Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung T2 752011039 BAB IV

(1)

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN DATA PENELITIAN

A. Masyarakat Gunungsitoli Ditinjau Dari Perspektif Teori Etnisitas

Berdasarkan teori etnisitas, rasa kebersamaan dan ikatan sosial dalam suatu masyarakat, secara khusus dalam masyarakat plural (majemuk), dapat terbangun dan terjalin begitu rupa karena adanya kesamaan asal-usul atau leluhur, garis keturunan atau hubungan darah, marga, bahasa dan dialek, ciri-ciri fisik, nilai-nilai budaya, dan praktik-praktik budaya seperti seni, sastra, dan musik, loyalitas, memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma, kepercayaan, nilai-nilai bersama, dan juga dalam hal agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianut. Berdasarkan teori etnisitas, dapat dikatakan bahwa apabila satu atau lebih dari ciri-ciri atau aspek-aspek di atas terkombinasikan atau terpola dalam sebuah kelompok sosial, maka hal itu pasti akan melahirkan perasaan etnisitas. Berdasarkan analisis penulis, perasaan etnisitas inilah yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok sosial dalam sebuah masyarakat yang dikenal dengan kelompok-kelompok etnis.

Demikian juga halnya dengan masyarakat Gunungsitoli sebagai masyarakat plural (majemuk) yang terdiri dari berbagai etnis pasti memiliki rasa kebersamaan dan ikatan sosial yang terbangun dan terjalin atas dasar etnisitas. Perasaan etnisitas ini pasti tidak dapat disangkal atau ditiadakan di dalam diri tiap-tiap kelompok etnis yang ada. Etnisitas ini kemudian terintegrasikan dalam bentuk-bentuk kekerabatan sosial yang mewujud dalam perkumpulan-perkumpulan keluarga


(2)

berdasarkan hubungan darah, marga, dan lain sebagainya. Dalam masyarakat Gunungsitoli misalnya, banyak berdiri STM (Serikat Tolong Menolong) berdasarkan marga atau berdasarkan kumpulan keluarga besar tertentu (anak, keponakan, cucu, dsb) yang dilihat menurut hubungan darah atau garis keturunan (silsilah). Bahkan tidak jarang, perkumpulan-perkumpulan seperti ini juga dibentuk di luar daerah, misalnya: organisasi IKAONI (Ikatan Keluarga Ono Niha)1 yang ada di Kota Salatiga. Tak dapat dipungkiri bahwa hal ini sesuai dengan salah satu teori etnisitas yang disampaikan oleh T.K. Oommen bahwa etnisitas dapat dikonseptualisasikan sebagai alat yang digunakan orang untuk mencari kesatuan psikologis yang seringkali didasarkan pada kesamaan umum, yakni kesamaan darah, baik secara nyata maupun fiktif.

Namun sejauh pengamatan penulis terhadap masyarakat Gunungsitoli, perasaan etnisitas itu sebenarnya tidak hanya terbentuk, terbangun, dan terjalin dalam relasi internal salah satu kelompok etnis tertentu saja. Dalam konteks kemasyarakatan dan relasi sosial yang lebih luas di Kota Gunungsitoli, perasaan etnisitas itu juga terlihat dalam hubungan-hubungan sosial di antara kelompok-kelompok etnis di Kota Gunungsitoli. Perasaan etnisitas antar kelompok-kelompok-kelompok-kelompok etnis ini sangat erat kaitannya dengan beberapa kearifan lokal seperti penulis jelaskan pada Bab III, yaitu tentang banua dan fatalifusöta. Ketika seseorang bergabung dan mengikatkan dirinya menjadi banua, maka oleh seluruh anggota masyarakat dalam banua tersebut menerima dia sebagai anggota masyarakat yang

1

IKAONI (Ikatan Keluarga Ono Niha) adalah organisasi atau perkumpulan masyarakat dari seluruh keluarga dan mahasiswa yang berasal dari Nias yang berdomisili atau sedang menempuh pendidikan di Kota Salatiga dan sekitarnya. Anggota-anggota organisasi ini tidak hanya terdiri dari keluarga-keluarga yang memiliki hubungan darah khusus atau dari marga yang serumpun, tetapi seluruh masyarakat yang berasal dari Nias tanpa melihat hubungan darah tertentu, marga, asal kampung, dan sebagainya.


(3)

sah dalam wilayah tersebut. Konsep fabanuasa terlihat di dalam interaksi-interaksi sosial antar kelompok etnis tanpa melihat garis keturunan atau hubungan darah, perbedaan marga, suku, agama, ras, status sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Penerimaan satu sama lain ini juga sangat didukung oleh kearifan lokal yang mengatakan emali dome si so balala, ono luo na so yomo. Seseorang yang

telah menjadi anggota masyarakat tadi tidak dianggap sebagai orang asing lagi, melainkan dianggap sebagai saudara yang sama dengan saudara-saudara lainnya dalam wilayah atau banua tersebut. Nilai kehidupan tertinggi dalam banua tersebut adalah rasa saling menerima dan persaudaraan atau fatalifusöta. Berdasarkan kearifan lokal ini tercipta sebuah masyarakat yang tidak hanya dikonstruksi atau dibatasi oleh garis keturunan, kekeluargaan karena ikatan darah. Oleh karena itu, selain faktor selain faktor kesamaan darah (hubungan darah) seperti disebutkan dalam teori etnisitas oleh T.K. Oommen, realitas sosial ini juga mendukung teori etnisitasnya yang lain yang mengatakan bahwa di masa sekarang masyarakat dan kelompok etnis tidak dibatasi oleh garis keturunan dan kekeluargaan. Oleh karena itu, istilah banuada (ini merupakan salah satu ungkapan dalam bahasa Nias yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat kita atau satu kampung dengan kita”) yang selama ini sering atau biasanya digunakan oleh masyarakat Nias dan Kota Gunungsitoli untuk menunjuk kepada sesama etnis Nias, dalam perspektif etnisitas sebenarnya memiliki makna yang lebih luas secara sosiologis yaitu keseluruhan masyarakat Nias atau masyarakat Gunungsitoli yang terdiri dari beragam etnis, dan bukan hanya terdiri dari etnis Nias saja sebagai kelompok etnis yang terbesar jumlahnya dalam masyarakat.


(4)

Memang dalam kenyataannya, sudah jarang terlihat atau jarang dilaksanakan semacam upacara adat tentang penerimaan seseorang menjadi anggota yang sah dalam masyarakat Gunungsitoli. Tetapi karena jiwa dan nilai-nilai banua tersebut masih tetap ada dalam kehidupan Ono Niha2 (penerimaan satu sama lain dan rasa persaudaraan yang kuat), serta telah diwariskan secara turun-temurun dari para orang tua atau leluhur sebelumnya, maka tidak pernah ada penolakan dari kelompok etnis Nias terhadap para pendatang atau etnis-etnis lainnya yang ada di Kota Gunungsitoli.

Sehubungan dengan adanya kecenderungan mendikotomikan kelompok-kelompok etnis menjadi etnis mayoritas dan etnis minoritas ketika berbicara tentang etnisitas, dari realitas sosial yang ada dapat diamati bahwa kecenderungan tersebut tidak terlihat dalam komposisi etnis di tengah-tengah masyarakat Gunungsitoli. Menurut analisis yang sudah dilakukan, istilah “etnis mayoritas” dan “etnis minoritas” dalam masyarakat Gunungsitoli sebaiknya jangan dimaknai secara politis, sebab hal itu akan melahirkan kesenjangan-kesenjangan sosial serta arogansi etnis. Kedua istilah itu sebaiknya dimaknai secara kuantitatif dalam komposisi kependudukan, yaitu etnis mayoritas sebagai kelompok yang jumlah anggotanya paling banyak, dan etnis minoritas sebagai kelompok yang jumlah anggotanya sedikit.

