosial tersebut melahirkan sebuah tradisi teoretis yang kuat dan berpengaruh hingga sekarang, yang disebut sebagai teori identitas sosial. Area kajian teori identitas sosial adalah pembahasan tentang perilaku-perilaku individu dalam konteks hubungan antarkelompok yang mencerminkan keberadaan unit-unit sosial lebih besar di mana individu bernaung di dalamnya, seperti organisasi-organisasi sosial, sistem-sistem kebudayaan, dan sistem-sistem sosial lainnya yang mana individu cenderung akan menempatkan hal-hal tersebut sebagai rujukan bagi perilaku-perilaku sosialnya (Tajfel, 1974). Dengan demikian, terdapat pola yang relatif stabil mengenai proses terbentuknya perilaku-perilaku individu di level interaksi antarkelompok, yaitu bahwa setiap hal yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan individu pada dasarnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, dan norma-norma tertentu yang berkembang di level kelompok (Padilla dan Perez, 2003). Dengan kata lain, perilaku individu merupakan fungsi langsung dari sistem-sistem nilai yang berkembang di kelompoknya.

Identitas sosial terbentuk dari keterlibatan, rasa peduli, dan rasa bangga individu sebagai bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya (Hogg dan Abram, 1990: 2-3). Ia merupakan bagian dari konsep diri individu yang bersumber dari pengetahuan tentang keanggotaannya dalam suatu kelompok

4

Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological, Third Edition (New York: Pluto Press, 2010), 16-17.


(5)

sosial yang menganut nilai, norma, dan ikatan emosional tertentu yang mampu menyatukan anggota-anggotanya (Tajfel, 1982: 2). Dengan demikian, identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya selama berada dalam sebuah kelompok sosial tertentu melalui mana individu tersebut dengan sengaja menginternalisasi nilai-nilai, turut berpartisipasi, serta mengembangkan rasa peduli dan kebanggaan terhadap kelompoknya.5

Lebih lanjut ia menjelaskan:

Teori identitas sosial memiliki tiga asumsi utama: (1) setiap individu akan berusaha mempertahankan konsep dirinya yang positif; (2) konsep diri tersebut lahir dari identifikasi terhadap kelompok sosial yang lebih besar; (3) upaya individu dalam mempertahankan konsep dirinya yang yang positif itu cenderung dilakukan melalui cara membanding-bandingkan kelompoknya dengan kelompok lain (Operario dan Fiske, 1999: 26-54). Proses perbandingan sosial ini umumnya didorong oleh motif persaingan antarkelompok, yang tidak jarang akan berujung pada konflik sosial ketika variabel-variabel struktural seperti distribusi kekuasaan yang tidak adil, hierarki sosial yang terlalu timpang, persaingan memperebutkan sumber daya dan pengaruh, dan upaya mempertahankan harga diri kelompok itu tereskalasi dalam hubungan antar kelompok. Kondisi ini memungkinkan masing-masing kelompok sosial akan mempersepsi kelompok lain (outgroup) sebagai pesaing, ancaman, jahat, buruk, sementara dalam dalam waktu yang bersamaan akan muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu melihat kelompok (ingroup) sendiri sebagai yang lebih baik dan unggul (Padilla dan Perez, 2003).

Pembahasan mengenai teori identitas sosial tentu tidak bisa dipisahkan dengan teori kategorisasi diri (self-categorization theory). Menurut Turner dkk. (1987: 8-10), realitas sosial merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang menjadi acuan bagi identitas kelompok, dan dalam perkembangannya kemudian melahirkan batas-batas antarkelompok. Identitas sosial yang mewujud dalam interaksi sosial dengan demikian merupakan penjelamaan dari kegiatan memilih, menyerap, sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut, sehingga dfalam konteks ini bisa dibaca bahwa pada dasarnya setiap kelompok akan membawa dan memperjuangkan kepentingannya masing-masing dalam interaksi sosial. Hal ini juga bisa dipahami bahwa kecenderungan sebuah kelompok sosial untuk menyerap nilai-nilai tertentu ketimbang yang lainnya merupakan cara kelompok tersebut dalam membuat batas pembeda antara dirinya dengan kelompok-kelompok lain. Proses yang mewakilinya disebut sebagai kategorisasi diri. Bagi individu yang menjadi bagian dari kelompok sosial tersebut selanjutnya akan menempatkan nilai-nilai yang berkembang dalam kelompoknya itu

5

Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia (Depok, Jawa Barat: Penerbit Kepik, 2012), 17-18.