Etnisitas yang dimaknai Eriksen secara politis3 dalam teori etnisitasnya sebagai dominasi oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, sampai saat ini masih belum kelihatan secara sosiologis dalam konteks masyarakat

2

Tuhony Telaumbanua., “Upaya Menata Sosial-Budaya Masyarakat Nias Pasca Bencana”.., 93. 3


(5)

Gunungsitoli. Hal ini tidak bermaksud mengabaikan begitu saja analisis Eriksen tersebut di atas. Bagaimana pun juga, dalam kontek-konteks sosial lainnya tak dapat disangkal bahwa kemungkinan-kemungkinan pendikotomian kelompok-kelompok etnis tersebut bisa saja ada atau terjadi, tetapi hal itu mungkin terjadi dalam skala yang kecil sehingga dapat diabaikan atau tidak terlalu mencuat ke permukaaan. Memang tak dapat dipungkiri bahwa secara khusus dalam struktur Pemerintahan Kota Gunungsitoli, etnis Nias merupakan etnis mayoritas yang ada di dalamnya. Namun hal ini tidak berarti bahwa telah terjadi “budaya dominasi” oleh etnis Nias kepada etnis-etnis lainnya dalam hal perolehan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan struktural dalam pemerintahan, sebab dalam bab sebelumnya dituliskan bahwa etnis-etnis lainnya juga mendapatkan jabatan-jabatan strategis dalam struktur pemerintahan.

Hal ini merupakan salah satu nilai kesetaraan dan keadilan yang telah dipraktekkan dalam hubungan antar kelompok-kelompok etnis di tengah-tengah masyarakat Gunungsitoli. Secara sosial-politis, upaya yang seperti ini juga cukup ampuh untuk meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan konflik atau pertikaian antar etnis dalam masyarakat plural seperti Kota Gunungsitoli, sebagaimana terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia yang tidak jarang menelan korban dalam jumlah yang tidak sedikit. Sehubungan dengan hal ini, apa yang disampaikan oleh Bhikhu Parekh patut menjadi renungan bersama, yaitu:

Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman (pluralitas) telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antaretnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslovakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas


(6)

Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan semua sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.4

B. Masyarakat Gunungsitoli Ditinjau Dari Perspektif Teori Identitas Sosial Secara sosiologis, masyarakat Gunungsitoli bukanlah suatu masyarakat homogen yang hanya terdiri dari satu bentuk kebudayaan saja. Keragaman atau pluralitas etnis yang ada di dalamnya membuat kota ini memiliki sistem kebudayaan yang berbeda antar satu etnis dengan etnis lainnya. Hal ini disebabkan oleh sistem nilai dan tradisi-tradisi yang berbeda dalam tiap-tiap etnis. Apabila keragaman atau pluralitas ini dikelola secara bijaksana, maka akan menjadi suatu panorama sosial yang memungkinkan setiap orang dari latarbelakang budaya dan etnis manapun untuk hidup dalam kebudayaan yang tinggi dan beradab. Namun adalah sebaliknya, apabila keragaman atau pluralitas ini tidak dapat dikelola secara bijaksana maka segala unsur perbedaan tersebut akan menjadi permasalahan serius yang dapat mengancam keharmonisan sosial.

Berdasarkan teori identitas sosial, salah satu bahaya besar yang mengancam harmoni sosial dalam masyarakat plural adalah adanya potensi atau ancaman konflik antar etnis. Penyebabnya seringkali tak lain adalah munculnya anggapan atau klaim dari salah satu etnis tertentu yang merasa, menilai dan meyakini bahwa etnisnyalah yang lebih unggul, lebih baik, dan lebih superior dibandingkan dengan etnis-etnis lain yang hidup bersama dengan mereka dalam suatu masyarakat plural. Di dalam sikap superior etnis yang seperti ini juga, seringkali tak dapat dihindari

4

Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keragaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012), 87-88.


(7)

sikap menonjolkan atau mengagung-agungkan kebudayaan sendiri, serta menjelek-jelekkan kebudayaan lain dari kelompok etnis minoritas lainnya.

Adanya anarkisme berkaitan dengan tuntutan pengakuan terhadap identitas etnis atau diri pada umumnya disebabkan oleh tidak adanya kesadaran semacam itu. Kebudayaan yang tumbuh dalam sebuah komunitas dipandang sebagai kemutlakan yang harus diakui dan diagungkan keberadaannya. Sikap berlebihan itu kemudian memberikan peluang yang luas bagi masyarakat untuk menjelekkan dan tidak mengakui eksistensi budaya kelompok budaya lain. Pada titik ini diperlukan sebuah kebijakan yang bijak dan arif untuk memberikan keluasan bergerak bagi masing-masing entitas budaya dengan tetap mengakui keberadaan budaya yang lain. Jika tidak, gesekan-gesekan yang terjadi antarbudaya akan terjebak pada sikap fanatik, eksklusif, yang tentunya akan berdampak pada perpecahan.5

Hal ini dapat semakin diperburuk oleh adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, sosial-politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Kelompok sosial atau kelompok etnis paling dominan biasanya paling menguasai seluruh bidang tersebut di atas, dan mendapatkan kesempatan yang lebih besar serta keuntungan yang lebih banyak dibanding kelompok-kelompok etnis kecil atau minoritas lainnya. Kenyataan ini disebabkan oleh karena secara objektif mereka memiliki sarana dan prasarana (infrastruktur) yang lebih memadai serta memiliki akses yang lebih baik dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada, selain juga karena klaim sepihak bahwa merekalah yang yang seolah-olah paling berhak atas pemanfaatan sumber-sumber daya tersebut. Konsekuensi realnya adalah munculnya perbedaan-perbedaan kelas sosial, budaya, dan politik dalam masyarakat plural tersebut. Terdapat perbedaan yang tajam dan jelas antara mereka

5


(8)

yang tergolong sebagai kelompok dominan, dan mereka yang cenderung didominasi atau didiskriminasi sebagai kelompok minoritas.6

Dalam suatu masyarakat plural biasanya biasanya tetap ada kecenderungan kelompok-kelompok sosial untuk membentuk ingroup dan outgroup. Biasanya, kelompok dominan atau mayoritas ini juga dikenal dengan sebutan ingroup, sedangkan kelompok minoritas biasa dikenal dengan sebutan outgroup.

Setiap manusia mempunyai keinginan untuk membentuk kelompok kami (ingroup) dan kelompok mereka (outgroup), sesuai dengan cita-cita, cara hidup ataupun minatnya. Akibat lanjut dari hal ini adalah munculnya istilah-istilah seperti pribumi dan non-pribumi, Timur dan Barat, hitam/ sawo matang dan putih, Katolik dan Protestan, rohaniwan dan awam, serta tua dan muda. Kenyataan itu adalah sangat kodrati dan sering dapat membantu manusia.7

Secara praktis, untuk lebih mudah memahami relasi antar kelompok sosial dalam masyarakat Gunungsitoli, selanjutnya istilah ingroup dan outgroup dalam teori-teori identitas sosial tersebut akan digunakan dalam tulisan ini dengan mengumpamakan bahwa etnis Nias (kelompok mayoritas) sebagai ingroup, dan para pendatang atau etnis-etnis lainnya (kelompok-kelompok minoritas) sebagai outgroup. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang sudah dilakukan, etnis Nias sebagai kelompok sosial mayoritas dalam masyarakat Gunungsitoli hampir tidak pernah memposisikan dirinya sebagai ingroup yang mendiskriminasi kelompok-kelompok sosial minoritas lainnya (outgroup), baik dalam bidang ekonomi, sosial-politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Etnis Nias sebagai ingroup dalam kehidupan sosial sehari-hari

6

Afthonul Afif, Identitas Tionghoa.., 45.