(6)

(ingroup) sebagai rujukan dalam berperilaku dan menjadi bagian dari identitas sosialnya, sementara di saat yang bersamaan dia akan bersikap sebaliknya untuk kelompok lain, yaitu cenderung merendahkan nilai-nilai yang berkembang dan dianut oleh kelompok lain (outgroup) (Krizan dan Baron, 2007).6

Secara khusus mengenai ingroup dan outgroup tersebut, ia mencoba menjelaskannya dengan melihat kecenderungan-kecenderungan sosial beserta potensi-potensi konflik yang bisa saja muncul di dalamnya. Ia mengatakan bahwa:

Fenomena ini kemudian akan mengarahkan individu untuk membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang secara tegas berbeda, yaitu “dunia ke-kita-an” (weness) dan “dunia yang lain” atau “dunia mereka” (otherness). Kita adalah ingroup sementara mereka adalah outgroup. Kecenderungan untuk memuja kelompok sendiri beserta nilai-nilai yang berkembang di dalamnya selanjutnya akan memicu lahirnya fenomena bias-bias kelompok sendiri (ingroup biases). Ingroup biases ini merupakan kondisi yang mengarahkan individu untuk semakin menunjukkan ciri, kategori, dan sifat kelompoknya sendiri dalam rangka mendapatkan rasa aman dan kedekatan emosional dengan sesama anggota kelompok, sekaligus menjadi sumber bagi setiap rasa kesatuan (sense of unity), yang selanjutnya akan berujung pada lahirnya kebanggaan dan loyalitas terhadap kelompoknya sendiri. (Marques dkk., 1988; Direnzo, 1990: 14; Barnum dan Marskovsky, 2007).

Sementara di lain sisi, outgroup merupakan kategori sosial atau kategori kelompok di mana individu tidak merasa menjadi bagian dari kategori sosial tersebut sehingga akan menimbulkan perasaan tidak suka, menghindar, membandingkan, berkompetisi, bahkan bisa memicu lahirnya konflik dengan kelompok lain (Direnzo, 1990: 15). Dasar dari kohesivitas dalam ingroup

adalah adanya persamaan, baik persamaan dalam hal ras, agama, kepercayaan, kelompok sosial, pekerjaan, jenis kelamin, dan sebagainya, dan di saat yang bersamaan ia juga diteguhkan oleh persepsi terhadap outgroup

yang berbeda dengan ingroup. Penelitian tentang kategorisasi sosial dan

ingroup preference membuktikan bahwa rasa suka dan penilaian positif terhadap ingroup terjadi karena para subjek mengetahui adanya kesamaan dalam identitas kelompok mereka (Doosje dkk., 2002; Barnum dan Marskovsky, 2007), sementara outgroup terbentuk dari proses identifikasi terhadap perbedaan-perbedaan dalam berbagai manifestasinya (ras, agama, kelas sosial, pekerjaan, dsb). Outgroup merupakan kelompok sosial yang sama sekali berbeda dengan ingroup.

... Sementara dampak langsung dari kategorisasi sosial itu membuat dunia terpilah menjadi dua kutub yang saling berlawanan dalam pola relasi

6


(7)

ingroup-outgroup, yang pada titik tertentu merupakan sumber bagi konflik-konflik sosial, terdapat fakta lain yang lebih berkesan positif dari proses kategorisasi itu, yaitu individu menjadi mampu menempatkan dirinya dalam relasi sosial melalui cara-cara yang lebih terukur dan terkontrol. Kesadaran bahwa individu menempati posisi sosial tertentu di hadapan individu-individu dari kelompok lain juga membuat individu-individu tahu bagaimana memanfaatkan nilai-nilai yang dia anut secara tepat sehingga rasa keberbedaan sebagai sumber identitas sosial itu tetap terjamin. Proses ini menggambarkan bagaimana internalisasi nilai-nilai itu berlangsung di level individu. Nilai-nilai itu selanjutnya akan memengaruhi bagaimana konsep diri individu terbentuk. Jumlah total dari nilai-nilai yang telah diinternalisasikan ke dalam konsep diri individu yang mana hal itu kemudian menjadi kondisi pembeda ketika individu berhadapan dengan individu-individu lain disebut sebagai “identitas sosial” individu-individu.