7


(9)

hampir tidak pernah memandang rendah kebudayaan dan tradisi-tradisi dari etnis-etnis lainnya. Bahkan yang ada ialah etnis-etnis Nias sebagai ingroup telah menunjukkan sikap positif, terbuka dan menerima etnis-etnis lain dengan segala keberadaan dan kebudayaan yang mereka miliki.

Dalam kearifan lokal “emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo” terkandung makna yang sangat dalam bagaimana masyarakat Nias, secara khusus etnis Nias sejak dulunya telah memperlakukan tamu, orang asing atau pendatang dengan penuh keramahan dan rasa hormat, yaitu dengan mengundang mereka bertamu ke rumahnya dan menerima serta memperlakukan mereka sebagai tamu yang sangat dihormati, bahkan tidak jarang dijamu dengan makanan dan minuman. Berdasarkan sikap yang sangat bersahabat dan penuh persaudaraan ini, dapat disimpulkan bahwa merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau tidak wajar bagi etnis Nias untuk memposisikan diri sebagai ingroup yang mendiskriminasi outgroup-outgroup lainnya. Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh Afthonul Afif bahwa pola relasi ingroup-outgroup, yang pada titik tertentu merupakan sumber bagi konflik-konflik sosial, atau oleh Mayor Polak sebagai suatu kelainan (sikap) yang berwujud antagonisme atau antipati, secara objektif masih belum kelihatan sebagai sebuah gangguan sosial atau disharmoni sosial dalam masyarakat Gunungsitoli. Analisis ini sedikitpun tidak bermaksud mengabaikan atau memandang remeh kemungkinan-kemungkinan atau potensi-potensi konflik yang bisa saja terjadi dalam pola relasi ingroup-outgroup, namun setidaknya apa yang telah kelihatan dalam sikap etnis Nias dengan para pendatang atau etnis-etnis lain hingga saat ini memberi sebuah penjelasan bahwa sejauh ini telah tercipta harmoni sosial antar etnis di Kota Gunungsitoli.


(10)

Berdasarkan realitas sosial ini, dalam menyikapi identitas etnik atau cultural identity, dapat dianalisis bahwa agaknya (kemungkinan besar) etnis Nias sebagai ingroup dalam relasi sosialnya dengan etnis-etnis lainnya berada pada tipologi sikap “ethnic identifities clarification” dan “the ethnicity” sebagaimana telah dikelompokkan oleh James Banks dalam tulisan yang dikutip oleh Choirul Mahfud.8 Kedua tipologi sikap ini menggambarkan sikap yang positif terhadap budaya sendiri (ingroup), menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lain (outgroup), serta menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain (outgroup), seperti budayanya sendiri.

Sikap etnis Nias yang cukup positif dan terbuka terhadap kebudayaan etnis-etnis lain tersebut memberi rasa nyaman dan kebebasan bagi semua etnis-etnis pendatang di Kota Gunungsitoli untuk mengapresiasi diri secara bebas dengan segala kekayaan nilai budaya dan tradisi mereka, serta memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan kehidupan dalam berbagai bidang. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dituliskan oleh Bhikhu Parekh dalam menyikapi keanekaragaman budaya serta bagaimana kita seharusnya mengelolanya secara etis dalam kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat plural, yaitu:

Keanekaragaman budaya juga merupakan suatu penentu dan kondisi bagi kebebasan manusia. Jika manusia tidak mampu keluar dari kebudayaannya, mereka tetap terpenjara di dalamnya dan cenderung untuk memutlakkannya, membayangkannya menjadi satu-satunya jalan alamiah atau yang tidak membutuhkan bukti untuk memahami dan mengorganisasikan hidup manusia. Dan mereka tidak mampu keluar dari kebudayaan mereka kecuali jika memiliki akses pada kebudayaan lain. ...

8


(11)

Keanekaragaman kebudayaan juga menyadarkan kita pada keanekaragaman budaya dalam diri kita. Untuk melihat perbedaan-perbedaan di antara kebudayaan-kebudayaan, kita cenderung mencari perbedaaan dalam diri dan belajar memperlakukan mereka secara adil. Kita menghargai bahwa kebudayaan kita merupakan satu hasil dari pengaruh yang berbeda, berisi rangkaian-rangkaian pikiran yang berbeda dan terbuka terhadap penafsiran-penafsiran yang berbeda. Hal ini membuat kita curiga terhadap segala upaya untuk menghomogenisasi perbedaan dan menghadapkan padanya satu identitas tunggal dan disederhanakan. Hal ini juga mendorong satu dialog internal dalam kebudayaan, menciptakan satu ruang bagi pemikiran kritis dan independen, dan mempertahankan kemampuan eksperimentalnya. Sebagaimana kita lihat dalam pembahasan kita tentang agama Kristen, toleransi terhadap perbedaan dari luar dan dalam melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Satu kebudayaan atau agama yang menganggap dirinya sebagai yang terbaik dan mengakhiri kebudayaan lain atau takut dan menghindari kontak dengan mereka, cenderung mengambil satu pandangan yang diseragamkan dan homogen mengenai diri mereka dan juga menghapus perbedaan dan ambiguitas internalnya. Keanekaragaman budaya menciptakan iklim yang di dalamnya, kebudayaan yang berlainan dapat terlibat dalam dialog yang saling menguntungkan.9

Lebih lanjut Olaf H.Schumann juga mengatakan bahwa identitas manusia senantiasa dinamis dan tidak pernah statis, serta harus memiliki keberanian untuk menolak segala tekanan atau paksaan yang berpotensi mereduksi kedirian manusia itu sendiri. Ia menjelaskannya sebagai berikut:

Ahli-ahli antropologi budaya dan ahli psikologi sama-sama mencari elemen-elemen identitas manusia. Secara khusus budaya dan lingkungan hidup disebut sebagai faktor-faktor yang turut membentuk identitas. Mungkin hal itu benar. Namun tidak boleh dilupakan pula bahwa budaya secara khusus merupakan hasil cipta manusia dan aktivitasnya. Jadi watak manusia tercermin dalam budaya yang ia ciptakan. Oleh karena itu, budaya tidak saja berpengaruh pada identitas manusia, tetapi ia juga dibentuk oleh identitas manusia dan merupakan ekspresinya. Budaya dan identitas manusia saling mempengaruhi secara timbal-balik. Oleh karena itu, mereka saling berhubungan di tingkat kemanusiaan, dan tentu mereka berubah menurut kondisi perubahan kehidupan dan perubahan kesadaran manusia dan wawasannya. Tetapi budaya merupakan produk kolektif manusia sehingga tidak setiap individu dapat mengidentifikasikan diri dengannya. Bila pribadi-pribadi berusaha mendefenisikan identitasnya atau “diri”-nya dalam konteks

9


(12)

budaya, mereka senantiasa terlibat dalam mempertahankan kebebasan mereka melawan suatu “hetero-determinasi” atau pemaksaan yang dilakukan oleh budaya atau lingkungan hidup dan yang dapat menyebabkan alienasi mereka dari dirinya jika mereka tidak dapat menyetujuinya. Oleh karena itu, identitas tidak pernah menjadi sesuatu yang statis tetapi ia senantiasa membutuhkan pengujian ulang dan penguatan diri. Dalam upaya menemui “diri”-nya, setiap manusia harus menolak setiap tekanan atau paksaan yang menggunakan budaya atau agama yang direduksi menjadi semacam fides quae creditur atau dogma-dogma yang harus dipercayai tanpa penjelasan maupun pengertian, atau yang membeku dalam aturan-aturan hukum dan undang-undang tanpa dapat diyakini legalitasnya.10

Berdasarkan makna yang terkandung dalam kearifan-kearifan lokal yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah atau sebutan ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’, ingroup dan outgroup, tuan rumah (penduduk asli) dan pendatang, atau pribumi dan non pribumi sebaiknya dihilangkan atau tidak digunakan lagi dalam interaksi-interaksi sosial. Hal ini penting untuk menghilangkan atau meminimalisasi sikap atau upaya-upaya yang mempertajam perbedaan yang ada, terlebih apabila hal itu digunakan sebagai alat atau sarana untuk mendominasi yang lain. Kenyataan objektif ini tidak dimaksudkan sebagai penyeragaman budaya atau upaya menghilangkan budaya kelompok-kelompok minoritas oleh kelompok-kelompok mayoritas dalam sebuah masyarakat plural, melainkan lebih kepada penerimaan dan penghargaan kepada budaya-budaya lain dengan segala kekayaan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnya.

Hal ini sangat sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh John A. Titaley dalam salah satu makalahnya, yaitu:

10

Olaf H.Schumann., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: PT BPK GunungMulia, 2009), 161-162.


(13)

Sejalan dengan Indonesia fenomen baru, tidak ada lagi sebutan minoritas-mayoritas, tuan rumah-pendatang, asli-asing.Sebab Indonesia dibentuk bukan oleh satu suku saja tetapi oleh berbagai suku, termasuk etnis Tionghoa. Memang ada pandangan yang kontra terhadap hal ini, namun jika pemikiran seperti ini dijalankan, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, apalagi jika Indonesia hendak dipahami sebagai fenomen baru. Indonesia fenomen baru adalah Indonesia yang tidak lagi membedakan pribumi dan non pribumi, atau mengklaim sebagai Indonesia asli sedangkan yang lainnya pendatang. Jadi tidak ada suku/golongan yang lebih baik, tinggi, benar, hebat, atau berkuasa. Indonesia seperti itulah yang membebaskan diri dari dikriminasi.11

Dari sudut pandangan sosial budaya, Jakob Sumardjo dengan sangat tepat melukiskan keragaman di Indonesia dalam ungkapan: “Sejak nenek moyang bangsa Indonesia menempati kepulauan ini, keragaman budaya yang ratusan itu bisa hidup berdampingan. Tidak ada ambisi untuk menyamaratakan semua budaya itu dalam satu kebudayaan tunggal yang monolit.12

Dalam bingkai ke-Indonesia-an, hal ini dapat dipahami dalam semboyan negara kita, yaitu:

Bhinneka Tunggal Ika (secara harafiah adalah berbeda-beda tetapi satu jua) berarti persatuan dalam keberanekaragaman. Terdapat beraneka ragam satuan-satuan suku, agama, ras, dan golongan tetapi tetap ada sesuatu yang mengikat dan menghubungkannya melalui apa yang disebut sebagai “Indonesia”. 13

Secara etis, kearifan-kearifan lokal tersebut di atas mengajarkan bahwa masing-masing kelompok etnis harus berusaha untuk saling menerima dan menyesuaikan diri satu sama lain dalam suatu masyarakat. Hal ini tidak bermaksud

11

John A. Titaley, “Peran Gereja-Gereja dan PerguruanTinggi Kristen KawasanTimur Indonesia dalam Negara Kebangsaan Indonesia”, (Makalah yang disampaikan dalam Semiloka Pengembangan SDM SANTI, tanggal 24 Juni 1998), 6.

12

Jakob Sumardjo, “Makna Kesatuan Indonesia”, Kompas (12 Maret 2011), 6.

13

Andy Fuller,“Kebebasan Beragama Di Indonesia Beberapa Catatan Berdasarkan Observasi”,


(14)

mengatakan bahwa masing-masing etnis menjadi kehilangan identitas sosial atau identitas etniknya. Demikian juga identitas salah satu etnis (etnis minoritas) tidak menjadi hilang, dibuang atau ditanggalkan karena berhubungan atau bergaul dengan kelompok etnis mayoritas yang ada di dalam suatu masyarakat plural dimana mereka hidup secara bersama-sama, lalu mengenakan identitas baru yang sesuai dengan identitas kelompok mayoritas, misalnya karena proses interaksi sosial yang terjadi antara etnis Cina (Tionghoa) sebagai kelompok minoritas dengan etnis Nias sebagai kelompok mayoritas, maka etnis Cina membuang atau menanggalkan budaya Cina dan identitasnya sebagai orang Cina.

Lebih lanjut dalam analisis yang sudah dilakukan, masyarakat Gunungsitoli secara sosiologis telah menunjukkan pola relasi sosial dimana seseorang atau salah satu kelompok sosial menerima orang lain atau kelompok sosial lainnya tanpa melihat dan mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada sebagai faktor penghambat proses penyesuaian dan penerimaan tersebut. Karena itu, sikap etnis Nias yang mau terbuka dan menerima para pendatang atau etnis-etnis lain bukan berarti penyeragaman budaya, juga bukan pembentukan budaya baru atau budaya campuran, atau penghilangan dan penanggalan budaya, melainkan penerimaan setiap budaya untuk tetap hidup, berkembang, dan dihargai. Artinya, etnis Nias diakui dan diterima sebagai sebagai orang Nias dengan budaya Niasnya, etnis Padang diakui dan diterima sebagai orang Padang dengan budaya Padangnya, dan seterusnya. Salah satu contoh konkrit yang menggambarkan hal ini ialah perkawinan antar etnis di Kota Gunungsitoli. Apabila seorang laki-laki dari etnis lain menikah dengan seorang perempuan dari etnis Nias, maka tidak pernah ada


(15)

aturan, keharusan atau paksaan bagi laki-laki dari etnis lain tersebut untuk mengubah identitas etnisnya menjadi etnis Nias sebagai syarat untuk menikahi perempuan tersebut. Hal ini berarti bahwa identitas etnisnya tetap diakui dan dihargai dengan segala nilai-nilai kebudayaan asalnya yang telah melekat pada dirinya. Sikap saling menerima dan mengakui eksistensi masing-masing orang atau kelompok seperti ini, disadari atau tidak disadari memiliki implikasi sosial yang sangat tinggi terhadap keadilan sosial dalam suatu masyarakat, seperti diungkapkan oleh Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, dalam salah satu tulisannya sebagai berikut:

Akhirnya, keadilan sosial juga menyangkut segi ideologi dan budaya. ... Dalam masyarakat majemuk, telah bertumbuh berbagai bentuk budaya. Masing-masing kelompok budaya punya hak untuk mempertahankan kebudayaannya, asal hal itu tidak merugikan kelompok-kelompok lainnya. Keadilan sosial justru semakin terwujud apabila semua kelompok budaya dapat berdialog secara terbuka, saling memperkaya melalui proses “memberi dan menerima”.14

Hal ini tentu saja memiliki hubungan dengan kearifan lokal banua dan fatalifusöta serta emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, yang pada prinsipnya menerima secara terbuka siapa saja yang mau berinteraksi secara positif dan mengikatkan dirinya ke dalam masyarakat Gunungsitoli, tanpa melihat unsur-unsur perbedaan yang ada seperti, agama, etnis, bahasa, warna kulit, status sosial-ekonomi, dan lain sebagainya. Sikap ini akan membawa kesadaran pluralisme yaitu bahwa kemajemukan menuntut kebebasan untuk tidak menjadi sama dan serupa saja dengan yang lain. Oleh sebab itu, kemajemukan mengimplikasikan kesediaan untuk mengakui dan bertoleransi terhadap hak hidup, kepentingan, pendapat dan

14

Al. Purwa Hadiwardoyo, “Keadilan Sosial dan Sistem Ekonomi” J.B. Banawiratma (ed), Aspek Aspek Teologi Sosial, (Seri Pustaka Teologi), 42.