Dengan kata lain, identitas sosial akan selalu berhubungan dengan pengetahuan individu tentang peran dan signifikansi nilai-nilai yang diperoleh dari keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu (Abrams, 1996: 150-153).7

` James Banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau cultural identity, sebagaimana dikutip oleh Choirul Mahfud, yaitu:8

1. Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotipe kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior.

2. Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi, dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.

7

Ibid., 19-21

8


(8)

3. Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsanya sendiri.

4. The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.

5. Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.

6. Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterikatannya terhadap budaya bangsa dan budaya global.

Selain itu, Hogg dan Abrams berpendapat bahwa:

Teori identitas sosial menyatakan bahwa persepsi antarkelompok etnis hendaknya dipahami menurut paradigma the group in the individual, bukan paradigma individual in the group. Dengan demikian upaya menjelaskan fenomena persepsi antar kelompok berpijak pada perspektif kelompok.9 Selanjutnya Tajfel, Turner dan Gills dalam Hogg dan Abrams mengatakan bahwa:

Identitas sosial merupakan serangkaian proses dan asumsi terintegrasi yang menjelaskan hubungan antara kekuatan sosiokultural dengan pelaku sosial individu. Identitas sosial merupakan kesadaran individu bahwa dirinya sebagai anggota dari suatu kelompok tertentu, yang meliputi kesadaran akan perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota dari kelompok tersebut. Identitas sosial merupakan komponen penting yang menjadi bagian dari konsep diri seseorang dan menjadi determinan penting bagi pelaku.10

9

Michael A. Hogg & Dominic Abrams, Social Identification: A social Psychology of Intergroup Relation and Group Processes (London: Routledge, 1988), 60.

10


(9)

Kemudian Hogg dan Abram juga menyatakan bahwa:

Identitas sosial mengacu pada asumsi-asumsi mengenai sifat-sifat individu dan sifat masyarakat dan interaksi yang terjalin antara keduanya. Di dalam masyarakat yang hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama, dll. Di dalam masing-masing kategori-kategori sosial melekat suatu kekuatan (power), status, martabat (prestige) yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antar individu dan antar kelompok. Sementara di dalam diri individu berlangsung proses kognitif, afektif, dan konatif yang dijadikan pertimbangan individu untuk mengerti dan berperilaku.11

Lebih jauh Taylor dan Moghaddam dalam Hogg & Abrams berupaya menjelaskan bahwa teori identitas sosial mengandung 4 konsep pokok yang terdiri dari:12

a. Kategori sosial (social categorization), merupakan segmentasi terhadap lingkungan, agar lebih mudah dikenali melalui kategorisasi individu-individu ke dalam kelompok sosial yang biasa dikenal.

b. Identitas sosial (social identity), merupakan bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota dari suatu kelompok sosial, yang didalamnya juga tercakup nilai dan emosi-emosi penting yang melekat pada diri individu sebagai anggota.

c. Perbandingan sosial (social comparison), merupakan proses perbandingan karakteristik ingroup dengan outgroup.

d. Identitas psikologi khusus kelompok (psychological group distinctiveness). Suatu upaya diri individu sebagai anggota suatu kelompok untuk menunjukkan bahwa kelompoknya (ingroup) memiliki identitas yang berbeda dari kelompok lain (outgroup).

11

Ibid.,61-62.