(16)

keyakinan pihak lain.15 Setiap orang dari kelompok etnis manapun selayaknya diperlakukan sebagai saudara atau tamu (sahabat) yang harus dihargai.

C. Potensi Konflik

Dari hasil wawancara dengan informan kunci dan beberapa narasumber lainnya, ada beberapa hal yang berpotensi paling besar menjadi sumber atau penyebab konflik antar etnis dalam masyarakat Gunungsitoli, yaitu:

1. Sikap dominasi dan arogansi dari etnis Nias sebagai etnis mayoritas yang mau menguasai atau mendiskriminasi etnis-etnis minoritas lainnya.

2. Persaingan yang tidak sehat dalam bidang ekonomi, secara khusus dalam penguasaan pasar, sebab sebagian besar warga dari kelompok-kelompok etnis lainnya di luar etnis Nias bekerja sebagai pedagang di pusat pasar Kota Gunungsitoli.

3. Persaingan yang tidak sehat dalam bidang politik dan pemerintahan, secara khusus dalam perbedaan ideologi politik dan perebutan jabatan-jabatan strategis dalam struktur pemerintahan, terlebih sejak adanya beberapa pemekaran wilayah pemerintahan di Nias.

4. Ketidakjelasan tujuan (maksud) kedatangan dan status kependudukan pendatang-pendatang baru (orang asing) dari luar yang bukan merupakan masyarakat Gunungsitoli seringkali meresahkan warga masyarakat Kota Gunugsitoli. Fenomena ini sangat kelihatan secara khusus pasca bencana gempa bumi di Nias tahun 2005.

15

Sutarno, Di Dalam Dunia Tetapi Tidak Dari Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia & Salatiga: Satya Wacana University Press, 2004), 280-281


(17)

D. Suatu Refleksi Sosio - Teologis: Menuju “Gunungsitoli Kota Samaeri”

Mengawali refleksi sosio-teologis ini, penulis hendak mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Prof. John A. Titaley yang mengatakan:

Pluralisme adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya dan agama. Keragaman agama itu terjadi juga karena adanya faktor lingkungan tempat manusia itu hidup yang juga tidak sama. Lingkungan hidup empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam lingkungan yang hanya terdiri dari dua musim, seperti musim hujan dan musim panas.16

Dalam tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemajemukan dalam kehidupan manusia adalah alami. Itu sesuatu yang tidak dapat dihindari. Kemajemukan adalah kenyataan yang harus dihadapi, dihidupi bahkan diyakini.17

Salah satu pernyataan Diana Eck, sebagaimana dikutip oleh Dr. Hope S. Antone, secara tepat menggambarkan “pluralis yang berkomitmen” dalam pernyataannya sebagai berikut:

“Pluralis mengakui bahwa yang lain juga mempunyai komunitas dan komitmen. Mereka tidak takut berjumpa satu sama lain dan menyadari bahwa mereka semua harus hidup dengan setiap partikularitas yang lain. Tantangan bagi pluralis adalah komitmen tanpa dogmatisme dan komunitas tanpa komunalisme. Tugas teologisnya, dan tugas masyarakat pluralis, adalah menciptakan ruang dan sarana untuk perjumpaan komitmen-komitmen, bukan untuk menetralisasi semua komitmen.”18

Dengan ini penulis hendak mengatakan bahwa secara objektif, kenyataan sosiologis masyarakat Gunungsitoli bahkan masyarakat Nias secara keseluruhan adalah kehidupan yang berada dalam pluralisme atau kemajemukan seperti disebutkan di atas. Dalam kemajemukan itu, masyarakat Gunungsitoli berinteraksi

16http://www.suaramerdeka.com/harian/0512/09/opi4.htm/31Maret 2012 17

John A. Titaley, “Kehidupan Kristen Dalam Masyarakat Majemuk”, Kumpulan Artikel 1 Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

18


(18)

satu sama lain, saling membutuhkan dan bergaul secara harmonis dalam kehidupan sehari-hari. Adalah sebuah kenyataan sosial bahwa setiap orang dari golongan suku, agama, dan ras manapun pasti saling membutuhkan. Karena itu, setiap orang harus menjalin hubungan dengan sesamanya dalam kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas sosial. Arie Jan Plaisier mengungkapkan bahwa keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia tidak mandiri dalam arti mampu hidup tanpa orang lain.19 Manusia ketika memahami dirinya sebagai yang berpribadi itu akan menjadi utuh ketika hidup dengan pribadi yang lain. Ia ada dalam suatu konteks sosial dan hidup bersama dengan sesamanya. Ia berinteraksi dengan orang lain secara berkesinambungan dan dibentuk oleh budaya setempat yang turut memberi pengaruh pada makna, bentuk, aksinya menjadi teratur.20

Tentu saja, realitas kemajemukan ini merupakan kekayaan dan keindahan yang sepatutnya disyukuri. Ia bukanlah realitas yang dapat ditolak, sebab ia adalah sesuatu yang alami yang harus diterima dan dihidupi. Namun, di sisi lain pada saat yang bersamaan, realitas kemajemukan ini juga sewaktu-waktu dapat menjadi sumber ancaman yang amat berbahaya dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini terjadi ketika warna dan nuansa kehidupan manusia yang saling berbeda satu sama lain itu tidak dikelola secara arif. Akhirnya yang terjadi ialah konflik, pertikaian, disintegrasi bangsa dan disharmoni sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konflik yang terjadi tersebut tidak hanya

19

Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah : Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,2002), 103.

20

K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1963), 4.


(19)

konflik agama, tetapi juga konflik antar kelompok etnis, dan antar kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Beberapa tahun yang lalu Pdt. Eka Darmaputera pernah menggambarkan kekacauan sosial tersebut dalam salah satu tulisannya, ia mengatakan:

Pada masa sekarang seluruh bangsa kini berdiri tepat pada ambang disintegrasi menyeluruh. Setelah Timor Timur, kini giliran provinsi-provinsi lain menyuarakan keinginan mereka untuk referendum dan, akhirnya, kemerdekaan Indonesia juga harus menghadapi aneka konflik sosial antar-komunitas; antar kelompok-kelompok etnis, antar kelompok-kelompok agama, antara masyarakat sipil dengan militer, antara keturunan Cina dengan pribumi, antara kaum pendatang dengan penduduk asli, antar-kampung, sekolah, bahkan antar-tetangga. Dan konflik itu makin lama makin berdarah dan keras. Jumlah gedung gereja yang dihancurkan meningkat dari tahun ke tahun. Dari hanya dua pada masa pemerintahan Soekarno (17 Agustus 1945 – 7 Maret 1967), menjadi 456 semasa rezim Soeharto (7 Maret 1967 – 21 Mei 1998) dan 154 selama satu setengah tahun pemerintahan Habibie. Ini menunjukkan, (a) derajat keseriusan konflik-konflik yang terjadi; (b) makin dominannya warna agama dalam konflik tersebut.21

Demikian halnya dalam masyarakat Gunungsitoli yang sangat majemuk tersebut, disadari atau tidak disadari ia pasti mengandung potensi-potensi konflik, secara khusus konflik intern umat beragama, antar umat beragama, konflik internal etnis, dan konflik antar etnis. Memang sampai sekarang dalam kenyataannya, Kota Gunungsitoli hampir tidak pernah diwarnai oleh konflik atau kekerasan atas nama agama maupun etnik, namun hal ini tetap patut dievaluasi dan diantisipasi demi menghindari hal-hal yang bersifat destruktif di masa yang akan datang.

Salah satu cara strategis untuk tetap melestarikan dan mempertahankan harmoni sosial yang telah terjalin di Kota Gunungsitoli selama ini ialah mengelola secara bijaksana kemajemukan tersebut. Untuk melakukan hal ini, maka

21

EkaDarmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK GunungMulia, 2005), 384.


(20)

Pemerintah Kota Gunungsitoli bersama seluruh masyarakat Gunungsitoli telah menyepakati visi (motto) hidup bersama yaitu mewujudkan “Gunungsitoli Kota Samaeri.” Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, istilah “samaeri” dalam bahasa Nias mengandung makna mengayomi, memelihara, dan menuntun, dimana kata ini biasa digunakan terhadap tanggung jawab orangtua dalam membesarkan, mendidik, dan menyediakan kebutuhan hidup anak-anaknya, sehingga mereka bisa mandiri dan memiliki masa depan yang cerah di masa yang akan datang. Istilah ini kemudian diuraikan dengan: SA = Satukan langkah dan tekad, MA = Mandiri, E = Ekonomi kerakyatan, RI = Beriman. Visi ini lebih lanjut diterjemahkan dalam misi: “Satukan langkah dan tekad mewujudkan kota Mandiri yang berbudaya, sejahtera dan berwawasan lingkungan, dengan penguatan program Ekonomi, pendidikan, kesehatan, pariwisata dengan dukungan masyarakat beRIman, yang takut akan Tuhan sehingga memperoleh curahan berkat berkelimpahan yang dapat dinikmati secara bersama-sama.”

Tentu saja untuk mewujudkan “Gunungsitoli Kota Samaeri” ini adalah tanggung jawab seluruh komponen masyarakat Nias. Namun secara politis, pemerintah memiliki peran yang paling strategis untuk menggerakkan seluruh masyarakat mewujudkan hal ini. Pemerintah harus menegakkan dan menjalankan pemerintahan yang bersih. Pemerintah harus berupaya keras menegakkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hal ini sangat perlu untuk menghindari sekaligus meminimalisasi kecemburuan sosial antar kelompok-kelompok sosial yang ada secara khusus kelompok-kelompok-kelompok-kelompok agama dan kelompok-kelompok etnis, sekaligus untuk menekan derajat ketidakpuasan


(21)

masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Tidak jarang terjadi bahwa konflik-konflik sosial yang muncul dalam masyarakat disebabkan oleh ketidakadilan sosial-ekonomi dan politik, sebagai akibat dari sistem pemerintahan yang tidak pro kesejahteraan rakyat. Dr. Hope S. Antone menegaskan hal ini dalam bukunya sebagai berikut:

Sering dikatakan bahwa pada masa kini, kecuali kematian yang diakibatkan oleh bencana alam, yang sekarang dan kemudian terjadi, lebih banyak orang mati karena konflik agama dan suku daripada karena kelaparan atau penyakit. Bagaimanapun, akar konflik agama dan etnis ini sering kali sungguh-sungguh disebabkan oleh ketidakadilan sosial-ekonomi dan politik.22

Pada tataran normatif berdasarkan Pancasila, penulis mencoba untuk memahami upaya mewujudkan “Gunungsitoli Kota Samaeri” yang majemuk tersebut sama halnya dengan membangun suatu masyarakat ideal yang oleh Eka Darmaputera menyebutnya dengan istilah “membangun masyarakat Pancasila”,23 dimana oleh penulis memahaminya sebagai masyarakat yang berkeadilan sosial. Tentu saja penulis menyadari bahwa ini bukanlah tugas yang mudah untuk dilaksanakan, sangat dibutuhkan kerja keras dan komitmen untuk meraihnya.

Selain Pemerintah Kota Gunungsitoli, pihak lain yang juga sangat diharapkan kontribusinya dalam hal ini ialah gereja. Dari segi kuantitatif, penduduk Kota Gunungsitoli adalah mayoritas beragama Kristen. Oleh karena itu tidak salah kalau gereja sangat diharapkan turut berperan aktif dalam mewujudkan Gunungsitoli Kota Samaeri. Pada titik inilah, menurut penulis, sesungguhnya gereja memainkan perannya sebagai agen perubahan sosial.

22

Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan Agama Dalam Pendidikan Agama (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), 4.

23

Istilah “Masyarakat Pancasila” digunakan oleh Eka Darmaputera dalam “Telaah Kritis Hubungan Agama-Negara” di dalam Daniel Nuhamara, dkk (peny), Iman dan Kepedulian Sosial (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2005), 115.


(22)

Dalam misi sosial seperti ini sudah selayaknya organisasi-organisasi gereja di Kota Gunungsitoli membangun kerjasama dengan organisasi-organisasi keagamaan lainnya yang sekaligus mencerminkan nuansa pluralitas etnis di dalamnya. Dengan cara seperti ini akan tercipta dialog yang positif dan konstruktif dalam semangat kekeluargaan di antara organisasi-organisasi keagamaan, sekaligus di antara kelompok-kelompok etnis yang ada di Kota Gunungsitoli. Mengenai hal ini, Olaf Schumann mengatakan bahwa:

Mereka dapat bersama-sama membuat berbagai garis besar untuk kebiasaan moral dan etika dalam masyarakat tempat mereka saling berbagi dan berpartisipasi sebagai anggota yang setara. Gagasan seperti keadilan dan, kejujuran, saling menghormati, persamaan, perasaan kasihan, membantu sesama dan orang asing, dan lain-lain telah dikenal baik oleh umat Kristen dan Muslim; keduanya dipanggil Tuhan untuk mengembangkan nilai-nilai itu dalam kenyataan hidup mereka di tengah masyarakat.24

Masih berkaitan dengan hal di atas, Bambang Ruseno juga pernah mengatakan bahwa:

Kerjasama yang sesungguhnya berawal manakala baik golongan Muslim maupun Kristen sama-sama mengakui bahwa belajar untuk hidup bersama sebagai kesetiaannya kepada Tuhan, untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia serta pembangunan bangsa adalah lebih penting daripada perpecahan dan permusuhan yang terus menerus.25

Bila kelompok-kelompok mayoritas agama ataupun kelompok-kelompok mayoritas etnis hanya mau mendasarkan argumentasinya pada keyakinan imannya dan tradisi-tradisi yang dianutnya, serta menolak berdeliberasi (berdiskusi/konsultasi), maka yang lahir adalah sistem dominasi dan represi dari kaum mayoritas terhadap minoritas.

24

Olaf H.Schumann., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009), 107.

25

BambangRuseno., Hidup Bersama Di Bumi Pancasila: SebuahTinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, (Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993), 273.