12


(10)

Sikap outgroup selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme atau antipati. Perasaan ingroup dan outgroup atau perasaan dalam serta luar kelompok dapat merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan etnosentrisme. Anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu sedikit banyak akan mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik apabila dibandingkan dengan kebiasaan kelompok-kelompok lainnya. Kecenderungan tadi disebut etnosentrisme, yaitu suatu sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri.13

13

JBAF Mayor Polak, Sosiologi, Suatu Buku Pengantar Ringkas (Jakarta: Penerbit dan Balai Buku Ikhtiar, 1966).


(1)

sosial yang menganut nilai, norma, dan ikatan emosional tertentu yang mampu menyatukan anggota-anggotanya (Tajfel, 1982: 2). Dengan demikian, identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya selama berada dalam sebuah kelompok sosial tertentu melalui mana individu tersebut dengan sengaja menginternalisasi nilai-nilai, turut berpartisipasi, serta mengembangkan rasa peduli dan

kebanggaan terhadap kelompoknya.5

Lebih lanjut ia menjelaskan:

Teori identitas sosial memiliki tiga asumsi utama: (1) setiap individu akan berusaha mempertahankan konsep dirinya yang positif; (2) konsep diri tersebut lahir dari identifikasi terhadap kelompok sosial yang lebih besar; (3) upaya individu dalam mempertahankan konsep dirinya yang yang positif itu cenderung dilakukan melalui cara membanding-bandingkan kelompoknya dengan kelompok lain (Operario dan Fiske, 1999: 26-54). Proses perbandingan sosial ini umumnya didorong oleh motif persaingan antarkelompok, yang tidak jarang akan berujung pada konflik sosial ketika variabel-variabel struktural seperti distribusi kekuasaan yang tidak adil, hierarki sosial yang terlalu timpang, persaingan memperebutkan sumber daya dan pengaruh, dan upaya mempertahankan harga diri kelompok itu tereskalasi dalam hubungan antar kelompok. Kondisi ini memungkinkan masing-masing kelompok sosial akan mempersepsi kelompok lain (outgroup) sebagai pesaing, ancaman, jahat, buruk, sementara dalam dalam waktu yang bersamaan akan muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu melihat kelompok (ingroup) sendiri sebagai yang lebih baik dan unggul (Padilla dan Perez, 2003).

Pembahasan mengenai teori identitas sosial tentu tidak bisa dipisahkan dengan teori kategorisasi diri (self-categorization theory). Menurut Turner dkk. (1987: 8-10), realitas sosial merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang menjadi acuan bagi identitas kelompok, dan dalam

perkembangannya kemudian melahirkan batas-batas antarkelompok.

Identitas sosial yang mewujud dalam interaksi sosial dengan demikian merupakan penjelamaan dari kegiatan memilih, menyerap, sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut, sehingga dfalam konteks ini bisa dibaca bahwa pada dasarnya setiap kelompok akan membawa dan memperjuangkan kepentingannya masing-masing dalam interaksi sosial. Hal ini juga bisa dipahami bahwa kecenderungan sebuah kelompok sosial untuk menyerap nilai-nilai tertentu ketimbang yang lainnya merupakan cara kelompok tersebut dalam membuat batas pembeda antara dirinya dengan kelompok-kelompok lain. Proses yang mewakilinya disebut sebagai kategorisasi diri. Bagi individu yang menjadi bagian dari kelompok sosial tersebut selanjutnya akan menempatkan nilai-nilai yang berkembang dalam kelompoknya itu

5

Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia (Depok, Jawa Barat: Penerbit Kepik, 2012), 17-18.


(2)

(ingroup) sebagai rujukan dalam berperilaku dan menjadi bagian dari identitas sosialnya, sementara di saat yang bersamaan dia akan bersikap sebaliknya untuk kelompok lain, yaitu cenderung merendahkan nilai-nilai yang berkembang dan dianut oleh kelompok lain (outgroup) (Krizan dan Baron, 2007).6

Secara khusus mengenai ingroup dan outgroup tersebut, ia mencoba

menjelaskannya dengan melihat kecenderungan-kecenderungan sosial beserta potensi-potensi konflik yang bisa saja muncul di dalamnya. Ia mengatakan bahwa:

Fenomena ini kemudian akan mengarahkan individu untuk membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang secara tegas berbeda, yaitu “dunia ke-kita-an” (weness) dan “dunia yang lain” atau “dunia mereka” (otherness). Kita adalah ingroup sementara mereka adalah outgroup. Kecenderungan untuk memuja kelompok sendiri beserta nilai-nilai yang berkembang di dalamnya selanjutnya akan memicu lahirnya fenomena bias-bias kelompok sendiri (ingroup biases). Ingroup biases ini merupakan kondisi yang mengarahkan individu untuk semakin menunjukkan ciri, kategori, dan sifat kelompoknya sendiri dalam rangka mendapatkan rasa aman dan kedekatan emosional dengan sesama anggota kelompok, sekaligus menjadi sumber bagi setiap rasa kesatuan (sense of unity), yang selanjutnya akan berujung pada lahirnya kebanggaan dan loyalitas terhadap kelompoknya sendiri. (Marques dkk., 1988; Direnzo, 1990: 14; Barnum dan Marskovsky, 2007).

Sementara di lain sisi, outgroup merupakan kategori sosial atau kategori kelompok di mana individu tidak merasa menjadi bagian dari kategori sosial tersebut sehingga akan menimbulkan perasaan tidak suka, menghindar, membandingkan, berkompetisi, bahkan bisa memicu lahirnya konflik dengan kelompok lain (Direnzo, 1990: 15). Dasar dari kohesivitas dalam ingroup adalah adanya persamaan, baik persamaan dalam hal ras, agama, kepercayaan, kelompok sosial, pekerjaan, jenis kelamin, dan sebagainya, dan di saat yang bersamaan ia juga diteguhkan oleh persepsi terhadap outgroup yang berbeda dengan ingroup. Penelitian tentang kategorisasi sosial dan ingroup preference membuktikan bahwa rasa suka dan penilaian positif terhadap ingroup terjadi karena para subjek mengetahui adanya kesamaan dalam identitas kelompok mereka (Doosje dkk., 2002; Barnum dan Marskovsky, 2007), sementara outgroup terbentuk dari proses identifikasi terhadap perbedaan-perbedaan dalam berbagai manifestasinya (ras, agama, kelas sosial, pekerjaan, dsb). Outgroup merupakan kelompok sosial yang sama sekali berbeda dengan ingroup.

... Sementara dampak langsung dari kategorisasi sosial itu membuat dunia terpilah menjadi dua kutub yang saling berlawanan dalam pola relasi

6


(3)

ingroup-outgroup, yang pada titik tertentu merupakan sumber bagi konflik-konflik sosial, terdapat fakta lain yang lebih berkesan positif dari proses kategorisasi itu, yaitu individu menjadi mampu menempatkan dirinya dalam relasi sosial melalui cara-cara yang lebih terukur dan terkontrol. Kesadaran bahwa individu menempati posisi sosial tertentu di hadapan individu-individu dari kelompok lain juga membuat individu-individu tahu bagaimana memanfaatkan nilai-nilai yang dia anut secara tepat sehingga rasa keberbedaan sebagai sumber identitas sosial itu tetap terjamin. Proses ini menggambarkan bagaimana internalisasi nilai-nilai itu berlangsung di level individu. Nilai-nilai itu selanjutnya akan memengaruhi bagaimana konsep diri individu terbentuk. Jumlah total dari nilai-nilai yang telah diinternalisasikan ke dalam konsep diri individu yang mana hal itu kemudian menjadi kondisi pembeda ketika individu berhadapan dengan individu-individu lain disebut sebagai “identitas sosial” individu-individu.

Dengan kata lain, identitas sosial akan selalu berhubungan dengan pengetahuan individu tentang peran dan signifikansi nilai-nilai yang diperoleh dari keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu (Abrams, 1996: 150-153).7

` James Banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap

identitas etnik atau cultural identity, sebagaimana dikutip oleh Choirul Mahfud, yaitu:8

1. Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotipe kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior.

2. Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi, dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.

7

Ibid., 19-21

8


(4)

3. Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsanya sendiri.

4. The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.

5. Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.

6. Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterikatannya terhadap budaya bangsa dan budaya global.