(23)

Menuju “Gunungsitoli Kota Samaeri” adalah merajut harmoni sosial antar etnis dan antar umat beragama, serta membangun dan menata sistem pemerintahan yang bersih dan sehat. Bagaimana pun, visi ini mengingatkan bahwa setiap orang di muka bumi ini bertanggung jawab untuk mencintai dan membawa perdamaian di tengah-tengah komunitas dimana kita hidup dan berkarya. Sehubungan dengan tanggung jawab ini, mungkin kata-kata Henry Nouwen berikut bisa memberi inspirasi sekaligus semangat bagi kehidupan bersama di Indonesia, dan secara dalam kehidupan sosial Kota Gunungsitoli sebagai masyarakat plural, ia mengatakan: “Panggilan kita adalah sebuah kehidupan penciptaan damai di mana semua yang kita lakukan, katakan, pikirkan, atau mimpikan merupakan bagian dari kepedulian kita untuk menciptakan perdamaian dunia.”26

Sebagai penutup dari refleksi sosio-teologis ini, penulis mengutip kata-kata Broto Semedi dalam salah satu tulisannya, yang menyatakan bagaimana semua orang seharusnya menghadapi dan menjalani kenyataan pluralisme, yaitu:

Kita menjalani dan menjalankan kehidupan di dalam kehidupan bersama (masyarakat) bersama-sama dengan orang-orang yang meyakini/menganut filsafat hidup atau agama yang berbeda-beda. Di dalam kehidupan bersama yang demikian itu, sikap dasar kita ialah: memandang-menerima-memperlakukan setiap orang di dalam kehidupan bersama (siapa pun, suku bangsa apa pun, dengan warna kulit bagaimana pun, apa pun jenis kelaminnya, penganut filsafat hidup atau agama mana pun, apa pun posisi sosialnya), sebagai sesama manusia, dengan martabat manusia yang sama yaitu partner eksistensial Allah, oleh karena itu memiliki hak-hak asasi yang sama.27

26 Henry Nouwen., The Road To Peace: Karya Untuk Pendamaian Dan Keadilan (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2004), 56-57.

27

BrotoSemedi W., “Kita Di Dalam Pluralitas Agama”, di dalam Daniel Nuhamara, dkk (peny), Iman dan Kepedulian Sosial (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2005), 49.


(1)

satu sama lain, saling membutuhkan dan bergaul secara harmonis dalam kehidupan sehari-hari. Adalah sebuah kenyataan sosial bahwa setiap orang dari golongan suku, agama, dan ras manapun pasti saling membutuhkan. Karena itu, setiap orang harus menjalin hubungan dengan sesamanya dalam kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas sosial. Arie Jan Plaisier mengungkapkan bahwa keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia tidak mandiri dalam arti mampu hidup tanpa orang lain.19 Manusia ketika memahami dirinya sebagai yang berpribadi itu akan menjadi utuh ketika hidup dengan pribadi yang lain. Ia ada dalam suatu konteks sosial dan hidup bersama dengan sesamanya. Ia berinteraksi dengan orang lain secara berkesinambungan dan dibentuk oleh budaya setempat yang turut memberi pengaruh pada makna, bentuk, aksinya menjadi teratur.20

Tentu saja, realitas kemajemukan ini merupakan kekayaan dan keindahan yang sepatutnya disyukuri. Ia bukanlah realitas yang dapat ditolak, sebab ia adalah sesuatu yang alami yang harus diterima dan dihidupi. Namun, di sisi lain pada saat yang bersamaan, realitas kemajemukan ini juga sewaktu-waktu dapat menjadi sumber ancaman yang amat berbahaya dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini terjadi ketika warna dan nuansa kehidupan manusia yang saling berbeda satu sama lain itu tidak dikelola secara arif. Akhirnya yang terjadi ialah konflik, pertikaian, disintegrasi bangsa dan disharmoni sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konflik yang terjadi tersebut tidak hanya

19

Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah : Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,2002), 103.

20

K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1963), 4.


(2)

konflik agama, tetapi juga konflik antar kelompok etnis, dan antar kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Beberapa tahun yang lalu Pdt. Eka Darmaputera pernah menggambarkan kekacauan sosial tersebut dalam salah satu tulisannya, ia mengatakan:

Pada masa sekarang seluruh bangsa kini berdiri tepat pada ambang disintegrasi menyeluruh. Setelah Timor Timur, kini giliran provinsi-provinsi lain menyuarakan keinginan mereka untuk referendum dan, akhirnya, kemerdekaan Indonesia juga harus menghadapi aneka konflik sosial antar-komunitas; antar kelompok-kelompok etnis, antar kelompok-kelompok agama, antara masyarakat sipil dengan militer, antara keturunan Cina dengan pribumi, antara kaum pendatang dengan penduduk asli, antar-kampung, sekolah, bahkan antar-tetangga. Dan konflik itu makin lama makin berdarah dan keras. Jumlah gedung gereja yang dihancurkan meningkat dari tahun ke tahun. Dari hanya dua pada masa pemerintahan Soekarno (17 Agustus 1945 – 7 Maret 1967), menjadi 456 semasa rezim Soeharto (7 Maret 1967 – 21 Mei 1998) dan 154 selama satu setengah tahun pemerintahan Habibie. Ini menunjukkan, (a) derajat keseriusan konflik-konflik yang terjadi; (b) makin dominannya warna agama dalam konflik tersebut.21

Demikian halnya dalam masyarakat Gunungsitoli yang sangat majemuk tersebut, disadari atau tidak disadari ia pasti mengandung potensi-potensi konflik, secara khusus konflik intern umat beragama, antar umat beragama, konflik internal etnis, dan konflik antar etnis. Memang sampai sekarang dalam kenyataannya, Kota Gunungsitoli hampir tidak pernah diwarnai oleh konflik atau kekerasan atas nama agama maupun etnik, namun hal ini tetap patut dievaluasi dan diantisipasi demi menghindari hal-hal yang bersifat destruktif di masa yang akan datang.

Salah satu cara strategis untuk tetap melestarikan dan mempertahankan harmoni sosial yang telah terjalin di Kota Gunungsitoli selama ini ialah mengelola secara bijaksana kemajemukan tersebut. Untuk melakukan hal ini, maka

21

EkaDarmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK GunungMulia, 2005), 384.


(3)

Pemerintah Kota Gunungsitoli bersama seluruh masyarakat Gunungsitoli telah menyepakati visi (motto) hidup bersama yaitu mewujudkan “Gunungsitoli Kota Samaeri.” Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, istilah “samaeri” dalam bahasa Nias mengandung makna mengayomi, memelihara, dan menuntun, dimana kata ini biasa digunakan terhadap tanggung jawab orangtua dalam membesarkan, mendidik, dan menyediakan kebutuhan hidup anak-anaknya, sehingga mereka bisa mandiri dan memiliki masa depan yang cerah di masa yang akan datang. Istilah ini kemudian diuraikan dengan: SA = Satukan langkah dan tekad, MA = Mandiri, E = Ekonomi kerakyatan, RI = Beriman. Visi ini lebih lanjut diterjemahkan dalam misi: “Satukan langkah dan tekad mewujudkan kota Mandiri yang berbudaya, sejahtera dan berwawasan lingkungan, dengan penguatan program Ekonomi, pendidikan, kesehatan, pariwisata dengan dukungan masyarakat beRIman, yang takut akan Tuhan sehingga memperoleh curahan berkat berkelimpahan yang dapat dinikmati secara bersama-sama.”