Selain itu, Hogg dan Abrams berpendapat bahwa:

Teori identitas sosial menyatakan bahwa persepsi antarkelompok etnis hendaknya dipahami menurut paradigma the group in the individual, bukan paradigma individual in the group. Dengan demikian upaya menjelaskan fenomena persepsi antar kelompok berpijak pada perspektif kelompok.9 Selanjutnya Tajfel, Turner dan Gills dalam Hogg dan Abrams mengatakan bahwa:

Identitas sosial merupakan serangkaian proses dan asumsi terintegrasi yang menjelaskan hubungan antara kekuatan sosiokultural dengan pelaku sosial individu. Identitas sosial merupakan kesadaran individu bahwa dirinya sebagai anggota dari suatu kelompok tertentu, yang meliputi kesadaran akan perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota dari kelompok tersebut. Identitas sosial merupakan komponen penting yang menjadi bagian dari konsep diri seseorang dan menjadi determinan penting bagi pelaku.10

9

Michael A. Hogg & Dominic Abrams, Social Identification: A social Psychology of Intergroup Relation and Group Processes (London: Routledge, 1988), 60.

10


(5)

Kemudian Hogg dan Abram juga menyatakan bahwa:

Identitas sosial mengacu pada asumsi-asumsi mengenai sifat-sifat individu dan sifat masyarakat dan interaksi yang terjalin antara keduanya. Di dalam masyarakat yang hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama, dll. Di dalam masing-masing kategori-kategori sosial melekat suatu kekuatan (power), status, martabat (prestige) yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antar individu dan antar kelompok. Sementara di dalam diri individu berlangsung proses kognitif, afektif, dan konatif yang dijadikan pertimbangan individu untuk mengerti dan berperilaku.11

Lebih jauh Taylor dan Moghaddam dalam Hogg & Abrams berupaya menjelaskan bahwa teori identitas sosial mengandung 4 konsep pokok yang terdiri dari:12

a. Kategori sosial (social categorization), merupakan segmentasi terhadap lingkungan, agar lebih mudah dikenali melalui kategorisasi individu-individu ke dalam kelompok sosial yang biasa dikenal.

b. Identitas sosial (social identity), merupakan bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota dari suatu kelompok sosial, yang didalamnya juga tercakup nilai dan emosi-emosi penting yang melekat pada diri individu sebagai anggota.

c. Perbandingan sosial (social comparison), merupakan proses perbandingan karakteristik ingroup dengan outgroup.

d. Identitas psikologi khusus kelompok (psychological group distinctiveness). Suatu upaya diri individu sebagai anggota suatu kelompok untuk menunjukkan bahwa kelompoknya (ingroup) memiliki identitas yang berbeda dari kelompok lain (outgroup).

11

Ibid.,61-62.

12


(6)

Sikap outgroup selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme atau antipati. Perasaan ingroup dan outgroup atau perasaan dalam serta luar kelompok dapat merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan etnosentrisme. Anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu sedikit banyak akan mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik apabila dibandingkan dengan kebiasaan kelompok-kelompok lainnya. Kecenderungan tadi disebut etnosentrisme, yaitu suatu sikap untuk menilai

unsur-unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran

kebudayaan sendiri.13

13

JBAF Mayor Polak, Sosiologi, Suatu Buku Pengantar Ringkas (Jakarta: Penerbit dan Balai Buku Ikhtiar, 1966).


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung T2 752011039 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung T2 752011039 BAB IV

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung T2 752011039 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Nias T2 752016014 BAB II

0 2 63

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunggu Gunung Kudu Wareg : Studi Dinamika Masyarakat Desa dalam Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal T2 092013008 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunggu Gunung Kudu Wareg : Studi Dinamika Masyarakat Desa dalam Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal T2 092013008 BAB II

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunggu Gunung Kudu Wareg : Studi Dinamika Masyarakat Desa dalam Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal T2 092013008 BAB IV

0 0 74

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunggu Gunung Kudu Wareg : Studi Dinamika Masyarakat Desa dalam Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal T2 092013008 BAB V

0 0 9

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB II

0 0 44