Tentu saja untuk mewujudkan “Gunungsitoli Kota Samaeri” ini adalah tanggung jawab seluruh komponen masyarakat Nias. Namun secara politis, pemerintah memiliki peran yang paling strategis untuk menggerakkan seluruh masyarakat mewujudkan hal ini. Pemerintah harus menegakkan dan menjalankan pemerintahan yang bersih. Pemerintah harus berupaya keras menegakkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hal ini sangat perlu untuk menghindari sekaligus meminimalisasi kecemburuan sosial antar kelompok-kelompok sosial yang ada secara khusus kelompok-kelompok-kelompok-kelompok agama dan kelompok-kelompok etnis, sekaligus untuk menekan derajat ketidakpuasan


(4)

masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Tidak jarang terjadi bahwa konflik-konflik sosial yang muncul dalam masyarakat disebabkan oleh ketidakadilan sosial-ekonomi dan politik, sebagai akibat dari sistem pemerintahan yang tidak pro kesejahteraan rakyat. Dr. Hope S. Antone menegaskan hal ini dalam bukunya sebagai berikut:

Sering dikatakan bahwa pada masa kini, kecuali kematian yang diakibatkan oleh bencana alam, yang sekarang dan kemudian terjadi, lebih banyak orang mati karena konflik agama dan suku daripada karena kelaparan atau penyakit. Bagaimanapun, akar konflik agama dan etnis ini sering kali sungguh-sungguh disebabkan oleh ketidakadilan sosial-ekonomi dan politik.22

Pada tataran normatif berdasarkan Pancasila, penulis mencoba untuk memahami upaya mewujudkan “Gunungsitoli Kota Samaeri” yang majemuk tersebut sama halnya dengan membangun suatu masyarakat ideal yang oleh Eka Darmaputera menyebutnya dengan istilah “membangun masyarakat Pancasila”,23 dimana oleh penulis memahaminya sebagai masyarakat yang berkeadilan sosial. Tentu saja penulis menyadari bahwa ini bukanlah tugas yang mudah untuk dilaksanakan, sangat dibutuhkan kerja keras dan komitmen untuk meraihnya.

Selain Pemerintah Kota Gunungsitoli, pihak lain yang juga sangat diharapkan kontribusinya dalam hal ini ialah gereja. Dari segi kuantitatif, penduduk Kota Gunungsitoli adalah mayoritas beragama Kristen. Oleh karena itu tidak salah kalau gereja sangat diharapkan turut berperan aktif dalam mewujudkan Gunungsitoli Kota Samaeri. Pada titik inilah, menurut penulis, sesungguhnya gereja memainkan perannya sebagai agen perubahan sosial.

22

Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan Agama Dalam Pendidikan Agama (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), 4.

23

Istilah “Masyarakat Pancasila” digunakan oleh Eka Darmaputera dalam “Telaah Kritis Hubungan Agama-Negara” di dalam Daniel Nuhamara, dkk (peny), Iman dan Kepedulian Sosial (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2005), 115.


(5)

Dalam misi sosial seperti ini sudah selayaknya organisasi-organisasi gereja di Kota Gunungsitoli membangun kerjasama dengan organisasi-organisasi keagamaan lainnya yang sekaligus mencerminkan nuansa pluralitas etnis di dalamnya. Dengan cara seperti ini akan tercipta dialog yang positif dan konstruktif dalam semangat kekeluargaan di antara organisasi-organisasi keagamaan, sekaligus di antara kelompok-kelompok etnis yang ada di Kota Gunungsitoli. Mengenai hal ini, Olaf Schumann mengatakan bahwa:

Mereka dapat bersama-sama membuat berbagai garis besar untuk kebiasaan moral dan etika dalam masyarakat tempat mereka saling berbagi dan berpartisipasi sebagai anggota yang setara. Gagasan seperti keadilan dan, kejujuran, saling menghormati, persamaan, perasaan kasihan, membantu sesama dan orang asing, dan lain-lain telah dikenal baik oleh umat Kristen dan Muslim; keduanya dipanggil Tuhan untuk mengembangkan nilai-nilai itu dalam kenyataan hidup mereka di tengah masyarakat.24

Masih berkaitan dengan hal di atas, Bambang Ruseno juga pernah mengatakan bahwa:

Kerjasama yang sesungguhnya berawal manakala baik golongan Muslim maupun Kristen sama-sama mengakui bahwa belajar untuk hidup bersama sebagai kesetiaannya kepada Tuhan, untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia serta pembangunan bangsa adalah lebih penting daripada perpecahan dan permusuhan yang terus menerus.25

Bila kelompok-kelompok mayoritas agama ataupun kelompok-kelompok mayoritas etnis hanya mau mendasarkan argumentasinya pada keyakinan imannya dan tradisi-tradisi yang dianutnya, serta menolak berdeliberasi (berdiskusi/konsultasi), maka yang lahir adalah sistem dominasi dan represi dari kaum mayoritas terhadap minoritas.

24

Olaf H.Schumann., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009), 107.

25

BambangRuseno., Hidup Bersama Di Bumi Pancasila: SebuahTinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, (Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993), 273.


(6)

Menuju “Gunungsitoli Kota Samaeri” adalah merajut harmoni sosial antar etnis dan antar umat beragama, serta membangun dan menata sistem pemerintahan yang bersih dan sehat. Bagaimana pun, visi ini mengingatkan bahwa setiap orang di muka bumi ini bertanggung jawab untuk mencintai dan membawa perdamaian di tengah-tengah komunitas dimana kita hidup dan berkarya. Sehubungan dengan tanggung jawab ini, mungkin kata-kata Henry Nouwen berikut bisa memberi inspirasi sekaligus semangat bagi kehidupan bersama di Indonesia, dan secara dalam kehidupan sosial Kota Gunungsitoli sebagai masyarakat plural, ia mengatakan: “Panggilan kita adalah sebuah kehidupan penciptaan damai di mana semua yang kita lakukan, katakan, pikirkan, atau mimpikan merupakan bagian dari kepedulian kita untuk menciptakan perdamaian dunia.”26

Sebagai penutup dari refleksi sosio-teologis ini, penulis mengutip kata-kata Broto Semedi dalam salah satu tulisannya, yang menyatakan bagaimana semua orang seharusnya menghadapi dan menjalani kenyataan pluralisme, yaitu:

Kita menjalani dan menjalankan kehidupan di dalam kehidupan bersama (masyarakat) bersama-sama dengan orang-orang yang meyakini/menganut filsafat hidup atau agama yang berbeda-beda. Di dalam kehidupan bersama yang demikian itu, sikap dasar kita ialah: memandang-menerima-memperlakukan setiap orang di dalam kehidupan bersama (siapa pun, suku bangsa apa pun, dengan warna kulit bagaimana pun, apa pun jenis kelaminnya, penganut filsafat hidup atau agama mana pun, apa pun posisi sosialnya), sebagai sesama manusia, dengan martabat manusia yang sama yaitu partner eksistensial Allah, oleh karena itu memiliki hak-hak asasi yang sama.27

26 Henry Nouwen., The Road To Peace: Karya Untuk Pendamaian Dan Keadilan (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2004), 56-57.

27

BrotoSemedi W., “Kita Di Dalam Pluralitas Agama”, di dalam Daniel Nuhamara, dkk (peny), Iman dan Kepedulian Sosial (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2005), 49.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konservasi Berbasis Kearifan Lokal: studi kasus Sasi di Kabupaten Raja Ampat T2 422012103 BAB IV

0 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung T2 752011039 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung T2 752011039 BAB II

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunung T2 752011039 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Nias T2 752016014 BAB IV

0 0 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunggu Gunung Kudu Wareg : Studi Dinamika Masyarakat Desa dalam Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal T2 092013008 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunggu Gunung Kudu Wareg : Studi Dinamika Masyarakat Desa dalam Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal T2 092013008 BAB II

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunggu Gunung Kudu Wareg : Studi Dinamika Masyarakat Desa dalam Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal T2 092013008 BAB IV

0 0 74

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB IV

0 1 4